Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 10-habis



  Penyebab campur aduknya pemahaman pengasuh majalah Asy Syari'ah dan semisalnya.
Adapun secara global penyebab-penyebab bercampurnya pemahaman mereka tentang iman dan kufur termasuk takfir, antara ghulat murjiah, murjiah fuqaha’ dan ahlus sunnah antara lain sebagai berikut:
1.      Tidak memahami dengan jelas mazhab ahlus sunnah dalam masalah iman dan kufur.
2.      Tidak memahami dengan jelas mazhab murjiah dan thabaqat-thabaqat dalam memahami masalah iman dan kufur, bagaimana mazhab ghulatnya, jahmiyahnya, dan murjiah fuqaha’nya dimana kesamaannya dengan ahlus sunnah dan dimana perbedaannya.
3.      Tidak memahami dengan jelas dimana kesamaan khawarij dengan ahlus sunnah dan dimana perbedaannya dalam memahami iman dan kufur.
4.      Menjadikan Asy Syaikh Al Bani sebagai rujukan utama dalam memahami iman dan kufur dan menyangka semua pendapat beliau sebagai mazhab ahlus sunnah dan salaf padahal sebenarnya adalah mazhab ghulat murjiah.
5.      Menjadikan masyayikh sebagai rujukan utama dalam memahami masalah iman dan kufur dan menganggap seluruh pendapat mereka dalam masalah ini sebagai mazhab ahlus sunnah dan salaf, padahal tidak sedikit yang mazhab murjiah.
6.      Tidak dapat membedakan antara mazhab Asy Syaikh Al Bani dan mazhab masyayikh dalam masalah iman dan kufur.
7.      Tidak menjadikan ulama-ulama yang sepatutnya dijadikan rujukan utama sebagai rujukan utama dalam memahami iman dan kufur, misalnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan sebagainya, tetapi beliau hanya dijadikan rujukan untuk menguatkan mazhab masyayikhnya.
8.      Tidak memahami mazhab masing-masing ulama yang terkatakan sebagai ahlus sunnah wal jama'ah dalam masalah iman dan kufur sebagaimana mereka memahami dalam masalah asma’ dan sifat. Sehingga yang bermazhab Asya’irah dianggap bermazhab salaf.
9.      Terlalu ifrath dalam memahami khawarij dan terlalu tafrith dalam memahami murjiah.
10.  Terlalu ifrath dalam bersikap tidak mengkafirkan dan terlalu tafrith dalam mengkafirkan.
  Contoh-contohnya.
Inilah di antara sebab-sebab bercampur baurnya mazhab mereka dalam masalah iman dan kufur. Adapun contoh-contohnya antara lain sebagai berikut:
1.      Contoh (1).
Dalam makalah yang bertajuk “hujjah lemah paham takfiriyah” oleh Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dalam sub bahasan “Asal usul kesesatan mereka,” sebagaimana yang seudah saya singgung sebelumnya, dalam bahasan ini dinyatakan sebagai berikut: asal usul kesesatan mereka berawal dari kesalahan dalam memahami makna iman. Dalam pengertian yang benar, iman adalah keyakian dengan qalbu dan pengikraran dengan lisan, serta pengamalan dengan anggota badan.” (lihat majalah Asy Syari'ah edisi 03, Juni 2003 hal 32)
Khawarij dan muktazilah juga berpendapat sama, namun ada sisi perbedaan yang sangat tipis dengan ahlus sunnah, yang perlu dicermati dengan penuh perhatian. Perbedaan itu adalah, ahlus sunnah berkeyakian bahwa – secara global – amal anggota badan itu adalah syarat kesempurnaan iman-iman, sedangkan khawarij dan muktazilah mengatakan bahwa amal anggota badan adalah syarat sahnya iman-iman. (Ziyadatul iman wa nuqshanuhu hal 26)
(saya kutib dari majalah Asy Syari'ah vol.1/no.08/1425 H/07/2004 M, hal 11)
Komentar:
      1.   Minta maaf saya tidak memiliki majalah Asy Syari'ah edisi 03 06 2003 M yang dijadijan rujukan ta’rif iman tersebut. Sehingga saya tidak bisa membaca uraian dari pengertian iman tersebut.
2.      Saya juga tidak memiliki buku “Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu” dan saya tidak tahu siapa pengarangnya, maka saya tidak memahami secara utuh kelebihan dan kekurangan buku tersebut.
3.      Pengertian iman yang tersebut di atas memang benar, ia adalah salah satu ta’rif iman menurut ahlus sunnah wal jama'ah, namun yang perlu dipahami bahwa ta’rif yang paling rajih adalah dari ta’rif Imam Al Bukhari  yang diriwayatkan oleh al Lalikai bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Kemudian kata Asy Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah ada di antara ahlus sunnah yang menggunakan lafadz i’tiqad (keyakinan), karena mereka berpendapat bahwa lafdz ucapan (qaul) tidak bisa dipahami darinya selain yang lahir, atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad dengan hati. (lihat bahasan pengertian iman dan hakikatnya dalam risalah ini hal ……)
Maka berarti mereka mengambil ta’rif iman – secara bahasa bukan pemahaman – dari ahlus sunnah wal jama'ah, saya katakan bukan dalam pemahaman, sebab dalam memahami iman mereka terpesong jauh dari ta’rif tersebut – insya Allah – akan saya tunjukkan melencengnya.
Ungkapan tentang “amal anggota badan” menurut mereka, yang telah saya nukil di atas, yang mereka tulis dengan huruf tebal – lihat pada majalah yang sama hal 13- yang mana mereka menyatakan amal anggota badan menurut ahlus sunnah adalah syarat kesempurnaan iman dan menurut khawarij adalah syarat sahnya iman. Saya katakan bahwa kedua-duanya salah, baik yang menganggap syarat kesempurnaan iman maupun yang menganggap syarat sahnya iman. Dan saya katakan bahwa mereka telah salah dan keliru alamat menasabkan pendapat bahwa amal anggota badan adalah syarat kesempurnaan iman  kepada ahlus sunnah. Yang benar pendapat ini adalah mazhab murjiah Al Asya’irah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Baijuri (1277 H), dan yang perlu diketahui golongan Al Asya’irah selalunya menyebut dirinya dengan ahlus sunnah wal jama'ah, dan Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat juga seperti ini sebab beliau dalam memahami iman mengikuti mazhab Asya’irah. (lihat hal 175 dalam risalah ini)
Saya tidak mengetahui secara pasti apa yang menjadikan penulis buku “Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu” salah alamat ini, apakah mengikuti Ibnu Hajar dalam syarah shahih Al Bukhari ataukah tertipu oleh Asya’irah yang selalu menyebut golongan mereka dengan ahlus sunnah wal jama'ah, ataukah sebab-sebab lain. Adapun Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dkk, saya boleh menebaknya mereka ikuti saja penulis buku tersebut tanpa ilmu. Dari sini kita mengetahui bahwa mereka dalam memahami amal anggota badan mengikuti mazhab Asya’irah bukan mengikuti ahlus sunnah wal jama'ah, akan tetapi dalam mengikuti mazhab ini mereka tidak yakin seyakin-yakinnya sebab mereka tidak memahami dengan sebenar-benarnya mazhab yang diikutinya. Bukti bahwa mereka tidak yakin, mereka tambah ungkapan dan ucapan tersebut dengan catatan kaki – lihat majalah yang sama hal 11 – kata mereka: Namun ada juga beberapa amalan (menurut ahlus sunnah) yang merupakan syarat sahnya iman. Seperti shalat yang barang siapa yang meninggalkan shalat karena dia malas maka dia kafir (menurut pendapat sebagian ulam). Lihat hal 46 pada edisi ini (ed).
Adapun yang disuruh melihat adalah bahasan murtad karena perbuatan, yang disitu dicontohkan meninggalkan shalat, pelakunya adalah kafir, meremehkan Al Qur'an dan menajisinya dengan sengaja, thawaf di kuburan dan mengibadahi pemilik kubur.
Coba perhatikan dengan seksama kebingungan mereka disebabkan mencampur adukkan antara mazhab Asyairah dengan mazhab ahlus sunnah. Golongan Asyairah atau murjiah, mereka tidak bingung seperti bingungnya Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dan semisalnya, sebab golongan murjiah sudah mematok bahwa iman dan hakikatnya itu hanya tashdiq dalam hati saja. Adapun segala perbuatan hanya sebagai penyempurna iman. Kemudian jika ada perbuatan-perbuatan anggota badan yang Allah Ta'ala dan Rasul-Nya kafirkan kufur akbar pelakunya, baik karena melakukan atau meninggalkan, melakukan misalnya thawaf di kuburan dan meninggalkan seperti shalat, sebagaimana yang termaktub pada catatan kaki, maka golongan Asyairah dan Murjiah tidak mengkafirkan pelaku tersebut dengan ansih perbuatannya, tetapi mereka mengkafirkannya dengan hilangnya tasdiq atau iman dari hati atau i’tiqadnya. Sebab menurut mereka orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan sesuatu yang mukaffir pasti hilang tasdiq atau iman dari hatinya.
Lain pula keadaan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dan semisalnya, memahami amal anggota badan hanya sebagai syarat kesempurnaan iman, akan tetapi meyakini bahwa ada ansih amalan yang membatalkan iman, maka separuh mazhab murjiah dan separuh mazhab sunnah, akhirnya bingung. Kalau diteruskan i’tiqad seperti ini, maka perlu berlembar-lembar kertas untuk menulis catatan kaki sebab kufur dan murtad dengan amalan itu banyak sekali.
Pemahaman yang bingung dan yang sesat ini jugalah yang termasuk meyakinkan mereka bahwa berhukum dengan hukum thaghut itu tidak kafir, sebab berhukum merupakan perbuatan, sedangkan perbuatan menurutnya bukan sebagai syarat sahnya iman, ia hanya sebagai syarat kesempurnaan iman, maka orang yang berhukum dengan hukum thaghut hanya hilang kesempurnaan imannya dan tidak hilang syarat sahnya imannya, maka dia tidak kafir.
Nah, bagaimana yang benar “amal anggota badan” menurut mazhab ahlus sunnah wal jama'ah? Sebenarnya masalah ini sudah saya kupas dalam pembahasan martabat (tingkatan) iman. Silakan melihat pada hal 183 dan seterusnya. Adapun secara singkat sebagai berikut:
Martabat iman ada tiga: 1. Ashlul iman (dasar iman). 2. Al Imanul wajib (iman yang wajib). dan 3. Al Imanul Mustahab (iman yang sunnah).
Maka seluruh amal anggota badan yang masuk dalam martabat pertama (dasar iman), maka ia menjadi syarat sahnya iman. Seperti shalat lima waktu dan sebagainya. Kemudian yang masuk dalam martabat kedua (iman yang wajib), maka ia menjadi syarat kesempurnaan iman yang wajib, jika terpenuhi akan menghindarkan diri seseorang dari siksa. Seperti amanah, jujur dan sebagainya. Kemudian yang termasuk dalam martabat ketiga (iman yang mustahab), maka ia juga menjadi syarat kesempurnaan iman yang sunnah, jika dikerjakan akan meninggikan derajatnya di surga, seperti amalan-amalan yang sunnah  dan meninggalkan hal-hal yang makruh dan mustabihat. (lihat Majmu'ul Fatawa 7/627 dan 19/293) atau dalam risalah ini hal 183-188)
Dari sini kita dapat mengetahui dengan jelas tafrithnya murjiah dan ifrathnya khawarij dalam memahami dan menyikapi amal anggota badan.
·        Golongan murjiah menggebyah uyahkan semua amalan anggota badan baik yang masuk dasar iman maupun iman yang wajib seluruhnya dianggap sebagai syarat kesempurnaan iman, sehingga bermazhab amal tidak dapat membatalkan iman.
·        Golongan khawarij menggebyah uyahkan semua amalan anggota badan baik yang masuk dasar iman maupun iman yang wajib seluruhnya dianggap sebagai syarat sahnya iman, sehingga bermazhab menyamalkan antara dosa-dosa yang merusakkan dasar iman kepada syirik, dengan dosa-dosa yang merusakkan iman yang wajib seperti berzina, mencuri dan sebagainya?
            Natijahnya siapa yang tersesat dari dua golongan ini?
·        Murjiah fuqaha’ tidak terlalu jauh sesatnya, sebab menyelisihi sunnah dalam pemahaman, tetapi dalam sikap menentukan hukum sama dengan ahlus sunnah, artinya meskipun mereka dalam i’tiqad tidak mengkafirkan dengan amalan, tetapi jika ada orang yang melakukan amalan yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya mereka juga mengkafirkannya, sebab dengan sendirinya orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya pasti hilan iman yang terdapat dalam hatinya.
·        Ghulat murjiah tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. Sebab tidak mengkafirkan dengan segala amalan termasuk yang mengkufurkan, kecuali dengan syarat adanya juhud dan istihlal yang berdiri sendiri, dengan demikian tidak mengkafirkan orang kafir murtad, maka golongan ini dikafirkan salaf. Golongan ini yang banyak memenuhi bumi hari ini, sehingga para pengasuh majalah Asy Syari'ah dan semisalnya, yang bersemangat kembali kepada sunnah dan salaf pun tidak terhindarkan dari asap busuknya.
            Adapun pengaruh buruknya mazhab murjiah yang mengeluarkan amal perbuatan dari hakikat iman antara lain menggalakkan manusia dan memberanikan diri untuk berbuat maksiat. Sehingga berkatalah Ibrahin An Nakha’i rahimahullah: Murjiah telah meninggalkan ad dien (agama), lebih tipis dari pakaian yang tembus cahaya. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitabnya “As Sunnah hal 84).
            Karena begitu halus lembut dan tipisnya murjiah dalam meninggalkan ad dien, maka tidak banyak manusia yang menyadari hal ini, kecuali orang-orang yang benar-benar memahami mazhab ahlus sunnah dan mendapat rahmat Allah, berapa banyak manusia maupun kelompok yang berselimutkan dengan mazhab murjiah bahkan ghulatnya, akan tetapi tenang-tenang saja dengan kesesatan itu, malah justru merasa paling benar sendiri, dan menganggap mazhab yang diikutinya merupakan satu-satunya mazhab salaf. Dan yang paling berbahaya dari kelompok ini adalah sikap salah alamat, karena banyak salah mengalamatkan ucapan-ucapan kepada ahlus sunnah, maka mereka pun salah mengalamatkan khawarij. Mereka dengan kebodohannya menganggap bahwa kelompok-kelompok ahlus sunnah yang menunaikan kewajiban berjihad melawan kuffar baik yang murtad maupun yang tulen, berdasarkan i’tiqad murjiah dan ghulatnya yang mereka peganngi mereka adalah orang-orang khawarij. Dengan demikian golongan ini mencurahkan segala kemampuannya untuk melawan para mujahidin dengan lisan-lisan mereka dan menggalakkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka. Hal ini merupakan sunnatullah, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Adapun golongan khawarij sudah dimaklumi umum kesesatannya, mereka telah tersesat dengan kesesatan yang jauh, meskipun menurut ahlus sunnah mereka tidak kafir, akan tetapi dalam hadits-hadits banyak mengecam keadaan mereka. Seperti anjuran memerangi mereka, membunuh mereka, mereka meninggalkan ad dien secepat anak panah meninggalkan busurnya, dan sebagainya. Mereka karena rusak pemahamannya menjadikan seluruh amalan baik yang dasar iman maupun yang iman yang wajib sebagai syarat sahnya iman, dan menjadikan dosa yang mukaffir maupun yang ghairu mukaffir, yang merusak dasar iman maupun yang merusak iman yang wajib seluruhnya dalam satu martabat yaitu mengkafirkan pelakunya. Maka mereka mengkafirkan kaum muslimin yang melanggar dosa-dosa besar yang tidak mukaffirah termasuk para penguasa kaum muslimin yang dzalim dan fasik yang sebenarnya tidak kafir.
Bid’ah khawarij tidak begitu besar bahayanya terhadap masyarakat awam kaum muslimin jika dibandingkan dengan bahayanya murjiah khususnya ghulatnya. Sebab kebanyakan masyarakat sudah menyadari kesesatan khawarij dan bid’ahnya sedangkan mereka tidak menyadari kesesatan murjiah dan bid’ahnya. Yang berbahaya lagi terhadap ummat adalah ghulat murjiah berkedok ahlus sunnah dan salaf yang mempengaruhi ummat untuk mengecap kelompok ahlus sunnah yang sedang berjihad dengan sebutan khawarij. Sehingga pemahaman ummat menjadi terbalik, yang ahlus sunnah dianggap khawarij, sedangkan yang ghulat murjiah dianggap sebagai ahlus sunnah dan as salafiyun. Dan golongan ini, yakni ghulat murjiah yang bertopeng salaf ini, di dalam melariskan dagangannya membuat talbis dan menipu ummat. Mereka katakan bahwa mengkafirkan penguasa berKTP muslim yang berhukum dengan undang-undang produk manusia yang menyelisihi syari'at Allah adalah manhaj orang-orang khawarij. Lalu mereka tunjukkan sebagian ucapan-ucapan ahlul ilmi yang mengkafirkan penguasa tersebut yang sudah mereka opinikan bahwa ulama atau kelompok tersebut bermanhaj khawarij. Maka ditampilkanlah Sayid Qutb rahimahullah, Safar Hawali, Salman Audah, orang NII dan sebagainya, dan untuk meyakinkan ummat bahwa mereka benar-benar khawarij, dicarikan ucapan-ucapan mereka yang lain yang menurut mereka berbau khawarij, akan tetapi dalam masa yang sama, mereka menyembunyikan berpuluh-puluh ucapan ulama-ulama salaf yang lain seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al Allamah Ibnu Katsir, Syaikhul Islam Abdul Wahhab dan likuran lagi yang telah saya sebutkan sebelumnya, yang mereka juga mengkafirkan penguasa yang berhukum dengan undang-undang thaghut dan sebagiannya menyebut mereka sebagai thaghut-thaghut, yang ini mereka tidak nukil ucapannya, sebab kalau mereka nukil ucapannya, mereka akan kebakaran jenggotnya karena ulama-ulama itu termasuk yang mereka tokohkan dan kagumi dan banyak ucapan-ucapan nya yang mereka nukil dalam hal yang sesuai dengan selera mereka khususnya dalam menyanggah bid’ah dan kesesatan khawarij. Lagi pula sudah kadung mereka opinikan bahwa mereka adalah ulama-ulama bermanhaj salaf.
Coba andaikan, kalaulah yang mengatakan bahwa ulama yang mengikuti hukum penguasa yang menyelisihi syari'at adalah murtad lagi kafir itu Sayid Qutb dan sebagainya yang tidak mereka sukai, mungkin dijadikan bukti  pertama dan utama yang menunjukkan bahwa shahibul qaul bermanhaj khawarij, namun karena syaikhul Islam, maka mereka pura-pura tidak tahu dan tak mau tahu.
Kalaulah yang mengkafirkan orang-orang  yang enggan membayar zakat dan seluruh pengikutnya tanpa mensyaratkan adanya juhud dan istihlal, serta memerangi mereka habis-habisan dilakukan oleh Al Qaidah, mungkin akan dijadikan data dan dalil utama dan pertama bahwa al Qaidah adalah orang-orang khawarij. Akan tetapi karena hal ini merupakan ijma’ shahabat radliallahu 'anhum maka terpaksa akur meskipun tidak sesuai dengan selera. Sebab menurut ghulat murjiah mereka tidak kafir tanpa adanya juhud dan istihlal. Sedangkan tidak ada secuil pun riwayat yang menyatakan bahwa ada salah seorang di antara shahabat yang dalam menghukumi mereka kafir berdasarkan adanya juhud dan istihlal, dan tidak satupun yang menanyai mereka, apakah kamu enggan membayar zakat atau menjadi pengikut mereka karena juhud dan istihlal atau karena sudah tidak beriman lagi kepada Allah dan Rasul-Nya dan sebagainya.
2. Contoh (2).
Dalam makalah yang bertajuk “kerancuan seputar berhukum dengan selain hukum Allah” oleh al ustadz Abu Karimah askari bin Jamal Al Bugisi al Atsari, dalam sub bahasan fatwa ulama tentang berhukum dengan selain hukum Allah, dinyatakan sebagai berikut:
Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan, jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh menerapkan ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata, “tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dengan apa yang diturunkan Allah, berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah). Lihat majalah Asy Syari'ah no.08/1425 H/2004 hal 40.
Komentar:
Kami tidak perlu banyak komentar, penjelasan sebelumnya dalam masalah ini telah memenuhi risalah kami, yang jelas tasyri’ atau membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Allah telah disepakati ahlul ilmi merupakan kufur akbar dan termasuk dosa-dosa mukaffirah (lihat dalam risalah ini hal 35-37 dan 109-114)
Maka mensyaratkan adanya juhud dan ingkar dalam hati untuk mengkafirkan pelakunya adalah mazhab ghulat murjiah. Maka saya katakan bahwa ucapan Asy Syaikh Albani tersebut adalah mazhab ghulat murjiah. Kemudian dari sisi lain Asy Syaikh Albani dalam ucapan tersebut menjadikan “beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai penghalang takfir.” Saya katakan bahwa penghalang takfir seperti ini tidak masyru’ (lihat dalam risalah ini hal 230-231, atau penjelasan secara rinci rujuk adalah Jami’ 8/34-65)
Selanjutnya, sambungan dari ucapan di atas sebagai berikut:
Beliau berkata pula: Kekufuran tergagi menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati. Sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barang siapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syari'at dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya, namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafirannya adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika dia menghendaki maka dia disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni. (lihat Silsilat Ash shahihah karya Al Allamah Al Albani rahimahullah 6/111-112) (sama dengan marja’ sabiq).
Komentar:
Saya tidak bisa membayangkan, seandainya Imam Ahmad bin Hambal membaca ucapan tersebut, apa komentar beliau dan akan dicap apa orang yang mengucapkannya, dan orang yang membenarkan ucapan tersebut, golongan Jahmiyah dari murjiah beliau kafirkan. Begitu juga Waki’ bin Al Jaral dan Abu Ubaid rahimahumullah mengkafirkannya, karena mereka bermazhab bahwa orang yang dikufurkan oleh Allah Subhaanahu wa ta'aala dengan ucapan atau perbuatan yang mengkufurkan, mereka menghukumi kafir secara lahir, dan boleh jadi secara batin dia mukmin apabila dia membenarkan dengan hatinya. [1] Adapun alasan pengkafirannya, sebab orang yang dihukumi Allah Ta'ala kufurnya dengan ucapan atau perbuatan berarti dia kafir lahir dan batin, diazab di akhirat. Sebab berita Allah itu tidak terjadi melainkan di atas hakikatnya bukan lahir saja.
Sebagai contoh: orang yang mencela allah baik dengan ucapan ataupun perbuatan, jika terbukti tidak ada mawani’ pada diri orang tersebut, maka jahmiyah mengkafirkannya secara lahirnya, akan tetapi secara batinnya boleh jadi dia tetap sebagai orang beriman jika dalam hati orang tersebut masih ada tasdiqnya.
Mazhab atau ucapan jahmiyah ini kalau kita bandingkan dengan ucapan Asy Syaikh al Albani jauh lebih sederhana. Sebab jahmiyah menkufurkan mereka dari segi hukum duniawi dan dalam hal ini menyepakati ahlus sunnah. Sedangkan Albani tidak mengkafirkannya baik dari segi lahir maupun batin, buktinya kata-kata beliau: kekafirannnya adalah amali saja, ungkapan tersebut tidak bisa dipahami bahwa beliau mengkafirkan secara lahir pelakunya, yang dikafirkan beliau hanya amalannya saja. Dan beliau mendudukkan pelaku amal mukaffir yang tidak diyakini dalam hati di akhirat berada di bawah kehendak Allah. Maka jelas lebih sesat dari Jahmiyah. Jikalau kita tanyakan bagaimana gambaran konkritnya orang yang melakukan dosa-dosa mukaffirah yang tidak diyakini dalam hatinya itu? Jawabannya sama dengan sebelumnya, yaitu orang yang melakukan dosa yang tidak disertai juhud dan istihlal. Jika kita katakan, bukankah mazhab ahlus sunnah dalam mengkafirkan dosa-dosa mukaffirah tanpa mensyaratkan adanya atau tidak adanya juhud dan istihlal? …karena ucapan tersebut bukan ucapan ahlus sunnah, tetapi ucapan ghulat murjiah.
Dan saya juga tidak terbayangkan, andaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membaca ucapan tersebut, apa kira-kira komentarnya? Yang jelas dengan tegasnya beliau mengatakan: Dan secara global, maka barang siapa yang berkata atau berbuat sesuatu yang kufur, dia telah kafir dengan itu, walaupun dia tidak bermaksud menjadi kafir. (Ash Sharin Al Maushul, hal 177). Bedanya antara ucapan beliau dengan ucapan Asy Syaikh Albani sejauh masyriq dan maghrib.
Dan saya benar-benar heran bin ajaib, kenapa saudara-saudara kita para pengasuh majalah Asy Syari'ah dan saudara-saudara yang semisalnya, yang alim-alim, yang pinter-pinter, dan yang banyak bermulazamah dengan syaikh-syaikh itu tidak bisa melihat dan mengetahui kesalahan Asy Syaikh Albani yang begitu jelasnya dan besarnya bagaikan matahari di siang bolong. Kenapa mereka tidak sensitif sebagaimana kesensitifan mereka mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan Sayid Qutb dan sebagainya. Sensitif terhadap kesalahan ulama dan menyikapinya sesuai dengan tuntunan syara’ adalah akhlak yang sangat terpuji dan menguntungkan segala pihak. Bagi ulama yang salah berganda untungnya, jika kesalahannya dihitung oleh Allah Ta'ala sebagai ijtihad dapat satu pahala dan jika ada seseorang yang mengetahui kesalahannya, lalu memberitahukan kesalahan tersebut kepada ummat, mendapatkan keuntungan lagi sebab kesalahannya tidak diikuti ummat dan tidak menyesatkan mereka. Dan merupakan akhlak bagi seorang alim atau thalibul ilmi apabila mengetahui dan mendapatkan kesalahan ulama mereka akan memohonkan ampun kepada Allah Ta'ala untuknya, maka memperoleh satu lagi keuntungan.
Apa alasan mereka membeda-bedakan dalam menyikapi kesalahan ulama yang satu dengan yang lain, kalau ulama yang ini dalam membaca tulisan-tulisannya diperhatikan betul-betul kalimat demi kalimat ketergelincirannya, sementara ulama yang itu kesalahannya dicuaikan saja. Beginikah salaf mengajarkan kita dalam menyikapi ulama-ulama kita? Ataukah mereka bersikap kepada Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah seperti itu, karena terjangkit penyakit yang telah membinasakan ummat-ummat terdahulu yaitu ghulu dan ta’ashub kepada ulamanya? Ataukah keadaan mereka sebagaimana kata syair:

Maksudnya: Mata kalian sudah mencintai sesuatu, ia kabur dari segala kecacatannya. Sebaliknya kalau sudah benci, nampak jelas segala keburukannya.
Dan penukilan ucapan Asy Syaikh Al Albani yang bermuatan i’tiqad ghulat murjiah yang dilakukan oleh para pengasuh majalah Asy Syari'ah, sebagai bukti bahwa mereka dalam memahami sebagian masalah iman dan kufur bermazhab ghulat murjiah. Dengan demikian benarlah apa yang saya katakan, bahwa para pengasuh majalah Asy Syari'ah i’tiqad mereka dalam memahami iman dan kufur atau takfir bercampur baur, mereka mengambil sedikit dari mazhab ahlus sunnah, contohnya, seperti mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, akan tetapi masih nampak ragu-ragu yaitu dengan menambah kata-kata dalam kurung “menurut sebagian ulama”. Kalau mereka tambah catatan “menurut ijma’shahabat meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir”, tentu lebih baik. (Lihat risalah ini hal 193). Sehingga tidak memberi ruangan kepada orang-orang murjiah bermain-main dengan masalah ini dengan meletakkan syarat-syarat yang rusak dan batil misalnya juhud dan istihlal (lihat Majmu'ul Fatawa 22/48). Saya tidak memahami dengan pasti kenapa al ustadz Qamar Suadi, Lc. dan yang semisalnya, nampak takut sekali menghukumi kafir, baik yang takfir mutlaq apalagi yang takfir mu’ayyan, akan tetapi saya bisa menerka bahwa sikap ini akibat dan pengaruh dari banyak menelan pil busuk mazhab ghulat murjiah khususnya ucapan-ucapan Asy Syaikh Albani yang dikultuskan itu.
Anda kalau mau mengamalkan dan mengikuti ucapan Asy Syaikh Albani diatas, maka menurut anda tidak ada orang murtad di muka bumi selain orang yang mengganti agamanya, itupun kalau secara i’tiqad dia masih meyakini kebenaran Islam dia tidak kafir. Sebab menurut beliau tidak ada kufur akbar dengan amal (ucapan maupun perbuatan). Andaikan semua ulama bermazhab sesuai ini - …………………. – apa jadinya Islam dan kaum muslimin. Mari kita lihat sebagian contoh dari ketegasan ulama salaf kita. Tatkala Basyar al Murisi menyatakan bahwasanya Al Qur'an adalah makhluk dan para pemimpin berlengah-lengah untuk menghukumnya, maka berkatalah Abdul Malik Al Majisyun shahib Imam Malik rahimahumullah: Jikalau aku menemukan Basyar Al Murisi niscaya akan aku tebas tengkuknya, dan demikian juga imam Abdullah bin Mubarah rahimahullah beliau mengobarkan semangat kepada ummat untuk membunuh Basyar al Murisi. (Lihat “As Sunnah” oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal, hal 40). Dan banyak lagi contoh-contoh lain.
Imam Ahlus sunnah Khalid bin Abdullah Al Qasri rahimahullah menyembelih Ja’d bin Dirham karena menyatakan bahwa Allah tidak bicara dengan Nabi Musa alaihis salam, yang mana pada waktu itu beliau berkhutbah sesedah menunaikan shalat ‘Idul Adha, dan mengatakan dalam khutbahnya yang maksudnya: Wahai manusia sembelihlah korban, semoga Allah Ta'ala menerima korban-korban kalian maka sesungguhnya akau akan berkorban (menyembelih) Ja’d bin Dirham, lalu beliau menyembelihnya. (lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, juz 3 hal 27). Dan lain sebagainya. Demikianlah ulama salaf dalam usaha menjaga kemurnian ad dien dari rongrongan musuh-musuhnya.

Syubuhat keempat (penyamaan penguasa sekuler dengan an Najasy)
Al ustadz Qamar Suadi, Lc. dalam makalah “hujjah lemah paham takfiriyah” mengatakan: …namun satu hal yang mungkin menjadi pemangkas syubuhat tersebut adalah, bahwa Najasyi adalah seorang penguasa atau raja di Habasyah (Ethiopia). Waktu itu ia telah masuk Islam namun tidak berhukum dengan hukum Allah karena keadaan tertentu. Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganggapnya kafir? Tidak! Bahkan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib ketika Najasyi meninggal. Apakah Najasyi hidup di negara Islam? Apakah Najasyi tidak berhukum dengan hukum Allah pada satu dua perkara saja? Tentu jawabannya tidak. Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang melihat. (Lihat majalah Asy Syari'ah no.08/1/1425 H/2004 hal 14)
Komentar: perhatikan ucapan dan hujjah Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. untuk membela paham ghulat murjiahnya, dan sadar atau tidak sadar ucapan tersebut juga mengandungi pembelaan terhadap para penguasa thawaghit pada masa kini. Al ustadz Qamar Suadi, Lc. telah membuat perbandingan dan menempuh qias tidak pada tempatnya, yang mana para penguasa thawaghit yang siang malam tiada henti-hentinya memusuhi Allah Ta'ala, Rasul-Nya, Islam dan kaum mukminin disamakan dengan An-Najasyi radliallahu 'anhu, maka perbandingan, persamaan dan qias seperti ini adalah rusak dan batil.
Adapun shalat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat jenazah atas an Najasyi, telah termaktub dalam “Shahihain dan lainnya,” dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematian beliau adalah melalui wahyu pada hari kematiannya sedangkan antara Madinah dan Habasyah begitu jauh jaraknya. Oleh karena itu hal itu termasuk di antara tanda-tanda kenabiannya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan Ibnu Hajar juga mengisyaratkan kepadanya dan mengatakan bahwa menurut kebanyakan, wafatnya pada tahun ke sembilan sesudah hijrah. (Lihat Fathul Bari 3/188 dan 7/191). Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan kematian an Najasyi pemilik (shahib) Habasyah kepada mereka pada hari kematiannya dan beliau berkata: mintakan ampun untuk saudara kamu (hadits no.3880). Dan darinya: sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka membentuk shaf di mushalla, lalu shalat atasnya dan bertakbir 4 kali takbir (hadits no. 3881). Dan imam Muslim meriwayatkan dari Anas radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menulis surat kepada Kisra dan Kaisar dan an Najasyi dan kepada semua rezim penguasa. Beliau menyeru mereka kepada Allah Azza wa Jalla, dan bukan an Najasyi yang beliau beritakan kematiannya pada para shahabatnya pada hari kematiannya dan beliau keluar dengan mereka lalu membentuk shaf dan shalat atasnya. Akan tetapi an Najasyi yang lain yang menjadi raja sesudahnya. Maka tidak diragukan lagi bahwa shalat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam atasnya menunjukkan keislamannya, sebab ada larangan menshalati jenazah orang musyrik dan memintakan ampun untuknya. (firman Allah: At Taubah: 84 dan 113)
Adapun mengenai apakah an Najasyi berhukum dengan apa yang diturunkan Allah atau berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka hal ini tidak mungkin penetapannya atau penindakannya kecuali dengan berita yang shahih dalam masalah ini. sedangkan hal ini termasuk sesuatu yang tidak mungkin ditempuh. Akan tetapi yang pasti, bahwa para muhajirin yang berhijrah ke Habasyah yang berarti berpisah dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak sampai kepada mereka sebagian syari'at-syari'at yang turun selama mereka tidak berada di sisi beliau. Inilah keadaan mereka dan termasuk keadan An Najasyi. Dan seorang muslim itu mukallaf atau dibebani dengan syari'at yang sampai kepadanya, adapun yang tidak sampai tidak dituntut dengannya. Dan keadaan an Najasyi yang meninggal dalam keadaan muslim sebagai bukti bahwa beliau telah menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya sesuai dengan kadar yang telah sampai kepadanya dari dinul Islam, baik beliau telah berhukum atau belum berhukum dengan apa yang diturunkan Allah.
Maka apakah keadaan an Najasyi seperti itu bisa disamakan dengan keadaan para penguasa thawaghit pada masa kini, yang mana siang malam rakyat kaum muslimin menuntut agar berhukum dengan syari'at Islam, namun mereka tidak mendapat jawaban dari para penguasa thaghut itu selain dibunuh, dipenjara, dan disiksa serta persekongkolan jahat internasional dan regional untuk memerangi Islam dan kaum muslimin dengan slogan memerangi teroris dan ekstrimis? Maka bagaimana thawaghit seperti ini bisa disamakan dengan An Najasyi radliallahu 'anhu, maka pikirkanlah wahai orang yang masih ada sisa akal! Bolehkah anda menqiaskan ular dengan belut?
Dan secara singkatnya untuk menjawab syubuhat Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dan semisalnya yang menjadikan shalatnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam atas jenazah An Najasyi sebagai alasan tidak kufurnya para penguasa thawaghit yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, bahkan dengan begitu yakinnya tanpa mengetahui hakikat perbedaannya mengatakan, apakah Najasyi hidup di negara Islam? Apakah Najasyi tidak berhukum dengan hukum Allah pada satu dua perkara saja??
Ucapan seperti ini bagi ghulat murjiah memang tidak aneh, sebab itulah mazhabnya, akan tetapi bagi mazhab ahlus sunnah sungguh nyleneh bin aneh, sebab menurut ahlus sunnah mengganti satu saja hukum Allah adalah kufur akbar. Untuk menjawab syubuhat itu, perlu diketahui bahwasanya menurut syari'at Islam taklif itu manath atau mengikuti kepada sampainya hukum-hukum syari'at disertai dengan adanya kemampuan. Maka an Najasyi tidak sampai kepadanya seluruh hukum-hukum Islam atau beliau mengamalkan dengan apa yang sampai kepadanya dan yang mampu beliau laksanakan. Adapun penguasa hari ini sungguh telah sampai kepada mereka apa yang diwajibkan atas mereka dan mereka mengerti maksud dari tuntutan para du’at yang benar lagi jujur dan tuntutan kaum muslimin agar mereka berhukum dengan syari'at Allah, dan lagi pula syari'at Allah secara lengkap berada di hadapan hidungnya, akan tetapi hal ini tidak menambah mereka selain bertambah sombong dan melampaui batas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menerangkan dasar ini yaitu bahwa taklif itu sesuai dengan kadar sampainya syari'at Islam kepadanya dan kemampuan yang ada padanya. (Lihat Majmu'ul Fatawa 19/215-225 dan termaktub juga persis dengannya dalam Minhajus Sunnah an Nabawiyah, 5/110-123)
Sebagai peringatan mengenai An Najasyi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwasanya An Najasyi tidak berhukum dengan Al Qur'an karena kaumnya tidak menyetujuinya sedangkan dia tidak mungkin menyelisihi mereka. Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz mengatakan bahwa pendapat syaikhul Islam salah, dan pernyataan Syaikhul Islam tersebut hanya anggapan beliau, sebab tidak ditetapkan hal tersebut dengan nukilan yang shahih, yang benar menurut Asy Syaikh Abdul Qadir, An Najasyi tidak berhukum dengan Al Qur'an karena hukum-hukum syari'at belum sampai kepadanya secara rinci. Sebab kaumnya tidak setuju itu tidak termasuk uzur yang dibenarkan oleh syara’, di sinilah salahnya ucapan beliau. Kalau tidak demikian ini, niscaya dibolehkan bagi penguasa yang mana saja pada hari ini berhukum dengan undang-undang produk manusia dengan alasan mayoritas rakyatnya tidak setuju dan takut kepada mereka atau takut kepada kekuatan-kekuatan internasional dan negara-negara besar jika melaksanakan syari'at Islam. Jelas uzur seperti ini tidak diterima dan tertolak oleh syara’ dan tidak dapat menghalangi dari takfirnya.
Adapun dalil-dalilnya bahwa uzur ini tidak diterimna dan bukan merupakan penghalang dari takfirnya, antara lain firman Allah Ta'ala (Al Maidah: 44). Sebelum Allah Ta'ala berfirman: “………………………………………….,” diawali dengan: “Maka janganlah kamu takut terhadap manusia, dan takutlah kamu kepada-Ku, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat dengan harga yang murah.” Lalu berfirman ayat tersebut.
Firman-Nya lagi (S.Al Maidah:51-52)
Kisah raja Rumawi Heraklius yang tidak masuk Islam karena takut kaumnya (lihat Fathul Bari 1/43) dan (Zadul Ma’ad 3/62).
Berdasarkan hujjah-hujjah ini menjadi jelas salahnya ucapan syaikhul Islam tersebut. Dan syaikhul Islam meskipun beliau seorang alim yang sulit mencari tandingannya dan kehebatannya dalam bidang ilmu, namun beliau tidak makshum, yang makshum hanya anbiya’ dan mursalin.
(rujuk keterangan Asy Syaikh Abdul Qadir dalam Al Jami’ 13/242-248)

Penutup.
            Saya cukupkan di sini koreksi saya, dan sebenarnya masih banyak lagi syubuhat-syubuhat lain yang berhubungan dengan masalah ini yang perlu kita luruskan, insya Allah, saya akan sampaikan dalam buku tersendiri.
            Sekian, mudah-mudahan koreksi ini bermanfaat bagi kita semua dalam menapaki jejak langkah salaf  “………………”. Jika terdapat ifrath dan tafrith dalam risalah ini, saya mohon ampun kepada Allah Subhaanahu wa ta'aala. Yang benar datangnya dari Allah Azza wa Jalla, mari kita berusaha mengamalkanya, dan yang salah dari saya sendiri dan syaitan mari kita menjauhinya dan kurang lebihnya asya minta maaf kepada yang bersangkutan. Akhirnya saya ucapkan……………..


[1] Lihat Majmu'ul Fatawa 7/188-189 dan 401-403 dan 558.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar