Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 06


A.     Thagut dan Pembahasannya.
Seterusnya untuk memperjelas bahasa kita baiklah kita bahas seperlunya yang  thagut atau at-thaghut
Sebagaimana yang telah kita maklumi bahwasanya:
1.      Inti dakwah para rasul-rasul adalah: beriabadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (QS. An Nahl (16): 36)
2.      Iman seorang tidak shah sehingga ia mengkufuri thaghut (QS. Al Baqarah: 256)
3.      Masalah thaghut dan mengkufurinya adalah termasuk masalah iman dan kufur, dan tidak ada masalah yang lebih penting dalam dien ini dibandingkan dengan masalah iman dan kufur dan tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada kesalahan dalam masalah iman dan kufur.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: maka sesungguhnya salah dalam ismul iman (masalah iman) tidak sebagaimana salah dalam ismu muhdats (masalah sesuatu yang baru yang diada-adakan/bid’ah), dan tidak juga sebagaimana salah dalam hal lainnya dari nama-nama yang ada, sebab hukum-hukum dunia dan akherat bergantun gkp nama iman dan Islam, kufur dan nifaq. (Majmu'ul Fatawa 7/395)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata lagi: Dan tidak ada dalam qaul suatu nama yang digantungkan kepadanya kebahagiaan dan kesengsaraan, pujian dan celaan, pahala dan siksaan, yang lebih besar daripada nama iman dan kufur, oleh karena itu hal yang pokok ini dinamakan “Masaailul asmaa’ wal ahkam”. (Majmu'ul Fatawa 13/58)
Berkata Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah: dan masalah-masalah ini, yaitu masalah-masalah Islam dan iman, kufur dan nifaq, adalah masalah-masalah yang sangat besar. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menggantungkan kepada nama-nama ini kebahagiaan, kesengsaraan, yang berhak masuk surga dan yang berhak masuk neraka, dan perselisihan dalam nama-nama merupakan awal perselisihan yang terjadi pada ummat ini. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal 27)
Berkata Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah: sesungguhnya syarat-syarat yang dikenakan terhadap ahludz dzimmah meliputi penyelisihan mereka terhadap kaum muslimin dalam berpakaian, rambut, kendaraan, dan lainnya. Agar tidak mengantarkan kepada penyerupaan mereka sehingga orang kafir dipergauli seperti mempergauli seorang muslim, maka dielaklah jalan yang mengantarkan kepada hal yang tidak baik itu dengan mewajibkan kepada mereka menyelisihi kaum muslimin. (I’lamul Muwaqi’in 3/157)
Dan masih banyak lagi aqwal ahlul ilmi tentang masalah ini. Maka mengingat begitu pentingnya masalah iman dan kufr yang di antara kandungannya yang terpenting adalah thaghut. Maka wajib bagi setiap muslim untuk memahaminya dan begitu juga bagi para mu’allim, para ustadz, para da’i dan sebagainya berkewajiban untuk menerangkan masalah ini kepada ummat lebih dari masalah penting yang lain . ana sungguh heran melihat ada sekelompok manisia yang siang malam memekikkan suaranya dengan sekuat-kuatnya bahwa dzikir berjama’ah dan dengan suara keras adalah bid’ah, mereka kerahkan segala fasilitas yang dimilikinya untuk menjelaskan kepada ummat masalah tersebut, usaha ini pada asalnya baik, tetapi yang tidak baiknya, pada masa yang sama kelompok tersebut mendiamkan masalah thaghut bahkan menyokongnya bahkan berjihad di bawah payungnya dan bahkan siap mengorbankan jiwa, raga, darah dan hartanya untuk membelanya. Sikap yang seperti ini adalah menyesatkan kaum muslimin khususnya yang mau kembali kepada sunnah, sebab mereka menyangka bahwa sikap kelompok tersebut terhadap thaghut telah sesuai dengan sunnah dengan ukuran sensitifnya terhadap masalah muhdats (bid’ah dzikir bersama), dan di samping tiu terlibat juga beberapa talbis yang lain.
Maka agar kita  tidak salah dalam memahami dan menyikapi thaghut mari kita lihat bagaimana ahlul ilmi salaf kita memahami dan menyikapi thaghut.
1.      Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H)
Sengaja ana dahulukan imam dan mujaddid kita ini agar menjadi perhatian bagi para pembaca. Beliau termasuk hamba Allah yang memiliki banyak kelebihan dalam masalah iman dan kufur, baik dari segi pemahaman maupun praktek dan pengamalannya. Beliau dan para pengikutnya yang terkenal dengan pelopor-pelopor dan mujahid-mujahid dakwah najdiyyah begitu tegas dalam masalah tauhid dan syirik, iman dan kufur, muwalat dalam mu’adat, wala dan bara’, thaghut, riddah, dan sebagainya. Dengan ketegasan mereka dalam masalah-masalah ushul ini mereka dimusuhi oleh berbagai kalangan manusia yang muslim, yang kafir baik yang tulen maupun murtad khususnya dari kalangan para penguasa, ulama su’ dan para ‘abid yang jahil, inilah musuh-musuh dan para penentang kebenaran disepanjang zaman dan di setiap tempat.
Berkata Al ‘Alim, Al Hafidz, Al Faqih dan al Mujahid dan Asysyahid Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah:


Dan tidaklah yang merusak dien itu melainkan para raja-raja
Dan para ulama su’ dan para pendeta-pendetanya.

Karena tegasnya mereka dalam mengamalkan mu’adat dan bara’nya terhadap ahlul kufri, ahlul isyrak dan murtadin sampai tersebar berbagai tuduhan di kala
 Mausian terhadap  mereka, antara lain tuduhannya adalah, bahwasanyame adalah golongan khawarij yang menyeru kepada mengkafirkan kaum muslimin dan memerangi mereka. Sampai Ibnu Abidin dalam “Hasyiyahnya” yang terkenal sebagai pegangan bagi orang-orang yang kahir dari kelompok mahzab Hanafi, dalam bahasan bab khawarij ia menyebutkan bahwa termasuk jenis-jenis khawarij adalah para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejed dan ia mengeluarkan ucapan yang amat pedas. (Lihat Hasyiyah, Ibnu Abidin 3/309)
Tuduhan yang seperti ini akan senantiasa dialamtkan kepada para penyeru kebenaran khususnya yang menyeru kepada jihad kapanpun dan dimanapun lebih khusus lagi pada masa sekarang ini.
Jika para pembaca ingin memahami secara utuh dakwah imam yang agung ini dan para pengikutnya, pembaca tidak cukup hanya dengan membaca kitab tauhid beliau, karena itu baru sebagian dari prinsip dakwahnya, baca risalah-risalah yang lain diantaranya:
1.      Kitabul Rasailisy Syakhshiyyah lisy syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (ia bagian kelima dari kitab-kitab yang dikarang beliau).
2.      Rasail Autsaqi ural iman – oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
3.      Risalatu hukmi muwalati ahlil isyarah – oleh cucu beliau yaitu: Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab. (1233 H)
4.      Majmu’atut Tauhid – yang di antara kandungannya, Risalah Manath Thaghut wa ruusi arwa’ihi – oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
5.      Risalatul Bayanin najah wal fikaak min muwaalatil murtaddin wa ahlil isyrak – oleh Asy Syaikh Hamad bin Atiq (1301 H).
6.      Dan lebih bagus jika ditambah dengan membaca: fatwa-fatwa ulama Najd berkenaan dengan madhu’ ini khususnya Al Muwalat dan Al Mu’adat yang terdapat dalam juz ketujuh dalam kitabul jihad dari Ad Durarus Sunniyyah fil Ajwibatin Najdiya, yang dirangkum oleh Abdur Rahman bin Qasim.
7.      kitab “Da’awal munawiina lida’watisy syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab oleh Abdul Aziz al Abdul Latif.
         Kalau anda mau membaca risalah-risalah tersebut dengan pemahaman dan keinshafan, anda akan membenarkan ungkapan sebagian orang sebagai berikut: Seandainya para penulis risalah-risalah itu dibangkitkan dari kubur-kubur mereka pada hari ini, niscaya mereka akan berlepas diri dari kebanyakan orang yang menisbahkan diri kepada mereka dengan sebutan wahabi atau al wahhabiyah baik dari kalanga ahlul ilmi maupun yang lainnya, yang arab maupun yang ajam.
            Adapun thaghut menurut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai berikut:
            Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: Thaghut adalah umum, maka segala yang diibadahi selain Allah dan ia ridha dengan ibadah itu dari ma’bud (yang disembah) atau matbu’ (yang diikuti) atau mutha’ (yang ditaati) pada selai taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia adalah thaghut, dan thawaghit (thaghut-thaghut) adalah banyak dan kepala-kepala mereka ada lima:
1.      Syaithan yang menyeru kepada ibadah selain Allah, dalilnya firman Allah Ta'ala (S. Yaasin: 60)
2.      Penguasa yang jair (zalim) yang merubag hukum-hukum Allah Ta'ala, dalilnya firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 60).
3.      Yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dalilnya firman Allah Ta'ala (Al Maidah: 44)
         ……………………………………………………..
4.      Yang mengaku mengetahui yang ghaib selain Allah, dalilnya firman Allah Ta'ala (S. Al-Jin: 26-27), (S. Al-An’am: 59)
5.      Yang diibadahi (disembah) dari selain Allah dan dia ridha dengan ibadah itu “Risalah makna thaghut wa ruusi anwa’ihi – Majmu’ut Tauhid dal 260”
Perhatian: buka mata lebar-lebar dan perhatikan nomor 2 dan 3 bahwasanya penguasa yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah dan orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah itu adalah thaghut, ini menurut Syaikhul Islam yang dituduh khawarij itu.

2.      Ibnu Katsir rahimahullah.
Berkata Ibnu Katsir dalam mentafsirkan firma Allah Ta'ala (S. Al Baqarah: 256):
…………………………………………………………………………………………….
Yaitu barang siapa yang meninggalkan al andaat (sekutu-sekutu) dan berhala-berhala dan apa saja yang diseru syaitan kepadanya dari beribadah kepada setiap yang diibadahi dari selain Allah, dan mentauhidkan Allah lalu menyembah-Nya satu-satu-Nya dan bersaksi bahwa tiada illah (Tuhan) selain Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (2:256) yakni sungguh ia telah teguh pada perintah-Nya dan telah istiqamah di atas jalan yang utama dan jalan yang lurus.
Kemudian Ibnu Katsir menukil dari Umar al Khaththab radliallahu 'anhu bahwa thaghut-thaghut adalah syaitan dan berkata Ibnu Katsir: Makna pada qaulnya mengenai thaghut bahwasanya ia adalah syaitan kuat sekali karena mengandung segala kejahatan yang ada pada orang-orang jahiliyah antara lain menyembah berhala dan berhukum kepadanya serta minta pertolongan kepadanya. (tafsir Ibnu Katsir 1/311 dan pada 1/512 beliau berkata sesungguhnya yang sependapat dengan qaul Umar adalah semua dari Ibnu Abbas, Abu ‘Aliyah, Mujahid, Atha’, Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi, Al Hasan, Adh Dhahak dan As Sadi.
Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir radliallahu 'anhu bahwasanya thaghut adalah para dukun-dukun yang turun syaitan-syaitan atas mereka.
Dan beliau menukil dari Mujahid bahwasanya thaghut adalah syaitan yang berbentuk manusia yang mereka berhukum kepadanya dan dia yang memiliki urusan mereka.
Dan beliau menukil dari Imam Malik bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi dari selain Alla Azza wa Jalla.
Dan beliau dalam mentafsirkan firman Allah Ta'ala (An Nisa’: 60) berkata: dan ayat ini lebih umum dari semua itu sesungguhnya ia mencela terhadap orang yang menyimpang dari Al Kitab dan As Sunnah dan berhukum kepada selain keduanya dari yang batil, inilah maksud thaghut dalam ayat ini. (tafsir Ibnu Katsir 1/519)
3.      Al Allamah Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: thaghut adalah segala sesuatu yang melampaui batas yang dilakukan oleh seorang hamba dari ma’bud (yang disembah) atau matbu’ (yang diikuti) atau mutha’ (yang ditaati) maka thaghut adalah setiap kaum yang mana di situ ada seseorang yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya atau mereka menyembah selain Allah, atau mereka mengikutinya tanpa bashirah dari Allah, atau mereka mentaatinya dalam suatu perkara yang mereka tidak mengetahui bahwasanya ia adalah ketaatan bagi Allah (yang tidak boleh diberikan kepada selain-Nya). Inilah thaghut-thaghut di dunia ini, jika anda memikirkannya dan memikirkan keadaan manusia amda akan mendapati bahwa kebanyakan mereka telah menyeleweng dari beribadah kepada Allah kepada beribadah kepada thaghut, dan dari berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya kepada berhukum kepada thaghut , dan dari mentaati-Nya dan mengikuti Rasul-Nya kepada mentaati thaghut dan mengikutinya. (I’lamul Muwaqi’in 1/50)
4.      Asy Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi
Berkata Asy Syaikh Muhammad Al Fiqi dalam mentakrif thaghut, beliau menyimpulkan dari perkataan salaf radliallahu 'anhuma yaitu sebagai berikut : sesungguhnya thaghut adalah segala sesuatu yang memalingkan manusia dari beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan (memurnikan) ad dien dan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, yang demikian itu baik syaitan dari golongan jin maupun syaitan dari golongan manusia, pohon-pohon, batu-batu, dan selainnya. Dan termasuk dalam hal ini juga tanpa ragu-ragu yaitu berhukum dengan undang-undang yang asing dari Islam dan syari'atnya dan selainnya dari setiap peraturan yang direka-reka manusia untuk menghukumi dalam perkara darah-darah, kemaluan-kemaluan, harta benda, dan untuk membatalkan dengannya syari'at-syari'at Allah seperti menegakkan hukum hudud, mengharamkan riba, zina, dan arak dan sebagainya dari sesuatu yang diperankan oleh undang-undang itu yaitu menghalalkannya melindungi kekuatan dan pengaruh hukumnya serta para pelaksananya, dan undang-undangnya sendirir juga thaghut, para pembuatnya dan para penganjur (promotor) nya mereka adalah para thawaghit (thaghut-thaghut), dan sesuatu yang semisalnya seperti segala jenis kitab yang direka akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja dari penulisnya, maka ia adalah thaghut. (catatan kaki hal 287 dari kitab “Fathul Majid Syarhu Kitabut Tauhid” oleh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh.
5.      Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman As Najdi rahimahullah.
Berkata Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman As Najdi: thaghut ada tiga macam: thaghut hukum, thaghut ibadah, dan thaghut taat dan mengikuti. (addurrarus sunniyyah 8/272)
Kemudian Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz menyimpulkan bahwasanya pendapat yang paling merangkumi dalam memaknakan thaghut adalah pendapat yang mengatakan : bahwasanya thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi (disembah) selain Allah, ini adalah pendapat imam Malik rahimahullah dan pendapat yang mengatakan bahwasanya thaghut adalah syaitan, dan ini pendapat jumhur shahabat dan tabi’in. adapun selain dua pendapat tersebut adalah merupakan cabang-cabang dari keduanya. Dua pendapat tersebut dirujukkan kepada ushul yang satu baginya yang zhahir dan yang hakikat, maka barang siapa yang memandang dari segi zhahirnya ia berpendapat bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang disembah dari selain Allah dan bagi yang demikian itu karena sesungguhnya syaitan adalah yang menyeru kepada beribadah kepada sesuatu yang disembah selain Allah, sebagaimana juga ia menyeru kepada setiap kekufuran, Allah Ta'ala berfirman (S.Maryam: 83). Maka setiap orang yang kufur, dan setiap orang yang beribadah kepada selain Allah adalah dengan tazyin (dihiasi) syaitan, dan setiap orang yang beribadah kepada selain Allah maka pada hakikatnya ia adalah menyembah syaitan, sebagaimana firman Allah (S.Yaasin: 60). Dan Allah Ta'ala berfirman – tentang Ibrahim alaihisalam (S.Maryam:44), padahal bapaknya adalah menyembah berhala, sebagaimana firman Allah Ta'ala  (S. Al An’am (6): 74). Maka syaitan adalah thaghut yang paling besar, maka setiap orang yang menyembah berhala dari batu atau pohon atau manusia, maka hanyasanya ia adalah menyembah syaitan, dan barang siapa yang berhukum kepada manusia atau undang-undang atau undang-undang dasar dari selain Allah maka hanyasanya ia adalah berhukum kepada syaitan, inilah makna ia berhukum kepada thaghut.
Maka bagi yang menyimpulkan menurut zhahirnya ia berpendapat bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang disembah dari selain Allah dan barang siapa yang menyimpulkan menurut hakikatnya ia berpendapat bahwa thaghut adalah syaitan, sebagaimana yang telah tersebut sebelumnya.
Dan bagi yang merincikan menurut zhahirnya i aberkata bahwa thaghut adalah setiap yang disembah atau yang diikuti atau yang ditaati atau yang dihukumi kepadanya dari selain Allah, ini adalah pendapat Ibnul Qayyim, dan yang hampir sama dengannya adalah pendapat Sulaiman bin Sahman. Dan semua ini dikembalikna kepada makna ibadah, mengikuti, taat dan berhukum seluruhnya adalah ibadah wajib tidak diberikan kecuali kepada Allah Ta'ala, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S.Al A’raf: 3), ini dalam hal ittiba’ (mengikuti). Allah Ta'ala berfirman (S.Ali Imran: 32), ayat ini dalam hal taat. Dan Allah Ta'ala berfirman (S. Al Kahfi: 26) ini dalam hal berhukum. Maka mengesakan Allah Ta'ala dengan mengikuti, taat, dan berhukum semua ini termasuk di dalam mengesakan-Nya dengan ibadah yaitu tauhid uluhiyah, sama persis dengan shalat, doa dan …….., maka semua ini adalah ibadah, Allah Ta'ala berfirman (S. Al Anbiya’: 26), maka ibadah adalah nama yang merangkumi untuk segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya dari perkataan dan amalan yang lahir maupun yang batin.
Maka pendapat yang lengkap dalam makna thaghut menurut zhahirnya adalah segala sesuatu yang disembah dari selain Allah, adapun secara rincinya telah datang dalam Al Kitab dan As Sunnah nashnya yang menunjukkan adanya dua bentuk dari thawaghit yaitu thaghut ibadah dan thaghut hukum.
a.       Thaghut ibadah (S. Az Zumar:17), ia adalah segala sesuatu yang disembah dari selain Allah, dari syaitan, atau manusia hidup atau mati, atau hewan, atau dengan berdoa meminta-minta kepadanya atau dengan mengerjakan shalat untuknya dari selain Allah, atau mentaatinya dan mengikutinya dalam hal yang bertentangan dengan syari'at Allah, dan kata-kata sesuatu yang disembah dari selain Allah diikat dengan lafaz “dan dia ridha dengan (penyembahan) itu” untuk mengeluarkan darinya seperti Isa Ibnu Maryam alaihis salam atau selainnya dari para nabi-nabi, para malaikat dan orang-orang shalih. Mereka disembah dari selain Allah dan mereka tidak ridha dengan penyembahan itu, maka salah seorang di antara mereka tidak ada yang dinamakan thaghut. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (dan Allah Ta'ala berfirman S. Saba’: 40-41) yaitu bahwasanya para malaikat tidak menyuruh mereka dengan (penyembahan itu), hanyasanya yang menyuruh mereka adalah jin, agar mereka menjadi penyembah-penyembah syaitan-syaitan yang menjelma di hadapan mereka, sebagaimana setiap berhala ada syaitan-syaitannya, dan begitu pula syaitan-syaitan turun kepada sebagian orang-orang yang menyembah bintang-bintang dan mengintainya sehingga ia turun dan menjelma di hadapannya lelu berbicara dengannya dan ia adalah syaitan dari syaitan-syaitan yang ada. Oleh karena itu Allah Ta'ala berfirman (S. Yaasin: 60-61) dan firman-Nya (S. al kahfi :50) – Majmu'ul Fatawa 4/135-136 –
b.      Thaghut hukum, Allah Ta'ala berfirman (S. An Nisa’: 60) yaitu segala sesuatu yang dihukumkan kepadanya dari selain Allah seperti undang-undang dasar pokok manusia, atau qanun-qanun buatan (hukum positif), atau yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah baik seorang penguasa atau seorang qadhi (hakim) atau yang lainnya. Dan terdapat beberapa fatwa dari para ulama masa kini dalam persoalan ini, yaitu dari fatwa al lajnah addaimah lilbuhutsil ilmiyah wal ifta’ – saudi arabia, menjawab pertanyaan tentang makna thaghut dalam firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 60) ……………………………………………………, maka jawabannya: Yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat tersebut adalah setiap yang menyeleweng dari kitabullah dan sunnah Nabi-Nya Shallallaahu 'alaihi wa sallam berhukum kepadanya dari peraturan-peraturan dan undang-undang buatan manusia (hukum positif) atau taqlid-taqlid dan adat-adat yang diwarisi atau pemimpin-pemimpin kabilah untuk mengadili antara mereka dengan itu atau dengan pendapat pemimpin kelompok atau dukun. Dan dari situ menjadi jelas bahwasanya peraturan-peraturan yang dibuat untuk berhukum kepadanya yang menyamai syari'at Allah ia termasuk dalam makna thaghut. Dari fatwa no.8008. Kemudian dalam menjawab pertanyaan, kapan seorang dengan namanya dan pribadinya bisa dikatakan bahwasanya di adalah thaghut? Maka jawabannya: apabila dia menyeru kepada syaitan atau kepada menyembah dirinya atau mengaku sesuatu dari ilmu yang ghaib atau menghukum dengan apa yang diturunkan Allah dengan sengaja, dan sebagainya. (Fatwa no. 5966) Fatwa Abdullah bin Qa’ud, Abdullah bin Ghadiyan, Abdur Razzaq Afifi dan Abdul Aziz bin Baaz (fatawa Al Lajnah AdDaimah 1/542-543) koleksi Ahmad Abdur Razaq AdDuwais.
               Sesudah itu masih ada dua masalah lagi yaitu:
1.      Bahwasanya thaghut itu diimani dengannya dan dikufuri, Allah Ta'ala berfirman
………………………….. …………………….. (S. An Nisa’: 51) dan firman-Nya : …………………………………………………. (S. Al Baqarah: 256) lihat Majmu'ul Fatawa Ibnu Taimiyah 7/558-559. beriman kepada thaghut yaitu dengan memberikan satu bentuk dari bentuk-bentuk ibadah kepadanya atau dengan berhukum kepadanya, dan mengkufuri thaghut adalah dengan meninggalkan ibadah kepadanya, dan meyakini batilnya, dan dengan meninggalkan berhukum kepadanya dan meyakini batilnya dan dengan memusuhi penyembah thaghut dan mengkafirkan mereka.
2.      Masalah yang lain bahwasanya mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah adalah merupakan tauhid yang diutus dengannya seluruh rasul-rasul alaihi salam, ia adalah pertama kali sesuatu yang mereka seru kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S. An Nahl: 36)
         Adapun tentang ansharuth thawaghit (pembela-pembela para thaghut). Yang dimaksud thawaghit di sini adalah thaghut hukum, yaitu undang-undang dan peraturan-peraturan buatan manusia yang dihukumkan kepadanya dari selain Allah, dan para penguasa kafir yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah.
         Dan anshar (pembela-pembela) para thaghut adalah: orang-orang yang mempertahankannya dan membelanya hatta dengan perang untuk membentenginya dengan perkataan dan perbuatan. Maka setiap orang yang menolong mereka dengan perkataan ataupun perbuatan, maka dia termasuk pembela-pembela thaghut. Karena sesungguhnya perang itu terjadi dengan perkataan dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pada pembicaraan beliau tentang memerangi orang-orang kafir asli yaitu: dan orang yang tidak termasuk dari golongan yang melawan dan memerangi, seperti wanita, anak-anak, pendeta, orang tua bangka, orang buta, dan orang yang menderita penyakit menahun (cacat) dan sebagainya, maka mereka tidak dibunuh menurut jumhur ulama melainkan jika dia memerangi dengan ucapannya atau perbuatannya. (Majmu'ul Fatawa 28/254). Beliau berkata lagi: dan tidak dibunuh wanita-wanita mereka kecuali jika mereka memerangi dengan ucapannya atau perbuatannya, menurut kesepakatan ulama. (Majmu'ul Fatawa 28/414). Beliau berkata lagi: memerangi ada dua bentuk, memerangi dengan tangan dan memerangi dengan lisan – dan seterusnya hingga kata-katanya – dan demikian pula berbuat kerusakan boleh jadi dilakukan dengan tangan dan boleh jadi dengan lisan, dan apa yang dirusak oleh lisan daaari perkara-perkara addien berlipat-lipat ganda di bandingkan dengan yang dirusak oleh tangan. (Ash Sharimul Maslul hal 385)
               Adapun ansharuth thawaghit antara lain sebagai berikut:
a.       Orang-orang yang membela thaghut dengan ucapan, yang paling utama adalah, sebagian ulama-ulama su’ (jahat) yang pura-pura berilmu yang kerjanya menyempurnakan syari'at Islam sesuai dengan selera penguasa kafir dan membentengi mereka dari tuduhan kafir dan membodoh-bodohkan orang-orang Islam yang berjihad (para mujahidin) yang keluar memerangi mereka dan mereka menuduh para mujahidin terkeluar dari agama dan sesat dan mereka memperdayakan para penguasa terhadap mereka. Dan termasuk juga sebagai pembela-pembela dengan perkataan adalah sebagian para penulis, para wartawan, dan bagian-bagian penerangan yang melakukan kerja-kerja yang sama dengannya.
b.      Orang-orang yang membela thaghut dengan perbuatan, dalam hal ini yang paling utama adalah pasukan para penguasa kafir, baik tentara maupun polisi sebagai penyokong dan pembenteng mereka secara langsung, mereka dipersiapkan berdasarkan hukum undang-undang qanun-qanun di negeri itu untuk melaksanakan tugas-tugas antara lain sebagai berikut:
v     Menjaga nidham umum negara yaitu keberlangsungan berlakunya undang-undang dasar dan qanun-qanun buatan manusia yang kufur, dan menindak siapa saja yang coba-coba menentang undang-undang itu dan berusaha untuk merubahnya.
v     Melindungi legalitas undang-undang, hal ini berarti melindungi penguasa yang kafir itu sendiri. Karena menurut mereka dia adalah seorang penguasa yang sudah shah berdasarkan undang-undang, sebab pelantikannya telah di jalankan sesuai dengan undang-undang dan hukum positif.
v     Mengokohkan kekuasaan undang-undang, dengan melaksanakan tuntutan undang-undang dasar dan peraturan, termasuk juga melaksanakan hukum-hukum dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan dari mahkamah-mahkamah (pengadilan-pengadilan) buatan yang bersifat thaghut.
               Dan termasuk juga ansharuth thawaghit (pembela-pembela thaghut) siapa saja yang menolong mereka dengan ucapan maupun perbuatan selain yang telah disebutkan disini. Sehingga kalaupun penolong atau pembela tersebut pemerintah negara lain, maka hukumnya juga sama.
(bagi yang ingin mengetahui secara detil tentang pembela-pembela thaghut dan hukum-hukumnya, baca Al Jami’ 10/10-154)

I.       Syubuhat-Syubuhat majalah Asy Syari’ah
            Sekarang mari kita perhatikan sebagian dari syubuhat-syubuhat dan kekeliruan-kekeliruan dalam makalah-makalah tersebut.
Syubuhat Pertama:
            Syubuhat yang paling besar adalah mengada-adakan sesuatu atas nama Allah Azza wa Jalla, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, shahabat radliallahu 'anhum, tabi’in rahimahullah, ulama salaf dan para masyayikh rahimahullah ajma’in dengan tanpa ilmu. Sebab kesimpulan dari makalah-makalah itu penulisnya tanpa ragu sedikitpun menyatakan bahwasanya pemerintahan Indonesia menurut syar’i adalah pemerintahan Islam dan para penguasanya menurut syar’i adalah penguasa muslim yang berhak di dengar dan ditaati dan kaum muslimin wajib mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang tidak maksiat, dan dilarang keluar dari jama’ah mereka serta dilarang keluar berjihad untuk menentang dan melawan mereka. Lalu pemahaman yang seperti ini dikuatkan dengan dalil-dalil dan Al Kitab dan As Sunnah, dan ari aqwalus salaf dan masyayikh, dengan kata lain berarti penulis menyatakan sebagai berikut:
a.       Menurut Allah Ta'ala para penguasa Indonesia adalah para penguasa yang menegakkan addien, maka Allah Ta'ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menunaikan kewajibannya termasuk memberikan sam’u dan tha’ahnya. (rujuk kata-kata ustadz As Sewed pada hal 10-11: …namun kewajiban yang Allah perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka justru dilupakan…), (…Allah Subhaanahu wa ta'aala juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kezaliman mereka…)
b.      Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui bahwasanya Ibu Megawati dan Bapak Hamzah Haz adalah sebagai amir atau penguasa yang shah menurut syari'at Islam, maka beliau memerintahkan agar tetap mendengar dan taat kepadanya. (baca hadits-hadits yang dipaparkan dan penjelasan-penjelasannya di hal 11, 12, 14, 15, 17, 22, dan sebagainya) dengan kata lain diakui sebagai amir jama’ah muslimin.
c.       Demikian juga para shahabat radliallahu 'anhum yang nama-namanya termaktub dalam makalah tersebut, para tabi’in seperti Al Hasan Al Bashri rahimahullah dan para ulama salaf seperti para perawi hadits Al Bukhari, Muslim dan sebagainya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam An Nawawi, Ibnu Hajar, Abu Walid Ath Thartusi, penulis kita Sirajul Muluk (Abu Bakar Ath Thartusi Al Maliki), Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi dan lain sebagainya termasuk juga para masyayikh rahimahullah ajma’in dinyatakan mereka telah bersetuju bahwasanya pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan Islam, para penguasanya, khususnya presidennya adalah amirul mukminin atau amir jama’atul muslimin meskipun zalim, oleh karena itu kaum muslimin wajib mendengar dan taat dan tidak boleh keluar menentang mereka.
Saya katakan – wallahu a'lam – bahwasanya Allah Ta'ala, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salaf berlepas diri dari pemahaman yang sesat dan menyesatkany diada-adakan tersebut. Mengenai para masyayikh ana juga yakin, kalau mereka mengerti keadaan dan hakikat sebenarnya tentang pemerintahan Indonesia dan para penguasanya – Insya Allah – mereka pun akan berlepas diri dari pemahaman seperti itu. Adapun alasannya sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat imarah menurut syari'at.
Mereka tidak berhak memperoleh hak-hak imarah sebagaimana yang termaktub dalam ayat dan hadits-hadits. Sebab amir atau ulul amri yang berhak mendapatkan hak-hak tersebut adalah amir atau ulul amri dari kalangan kaum muslimin, bukan selain dari kalangan orang beriman. Perhatikan firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 59)


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kemabalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dhomir mukhathabin:……..pada kalimat ………….menunjukkan kepada ikhtishash (pengkhususan) yang berarti dari orang-orang beriman atau orang-orang Islam. Hal ini dikuatkan firman Allah Ta'ala dalam (S. Al Maidah: 106)


Makna …………. adalah dari kaum muslimin, sedangkan makna ……………… adalah dari selain kaum mukminin.
Dari As Sunnah, misalnya kata-kata: ………………….. (sejahat-jahat pemimpin kalian). Kalimat …………….., merupakan idhafah pada lafadz, ini juga jelas menunjukkan ikhtishash (pengkhususan) yang berarti meskipun bagaimanapun jahatnya akan tetapi dari kalangan kalian (kaum muslimin atau kaum mukminin). (dalam hadits shahih riwayat imam Muslim)
Demikian dalam hadits-hadits lain seperti istilah …………………………. (barang siapa yang mentaati amirku) H.S.R. Al Bukhari. ………………………………. (barang siapa yang keluar dari penguasa), H.S.R. Al Bukhari & Muslim atau ……… …………… (barang siapa yang menghinakan penguasa), H.S.R. Al Bukhari & Muslim. Dan ………………………………(barang siapa yang tidak suka sesuatu dari amirnya), H.R. AtTirmidzi. Atau ………………………………( barang siapa yang melihat sesuatu dari amirnya), H.S.R. Al Bukhari & Muslim. Dan ……………………………… (dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari pemiliknya), H.S.R Al Bukhari & Muslim dan lain sebagainya.
Semua hadits-hadits itu menunjukkan bahwasanya amirnya, atau pemimpin dan pimpinannya, atau penguasanya adalah dari kalangan kaum mukminin atau kaum muslimin bukan dari kalangan selain mereka. Maka Al Allamah Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 59) beliau memaparkan beberapa hadits-hadits tentang imarah tersebut, antara lain dari ummul Hushain bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hajji wada’ beliau bersabda:


Artinya: dan seandainya kamu dipimpin seorang hamba sahaya yang memimpin kamu berdasarkan kitab Allah dengarkan baginya dan taatilah. (H.R. Muslim).
Bahkan beliau dalam  menafsirkan firman Allah Ta'ala …………………………. (An Nisa’: 59) mengatakan: Maka menunjukkan bahwasanya orang yang tidak berhukum kepada Al Kitab dan As Sunnah dalam hal yang diperselisihkan dalam tidak mengembalikan kepada keduanya dalam hal itu, maka ia bukan termasuk orang tentang beriman kepada Allah dan tidak juga kepada hari akhir. (lihat tafsir Ibnu Katsir 1/529-531)
Kemudian yang perlu diketahui bahwasanya seseorang tidak menjadi imam bagi kaum muslimin kecuali jika ia memenuhi tiga syarat:
1.      Memenuhi syarat-syarat imamah terutamanya: Al ‘adalah (adil menurut makna syar’i) dan ilmu syar’i. (rujuk syarat-syarat imamah dalam kitab “Al Ahkamus Sulthaniyah”, Al Mawardi hal 6)
2.      Pengangkatan dan pelantikan kepemimpinannya wajib dengan bai’ah secara syar’i yang shahih, dan bai’ah tidak dianggap shah kecuali di atas syarat berhukum dengan Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, bahwasanya Ibnu Umar radliallahu 'anhu menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan untuk membai’ahnya: “Aku berikrar kepadamu dengan mendengar dan taat di atas sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya sesuai menurut kemampuanku.

(shahihul Bukhari no. 7272)
Dan berkata Ibnu Hajar rahimahullah: dan ushul (al ashl) dalam membai’at imam adalah ia dibai’at di atas agar ia beramal dengan yang haq, menegakkan hudud (hukum had/hudud), menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. (Fathul Bari 13/203)
3.      Melaksanakan dan menegakkan kewajiban pemimpin terutamanya: Menjaga ad dien di atas dasar-dasarnya yang telah ditetapkan, sebagaimana yang telah disebutkan Al Mawardi dan Abu Ya’la rahimahullah dalam kitabnya namanya sama, yaitu Al Ahkamus Sulthaniyah.
Selanjutnya yang perlu kita tanyakan, apakah pada diri para penguasa yang dimaksud terdapat syarat-syarat tersebut atau satu saja dari syarat tersebut sehingga patut menyandang gelaran-gelaran yang begitu mulia sebagaimana yang termaktub dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagaimana jika anda termasuk orang-orang yang benar lagi jujur, mesti anda akan menjawab tidak ada, bahkan satu syarat pun tidak ada pada mereka.
a.       ‘adil (ingat bukan adil menurut bahasa Indonesia yang biasa dipahami tetapi adil menurut syar’i, yaitu minimal menurut Imam As Suyuthi menjauhkan diri dari segala dosa besar dan terus menerus melakukan dosa-dosa kecil. (lihat Al Asybahu wan nadhairu hal 608)
      Bagi yang ingin memahami makna “adil” secara rinci buka “Majmu'ul Fatawa- Ibnu Taimiyyah 15/356-358 dan Manurus Sabil 2/487-489 atau Al Jami’ fi Thalabil Ilmisy Syarif 4/36-41.
b.      Ilmusy syar’i.
Dengan jelas dua syarat ini tidak ada pada mereka.
c.       Dibai’at dan dilantik di atas Al Kitab dan As Sunnah.
Syarat yang satu ini murid TK pun mengetahui bahwa mereka tidak di bai’ah di atas Al Kitab dan As Sunnah akan tetapi mereka dilantik, dibai’Allah Ta'ala dan disumpah di atas kekufuran dan kesyirikan, di atas undang-undang jahiliyah, undang-undang thaghut yang penuh dengan kufur, syirik, nifaq, dan riddah seperti demokrasi, sosialisme dan lain-lain.
d.      Menjaga dien (agama) di atas dasar-dasar yang telah ditetapkan , termasuk menegakkan syari'at Islam antara lain hukum hudud (seperti pencuri dipotong tangannya, pezina yang sudah pernah menikah dirajam sampai mati dan sebagainya), dan berjiha fi sabilillah.
Syarat ini si buta huruf yang masih ada sisa akal sehatpun mengetahui bahwa syarat ini tidak ada pada mereka, justru sebaliknya, mereka penghancur-penghancur ad dien dan menyia-nyiakan bahkan sian malam dengan lisan dan perbuatannya melawan ad dien dan dasar-dasarnya.
Oleh karena itu mereka tidak pantas disebut sebagai “Aimmatul Muslimin” (pemimpin kaum muslimin)menurut istilah syar’i baik yang termaktub dalam Al Kitab dan As Sunnah maupun dalam aqwal ulama salaf, misalnya sebagai contoh dalam matan Al Aqidah  Ath Thahawiyah oleh Imam Abu Ja’far At Thahawi Al Hanafi (312 H) yang disyarahkan oleh Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (792 H) dinyatakan: Kami tidak berpendapat (boleh) memberontak pemimpin-pemimpin kami dan orang-orang yang mengendalikan urusan-urusan kami meskipun mereka zalim dan kami tidak mendoakan (keburukan) atas mereka dan kami tidak mencabut tangan dari mentaati mereka. (rujuk Al Aqidah At Thahawiyah syarh wa ta’liq Al Bani hal 47)
Maka membawakan nash-nash yang mulia tersebut sebagai dalil para pemimpin-pemimpin dan para penguasa sekuler adalah merupakan penyelewengan, penipuan dan talbis.
2.      Para Pemimpin Sekuler Telah Keluar Dari Islam Dari Berbagai Pintu.
Para pemimpin dan para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam itu telah murtad dari dinul Islam dari berbagai pintu karena telah melakukan bermacam-macam kufur akbar, yaitu sebagai berikut:
a.      Berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah berdasarkan firman Allah (S. Al Maidah: 44).
……………….
Berkenaan dengan ayat yang muhkamat ini – Insya Allah – saya akan kupas panjang lebar, mungkin dalam risalah ini atau dalam risalah khusus tersendiri, untuk menangkis upaya-upaya batil dari sebagian golongan murji’ah terutama ghulat (pelampau) nya – yang telah dikafirkan salaf – yang mengatasnamakan hibrul ummah. Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, mereka mengatakan bahwasanya para penguasa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah yang beragama Islam seperti sekaran ini mereka tidak kafir akbar, tetapi kufur mereka adalah kufrun duna kufrin (kufur kecil).
b.      Mereka adalah para thawaghit (thaghut-thaghut).
Coba pikirkan, kalau syari'at menyebut mereka sebagai thaghut-thaghut, apakah mereka berkedudukan muslim atau kafir? Jawab sendiri jika anda masih punya akal sehat. Lihat sekali lagi bahasan tentang thaghut dalam risalah ini hal……… Di sini saya tekankan sekali lagi, “thaghut” menurut Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah – seorang ulama yang diakui kesalafiannya (bermanhaj salaf) oleh semua pihak kecuali ahlul bid'ah khususnya golongan murji’ah yang sebagiannya menuduh beliau  sebagai khawarij, yaitu yang nomor kedua dan ketiga:
Nomor dua: (saya tulis bahasa aslinya biar anda yakin)
………………………………………….
Makna pokok thaghut kedua adalah : penguasa yang jair (zalim) yang merubah hukum-hukum Allah Ta'ala. Dalilnya (S. An Nisa:60).
Nomor tiga: orang yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dalilnya (S. Al Maidah: 44)
………………………………………….
………………………………………….
(rujuk risalah Makna thaghut wa ruusi an wa’ihi dalam Mamu’ut Tauhid, hal 26)
c.       Mereka adalah para penguasa yang mustabdil (mengganti syari'at Allah Ta'ala dengan syari'at lain).
Mengganti satu saja syari'at dari syari'at-syari'at Islam dengan sengaja tidak ada ikhtilaf di antara salaf, apalagi jika keseluruhannya, baca sekali lagi 18 (delapan belas) ulama ahlus sunnah yang nama-namanya telah saya paparkan pada hal ……….., seluruhnya menyatakan bahwasanya orang yang mengganti syari'at adalah kafir kufur akbar.
Disini saya tambahkan lagi, agar anda lebih yakin lagi:
1.      Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar Razi Al Hanafi (380 H).
Yang masyhur dengan sebutan Al Jashshash – dalam kitabnya Ahkamul Qur’an 2/302 – beliau dalam mentafsirkan (S. An Nisa: 65) mengatakan: Dalam ayat ini menunjukkan bahwasanya orang yang menolak sesuatu dari perintah-perintah Allah atau perintah-perintah Rasu-Nya Shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka dia keluar dari millah (murtad) baik penolakannya karena ragu-ragu, atau karena tidak menerima dan enggan menyerah, hal ini sebagai bukti benarnya mazhab shahabat radliallahu 'anhum yang menghukumi murtad terhadap orang yang enggan membayar zakat dan membunuh mereka dan menawan mereka, karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah menghukumi bahwa orang yang tidak menyerah kepada keputusan dan hukum Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bukan termasuk orang yang beriman.
2.      Asy Syaikh Abdullah Azzam rahimahullah
Beliau berkata: Semua orang yang menolak berhukum kepada syari'at Allah atau lebih mengutamakan syari'at lain, atau menyekutukan syari'at Allah dengan syari'at-syari'at lain yang direka manusia dan hawa nafsu mereka, dan semua yang rela mengganti syari'at Allah dengan undang-undang lain, maka dia telah keluar dari lingkaran  ad dien ini dan menanggalkan ikatan Islam dari lehernya, dan dia ridha bagi dirinya keluar dari millah ini dalam keadaan kafir. (Al Aqidah wa atsaruka fi binail jail-oleh Asy Syaikh Abdullah Azzam hal 116)
Pada halaman 135 dalam buku tersebut beliau mengatakan: Maka menegakkan undang-undang Napoleon atau lainnya di atas kedudukan agama Allah, dan menjadikannya sebagai hukum positif dalam masalah politik san sosial, harga diri, harta benda, dan darah, perbuatan ini tidak mengandungi takwil selain kufur, sebab persoalan ini bukan mengakui syari'at Allah kemudian sesudah itu seorang hakim dalam melaksanakan syari'at Allah dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau rasywah (suap) atau karena kerabat dekat, tetapi persoalannya adalah mendongkol agama Allah secara keseluruhannya dari kehidupan yang nyata dan pengakuan terhadap syari'at yang baru dan diwajibkannya dengan menggunakan segala kekuatan dan persenjataannya terhadap leher-leher kaum muslimin agar taat dan patuh kepadanya.
Saya katakan: Menyelisihi hukum Allah dengan sengaja karena hawa nafsu atau suap  atau kerabat dan sebagainya itupun masih diperselisihkan tidak kufurnya, sebab sebagian ahlul ilmi berpendapat, meninggalkan hukum itu sendiri termasuk mukaffirah berdasarkan ayat yang muhkamat (S. Al Maidah: 44). Para ulama yang berpendapat bahwa meninggalkan hukum Allah dalam satu kejadian – maaf bukan seperti para thawaghit yang berundang-undang selain syari'at Allah – tidak kufur dengan amalan tersebut kebanyakannya menyandarkan penafsiran Ibnu Abbas radliallahu 'anhu yaitu kufrun duna kufrin, sedangkan secara riwayat saja sudah diperselisihkan keshahihannya, dan kalaupun benar, perlu diingat bahwa qaul shahabat menurut qaidah ushul, tidak bisa dijadikan hujjah jika bertentangan dengan nash Al Kitab dan As Sunnah, apalagi jika para shahabat sendiri berselisih. Namun perlu diketahui bahwa kebenaran tidak keluar dari pendapat mereka, maka dari pendapat-pendapat tersebut perlu ditarjih dan perlu disadari bahwa Ibnu Abbas radliallahu 'anhu (lihat I’lamul Muwaqi’in 4/118), bagaimanapun hebatnya ilmunya sebagaimana yang kita maklumi, tetapi beliau bukan nabi, sehingga tidak mustahil beliau salah seperti kesalahan beliau dalam menghukumi nikah mut’ah. Akan tetapi saya berhusnuzhzhan jika itu benar-benar dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu (kufrun duna kufrin), hal ini dinyatakan beliau terhadap golongan khawarij yang dengan kebodohannya memanipulasikan ayat tersebut (5: 44) untuk dijadikan hujjah dalam mengkafirkan terhadap shahabat Ali dan Mu’awiyah dan para pengikut keduanya radliallahu 'anhum, yang telah mengadakan tahkim dalam Perang Shiffin. Maka beliau Ibnu Abbas radliallahu 'anhu mengatakan kepada golongan khawarij bahwasanya kufur mereka (para shahabat) adalah kufrun duna kufrin – wallahu a'lam – keterangan hal ini panjang lebar – Insya Allah akan kami bentangkan dalam risalah tersendiri – bagi bagi al akh yang bisa berbahasa Arab saya sarankan membaca kitab Al Jami’ buku yang ke 13 yaitu …………………………… (berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dan dampaknya) 256 halaman dengan saiz tulisan yang kecil.
3.      Asy Syaikh Muhammad Ash Shalih Al Utsaimin rahimahullah.
Beliau berkata: Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih bermaslahah atau lebih bermanfaat bagi manusia, maka dia adalah kafir dan keluar dari millah. Dan di antara mereka ada orang-orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang bertentangan dengan syari'at Islam agar dijadikan jalan hidup yang dianut manusia. Maka sesungguhnya mereka tidaklah membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam melainkan karena mereka yakin bahwasanya undang-undang yang mereka buat itu lebih mendatangkan maslahah dan manfaat bagi manusia, karena telah diketahui secara logika yang pasti dan secara fitrah, bahwasanya manusia tidak akan berpaling dari suatu jalan hidup ke jalan hidup lain yang bertentangan, kecuali karena dia meyakini adanya keutamaan pada jalan hidup yang dia anuti dan adanya kekurangan pada jalan hidup yang dia tinggalkan. (Al Majmu’uts Tsaimin li Muhammad Ash Shalih Al Utsaimin 1/41)
Kata-kata dan ungkapan Asy Syaikh Al Utsaimin jelas dan gamblang bagaikan matahari di siang bolong tidak ada perbedaan dengan aqwal 20 masyayikh sebelumnya, bahwasanya mustabdil atau mubaddil atau musyarri, yang mengganti syari'at Allah dan membuat dan mengubah undang-undang lain yang bertentangan dengan syari'at Allah Ta'ala adalah kafir kufur akbar keluar dari Islam. Meskipun ada perbedaan dalam manahth (gantungan) hukumnya, beliau menggantungkan illat (alasan) kufurnya dalam hati, yaitu: perasaan menganggap hukum selain Allah itu lebih baik , mendatangkan maslahah dan manfaat sehingga dia mengganti hukum Allah dengan yang lainnya. Dan beliau memastikan bahwa ……………………………………… (mengganti dengan sendirinya menunjukkan atas mengutamakan).
I’tiqad yang seperti ini (menggantungkan hukum kufur terhadap hati dalam dosa mukaffir (dosa yang mengkufurkan) adalah termasuk i’tiqad murji’ah fuqaha’ (murji’ah yang paling mendekati ahlus sunnah dan banyak kesamaan dalam menentukan hukumnya meskipun berbeda dalam manath hukumnya). Adapun i’tiqad ahlus sunnah dalam dosa mukaffir baik berbentuk ucapan maupun perbuatan tidak perlu melihat apa yang ada dalam hati, sebab ucapan atau perbuatan  sendiri sudah mengkufurkannya, sedangkan tasyri’ (membuat syari'at) telah menjadi ijmaul ummah bahwa siapa yang melakukan adalah kafir – baca sekali lagi aqwal belasan ahlul ilmi salaf yang telah tersebut di atas – dan disini ana tambah lagi supaya lebih yakin yaitu imam salaf kita Asy Syathibi rahimahullah beliau berkata: Bahwasanya tasyari’ (membuat syari'at/undang-undang) secara muthlaq adalah kafir, tidak ada bedanya yang dibuat sedikit atau banyak…dan seterusnya. (lihat Al I’tisham 2/61). Maka tasyri’ adalah termasuk dosa mukaffir dari segi perbuatan.
I’tiqad ahlus sunnah ini tercermin atau diwakili dengan qaul Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:


Artinya:
Secara global: maka barang siapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu yang kufur, dia telah kafir dengan itu, walaupun dia tidak bermaksud menjadi kafir. (Ash Sharimul Maslul hal 177), insya Allah tentang murji’ah kita akan bahas seterusnya.
Adapun orang atau penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah  yang tidak Asy Syaikh Al Utsaimin kafirkan kufur akbar dan keluar dari millah yaitu yang tidak meremehkan dan tidak merendahkan hukum Allah dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih bermaslahah dan tidak bermanfaat bagi manusia, atau dia melakukannya karena nepotisme, suap, atau kepentingan duniawi dan sebagainya, yang mana mereka ini dihukumi oleh beliau dengan kufrun duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin dengan kata lain dosan besar ma’sujat bukan kufur akbar.
Dan sebagaimana qaul beliau di atas kalau kita simpulkan jenis penguasa ini tidak mungkin terjadi pada penguasa-penguasa sekuler pada masa kini termasuk penguasa Indonesia, sebab penguasa-penguasa sekuler hari ini jelas dengan gamblang mereka adalah mengganti hukum Allah bukan sekedar berhukum dengan selain hukum Allah, maka jenis penguasa yang dimaksud oleh Asy Syaikh Al Utsaimin adanya hanyalah di suatu negeri yang secara resmi syari'at dan undang-undangnya adalah syari'at dan undang-undang Islam. Lalu dalam sesuatu perkara penguasa tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagai contoh yang agak mendekati – wallahu a'lam – yaitu mungkin pemerintah Saudi Arabia sebab secara resmi hukumnya adalah syari'at Islam meskipun banyak penyelewengan namun yang diperselisihkan antara bagian  masyayikh dan kelompok mujahiddin  yang dianggap khawarij oleh sebagian orang adalah kufurnya raja Fahd dan penguasa-penguasa yang lainnya. Pihak sebagian masyayikh berpendapat bahwa para penguasa Arab Saudi belum kufur akbar, sedangkan menurut pihak mujahiddin para penguasa Arab Saudi telah kufur akbar karena telah melakukan beberapa amalan yang dinilai sebagai kufur akbar bawahan.
Adapun penguasa-penguasa yang sejak awal tidak memilih Islam sebagai jalan hidupnya, syari'atnya, undang-undangnya dan sebagainya, maka dengan jelas sejak awal telah kufur akbar tidak perlu diragukan lagi termasuk penguasa Indonesia.
Berkenaan dengan nasihat Asy Syaikh Al Utsaimin bahwa kita jangan terburu-buru untuk mengkafirkan para penguasa-penguasa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, karena hal ini termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (penguasa) di zaman ini. (lihat majalah Asy Syari’ah vol 1/08/1425 H/Juli 2004 M, hal 41). Nasihat tersebut bisa kita terima, kita tidak boleh terburu-buru mengkafirkan para penguasa, bahkan menurut ana terburu-buru mengkafirkan penguasa dengan kebodohan haram hukumnya, tetapi perlu diingat juga bahwa melambat-lambatkan dari mengkafirkan penguasa yang sudah jelas-jelas kufran bawahan, sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Shamit radliallahu 'anhu – bahkan sejak awal sudah kufur bukan sekedar karena berhukum selain yang diturunkan Allah – hal ini juga haram, bahkan kalau dengan sengaja membela penguasa tersebut dengan menutup-nutupi kufurnya, maka orang tersebut juga kafir[1], ………………… Dan perlu diingat dengan mendiamkan kufurnya para penguasa mafsadahnya besar sekali terhadap semua lapisan masyarakat, para ulamanya dilaknat karena menyembunyikan kebenaran dan jika mereka menyokong penguasa kafir dalam kufurnya maka mereka juga kafir sepertinya, para penguasanya, karena tidak merasa bahwa dirinya telah kafir dan murtad maka tidak terketuk untuk bertaubat, sedangkan rakyatnya akan tersesat jika tidak mengerti kedudukan penguasanya, dan masih banyak lagi mafsadahnya tidak mungkin ditulis di sini, perlu kutaib tersendiri. Wallahu a'lam.
4.      Asy Syaikh Umar Al Asyqar.
Kata-kata beliau mirip dengan kata-kata Asy Syaikh Abdullah Azzam, lihat buku beliau “Al Aqidah Fillah”, oleh Umar al Asyqar dal 28-29.
5.      Asy Syaikh Salman al Audah hafizhallah.
Buka “Shifatul Ghuraba” hal 64.
6.      Imam Al Juwaini rahimahullah.
Buka “Ghiyatsul Umam” hal 222.
7.      Asy Syaikh Abul Mundzir.
Buka “Khuthuth ‘Aridhah fi Manhajil Jama’atil Islamiyatil Muqatilah” hal 152.
8.      Asy Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq.
Baca “Al Hududusy Syar’iyyah Kaifa Muthabbiquha?” oleh Abdur Rahman Abdul Khaliq.
9.      Asy Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi.
Baca buku beliau “Kasyfusy Syubuhatil Mujadilina ‘an Asakirisy Syirki wa Ansharil Qawanin”.
10.  Asy Syaikh Aiman Adh Dhawahiri hafizhallah.
Baca “Ar Raddu ‘ala Syubuhatil Khathirah Lisy Syaikh Al Bani Bisya’nis Suhut ‘Anil Hukkamil Murtaddin” termasuk dari buku yang diedarkan oleh Jama’ah Jihad yang kedelapan.
11.  Asy Syaikh Umar Abdur Rahman hafizhallah
Buka “Ashnaful Hukam” oleh beliau hal 59-61.
12.  Asy Syaikh Abu Abdullah hafizhallah.
Baca “Taujihat Manhajiyah 1 & 2”
Catatan: yang tidak tertulis doa “rahimahullah” atau hafizhallah saya tidak tahu secara pasti apakah beliau masih hidup atau sudah wafat, tolong bagi yang mempunyai pengetahuan yang jelas menuliskannya.
d.      Syahadat mereka tidak genap rukunnya, maka dengan sendirinya terbatal.
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwasanya kalimat tauhid “……………”, mengandungi dua rukun, menafikan atau meniadakan dan mengitsbatkan atau menetapkan.
“……………”: menafikan, “……………...”: mengintsbatkan, tanpa keduanya tauhid dianggap tidak shah. Sedangkan yang termasuk wajib ditiadakan tidak boleh tidak adalah segala thaghut-thaghut. Allah Ta'ala berfirman (S. Al Baqarah: 256)

artinya: “…Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…”
Dan firman-Nya lagi: (S. An Nahl: 36)

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,…”
Ayat yang pertama dan dikuatkan ayat kedua dan banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengannya, menunjukkan bahwa orang yang pada dirinya tidak terkumpul dua rukun tauhid di atas berarti belum berpegang dengan “urwatul wutsqa”, dia termasuk orang-orang (al muwahhidin) bahkan dia termasuk bilangan kaum musyrikin atau kafirin.
Para penguasa sekuler yang mengambil tandingan-tandingan dan sekutu-sekutu selain Allah dari beraneka thaghut-thaghut baik thaghut ibadah, thaghut hukum dan thaghut ittiba’, walaupun mereka mengaku beriman kepada Allah, tetapi tidak cukup dengan pengakuannya beriman kepada Allah untuk masuk dalam lingkaran tauhid karena masih ada satu rukun lagi yang Allah Ta'ala sebutkan di awal ayat diatas sebelum menyebutkan beriman kepada Allah karena pentingnya yaitu mengkufuri thaghut.
Maka beriman kepada Allah dengan tanpa kufur terhadap thaghut adalah serupa dengan iman orang-orang Quraisy kepada Allah tanpa mengkufuri thaghut-thaghut mereka.
Iman yang seperti itu tidak bermanfaat sama sekali bagi orang-orang Quraisy di dunia maupun di akhirat, di dunia tidak terpelihara darah dan harta mereka sehingga mereka berlepas diri dan mengkufuri thaghut-thaghut mereka, adapun sebelum itu, imannya masih bercampur dengan syirik secara dzahir, tidak bermanfaat bagi mereka di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman (S. Yusuf: 106)
Dan syirik adalah pembatal iman perusak segala amalan, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S. Az Zumar: 65)
Adapun contoh-contoh- thaghut yang tidak mereka kufuri banyak sekali, hanya orang yang buta mata hatinya saja yang tidak dapat mengetahuinya. Mereka tidak mengkufuri thaghut-thaghut barat maupun thaghut-thaghut timur, bahkan menjadikan mereka sebagai wali-walinya, mereka tidak mengkufuri thaghut-thaghut dari Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, komunis, dan lain sebagainya, mereka tidak mengkufuri segala hukum dan undang-undang serta sistem-sistem thaghut dan lain sebagainya.
Dengan demikian berarti mereka tidak mewujudkan rukun tauhid pertama yaitu mengkufuri thaghut sehingga mereka bisa disebut muslim, hal ini jika misalnya mereka telah mewujudkan rukun kedua yaitu “beriman kepada Allah”, maka bagaimana pula jika mereka sendiri adalah para thaghut-thaghut yang disembah selain Allah, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.
e.      Para penguasa sekuler itu juga telah kufur dari bab bersenda gurau dengan agama Allah Ta'ala dan syari'at-syari'at-Nya.
Bagi seseorang yang masih ada setitik ghirah atau rasa cemburu terhadap ad dien ini dia mesti mengetahui bahwa para penguasa sekuler dan perangkat-perangkatnya tidak henti-hentinya bersenda gurau dan mencela Allah Ta'ala, Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan sesuatu dari ad dien ini dan membiarkan orang-orang yang melakukannya, hal ini dilakukan melalui berbagai media masa, seperti surat kabar, radio, TV dan sebagainya.
Pernah di Malaysia ada pihak yang rajin mengumpulkan data-data persendagurauan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sekuler yang mengaku Islam termasuk Dr. Mahathir, dalam beberapa masa saja telah terkumpul tiga puluh lebih senda gurau terhadap ad dien, itupun baru dari segi ucapan, misalnya: hukum rajam tidak layak lagi masa kini, hukum rajam dilaksanakan negara tidak dapat membangunkan bangunan-bangunan dan gedung-gedung sebab batu habis, kalau hukum potong tangan dilaksanakan kita ramai-ramai makan sup jari, jilbab tidak sesuai masa kini, jilbab pakaian wanita padang pasir yang banyak debu sekarang semua jalan sudah beraspal, kendaraan sudah berAC tidak perlu lagi tutup rambut, dulu tak ada pabrik shamphoo sekarang dimana-mana ada shamphoo, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya memelihara jenggot karena tidak ada pabrik silet, wanita tidak boleh memimpin karena wanita pada zaman shahabat radliallahu 'anhum bodoh-bodoh tidak sekolah, sedangkan sekarang wanita telah sebanding ilmunya dengan laki-laki, maka ayat tentang lelaki adalah qawwam bagi wanita tidak berlaku lagi, tafsir salaf sudah tidak sesuai lagi masa kini, maka wajib dibuat tafsir baru tentang layak dengan zaman kini, dan sebagainya dan sebagainya. Ini baru yang keluar langsung dari mulut-mulut thaghut-thaghutnya belum lagi yang berbentuk novel, drama, berbagai tulisan di surat kabar, diskusi-diskusi, karikatur-karikatur, pagelaran-pagelaran musik – ingat yang saya maksud bukan perbuatan menyanyinya atau membunyikan  alat musiknya – kalau ini adalah kabar biasa, tetapi yang saya maksud adalah memainkan ayat Al Qur'an/hadits disertai dengan musik dan joget-joget dan sebagainya.
Sayang di Indonesia tidak ada atau belum ada atau saya tidak tahu pihak yang mengumpulkannya. Tetapi menurut hemat saya yang sudah lama tidak tinggal di Indonesia pada hakikatnya sama saja datuk anjing itu satu. Adapun sebagian yang saya dapat record sendiri misalnya: Pancasila lebih sesuai daripada Al Qur'an, pancasila sudah cukup tidak perlu Al Qur'an, pancasila adalah final, hukum rajam dan potong tangan kejam tidak manusiawi, Indonesia rakyatnya majemuk tidak sesuai syari'at Islam, orang yang berusaha menegakkan negara Islam dan syari'at nya menjadi hujatan dan musuh utamanya dan lain sebagainya.
Ingat bahwa bersenda gurau dan mencela sesuatu daripada addien adalah termasuk dosa mukaffirah, pelakunya terkeluar dari lingkaran Islam alias murtad, hal ini disepakati oleh seluruh ulama ahlus sunnah wal jama'ah termasuk murji’ah fuqaha’ Asya’irah bahkan termasuk golongan Jahmiyah meskipun menganggap ada kemungkinan dalam batinnya masih ada iman, tetapi secara lahir mereka mengatakan murtad – golongan seperti ini dikafirkan oleh sebagian salaf termasuk imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, hanya satu golongan yang tidak mengkafirkannya, siapa mereka? siapa lagi kalau bukan ghulat murji’ah – dan golongan ini dikafirkan salaf.
Pengkufurannya berdasarkan firman Allah Ta'ala (S. At Taubah: 65-66) dan sebagainya.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Islam, mereka menunaikan shalat, shaum, mengeluarkan zakat bahkan telah keluar mengikuti peperangan yang besar yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu perang Tabuk, akan tetapi meskipun demikian Allah Ta'ala mengkafirkan mereka karena mengeluarkan kata-kata dari mulut-mulur mereka yang berisikan senda gurau dan main-main dengan Allah Ta'ala, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya. (rujuk Tafsir Ibnu Katsir 2/281-282)
Maka bagaimana pula menurut pendapatmu jika senda gurau tersebut dilakukan oleh manusia yang tidak bermoral dan rusak yang mengaku beragama Islam, sudah lebih kufur lagi.
f.        Dan  mereka juga kufur karena bermuwalat atau berwala’ (memberikan loyalitas) karena orang-orang musyrik khususnya orang-orang barat dan membantu mereka dalam memerangi para muwahhidin (orang-orang yang bertauhid).
Sebagai contoh misalnya adanya ikatan perjanjian keamanan termasuk saling tukar menukar informasi dengan negara-negara kafir, musyrik dan negara-negara riddah yang lain tentang para mujahid dan pejuang Islam yang mereka sebut teroris dan fundamentalis, dan di antara pelaksaannya seperti menyerahkan para muwahhidin dan mujahidin kepada musuh-musuh mereka dari thaghut-thaghut negara-negara lain.
Allah Ta'ala berfirman (S. Al Maidah: 51)

Oleh karena itu Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam hal-hal yang membatalkan Islam yang kedelapan yaitu: “Membantu orang-orang musyrik dan menolong mereka terhadap kaum muwahhidin (mukminin) adalah kufur.”
Dan cucu beliau yaitu Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab dalam buku beliau “Hukmu Muwalati ahlil Isyrak” dalam menerangkan firman Allah (S. Al Hasyr: 11). Beliau berkata: Sesungguhnya ayat ini turun pada orang-orang yang mendhahirkan Islamnya, dan pendhahiran mereka akan Islamnya diterima oleh kaum muslimin di dunia, maka mereka dipengaruhi sebagaimana kaum muslimin yang lain, karena kaum muslimin diperintahkan mengambil hukum dari segi dhahirnya, akan tetapi tatkala mereka mengadakan perjanjian kesepakatan dengan Yahudi untuk membantu mereka dalam melawan kaum mukminin – sedangkan Allah Ta'ala mengetahui bahwasanya kesepakatan mereka hanyalah dusta belaka – mereka telah mengadakan perjanjian dengan orang-orang ahli kitab perjanjian ukhuwah (persaudaraan) dan mereka mensifati bahwa orang-orang ahli kitab adalah saudara-saudara mereka, inilah yang mengkufurkan mereka, dan inilah makna kata-kata rahimahullah
Maka bagaimana pula dengan orang yang mengadakan pk untuk membantu dan menolong dengan orang-orang musyrik dari penyembah undang-undang barat maupun timur dan memerangi kaum mukminin dan menyerahkan mereka kepada pemerintahan-pemerintahan negara-negara mereka secara riil. Sebagai contoh: seorang mujahid yang tertawan atau tertangkap di Pakistan, atau di Malaysia, atau di Indonesia  atau di negara-negara Arab, maka para penguasa yang mengaku beragama Islam di negara-negara tersebut menyerahkan mujahid itu kepada thaghut-thaghut Amerika. Seorang mujahid yang dicari iblis Israil, dengan kehendak Allah dan taqdir-Nya lari ke Mesir, maka begitu tertangkap oleh thaghut Mesir, mereka menyerahkannya kepada iblis Israil dan sebagainya. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang sikap dan perangainya seperti ini lebih utama lagi termasuk dalam hukum ini yaitu bermuwalat kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, bekerja sama dalam memerangi kaum mukminin, dengan demikian mereka telah kufur.
g.      Mereka juga telah kafir akbar karena telah mengambil agama demokrasi sebagai ganti dari agama Allah.
Allah Ta'ala berfirman (S. Ali Imran: 19)

Artinya:Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.”
Islam adalah agama Allah yang benar yang diutus dengannya Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, adapun demokrasi adalah agama syirik, agama kufur, adalah batil lagi dhalah yang direka orang-orang musyrik dan orang-orang kafir barat setelah mereka muak terhadap kebrutalan pihak gereja dan penguasa di saat itu. Agama demokrasi menjadi kuat penyangga-penyangganya dengan terjadinya revolusi Prancis pada tahun 1789 M, yang di antara semboyannya, “Gantunglah raja terakhir dengan usus-usus pendeta yang terakhir”.
Di antara prinsip demokrasi yang kufur akbar dan syirik akbar adalah: Siyadatusy sya’b (kedaulatan rakyat) artinya kekuasaan tertinggi mutlak di tangan rakyat, tidak ada suatu kekuasaan manapun yang bisa menguasainya, kekuasaan dikembalikan kepada rakyat dan rakyatlah sebagai pemilik kekuasaan. Maknanya prinsip paripurna demokrasi adalah “kedaulatan di tangan rakyat”. (lihat Mausu’atus Siyasah, Dr. Abdul Wahhab Al Kiyali 2/756 atau Al Jami’ 3/20)
Dalam masih banyak lagi prinsip-prinsip yang kufur akbar yang lain, kurang tepat kalau kita bahas di sini seluruhnya, perlu buku tersendiri. Silakan baca “Al Jami’ 3/19-35 dan di tempat-tempat lain dalam kitab Al Jami’.
Maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwa demokrasi bukan dari agama Allah, oleh itu pasti batil dan bukan dari kebenaran. Allah Ta'ala berfirman (S. Yunus: 32)
Para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam itu mereka dengan lantang senantiasa menyatakan dan mengumumkan bahwa demokrasi merupakan pilihannya bukan memilih Islam, dan hal ini dilakukan bukan karena terpaksa bahkan dengan bangga dan penuh kesukaannya. Maka tidak syak lagi akan kufurnya.
Demokrasi dan Islam keduanya tidak pernah akan bertemu. Sedangkan Allah Ta'ala tidak menerima melainkan Islam yang murni, dan Islam yang merupakan agama Allah yang murni itu menjadikan tasyri’ (membuat syari'at) dan hukum adalah ahk Allah satu-satunya, sedangkan demokrasi adalah agama syirik lagi kufur yang menjadikan hukum dan tasyri’ bagi rakyat dan bukan bagi Allah, dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima dan tidak ridha kepada seseorang yang terkumpul pada dirinya antara kufur dan Islam atau antara syirik dan tauhid. Bahkan tidak menerima Islam dan tauhid dan tidak dianggap shah melainkan apabila seseorang mengkufuri dan berlepas diri dari seluruh agama selain agama Islam yang murni.
Allah Ta'ala berfirman (S. Yusuf: 37-38)
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim:

Artinya: Barang siapa yang mengucapkan ……………… dan mengkufuri terhadap apa yang disembah selain Allah, diharamkan hartanya dan darahnya dan hisabnya atas Allah.
Dan dalam riwayat Imam Muslim yang lain: ………………………………….
“Barang siapa yang mentauhidkan Allah….
Kemudian yang perlu dipahami bahwa agama-agama selain Islam, yang dimaksud dalam syari'at bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja, di antara makna “Ad dien” menurut syar’i adalah:
……………………
            “Jalan yang diikuti yang haq maupun yang batil,” (Al Jami’ 13/47). Maka segala sistem dan cara hidup yang diikuti adalah termasuk ad-dien, seperti agama-agama dan mazhab-mazhab, aliran-aliran, isme-isme buatan dan rekaan manusia misalnya Budha, Hindu, Kongfucu, Kebatinan, Sekuarisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sosialisme, Nasionalisme, Ba’atisme, Komunisme dan lain sebagainya.
Maka sebagaimana dalam Islam tidak boleh seseorang menjadi muslim yang Yahudi atau Muslim yang Nasrani, atau Muslim yang Hindu, maka begitu juga Allah Ta'ala tidak meridhai terhadap seorang muslim yang demokratik, karena Islam adalah dienullah sedangkan demokrasi adalah din yang kufur.
Allah Ta'ala berfirman (S. Ali Imran: 85)
Ini jika mereka para penguasa itu menghimpunkan antara Islam dan demokrasi, bagaimana pula jika mereka meninggalkan Islam dan erpaling dari syari’atnya, hukum-hukumnya, dan hudud-hududnya, dan mereka memilih demokrasi dan hukumnya dan tasyri’nya, tentu lebih sesat lagi.
h.      Mereka juga kufur dari segi di mana mereka telah menyamakan diri-diri mereka dan tuhan-tuhan mereka yang beraneka ragam dengan Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa (Allah Azza wa Jalla)
Menurut agama yang mereka ikuti, bahwa mereka kedudukannya lebih agung daripada Allah Yang Maha Segala-galanya, hukum-hukum Allah dipetieskan, ditolak ketepi dan dilempar ke belakang orang-orang yang menentang, melawan, memerangi hukum-hukum Allah dan bersenda gurau dengannya, malah dibela, dijadikan sebagai kekasih dan wali mereka, mereka melindunginya dengan undang-undangnya, mereka dijamin kebebasan i’tiqadnya dan mereka berhak hidup, padahal menurut agama Allah dia telah murtad.
Adapun orang-orang yang menyelisihi undang-undang yang mereka buat atau menghina undang-undangnya atau menentang tuhan-tuhannya yang bermacam-macam itu, mereka dimurkainya, disiksa, dipenjarakan, dan sebagainya. Dalam hal ini contoh-contoh konfkritnya banyak sekali antara lain:
Orang yang mencela Allah, dien-Nya dan Rasul-Nya dianggap tidak ada masalah apa-apa, ada juga di sebagian negara jika diperkarakan dan terbukti, tidak di penjara lebih dari satu atau dua bulan, pengadilannya pun di pengadilan sipil biasa. Sebaliknya jika yang dicela tuhan-tuhan mereka yang berserakan itu, seperti raja atau presidennya, mentri-mentrinya dan lain sebagainya dari wali-walinya, maka orang yang mencela itu diadili di pengadilan khusus misalnya mahkamah militer dan sebagainya dan kebanyakan hukuman yang dikenakan tidak kurang dari tiga tahun.
Mereka bukan saja menyamakan diri-diri mereka dan tuhan-tuhan mereka dengan Allah saja, bahkan melampaui batas dan mengagungkannya lebih dari mengagungkan Allah Ta'ala – hal ini jika memang pada asalnya mereka mengagungkan Allah.
Syirik orang-orang musyrik terdahulu mereka mencintai tandingan-tandingan atau sekutu-sekutu sebagaimana mencintai Allah, mereka menyamakan dalam mengagungkan atau membuat syari'at atau hukum atau ibadah, Allah Ta'ala berfirman (S. Al Baqarah: 165) dan firman-Nya lagi (S. Asy Syu’ara’: 97,98)
Adapun orang-orang yang musyrik pada masa kini, mereka benar-benar melampaui batas dan melacur yang mana mereka lebih mengagungkan diri-diri mereka, tuhan-tuhan mereka, rabb-rabb mereka, dan mengangkat mereka di atas kedudukan Allah. Allah Maha Tinggi terhadap apa saja yang mereka perkatakan dengan setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya.
Perkara ini tidak ada seorangpun yang telah memahami keadaan mereka dan undang-undang mereka, yang akan membantah, kecuali yang sengaja membutakan matanya dan menulikan telinganya.
Jika kita benar-benar mau memahami keadaan mereka dengan kaca mata ilmu syar’i yang benar, bahwasanya penguasa yang hakiki dan musyarri’ (pembuat undang-undang) yang tulen serta ketua menurut mereka adalah yang ditetapkan dan dibenarkan serta diputuskan di atas undang-undang yaitu bukan Allah dan agama-Nya, akan tetapi dia adalah thaghut mereka dan ilah mereka yang mereka mencintainya dan mengagungkannya lebih banyak daripada Allah, mereka murka karenanya, karena diennya, karena hukumnya, dan mereka menghukum, memenjarakan dan memberontak, yang mana hal serupa tidak mereka lakukan jika agama Allah yang dirusak dan syari'at-Nya yang dicela, dan demikian inilah yang terjadi sebagaimana yang kita saksikan di hadapan mata kita.
i.        Dan mereka kufur dari bab tasyri’ (membuat syari'at) sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.
Syirik tasyri’ ini merupakan syirik yang paling laris pada masa kini, peminat dan penggemarnya ramai, para penguasa dan sekutu-sekutunya siang malam menyeru dan menggalakkan manusia agar ikut serta berserikat masuk di dalamnya, mereka berusaha menjadikan manusia menyukai syirik tersebut. Mereka membuat syari'at dalam undang-undang dasar mereka undang-undang yang bertentangan dengan agama Allah dan tauhid-Nya. undang-undang dasar mereka memberikan hak secara muthlak kepada mereka untuk membuat syari'at dalam seluruh bab.
Kalau kita simak undang-undang dasar di negara-negara sekuler atau demokrasi, maka di sana akan kita dapati teks atau item yang menyatakan, misalnya: Bahwasanya kekuasaan legeslatif (membuat undang-undang atau syari'at) adalah digantungkan kepada presiden atau raja dan anggota Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Kekuasaan legislatif menjalankan wewenangnya sesuai dengan artikel undang-undang dasar, dan lain sebagainya.
Nash-nash atau teks-teks tersebut jelas-jelas bertentangan dengan tauhid dan syari’at Islam. Allah Ta'ala berfirman sebagai kecaman terhadap orang-orang musyrik (S. Asy Syura: 21) dan firman-Nya lagi (S. Yusuf: 39), dan Allah Ta'ala berfirman tentang mentaati dalam tasyri’ meskipun dalam satu masalah saja (S. Al An’am: 121)
Maka bagaimana pula yang memiliki wewenang secara muthlak untuk membuat syari'at, maka jelas bagaikan matahari di siang hari bahwasanya mereka telah menyekutukan Allah Azza wa Jalla dalam bab-bab tasyri’ dengan syirik akbar bawahan (jelas lagi gamblang).
Sesungguhnya undang-undang mereka menetapkan bahwasanya syari'at Islam adalah termasuk sumber utama dari beberapa sumber yang lain, hal ini merupakan bukti yang jelas bahwa mereka tidak mentauhidkan Allah dalam masalah tasyri’, bahkan untuk tasyri’ mereka memiliki sumber-sumber yang beraneka ragam ada yang pokok, ada yang cabang, dan tidaklah syari'at Islam menurut mereka melainkan salah satu dari sumber-sumber yang banyak itu dengan kata lain yang lebih jelas yang kufur: Sesungguhnya tuhan-tuhan dan rabb-rabb yang membuat syari'at di sisi mereka banyak dan bermacam-macam ada yang pokok dan ada yang cabang dan tidakalh Allah menurut mereka melainkan satu ilah dari tuhan-tuhan yang banyak itu. Maha Tinggi Allah dari kebohongan mereka dan dari apa yang mereka perkatakan yang setinggi-tingi-Nya dan sebesar-besar-Nya.
Dan barang siapa yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman mengenai undang-undang mereka, ia akan mengerti bahwasanya ilah mereka yang nomor wahid yang undang-undang tidak mungkin bisa ditetapkan atau diputuskan dan dibenarkan atau dilaksanakan  melainkan dengan tanda tangannya dia pada hakikatnya adalah thaghut mereka baik dia seorang raja atau presiden atau amir atau ketua. Dan sesungguhnya syari’at-syari’at Tuhan Yang Maha Tunggal lagi Maha Esa Yang di langit. Jika misalnya ada sebagian dari bab-bab tertentu yang diambil, maka menurut undang-undangnya hukum tersebut tidak bisa diberlakukan kecuali dengan keridhaan, pengakuan serta legitimasi Tuhan mereka yang berada di bumi. Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka ada-adakan setinggi-tinggi-Nya lagi sebesar-besar-Nya.
Ketahuilah bahwasanya syirik mereka lebih buruk daripada syirik orang-orang kafir Quraisy yang sama seperti mereka mempunyai tuhan-tuhan dan rabb-rabb yang banyak mereka menyekutukannya dengan Allah dalam beribadah.
Akan tetapi ibadah mereka adalah sujud dan ruku’ sementara ibadah para penguasa sekuler dan sebagainya itu taat dalam membuat tasyri’ dalam segala bab. Syirik mereka lebih buruk, karena orang-orang musyrik Arab mereka menjadikan Allah Azza wa Jalla sebagai tuhan mereka yang palng agung, yang paling tinggi dan yang paling besar, dan mereka mengaku bahwa mereka tidak menyembah tuhan-tuhan lain melainkan supaya tuhan-tuhan itu mendekatkan diri-diri mereka kepada Tuhan yang paling Agung yang di langit. Sehingga talbiyah sebagian mereka yang mereka ucapkan dalam haji:


Maksudnya:
      Aku menyambut seruan-Mu Ya Allah, aku menyambut seruan-Mu
      Aku menyambut seruan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu
      Melainkan satu sekutu dia bagi-Mu
      Engkau yang memiliki dia dan apa yang dimilikinya
                                                                                                                          
Adapun para musyirikin undang-undang, maka sesungguhnya mereka meskipun menyerah bahwasanya Allah adalah Dzat yang memberi rizqi, yang menghidupkan orang mati, yang menurunkan hujan dari langit dan yang menumbuhkan rerumputan, yang menyembuhkan dan Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki, betul mereka memang mempercayai bahwa urusan itu seluruhnya bagi Allah dan bukan milik raja, mereka atau amirnya atau presidennya, akan tetapi pembuatan syari'at/undang-undang, memerintah, dan hukum yang berlaku di sisi mereka mengatasi segala hukum dan tasyri’ ia pada hakikatnya milik raja mereka, presiden mereka, thaghut mereka, atau ilah mereka yang ada di bumi.
Maka mereka dalam hal syirik semisal dengan kuffar quraisy melainkan mereka ini lebih tambah lagi kufurnya sebab mereka mengagungkan perintah, hukum dan tasyri’ tuhan mereka, dan rabb-rabb mereka yang bermacam-macam yang ada di bumi lebih banyak daripada mengagungkan Allah, hukum-Nya dan tasyri’-Nya.
Maka sungguh celaka, rusak dan buruk bagi orang yang lebih kufur dari Abu Jahal dan Abu Lahab,

Artinya:Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” (S.An Nahl: 63)
(dikutip dari kitab “Kasyfusy Syubuhatil Mujadilin ‘an ‘asakirisy syirki wa ansharil qawanin hal 10-20 dengan beberapa perubahan untuk menyingkat dan menyesuaikan pembahasan)
j.        Para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam itu juga telah kufur dari bab menghalalkan (istihlal) sesuatu yang haram dan sebaliknya.
Adapun makna istihlal, hukumnya dan gambarannya adalah sebagai berikut:
1.      Makna istihlal menurut syar’i yaitu: menjadikan sesuatu yang diharamkan Allah halal, dengan sifat khusus maupun umum.
2.      Hukumnya: kufur akbar, dalilnya:
a.       Dari Al Qur'an (S. At Taubah: 37)
Dalam ayat tersebut Allah Ta'ala menerangkan bahwasanya menghalalkan apa yang diharamkan Allah adalah bertambah dalam kekufuran dan menambah dalam kekufuran adalah kufur.
b.      Ijma’ shahabat: dalam peristiwa Qudamah bin Madz’un yang mana dia minum khamr karena menyangka halal baginya sebab salah dalam mentakwil firman Allah Ta'ala (S. Al Maidah: 93). Maka Umar radliallahu 'anhu menerangkan kesalahannya terhadap apa yang diketahuinya, para shahabat bersepakat bahwasanya jika Qudamah bin Madz’un mengakui haramnya khamr dia dihukum had (cambuk). Tetapi jika dia tetap menganggap halal maka dia dihukum bunuh karena murtad, lalu dia merujuk kepada kebenaran dan mencabut penghalalannya. (H.R. Abdur Rajaq dengan sanad yang shahih sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/141).
Kedua dalil diatas menerangkan bahwasanya istihlal adalah kufur baik sifatnya khusu maupun umum. Yang dimaksud sifatnya khusus yaitu seseorang menghalalkan sesuatu yang haram untuk dirinya sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Qudamah bin Madz’un. Adapun yang bersifat umum yaitu seseorang menjadikan sesuatu yang haram sebagai sesuatu yang halal dengan cara membuat syari'at bagi yang lain, sebagaimana dalam masalah “…………...” (mengundur-undurkan bulan haram). Lihat At Taubah: 37. Inilah makna yang bersifat khusus maupun umum yang terdapat dalam ta’rif istihlal. Dan dari ta’rif tersebut dapat diketahui bahwasanya “istihlal tidak disyaratkan mesti membuat syari'at secara umum sehingga ia menjadi mukaffir (dosa yang mengkufurkan).
3.      Istihlal (menghalalkan yang haram) dapat diketahui dengan ungkapan tentang itu, yaitu sebagai berikut:
a.       dengan ucapan: sebagaimana An Nasi’ yang tersebut dalam ayat di atas, yang mana pelakunya menyeru di kalangan mm pada musim haji – pada zaman jahiliyah sebelum Islam – bahwa ia menjadikan bulan haram sebagai bulan halal pada tahun depan dan mengharamkan bulan Shafar sebagai ganti darinya. Dan sebagaimana kata-kata Qudamah bin Madz’un bahwa khamr tidak diharamkan atasnya.
b.      Dengan tulisan: karena tulisan berfungsi sebagai ucapan dalam banyak tempat, dan dalam qaidah fiqh dinyatakan “……………………..” (tulisan itu bagaikan/seperti ucapan). Lihat Syarhul Qawaidil Fiqhiyyah oleh Asy Syaikh Ahmad Az Zarqa’ hal 285. Lihat Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir 11/326-327.
4.      Bentuk-bentuk istihlal
a.       Dengan ucapan: sumpah yang disumpahkan oleh penguasa-penguasa negara dan lainnya untuk berpegang teguh dan menjalankan undang-undang dan qanun buatan, keduanya termasuk syari'at batil yang diharamkan, mereka bersumpah atas wajibnya beramal yang haram dan mewajibkan atas yang lainnya.
b.      Dengan tulisan: seperti nash-nash, item, dan artikel-artikel yang termaktub dalam undang-undang dasar dan qanun-qanun rekaan manusia seperti: membolehkan hal-hal yang haram secara qath’i, membolehkan riba, zina, khamr, judi, tabaruj, seni-seni mesum, dan membolehkan darah muslim dan hartanya dengan tanpa kebenaran dan pembolehan ini dengan bermacam-macam bentuk:
v     Di antaranya di nashkan di atas wajibnya beramal dengan yang haram sebagaimana nash undang-undang dasar bahwasanya hukum dalam mahkamah-mahkamah adalah berdasarkan qanun, sedangkan qanunnya adalah qanun batil, haram, syirik, mereka mewajibkan beramal dengannya, dan mewajibkan derajatnya lebih tinggi daripada membolehkan dan menghalalkan, karena yang mubah untuk anda, anda boleh melakukannya dan boleh tidak melakukannya. Adapun yang wajib, mesti dan wajib dilakukannya dan meninggalkannya ada hukumannya. Oleh karena itu mereka menghukum orang yang menyelisihi undang-undang mereka yang batil itu.
v     Di antaranya juga nash atas membolehkan darah muslim tanpa kebenaran yang syar’i, maka qanun mereka membolehkan bahkan mewajibkan membunuh seorang muslim yang keluar memerangi penguasa kafir dan berusaha menggulingkannya, muslim seperti ini dianggap sebagai mujrim (orang yang melakukan dosa) padahal ia adalah seorang mujahid fi sabilillah yang menunaikan kewajiban syar’i.
v     Di antaranya juga memberikan izin atau lisen perniagaan-perniagaan yang berniaga dengan hal-hal yang haram, seperti memberi lisen kepada bank-bank yang riba, lisen untuk membukan tempat-tempat hiburan mesum diskotik dan lain sebagainya, lisen tempat-tempat perjudian, pertaruhan, arak dan rumah-rumah tempat pelacuran di sebagian negara. Pemberian izin berarti mengizinkan dalam sesuatu, dan izin berarti ibahah (membolehkan). Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mandzur dalam kamus (lisanul Arab), dan barang siapa yang membolehkan yang haram yang telah disepakati haramnya ia telah kufur menurut ijma’. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu'ul Fatawa 3/267. Dari sini bisa dimengerti bahwasanya sebagian negara yang disebut negara Islam yang berhukum dengan Al Kitab dan As Sunnah dan melaksanakan sebagian hukum-hukum hudud secara syar’i, tetapi ia memberi lisen kepada bank-bank riba untuk beroperasi di negara tersebut, hal ini saja cukup untuk mengkufurkan negara tersebut. Karena pemberian lisen (tarkhish) adalah ibahah (membolehkan), ijazah (membolehkan), dan istihlal (menganggap halal) terhadap riba yang telah menjadi ijma’ atas haramnya.
v     Di antaranya juga nash atas membolehkan yang haram secara muthlak, seperti membolehkan riddah (murtad dari adalah Islam), hal ini tertulis dalam nash atau artikel dalam undang-undang dasar mereka, bahwasanya: kebebasan keyakinan dijamin undang-undang.
v     Dan di antaranya adalah: mendiamkan dan membiarkan perbuatan dosa dan tidak menghukum pelakunya. Sebab menurut undang-undangnya  perbuatan dosa itu tidak terlarang. undang-undang mereka mengnashkan  bahwasanya, “Tidak ada dosa dan tidak ada hukuman melainkan berdasarkan undang-undang.” Berkata salah seorang ahli qanun mereka: perkara yang tidak dianggap sebagai dosa oleh qanun (undang-undang) maka ia adalah mubah (boleh) menurut sifat aslinya dari segi pelanggaran hukum, tanpa melihat kondisi yang terjadi di dalamnya, yang tidak menjadi kewajiban atas hakim agar ia menghukum dengan tidak bersalah , kecuali terbukti tidak adanya nash atas pelangaran dosa yang terjadi yang disandarkannya. (Kitab Syarhu Qanunil Uquubat – al Qismul ‘amm – oleh Dr. Mahmud Musthafa hal 146).
            Dari bab ini berarti “riddah” dipandang sebagai sesuatu yang dibolehkan karena tidak dihukum atau dikenakan sangsi perbuatan tersebut oleh undang-undang yang biasa mereka sebut dengan hukum positif, maka seandainya ada seseorang yang mencela Allah dan Rasul-Nya orang tersebut tidak dihukum disaat itu, akan tetapi sebaliknya jika ia mencela sang raja di negara itu ia mesti dihukum dengan tuduhan mencela pribadi sang raja, sebab dalam nash undang-undang negara-negara kerajaan bahwasanya pribadi sang raja terpelihara tidak boleh disentuh.
Dan dari bab ini juga zina suka sama suka dianggap boleh, begitu juga arak dan main judi di tempat-tempat tertentu, demikian juga dibolehkan tabarruj (mendedahkan aurat), ikhtilath (percampuran lelaki dan wanita bukan mahram), seni-seni gila dan mesum dan sebagainya dari perkara-perkara yang haram.
Inilah hal-hal yang termasuk bentuk-bentuk pembolehan dan penghalalan yang mengkufurkan yang terkandung dalam undang-undang dasar dari qanun-qanun rekaan manusia yang ada yang dilazimi dan dijalankan oleh para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam dan perangkat-perangkatnya, yang dengan ibadahnya dan istihlalnya saja cukup mengkufurkan mereka.
(dikutip dari al Jami’ fi Thalabil Ilmisy Syarif 13/82-85)
Ketahuilah bahwa bab-bab syirk mereka dan kufur akbar bawahan mereka bermacam-macam dan banyak sekali, kalau kita sebutkan satu per satu tentu memerlukan banyak kertas, apa yang sudah disebutkan kami rasa cukup bagi orang yang menghendaki petunjuk. Adapun bagi orang yang telah Allah Ta'ala  tutup dan kunci mati hatinya meskipun gunung-gunung meletus di hadapannya tidak akan bermanfaat atau mendapat petunjuk.
Dari keterangan-keterangan tersebut menjadi jelaslah apa yang telah kami katakan sebelumnya bahwa mereka para penguasa sekuler yang telah melakukan kekufuran dari segala pintu itu tu layak menyandang gelaran yang sangat mulia itu seperti Sulthanullah fil Ardhi, Amir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Aimmatil Muslimin, dan sebagainya. Sebab mereka telah kufur sejak semula menjabat jabatannya. Maka barang siapa yang berpendapat bahwasanya mereka adalah pemimpin-pemimpin kaum muslimin yang shah yang berhak mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah diatur oleh syara’, lalu pendapat yang sesat lagi menyesatkan itu dikuatkan dengan dalil-dalil syara’ yang tidak pada tempatnya baik dari Al Kitab dan As Sunnah dan aqwalus salaf, maka sadar atau tidak sadar berarti telah terlibat:
………………………………………………………………
(Mengada-adakan atas nama Allah, atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan atas nama ulama salaf rahimahumullah dengan tanpa ilmu).
Dan perbuatan ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (lihat kata-kata Al Allamah Ibnul Qayyim yang tertera di hal 54-56) merupakan dosa yang sangat-sangat besar lebih besar daripada syirik dan kufur, tidak akan diampunka Allah Ta'ala kecuali bertaubat. – Wallahu A'lam –
Kemudian taruhlan kalau misalnya para penguasa itu tadinya betul-betul sebagai penguasa atau pimpinan kaum muslimin yang shah menurut syari'at – kami katakan sekali lagi mereka adalah orang-orang yang murtad, maka tidak shah menjadi pemimpin kaum muslimin – seandainya sebalumnya shah, dengan kata lain memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan, tetap menegakkan ad dien, tetap mendirikan shalat dan tidak melakukan kufur akbar bawaahan, maka meskipun mereka zalim, fasiq, kejam, bengis, dan sebagainya, mereka tetap shah sebagai pemimpin-pemimpin kaum muslimin yang berhak mendapatkan hak-haknya dan rakyat wajib menunaikan kewajibannya terhadap mereka dan tidak boleh keluar melawan mereka sebagaimana kesepakatan ulama ahlus sunnah wal jama'ah setelah berselisih sebelumnya, berdasarkan nash-nash di bawah ini:


Artinya:
Dari Mu’awiyah radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan) pada orang Quraisy tidak ada seseorang yang memusuhi mereka kecuali akan ditelungkupkan  wajahnya oleh Allah di dalam neraka, selama mereka menegakkan ad dien (agama). (H.S.R. Al Bukhari no. 7139).
Dalam hadits ini jelas lagi gamblang bahwa taqyid (ikatan) mentaati pemimpin adalah jika mereka menegakkan ad dien.
Berkata Imam An Nawawi rahimahullah: Bahwasanya tidak boleh keluar memerangi para khalifah (pemimpin-pemimpin) hanya karena zalim atau fasiq selama mereka tidak merubah sesuatu dari qaidah-qaidah ad-dien (agama). (Shahih Muslim Syarah An Nawawi 12/243).
Dalam hadits lain ditaqyid dengan shalat:
Dari hadits marfu’ dari Ummu Salamah radliallahu 'anha:




Artinya: akan ada para amir-amir kamu kenali dan kamu ingkari, maka barang siapa yang mengenal ia berlepas diri dan barang siapa mengingkari ia selamat, akan tetapi barang siapa yang ridha dan ikut, mereka berkata: Apakah kami tidak memerangi mereka? Beliau bersabda: Tidak, selama mereka shalat. (H.R. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ahmad)
Dan hadits Auf bin Malik radliallahu 'anhu:


Artinya: Dikatakan wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah kami tidak memerangi mereka dengan pedang? Maka beliau berkata: Tidak selama mereka mendirikan shalat di kalangan kamu. (H.R. Muslim, Ahmad, Ad Darimi)
            Dalam dua hadits tersebut dilarang memerangi pemimpin kecuali apabila meninggalkan shalat, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits di atas yang menyatakan ‘selama mereka menegakkan ad dien’ dan tidak juga bertentangan dengan hadits Ubadah bin Shamit radliallahu 'anhu yang Insya Allah akan disebutkan selanjutnya. Sebab meninggalkan shalat adalah kafir menurut ijma’ shahabat nash-nashnya banyak sekali antara lain dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim:

Artinya: di antara seseorang dan di antara kekufuran adalah meninggalkan shalat (H.S.R. Muslim)
Maka meninggalkan shalat adalah termasuk salah satu sebab dari sebab-sebab kufur akbar, penyebutan sebab meninggalkan shalat bersama (kufran bawahan), menurut qaidah ushul adalah menyebutkan yang khas sesudah yang ‘amm (umum) karena pentingnya dan sebagai perhatian, sebagaimana firman Allah Ta'ala:


Sesungguhnya Jibril dan Mikail dari golongan malaikat, meskipun demikian Allah Ta'ala sebutkan sesudah menyebutkan malaikat di antara hikmahnya adalah sebagai perhatian. Dan begitu juga meninggalkan shalat adalah termasuk kufur disebutkan tersendiri karena pentingnya dan peranannya. Ini juga sn dalil tentang kufurnya orang yang meninggalkna shalat. Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang dari keluar memerangi para pemimpin kecuali apabila mereka telah kufur dan beliau membolehkan keluar atas mereka dengan alasan mereka meninggalkan shalat, sebab dengan meninggalkan shalat berarti mereka telah kufur yang membolehkan untuk keluar memerangi mereka.
Adapun jika mereka kufur dengan sebab lain – bukan meninggalkan shalat – maka keluar atas mereka juga wajib berdasarkan keumuman hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu, dengan kata lain meskipun para pemimpin kaum muslimin masih menunaikan dan mendirikan shalat akan tetapi mereka melakukan kekufuran dari segi yang lain maka mereka juga kafir dan rakyat wajib keluar atas mereka. (lihat Al Jami’ 4/128-129)
Hadits Abdullah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu sebagai berikut:




Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil kami lalu membai’at kami, dan di antara bai’atnya agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat baik kami dalam keadaan suka maupun tidak suka, dalam kesusahan maupun kemudahan dan dalam keadaan diperlakukan yang tidak adil, dan hendaklah kami tidak mencabut kepemimpinan dari pemiliknya, beliau berkata: kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah.
(H.S.R. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim)
Hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu ini berfungsi sebagai qayd (pengikat) terhadap seluruh hadits-hadits yang memerintahkan kaum muslimin agar mendengar, taat, bersabar, menghormati, memuliakan dan sebagainya kepada para pemimpinnya dan yang melarang menentangnya, melawannya, keluar untuk memeranginya, mendoakan bunuh atasnya dan sebagainya.
Imam Al Bukhari meletakkan hadits ini dalam kitab shahihnya  dalam kitab “Al Fitan” sesudah hadits Ibnu Abbas radliallahu 'anhu:


Artinya: Barang siapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah. (H.S.R. Al Bukhari dan Muslim).
Maka hal ini sebagai isyarat yang menunjukkan bahwa hadits Ubadah sebagai pengikat terhadap hadits Ibnu Abbas radliallahu 'anhum, maknanya batas kesabaran selama tidak melakukan kufur bawahan.
Adapun penjelasan dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

Artinya: Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah.
Sabda beliau “……………….” Maknanya: jelas menunjukkan atas kekufuran artinya perbuatan yang dilakukan penguasa itu dosa mukaffir (dosa yang mengkafirkan). Dan sabdanya: “………………………………”, maknanya: adanya dalil syar’i yang jelas bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut adalah mukaffir (mengkufurkan).
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata: Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “………………………….”, artinya ada nash dari ayat maupun hadits yang jelas yang tidak mengandung takwil, dan tuntutannya bahwasanya tidak boleh keluar atas mereka selama perbuatan mereka mengandungi takwil. (Nailul Authar 7/361)
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa seandainya mereka semula merupakan para pemimpin yang shah di sisi syari'at, maka dengan kufur bawahan yang mereka lakukan bahkan berbagai kufur akbar bawahan telah mereka lakukan, dengan demikian telah gugurlah imarah atau kepemimpinan dari tangan mereka.
Berkata Imam An Nawawi rahimahullah, dalam mensyarah hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu diatas: Al Qadhi Iyadh berkata: para ulama telah berijma’ bahwa sesungguhnya imamah  (kepemimpinan) tidak diberikan kepada orang kafir dan bahwasanya seandainya datang secara tiba-tiba kekufuran terhadapnya ia diturunkan… (Shahih Muslim Syarah An Nawawi 12/229)
Seterusnya apa yang wajib dilakukan kaum muslimin apabila mereka melihat penguasanya telah melakukan kufran bawahan (kufur yang jelas)? Mereka wajib keluar terhadapnya untuk menggulingkannya dan menggantikannya dengan pemimpin yang adil, adapun dalilnya sebagai berikut: yaitu nash hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu diatas.
Imam An Nawawi rahimahullah dalam mensyarah hadits ini membawakan qaul Al Qadhi Iyadh sebagaimana yang telah saya tuliskan di atas sebagiannya dan lanjutannya adalah: Maka jikalau datang secara tiba-tiba kekufuran atas dirinya dan merubah syari'at atau bid’ah dia telah keluar dari wilayah (kepemimpinan) nya dan telah gugur ketaatan kepadanya. Dan wajib atas kaum muslimin memberontaknya (melawannya) dan mencopotnya dan menggantikannya dengan imam yang adil jika mungkin, maka jika yang demikian itu tidak bisa melakukannya kecuali kelompok tertentu, maka wajib atas mereka memberontak dengan menggulingkan penguasa kafir itu, dan tidak wajib memberontak terhadap penguasa yang mubtadi’ (membuat bid’ah) kecuali jika mereka yakin mampu melakukannya, jika ternyata lemah tidak wajib memberontak, dan seorang muslim wajib berhijrah dari buminya ke tempat lain dan lari pergi dari situ untuk menyelamatkan agamanya. (Shahih Muslim Syarah An Nawawi 12/225)
Ijma’ yang disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dinaql (dinukil) juga oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Baththal dalam Fathul Bari 13/7, dan dari Ibnut Tin dari Ad Dawudi dalam  Fathul Bari 13/8, dan dari Ibnut Tin Fathul Bari 13/116. Adapun kata-kata Ibnut Tin: Dan sungguh mereka telah berijma’ bahwasanya – seorang khalifah – apabila dia mengajak kepada kekufuran atau bid’ah dia berontak, dan mereka berselisih jika dia menggosob harta dan menumpahkan darah serta merusak apakah diberontak atau tidak, Berkata Ibnu Hajar: Adapun pengakuan bahwa apabila seorang khalifah menyeru kepada bid’ah dia diberontak menurut ijma’, pengakuan ini tertolak kecuali jika menganjurkan kepada bid’ah yang menyampaikan kepada kekufuran yang jelas…(Fathul Bari 13/124)
Dan Ibnu Hajar sendiri telah menetapkan dalam Fathul Bari 12/123, beliau berkata: …Dan kesimpulannya bahwasanya menurut ijma’ dia di ma’zulkan (digulingkan) karena kufur, maka wajib atas setiap muslim melakukan hal itu, barang siapa yang kuat melakukannya dia akan mendapatkan pahala dan barang siapa yang menjilat maka dia berdosa, dan barang siapa yang lemah wajib berhijrah dari negeri itu.
Dan disebutkan juga dalam Fathul Bari 13/11: …Dan dari sebagian mereka bahwa wilayah (kepemimpinan) tidak boleh diberikan kepada orang fasiq sejak semula, maka jika terjadi melakukan kezaliman sesudah dia adil sebelumnya, maka mereka berselisih tentang bolehnya memberontak dan yang benar adalah dilarang kecuali jika dia kufur maka wajib keluar memberontak atasnya.
Adapun qaul Ibnu Baththal yang dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/7 adalah: Para fuqaha’ telah berijma’ atas wajibnya mentaati sulthan yang menang (berkuasa) dan berjihad bersamanya, dan sesungguhnya mentaatinya lebih baik daripada keluar memberontaknya, karena pada yang demikian itu dapat menahan pertumpahan darah dan menenangkan rakyat jelata, dan hujjah mereka adalah khabar (hadits) ini dan lainnya yang menguatkannya, dan mereka tidak mengecualikan dari yang itu kecuali jika penguasa melakukan kufur yang jelas, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya bagi orang yang mampu melakukannya.
Allah Ta'ala berfirman (S. Al Anfal: 39)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: Maka apabilah sebagian ad dien (agama) bagi Allah dan sebagiannya bagi selain Allah, wajib memerangi mereka sehingga ad dien seluruhnya milih Allah. (Majmu'ul Fatawa 28/469)
Beliau berkata lagi: ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya kelompok yang memiliki kekuatan yang menolak dari sebagian kewajiban-kewajiban Islam yang dhahir lagi mutawatir, maka sesungguhnya wajib memeranginya. (Majmu'ul Fatawa 28/540)
Berkata Al Allamah Ibnu Katsir rahimahullah sesudah beliau menyebutkan  kitab undang-undang Al Yasiq yang direka oleh Jenghis Khan: maka al Yasiq menjadi syari'at yang diikuti di kalangannya. Mereka mendahulukan (memprioritaskan) nya  diatas berhukum kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, maka barang siapa yang berbuat demikian dari mereka, maka dia adalah kafir wajib memeranginya sehingga din kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya lalu tidak berhukum kepada selainnya dalam hal yang sedikit maupun banyak. (Tafsir Ibnu Katsir 2/70)
Berkata al Allamah Asy Syaukani rahimahullah tentang orang-orang yang berhukum kepada hukum-hukum thaghut: dan tidak ada syak dan tidak ragu-ragu lagi bahwasanya ini adalah kufur terhadap Allah Subhaanahu wa ta'aala dan syari'at-Nya yang diperintahkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi wa sallam, bahkan berarti mereka telah mengkufuri seluruh syari'at dari Nabi Adam alahis salam sampai sekarang. Dan mereka itu jihad terhadap mereka adalah wajib dan memeranginya adalah fardhu a'in, sehingga mereka menerima hukum-hukum Islam, mengakuinya serta tunduk kepadanya, dan mereka menghukum di antara mereka dengan syari'at yang suci dan keluar dari segala yang mereka berada di dalamnya dari thaghut-thaghut syaitan. (ad Dawaaul ‘aajil lidafil ‘aduwwish shail, hal 34)
Dan berkata Asy Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi rahimahullah, kemudian jik berkuasa orang yang tidak memenuhi  syarat-syarat, tidak sepatutnya terus ditentang, karena pencopotannya pada ghalibnya tidak terbayangkan kecuali dengan peperangan dan kesempitan demi kesempitan dan akan terjadi kerusakan yang lebih keras dari maslahah yang diharapkan…dan kesimpulannya maka apabila seorang khalifah kufur dengan mengingkari sesuatu yang dharuri dari dhururiyat (hal-hal yang merupakan keharusan) dalam ad dien, maka halal memeranginya bahkan wajib memeranginya, dan jika tidak kufur, tidak diperangi. Yang demikian itu karena sesungguhnya begitu dia kufur telah hilanglah maslahat kedudukannya sebagai pemimpin, bahkan kerusakannya dikhawatirkan akan menimpa rakyat, maka memeranginya adalah termasuk jihad fi sabilillah. (Hujjatullahil Baalighah 2/399)
Dan masih berpuluh-puluh lagi aqwal ahlul ilmi yang salaf maupun yang khalaf yang mirip dengan yang telah disampaikan, saya rasa sudah cukup bagi orang yang masih berakal sehat.
Dari keterangan tersebut menjadi jelas dan gamblang bahwasanya untuk menghadapi para penguasa yang telah kufur termasuk para penguasa thaghut pada masa kini, telah diputuskan oleh nash syari'at yaitu dari nash Al Qur'an antara lain firman Allah Ta'ala ( S. Al Anfal: 39). Dan dari nash As Sunnah antara lain hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dan dari ijma’ ahlul ilmi, “bahwasanya kaum muslimin wajib keluar melawan dan memberontak mereka, berjihad dan memerangi mereka, oleh karena itu tidak boleh dan tidak ada ruangan untuk berijtihad karena wujudnya nash dan ijma’. Dan sesungguhnya siapa saja yang berijtihad padahal ada nash dan ijma’ dalam masalah ini maka sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang jelas. (Lihat Ma’alim Asasiyah fil Jihad, Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz hal 39 pernerbit Al Aqwam)
Al Allamah Ibnu Katsir rahimahullah dalam mentafsirkan firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 115) di antara kesimpulannya bahwa sesuatu yang ijma’nya telah disepakati kebenarannya oleh ummat Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam (ahlul ilmi yang tsiqqah) maka terjamin benarnya sebab ummat Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai penghormatan dan kemuliaan bagi Nabinya, mereka tidak akan berijma’ atau bersepakat dalam kesalahan, maka ijma’ adalah sebagai hujjah dan haram menyelisihinya, barang siapa menyelisihi ijma’ berarti telah mengikuti selain jalan orang-orang beriman. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/567-568)
Maka tidak ada jalan lain bagi  kaum muslimin untuk menghadapi penguasa thaghut selain “Jihad Fi Sabilillah” jika mampu, kalau tidak mampu wajib i’dad (persiapan untuk berjihad). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Sebagaimana wajibnya persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan pacuan kuda pada masa gugurnya wajibnya jihad karena lemah, maka sesungguhnya sesuatu kewajiban yang tidak sempurna keculai dengannya maka ia wajib (…………………………………………….). Majmu'ul Fatawa 28/259.
Allah Ta'ala berfirman (S. Al Anfal: 60)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
……………………………………………………….
Artinya: Ketahuilah bahwasanya kekuatan itu adalah melempar beliau ulang tiga kali. (H.R. Muslim dan Uqbah bin Amir radliallahu 'anhum)
Maka sesatlah orang-orang yang menempuh jalan lain yang tidak masyru’ dalam menghadapi penguasa-penguasa thaghut, misalnya dengan cara berparlemen yang syirik dan sebagainya dengan alasan tidak boleh memberontak penguasa tersebut sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah. Memang benar kalau secara jujur tidak mampu melawan mereka – bukan karena cinta dunia atau mau ongkang-ongkang tidak semangat berjihad – tidak diwajibkan melawan tetapi diperintahkan i’dad mempersiapkan diri untuk berjihad bukan malah ikut pesta syirik dan kufur mereka dan ada juga sebagian kaum muslimin yang dengan kebodohannya menyokong mereka dan kedudukannya dengan hujjah-hujjah batilnya, lalu bagaimana jika tidak mampu menunaikan i’dad, maka wajib hijrah, jika tidak mampu dan tidak ada jalan untuk hijrah, maka tetap tinggal di tempat sebagai golongan tertindas dan banyak berdoa kepada Allah seperti kaum mustadhafin dari kaum muslimin (S. An Nisa’: 75)
Wallahu a'lam .


[1] Majmu'ul Fatawa 35/373.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar