Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif buku 9 hal 2-85.
1. Pembahasan tentang iman.
Dalam bahasan masalah iman ini, tentunya saya tidak mungkin membahas keseluruhannya, saya hanya akan mengambil poin-poin tertentu yang dapat menjelaskan bahasan utama kita, minimal bisa membantu para pembaca dalam memastikan syubuhat-syubuhat dalam majalah Asy Syari’ah khususnya dalam masalah iman termasuk paham murjiahnya. Adapun bahasannya sebagai berikut:
1. Pengertian iman dan hakikatnya.
Pendapat yang paling rajih menurut ahlus sunnah bahwasanya iman adalah: ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Berkata Ibnu Hajar rahimahullah bahwasanya: Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.(Fathul Bari: 1/47)
Penjelasan ringkas:
§ Yang dimaksud qaul (ucapan) yaitu: ucapan hati dan lisan.
§ Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.
§ Adapun yang dimaksud ucapan hati yaitu ma’rifahnya dan tashdiqnya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.
§ Adapun ucapan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain.
§ Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.
§ Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.
§ Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. (rujuk Al Jami’ buku 1 hal 116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian iman dan hakikatnya yang termasuk katagori ahlus sunnah.
Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.
Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap murjiah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)
Perhatian:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak memasukkan ucapan-ucapan tentang iman dan hakikatnya yang berbau murjiah dalam bingkai aqwal ahlus sunnah, misalnya antara lain :
1. Iman adalah: ucapan lisan, tashdiq (membenarkan) dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan. Ucapan ini syadz (syadz adalah penyelisihan tsiqqah (yang terpercaya) terhadap tsiqqat (orang-orang yang terpercaya)) dan di samping ganjilnya ia merupakan ucapan yang salah. Kesalahannya bahwa dalam ta’rif tersebut menggunakan lafadz “tashdiq” (membenarkan) berarti telah menggugurkan sebagian kewajiban-kewajiban hati dalam iman sebagaimana yang termuat dalam ta’rif sebelumnya.
Meskipun ucapan tersebut ganjil, syadz, dan salah, namun ada di antara salah bersikap menggunakannya. Misalnya Abu Tsaur Al Lalikaai menasabkan kepadanya dalam kitabnya Syarhu I’tiqadi Ahlus Sunnah, 2/849, dan Ibnu Baththah dalam kitabnya Al Ibanah an Syari’atil Firaqin Najiyah 2/760, Ibnu Baththah dalam hal ini mengikuti syaikhnya Al Aajni dalam bukunya Asy Syari’ah hal 105-119.
2. Ta’rif Ibnu Hajar bahwa iman adalah: i’tiqad dengan hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan arkan (yang rukun-rukun). (Fathul Bari 1/46)
Irja’ (murji’ah)nya: tidak memasukkan amal (perbuatan) dalam hakikat iman tetapi menganggapnya sebagai syarat kesempurnaan iman.
3. Ta’rif Ibnu Hazm, bahwa iman adalah keyakinan dengan hati dan ikrar dengan lisan. (al Fashl 3/255)
Ucapan ini berarti perbuatan bukan termasuk hakikat iman, maka jelas bertentangan dengan ta’rif ahlus sunnah.
4. Ta’rif bahwa iman adalah tashdiq (membenarkan) saja: ini merupakan inti dari semua ucapan golongan murjiah.
2. Martabat (tingkatan) iman.
Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Iman adalah tujuh puluh (4-9) atau enam puluh (4-9) cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “……………………” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. (H.S.R. Muslim)
Maka iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.
Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian. Adapun tiga tingkatan tersebut yaitu:
1. Tingkatan pertama: Ashlul Iman (dasar iman)
Iman dianggap tidak ada, tanpa adanya dasar iman, dan dengannya selamat dari kekufuran dan masuk dalam iman, dan pemiliknya termasuk golongan orang-orang yang diseru oleh Allah Ta'ala dengan firman-Nya “…………………………..” (wahai orang-orang yang beriman), dan ia mengandungi cabang-cabang yang iman dianggap tidak shah kecuali dengan menyempurnakannya.
a. Terhadap hati: Mengetahui apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara global dan membenarkannya serta patuh kepadanya, termasuk juga dalam dasar iman sebagian amalan-amalan hati yang lain seperti cinta, takut (khasyyah), ridha dan taslim (menyerah) kepada Allah Ta'ala.
b. Terhadap lisan: ikrar dengan kalimat syahadatain.
c. Terhadap anggota badan: perbuatan-perbuatan anggota badan yang mengkufurkan orang yang meninggalkannya, seperti: shalat, dan rukun Islam yang lain menurut sebagian ulama.
Dan qaidahnya bahwa sesuatu yang masuk dalam dasar ilmu dari amalan-amalan baik yang berupa melakukan ataupun yang meninggalkan: bahwasanya setiap amal yang kufur orang yang meninggalkannya, maka amal tersebut berarti termasuk dari dasar iman (seperti tashdiq (membenarkan), inqiyad qalbi (patuh secara hati), dan ikrar dengan lisan dan shalat). Dan setiap amal yang kufur pelakunya, maka meninggalkannya adalah termasuk dari dasar iman (seperti mengolok-olok terhadap agama dan berdoa kepada selain Allah), yang demikian itu karena sesungguhnya lawan dasar iman adalah kufur.
Karena kufur merupakan lawan terhadap dasar iman, maka sesungguhnya setiap dosa mukaffir (yang mengkufurkan) – dari meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram – maka ia adalah merusakkan dasar iman. Dan setiap orang yang tidak memenuhi dasar iman atau merusakkan maka dia kafir. Dan patokan, dosa yang mengkufurkan adalah jika tegak dalil syar'i yang menyatakan bahwasanya ia adalah kufur akbar. Insya Allah keterangannya dalam bahasan qaidah takfir nanti.
Dan barang siapa yang menunaikan dasar iman sungguh dia telah selamat dari kekufuran dan mesti masuk surga sejak mula atau pada akhirnya. Jika dia menunaikan “iman yang wajib” dengan sempurna (tingkatan iman kedua), dia masuk surga sejak mula. Dan jika dia kekurangan dalam iman yang wajib dan Allah Ta'ala mengampuni kekurangannya, dia masuk surga sejak awal, dan jika Allah Ta'ala tidak mengampuni kekurangannya dalam “iman yang wajib” dia masuk neraka sesuai dengan kadar dosanya, kemudian dia keluar darinya dengan sesuatu yang ada padanya dari dasar iman untuk masuk surga sebagai tempat kembalinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Sungguh benar-benar akan menimpa terhadap beberapa kaum pukulan siksa dari neraka karena dosa-dosa yang mereka lakukan sebagai hukuman, kemudian Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga dengan karunia rahmat-Nya, mereka dipanggil “Al jahannamiyyin”. (H.S.R.Al Bukhari dari Anas radliallahu 'anhu no.7450.)
Mereka pada akhirnya masuk surga karena ada pada diri mereka dasar iman sebagai lawan terhadap kekufuran. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Sehingga apabila Allah telah selesai dari mengadili di antara hamba-hamba dan berkehendak dengan rahmat-Nya mengeluarkan siapa yang Ia kehendaki dari penghuni neraka. Ia memerintahkan kepada para malaikat agar mengeluarkan dari neraka siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah dari orang yang Ia hendak merahmatinya dari orang yang bersaksi, “bahwasanya tiada Illah (Tuhan) selain Allah, maka para malaikat mengenali mereka dalam api neraka dengan bekas sujud. (H.S.R. Al Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu no.7437).
Maka mereka keluar dari api neraka dengan dasar iman yang ada pada diri menurut, dan dari cabang-cabangnya yang terpenting yang disebutkan dalam hadits termasuk adalah ikrar dengan syahadatain (………………………) dari orang yang bersyahadat dan shalat (……………………) dengan bekas sujud, dan meninggalkan mukaffirat (perkara-perkara yang mengkufurkan) yaitu (………………………) adalah dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun
Maka barang siapa yang menunaikan dasar iman, dia masuk surga sejak mula ataupun pada akhirnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: Itu adalah Jibril datang kepadaku, lalu berkata: Barang siapa yang mati dari ummatku yang tidak menyekutukan dengan Allah sesuatupun dia masuk surga. Berkata Abu Dzar: Aku katakan: meskipun dia berzina dan mencuri? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: meskipun di berzina dan mencuri. (H.S.R. Al Bukhari no. 6444)[1]
Dan barang siapa yang tidak menunaikan dasar iman atau merusakkannya maka dia adalah kafir termasuk penghuni neraka dan tidak keluar darinya, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S. Al Maidah: 36-37)
Itulah tingkatan yang pertama dari tingkatan-tingkatan iman.
2. Tingkatan kedua : Iman yang wajib yaitu sesuatu yang lebih dari dasar iman dari amalan yang wajib-wajib dan meninggalkan yang haram-haram.
Qaidahnya sesuatu yang termasuk dalam iman yang wajib dari amal-amal (baik yang melakukan atau meninggalkan): Bahwasanya setiap amalan yang ada ancamannya dalam meninggalkannya dan tidak kufur yang meninggalkannya, maka berarti termasuk dari iman yang wajib (seperti shidq (jujur/benar), amanah, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), dan jihad yang wajib), dan setiap amal yang ada ancamannya dalam melakukannya dan tidak kufur pelakunya, maka meninggalkannya termasuk dari iman yang wajib (seperti zina, riba, mencuri, minum khamr, dusta, ghibah (menggunjing), dan adu domba)
Manusia dalam iman yang wajib ada dua derajat:
1. Derajat pertama: mengurang-ngurangkan terhadapnya dengan meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram – sesudah menunaikan dasar iman – maka mereka ini ashhabul kabair (orang-orang yang menyampurkan antara amal shalih dan buruk) dari ahlu tauhid, atau ushaatul muwahhidin (ahli-ahli maksiat dari orang-orang yang bertauhid) atau fasiq milli (fasik yang tidak keluar dari millah), dan derajat ini dalam Al Qur'an (S.Fathir: 32) disebut “…………………………” artinya: maka di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam tafsir. Maka barang siapa yang keadaan seperti ini, maka dia termasuk ahlul wa’id (orang yang terkena ancaman siksa) jika dia mati sebelum bertaubat akan tetapi dia fil masyiah (kedudukannya tertakluk kepada kehendak Allah). Jika Allah menghendaki, mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga sejak mula tanpa disiksa sebelumnya. Dan jika Allah menghendaki menyiksanya sesuai dengan kadar dosa-dosanya kemudian Allah mengeluarkannya dari neraka dan memasukkannya de dalam surga dengan apa yang ada pada dirinya dari dasar iman. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash yang telah disampaikan diatas.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwasanya dia berada dalam masyiah (kehendak Allah) yaitu firman Allah Ta'ala (S. An Nisa’: 48). Maka para pelaku dosa dari ahlu tauhid pengampunan dosa-dosa mereka tergantung di atas kehendak Dzat Yang Maha Pengasih adapun dari sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut:
Artinya: Bebai’atlah kamu kepadaku bahwa kamu tidak menyekutukan dengan Allah sesuatu pun, dan kamu tidak mencuri, dan kamu tidak berzina, dan kamu tidak membunuh anak-anak kamu, dan kamu tidak akan berbuat dusta yang kamu ada-adakan antara tangan dan kaki kamu (maksudnya: mengada-adakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan, seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si fulan bukan anak suaminya dan sebagainya), dan kamu tidak akan durhaka dalam urusan yang baik, maka barang siapa yang memenuhi di antara kamu, maka pahalanya atas Allah, dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari itu lalu dihukum di dunia maka ia sebagai kifarat (penghapus dosa) baginya, dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari itu kemudian Allah menutupinya atasnya, maka ia kepada Allah, jika Allah menghendaki memaafkannya dan jika Ia menghendaki menyiksanya. (Al Hadits Mutafaq alaihi)
Dan dikecualikan dari pengampunan dosa dengan hukuman (siksaan) dan keadaannya dalam masyiiah adalah: orang yang murtad yang ditunjukkan (diisyaratkan) kepadanya dalam hadits dengan sabda beliau: “…………………………..,”artinya: hendaklah kamu jangan menyekutukan dengan-Nya suatu pun, apabila dia dibunuh karena murtad, hukuman itu tidak menjadi kifarat baginya, dan jika dia mati dalam keadaan murtad, dia tidak dalam masyiiah berdasarkan firman Allah Ta'ala (S.An Nisa’: 48) baik dia dihukum di dunia di atas murtadnya atau tidak dihukum. (lihat Fathul Bari 1/64-68, dan 12/112)
2. Derajat kedua: Yaitu orang-orang yang menunaikan iman yang wajib dengan sempurna tidak mengurang-ngurangkan di dalamnya dan tidak menambahkan atasnya – sesudah menunaikan dasar iman – maka ini adalah mukmin yang berhak mendapatkan janji Allah (surga) dan selamat dari ancaman siksa (neraka), maksudnya bahwa dia berhak masuk surga sejak mula tanpa didahului siksa dengan karunia Allah sesuai dengan janji-Nya yang benar, tingkatan atau derajat ini derajat al muqtashidin. (S.Fathir: 32). “………………………,” artinya: Dan di antara mereka ada yang pertengahan.
Dan mengenai kedudukan mereka ini, juga diriwayatkan dalam sebuah hadits, ada seseorang yang bertanya tentang syari'at-syari'at Islam, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan kepadanya tentangnya dia berkata: Demi dzat yang memuliakanmu dengan kebenaran, saya tidak akan melakukan yang sunnah suatu pun, dan saya tidak akan mengurangkan suatu pun dari yang Allah fardhukan ke atasku, maka berkatalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Dia beruntung jika dia benar atau dia masuk surga jika dia benar. (al hadits muttafaq alaih dan lafadz al bukhari no. 1891)
Maka menunaikan yang fardhu-fardhu tanpa yang tathawwil (sunnah) ini adalah sifat iman yang wajib, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kabar gembira kepadanya dengan keberuntungan dan masuk surga dengan itu.
Catatan: Berilmu tentang kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang termasuk dalam dasar iman dan iman yang wajib hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, ada yang fardhu ‘ain secara khusus yaitu bagi yang berkewajiban saja, misalnya orang yang wajib menunaikan haji karena telah mampu menunaikannya maka dia wajib mempelajarinya rukunya, syaratnya, tata caranya, dan segala seluk beluknya. Berilmu kepadanya wajib karena beramal dengannya wajib dan tersusun di atas mengurang-ngurangkannya ancaman kufur atau fasik, sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa amalan mesti didahului dengan ilmu, maka berilmu dengan hal-hal tersebut berarti hukumnya wajib sebab hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Tujuan: memenuhi dasar iman dan iman yang wajib dengan menunaikan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan, dan wasilahnya adalah: mengetahui (berilmu) dengan hal-hal yang diwajibkan dan yang dilarang.
3. Tingkatan ketiga: iman yang mustahab, yaitu sesuatu yang lebih dari iman yang wajib terdiri dari perkara-perkara yang mandubat (disunahkan) dan mustahabbat (yang disukai), dan meninggalkan yang makruh-makruh dan yang musytabihat (samar-samar antara halal dan haramnya). Maka barang siapa yang menunaikan perkara-perkara tersebut – beserta dasar iman dan iman yang wajib – maka dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu yang berbuat kebaikan yang berhak masuk surga sejak mula dalam tingkatan yang lebih tinggi daripada muqtashidin yang tingkatan “………………………,” artinya: Dan di antara mereka ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah (S.Fathir: 32)
Allah Ta'ala berfirman (S.Fathir: 32):
Demikianlah tiga martabat atau tingkatan iman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637). Berkata Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz penulis Al Jami’ kalaulah syaikhul Islam mengatakan, “yang ashl (dasar) ia tidak wujud tanpa dengannya” tentu lebih afdhal daripada ucapannya, “ia tidak sempurna tanpa dengannya.” Sebab iman tidak sempurna dengan ashl (dasar) saja, bahkan dengan semua tingkatannya yang tiga, dengan kumpulan ketiga-tiganya baru dinamakan iman yang kamil (sempurna). Sebagaimana ucapan syaikhul Islam sendiri: ia (iman) adalah seluruh apa yang diperintahkan Allah dengannya, maka ini adalah merupakan iman yang kamil lagi sempurna. (Majmu'ul Fatawa 19/293)
Iman yang kita sebutkan tiga martabatnya tadi adalah iman yang hakiki (sebenarnya) yang berlaku hukum-hukum akhirat terhadap seseorang disisi Allah Ta'ala dari segi pahala dan siksa, adapun di dunia adalah Iman hukmi (iman secara hukum) dan disebut juga Islam hukmi (Islam secara hukum) yang dapat membedakan dengannya antara muslim dan kafir. Hal ini ketetapannya mengikrarkan dua kalimat syahadat atau sesuatu menduduki kedudukannya dari tanda-tanda Islam yang lain.
Berkata Ibnu Hajar pada ucapannya dalam takrif iman: maka salaf berkata: bahwa Iman adalah i’tiqad dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melakukan yang rukun-rukun – dan seterusnya hingga kata-katanya – semua ini ditinjau dari segi menurut Allah Ta'ala, adapun menurut kita Iman adalah mengikrarkan saja, maka barangsiapa yang telah berikrar, berlaku keatasnya hukum-hukum di dunia. “Fathul Bari 1 / 46”
Berkata Ibnu Taimiyah: Karena sesungguhnya Iman yang dhohir yang berlaku keatasnya hukum-hukum di dunia tidak mesti disertai dengan iman batin yang pemiliknya termasuk orang-orang yang meraih kebahagiaan di akhirat “Majmu’ Fatawa 7 / 210”
Allah Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya: (S.Al-Mumtahanah: 9). Dalam ayat ini Allah Ta'ala berfirman: (………………) maksudnya: Allah lebih mengetahui tentang hakekat iman mereka, dan firman-Nya: (…………………….) maksudnya: mengetahui iman secara dhohir yaitu iman secara hukmi. Dan firman-Nya lagi (S.An-Nisa’: 25). Maka firman-nya: (……………….) maksudnya: menurut yang dhahir, dan firmannya: (……………..) maksudnya: hakekatnya yaitu Iman yang hakiki.
Mengenai tingkatan iman bisa dirujuk dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 7/358, 525, 529 dan 638; 10/6; 12/474; 19/290-294. Dan Ibnu Qoyyim mensifati keadaan orang-orang yang menduduki tiga martabat tersebut dalam kitabnya, Thariqul Hijratain, hal 185-216.
Dengan keterangan diatas menjadi jelaslah bahwasannya segala keta’atan itu adalah iman, akan tetapi tidak setiap maksiat itu kufur, maka sebagaimana keta’atan-keta’atan itu berbeda-beda martabatnya ada yang termasuk dasar iman, ada yang termasuk iman yang wajib dan ada juga yang termasuk dalam iman yang mustahab, maka demikian juga kemaksiatan-kemaksiatan bertingkat-tingkat, ada yang menghilangkan dasar iman, dan dinamakan kufur, ada juga yang menghilangkan iman yang wajib, disebut fisq (fasik). Allah Ta'ala berfirman: (S. Al-Hujurat: 7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan ayat ini kemudian berkata: telah berkata Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: karena kemaksiatan-kemaksiatan itu sebagiannya ada yang kufur dan sebagiannya bukan kufur, maka dalam ayat ini dibedakan antara masing-masing dan dijadikannya tiga macam: yang satu macam adalah kufur, satu macam lagi adalah fisq (fasik) dan bukan kufur, dan satu macam yang lain adalah ‘ishyan (durhaka) bukan termasuk kufur dan tidak fasik. Dan Allah Ta'ala mengkhabarkan bahwasannya Ia menjadikan orang-orang beriman membenci keseluruhannya. Dan karena keta’atan-keta’atan itu semuanya termasuk dalam iman dan tidak ada sesuatupun yang keluar darinya. Maka Allah Ta'ala tidak membedakannya “Majmu’ Fatawa 7/42”
Kemudian tempat rujukan dalam mengklasifikasikan kemaksiatan adalah kepada Asysyari’ (Pembuat Syariat) yaitu Allah Ta'ala, maka diantara kemaksiatan yang Allah Ta'ala namakan kufur adalah berdo’a kepada selain Allah Ta'ala (S.Al-Mukminun: 117). Dan diantara kemaksiatan yang Allah Ta'ala sebut fisq (fasik) adalah menuduh berzina kepada kaum mukminat (S. An-Nur: 4). Dan Allah Ta'ala telah menghimpunkan dalam satu ayat antara kemaksiatan yang memfasikkan dan kemaksiatan yang mengkafirkan dalam firmannya (S. Al-An’am: 121). Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebut makan sembelihan yang tidak disebut nama Allah Ta'ala atasnya adalah fasik, dan menyebut taat kepada orang-orang kafir (wali-wali syaitan) dalm syare’at mereka adalah syirik, sebagaimana yang tertera dalam tafsir firman Allah Ta'ala: (………………..) artinya: Dan jika kamu mentaati mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
Berkata Ibnu Katsir: maksudnya sekiranya kamu menyeleweng dari perintah Allah kepadamu dan dari syre’atnya kepada ucapan yang lainnya, dan kamu mendahulukan yang lainnya keatasnya, maka ini adalah syirik, sebagaimana firman-Nya (……………..), kemudian beliau menyebutkan hadits Ali bin Hatim dalam ayat ini. “Tafsir Ibnu Katsir 2/171”
Nash ini menerangkan juga bagaimana kemaksiatan yang tidak mukaffirah (mengkafirkan) berubah menjadi kufur karena Istihlal (peghalalan), yaitu menganggap boleh (makan sembelihan tanpa disebut nama Allah tadi) karena mengamalkan syare’at orang yang berpendapat seperti itu yang bertentangan atau menyelisihi hukumm Allah Ta'ala dalam hal tersebut.
Dari keterangan tersebut bahwa dosa itu baik yang meninggalkan kewajiban ataupun yang melakukan yang haram, dibagi menjadi dua bagian yaitu:
3) Macam-macam Dosa
1) Bagian pertama: Dosa yang mukaffir (mengkufurkan), yaitu setiap dosa yang Allah Ta'ala namakan kufur, yang menghilangkan dasar iman, dalam hal ini ada dua macam:
- Meninggalkan yang wajib yang termasuk dalam dasar iman, seperti meninggalkan atau tidak mengikrarkan dua kalimat syahadat, meninggalkan shalat, tidak adanya pembenaran dalam hati yaitu kufur takdzib (mendustakan), jika tidak membenarkan dan lisannya mengikrarkan berarti kufur nifaq, dan jika tidak ada keyakinan dalam hati berarti kufur syak (ragu-ragu), dan lain sebaigainya dari dari kewajiban-kewajiban dasar iman, baik terdiri dari amalan-amalan hati atau lisan atau anggota badan, dan semua perkara yang terdapat dalil syar’inya yang mengkufurkan orang yang meinggalkannya, maka ia adalah kewajiban dari dasar iman.
- Melakukan perbuatan (amal) yang haram yang berlawanan dengan dasar iman: seperti mencela Allah Ta'ala dan rasul-Nya, berdo’a kepada selain Allah Ta'ala, menyembelih untuk selain Allah Ta'ala, maka setiap perkara yang terdapat dalil syar’i yang mengkufurlan pelakunya, maka ia diharamkan atau sesuatu ynag haram yang berlawanan dengan dasar iman.
Maka setiap orang yang melakukan dosa yang mengkufurkan (baik yang meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram) maka dia adalah kafir hanya karena meninggalkannya atau melakukannya, dan tidak boleh mensyaratkan untuk pengkafirannya karena juhud (pengingkaran) nya terhadap yang wajib yang dia meninggalkannya atau istihlal (menganggap halal) nya terhadap yang haram yang dia lakukan, karena Allah Ta'ala menamakannya kafir – dengan meningglaknnya atau dengan mengerjakannya – dan tidak membatasi atau mengikat hali itu dengan juhud atau istihlal. Maka barangsiapa mensyartkan demikian, sungguh dia telah membetulkan atau mengajari Allah Ta'ala, bahkan dia telah mendustakan ayat-ayat Allah Ta'ala yang menunjukkan atas kufurnya pelaku dosa ini, dan barang siapa yang mendustakan ayat-ayat Allah Ta'ala sungguh dia telah kufur, oleh karena itu salaf telah mengkafirkan ghulat (pelampau) murjiah yaitu orang-orang yang menganggap jahd (mengingkari) sebagai syarat yang berdiri sendiri untuk mengkafirkan dengan dosa-dosa yang mengkufurkan, lihat Majmu’ Fatawa 7/205, 209.
Dalil-dalil dari nash-nash dan ijma’ yang menyatakan atas kufurnya orang yang melakukan dosa-dosa yang mengkafirkan hanya karena berbuat atau meninggalkan saja, tanpa adanya pengikat atau pembatas dengan juhud atau istihlal, antara lain sebagai berikut:
- Allah Ta'ala berfirman (S.At-Taubah: 74). Dalam ayat ini Allah Ta'ala menghukumi bahwa mereka kufur hanya karena ucapan yang mereka ucapkan dengannya, berkata Ibnu Taimiyah: Allah Ta'ala telah menyebutkan kalimat-kalimat (kata-kata) orang kafir di dalam Al-Qur’an dan menghukum dengan kufur terhadap mereka dan menjadikan mereka pantas mendapat ancaman dengan kata-kata itu. “Majmu’ Fatawa 7/558”
- Allah Ta'ala berfirman: (S. At-Taubah: 64-65)
Berkata Ibnu Taimiyah: Allah Ta'ala telah mengkhabarkan bahwasannya mereka telah kafir sesudah iman mereka, meskipun mereka menyatakan: Sesungguhnya kami berbicara dengan kekufuran dengan tanpa meyakininya, bahwa kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja, dan jelaslah bahwasannya memperolok-olok dengan ayat-ayat Allah adalah kafir. “Majmu’ Fatawa 7/273”
- Allah Ta'ala berfirman (S. Al-Kahfi: 35-37).
Dalam ayat ini kawannya (yang mukmin) mengkafirkannya hanya karena ucapannya yang mukaffir yaitu “………………..” artinya: Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang……
4. Allah Ta'ala berfirman: (S. Al-Maidah: 72) dan firman-Nya (S. Al-Maidah: 73). Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah mengkafirkan mereka dengan ucapan mereka saja.
5. Dan Allah Ta'ala berfirman: (Al-Baqarah: 34)
Dalam ayat ini Allah Ta'ala mengkafirkan Iblis dengan perbuatannya yaitu meninggalkan sujud kepada Adam.
Maka nash-nash tersebut menunjukkan bahwa siapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu kekufuran, dia telah kufur dengan itu, tanpa disyaratkan dia ingkar ingkar atau menghalalkan dengan syariat itu, sebab Allah Ta'ala menghukumi mereka kafir tidak mengikatkan dengan syariat itu, dan tidak ada dalil yang terpisah yang menunjukkan demikian. Adapun qaidah umum yang disangka oleh sebagian orang sebagai dalil pensyariatan juhud atau istihlal untuk mengkafirkan yang mereka pahami dari matan Al-Aqidah At-Thohawiyah, maka sebenarnya merupakan pemahaman yang rusak terhadap ucapan para ulama – insya Allah ini akan diuraikan pada bahasan berikutnya.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah: Dan secara global, maka barang siapa yang mengatakan atau melakukan sesuatu kekufuran, dia telah kufur dengan itu, walaupun tidak bermaksud menjadi kafir, sebab tidak ada seseorang yang bermaksud kufur melainkan atas kehendak Allah Ta'ala, “Ash-Sharimul Mashul, hal 177-178”
- Dan Sabda Rasullullah: …………………………..
Artinya: antara seorang laki-laki dan antara kufur adalah meninggalkan shalat. “H.S.R. Muslim”
Kalimat “ ……….” dalam hadits ini bentuknya makrifah dengan ….. berarti ia adalah kufur akbar. Rasulullah menghukumi kufur hanya karena meninggalkan shalat. Para sahabat telah berijma’ atas kafirnya seseorang yang meninggalkan satu shalat dengan sengaja sehingga waktunya habis. “lihat Ibnu Hazm (Al-Muhalla) 2/242, Ibnu Qoyyim (Kitabush Shalah) hal.15 dan hal.31 “Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa) 20/97.
Ditempat lain Syaikhul Islam berkata : sesunggauhnya membedakan antara orang yang mengakui wajibnya shalat dan orang yang mengingkari wajibnya, dan mengkafirkan yang kedua tanpa mengkafirkan yang pertama, cabang-cabang ini adalah rusak lagi batil tidak dinukil dari shahabat. “ Majmu’ Fatawa 22 / 48 “ beliau berkata lagi : dan diketahui ada diantara fuqoha’ yang mengatakan bahwasannya apabila seseorang mengakui akan wajibnya dan enggan untuk mengerjakan, dia tidak dibunuh, atau dibunuh dalam keadaan islamnya, seorang faqih seperti ini telah terkena syubhat yang mengena atas murjiah dan jahmiyah. “ Majmu’ Fatawa 7 / 616 “
Syubhat yang menimpa mereka itu disebutkan oleh Ibnu Qoyyim dalam ucapannya tentang orang-orang yang tidak berpendapat kufurnya orang yang meninggalkan shalat, mereka berkata : Karena sesungguhnya kufur itu adalah meningkari tauhid, mengingkari risalah dan hari kiyamat, meningkari apa yang dibawa oleh Rasulullah sedangkan ia mengakui keesaan Allah Ta'ala bersaksi bahwasannya Muhammad adalah Rasulullah, percaya bahawa Allah Ta'ala membangkitkan orang yang ada dalam kubur, maka bagaimana orang yang seperti itu dihukumi kafir? Padahal iman adalah membenarkan dan lawannya adalah mendustakan bukan meninggalkan amalan, maka bagaimana orang yang membenarkan dihukumi dengan hukum orang yang mendustakan dan orang yang ingkar ? “ Kitab Ash-Shalah, hal 15 “ jelas sekali rusak dan batilnya pendapat tersebut, sebab kekufuran bukan ingkar saja, baik pada sebab-sebab kekufuran maupun pada macam-macamnya, dan sesungguhnya kufur dalam hukum-hukum dunia terjadi dengan ucapan atau perbuatan atau meninggalkan yang ditunjukkan dalil atas kufurnya pelakunya.
7. Termasuk dalil yang kuat juga dalam masalah ini adalah ijma’ para shahabt atas kafirnya orang-oarng yang enggan membayar zakat hanya karena enggan saja tanpa melihat kepada pengakuan mereka akan wajibnya atau tidak (juhud / ingkar). Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ia berkata : Tatkala Rasulullah wafat dan Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, dan telah kufur orang yang telah kufur dari bangsa Arab, berkata Umar : Wahai Abu Bakar bagaimana Anda memerangi manusia sedangkan Rasulullah telah bersabda : Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan ………………………… maka barangsiapa yang mengucapkan …………………… dia terpelihara dariku hartanya dan jiwanya kecuali dengan haknya dan hisabnya atas Allah . Berkata Abu Bakar : Demi Allah sungguh aku akan perangi oang yang membedakan antara shalat dan zakat, maka sesungguhnya zakat adalah hak harta, demi Allah seandainya mereka enggan membayar kepadaku anak kambing betina yang biasa mereka serahkan kepada Rasulullah sungguh aku akan perangi mereka karena penolakannya. Berkata Umar : maka demi Allah, tidaklah ia kecuali aku telah melihat bahwasannya Allah Ta'ala telah melapangkan dada Abu Bakar untuk perang, maka aku mengetahui bahwa sesungguhnya ia adalah benar. “ H.S.R. Al-Bukhari dan Muslim “ dan lafadznya dari Al-Bukhori (NO. 6294-6295) dalam bab “ Dibunuh Orang yang Enggan Menerima Hal-hal yang Fardhu (Faraidh) dan Sesuatu yang Mereka Dinasabkan Kepada Murtad “ dalam Kitab “ Diminta Untuk Bertaubat Orang-orang yang Murtad dan Orang-orang yang Menentang dan Memerangi Mereka. “
Adapun dalil pengkafiran Abu Bakar terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat, yaitu ucapan beliau : “ Demi Allah, sungguh benar-benar aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat. “ (Ijama’ shahabat telah menetapkan atas kufurnya orang yang meninggalkan shalat dan wajib membunuhnya jika tidak bertaubat. Dan yang menunjukkan bahwa Abu Bakar menyamakan antara shalat dan zakat yaitu menurut beliau orang yang menolak membayar zakat mereka kafir dan wajib diperangi, dan barangsiapa yang menyatakan bahwa beliau menyamakan antara shalat dan zakat itu hanya pada hukumnya saja yaitu “ dibunuh “ bukan pada hukumnya yaitu “ kufur “ maka pendapat seperti ini salah, sebab Abu Bakar telah menyamakan antara keduanya secara mutlak yang mengandungi hukumnya dan hukumannya, dan hali ni ditunjukkan juga oleh ucapan Abu Hurairah, “ Dan telah kufur orang yang telah kufur dari bangsa Arab. “, dan ia juga dipilih oleh Imam Al-Bukhari sebagaimana yang beliau sebutkan dalam menginterprestasikan bab ……………. (dan apa yang yang mereka dinisbatkan kepada murtad)
Dan para sahabat telah menyepakati pendapat Abu Bakar, maka berarti hal ini merupakan ijma’ dari mereka atas kufurnya orang yang menolak zakat dan pengakuan mereka akan keutamaan Abu Bakar dan paling alimnya.
Ibnu taimiyah berkata : Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bawasannya Abu Bakar adalah orang yang paling alim dari umat ini dengan yang batin dan yang dhahir, ijma’ telah menceritakan yang demikian itu bukan satu saja. “ Majmu’ Fatawa 13 / 237 “ bisa juga dirujuk juz 35 / 124 dan I’lamul Muwaqqi’in Ibnu Qoyyim 4 / 119.
Dan tidak dinukil bahwasannya para sahabat dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat ada perbedaan dengan memerangi seluruh kaum muratad yang lainnya seperti kaum Musailamah Al-Kadzab dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahea mereka tidak membedakan antara kaum yang murtad karena enggan membayar zakat dengan kaum yang muratd karena mengikuti Musailamah Al-Kadzab yang mengaku sebagai nabi. Berbeda dengan apa yang dilakukan Ali bin Abi Tholib dalam memerangi bughat dalam peristiwa perang “ Jamal “ dan “ Shiffin “ pada waktu itu beliau mengarahkan pasukannya agar tidak membunuh yang luka dan tidak mengejar yang lari. “ lihat Nailul Author 7 / 353 “
Berkata Ibnu Taimiyah : telah dating berita secara mutawatir tentang Ali pada hari “ Jamal “ tatkala ia memerangi mereka bahwasannya ia tidak mengejar yang lari mundur dan tidak membunuh yang mereka yang terluka dan tidak mengambil harta mereka sebagai ghonimah dan tidak menawan anak dan istri mereka sebagai tawanan. “ Minhajus Sunnah 4 / 496 “
Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ……….. mengibaratkan bahwa penyamaan shahabat antara memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan memerangi selain mereka dari kaum yang murtad sebagai dalil atas kufurnya orang-orang yang menolak membayar zakat, beliau ditanya : Memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat apakah ia kemurtadan? Maka beliau menjawab : Yang betul bahwasannya ia adalah riddah (kemurtadan). Karena Ash-Shiddiq tidak membedakan antara mereka dan tidak pula orang sesudah mereka. “ dari Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim …………… yang dihimpun oleh Muhammad bin Abdur Rahman bin Qasim juz 6 / 202. “
Al-Qadhi abu Ya’la pengarang Kitab Al-Ahkamus Suthaniyah, juga menukil ijma’ shahabat atas kafirnya orang yang enggan membayar zakat. “ lihat Masailul Iman oleh Al-Qadhi Abu Ya’la hal. 330-332. Dan begitu juga Abu Bakar Aljashshash Al-Hanafi dalam kitabnya Ahkamul Qur’an 2 / 302, menafsirkan firman Allah Ta'ala (S. An-Nisa’ : 65) katanya : Dalam ayat ini menunjukkan bahwasannya orang yang menolak sesuatu dari perintah-perintah Allah Ta'ala atau perintah-perintah Rasul-Nya, maka dia keluar dari Islam, baik penolakannya itu kerena ragu-ragu, atau tidak menerima dan enggan menyerah diri, yang demikian itu memastikan benarnya pendapat shahabat yang menghukumi murtad terhadap orang yang enggan menunaikan zakat, dan membunuh mereka dan menawan anak istri mereka, karena Allah Ta'ala menghukumi bahwasannya orang yang tidak menyerah kepada Nabi dan hukumnya maka tidak termasuk dari ahlul iman (orang beriman). “ Ahkamul Qur’an 2 / 302 “
Berkata Ibnu Taimiyah : para shahabat dan imam-imam sesudah mereka telah bersepakat diatas memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat kendatipun mereka menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa di Bulan Ramadhan, dan tidak ada pada diri mereka sybhat (kesamaran) yang bolaeh diterima, oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang murtad, dan mereka diperangi karena menolak meskipun mengakui wajibnya sebagimana yang diperintah Allah Ta'ala. “ Majmu’ Fatawa 28 / 531 “
Berkata Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab (1242 H) telah berkata Asy-Syaikh Ibnu Taimiyah pada pada akhir ucapannya atas kufurnya orang yang enggan membayar zakat; dan shahabat tidak mengatakan apakah anda mengakui wajibnya atau anda mengingkarinya, hal ini sama sekali tidak diketahui dari shahabat, bahkan berkata Ash-Shidiq kepada Umar : Demi Allah, seandainya mereka enggan membayar kepadaku anak akmbing betina yang biasa mereka bayarkan kepada Rasullullah niscaya aku akan perangi mereka karena keengganannya, maka yang membolehkan diperangi disini hanya karena enggan atau menolak saja, bukan karena juhud atau mengingkari kewajibannya, dan telah diriwayatkan bahwasannya beberapa kelompok dari mereka mengakui kewajibannya akan tetapi mereka kikir, meskipun demikian perjalanan para khalifah sama satu langkah yaitu membunuh pasukan mereka dan menawan anak istri mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghonimah dan menyaksikan bahwa mereka yang mati di neraka, dan mereka seluruhnya disebut ahlur riddah (orang-orang yang murtad). “ Ad-Durarus Sunnah fil Ajwibatin Najdiyah juz 8 / 131. “
Demikian itulah ijma’ dan kesepakatan shahabat atas kafirnya orang-orang yang menolak membayar zakat dan murtadnya mereka, namun yang masyhur dikalangan mutaakhkhirin (orang-orang yang akhir) malah ucapan Abu Sulaiman Al-Khitobi dalam kitabnya “ Ma’alimussunan “ katanya : sesungguhnya penamaan orang-orang yang enggan membayar zakat dengan “ murtaddin “ (orang-orang yang murtad), adalah termasuk dari bab majas (bahasa kiasan bukan sebenarnya), dan sesungguhnya mereka adalah bughat bukan murtaddin, karena mereka tidak mengingkari wajibnya zakat. Dan orang-orang yang akhir mendapati bahwa ucapan ini berjalan diatas ushul atau dasar-dasar golongan murjiah yang mensyaratkan adanya juhud (pengingkaran) dalam mengkufurkan, lalu mereka begitu saja dan mereka nukil didalam kitab-kitab mereka, oleh karena itu banyak dari kaum mu’ashirin (masa kini) yang tidak mengetahui selain ucapan ini, maka An-Nawawi menukil ucapan tersebut didalam syarh Muslim, dan Ibnu Hajar berkata dalam mensyarah hadits Abu Hurairah yang telah tersebut terjemahnya diatas : Hanyasannya disebut kufur pada awal kisahnya karena mengandungi dua kelompok : yaitu kafir secara hakekatnya bagi yang mengingkari, dan yang lain kufur secara kiasan yang biasa dipakai. “ Fathul Bari 12 / 277 “. Dan ada juga sekelompok yang berpendapat bahwa shahabat mengkafirkan mereka karena mereka mengingkari zakat, “ dinukil Ibnu Hajar dari Al-Qodhi ‘Iyadh dalam Al-Fath 12 / 276 “. Padahal tidak ada keterangan sama sekali dari shahabat bahwa mereka berbicara tentang masalah mengingkari atau mengakui wajibnya berkenaan dengan kedudukan orang-orang yang enggan membayar zakat dan menggantungkan hukum karena mengingkari atau mengakui wajibnya atas mereka.
Maka hal ini hal ini sebagaimana kata-kat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “ ……………….” Maksudnya : Masalah ……. (cabang) yang rusak lagi batil yang tidak dinukil dari shahabat, maka fikirkan hal ini, anda akan mengetahui bahwa banyak para mutaakhkhirin yang menyelisihi apa yang ada pada salaf.
Berkata Ibnu Taimiyah : Dan apabila mereka menyebutkan perselisihan mutaakhkhirin yang demikian itu bukan saja menjadikan hal ini sebagai masalah-masalah ijtihad yang mana setiap pendapat dari penadapat-pendapat itu dapat diterima yang tidak menyelisihi ijma’, karena sesungguhnya banyak dari ushul (dasar-dasar) mutaakhkhirin yang muhdats mubtada’ (sesuatu yang baru yang bid’ah) dalam Islam yang menyelisihi ijma’ salaf yang terdahulu, dan perselisihan yang terjadi sesudah ujma’ salaf adalah salah secara qoth’i. “ Majmu’ Fatawa 13 / 26 “
Dengan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa [erselisihan mutakhkhirin dalam mengkafirkan orang yang enggan membayar zakat, sesudah adanya ijma’ shahabat dalam masalah ini, tidak perlu diperhitungkan, hal ini seperti perselisihan mereka dalam mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat sesudah adanya ijma’ shahabat terhadap kafirnya orang yang meninggalkan shalat.
“ Keterangan lebih lanjut dalam masalah ini rujuk Al-Jami’ 7 / 76-84 “
- Dan termasuk dalil dalam masalah ini yaitu pengkafiran shahabat terhadap orang yang bersaksi bahwa Musailamah adalah rasul Allah, tanpa menanya kepada mereka, apakah kamu mengingkari dan menghalalkan atau tidak? “ uraian rujuk Al-Jami’ 7 / 84-85 “
Inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ijma’ shahabat bahwasanya barangsiapa yang melakukan “ dosa yang mengkufurkan “ dia telah kafir, tanpa melihat juhud atau istihlalnya, inilah mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka telah berijma’ diatasnya. Sebagaimana Ibnu Taimiyah : Jika dia mencela Allah Ta'ala atau mencela rasul-Nya, dia telah kufur lahir maupun batin, baik si pencela itu meyakini bahwa perbuatannya itu haram atau dia menganggap halal baginya, atau melupakan keyakinannya. Ini adalah mazhab para fuqoha’ dan seluruh Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwasanya Iman adalah ucapan dan perbuatan. Dan telah berkata Imam Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim Al-Handzali yang terkenal dengan nama Ibnu Rahawiyah, beliau salah seorang imam yang setandang dengan Asy-Syafi’i dan Ahmad : Telah beijma’ kaum muslimin bahwasanya barang siapa mencela Allah atau mencela Rasul-Nya atau menolak sesuatu dari apa yang diturunkan Allah, atau membunuh seorang nabi dari nabi-nabi Allah Ta'ala, sesungguhnya dia kafir dengan itu walaupun dia mengakui dengan apa yang diturunkan Allah. “ Ash-Shorimul Mashul hal. 512 “
Fikirkan kata-katanya “ Walaupun mereka mengakui “ agar anda mengerti bahwa mengakui wajibnya itu tidak menghalangi dari pengkafiran dari dosa-dosa yang mengkufurkan. Dan Al-Qodhi Iyadh juga berpendapat hampir seperti ini, lihat Asy-Syafaa 2 / 1072. dan Ibnu Hajar menukil dari dari Asy-Syaikh Taqiudin As-Subhi, ijma’ atas pengkafiran orang yang sujud terhadap berhala dan sebagainya, dari orang yang tidak menyatakan pengingkarannya meskipun dia meyakini Islam secara global dan mengamalkan hal-hal yang wajib. “lihat Fathul Bari 12 / 299-300”
Dari keterangan diatas bisa disimpulakn bahwa berdasarkan nash-nash al-Kitab, As-Sunah dan ijma’ shahabat orang yang melakukan dosa yang mengkufurkan (dari ucapan atau perbuatan atau meninggalkan yang telah ditetapkan akan kufurnya pelakunya), maka sesungguhnya dia kafir dengan itu, tanpa dilihat kufurnya dengan persyaratan juhud atau istihlal.
Ahlus Sunnah dan golongan murjiah dari fuqoha’ dan Asyairah serta Jahmiyah bersepakat diatas hukum tersebut, kecuali Jahmiyah dalam salah satu ucapannya mengatakan : Boleh jadi dia beriman dalam batinnya, ucapan ini adalah kekufuran dari mereka. Dan tidak ada golongan yang menyimpang dari hukum ini selain golongan dari ghulat (ekstrimis) murjiah yang mengatakan : meskipun dia melakukan kekufuran, dia tidak kafir kecuali dengan juhud (ingkar), dan dengan pendapat ghulat murjiah ini banyak dari golongan orang-orang sekarang yang berpendapat seperti itu. Orang yang berpendapat seperti itu tidak ada perselisihan dikalangan salaf dalam mengkafirkannya, karena dia menolak nash-nash pembuat syari’at yang menghukumi dengan kufur terhadap orang-orang yang mengucapkan kekufuran dan melakukannya.
2) Bagian kedua : Dosa-dosa yang memfasikkan tisdak mengkafirkan : yaitu alkabair (dosa-dosa besar) yang ada hukum hadnya di dunia atau ada ancaman siksanya di akhirat, dan tidak ada nash yang mengkufurkan pelakunya, dan pelakunya tidak dihukum dengan hukuman orang yang murtad. Dosa-dosa ini merusakkan Iman yang wajib. Oleh karena itu pelakunya termasuk orang yang terancam siksa dan tidak merusakkan dasar Iman, maka pelakunya tidak kafir. Adapun bentuknya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Meninggalkan yang wajib dari kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Iman yang wajib : se[erti meninggalkan jihad fisabilillah sewaktu hukumnya fardhu ‘ain, hal ini merupakan dosa besar karena adanya ancaman siksa didalamnya (S. At-Taubah : 35), tidak jujur dalam ucapan dan janji, tidak berbuat baik kepada orang tua, dan sebagainya dari kewajiban-kewajiban yang ada.
b. Melakukan yang diharamkan yang merusak iman yang wajib : seperti minum khamr, berzina, mencuri, makan riba, dusta, menggunjing, adu domba dan sebagainya dari dosa-dosa besar.
Maka setiap orang yang melakukan dosa-dosa dari jenis ini, maka dia fasik terancam siksa dan tidak kafir, dan disebut fasik milli, yaitu meskipun dia fasik tetap termasuk ahli millah Islam tidak keluar dari mereka, karena pada dirinya masih ada dasar iman, sebagai pembeda baginya dari orang yang fasik dengan orang yang fasik akbar yang mengeluarkan dari millah Islam. Sebab setiap orang kafir itu fasik, sebagaimana firman Allah Ta'ala : “……………….” (S. Al-Kahfi : 50), dan sebagainya.
Jika dosa-dosa besar yang ada hukum hadnya di dunia seperti : minum khamr, mencuri, menuduh seseorang berzina, berzina dan merampok, lalu ditegakkan hukuman hadnya atas pelakunya, maka hukuman itu sebagai penghapus bagi dosanya, dan pelanggaran yang tidak ada hadnya seperti : dusta dan durhaka terhadap kedua orang tua, atau pelanggaran yang ada hukum hadnya namun tidak ditegakkan terhadap pelakunya karena tidak ketahuan yang berwajib dan tidak diangkat kepada Qodhi atau karena hukum had tidak ditegakkan tidak ditegakkan sebagaimana pada zaman kini, maka orang seperti ini jika mati belum sempat bertaubat maka kedudukannya dalam masyi’ah (kehendak Allah Ta'ala), jika Allah Ta'ala menghendaki, mengampuninya, jika tidak, menyiksanya sesuai dengan kadar dosanya dalam neraka, kemudian dia dikeluarkan darinya dan dimasukkan kedalam surga karena dasar iman yang ada pada dirinya. Sebagaimana sabda Nabi …… berkenaan denganm ahlul kabair : ………………………………… artinya : Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu dari itu, lalu dikenakan hukuman di dunia, maka ia sebagai penghapus dosa baginya, dan barngsiapa yang melanggar sesuatu dari itu, kemudian Allah Ta'ala menutupinya, maka urusannya kepada Allah Ta'ala, jika Allah Ta'ala menghendaki, mengampuninya, dan jika menghendaki, menyiksanya. “ Hadits Muttafaq ‘alaih, lafadz Al-Bukhori (NO. 18)
Dan keadaannya dalam masyiah (kehendak Allah Ta'ala) di akhirat menunjukkan bahwa dia tidak kafir, berdasarkan firman Allah Ta'ala (S. An-Nisa’ : 48). Adapun masuknya kedalam neraka jika Allah Ta'ala tidak mengampuni dosanya, dalilnya adalah sabda Rasullullah yang diriwayatkan Imam Al-Bukhori dari Anas (No. 7450) sebagaimana yang telah tersebut sebelumnya, adapun tentang tentang masuknya kedalam surga setelah disiksa, dalilnya sabda Rasullullah yang diriwayatkan Imam Al-Bukhori dari Abu Hurairah (No. 7437) telah disampaikan juga sebelumnya.
Maka dosa-dosa yang memfasikkan ini, meninggalkan yang wajib maupun melakukan yang haram, pelakunya tidak kufur kecuali jika dia mengingkari yang wajib atau menghalalkan yang haram, sebab mengingkari yang wajib atau menghalalkan yang haram berarti mendustakan nash-nash syari’at, oleh karena itu orang yang mengingkari kewajiban dia telah kafir walaupun dia menunaikan kewajiban itu sebagaimana telah kafirnya orang yang menghalalkan yang haram meskipun dia tidak melakukannya.
Sesungguhnya pelaku dosa-dosa ini, mereka tidak kufur hanya karena melakukannya, karena dosa-dosa tersebut tidak merusakkan dasar iman, akan tetapi jika disertai dengan dasr juhud dan istihlal merusak dasar iman maka dia menjadi kafir.
Asy-Syaikh Hafidz Hukmi telah meringkaskan ijtihad Ahlus Sunnah dalam masalah ini dengan bait syairnya :
……………………………………………………………………………….
Dan kami tidak mengkafirkan seorang mukmin dengan dosa-dosa maksiat kecuali disertai dengan penghalalannya terhadap perbuatan kriminalnya.
Ijma’ shahabat telah menunjukkan kepada kita bahwa persyaratan juhud dan istihlal dalam pengkafiran adalah pada dosa-dosa yang tidak mukaffarah, ijma’ ini terjadi ketika terjadi salah seorang yang bernama Qudamal bin Abdullah minum khamr karena salah mentakwil firman Allah Ta'ala (S. Al-Maidah : 93). Dan tatkala masalah ini dibawa kehadapan Umar bin Al-Khattab, beliau bersepakat dengan Ali dan dan para shahabat bahwasanya jika Qudamah bin Abdullah dan kelompok sepertinya mangakui haramnya, mereka akan dikenakan hukum cambuk, dan jika mereka tetap diatas penghalalannya (menganggap khamr halal), mereka akan dikenakan hokum bunuh karena murtad, demikianlah secara ringkas kisahnya, lebih detilnya bisa dirujuk dalam Majmu’ Fatawa 11 / 403, dan 12 / 499, dan 20 / 92, dan 34 / 213, dan dalam Ash-Shorimul Maslul hal. 530, dan dalam Al-Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 364, dan berkata Ibnu Hajar bahwa Abdur Razaq telah meriwayatkan kisah Qudamah dalam musharrifnya dengan sanad yang bagus. Fathul Bari 13 / 141. dan Ibnu Hazm menyebutkan kisah tersebut tanpa menyebut nama Qudamah dalam Al-Ihkam 7 / 158. dan berkata Ahmad Syahir dalam ta’liqnya terhadap Ibnu Hazm : bahwa isnad Ibnu Hazm mursal, dan riwayat at-Thohawi dengan sanad yang sholeh bersambung.
Dan pada akhirnya ijma’ shahabat tentang persyaratan adanya istihlal untuk mengkafirkan dengan dosa-dosa yang tidak mengkafirkan ini disusun oleh Ahlus Sunnah Qoidah yang masyhur yaitu : ………………………………. ( Kamu tidak mengkafirkan seorang muslim dengan dosa selama dia tidak menghalalkannya)
Jadi yang dimaksud “ dosa “ dalam qoidah ini adalah dosa-dosa besar yang tidak mengkufurkan, dasarnya bahwa dalam qoidah ini pelaku dosa disebut muslim atau dari ahlul kiblat, yang berarti dia tidak melakukan dosa yang mukaffir yang mengeluarkan dirinya dari Islam, demikianlah berdasarkan keterangan ahlul ilmi.
Kemudian yang peril dimengerti bahwa diantara Tujuan Ahlus Sunnah meletakkan qaidah ini adalah untuk membedakan i’tiqad mereka dari i’tiqod golongan khawarij yang mengkafirkan dengan dosa-dosa besar yang tidak mengkufurkan.
Dan termasuk kategori penghalalan yang mengkafirkan adalah membuat syariat atau undang-undang secara umum yang menyelisihi syariat Islam yang dinashkan dalam undang-undang dasar dan ……………. yang direka. Undang-undang ini tidak keluar dari dua kufur akbar, yaitu juhud (ingkar) terhadap kewajiban-kewajiban sayr’i atau istihlal (menghalalkan) hal-hal yang diharamkan. Allah Ta'ala berfirman : (S. At-Taubah : 37). Dan An-N……(mengundur-undurkan yang haram). Sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah merupakan tasyri’ (membuat syariat) secara umum yang bertentangan dengan syariat Allah Ta'ala didalam bulan haram, maka Allah Ta'ala menamakan “ Ihlaalu lilharam “ (penghalalan bagi yang haram), dan Allah Ta'ala juga menamakannya “ Ziyadatun fil Kufri “ (menambah dalam kekufuran). Sedangkan menambah dalam kekufuran adalah kufur, dan sama saja apakah juhud dan istihlal itu dilakukan dengan omongan atau tulisan sebagaimana yang dinashkan undang-undang rekaan yang tertulis itu, sebab dalam qoidah fiqhiyyah dinyatakan bahwasanya tulisan adalah seperti pembicaraan.
Adapun bentuk juhud dan istihlal di dalam undang-undang rekaan itu antara lain sebagai berikut :
· Nash yang secara terang-terangan membolehkan hal-hal yang diharamkan, seperti membolehkan zina yang rela dan suka sama suka, pemberian izin membuka tempat-tempat pelacuran di sebagian negara yang mengaku sebagai negara Islam, dan membolehkan minum khamr di tempat-tempat tertentu, dan pemberian izin untuk membuka tempat-tempat dan pabrik-pabrik khamr, dan membolehkan riba serta memberi izin dibukanya bank-bank riba, dan membolehkan alat-alat permainan dan alat-alat musik dan mengizinkannya hal ini dalam sarana-sarana pemberitaan yang dimiliki negara maupun lainnya, dan membolehkan kemurtadan dengan nash yang tercantum dalam undang-undang, yaitu menjamin kebebasan keyakinan. Semua ini merupakan penghalalan secara terang-terangan terhadap hal-hal yang diharamkan syariat.
· Termasuk juga nash yang mengganti hukuman sebagian para penjenayah (pelaku kriminal) yang hukumannya telah ditentukan dalam syariat, maka pengguguran hukuman-hukuman atau sangsi-sangsi syar’i ini berarti juhud dan ingkar terhadapnya, dengan ini gugurlah hukum hudud syar’i secara keseluruhan.
Berkata Ibnu Taimiyah : Dan maklum bahwasanya orang yang menggugurkan perintah dan larangan yang Allah Ta'ala mengutus dengannya rasul-rasul-Nya, maka dia kafir menurut kesepakatan kaum muslimin, Yahudi dan Nasrani. “ Majmu’ Fatawa 8 / 106 “
· Termasuk juga nash yang mengandungi pengguguran sebagian kewajiban-kewajiban yang bersifat diniyyah, seperti nash atas kebebasan keyakinan, dengan ini berarti pengguguran terhadap jihad fi sabilillah untuk melawan penyembah berhala dari ahli kitab dan dengan itu juga pengguguran pelaksanaan hukum-hukum ahlu dzimmah. Dan nash bebas keyakinan itu berarti pengguguran had atau hukuman terhadap orang yang murtad, dan pengguguran jihad terhadap orang-orang yang murtad. Dan ini adalah merupakan juhud dan ingkar terhadap hal-hal yang diharamkan tersebut.
· Termasuk juga mengenakan hukuman terhadap orang yang menunaikan sebagian kewajiban-kewajiban syariat, hal ini berarti juhud terhadap kewajiban itu dan mengingkarinya, seperti amar bil ma’ruf dan nahi mungkar, jihad fi sabilillah untuk memberontak penguasa yang murtad dan sebagainya, dan menghukum orang yang menunaikan kewajiban ini nerarti menganggap anak yang sholeh itu sebagai perbuatan kriminal dan mengingkari kebenarannya. Ini adalah termasuk juhud.
· Dan termasuk juga penghalalan terhadap hal-hal yang haram secara qoth’i adalah : menghalalkan harta-harta kaum muslimin yang terpelihara atas nama “ Sosialisme “ yang memiliki aturan mengambil harta kaum yang kaya dengan alasan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin, untuk merealisir apa yang mereka namakan keadilan sosial, hal ini adalah perbuatan dzalim dan ghasab. Harta benda yang dihasilkan dari ghasab ini tidak halal bagi orang-orang miskin, haram dimakan, haram dipakai shalat diatas bumi yang dighosab tidak diterima, tentang batalnya shalat disitu ada dua pendapat, harta yang dighasab dalam bentuk apapun tidak halal walaupun masanya panjang. Inilah aliran yang jijik yang disebut “ Sosialisme “ sebenarnya hanya merupakan tipu daya para penguasa kuffar untuk menguasai harta orang-orang kaya untuk diri-diri mereka sendiri dan tidak diberikan kepada orang-orang miskin melainkan sedikit saja, dan ini juga merupakan kedok untuk menutupi ketidak pecusan mereka dalam mengatur ekonomi negara, maka mereka mengambil dari yang ini diberikan kepada yang itu.
Sebagai kesimpulan, berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ shahabat dan dan para fuqaha’ dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa :
v Sesungguhnya dosa-dosa yang mengkufurkan : yang terdiri dari ucapan dan perbuatan termasuk meninggalkan, yang telah ditetapkan oleh dalil syar’i bahwa ia adalah kufur akbar, maka pelakunya kufur tanpa pensyartan adanya juhud dan istihlal. Dalam hal ini berkatalah Ibnu Taimiyah : dan secara global maka barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu yang kufur, dia telah kufur dengan itu, meskipun dia tidak bermaksud menjadi kafir, sebab seseorang tidak bermaksud kufur kecuali dikehendaki Allah Ta'ala. “ Ash-Shorimul Maslul, hal. 177-178 “
v Adapun dosa-dosa yang tidak mengkufurkan : yaitu dosa-dosa yang tidak ada ketetapan dalam syariat bahwa pelakunya kufur, maka dosa-dosa ini tidak mengkufurkan pelakunya hanya karena melakukannya, maka jika menghalalkannya - yang diharamkan - atau mengingkarinya - yang diwajibkan - dia kafir dengan itu. Inilah yang dimaksud ucapan Ahlus Sunnah :
…………………………………………………………………………….
Mengkafirkan seorang muslim atau seseorang dari ahli kiblat dengan dosa selama dia tidak menghalalkannya.
Itulah dosa-dosa yang pengkafirannya terhadap pelakunya disyaratkan adanya juhud dan istihlal dan tidak disyaratkan padanya dengannya, dan tidak sepatutnya dicampur baurkan antara dua bagian dari dosa-dosa itu.
Al-Qodhi Abu Ya’la Al-Hambali dalam kitabnya “ Al-Mu’tamad “ telah membedakan antara dua bagian itu, beliau berkata : Barangsiapa yang mencela Allah atau mencela rasul-Nya, maka sesungguhnya dia kafir, baik dia mengj\halalkan amalan mencelanya atau tidak menghalalkannya, jika dia mengatakan “ Aku tidak menghalalkan hal itu “ tidak diterima ucapan itu darinya pada dzahir hukumnya, satu riwayatpun, dan dia adalah murtad, karena yang lahir menyelisihi apa yang dia katakana, sebab tidak ada maksud baginya dalam mencela Allah Ta'ala dan mencela rasul-Nya kecuali bahwasanya dia tidak meyakini untuk beribadah kepada-Nya dan tidak membenarkan apa yang dibawa Rasullullah. Berbeda dengan seorang peminum khamr, seorang pembunuh dan seorang pencuri, jika dia mengatakan “ Aku tidak menghalalkan amalan itu “ maka kata-kata ini dibenarkan dalam hokum, karena sesungguhnya dia mempunyai Tujuan dalam melakukan perbuatan-perbuatan itu untuk memperoleh kelezatan dengan segera disertai dengan adanya keyakinan akan haramnya perbuatan itu. “ dinukil dari Ash-Shorimul Maslul, hal. 513-514 “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkritik orang-orang yang mencampurkan antara dua bagian dosa-dosa itu sehingga mensyaratkan istihlal untuk mengkafirkan dengan dosa-dosa yang mengkufurkan, maka beliau berkata : (Dan Al-Qadhi menyebutkan dari fuqaha’ bahwa orang yang mencela nabi jika dia menghalalkan dia telah kafir, dan jika tidak menghalalkan dia fasik tidak kafir), kemudian Syaikhul Islam berkata : Sesungguhnya cerita yang tersebut dari fuqaha’ bahwasanya jika ia menghalalkan ia telah kafir dan jika tidak menghalalkan tidak kufur, ucapan ini tidak ada dasarnya, Al-Qodhi hanya menukil dari kitab sebagian mutakallimin (ahli kalam) yang mereka nukil dari fuqaha’, dan mereka itu menukil ucapan fuqaha’ yang mereka mengira berjalan diatas ushul mereka, atau dengan apa yang mereka mendengarnya dari sebagian orang-orang yang menisbatkan dirinya sebagai ahli fiqh padahal sebenarnya orang-orang itu ucapannya tidak boleh dipakai, kami telah ceritakan nash-nash Imam-imam fiqh dan cerita ijma’ mereka dari orang yang paling alim dengan mazhab mereka, maka janganlah ada yang menyangka bahwa dalam masalah ini terdapat perselisihan yang menjadikan masalah ini termasuk masalah iktilafiyah dan ijtihad, hanyasanya yang demikian itu adalah salah, tidak ada seorangpun yang bisa menceritakan bahwa dia telah mendapatkan dari salah seorang fuqoha’ para imam-imam fatwa tentang rincian tersebut sama sekali - sampai pada kata-katanya - dan apabila telah jelas bahwa mazhab Salaful Ummah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari yang khalaf bahwasanya ucapan ini pada zatnya kufur baik pelakunya mengahalalalkan maupun tidak menghalalkannya. Adapun dalil yang menunjukkan demikian itu yaitu semua yang telah kami kemukakan pada masalah yang pertama dari dalil atas kufurnya orang yang mencela seperti firman Allah Ta'ala (At-Taubah : 65), dan firman-Nya (Al-Ahzab : 57), dan firman-Nya (At-Taubah : 66), dan juga dari hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah kami sebutkan, semua itu merupakan dalil-dalil yang jelas bahwa sesungguhnya ……….. menyakiti Allah Ta'ala dan rasul-Nya adalah kufur, tanpa melihat sama sekali tentang i’tiqad haramnya ada tidaknya. “ Ash-Shorimul Maslul, hal. 514-517 “
Demikianlah keterangan dan uraian mengenai martabat atau tingkatan iamn. Insya Allah dengan uraian itu menjadi jelas persoalan yang kiat bahas bagi orang yang mau membuka mata hatinya, dan agar lebih gamblang lagi disini kami tuliskan sebagian kesimpulan dari uraian tersebut.
1. Iman mengandungi seluruh ketaatan atau dengan kata lain seluruh ketaatan adalah termasuk iman, baik yang fardhu maupun yang sunnah, yang bentuknya menunaikan yang wajib dan yang sunnah ataupun menunggalkan yang haram dan yang makruh, yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Dari bentuk-bentuk ketaatan itu ada yang termasuk dalam ashlul iman (dasar iman), ada yang termasuk iman yang wajib dan ada yang masuk dalam iman yang mustahab sesuai dengan sifat dan kriteria masing-masing. Maka takrif iman yang paling rajih menurut Ahlus Sunnah adalah : ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Mengenai ucapan dan perbuatan sudah dijelaskan sebelumnya, adapun maksud “ bertambah “ yaitu bertambahnya hati, lisan, dan anggota badan dalam menunaikan ketaatn-ketaatan tersebut baik yang dasar iman ………… iman yang wajib, maupun iman yang mustahab, adapun maksud “ berkurang “ yaitu karena maksiat, baik maksiat itu yang mengurangi kesempurnaan atau merusak iman yang mustahab misalnya melakukan hal-hal yang makruh dan sebagainya, atau yang mengurangi kesempurnaan dan merusak Iman yang wajib misalnya dusta, mencuri, minum khamr dan sebagainya, dan apabila maksiatnya sampai tingkatan merusak dasar imannya misalnya karena syirik akbar, kufur akbar dan nifaq akbar baik yang dilakukan oleh hati, lisan, maupun anggota badan, maka kat Sufyan bin Uyainah : Sehingga iman itu tidak tersisa sama sekali, beliau mengisyaratkan dengan ibu jarinya dan jari telinjuknya membentuk angka 0 yang berarti imannya kosong, hilang dan habis.
Kalau saya ibaratkan, iman yang sempurna itu laksana pohon yang sempurna, pohon yang sempurna memiliki tiga bagian penting, yaitu 1. Pokok (Pokok pohon yang menancap dibumi) 2. Cabang, cabangnya yang besar-besar dan yang orgen 3. Bagian-bagian lain seperti ranting, daun, bunga, buah dan sebagainya.
Pohon mangga dikatakan sebagai pohon yang sempurna jika terdapat padanya tiga bagian tersebut, jika bagian yang ketiga tidak ada karena sebab=sebab tertentu, masih tetap dipanggil sebagai pohon mangga, bahkan kalau seluruh cabang-cabangnya ditebang, ia masih disebut juga pohon mangga meskipun gundul dan tidak sempurna, akan tetapi jika yang dipangkas pokok dasarnya, maka sirnalah nama pohon mangga berubahlah sebutannya menjadi kayu ………. mangga. Begitu juga iman sebagimana yang telah dinyatakan sebelumnya. Dan yang perlu dicermati dan disadari bahwa ketiga unsure pohon itu, seluruhnya termasuk pohon itu dan bagian dari pohon itu, saya rasa tidak ada seorangpun yang berakal sehat mengatakan bahwa cabang-cabang pohon, rantingnya, daunnya, bunganya, buahnya dan sebagainya bukan termasuk bagian pohon tetapi ia hanyalah sebagai penyempurna pohon.
Dari ibarat ini kita lebih memahami lagi akan rusak dan batilnya paham yang berpendapat bahwa amal perbuatan bukan termasuk iman dan hakekat iman, akan tetapi ia hanya sebagai penyempurna iman. Apa sebenarnya puncak penyebab utama munculnya paham amal adalah penyempurna iman dan bukan iman, karena mereka mematok bahwa iman itu sebatas tashdiq dalam hati, maka jika amal perbuatan dikatakan termasuk iman akan bertentangan dengan dasar dan prinsip ynag mereka buat, dari kesalahan dasar ini timbul bid’ah yang bermacam-macam yang menyalahi dan menyelisihi salaf.
2. Dengan memahami martabat atau tingkatan iamn (dasar iman, iman yang wajib, dan iman yang mustahab) - Insya Allah - dengan izin-Nya kita akan dapat mengetahui dengan mudah mazhab Ahlus Sunnah dalam masalh iman dan takfir (mengkafirkan), begitu juga golongan Khawarij serta golongan Murjiah dengan segala tingkatannya baik yang murjiah fuqaha’ (Al-Ahnaf), Asyairah dan Maturidiyah, maupun Jahmiyah dan Ghulatul Murjiah.
1. a. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengkafirkan dengan dosa-dosa yang merusakkan dasar iman baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, seperti mencela Allah Ta'ala, meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja hingga habis waktunya, membuat syareat yang menyelisihi syareat Allah dan lain sebagainya, tanpa memperhitungkan ada dan tidaknya juhud dan istihlal pada diri si pelaku. ………. kufurnya adalah ……..karena ucapannya atau perbuatannya.
b. Golongan Khawarij menyepakati Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah ini, maka janganlah anda merasa heran jika tokoh-tokoh Ahlus Sunnah yang bersikap tegas dalam masalah ini, misalnya Imama Ahmad bin Hambal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini, mereka selalu dicap dan dituduh sebagai Khowarij.
c. Golongan Murjiah fuqoha’ termasuk Asyairah dan Maturidiyah tetapi tidak seluruhnya menyepakati Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam dalam mengkafirkan pelaku dosa-dosa tersebut baik kufur secara lahir maupun batin, hanya berbeda dalam menggantungkan hukum kufurnya. Kalau Ahlus Sunnah kufurnya arsih karena ucapan atau perbuatannya, adapun Murjiah fuqaha’ menggantungkan kufur atas hilangnya tashdiq dalam hatinya, sebab menurut mereka iman adalah tashdiq, selama tashdiq ada, iman tetap ada, menurut mereka seseorang yang dikafirkan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya baik karena ucapan maupun perbuatan, mereka telah kafir, karena orang yang mengucapkan kekufuran atau melakukan perbuatan kekufuran dengan sendirinya tashdiqnya hilang atau pasti terdapat juhud dan ingkar dalam hatinya. Maka meskipun Murjiah Fuqaha’ mensyaratkan adanya juhud dalam mengkafirkan dengan dosa-dosa yang merusak dasar Iman, akan tetapi juhud disini bukan sebagai syarat yang berdiri sendiri, ia adalah juhud yang lazim adanya, sebagai contoh, orang yang mencela Allah Ta'ala, mencela Rasul-Nya dan mencela Islam meskipun dilakukan dengan lisannya maupun perbuatannya sudah pasti dalam hatinya terdapat juhud, maka dia kafir.
Jadi menurut Murjiah fuqaha’ dan Asyairah bahwa orang yang melanggar dosa yang merusak dasar iman (yang mengkufurkan) adalah merupakan tanda bahwa orang itu jahid (orang yang ingkar) atau menghalalkan dengan hatinya yakni mendustakan dengan hatinya, karena juhud dan istihlal sumber keduanya adalah takdzib (mendustakan) sedangkan takdzib lawan dari tashdiq, iman adalah tashdiq, maka barang siapa yang terdapat takdzib dalam hatinya rusaklah imannya berarti kafir.
d. Golongan Murjiah Jalmiyah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa mukaffirah yang erusakkan dasar iman dia adalah kafir pada lahirnya karena adanya nash yang mengkafirkannya, dan boleh jadi ia mukmin dalam batinnya apabila tashdiqnya masih ada. Golongan ini dikafirkan salaf[2] karena menolak nash syra’i ynag menghukuminya kufur terhadap orang yang mengucapkan kekufuran atau melakukannya, karena nash syar’i yang merupakan berita Allah Ta'ala tidak terjadi melainkan diatas hakekatnya bukan dhohir atau lahirnya saja. Dan ada juga dari Jahmiyah yang berpendapat seperti pendapat Asyairah dan Murjiah fuqaha’ sebagaimana yang telah tersebut diatas. (Majmu’ Fatawa 7 / 188-189)
e. Golongan Ghulat (pelampau / ekstrem) murjiah, mereka banyak sekali pada masa kini, mereka mangarang buku-buku, kitab-kitab, majalah-majalah dan menyebarkan kaset-kaset yang penuh dengan kesesatan dan dhalalat. Yang mana mereka ini tidak mengkafirkan orang yang melakukan dosa-dosa mukaffirah yang merusakkan dasar iman baik ucapan maupun perbuatan kecuali jika pelaku mengingkari kewajibannya atau menghalalkan haramnya dan menyatakan dengan itu. Golongan ini juga dikafirkan salaf, karena menolak nash syar’i yang memutuskan kufur terhadap orang yang mengucapkan kekufuran atau melakukan perbuatan yang mengkufurkan. Lihat Majmu’ Fatawa 7 / 209 dan 205 atau rujuk Al-Jami’ 7 / 65-66, 8 / 13.
2. a. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan pelaku dosa-dosa yang tidak mukaffirah atau dosa-dosa yang merusakkan iman yang wajib, kecuali jika pelakunya mendustakan pensyareatan atau disertai adanya juhud dan istihlal, maka dia menjadi kafir bukan karena ansih perbuatannya tetapi karena pendustaannya dan ingkarnya. Sebab tanpa melanggar dosa-dosa tersebut jika dia mendustakan dan ingkar termasuk menghalalkan yang haram dia pun kafir dengan itu. Golongan Murjiah menyepakati Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini.
b. Adapun golongan Khawarij, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa-dosa besar (yang sebenarnya tidak mukaffirah) yang merusak iman wajib mereka adalah kafir, inilah pangkal bid’ah sesatnya Khawarij, karena mereka menganggap dosa-dosa besar itu seluruhnya satu martabat baik yang merusakkan dasar iman maupun yang merusajjan iman yang wajib, maka orang yang berzina disamakan kedudukannya dengan orang yang mencela Islam, orang yang mencuri, berjudi, khianat, tidak amanah, makan riba dan sebagainya, disamakan dengan pelaku syirik, kufur dan nifaq akbar dengan pemahaman ynag batil dan rusak ini, maka gampang memvonis seseorang atau golongan dengan hokum kafir yang sebetulnya tidak patut dekenakan, sebab mereka tidak melakukan dosa-dosa yang mengkufurkan dan merusakkan dasar iman.
Inilah bid’ah sesat golongan Khawarij yaitu mengkafirkan dengan dosa-dosa maksiat yang tidak mukaffirah. Ulama’ Salaf dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dari Murjiah fuqaha’ telah berusaha keras untuk menangkal mazhab dan pemahaman yang batil ini bisa dirujuk dalam tulisan-tulisan mereka termasuk ketiga tokoh ulama Ahlus Sunnah yang telah disebutkan yaitu Imam Ahmad bin Hambal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, diantara usaha mereka adalah membuat qoidah, misalnya ucapan Imam At-Thohawi : “…………………….” Artinya : kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat dengan dosa selama dia tidak menghalalkannya. Qoidah ini benar meskipun nashnya tidak terdapat dalam Al-Kitab As-Sunnah, akan tetapi telah disepakati Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dinukil oleh Abul Qasim Al-………..(418 H) dari i’tiqad para imam-imam. Sebenarnya ungkapan tersebut tidak ada musykilnya, dan jelas sekali apa yang dimaksud para imam. Akan tetapi yang musykil adalah jelek dan buruk pemahaman orang sekarang baik yang awam maupun yang mengaku alim – kecuali yang dirahmati Allah Ta'ala - mereka berdalil dengan ungkapan dan qaidah tersebut bahwa seseorang tidak kafir neskipun melakukan dosa-dosa yang mengkafirkan seluruhnya kecuali apabila dia menghalalkan atau mengingkari, lalu jika ditanyakan kepada mereka, bagaimana anda bisa mengetahui bahwa mereka menghalalkan atau mengingkari? Jawabnya : Orang itu mesti menyatakan dengan lisannya bahwasanya dia menghalalkan atau mengingkari dengan pemahaman yang tolol seperti ini, maka hokum menjadi tidak ubahnya seperti mainan anak-anak. Orang-orang yang berkata seperti ini banyak dari ulama’ Salaf yang mengkafirkannya termasuk Al-Humaidi dan Imam Ahmad. “ lihat Majmu’ Fatawa 7 / 209 “ dan As-Sunnah - Abu Bakar Al-Khilal hal. 587
Demikianlah penjelasan seputar masalah martabat atau tingkatan iman. Mudah-mudahan dapat dipahami dan dapat memperjelas bahasan kita.
4) Masalah-masalah Iman yang diperselisihkan antar firqah
Maudhu’ ini saya sertakan disini dengan maksud agar pembaca mengetahui masalah-masalah iman yang diperselisihkan lalu berusaha mencari mazhab Ahlus Sunnah yang sebenarnya dalam masalah-masalah ini dan jangan sampai keliru anggap yang Murjiah dikatakan Ahlus Sunnah atau sebaliknya, yang Ahlus Sunnah dikira Khawarij atau sebaliknya. Adapun masalah-masalah tersebut yaitu :
1. Masalah hakekat iman dari segi kaitannya dengan hati, lisan, dan amal-amal anggota badan.
2. Masalah apakah iman itu tersusun dari cabang-cabang ataukah ia sesuatu yang satu? Dan perbedaan antara rukun-rukun iman dan cabang-cabangnya.
3. Masalah bertambahnya iman dan berkurangnya dan keutamaan masing-masing ahlul iman dalam iman mereka, dan berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan pada diri seorang hamba, serta berkumpunya iman dan nifaq pada dirinya.
4. Masalah martabat iman dan pembagian-pembagiannya, bagi yang berpendapat bahwa iman adalah murakkab (tersusun atas beberapa hal) maka mereka membagi iman menjadi tiga : 1. Ashl (dasar / pokok), 2. Kamal wajib (penyempurna yang wajib), 3. Kamal mustahab (penyempurna yang sunnah). Adapun bagi yang berpendapat bahwa iman adalah sesuatu yang satu, maka tidak ada pembagian iman bagi mereka.
5. Masalah kelebihan masing-masing cabang iman, ini menurut yang berpendapat bahwa iman adalah murakkab dan tersusun dari beberapa cabang.
6. Masalah bentuk-bentuk cabang iman, yang mana diantara cabang-cabang itu ada yang merupakan syarat pada ahlul iman, atau pada kamalul wajib atau pada kamalul mustahab, ini menurut yang berpendapat bahwa iman adalah tersusun dari cabang-cabang.
7. Masalah pelaku dosa-dosa besar : hukum mereka di dunia dan kesudahan mereka di akhirat, dari masalah ini banyak istilah-istilah yang berkaitan dengannya antara lain : Alkabair (dosa-dosa besar), Ash-Shoghoir (dosa-dosa kecil), Al-Fasiqul milli (orang yang fasiq yang tidak keluar dari millah), Muthlaqul iman, Al-Imanul muthlaq, Al-Manzilatu bainal Manzilataini (kedudukan antara iman dan kufur), kufrun duna kufrin (kufur yang bukan kufur akbar), syirkun duna syirkin (syirik yang bukan syirik besar), dzulmun duna dzulmin (dzalim yang bukan dzalim akbar), fisqun duna fisqin (faiq yang bukan fasiq akbar), nifaqun duna nifaqin (nifaq yang bukan nifaq akbar), jahiliyyatun duna jahiliyyatin ( jahiliyah yang bukan jahiliyah kufur), jahlun duna jahlin (jahil yang bukan jahil akbar) dan lain sebagainya.
8. Masalah Iman dan Islam, apakah keduanya sesuatu yang satu, ataukah sesuatu yang berlainan?
9. Masalah Al-Istisna’ (mengucapkan Insya Allah) dalam Iman dan dalam Islam, mislanya : saya orang beriman - Insya Allah -.
10. Masalah apakah iman itu makhluk atau bukan makhluk.
11. Perbedaan dalam Iman dan Islam antara hukum yang lahir (hukum dunia atau hukum yang bersifat menghukumi statusnya), dan antara hukum hakiki (atau hukum akhirat atau hukum yang bersifat haddi (batasan yang jelas antara mukmin atau kafir) ).
Demikianlah masalah-masalah yang terpenting yang berkaitan dengan maudhu’ Iman, dan perlu diketahui bahwa masalah yang bermacam-macam itu adalah merupakan cabang dari salah satu masalah yaitu : hakekat Iman.
Selanjutnya kami akn berikan contoh hakekat Iman menurut mazhab Murjiah yaitu sebagai berikut :
Hakekat Iman menurut mereka adalah At-Tashdiq bil Qalbi (membenarkan dengan hati), sebagian dari golongan Murjiah menambahkan dengan mengikrarkan dengan lisan sebagai syarat untuk memberlakukan hukum-hukum dunia, dan berikrar dengan lisan menurut jumhur Murjiah tidak termasuk hakekat Iman.
Dengan dasar yang mereka miliki ini, yaitu bahwa Iman adalah tashdiq (membenarkan) saja, maka tersusunlah darinya pemahaman-pemahaman seperti berikut :
1. Bahwasanya Iman menurut mereka adalah sesuatu yang tidak tersusun atau terdiri dari cabang-cabang, sebab tashdiq adalah satu jika hilang sebagiannya maka hilanglah keseluruhannya.
2. Bahwasanya Iman tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tashdiq adalah sesuatu yang satu, kalaulah berkurang berarti menjadi ragu, sedang orang yang ragu dalam keimanan adalah kafir.
3. Bahwasanya Iman orang mukmin sama saja, orang yang fajir (banyak melakukan maksiat) Imannya sama dengan iman orang yang bertaqwa, semua iman orang yang bertaqwa seperti iman Nabi Muhammad bahkan seperti iman Jibril dan Mikail, karena iman sesuatu yang satu menurut mereka. Inilah diantara keburukan-keburukan mereka.
4. Bahwasanya amal perbuatan bukan termasuk Iman, karena Iman adalah membenarkan hati saja, maka menurut meraka amal perbuatan hanya merupakan buah Iman, dan apabila amal perbuatan dinamakan iman, maka itu merupakan majaz (bahasa kiasan) bukan bahasa sebenarnya.
5. Bahwasanya orang yang fajir dan fasiq adalah sebagai orang mukmin yang sempurna imannya selama dia membenarkan. Ini juga termasuk kejelekan dan kenurukan mereka.
6. Bahwasanya orang-orang beriman iman mereka tedak ada yang lebih utama antara satu dengan yang lainnya, bahkan iman mereka semuanya sama saja sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, hanya saja kelebihan antar mereka adalah dalam amal-amal perbuatan, sedangkan hal itu bukan termasuk iman.
7. Bahwasanya menurut mereka tidak boleh Al-Istisna’ (mengucapkan Insya Allah) dalam Iman, seperti ucapan : saya adalah mukmin Insya Allah Ta'ala. Karena menurut mereka ucapan seperti itu adalah syak atau ragu-ragu, dan syak dalam iman yang menurutnya adalah tashdiq, maka berarti telah kufur. Bahkan ucapan yang benar menurut mereka ialah : saya adalah mumin yang sebenar-benarnya atau seyakin-yakinnya.
8. Bahwasanya kufur menurut mereka adalah takdzib (mendustakan) saja tidak ada yang lain, atau sesuatu yang sumbernya dari takdzib seperti juhud (mengingkari) dan istihlal (menghalalkan), karena kufur lawannya Iman, sedang iamn menurut mereka membenarkan dengan hati, maka berarti tiada kufur selain mendustakan dalam hati.
Inilah beberapa contoh pemahaman Murjiah yang menyelisihi mazhab Salaf, jika anda memahami Insya Allah anda akan dapat dengan mudah membedakan mana yang Salaf dan mana yang Murjiah. Pendapat Murjiah dalam hakekat iman adalah merupakan bid’ah yang tercela, yang mana dari situ tersusun bid’ah-bid’ah yang banyak, sebagaimana akibat dari suatu keburukan adalah perbuatan buruk sesudahnya, “ ………………… “ artinya : gelap gulita yang tindih bertindih (S. An-Nur : 40). Oleh karena itu perselisihan mereka dengan Ahlus Sunnah bukan sekedar secara lafadz, tetpai perselisihan dalam prinsip. “lihat Al-Jami’ 8 / 10-13”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar