Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 08


Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif buku 9 hal 2-85.
1.      Pembahasan tentang iman.
            Dalam bahasan masalah iman ini, tentunya saya tidak mungkin membahas keseluruhannya, saya hanya akan mengambil poin-poin tertentu yang dapat menjelaskan bahasan utama kita, minimal bisa membantu para pembaca dalam memastikan syubuhat-syubuhat dalam majalah Asy Syari’ah khususnya dalam masalah iman termasuk paham murjiahnya. Adapun bahasannya sebagai berikut:
1.      Pengertian iman dan hakikatnya.
Pendapat yang paling rajih menurut ahlus sunnah bahwasanya iman adalah: ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Berkata Ibnu Hajar rahimahullah bahwasanya: Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.(Fathul Bari: 1/47)
Penjelasan ringkas:
§         Yang dimaksud qaul (ucapan) yaitu: ucapan hati dan lisan.
§         Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.
§         Adapun yang dimaksud ucapan hati yaitu ma’rifahnya dan tashdiqnya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.
§         Adapun ucapan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain.
§         Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.
§         Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.
§         Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. (rujuk Al Jami’ buku 1 hal 116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian iman dan hakikatnya yang termasuk katagori ahlus sunnah.
Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.
Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap murjiah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)
Perhatian:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak memasukkan ucapan-ucapan tentang iman dan hakikatnya yang berbau murjiah dalam bingkai aqwal ahlus sunnah, misalnya antara lain :
      1.   Iman adalah: ucapan lisan, tashdiq (membenarkan) dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan. Ucapan ini syadz (syadz adalah penyelisihan tsiqqah (yang terpercaya) terhadap tsiqqat (orang-orang yang terpercaya)) dan di samping ganjilnya ia merupakan ucapan yang salah. Kesalahannya bahwa dalam ta’rif tersebut menggunakan lafadz “tashdiq” (membenarkan) berarti telah menggugurkan sebagian kewajiban-kewajiban hati dalam iman sebagaimana yang termuat dalam ta’rif sebelumnya.
            Meskipun ucapan tersebut ganjil, syadz, dan salah, namun ada di antara salah bersikap menggunakannya. Misalnya Abu Tsaur Al Lalikaai menasabkan kepadanya dalam kitabnya Syarhu I’tiqadi Ahlus Sunnah, 2/849, dan Ibnu Baththah dalam kitabnya Al Ibanah an Syari’atil Firaqin Najiyah 2/760, Ibnu Baththah dalam hal ini mengikuti syaikhnya Al Aajni dalam bukunya Asy Syari’ah hal 105-119.
            2. Ta’rif Ibnu Hajar bahwa iman adalah: i’tiqad dengan hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan arkan (yang rukun-rukun). (Fathul Bari 1/46)
            Irja’ (murji’ah)nya: tidak memasukkan amal (perbuatan) dalam hakikat iman tetapi menganggapnya sebagai syarat kesempurnaan iman.
            3. Ta’rif Ibnu Hazm, bahwa iman adalah keyakinan dengan hati dan ikrar dengan lisan. (al Fashl 3/255)
            Ucapan ini berarti perbuatan bukan termasuk hakikat iman, maka jelas bertentangan dengan ta’rif ahlus sunnah.
            4. Ta’rif bahwa iman adalah tashdiq (membenarkan) saja: ini merupakan inti dari semua ucapan golongan murjiah.           
2.      Martabat (tingkatan) iman.
Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


Artinya: Iman adalah tujuh puluh (4-9) atau enam puluh (4-9) cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “……………………” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. (H.S.R. Muslim)
Maka iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.
Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian. Adapun tiga tingkatan tersebut yaitu:
1.      Tingkatan pertama: Ashlul Iman (dasar iman)
Iman dianggap tidak ada, tanpa adanya dasar iman, dan dengannya selamat dari kekufuran dan masuk dalam iman, dan pemiliknya termasuk golongan orang-orang yang diseru oleh Allah Ta'ala dengan firman-Nya “…………………………..” (wahai orang-orang yang beriman), dan ia mengandungi cabang-cabang yang iman dianggap tidak shah kecuali dengan menyempurnakannya.
a.       Terhadap hati: Mengetahui apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara global dan membenarkannya serta patuh kepadanya, termasuk juga dalam dasar iman sebagian amalan-amalan hati yang lain seperti cinta, takut (khasyyah), ridha dan taslim (menyerah) kepada Allah Ta'ala.
b.      Terhadap lisan: ikrar dengan kalimat syahadatain.
c.       Terhadap anggota badan: perbuatan-perbuatan anggota badan yang mengkufurkan orang yang meninggalkannya, seperti: shalat, dan rukun Islam yang lain menurut sebagian ulama.
      Dan qaidahnya bahwa sesuatu yang masuk dalam dasar ilmu dari amalan-amalan baik yang berupa melakukan ataupun yang meninggalkan: bahwasanya setiap amal yang kufur orang yang meninggalkannya, maka amal tersebut berarti termasuk dari dasar iman (seperti tashdiq (membenarkan), inqiyad qalbi (patuh secara hati), dan ikrar dengan lisan dan shalat). Dan setiap amal yang kufur pelakunya, maka meninggalkannya adalah termasuk dari dasar iman (seperti mengolok-olok terhadap agama dan berdoa kepada selain Allah), yang demikian itu karena sesungguhnya lawan dasar iman adalah kufur.
      Karena kufur merupakan lawan terhadap dasar iman, maka sesungguhnya setiap dosa mukaffir (yang mengkufurkan) – dari meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram – maka ia adalah merusakkan dasar iman. Dan setiap orang yang tidak memenuhi dasar iman atau merusakkan maka dia kafir. Dan patokan, dosa yang mengkufurkan adalah jika tegak dalil syar'i yang menyatakan bahwasanya ia adalah kufur akbar. Insya Allah keterangannya dalam bahasan qaidah takfir nanti.
Dan barang siapa yang menunaikan dasar iman sungguh dia telah selamat dari kekufuran dan mesti masuk surga sejak mula atau pada akhirnya. Jika dia menunaikan “iman yang wajib” dengan sempurna (tingkatan iman kedua), dia masuk surga sejak mula. Dan jika dia kekurangan dalam iman yang wajib dan Allah Ta'ala mengampuni kekurangannya, dia masuk surga sejak awal, dan jika Allah Ta'ala tidak mengampuni kekurangannya dalam “iman yang wajib” dia masuk neraka sesuai dengan kadar dosanya, kemudian dia keluar darinya dengan sesuatu yang ada padanya dari dasar iman untuk masuk surga sebagai tempat kembalinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


Artinya: Sungguh benar-benar akan menimpa terhadap beberapa kaum pukulan siksa dari neraka karena dosa-dosa yang mereka lakukan sebagai hukuman, kemudian Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga dengan karunia rahmat-Nya, mereka dipanggil “Al jahannamiyyin”. (H.S.R.Al Bukhari dari Anas radliallahu 'anhu no.7450.)
Mereka pada akhirnya masuk surga karena ada pada diri mereka dasar iman sebagai lawan terhadap kekufuran. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:



Artinya: Sehingga apabila Allah telah selesai dari mengadili di antara hamba-hamba dan berkehendak dengan rahmat-Nya mengeluarkan siapa yang Ia kehendaki dari penghuni neraka. Ia memerintahkan kepada para malaikat agar mengeluarkan dari neraka siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah dari orang yang Ia hendak merahmatinya dari orang yang bersaksi, “bahwasanya tiada Illah (Tuhan) selain Allah, maka para malaikat mengenali mereka dalam api neraka dengan bekas sujud. (H.S.R. Al Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu no.7437).
Maka mereka keluar dari api neraka dengan dasar iman yang ada pada diri menurut, dan dari cabang-cabangnya yang terpenting yang disebutkan dalam hadits termasuk adalah ikrar dengan syahadatain (………………………) dari orang yang bersyahadat dan shalat (……………………) dengan bekas sujud, dan meninggalkan mukaffirat (perkara-perkara yang mengkufurkan) yaitu (………………………) adalah dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun
Maka barang siapa yang menunaikan dasar iman, dia masuk surga sejak mula ataupun pada akhirnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


Artinya: Itu adalah Jibril datang kepadaku, lalu berkata: Barang siapa yang mati dari ummatku yang tidak menyekutukan dengan Allah sesuatupun dia masuk surga. Berkata Abu Dzar: Aku katakan: meskipun dia berzina dan mencuri? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: meskipun di berzina dan mencuri. (H.S.R. Al Bukhari no. 6444)[1]
Dan barang siapa yang tidak menunaikan dasar iman atau merusakkannya maka dia adalah kafir termasuk penghuni neraka dan tidak keluar darinya, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S. Al Maidah: 36-37)
Itulah tingkatan yang pertama dari tingkatan-tingkatan iman.
2.      Tingkatan kedua : Iman yang wajib yaitu sesuatu yang lebih dari dasar iman dari amalan yang wajib-wajib dan meninggalkan yang haram-haram.
Qaidahnya sesuatu yang termasuk dalam iman yang wajib dari amal-amal (baik yang melakukan atau meninggalkan): Bahwasanya setiap amalan yang ada ancamannya dalam meninggalkannya dan tidak kufur yang meninggalkannya, maka berarti termasuk dari iman yang wajib (seperti shidq (jujur/benar), amanah, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), dan jihad yang wajib), dan setiap amal yang ada ancamannya dalam melakukannya dan tidak kufur pelakunya, maka meninggalkannya termasuk dari iman yang wajib (seperti zina, riba, mencuri, minum khamr, dusta, ghibah (menggunjing), dan adu domba)
Manusia dalam iman yang wajib ada dua derajat:
1.      Derajat pertama: mengurang-ngurangkan terhadapnya dengan meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram – sesudah menunaikan dasar iman – maka mereka ini ashhabul kabair (orang-orang yang menyampurkan antara amal shalih dan buruk) dari ahlu tauhid, atau ushaatul muwahhidin (ahli-ahli maksiat dari orang-orang yang bertauhid) atau fasiq milli (fasik yang tidak keluar dari millah), dan derajat ini dalam Al Qur'an (S.Fathir: 32) disebut “…………………………” artinya: maka di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam tafsir. Maka barang siapa yang keadaan seperti ini, maka dia termasuk ahlul wa’id (orang yang terkena ancaman siksa) jika dia mati sebelum bertaubat akan tetapi dia fil masyiah (kedudukannya tertakluk kepada kehendak Allah). Jika Allah menghendaki, mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga sejak mula tanpa disiksa sebelumnya. Dan jika Allah menghendaki menyiksanya sesuai dengan kadar dosa-dosanya kemudian Allah mengeluarkannya dari neraka dan memasukkannya de dalam surga dengan apa yang ada pada dirinya dari dasar iman. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash yang telah disampaikan diatas.
                        Adapun dalil yang menunjukkan bahwasanya dia berada dalam masyiah (kehendak Allah) yaitu firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 48). Maka para pelaku dosa dari ahlu tauhid pengampunan dosa-dosa mereka tergantung di atas kehendak Dzat Yang Maha Pengasih adapun dari sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut:





Artinya: Bebai’atlah kamu kepadaku bahwa kamu tidak menyekutukan dengan Allah sesuatu pun, dan kamu tidak mencuri, dan kamu tidak berzina, dan kamu tidak membunuh anak-anak kamu, dan kamu tidak akan berbuat dusta yang kamu ada-adakan antara tangan dan kaki kamu (maksudnya: mengada-adakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan, seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si fulan bukan anak suaminya dan sebagainya), dan kamu tidak akan durhaka dalam urusan yang baik, maka barang siapa yang memenuhi di antara kamu, maka pahalanya atas Allah, dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari itu lalu dihukum di dunia maka ia sebagai kifarat (penghapus dosa) baginya, dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari itu kemudian Allah menutupinya atasnya, maka ia kepada Allah, jika Allah menghendaki memaafkannya dan jika Ia menghendaki menyiksanya. (Al Hadits Mutafaq alaihi)
Dan dikecualikan dari pengampunan dosa dengan hukuman (siksaan) dan keadaannya dalam masyiiah adalah: orang yang murtad yang ditunjukkan (diisyaratkan) kepadanya dalam hadits dengan sabda beliau: “…………………………..,”artinya: hendaklah kamu jangan menyekutukan dengan-Nya suatu pun, apabila dia dibunuh karena murtad, hukuman itu tidak menjadi kifarat baginya, dan jika dia mati dalam keadaan murtad, dia tidak dalam masyiiah berdasarkan firman Allah Ta'ala (S.An Nisa’: 48) baik dia dihukum di dunia di atas murtadnya atau tidak dihukum. (lihat Fathul Bari 1/64-68, dan 12/112)
2.      Derajat kedua: Yaitu orang-orang yang menunaikan iman yang wajib dengan sempurna tidak mengurang-ngurangkan di dalamnya dan tidak menambahkan atasnya – sesudah menunaikan dasar iman – maka ini adalah mukmin yang berhak mendapatkan janji Allah (surga) dan selamat dari ancaman siksa (neraka), maksudnya bahwa dia berhak masuk surga sejak mula tanpa didahului siksa dengan karunia Allah sesuai dengan janji-Nya yang benar, tingkatan atau derajat ini derajat al muqtashidin. (S.Fathir: 32). “………………………,” artinya: Dan di antara mereka ada yang pertengahan.
            Dan mengenai kedudukan mereka ini, juga diriwayatkan dalam sebuah hadits, ada seseorang yang bertanya tentang syari'at-syari'at Islam, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan kepadanya tentangnya dia berkata: Demi dzat yang memuliakanmu dengan kebenaran, saya tidak akan melakukan yang sunnah suatu pun, dan saya tidak akan mengurangkan suatu pun dari yang Allah fardhukan ke atasku, maka berkatalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

Artinya: Dia beruntung jika dia benar atau dia masuk surga jika dia benar. (al hadits muttafaq alaih dan lafadz al bukhari no. 1891)
Maka menunaikan yang fardhu-fardhu tanpa yang tathawwil (sunnah) ini adalah sifat iman yang wajib, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kabar gembira kepadanya dengan keberuntungan dan masuk surga dengan itu.
Catatan: Berilmu tentang kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang termasuk dalam dasar iman dan iman yang wajib hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, ada yang fardhu ‘ain secara khusus yaitu bagi yang berkewajiban saja, misalnya orang yang wajib menunaikan haji karena telah mampu menunaikannya maka dia wajib mempelajarinya rukunya, syaratnya, tata caranya, dan segala seluk beluknya. Berilmu kepadanya wajib karena beramal dengannya wajib dan tersusun di atas mengurang-ngurangkannya ancaman kufur atau fasik, sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa amalan mesti didahului dengan ilmu, maka berilmu dengan hal-hal tersebut berarti hukumnya wajib sebab hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Tujuan: memenuhi dasar iman dan iman yang wajib dengan menunaikan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan, dan wasilahnya adalah: mengetahui (berilmu) dengan hal-hal yang diwajibkan dan yang dilarang.
3.      Tingkatan ketiga: iman yang mustahab, yaitu sesuatu yang lebih dari iman yang wajib terdiri dari perkara-perkara yang mandubat (disunahkan) dan mustahabbat (yang disukai), dan meninggalkan yang makruh-makruh dan yang musytabihat (samar-samar antara halal dan haramnya). Maka barang siapa yang menunaikan perkara-perkara tersebut – beserta dasar iman dan iman yang wajib – maka dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu yang berbuat kebaikan yang berhak masuk surga sejak mula dalam tingkatan yang lebih tinggi daripada muqtashidin yang tingkatan “………………………,” artinya: Dan di antara mereka ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah (S.Fathir: 32)
Allah Ta'ala berfirman (S.Fathir: 32):


Demikianlah tiga martabat atau tingkatan iman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637). Berkata Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz penulis Al Jami’ kalaulah syaikhul Islam mengatakan, “yang ashl (dasar) ia tidak wujud tanpa dengannya” tentu lebih afdhal daripada ucapannya,  “ia tidak sempurna tanpa dengannya.” Sebab iman tidak sempurna dengan ashl (dasar) saja, bahkan dengan semua tingkatannya yang tiga, dengan kumpulan ketiga-tiganya baru dinamakan iman yang kamil (sempurna). Sebagaimana ucapan syaikhul Islam sendiri: ia (iman) adalah seluruh apa yang diperintahkan Allah dengannya, maka ini adalah merupakan iman yang kamil lagi sempurna. (Majmu'ul Fatawa 19/293)
            Iman yang kita sebutkan tiga martabatnya tadi adalah iman yang hakiki  (sebenarnya) yang berlaku hukum-hukum akhirat terhadap seseorang disisi Allah Ta'ala dari segi pahala dan siksa, adapun di dunia adalah Iman hukmi (iman secara hukum) dan disebut juga Islam hukmi (Islam secara hukum) yang dapat membedakan dengannya antara muslim dan kafir. Hal ini ketetapannya mengikrarkan dua kalimat syahadat atau sesuatu menduduki kedudukannya dari tanda-tanda Islam yang lain.
            Berkata Ibnu Hajar pada ucapannya dalam takrif iman: maka salaf berkata:  bahwa Iman adalah i’tiqad dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melakukan yang rukun-rukun – dan seterusnya hingga kata-katanya – semua ini ditinjau dari segi  menurut Allah Ta'ala, adapun menurut kita Iman adalah mengikrarkan saja, maka  barangsiapa yang telah berikrar, berlaku keatasnya hukum-hukum di dunia. “Fathul Bari 1 / 46”
            Berkata Ibnu Taimiyah: Karena sesungguhnya Iman yang dhohir yang berlaku keatasnya hukum-hukum di dunia tidak mesti disertai dengan iman batin yang pemiliknya termasuk orang-orang yang meraih kebahagiaan di akhirat “Majmu’ Fatawa 7 / 210”
            Allah Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya:  (S.Al-Mumtahanah: 9). Dalam ayat ini Allah Ta'ala berfirman: (………………) maksudnya: Allah lebih mengetahui tentang hakekat iman mereka, dan firman-Nya: (…………………….) maksudnya: mengetahui iman secara dhohir yaitu iman secara hukmi. Dan firman-Nya lagi (S.An-Nisa’: 25). Maka firman-nya:  (……………….) maksudnya: menurut  yang  dhahir, dan firmannya: (……………..) maksudnya: hakekatnya  yaitu Iman yang hakiki.
Mengenai tingkatan iman bisa dirujuk dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 7/358, 525, 529 dan 638; 10/6; 12/474; 19/290-294. Dan Ibnu Qoyyim mensifati keadaan orang-orang yang menduduki tiga martabat tersebut dalam kitabnya, Thariqul Hijratain, hal 185-216.
Dengan keterangan diatas menjadi jelaslah bahwasannya segala keta’atan itu adalah iman, akan tetapi tidak setiap maksiat itu kufur, maka sebagaimana keta’atan-keta’atan itu berbeda-beda martabatnya ada yang termasuk dasar iman, ada yang termasuk iman yang wajib dan ada juga yang termasuk dalam iman yang mustahab, maka demikian juga kemaksiatan-kemaksiatan bertingkat-tingkat, ada yang menghilangkan dasar iman, dan dinamakan kufur, ada juga yang menghilangkan iman yang wajib, disebut fisq (fasik). Allah Ta'ala berfirman: (S. Al-Hujurat:  7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan ayat ini kemudian berkata: telah berkata Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: karena kemaksiatan-kemaksiatan itu sebagiannya ada yang kufur dan sebagiannya bukan kufur, maka dalam ayat ini dibedakan antara masing-masing dan dijadikannya tiga macam: yang satu macam adalah kufur, satu macam lagi adalah fisq (fasik) dan bukan kufur, dan satu macam yang lain adalah ‘ishyan (durhaka) bukan termasuk kufur dan tidak fasik. Dan Allah Ta'ala mengkhabarkan bahwasannya Ia menjadikan orang-orang beriman membenci keseluruhannya. Dan karena keta’atan-keta’atan itu semuanya termasuk dalam iman dan tidak ada sesuatupun yang keluar darinya. Maka Allah Ta'ala tidak membedakannya “Majmu’ Fatawa 7/42”
Kemudian tempat rujukan dalam mengklasifikasikan kemaksiatan adalah kepada Asysyari’ (Pembuat Syariat) yaitu Allah Ta'ala, maka diantara kemaksiatan yang Allah Ta'ala namakan kufur adalah berdo’a kepada selain Allah Ta'ala (S.Al-Mukminun: 117).  Dan diantara kemaksiatan yang Allah Ta'ala sebut fisq (fasik) adalah menuduh berzina kepada kaum mukminat (S.  An-Nur: 4). Dan Allah Ta'ala telah menghimpunkan dalam satu ayat antara kemaksiatan yang memfasikkan dan kemaksiatan yang mengkafirkan dalam firmannya (S. Al-An’am: 121). Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebut makan sembelihan yang tidak disebut nama Allah Ta'ala atasnya adalah fasik, dan menyebut taat kepada orang-orang kafir (wali-wali syaitan) dalm syare’at mereka adalah syirik, sebagaimana yang tertera dalam tafsir firman Allah Ta'ala: (………………..)  artinya:  Dan jika kamu mentaati mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang  yang musyrik.                        
Berkata Ibnu Katsir: maksudnya sekiranya kamu menyeleweng dari perintah Allah kepadamu dan dari syre’atnya kepada ucapan yang lainnya, dan kamu mendahulukan yang lainnya keatasnya, maka ini adalah syirik, sebagaimana firman-Nya  (……………..), kemudian beliau menyebutkan hadits Ali bin Hatim dalam ayat ini. “Tafsir Ibnu Katsir 2/171”
Nash ini menerangkan juga bagaimana kemaksiatan yang tidak mukaffirah (mengkafirkan) berubah menjadi kufur karena Istihlal (peghalalan), yaitu menganggap boleh (makan sembelihan tanpa disebut nama Allah tadi) karena mengamalkan syare’at orang yang berpendapat seperti itu yang bertentangan atau menyelisihi hukumm Allah Ta'ala dalam hal tersebut.
Dari keterangan tersebut bahwa dosa itu baik yang meninggalkan kewajiban ataupun yang melakukan yang haram, dibagi menjadi dua bagian yaitu:

3)   Macam-macam Dosa
1)  Bagian pertama: Dosa yang mukaffir (mengkufurkan), yaitu setiap dosa yang Allah Ta'ala namakan kufur, yang menghilangkan dasar iman, dalam hal ini ada dua macam:
  1. Meninggalkan yang wajib yang termasuk dalam dasar iman, seperti meninggalkan atau tidak mengikrarkan dua kalimat syahadat, meninggalkan shalat, tidak adanya pembenaran dalam hati yaitu kufur takdzib (mendustakan), jika tidak membenarkan dan lisannya mengikrarkan berarti kufur nifaq, dan jika tidak ada keyakinan dalam hati berarti kufur syak (ragu-ragu), dan lain sebaigainya dari dari kewajiban-kewajiban dasar iman, baik terdiri dari amalan-amalan hati atau lisan atau anggota badan, dan semua perkara yang terdapat dalil  syar’inya yang mengkufurkan orang yang meinggalkannya, maka ia adalah kewajiban dari dasar iman.
  2. Melakukan perbuatan (amal) yang haram yang berlawanan dengan dasar iman: seperti mencela Allah Ta'ala dan rasul-Nya, berdo’a kepada selain Allah Ta'ala, menyembelih untuk selain Allah Ta'ala, maka setiap perkara yang terdapat dalil syar’i yang mengkufurlan pelakunya, maka ia diharamkan atau sesuatu ynag haram yang berlawanan dengan dasar iman.
Maka setiap orang yang melakukan dosa yang mengkufurkan (baik yang meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram) maka dia adalah kafir hanya karena meninggalkannya atau melakukannya, dan tidak boleh mensyaratkan untuk pengkafirannya  karena juhud (pengingkaran) nya terhadap yang wajib yang dia meninggalkannya atau istihlal (menganggap halal) nya terhadap yang haram yang dia lakukan, karena Allah Ta'ala menamakannya kafir – dengan meningglaknnya atau dengan mengerjakannya – dan tidak membatasi atau mengikat hali itu dengan juhud atau istihlal. Maka barangsiapa mensyartkan demikian, sungguh dia telah membetulkan atau mengajari Allah Ta'ala, bahkan dia telah mendustakan ayat-ayat Allah Ta'ala yang menunjukkan atas kufurnya pelaku dosa ini, dan barang siapa yang mendustakan ayat-ayat Allah Ta'ala sungguh dia telah kufur, oleh karena itu salaf telah mengkafirkan ghulat (pelampau) murjiah yaitu orang-orang yang menganggap jahd (mengingkari) sebagai syarat yang berdiri sendiri untuk mengkafirkan dengan dosa-dosa yang mengkufurkan, lihat Majmu’ Fatawa 7/205, 209.
Dalil-dalil dari nash-nash dan ijma’ yang menyatakan atas kufurnya orang yang melakukan dosa-dosa yang mengkafirkan hanya karena berbuat atau meninggalkan saja, tanpa adanya pengikat atau pembatas dengan juhud atau istihlal, antara lain sebagai berikut:
  1. Allah Ta'ala berfirman (S.At-Taubah: 74). Dalam ayat ini Allah Ta'ala menghukumi bahwa mereka kufur hanya karena ucapan yang mereka ucapkan dengannya, berkata Ibnu Taimiyah: Allah Ta'ala telah menyebutkan kalimat-kalimat (kata-kata) orang kafir di dalam Al-Qur’an dan menghukum dengan kufur terhadap mereka dan menjadikan mereka pantas mendapat ancaman dengan kata-kata itu. “Majmu’ Fatawa 7/558”
  2. Allah Ta'ala berfirman: (S. At-Taubah: 64-65)
Berkata Ibnu Taimiyah: Allah Ta'ala telah mengkhabarkan bahwasannya mereka telah kafir sesudah iman mereka, meskipun mereka menyatakan: Sesungguhnya kami berbicara dengan kekufuran dengan tanpa meyakininya, bahwa kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja, dan jelaslah bahwasannya memperolok-olok dengan ayat-ayat Allah adalah kafir. “Majmu’ Fatawa 7/273”
  1. Allah Ta'ala berfirman (S. Al-Kahfi: 35-37).
Dalam ayat ini kawannya (yang mukmin) mengkafirkannya hanya karena ucapannya yang mukaffir yaitu “………………..” artinya: Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang……
4.      Allah Ta'ala berfirman: (S. Al-Maidah: 72) dan firman-Nya (S. Al-Maidah: 73). Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah mengkafirkan mereka dengan ucapan mereka saja.
5.      Dan Allah Ta'ala berfirman: (Al-Baqarah: 34)
Dalam ayat ini Allah Ta'ala mengkafirkan Iblis dengan perbuatannya yaitu meninggalkan sujud kepada Adam.
Maka nash-nash tersebut menunjukkan bahwa siapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu kekufuran, dia telah kufur dengan itu, tanpa disyaratkan dia ingkar ingkar atau menghalalkan dengan syariat itu, sebab Allah Ta'ala menghukumi mereka kafir tidak mengikatkan dengan syariat itu, dan tidak ada dalil yang terpisah yang menunjukkan demikian. Adapun qaidah umum yang disangka oleh sebagian orang sebagai dalil pensyariatan juhud atau istihlal untuk mengkafirkan yang mereka pahami dari matan Al-Aqidah At-Thohawiyah, maka sebenarnya merupakan pemahaman yang rusak terhadap ucapan para ulama – insya Allah ini akan diuraikan pada bahasan berikutnya.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah: Dan secara global, maka barang siapa yang mengatakan atau melakukan sesuatu kekufuran, dia telah kufur dengan itu, walaupun tidak bermaksud menjadi kafir, sebab tidak ada seseorang yang bermaksud kufur melainkan atas kehendak Allah Ta'ala, “Ash-Sharimul Mashul, hal 177-178”
  1. Dan Sabda Rasullullah:  …………………………..
Artinya: antara seorang laki-laki dan antara kufur adalah meninggalkan shalat.  “H.S.R.  Muslim” 
            Kalimat “ ……….” dalam hadits ini bentuknya makrifah dengan ….. berarti ia  adalah kufur  akbar. Rasulullah menghukumi kufur hanya karena meninggalkan shalat.  Para sahabat telah berijma’ atas kafirnya seseorang yang meninggalkan satu shalat dengan sengaja sehingga waktunya habis. “lihat Ibnu Hazm (Al-Muhalla) 2/242, Ibnu  Qoyyim (Kitabush Shalah) hal.15 dan hal.31 “Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa) 20/97.
            Ditempat  lain  Syaikhul  Islam  berkata  :  sesunggauhnya  membedakan  antara  orang  yang  mengakui  wajibnya  shalat  dan  orang  yang  mengingkari  wajibnya,  dan  mengkafirkan  yang  kedua  tanpa  mengkafirkan  yang  pertama,  cabang-cabang  ini  adalah  rusak  lagi  batil  tidak  dinukil  dari  shahabat.  “ Majmu’  Fatawa  22 / 48 “  beliau  berkata  lagi  :  dan  diketahui  ada  diantara  fuqoha’ yang  mengatakan  bahwasannya  apabila  seseorang  mengakui  akan  wajibnya  dan  enggan  untuk  mengerjakan,  dia  tidak  dibunuh,  atau  dibunuh  dalam  keadaan  islamnya,  seorang  faqih  seperti  ini  telah  terkena  syubhat  yang  mengena  atas  murjiah  dan  jahmiyah.    Majmu’  Fatawa  7 / 616 “
            Syubhat  yang  menimpa  mereka  itu  disebutkan  oleh  Ibnu  Qoyyim dalam  ucapannya  tentang  orang-orang  yang  tidak  berpendapat  kufurnya  orang  yang  meninggalkan  shalat,  mereka  berkata  :  Karena  sesungguhnya  kufur   itu  adalah  meningkari  tauhid,  mengingkari  risalah  dan  hari  kiyamat,  meningkari  apa  yang  dibawa  oleh  Rasulullah  sedangkan  ia  mengakui  keesaan  Allah  Ta'ala  bersaksi  bahwasannya  Muhammad  adalah  Rasulullah,  percaya  bahawa  Allah  Ta'ala  membangkitkan  orang  yang  ada  dalam  kubur,  maka  bagaimana  orang  yang seperti  itu  dihukumi  kafir?  Padahal  iman  adalah  membenarkan  dan  lawannya  adalah  mendustakan  bukan  meninggalkan  amalan,  maka  bagaimana  orang  yang  membenarkan  dihukumi  dengan  hukum  orang  yang  mendustakan  dan  orang  yang  ingkar  ?  “ Kitab  Ash-Shalah,  hal  15 “  jelas  sekali  rusak  dan  batilnya  pendapat  tersebut,  sebab  kekufuran  bukan  ingkar  saja,  baik  pada  sebab-sebab  kekufuran  maupun  pada  macam-macamnya,  dan  sesungguhnya  kufur  dalam  hukum-hukum  dunia  terjadi  dengan  ucapan  atau  perbuatan  atau  meninggalkan  yang  ditunjukkan  dalil  atas  kufurnya  pelakunya.
7.      Termasuk  dalil  yang  kuat  juga  dalam  masalah  ini  adalah  ijma’  para  shahabt  atas  kafirnya  orang-oarng  yang  enggan  membayar  zakat  hanya  karena  enggan  saja  tanpa  melihat  kepada  pengakuan  mereka  akan  wajibnya  atau  tidak  (juhud / ingkar).  Dalilnya  adalah  hadits  Abu  Hurairah  ia  berkata  :  Tatkala  Rasulullah  wafat  dan  Abu  Bakar  Ash-Shiddiq  diangkat  menjadi  khalifah,    dan  telah  kufur  orang  yang  telah  kufur  dari  bangsa  Arab,  berkata  Umar  :  Wahai  Abu  Bakar  bagaimana  Anda  memerangi  manusia  sedangkan  Rasulullah  telah  bersabda  :  Aku  diperintah  memerangi  manusia  sehingga  mereka  mengucapkan  …………………………  maka  barangsiapa  yang  mengucapkan  ……………………  dia  terpelihara  dariku  hartanya  dan  jiwanya  kecuali  dengan  haknya  dan  hisabnya  atas  Allah .  Berkata  Abu  Bakar  :  Demi  Allah  sungguh  aku  akan  perangi  oang  yang  membedakan  antara  shalat  dan  zakat,  maka  sesungguhnya  zakat  adalah  hak  harta,  demi  Allah  seandainya  mereka  enggan  membayar  kepadaku  anak  kambing  betina  yang  biasa  mereka  serahkan  kepada  Rasulullah  sungguh  aku  akan  perangi  mereka  karena  penolakannya.  Berkata  Umar  :  maka  demi  Allah,  tidaklah  ia  kecuali  aku  telah  melihat bahwasannya  Allah  Ta'ala  telah  melapangkan  dada  Abu  Bakar  untuk  perang,  maka  aku  mengetahui  bahwa  sesungguhnya  ia  adalah  benar.  “ H.S.R.  Al-Bukhari  dan  Muslim “  dan  lafadznya  dari  Al-Bukhori  (NO.  6294-6295)  dalam  bab  “ Dibunuh  Orang  yang  Enggan  Menerima  Hal-hal  yang  Fardhu  (Faraidh)  dan  Sesuatu  yang  Mereka  Dinasabkan  Kepada  Murtad    dalam  Kitab    Diminta  Untuk  Bertaubat    Orang-orang  yang  Murtad  dan  Orang-orang  yang  Menentang  dan  Memerangi  Mereka. 
Adapun  dalil  pengkafiran  Abu  Bakar  terhadap  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat,  yaitu  ucapan  beliau  :    Demi  Allah,  sungguh  benar-benar  aku  akan  memerangi  orang  yang  membedakan  antara  shalat  dan  zakat.   (Ijama’  shahabat  telah  menetapkan  atas  kufurnya  orang  yang  meninggalkan  shalat  dan  wajib  membunuhnya  jika  tidak  bertaubat.  Dan  yang  menunjukkan  bahwa  Abu  Bakar  menyamakan  antara  shalat  dan  zakat  yaitu  menurut  beliau  orang  yang  menolak  membayar  zakat  mereka  kafir  dan  wajib  diperangi,  dan  barangsiapa  yang  menyatakan  bahwa  beliau  menyamakan  antara  shalat  dan  zakat  itu  hanya  pada  hukumnya  saja  yaitu  “ dibunuh “  bukan  pada  hukumnya  yaitu  “ kufur “  maka  pendapat  seperti  ini  salah,  sebab  Abu  Bakar  telah  menyamakan  antara  keduanya  secara  mutlak  yang  mengandungi  hukumnya  dan  hukumannya,  dan  hali  ni  ditunjukkan  juga  oleh  ucapan  Abu  Hurairah,    Dan  telah  kufur  orang  yang  telah  kufur  dari  bangsa Arab.  “,  dan  ia  juga  dipilih  oleh  Imam  Al-Bukhari  sebagaimana  yang  beliau  sebutkan  dalam  menginterprestasikan  bab  …………….    (dan  apa  yang  yang  mereka  dinisbatkan    kepada  murtad)
Dan  para  sahabat  telah  menyepakati  pendapat  Abu  Bakar,  maka  berarti  hal  ini  merupakan  ijma’  dari  mereka   atas  kufurnya  orang  yang  menolak  zakat  dan  pengakuan  mereka  akan  keutamaan  Abu  Bakar  dan  paling  alimnya.
Ibnu  taimiyah  berkata  : Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  telah  bersepakat  bawasannya  Abu  Bakar  adalah  orang  yang  paling  alim  dari  umat  ini  dengan  yang  batin  dan  yang  dhahir,  ijma’  telah  menceritakan  yang  demikian  itu  bukan  satu  saja.    Majmu’  Fatawa  13 / 237 “  bisa  juga  dirujuk  juz  35 / 124  dan  I’lamul  Muwaqqi’in    Ibnu  Qoyyim  4 / 119.
Dan  tidak  dinukil  bahwasannya  para  sahabat  dalam  memerangi  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat  ada  perbedaan  dengan  memerangi  seluruh  kaum  muratad  yang  lainnya  seperti  kaum  Musailamah  Al-Kadzab  dan  sebagainya.  Hal ini  menunjukkan  bahea  mereka  tidak  membedakan  antara  kaum  yang  murtad  karena  enggan  membayar  zakat  dengan  kaum  yang  muratd  karena  mengikuti  Musailamah  Al-Kadzab  yang  mengaku  sebagai  nabi.  Berbeda  dengan  apa  yang dilakukan  Ali  bin  Abi  Tholib  dalam  memerangi  bughat  dalam  peristiwa  perang    Jamal    dan    Shiffin      pada  waktu  itu  beliau  mengarahkan  pasukannya  agar  tidak  membunuh  yang  luka  dan  tidak  mengejar  yang  lari.  “ lihat  Nailul  Author  7 / 353 “
Berkata  Ibnu  Taimiyah  :  telah  dating  berita  secara  mutawatir  tentang  Ali  pada  hari  “ Jamal “  tatkala  ia  memerangi  mereka  bahwasannya  ia  tidak  mengejar  yang  lari  mundur  dan tidak  membunuh  yang  mereka  yang  terluka  dan  tidak  mengambil harta  mereka  sebagai  ghonimah  dan  tidak  menawan  anak  dan  istri  mereka  sebagai  tawanan.  “ Minhajus  Sunnah  4 / 496 “
Asy  Syaikh  Muhammad  bin  Ibrahim  ………..  mengibaratkan  bahwa  penyamaan  shahabat  antara  memerangi  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat  dan  memerangi  selain  mereka  dari  kaum  yang  murtad  sebagai  dalil  atas  kufurnya  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat,  beliau  ditanya  :  Memerangi  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat apakah  ia  kemurtadan?  Maka  beliau  menjawab  :  Yang  betul  bahwasannya  ia  adalah  riddah  (kemurtadan).  Karena  Ash-Shiddiq  tidak  membedakan  antara  mereka  dan  tidak  pula  orang sesudah  mereka.    dari  Fatawa  wa  Rasail  Asy-Syaikh  Muhammad  bin  Ibrahim  ……………  yang  dihimpun  oleh  Muhammad  bin  Abdur  Rahman  bin  Qasim  juz  6 / 202. “
Al-Qadhi  abu  Ya’la  pengarang  Kitab  Al-Ahkamus  Suthaniyah,  juga  menukil  ijma’  shahabat  atas  kafirnya  orang  yang enggan  membayar  zakat.  “ lihat  Masailul  Iman  oleh  Al-Qadhi  Abu  Ya’la  hal.  330-332.  Dan  begitu  juga  Abu  Bakar  Aljashshash  Al-Hanafi  dalam  kitabnya  Ahkamul  Qur’an  2 / 302,  menafsirkan  firman  Allah  Ta'ala  (S.  An-Nisa’  :  65)  katanya  :  Dalam  ayat  ini  menunjukkan  bahwasannya  orang  yang  menolak  sesuatu  dari  perintah-perintah  Allah  Ta'ala  atau  perintah-perintah  Rasul-Nya,  maka  dia  keluar  dari  Islam,  baik  penolakannya  itu  kerena  ragu-ragu,  atau  tidak  menerima  dan  enggan  menyerah  diri,  yang  demikian  itu  memastikan  benarnya  pendapat  shahabat  yang  menghukumi  murtad  terhadap  orang  yang  enggan  menunaikan  zakat,  dan  membunuh mereka  dan  menawan  anak  istri  mereka,  karena  Allah  Ta'ala   menghukumi  bahwasannya  orang  yang  tidak  menyerah  kepada  Nabi  dan  hukumnya  maka  tidak  termasuk  dari  ahlul  iman  (orang  beriman).  “ Ahkamul  Qur’an  2 / 302 “
Berkata  Ibnu  Taimiyah  :  para  shahabat    dan  imam-imam  sesudah  mereka  telah  bersepakat  diatas  memerangi  orang-orang  yang  enggan  membayar  zakat  kendatipun  mereka  menunaikan  shalat  lima  waktu  dan berpuasa  di  Bulan  Ramadhan,  dan  tidak  ada  pada  diri  mereka  sybhat  (kesamaran)  yang  bolaeh  diterima,  oleh  karena  itu  mereka  adalah  orang-orang  yang  murtad,  dan  mereka  diperangi  karena  menolak  meskipun  mengakui  wajibnya   sebagimana  yang  diperintah  Allah  Ta'ala.  “ Majmu’  Fatawa  28 / 531 “
Berkata  Asy-Syaikh  Abdullah  bin  Muhammad  bin  Abdul  Wahab  (1242  H)  telah  berkata  Asy-Syaikh  Ibnu  Taimiyah  pada  pada  akhir  ucapannya  atas  kufurnya  orang  yang enggan  membayar  zakat;  dan  shahabat  tidak  mengatakan  apakah  anda  mengakui  wajibnya  atau  anda  mengingkarinya,  hal  ini  sama  sekali  tidak  diketahui  dari shahabat,  bahkan  berkata  Ash-Shidiq  kepada  Umar  :  Demi  Allah,  seandainya  mereka  enggan  membayar  kepadaku  anak  akmbing  betina  yang  biasa  mereka  bayarkan  kepada  Rasullullah  niscaya  aku  akan  perangi  mereka  karena  keengganannya,  maka  yang  membolehkan  diperangi  disini  hanya  karena  enggan  atau  menolak  saja,  bukan  karena  juhud  atau  mengingkari  kewajibannya,  dan  telah  diriwayatkan  bahwasannya  beberapa  kelompok  dari  mereka  mengakui  kewajibannya  akan  tetapi   mereka  kikir,  meskipun  demikian  perjalanan  para  khalifah  sama  satu  langkah  yaitu  membunuh  pasukan  mereka  dan  menawan  anak  istri  mereka  dan  mengambil  harta  mereka  sebagai  ghonimah  dan  menyaksikan  bahwa  mereka  yang  mati  di  neraka,  dan  mereka  seluruhnya  disebut  ahlur  riddah  (orang-orang  yang  murtad).  “ Ad-Durarus  Sunnah  fil  Ajwibatin  Najdiyah  juz  8 / 131. “
Demikian  itulah  ijma’  dan  kesepakatan  shahabat  atas  kafirnya  orang-orang  yang  menolak  membayar  zakat  dan  murtadnya  mereka,  namun  yang  masyhur    dikalangan  mutaakhkhirin  (orang-orang  yang  akhir)  malah  ucapan  Abu  Sulaiman  Al-Khitobi  dalam  kitabnya    Ma’alimussunan    katanya  :  sesungguhnya  penamaan  orang-orang  yang  enggan  membayar  zakat  dengan  “ murtaddin “  (orang-orang  yang  murtad),  adalah  termasuk  dari  bab  majas  (bahasa  kiasan  bukan  sebenarnya),  dan  sesungguhnya  mereka  adalah  bughat  bukan  murtaddin,  karena  mereka  tidak  mengingkari  wajibnya  zakat.  Dan  orang-orang  yang  akhir  mendapati  bahwa  ucapan  ini  berjalan  diatas  ushul  atau  dasar-dasar  golongan  murjiah  yang  mensyaratkan  adanya  juhud  (pengingkaran)  dalam  mengkufurkan,  lalu  mereka  begitu  saja  dan  mereka  nukil  didalam  kitab-kitab  mereka,  oleh  karena  itu  banyak  dari  kaum  mu’ashirin  (masa  kini)  yang  tidak  mengetahui  selain  ucapan  ini,  maka  An-Nawawi  menukil  ucapan  tersebut  didalam  syarh  Muslim,  dan  Ibnu  Hajar  berkata  dalam  mensyarah  hadits  Abu  Hurairah  yang  telah  tersebut  terjemahnya  diatas  :  Hanyasannya  disebut  kufur  pada  awal  kisahnya  karena  mengandungi  dua  kelompok  :  yaitu  kafir  secara  hakekatnya  bagi  yang  mengingkari,  dan  yang  lain  kufur  secara  kiasan  yang  biasa  dipakai.  “ Fathul  Bari  12 / 277 “.  Dan  ada  juga  sekelompok  yang  berpendapat  bahwa  shahabat  mengkafirkan  mereka  karena  mereka  mengingkari  zakat, “ dinukil  Ibnu Hajar  dari  Al-Qodhi  ‘Iyadh  dalam  Al-Fath  12 / 276 “.  Padahal  tidak  ada  keterangan  sama  sekali  dari  shahabat  bahwa  mereka  berbicara  tentang  masalah  mengingkari  atau  mengakui  wajibnya  berkenaan  dengan  kedudukan  orang-orang  yang  enggan  membayar  zakat  dan  menggantungkan  hukum  karena  mengingkari  atau  mengakui  wajibnya  atas  mereka.
Maka  hal  ini  hal  ini  sebagaimana  kata-kat  Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  :   “ ……………….”   Maksudnya  :  Masalah  …….  (cabang)  yang  rusak  lagi  batil  yang  tidak  dinukil  dari  shahabat,  maka  fikirkan  hal  ini,  anda  akan  mengetahui  bahwa  banyak  para  mutaakhkhirin  yang  menyelisihi  apa  yang  ada  pada  salaf.
Berkata  Ibnu  Taimiyah  :  Dan  apabila  mereka  menyebutkan  perselisihan  mutaakhkhirin  yang  demikian  itu  bukan  saja  menjadikan  hal  ini  sebagai  masalah-masalah  ijtihad  yang  mana  setiap  pendapat  dari  penadapat-pendapat  itu  dapat  diterima  yang  tidak  menyelisihi  ijma’,  karena  sesungguhnya  banyak  dari  ushul  (dasar-dasar)  mutaakhkhirin  yang  muhdats  mubtada’  (sesuatu  yang  baru  yang  bid’ah)  dalam  Islam  yang  menyelisihi  ijma’ salaf  yang  terdahulu,  dan  perselisihan  yang  terjadi  sesudah  ujma’  salaf  adalah  salah  secara  qoth’i.  “ Majmu’  Fatawa  13 / 26 “
Dengan  penjelasan  tersebut  dapat  diketahui  bahwa  [erselisihan  mutakhkhirin  dalam  mengkafirkan  orang  yang  enggan  membayar  zakat,  sesudah  adanya  ijma’  shahabat  dalam  masalah  ini,  tidak  perlu  diperhitungkan,  hal  ini  seperti  perselisihan  mereka  dalam  mengkafirkan  orang  yang  meninggalkan  shalat  sesudah  adanya  ijma’  shahabat  terhadap  kafirnya  orang  yang  meninggalkan  shalat.
“ Keterangan  lebih  lanjut  dalam  masalah  ini  rujuk  Al-Jami’  7 / 76-84 “
  1. Dan  termasuk  dalil  dalam  masalah  ini  yaitu  pengkafiran  shahabat  terhadap  orang  yang  bersaksi  bahwa  Musailamah  adalah  rasul  Allah,  tanpa  menanya  kepada  mereka, apakah  kamu  mengingkari  dan  menghalalkan  atau  tidak?  “ uraian  rujuk  Al-Jami’  7 / 84-85 “
Inilah  yang  ditunjukkan  oleh  nash-nash  dan  ijma’  shahabat  bahwasanya  barangsiapa  yang  melakukan    dosa  yang  mengkufurkan    dia  telah  kafir,  tanpa  melihat  juhud  atau  istihlalnya,  inilah  mazhab  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  dan  mereka  telah  berijma’  diatasnya.  Sebagaimana  Ibnu  Taimiyah  :  Jika  dia  mencela  Allah  Ta'ala  atau  mencela  rasul-Nya,  dia  telah  kufur  lahir  maupun  batin,  baik  si  pencela  itu  meyakini  bahwa  perbuatannya  itu  haram atau  dia  menganggap  halal  baginya,  atau  melupakan  keyakinannya.  Ini  adalah  mazhab  para  fuqoha’  dan  seluruh  Ahlus  Sunnah  yang  mengatakan  bahwasanya  Iman  adalah  ucapan  dan  perbuatan.  Dan  telah  berkata  Imam  Abu  Ya’qub  Ishaq  bin  Ibrahim  Al-Handzali  yang  terkenal  dengan  nama  Ibnu  Rahawiyah,  beliau  salah  seorang  imam  yang  setandang  dengan  Asy-Syafi’i  dan  Ahmad  :  Telah  beijma’  kaum  muslimin  bahwasanya  barang  siapa  mencela  Allah  atau  mencela  Rasul-Nya  atau  menolak  sesuatu  dari  apa  yang  diturunkan  Allah,  atau  membunuh  seorang  nabi  dari  nabi-nabi  Allah  Ta'ala,   sesungguhnya  dia kafir  dengan  itu  walaupun  dia  mengakui  dengan  apa  yang  diturunkan  Allah.  “ Ash-Shorimul  Mashul  hal.  512 
Fikirkan  kata-katanya  “ Walaupun  mereka  mengakui     agar  anda  mengerti  bahwa  mengakui  wajibnya  itu  tidak  menghalangi  dari  pengkafiran  dari  dosa-dosa  yang  mengkufurkan.  Dan  Al-Qodhi  Iyadh  juga  berpendapat  hampir  seperti  ini,  lihat  Asy-Syafaa  2 / 1072.  dan  Ibnu  Hajar  menukil  dari  dari  Asy-Syaikh  Taqiudin  As-Subhi,  ijma’  atas  pengkafiran  orang  yang  sujud  terhadap berhala  dan  sebagainya,  dari  orang  yang tidak  menyatakan  pengingkarannya  meskipun  dia  meyakini  Islam  secara  global  dan  mengamalkan  hal-hal  yang  wajib.  “lihat  Fathul  Bari  12 / 299-300”  
Dari  keterangan  diatas  bisa  disimpulakn  bahwa  berdasarkan  nash-nash  al-Kitab,  As-Sunah  dan  ijma’  shahabat  orang  yang  melakukan  dosa  yang  mengkufurkan  (dari  ucapan  atau  perbuatan  atau  meninggalkan  yang  telah  ditetapkan  akan  kufurnya  pelakunya),  maka  sesungguhnya  dia  kafir  dengan  itu,  tanpa  dilihat  kufurnya  dengan  persyaratan  juhud  atau  istihlal. 
Ahlus  Sunnah  dan  golongan  murjiah  dari  fuqoha’  dan  Asyairah  serta  Jahmiyah  bersepakat  diatas  hukum  tersebut,  kecuali  Jahmiyah  dalam  salah  satu  ucapannya  mengatakan  :  Boleh  jadi  dia  beriman  dalam  batinnya,  ucapan  ini  adalah  kekufuran  dari  mereka.  Dan  tidak ada  golongan  yang menyimpang  dari  hukum  ini  selain  golongan  dari  ghulat  (ekstrimis)  murjiah  yang  mengatakan  :  meskipun  dia  melakukan  kekufuran,  dia  tidak  kafir  kecuali  dengan  juhud  (ingkar),  dan  dengan  pendapat  ghulat  murjiah  ini  banyak  dari  golongan  orang-orang  sekarang  yang  berpendapat  seperti  itu.  Orang  yang  berpendapat  seperti  itu  tidak ada  perselisihan  dikalangan  salaf  dalam  mengkafirkannya,  karena  dia  menolak  nash-nash  pembuat  syari’at  yang  menghukumi  dengan  kufur  terhadap  orang-orang  yang  mengucapkan  kekufuran  dan  melakukannya. 
2)       Bagian  kedua  :  Dosa-dosa  yang  memfasikkan  tisdak  mengkafirkan  :  yaitu  alkabair  (dosa-dosa  besar)  yang  ada  hukum  hadnya  di  dunia atau  ada  ancaman  siksanya  di  akhirat,  dan  tidak  ada  nash  yang  mengkufurkan  pelakunya,  dan  pelakunya tidak  dihukum  dengan  hukuman  orang  yang  murtad.  Dosa-dosa  ini  merusakkan  Iman  yang  wajib.  Oleh  karena  itu  pelakunya  termasuk  orang  yang  terancam  siksa  dan  tidak  merusakkan  dasar  Iman,  maka  pelakunya  tidak  kafir.  Adapun  bentuknya ada  dua  macam,  yaitu  sebagai  berikut  :
a.                               Meninggalkan  yang  wajib  dari  kewajiban-kewajiban  yang  termasuk  dalam  Iman  yang  wajib  :  se[erti  meninggalkan  jihad  fisabilillah  sewaktu  hukumnya  fardhu  ‘ain,  hal  ini  merupakan  dosa  besar  karena  adanya  ancaman  siksa  didalamnya  (S.  At-Taubah  :  35),  tidak  jujur  dalam  ucapan  dan  janji,  tidak  berbuat  baik  kepada  orang tua,  dan  sebagainya  dari  kewajiban-kewajiban  yang  ada.
b.                              Melakukan  yang  diharamkan  yang  merusak  iman  yang  wajib  :  seperti  minum  khamr,  berzina,  mencuri,  makan  riba,  dusta,  menggunjing,  adu  domba  dan  sebagainya  dari  dosa-dosa  besar.
Maka  setiap  orang  yang  melakukan  dosa-dosa  dari  jenis  ini,  maka  dia  fasik  terancam  siksa  dan  tidak  kafir,  dan  disebut  fasik  milli,  yaitu  meskipun  dia   fasik  tetap  termasuk  ahli  millah  Islam  tidak  keluar  dari  mereka,  karena  pada  dirinya  masih  ada  dasar  iman,  sebagai  pembeda  baginya  dari  orang  yang  fasik  dengan  orang  yang  fasik  akbar  yang  mengeluarkan  dari  millah  Islam.  Sebab  setiap  orang  kafir  itu  fasik,  sebagaimana  firman  Allah  Ta'ala  :  “……………….”  (S.  Al-Kahfi  :  50),  dan  sebagainya.
Jika  dosa-dosa  besar  yang  ada  hukum  hadnya   di  dunia  seperti  :  minum  khamr,  mencuri,  menuduh  seseorang  berzina,  berzina  dan  merampok,  lalu  ditegakkan  hukuman   hadnya  atas  pelakunya,  maka  hukuman  itu  sebagai  penghapus  bagi  dosanya,  dan  pelanggaran  yang  tidak  ada  hadnya  seperti  :  dusta  dan  durhaka  terhadap kedua  orang  tua,  atau  pelanggaran  yang  ada  hukum  hadnya  namun  tidak  ditegakkan  terhadap  pelakunya  karena  tidak  ketahuan  yang  berwajib  dan  tidak  diangkat  kepada  Qodhi  atau  karena  hukum  had  tidak  ditegakkan  tidak  ditegakkan  sebagaimana  pada  zaman  kini,  maka  orang  seperti  ini  jika  mati  belum  sempat  bertaubat  maka  kedudukannya  dalam  masyi’ah  (kehendak  Allah  Ta'ala),  jika  Allah  Ta'ala  menghendaki,  mengampuninya,  jika  tidak,  menyiksanya  sesuai  dengan  kadar  dosanya  dalam  neraka,  kemudian  dia  dikeluarkan  darinya  dan  dimasukkan  kedalam  surga  karena  dasar  iman  yang  ada  pada  dirinya.  Sebagaimana  sabda  Nabi  ……  berkenaan  denganm  ahlul  kabair  :  …………………………………  artinya  :  Dan  barangsiapa  yang  melanggar  sesuatu  dari  itu,  lalu  dikenakan  hukuman  di  dunia,  maka  ia  sebagai  penghapus  dosa  baginya,  dan  barngsiapa  yang  melanggar  sesuatu  dari  itu,  kemudian  Allah  Ta'ala  menutupinya,  maka  urusannya  kepada  Allah  Ta'ala,  jika  Allah  Ta'ala  menghendaki,  mengampuninya,  dan  jika  menghendaki,  menyiksanya.  “ Hadits  Muttafaq  ‘alaih,  lafadz  Al-Bukhori  (NO.  18)
Dan  keadaannya  dalam  masyiah  (kehendak  Allah  Ta'ala)  di  akhirat  menunjukkan  bahwa  dia  tidak  kafir,  berdasarkan  firman  Allah  Ta'ala  (S.  An-Nisa’  :  48).  Adapun  masuknya  kedalam  neraka  jika  Allah  Ta'ala  tidak  mengampuni  dosanya,  dalilnya  adalah  sabda  Rasullullah  yang  diriwayatkan  Imam  Al-Bukhori  dari  Anas  (No.  7450)  sebagaimana  yang  telah  tersebut  sebelumnya,  adapun  tentang  tentang  masuknya  kedalam  surga  setelah  disiksa,  dalilnya  sabda  Rasullullah  yang  diriwayatkan  Imam  Al-Bukhori  dari  Abu  Hurairah  (No.  7437)  telah  disampaikan  juga  sebelumnya.
Maka  dosa-dosa  yang  memfasikkan  ini,  meninggalkan  yang  wajib  maupun  melakukan  yang  haram,  pelakunya  tidak  kufur  kecuali  jika  dia  mengingkari  yang  wajib  atau  menghalalkan  yang  haram,  sebab  mengingkari  yang  wajib  atau  menghalalkan  yang  haram  berarti  mendustakan  nash-nash  syari’at,  oleh  karena  itu  orang  yang  mengingkari  kewajiban  dia  telah  kafir  walaupun  dia  menunaikan  kewajiban  itu  sebagaimana  telah  kafirnya  orang  yang  menghalalkan  yang  haram  meskipun  dia  tidak  melakukannya.
Sesungguhnya  pelaku  dosa-dosa  ini,  mereka  tidak  kufur  hanya  karena  melakukannya,  karena  dosa-dosa  tersebut  tidak  merusakkan  dasar  iman,  akan  tetapi  jika  disertai  dengan  dasr  juhud  dan  istihlal  merusak  dasar  iman  maka  dia  menjadi  kafir.
Asy-Syaikh  Hafidz  Hukmi  telah  meringkaskan  ijtihad  Ahlus  Sunnah  dalam  masalah  ini  dengan  bait  syairnya  :
……………………………………………………………………………….
Dan  kami  tidak  mengkafirkan  seorang  mukmin  dengan  dosa-dosa  maksiat  kecuali  disertai  dengan  penghalalannya  terhadap  perbuatan  kriminalnya. 
Ijma’  shahabat  telah  menunjukkan  kepada  kita  bahwa  persyaratan  juhud  dan  istihlal  dalam  pengkafiran  adalah  pada  dosa-dosa  yang  tidak  mukaffarah,  ijma’  ini  terjadi  ketika  terjadi  salah  seorang  yang  bernama  Qudamal  bin  Abdullah  minum  khamr  karena  salah  mentakwil  firman  Allah  Ta'ala  (S.  Al-Maidah :  93).  Dan  tatkala  masalah  ini  dibawa  kehadapan  Umar  bin  Al-Khattab,  beliau  bersepakat  dengan  Ali  dan  dan  para  shahabat  bahwasanya  jika  Qudamah  bin  Abdullah  dan  kelompok  sepertinya  mangakui  haramnya,  mereka  akan  dikenakan  hukum  cambuk,  dan  jika  mereka  tetap  diatas  penghalalannya  (menganggap  khamr  halal),  mereka  akan  dikenakan  hokum  bunuh  karena  murtad,  demikianlah  secara  ringkas  kisahnya,  lebih  detilnya  bisa  dirujuk  dalam  Majmu’  Fatawa  11 / 403,  dan  12 / 499,  dan  20 / 92,  dan  34 / 213,  dan  dalam  Ash-Shorimul  Maslul  hal.  530,  dan  dalam  Al-Aqidah  Ath-Thahawiyah  hal.  364,  dan  berkata  Ibnu  Hajar  bahwa  Abdur  Razaq  telah  meriwayatkan  kisah  Qudamah  dalam  musharrifnya  dengan  sanad  yang   bagus.  Fathul  Bari  13 / 141.  dan  Ibnu  Hazm  menyebutkan  kisah  tersebut  tanpa  menyebut  nama  Qudamah  dalam  Al-Ihkam  7 / 158.  dan  berkata  Ahmad  Syahir  dalam  ta’liqnya  terhadap Ibnu  Hazm  :  bahwa  isnad  Ibnu  Hazm  mursal,  dan  riwayat  at-Thohawi  dengan  sanad  yang  sholeh  bersambung.
Dan  pada  akhirnya  ijma’  shahabat  tentang  persyaratan  adanya  istihlal  untuk  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  yang  tidak  mengkafirkan  ini  disusun  oleh  Ahlus  Sunnah  Qoidah    yang  masyhur  yaitu  :  ……………………………….  (  Kamu  tidak  mengkafirkan  seorang  muslim  dengan  dosa  selama  dia  tidak  menghalalkannya)
Jadi  yang  dimaksud    dosa    dalam  qoidah  ini  adalah  dosa-dosa  besar  yang  tidak  mengkufurkan,  dasarnya  bahwa  dalam  qoidah  ini  pelaku  dosa  disebut  muslim  atau  dari  ahlul  kiblat,  yang  berarti  dia  tidak melakukan  dosa  yang  mukaffir  yang  mengeluarkan  dirinya  dari  Islam,  demikianlah  berdasarkan  keterangan  ahlul  ilmi.
Kemudian  yang  peril  dimengerti  bahwa  diantara  Tujuan  Ahlus  Sunnah  meletakkan  qaidah  ini  adalah  untuk  membedakan  i’tiqad  mereka  dari  i’tiqod  golongan  khawarij  yang  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  besar  yang  tidak  mengkufurkan.
Dan  termasuk  kategori  penghalalan  yang  mengkafirkan  adalah  membuat  syariat  atau  undang-undang  secara  umum  yang  menyelisihi  syariat  Islam  yang  dinashkan  dalam  undang-undang  dasar  dan  …………….  yang  direka.  Undang-undang  ini  tidak  keluar dari  dua  kufur  akbar,  yaitu  juhud  (ingkar)  terhadap  kewajiban-kewajiban  sayr’i  atau  istihlal  (menghalalkan)  hal-hal  yang  diharamkan.  Allah  Ta'ala  berfirman  :  (S.  At-Taubah  :  37).  Dan  An-N……(mengundur-undurkan  yang  haram).  Sebagaimana  yang  telah  diuraikan  diatas   adalah  merupakan  tasyri’  (membuat  syariat)  secara  umum  yang  bertentangan  dengan  syariat  Allah  Ta'ala  didalam  bulan  haram,  maka  Allah  Ta'ala  menamakan  “ Ihlaalu  lilharam “  (penghalalan  bagi  yang  haram),  dan  Allah  Ta'ala  juga  menamakannya  “ Ziyadatun  fil  Kufri “  (menambah  dalam  kekufuran).  Sedangkan  menambah  dalam  kekufuran  adalah  kufur,  dan  sama  saja  apakah  juhud  dan  istihlal  itu  dilakukan  dengan  omongan  atau  tulisan  sebagaimana  yang  dinashkan  undang-undang  rekaan  yang  tertulis  itu,  sebab  dalam  qoidah  fiqhiyyah  dinyatakan  bahwasanya  tulisan  adalah  seperti  pembicaraan.
Adapun  bentuk  juhud  dan  istihlal  di  dalam  undang-undang  rekaan  itu  antara  lain  sebagai  berikut  :
·        Nash  yang  secara  terang-terangan  membolehkan  hal-hal  yang  diharamkan,  seperti  membolehkan  zina  yang  rela  dan  suka  sama  suka,  pemberian  izin  membuka  tempat-tempat  pelacuran  di  sebagian  negara  yang  mengaku  sebagai  negara  Islam,  dan  membolehkan  minum  khamr  di  tempat-tempat  tertentu,  dan  pemberian  izin  untuk  membuka  tempat-tempat  dan  pabrik-pabrik  khamr,  dan  membolehkan  riba  serta  memberi  izin  dibukanya  bank-bank  riba,  dan  membolehkan  alat-alat  permainan  dan  alat-alat  musik  dan  mengizinkannya  hal  ini  dalam  sarana-sarana  pemberitaan  yang  dimiliki  negara  maupun  lainnya,  dan  membolehkan  kemurtadan  dengan  nash  yang  tercantum  dalam  undang-undang,  yaitu  menjamin  kebebasan  keyakinan.  Semua  ini  merupakan  penghalalan  secara  terang-terangan  terhadap  hal-hal  yang  diharamkan  syariat.
·        Termasuk  juga  nash  yang  mengganti  hukuman  sebagian  para  penjenayah  (pelaku  kriminal)  yang  hukumannya  telah  ditentukan  dalam  syariat,  maka  pengguguran  hukuman-hukuman  atau  sangsi-sangsi  syar’i  ini  berarti  juhud  dan  ingkar  terhadapnya,  dengan  ini  gugurlah  hukum  hudud  syar’i  secara  keseluruhan.
Berkata  Ibnu  Taimiyah  :  Dan  maklum  bahwasanya  orang  yang  menggugurkan  perintah  dan  larangan  yang  Allah  Ta'ala  mengutus  dengannya  rasul-rasul-Nya,  maka  dia  kafir  menurut  kesepakatan  kaum  muslimin,  Yahudi  dan  Nasrani.    Majmu’  Fatawa  8 / 106 “
·        Termasuk  juga  nash  yang  mengandungi  pengguguran  sebagian  kewajiban-kewajiban  yang  bersifat  diniyyah,  seperti  nash  atas  kebebasan  keyakinan,  dengan ini  berarti  pengguguran  terhadap  jihad  fi  sabilillah  untuk   melawan  penyembah  berhala  dari  ahli  kitab  dan  dengan  itu  juga  pengguguran  pelaksanaan  hukum-hukum  ahlu  dzimmah.  Dan  nash  bebas  keyakinan  itu  berarti  pengguguran  had  atau  hukuman  terhadap  orang  yang  murtad,  dan  pengguguran  jihad  terhadap  orang-orang  yang  murtad.  Dan  ini  adalah  merupakan  juhud  dan  ingkar  terhadap  hal-hal  yang  diharamkan  tersebut.
·        Termasuk  juga  mengenakan  hukuman  terhadap  orang  yang  menunaikan  sebagian  kewajiban-kewajiban  syariat,  hal  ini  berarti  juhud  terhadap  kewajiban  itu  dan  mengingkarinya,  seperti  amar  bil  ma’ruf  dan  nahi  mungkar,  jihad  fi  sabilillah untuk  memberontak  penguasa  yang  murtad  dan  sebagainya,  dan  menghukum  orang  yang  menunaikan  kewajiban  ini  nerarti  menganggap  anak  yang  sholeh  itu  sebagai  perbuatan  kriminal  dan  mengingkari  kebenarannya.  Ini  adalah  termasuk  juhud.
·        Dan  termasuk  juga  penghalalan  terhadap  hal-hal  yang  haram  secara  qoth’i  adalah  :  menghalalkan  harta-harta  kaum  muslimin  yang  terpelihara  atas  nama    Sosialisme    yang  memiliki  aturan  mengambil  harta  kaum yang  kaya  dengan  alasan  dibagi-bagikan  kepada  orang-orang  yang  miskin, untuk  merealisir  apa  yang  mereka  namakan  keadilan  sosial,  hal  ini  adalah  perbuatan  dzalim  dan  ghasab.  Harta  benda  yang  dihasilkan  dari  ghasab  ini  tidak  halal  bagi  orang-orang  miskin,  haram  dimakan,  haram  dipakai  shalat  diatas  bumi  yang  dighosab  tidak  diterima,  tentang  batalnya  shalat  disitu  ada  dua  pendapat,  harta  yang  dighasab dalam  bentuk  apapun  tidak  halal  walaupun  masanya  panjang.  Inilah  aliran  yang  jijik  yang  disebut    Sosialisme    sebenarnya  hanya  merupakan  tipu  daya  para  penguasa  kuffar  untuk  menguasai  harta  orang-orang  kaya  untuk  diri-diri  mereka  sendiri  dan  tidak  diberikan  kepada  orang-orang  miskin  melainkan  sedikit  saja,  dan  ini  juga  merupakan  kedok  untuk  menutupi  ketidak  pecusan mereka  dalam  mengatur  ekonomi  negara,  maka  mereka  mengambil  dari  yang  ini  diberikan  kepada  yang  itu.
Sebagai  kesimpulan,  berdasarkan  nash-nash  syariat  dan  ijma’  shahabat  dan  dan  para  fuqaha’  dari  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  bahwa  : 
v                             Sesungguhnya  dosa-dosa  yang  mengkufurkan  :  yang  terdiri  dari  ucapan  dan  perbuatan  termasuk  meninggalkan,  yang  telah  ditetapkan  oleh  dalil  syar’i  bahwa  ia  adalah  kufur  akbar,  maka  pelakunya  kufur  tanpa  pensyartan  adanya  juhud  dan  istihlal.  Dalam  hal  ini  berkatalah  Ibnu  Taimiyah  :  dan  secara  global  maka  barangsiapa  yang  mengucapkan  atau  melakukan  sesuatu  yang  kufur,  dia  telah  kufur  dengan  itu,  meskipun  dia  tidak  bermaksud  menjadi  kafir,  sebab  seseorang  tidak  bermaksud  kufur  kecuali  dikehendaki  Allah  Ta'ala.  “ Ash-Shorimul  Maslul,  hal.  177-178 “
v                             Adapun  dosa-dosa  yang  tidak  mengkufurkan  :  yaitu  dosa-dosa yang  tidak  ada  ketetapan  dalam  syariat  bahwa  pelakunya  kufur,  maka  dosa-dosa  ini tidak  mengkufurkan  pelakunya  hanya  karena  melakukannya,  maka  jika  menghalalkannya  - yang  diharamkan -  atau  mengingkarinya  - yang diwajibkan -  dia  kafir  dengan  itu.  Inilah  yang  dimaksud  ucapan  Ahlus  Sunnah  :
…………………………………………………………………………….
Mengkafirkan  seorang  muslim  atau  seseorang  dari  ahli  kiblat  dengan  dosa  selama  dia  tidak  menghalalkannya.
Itulah  dosa-dosa  yang  pengkafirannya  terhadap  pelakunya  disyaratkan  adanya  juhud  dan  istihlal  dan  tidak  disyaratkan  padanya  dengannya,  dan  tidak  sepatutnya  dicampur  baurkan  antara  dua  bagian  dari  dosa-dosa  itu.
Al-Qodhi  Abu  Ya’la  Al-Hambali   dalam  kitabnya    Al-Mu’tamad    telah  membedakan  antara  dua  bagian  itu,  beliau  berkata  :  Barangsiapa  yang  mencela  Allah  atau  mencela  rasul-Nya,  maka  sesungguhnya  dia  kafir,  baik  dia  mengj\halalkan  amalan  mencelanya  atau  tidak  menghalalkannya,  jika  dia  mengatakan “  Aku  tidak  menghalalkan  hal  itu    tidak  diterima  ucapan  itu  darinya  pada  dzahir  hukumnya,  satu  riwayatpun,  dan  dia  adalah  murtad,  karena  yang  lahir  menyelisihi  apa  yang  dia  katakana,  sebab  tidak  ada  maksud  baginya  dalam  mencela  Allah  Ta'ala  dan  mencela  rasul-Nya  kecuali  bahwasanya  dia  tidak  meyakini  untuk  beribadah  kepada-Nya  dan  tidak  membenarkan apa  yang  dibawa  Rasullullah.  Berbeda  dengan  seorang  peminum  khamr,  seorang  pembunuh  dan  seorang  pencuri,  jika  dia  mengatakan    Aku  tidak  menghalalkan  amalan  itu    maka  kata-kata  ini  dibenarkan  dalam  hokum,  karena  sesungguhnya  dia  mempunyai  Tujuan  dalam  melakukan   perbuatan-perbuatan  itu  untuk  memperoleh  kelezatan  dengan  segera  disertai  dengan  adanya  keyakinan  akan  haramnya  perbuatan  itu.  “ dinukil  dari  Ash-Shorimul  Maslul,  hal.  513-514 “
Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  mengkritik  orang-orang  yang  mencampurkan  antara  dua  bagian  dosa-dosa  itu  sehingga  mensyaratkan  istihlal  untuk  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  yang  mengkufurkan,  maka  beliau  berkata  :  (Dan  Al-Qadhi  menyebutkan  dari  fuqaha’  bahwa  orang  yang  mencela nabi  jika  dia  menghalalkan  dia  telah  kafir,  dan  jika  tidak  menghalalkan  dia  fasik  tidak  kafir),  kemudian  Syaikhul  Islam  berkata  :  Sesungguhnya  cerita  yang  tersebut  dari  fuqaha’  bahwasanya  jika  ia  menghalalkan  ia  telah  kafir  dan  jika  tidak  menghalalkan  tidak  kufur,  ucapan  ini  tidak  ada  dasarnya,  Al-Qodhi  hanya  menukil  dari  kitab  sebagian  mutakallimin  (ahli  kalam)  yang  mereka  nukil  dari  fuqaha’,  dan  mereka  itu  menukil   ucapan   fuqaha’  yang  mereka  mengira  berjalan  diatas  ushul  mereka,  atau  dengan  apa  yang  mereka  mendengarnya  dari  sebagian  orang-orang  yang  menisbatkan  dirinya  sebagai  ahli  fiqh  padahal  sebenarnya  orang-orang  itu  ucapannya  tidak  boleh  dipakai,  kami  telah ceritakan  nash-nash  Imam-imam  fiqh  dan  cerita  ijma’  mereka  dari  orang  yang  paling  alim  dengan  mazhab  mereka,  maka  janganlah  ada  yang  menyangka  bahwa  dalam  masalah  ini  terdapat  perselisihan  yang  menjadikan  masalah  ini  termasuk  masalah  iktilafiyah  dan  ijtihad,  hanyasanya  yang  demikian itu  adalah  salah,  tidak  ada  seorangpun  yang  bisa  menceritakan  bahwa  dia  telah  mendapatkan  dari  salah  seorang  fuqoha’  para  imam-imam  fatwa  tentang  rincian  tersebut  sama  sekali  - sampai  pada  kata-katanya -  dan  apabila  telah  jelas  bahwa  mazhab  Salaful  Ummah  dan  orang-orang  yang  mengikuti  mereka  dari  yang  khalaf  bahwasanya  ucapan  ini  pada  zatnya  kufur  baik  pelakunya  mengahalalalkan  maupun  tidak  menghalalkannya.  Adapun  dalil  yang   menunjukkan  demikian  itu  yaitu  semua  yang  telah  kami  kemukakan  pada  masalah  yang  pertama  dari  dalil  atas   kufurnya  orang  yang  mencela  seperti  firman  Allah  Ta'ala   (At-Taubah  :  65),  dan  firman-Nya  (Al-Ahzab  :  57),  dan  firman-Nya  (At-Taubah  :  66),  dan  juga  dari  hadits-hadits  dan  atsar-atsar  yang  telah  kami  sebutkan,  semua  itu  merupakan  dalil-dalil  yang  jelas  bahwa  sesungguhnya  ………..  menyakiti  Allah  Ta'ala dan  rasul-Nya  adalah  kufur,  tanpa  melihat  sama  sekali  tentang  i’tiqad  haramnya  ada  tidaknya.  “ Ash-Shorimul  Maslul,  hal.  514-517 “
Demikianlah  keterangan  dan  uraian  mengenai  martabat  atau  tingkatan  iamn.  Insya  Allah  dengan  uraian  itu  menjadi  jelas  persoalan  yang  kiat  bahas  bagi  orang  yang  mau  membuka  mata  hatinya,  dan  agar  lebih  gamblang  lagi  disini  kami  tuliskan  sebagian  kesimpulan  dari  uraian  tersebut.
1.      Iman  mengandungi  seluruh  ketaatan  atau  dengan  kata  lain  seluruh  ketaatan  adalah  termasuk  iman,  baik  yang  fardhu  maupun  yang  sunnah,  yang  bentuknya  menunaikan  yang  wajib  dan  yang  sunnah  ataupun  menunggalkan  yang  haram  dan  yang  makruh,  yang diwajibkan  atas  hati,  lisan  dan  anggota  badan.  Dari  bentuk-bentuk  ketaatan  itu  ada yang  termasuk  dalam  ashlul  iman  (dasar  iman),  ada  yang  termasuk  iman  yang  wajib  dan  ada  yang  masuk  dalam  iman  yang  mustahab  sesuai  dengan  sifat  dan  kriteria  masing-masing.  Maka  takrif  iman  yang  paling  rajih  menurut  Ahlus  Sunnah  adalah  :  ucapan  dan  perbuatan,  bertambah  dan  berkurang.  Mengenai  ucapan  dan  perbuatan  sudah  dijelaskan  sebelumnya,  adapun  maksud    bertambah    yaitu  bertambahnya  hati,  lisan,  dan  anggota  badan  dalam  menunaikan  ketaatn-ketaatan  tersebut  baik  yang  dasar  iman  …………  iman  yang  wajib,  maupun  iman  yang  mustahab,  adapun  maksud    berkurang    yaitu  karena  maksiat,  baik  maksiat  itu  yang  mengurangi  kesempurnaan  atau  merusak  iman  yang  mustahab  misalnya  melakukan  hal-hal  yang  makruh  dan  sebagainya,  atau  yang  mengurangi  kesempurnaan  dan  merusak  Iman  yang  wajib  misalnya  dusta,  mencuri,  minum  khamr  dan  sebagainya,  dan  apabila  maksiatnya  sampai  tingkatan  merusak  dasar  imannya  misalnya  karena  syirik  akbar,  kufur  akbar  dan  nifaq  akbar  baik  yang  dilakukan  oleh  hati,  lisan,  maupun  anggota  badan,  maka  kat  Sufyan  bin  Uyainah  :  Sehingga  iman  itu  tidak  tersisa  sama  sekali,  beliau  mengisyaratkan  dengan  ibu  jarinya  dan  jari  telinjuknya  membentuk  angka  0  yang  berarti  imannya  kosong,  hilang  dan  habis.
Kalau  saya  ibaratkan,  iman  yang  sempurna  itu  laksana  pohon  yang  sempurna,  pohon  yang  sempurna  memiliki  tiga  bagian  penting,  yaitu               1.            Pokok  (Pokok  pohon  yang  menancap  dibumi)    2.  Cabang,  cabangnya  yang  besar-besar  dan  yang  orgen    3.  Bagian-bagian  lain  seperti  ranting,  daun,  bunga,  buah  dan  sebagainya.
Pohon  mangga  dikatakan  sebagai  pohon  yang  sempurna  jika  terdapat  padanya  tiga  bagian  tersebut,  jika  bagian  yang  ketiga  tidak  ada   karena  sebab=sebab  tertentu,  masih  tetap  dipanggil  sebagai  pohon  mangga,  bahkan  kalau  seluruh  cabang-cabangnya  ditebang,  ia  masih  disebut  juga  pohon  mangga  meskipun  gundul  dan  tidak  sempurna,  akan  tetapi  jika  yang dipangkas  pokok  dasarnya,  maka  sirnalah  nama  pohon  mangga  berubahlah  sebutannya  menjadi  kayu  ……….  mangga.  Begitu  juga  iman  sebagimana  yang  telah  dinyatakan  sebelumnya.  Dan  yang  perlu  dicermati  dan  disadari  bahwa  ketiga  unsure  pohon  itu,  seluruhnya  termasuk  pohon  itu  dan  bagian  dari  pohon  itu,  saya  rasa  tidak ada  seorangpun  yang  berakal  sehat  mengatakan  bahwa  cabang-cabang  pohon,  rantingnya,  daunnya,  bunganya,  buahnya  dan  sebagainya  bukan  termasuk  bagian  pohon  tetapi  ia  hanyalah  sebagai  penyempurna  pohon.  
Dari  ibarat  ini  kita  lebih  memahami  lagi  akan  rusak  dan  batilnya  paham  yang  berpendapat  bahwa  amal  perbuatan  bukan  termasuk  iman  dan  hakekat  iman,  akan  tetapi  ia  hanya  sebagai  penyempurna  iman.  Apa  sebenarnya  puncak  penyebab  utama  munculnya  paham  amal  adalah  penyempurna  iman  dan  bukan  iman,  karena  mereka  mematok  bahwa  iman  itu  sebatas  tashdiq  dalam  hati,  maka  jika  amal  perbuatan  dikatakan  termasuk  iman  akan  bertentangan  dengan  dasar  dan  prinsip  ynag  mereka  buat,  dari  kesalahan  dasar  ini  timbul  bid’ah  yang  bermacam-macam  yang  menyalahi  dan  menyelisihi  salaf.
2.      Dengan  memahami  martabat  atau  tingkatan  iamn  (dasar  iman,  iman yang  wajib,  dan  iman  yang mustahab)  - Insya  Allah  -  dengan  izin-Nya kita  akan  dapat  mengetahui  dengan  mudah  mazhab  Ahlus  Sunnah  dalam  masalh  iman  dan  takfir  (mengkafirkan),  begitu  juga  golongan  Khawarij  serta  golongan  Murjiah  dengan  segala  tingkatannya  baik  yang  murjiah  fuqaha’  (Al-Ahnaf),  Asyairah  dan  Maturidiyah,  maupun  Jahmiyah  dan  Ghulatul  Murjiah.
1.   a.                           Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  yang  merusakkan  dasar  iman  baik  yang  berupa  ucapan  maupun  perbuatan,  seperti  mencela  Allah  Ta'ala,  meninggalkan  shalat  fardhu  dengan  sengaja  hingga  habis  waktunya,  membuat  syareat  yang  menyelisihi  syareat  Allah  dan  lain  sebagainya,  tanpa  memperhitungkan  ada  dan  tidaknya  juhud  dan  istihlal  pada  diri  si  pelaku.  ……….  kufurnya  adalah  ……..karena  ucapannya  atau  perbuatannya. 
b.               Golongan  Khawarij  menyepakati  Ahlus  Sunnah  wal  jama’ah  dalam  masalah  ini,  maka  janganlah  anda  merasa  heran  jika  tokoh-tokoh  Ahlus  Sunnah  yang  bersikap  tegas  dalam  masalah  ini,  misalnya  Imama  Ahmad  bin  Hambal,  Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  dan  Syaikhul  Islam  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab  dan  orang-orang  yang  mengikuti  mereka  dengan  baik  sampai  hari  ini,  mereka  selalu  dicap  dan  dituduh  sebagai  Khowarij.
c.               Golongan  Murjiah  fuqoha’  termasuk  Asyairah  dan  Maturidiyah  tetapi  tidak  seluruhnya  menyepakati  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  dalam  dalam  mengkafirkan  pelaku  dosa-dosa  tersebut  baik  kufur  secara  lahir  maupun  batin,  hanya  berbeda  dalam  menggantungkan  hukum  kufurnya.  Kalau  Ahlus  Sunnah  kufurnya  arsih  karena  ucapan  atau  perbuatannya,  adapun  Murjiah  fuqaha’  menggantungkan  kufur  atas  hilangnya  tashdiq  dalam  hatinya,  sebab  menurut  mereka  iman  adalah  tashdiq,  selama  tashdiq  ada,  iman  tetap  ada,  menurut  mereka  seseorang  yang  dikafirkan  Allah  Ta'ala  dan  Rasul-Nya  baik  karena  ucapan  maupun perbuatan, mereka  telah  kafir,  karena  orang  yang  mengucapkan  kekufuran  atau  melakukan  perbuatan  kekufuran  dengan  sendirinya  tashdiqnya  hilang  atau  pasti  terdapat  juhud  dan  ingkar  dalam  hatinya.  Maka  meskipun  Murjiah  Fuqaha’  mensyaratkan  adanya  juhud  dalam  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  yang  merusak  dasar  Iman,  akan  tetapi  juhud  disini  bukan  sebagai  syarat  yang  berdiri  sendiri,  ia  adalah  juhud  yang  lazim  adanya,  sebagai  contoh,  orang  yang  mencela  Allah  Ta'ala,  mencela  Rasul-Nya  dan  mencela  Islam  meskipun  dilakukan  dengan  lisannya  maupun  perbuatannya  sudah  pasti  dalam  hatinya  terdapat  juhud,  maka  dia  kafir.
                  Jadi  menurut  Murjiah  fuqaha’  dan  Asyairah  bahwa  orang  yang  melanggar  dosa  yang  merusak  dasar  iman  (yang  mengkufurkan)  adalah  merupakan  tanda  bahwa  orang  itu  jahid  (orang  yang  ingkar)  atau   menghalalkan  dengan  hatinya  yakni  mendustakan  dengan  hatinya,  karena  juhud  dan  istihlal  sumber  keduanya  adalah  takdzib  (mendustakan)  sedangkan  takdzib  lawan   dari  tashdiq,  iman  adalah  tashdiq,  maka  barang  siapa  yang  terdapat  takdzib  dalam  hatinya  rusaklah  imannya  berarti  kafir.
d.               Golongan  Murjiah  Jalmiyah  berpendapat  bahwa  orang  yang  melakukan  dosa  mukaffirah  yang  erusakkan  dasar  iman  dia  adalah  kafir  pada  lahirnya karena  adanya  nash  yang  mengkafirkannya,  dan  boleh  jadi  ia  mukmin  dalam  batinnya  apabila  tashdiqnya  masih  ada.  Golongan  ini  dikafirkan  salaf[2] karena  menolak  nash  syra’i  ynag  menghukuminya  kufur  terhadap  orang  yang  mengucapkan  kekufuran    atau  melakukannya,  karena  nash  syar’i  yang  merupakan  berita  Allah  Ta'ala  tidak  terjadi  melainkan  diatas  hakekatnya  bukan dhohir  atau  lahirnya  saja.  Dan  ada  juga  dari  Jahmiyah  yang  berpendapat  seperti  pendapat  Asyairah  dan  Murjiah  fuqaha’  sebagaimana  yang  telah  tersebut  diatas.  (Majmu’  Fatawa  7 / 188-189)
e.                   Golongan  Ghulat  (pelampau / ekstrem)  murjiah,  mereka  banyak  sekali  pada masa  kini,  mereka  mangarang  buku-buku,  kitab-kitab,  majalah-majalah  dan  menyebarkan  kaset-kaset  yang  penuh  dengan  kesesatan  dan  dhalalat.  Yang  mana  mereka  ini  tidak  mengkafirkan  orang  yang  melakukan dosa-dosa  mukaffirah  yang  merusakkan  dasar  iman  baik  ucapan  maupun  perbuatan  kecuali  jika  pelaku  mengingkari  kewajibannya  atau  menghalalkan  haramnya  dan  menyatakan  dengan  itu.  Golongan  ini  juga  dikafirkan  salaf,  karena  menolak  nash  syar’i  yang  memutuskan  kufur  terhadap  orang  yang  mengucapkan  kekufuran  atau  melakukan  perbuatan  yang  mengkufurkan.  Lihat  Majmu’  Fatawa  7 / 209  dan  205  atau  rujuk  Al-Jami’  7 / 65-66,  8 / 13.
2.   a.               Ahlus  Sunnah  wal  Jamaah  tidak  mengkafirkan  pelaku  dosa-dosa  yang  tidak  mukaffirah  atau  dosa-dosa  yang  merusakkan  iman  yang  wajib,  kecuali  jika  pelakunya  mendustakan  pensyareatan  atau  disertai  adanya  juhud  dan  istihlal,  maka  dia  menjadi  kafir  bukan  karena  ansih perbuatannya  tetapi  karena  pendustaannya  dan  ingkarnya.  Sebab  tanpa  melanggar  dosa-dosa  tersebut  jika  dia  mendustakan  dan  ingkar  termasuk  menghalalkan  yang  haram  dia  pun  kafir  dengan  itu.  Golongan  Murjiah  menyepakati  Ahlus  Sunnah  wal Jama’ah  dalam  masalah  ini.
      b.               Adapun  golongan  Khawarij,  mereka  berpendapat  bahwa  pelaku  dosa-dosa  besar  (yang  sebenarnya  tidak  mukaffirah)  yang  merusak  iman  wajib  mereka  adalah  kafir,  inilah  pangkal  bid’ah  sesatnya  Khawarij,  karena  mereka  menganggap  dosa-dosa  besar  itu  seluruhnya  satu  martabat  baik  yang  merusakkan  dasar  iman  maupun  yang  merusajjan  iman  yang  wajib,  maka  orang  yang  berzina  disamakan  kedudukannya  dengan  orang  yang  mencela  Islam,  orang  yang  mencuri,  berjudi,  khianat,  tidak  amanah,  makan  riba  dan  sebagainya,  disamakan  dengan  pelaku  syirik,  kufur  dan  nifaq  akbar  dengan  pemahaman  ynag batil  dan  rusak  ini,  maka  gampang  memvonis  seseorang  atau  golongan  dengan  hokum  kafir  yang  sebetulnya  tidak  patut  dekenakan,  sebab  mereka  tidak  melakukan  dosa-dosa  yang  mengkufurkan  dan  merusakkan  dasar  iman.
Inilah  bid’ah  sesat  golongan  Khawarij  yaitu  mengkafirkan  dengan  dosa-dosa  maksiat  yang  tidak  mukaffirah.  Ulama’  Salaf  dari  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  dan  dari  Murjiah  fuqaha’  telah  berusaha  keras  untuk  menangkal  mazhab  dan  pemahaman  yang  batil  ini  bisa  dirujuk  dalam  tulisan-tulisan  mereka  termasuk  ketiga  tokoh  ulama  Ahlus  Sunnah  yang  telah  disebutkan  yaitu  Imam  Ahmad  bin  Hambal,  Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  dan  Syaikhul  Islam  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab,  diantara  usaha  mereka  adalah  membuat  qoidah,  misalnya  ucapan  Imam  At-Thohawi  :  “…………………….”  Artinya  :  kami  tidak  mengkafirkan  seseorang  dari  ahli  kiblat  dengan  dosa  selama  dia  tidak  menghalalkannya.  Qoidah  ini  benar  meskipun  nashnya  tidak  terdapat  dalam  Al-Kitab  As-Sunnah,  akan  tetapi  telah  disepakati  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah  sebagaimana  yang  dinukil  oleh  Abul  Qasim  Al-………..(418  H)  dari  i’tiqad  para  imam-imam.  Sebenarnya  ungkapan  tersebut  tidak  ada  musykilnya,  dan  jelas  sekali  apa  yang  dimaksud  para  imam.  Akan  tetapi  yang  musykil  adalah  jelek  dan  buruk  pemahaman  orang  sekarang  baik  yang  awam  maupun  yang  mengaku  alim – kecuali  yang  dirahmati  Allah  Ta'ala -  mereka  berdalil  dengan  ungkapan  dan  qaidah  tersebut  bahwa  seseorang  tidak  kafir  neskipun  melakukan  dosa-dosa  yang  mengkafirkan  seluruhnya  kecuali  apabila  dia  menghalalkan  atau  mengingkari,  lalu  jika  ditanyakan  kepada  mereka,  bagaimana  anda  bisa  mengetahui  bahwa  mereka  menghalalkan  atau  mengingkari?  Jawabnya  :  Orang  itu  mesti  menyatakan  dengan  lisannya  bahwasanya  dia  menghalalkan  atau  mengingkari  dengan  pemahaman  yang  tolol  seperti  ini,  maka  hokum  menjadi  tidak  ubahnya  seperti  mainan  anak-anak.  Orang-orang  yang  berkata  seperti  ini  banyak  dari  ulama’  Salaf  yang  mengkafirkannya  termasuk  Al-Humaidi  dan  Imam  Ahmad.  “ lihat  Majmu’  Fatawa  7 / 209 “  dan  As-Sunnah  - Abu  Bakar  Al-Khilal  hal.  587
Demikianlah  penjelasan  seputar  masalah  martabat  atau  tingkatan  iman.  Mudah-mudahan  dapat  dipahami  dan  dapat  memperjelas  bahasan  kita.

4)  Masalah-masalah  Iman  yang  diperselisihkan  antar  firqah 
            Maudhu’  ini  saya  sertakan  disini  dengan  maksud  agar  pembaca  mengetahui  masalah-masalah  iman  yang  diperselisihkan  lalu  berusaha  mencari  mazhab  Ahlus  Sunnah  yang  sebenarnya  dalam  masalah-masalah  ini  dan  jangan  sampai  keliru  anggap  yang  Murjiah  dikatakan  Ahlus  Sunnah  atau  sebaliknya,  yang  Ahlus  Sunnah  dikira  Khawarij  atau  sebaliknya.  Adapun  masalah-masalah  tersebut  yaitu  :
1.      Masalah  hakekat  iman  dari  segi  kaitannya  dengan  hati,  lisan,  dan  amal-amal  anggota  badan.
2.      Masalah  apakah  iman  itu  tersusun  dari  cabang-cabang  ataukah  ia  sesuatu  yang  satu?  Dan  perbedaan  antara  rukun-rukun  iman  dan  cabang-cabangnya.
3.      Masalah  bertambahnya  iman  dan  berkurangnya  dan  keutamaan  masing-masing  ahlul  iman  dalam  iman  mereka,  dan  berkumpulnya  ketaatan  dan  kemaksiatan  pada  diri  seorang  hamba,  serta berkumpunya  iman  dan  nifaq  pada  dirinya.
4.      Masalah  martabat  iman  dan  pembagian-pembagiannya,  bagi  yang  berpendapat  bahwa  iman  adalah  murakkab  (tersusun  atas  beberapa  hal)  maka  mereka  membagi  iman  menjadi  tiga  :  1.  Ashl  (dasar / pokok),   2.  Kamal  wajib  (penyempurna  yang  wajib),    3.  Kamal  mustahab  (penyempurna  yang sunnah).  Adapun  bagi  yang  berpendapat  bahwa  iman  adalah  sesuatu  yang  satu,  maka  tidak  ada  pembagian  iman  bagi  mereka.
5.      Masalah  kelebihan  masing-masing  cabang  iman,  ini  menurut  yang  berpendapat  bahwa  iman  adalah  murakkab  dan  tersusun  dari  beberapa  cabang.
6.      Masalah  bentuk-bentuk  cabang  iman,  yang  mana  diantara  cabang-cabang  itu  ada  yang  merupakan  syarat  pada  ahlul  iman,  atau  pada  kamalul  wajib  atau  pada  kamalul  mustahab,  ini  menurut  yang  berpendapat  bahwa  iman  adalah  tersusun  dari  cabang-cabang.
7.      Masalah  pelaku  dosa-dosa  besar  :  hukum mereka  di  dunia  dan  kesudahan  mereka  di  akhirat,  dari  masalah  ini  banyak  istilah-istilah  yang  berkaitan  dengannya  antara  lain  :  Alkabair  (dosa-dosa  besar),  Ash-Shoghoir  (dosa-dosa  kecil),  Al-Fasiqul  milli  (orang  yang  fasiq  yang  tidak  keluar  dari  millah),  Muthlaqul  iman,  Al-Imanul  muthlaq,  Al-Manzilatu  bainal  Manzilataini  (kedudukan  antara  iman  dan  kufur),  kufrun  duna  kufrin  (kufur  yang  bukan  kufur  akbar),  syirkun  duna  syirkin  (syirik  yang  bukan syirik  besar),  dzulmun  duna  dzulmin  (dzalim  yang  bukan  dzalim  akbar),  fisqun  duna  fisqin  (faiq  yang  bukan  fasiq  akbar),  nifaqun  duna  nifaqin  (nifaq  yang  bukan  nifaq  akbar),  jahiliyyatun  duna  jahiliyyatin  (  jahiliyah  yang  bukan  jahiliyah  kufur),  jahlun  duna  jahlin  (jahil  yang  bukan  jahil  akbar)  dan  lain  sebagainya.
8.      Masalah  Iman  dan  Islam,  apakah  keduanya  sesuatu  yang  satu,  ataukah  sesuatu  yang  berlainan?
9.      Masalah  Al-Istisna’  (mengucapkan  Insya  Allah)  dalam  Iman  dan  dalam  Islam,  mislanya  :  saya  orang  beriman  - Insya  Allah -.
10.  Masalah  apakah  iman  itu  makhluk  atau  bukan  makhluk.   
11.  Perbedaan  dalam  Iman  dan  Islam  antara  hukum  yang  lahir  (hukum  dunia  atau  hukum  yang  bersifat  menghukumi  statusnya),  dan antara  hukum  hakiki  (atau  hukum  akhirat  atau  hukum  yang  bersifat  haddi  (batasan  yang  jelas  antara  mukmin  atau  kafir) ).
Demikianlah  masalah-masalah  yang  terpenting  yang  berkaitan  dengan  maudhu’  Iman,  dan  perlu  diketahui  bahwa  masalah  yang  bermacam-macam  itu  adalah  merupakan  cabang  dari  salah  satu  masalah  yaitu  :  hakekat  Iman.  
Selanjutnya  kami  akn  berikan  contoh  hakekat  Iman  menurut  mazhab  Murjiah  yaitu  sebagai  berikut  :
Hakekat  Iman  menurut  mereka  adalah  At-Tashdiq  bil  Qalbi  (membenarkan  dengan  hati),  sebagian  dari  golongan  Murjiah  menambahkan  dengan  mengikrarkan  dengan  lisan  sebagai  syarat  untuk  memberlakukan  hukum-hukum  dunia,  dan  berikrar  dengan  lisan  menurut  jumhur  Murjiah  tidak  termasuk  hakekat  Iman.
Dengan  dasar  yang  mereka  miliki  ini,  yaitu  bahwa  Iman  adalah  tashdiq  (membenarkan)  saja,  maka  tersusunlah  darinya  pemahaman-pemahaman  seperti  berikut  :
1.      Bahwasanya  Iman  menurut  mereka  adalah  sesuatu  yang  tidak  tersusun  atau  terdiri  dari  cabang-cabang,  sebab  tashdiq  adalah  satu  jika  hilang  sebagiannya  maka  hilanglah  keseluruhannya.
2.      Bahwasanya  Iman  tidak  bertambah  dan  tidak  berkurang,  karena  tashdiq  adalah  sesuatu  yang  satu,  kalaulah  berkurang  berarti  menjadi  ragu,  sedang  orang  yang  ragu  dalam  keimanan  adalah  kafir.
3.      Bahwasanya  Iman  orang  mukmin  sama  saja,  orang  yang  fajir  (banyak  melakukan  maksiat)  Imannya  sama  dengan  iman  orang  yang  bertaqwa,  semua  iman  orang  yang  bertaqwa  seperti  iman  Nabi  Muhammad  bahkan  seperti  iman  Jibril  dan  Mikail,  karena  iman  sesuatu yang  satu  menurut  mereka.  Inilah  diantara  keburukan-keburukan  mereka.
4.      Bahwasanya  amal  perbuatan  bukan  termasuk  Iman,  karena  Iman  adalah  membenarkan  hati  saja,  maka  menurut  meraka  amal  perbuatan  hanya  merupakan  buah  Iman,  dan  apabila  amal  perbuatan  dinamakan  iman,  maka  itu  merupakan  majaz  (bahasa  kiasan)  bukan  bahasa  sebenarnya.
5.      Bahwasanya  orang  yang  fajir  dan  fasiq  adalah  sebagai  orang  mukmin  yang  sempurna  imannya  selama  dia  membenarkan.  Ini  juga  termasuk  kejelekan  dan  kenurukan  mereka.
6.      Bahwasanya  orang-orang  beriman  iman  mereka  tedak  ada  yang  lebih  utama  antara  satu  dengan  yang  lainnya,  bahkan  iman  mereka  semuanya  sama  saja  sebagaimana  yang  telah  disebutkan  sebelumnya,  hanya  saja  kelebihan  antar  mereka  adalah  dalam  amal-amal  perbuatan,  sedangkan  hal  itu  bukan  termasuk  iman.
7.      Bahwasanya  menurut  mereka  tidak  boleh  Al-Istisna’  (mengucapkan  Insya  Allah)  dalam  Iman,  seperti  ucapan  :  saya  adalah  mukmin  Insya  Allah  Ta'ala.  Karena  menurut  mereka  ucapan  seperti  itu  adalah  syak  atau  ragu-ragu,  dan  syak  dalam  iman  yang  menurutnya  adalah  tashdiq,  maka  berarti  telah  kufur.  Bahkan  ucapan  yang  benar  menurut  mereka  ialah  :  saya  adalah  mumin  yang  sebenar-benarnya  atau  seyakin-yakinnya.
8.      Bahwasanya  kufur  menurut  mereka  adalah  takdzib  (mendustakan)  saja  tidak  ada  yang  lain,  atau  sesuatu  yang  sumbernya  dari  takdzib  seperti  juhud  (mengingkari)  dan  istihlal  (menghalalkan),  karena  kufur  lawannya  Iman,  sedang  iamn  menurut  mereka  membenarkan  dengan  hati,  maka  berarti  tiada  kufur   selain  mendustakan  dalam  hati.
Inilah beberapa  contoh  pemahaman  Murjiah  yang  menyelisihi  mazhab Salaf,  jika  anda  memahami  Insya  Allah  anda  akan  dapat  dengan  mudah  membedakan  mana yang  Salaf  dan  mana  yang  Murjiah.  Pendapat  Murjiah  dalam  hakekat  iman  adalah  merupakan  bid’ah  yang  tercela,  yang  mana  dari  situ  tersusun  bid’ah-bid’ah  yang  banyak,  sebagaimana  akibat  dari  suatu  keburukan  adalah  perbuatan  buruk  sesudahnya,  “ ………………… “  artinya  :  gelap  gulita  yang  tindih  bertindih  (S.  An-Nur  :  40).  Oleh  karena  itu  perselisihan  mereka  dengan  Ahlus  Sunnah  bukan  sekedar  secara  lafadz,  tetpai  perselisihan  dalam  prinsip.  “lihat  Al-Jami’  8 / 10-13”



[1] Maksudnya tempat kembalinya ke surga
1)      Termasuk  yang  mengkafirkan  mereka  adalah  Imam  Ahmad  bin  Hambal,  Waki’  bin  Aljarah,  Abu  Ubaid  dan  selain  mereka.  Lihat  Majumu’  Fatawa  7 / 188-189,  401-403  dan  558,  Ash-Shorim  Maslul,  hal.  523  dan  517.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar