Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 02

            Menurut saya – wallahu a'lam – puncak dan penyebabnya antara lain sebagai berikut:
    Penyebab-Penyebab Yang Ganjil.
1.      Maghrur (tertipu) dengan nama dan sebutan yang indah dan cantik yaitu “As Salafi”

Perlu dimaklumi bahwa tidak setipa nama dan sebutan yang indahm bagus dan cantik itu berarti barang atau sesuatu yang disebutkan juga (pasti) indah, bagus dan cantik. Seorang wanita yang bernama Jamilah, Hasanah, Shalihah belum tentu akhalq dan parasnya cantik dan seindah namanya bahkan tidak sedikit wanita yang namanya seindah itu, tetapi banyak melakukan maksiat dan hobbinya menggunjing, mencela dan menjuluki orang-orang beriman dengan julukan-julukan yang tidak senonoh. Seorang laki-laki yang bernama kholis, amin, sholeh belum tentu mereka benar-benar murni imannya bersih dari segala syirik. Sebagai orang yang dapat dipercayai dan beramanah serta betul-betul seorang yang sholeh.
Dan demikian juga kelompok, halnya sama saja. Kelompok yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama'ah belum tentu kelompok tersebut benar-benar ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang ditakrifkan oleh aimatul salaf, bahkan kebanyakannya judtru meyelisihi ahlus sunnah wal jama'ah – kecuali yang dirahmati Allah – benar agaknya kata-kata mutiara arab :
“………………………………………………………………………………………”
               Semua mengaku sebagai kekasih Laila
               Sementara Laila tidak mengakui hal itu
Yang lebih parah lagi dari kata-kata mutiara tersebut adalah:
               Si Fulan mengaku sebagai satu-satunya kekasih Laila
               Sedangkan si Laila tidak mengakuinya bahkan mempunyai kekasih lain.
Bait pertama mau berkongsi sama-sama menjadikan Laila sebagai kekasihnya, sedang yang kedua mau mengklaim dan memonopolis dia sendirilah yang berhak mendapat kasih Laila. Sementara si Laila, si Putri cerdik itu benar-benar mengerti siapa lelaki yang sesuai dan layak mendapatkan kasihnya.
               Begitu juga ‘salafi’ atau ‘as salafi’ atau ‘as salafiyah’ belum tentu setiap golongan-golongan yang mengaku dirinya “as salafi” atau as salafiyah itu benar-benar salafi yang ditakrij syar’iy maka as salafi ada yang betul-betul as salafi dan ada pula yang palsu dan yang palsu lebih banyak dari pada yang asli. Untuk mengetahui mana yang asli dan mana yang palsu dan tiruan, baiklah kita uraikan secukupnya apa itu as salafi atau as salafiyah?
-         Pengertian As Salafi
               As salafi / as salafiyah dalam sepanjang sejarah Islam tercermin dalam dua perkara, yaitu:
1.      Manhaj (metodologi) ilmiyah dalam menyikapi dua ushul pokok yaitu al qur’an dan as sunnah, dimana ia hanya bersandar pada keduanya saja dan meninggalkan yang lain dalam mengembalikan setiap hukum yang mengantarkan kepada gerakan dan kehidupan.
2.      Gerakan kehidupan dan tingkah laku perjalanan dalam mempraktekkan manhaj itu. Maka as salafiyah adalah suatu manhaj yang telah dirintis oeleh para pendahulu kita dari para shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam baik secara ilmu maupun amal. Itulah tentang disebut salafiyah, dan mesti begitu. Dan semata-mata karena rahmat Allah Ta’ala kepada umat ini. Allah telah mentaqdirkan wujudnya golongan manuasi ay terbaik yang telah melakukan dan melaksanakan manhaj tersebut de sempurna dan ssebaik-baiknya, sehingga mereka adalah manhaj dan manhaj adalah mereka. Dengan demikian sebutan manhaj adalah terikat dengan kepribadian mereka dan untuk menamai mereka karena mereka adalah generasi salaf yang telah mendahului segala-galanya dalam mempraktekkan manhaj itu baik secara nilai, prestasi maupun masa dan waktu.
Kemudian para tabi’in menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa mereka adalah “manhaj dan salaf”, dan orang-orang yang hidup sesudahnya menyikapi para tabi’in bahwa mereka adalah “manhaj dan salaf”, begitulah. Dan tatkala terjadi banyak bid’ah yaitu pada akhir-akhir abad kedua dan awal abad ketiga, khususnya bid’ah ahlul kalam, mereka membuat manhaj bid’ah yang baru dalam melakukan dan menyikapi dua ushul pokok tersebut, sehingga urusan dan persoalan menjadi campur aduk tidak karuan.
Di kala inilah ahlus sunnah bangkit untuk membenahi kesemrawutan yang ada dan membedakan manhaj yang benar dari manhaj yang batil, manhaj yang sunnah dari manhaj yang bid’ah, termasuk membongkar pelopor-pelopornya, menampilkan dan membedakan tokoh-tokoh manhaj salaf dari orang-orang yang mengusung manhaj-manhaj khalaf yang lain. Dengan demikian maka sebagian ahlul ilmi, mereka menjadi ashabul manhaj dan kepada mereka manhaj tersebut dinisbatkan. Begitu pula mereka menjadi ukuran dan standar dalam mengembalikan orang-orang yang lain kepada mereka, dengan kata lain untuk mengetahui apakah seseorang itu bermanhaj salaf atau tidak, tolok ukurnya adalah mereka (ashabul manhaj) tersebut.
Imam al Kurji rahimahullah telah menyebutkan nama-nama tokoh-tokoh tersebut dalam kitab “Tarqihul fil Ushul ‘anil Aimmatil Itsna ‘asyara Al Fuhul” mereka adalah: Malik As Syafi’i, Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak, Al Laits bin Sa’ad, Ishaq bin Rawahiyah, Ahmad bin Hambal, Sufyan bin Uyainah, Al Auza’i, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Abu Zar’ah, dan Abu Hatim Ar-Raziyan. (Lihat Dar’u Ta’arudil ‘Aql wan Naql – Ibnu Taimiyyah Juz 2/95-97)
Ulama’-ulama’ yang bermanhaj salaf sebenarnya buka mereka saja, akan tetapi yang lain merujuk kepada mereka dalam menjelaskan manhaj yang lurus ini.
Maka dari keterangan dan penjelasan singkat tentang as salafiyah tersebut, bisa kita ambil beberapa point, yaitu sebagai berikut:
1.      Semua bentuk syi’ar, slogan dan semboyan ada yang palsu dan ada yang betul, begitu juga “as salafiyah” ada yang palsu dan ada yang betul, oleh karena itu kita mesti menyikapi dan menilainya pada hakikatnya bukan pada syi’ar dan slogannya, namun kita juga tidak memungkiri akan pentingnya syi’ar dan slogan.
2.      as salafiyah adalah manhajun ilmiyun ‘amaliyun (jalan dan cara yang jelas baik yang bersifat ilmu maupun amal). Imam-imamnya adalah shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka adalah sebagai pengikut bagi mereka,  maka merekalah satu-satunya yang berhak menjadi tolok ukur kebenaran dan petunjuk.
-         Ada beberapa kesalahan, penyelewengan, dhalalah dan bid’ah dalam masalah ini yang mesti kita ketahui dan pahami yaitu sebagai berikut:
a.       Sesungguhnya salah besar dan telah menyeleweng orang-orang yang menghubungkan, mengkaitkan dan menyamakan as salafi/as salafiyah dengan pribadi seseorang yang tidak terjamin aman dari fitnah, dan terjaga dari kesalahan apalagi pada masa sekarang ini. Misalnya sebagai contoh: karena si fulan atau assyaikh ini berpendapat begini, bersikap begitu,  maka inilah manhaj salaf, karena Bin Baaz begini, Utsaimin begini, Al Bani begitu, maka inilah as salafiyah. Prinsip dan sikap yang seperti ini benar-benar dhalal dan menyeleweng. Lebih dhalal lagi jika sikap orang-orang tertentu dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan petunjuk, sehingga semua yang menyelisihi dari sikap mereka dianggap batil.
b.      Sungguh merupakan dhalal, kesesatan dan bid’ah orang yang menjadikan as salafiyah sebagai tandhim (organisasi), hizb dan kelompok. Alasannya antara lain, pertama: Tidak ada contohnya, tidak ada seorang pun dari ulama’ salaf yang menamakan kelompoknya, organisasinya dan hizbnya dengan as salafi atau as salafiyah. Kedua: dengan penamaan as salafi akan menimbulkan banyak syubuhat dan kerancuan di kalangan kaum muslimin khisisnya terhadap anggota kelompok as salafi itu sendiri. Dengan menamakan kelompoknya sebagai as salafi sadar atau tidak sadar telah mengklaim bahwa kelompoknyalah yang salafi, yang lain tidak, dan ini berpengaruh dalam bersikap, berpendapat dan sebagainya. Adapun bagi kelompok lain terpaksa terhalang untuk mengaku sebagai orang atau kelompok as salafi atau bermanhaj as salafi sebab sebutan as salafi yang mulia tersebut telah tercoreng dan tercemar dengan wujudnya satu kelompok yang masthur dengan sebutan as salafi tetapi banyak prinsip dan sikapnya yang berntantangan dengan manhaj salafi yang sebenarnya, bahkan banyak keganjilan-keganjilannya yang tidak sesuai dengan akal waras apalagi naql.
               Menurut ana – wallahu a'lam – bagi saudar-saudara kita yang  meyakini bahwa Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz itu sebagai potret seorang ‘alim dan tokoh yang bermanhaj salafi yang bisa diteladani dari segala seginya dan lisanul hal sebagaian orang yang mengaku ‘salafi’ memang demikian bahkan sebagiannya ada yang menyikapi seolah-olah seperti seorang nabi pada zaman ini.[1] Sehingga setiap permasalahan dikembalikan kepadanya, jiaka ada pendapat yang lain, maka komentarnya Bin Baaz tidak mengatakan seperti itum Bin Baaz tidak bersikap seperti itu, atau dengan nada pertanyaan, apakah Bin Baaz mengatakan seperti itu? dll. Maka orang yang seperti ini sebenarnya lebih sesuai menamakan kelompoknya dengan “Bin Baazi” atau nama-nama syaikhnya yang dikagumi yang sejenisnya.
               Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membolehkan menasabkan kelompok dengan nama-nama Imam-Imam dan masyayikh seperti Al Hanafi, Al Maliki, Asy Syafi’i, Al Hambali atau Al Qadiri, Al ‘Adawi atau nama-nama qabilah seperti Al Qaisi, Al Yamani atau nama-nama negeri seperti Asy Syarni, Al ‘Iraqi, Al Mishri dan sebagainya dengan syarat tidak mendasarkan wala’ dan bara’ atau bermuamalat dan mua’datnya di atas nama-nama tersebut. (lihat Majmul Fatawa 3/416)
               Maka menurut saya – wallahu a'lam bishshawab – menisbahkan kepada Bin Baazi, Utsaimini, Nashiri, Wadi’i dan sebagainya juga boleh asal tidak ta’ashub dan tidak mengasaskan wala’ dan bara’ di atas nama-nama masyayikh tersebut.
               Imam Ibnu Taimiyyah menasabkan dirinya dengan Al Hambali[2]  dan imam Ibnu Katsir sebagai murid beliau, menasabkan dirinya dengan AsySyafi’i[3], namun demikian begitu harmonisnya hubungan antara murid dan guru meskipun beda intisab dan mazhab sebab kedua-duanya bermanhaj salafi. Ana tidak tahu apa jadinya andaikan salah satu dari keduanya menamakan kelompoknya dengan as salafi sedangkan pada realitanya yang satu tidak dalam kelompok tersebut terus mau menyebut apa? Jika tetap menyebut Asy-Syafi’i atau Al Hambali berarti bukan as salafi, dan jiak menyebut juga dengan as salafi bukan kelompok salafi sebagaimana yang dimaksud.
c.       Dan yang lebih dhalal dan menyeleweng lagi orang-orang yang menjadikan as salafiyah sebagai ikatan dan hubungan individu misalnya si fulan dikatakan ‘salafi’ karena telah dikenalinya dari segi ini dan itu, atau karena pernah menjadi muridnya, atau karena pernah belajar dengan si fulan. Sedang si fulan yang lain bukan ‘salafi’ karena ia tidak mengenalinya atau karena belum di cocok hidungnya untuk diseretnya seperti lembum dengan kata lain jika si fulan tidak belajar dengan Bin Baaz, Utsaimin, Al Bani, Al Hadi dan sebagainya atau dengan murid-murid mereka, maka orang tersebut berarti bukan ‘salafi’.
d.      Dan yang lebih dhalal bin dhalal lagi orang-orang yang menjadikan as salafiyah sebagai mazhan fiqh yang mana berdasarkan itu mereka memberikan muwalat (loyalitas)nya dan mu’adat (permusuhan)nya. Sehingga semua kelompok yang menyelisihi pendapatnya dilabel dan dianggap sebagai musuhnya. Tetapi musuh yang sebenarnya yaitu orang-orang kafir, musyrik dan munafiq tidak diperdulikan bahkan dijadikan sebagai kawan. ………….(teks arab)…
“Lihat Al Jihad wal Ijtihad: 214”
            Kebanyakan orang-orang yang mengaku ‘as salafi’ telah tertipu, bangga bahkan sombong dengan nama dan sebutan yang indah dan mulia itu kecuali yang dirahmati Allah. Dengan menyebutkan dan menamakan dirinya, organisasinya, kelompoknya, majalahnya, e-mailnya, dan tetek bengeknya ‘as salafi’, mereka menyangka telah terselamat dari bid’ah tandhim dan bid’ah nama-nama tandhim sebagaimana yang mereka pahami. Sebab menurut anggapan mereka yang aneh bin nyleneh, tandhim dan nama tandhim adalah bid’ah kecuali tandhim mereka ‘as salafi’ dengan alasan tandhim mereka bukan tandhim, kelompok mereka bukan kelompok, hizb mereka bukan hizb, dan jama’ah mereka bukan jama’ah, terus mau disebut apa? Tetapi jika kita perhatikan dengan seksama berdasarkan ilmu yang benar dan kita lihat kenyataan yang terjai di lapangan, justru dengan menggunakan nama dan sebutan ‘as salafi’ mereka telah terjerumus dalam beberapa syubuhat, bid’ah, dan dhalalah lebih besar daripada bid’ahnya tandhim yang mereka khawatirkan. Bagaikan orang yang melompat untuk menghindari tahi ayam, tapi malah menceburkan diri dalam kubangan kotoran najis.

2. Mengabaikan fiqhul waqi’.
   Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah Subhaanahu wa ta'aala mensyari’atkan dienul Islam kepada kita agar menjadi cahaya dan pelita yang dengannya kita berjalan di kalangan manusia. Dan agar supaya kita mengamalkan dien itu pada diri-diri kita serta kita menyebarkannya kepada selain kita dengan dakwah, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar.
Bagi siapa saja yang hendak ikut serta andil untuk menyebarkan dinullah (Islam) dan menegakkannya di dunia ini, maka ia wajib, Pertama: memahami dienul Islam dengan pemahaman yang benar sebagaimana yang dipahami oleh shahabat radliallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Kedua: memahami al waqi’ yang hendak ia perbaiki sesuai dengan tuntutan dienul Islam.
Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah yang maksudnya. Seorang mufti dan seorang hakim tidak akan memiliki kemampuan memberi fatwa dan hukum dengan benar kecuali jika memahami dua perkara:
1.      Memahami al waqi’.
2.      Memahami kewajiban yang ada dalam waqi’ itu yaitu memahami hukum Allah yang dihukumkan dengannya dalam kitab-Nya atau atas lisan Rasul-Nya pada al waqi’ tersebut. Kemudian dari pemahaman dan hal tersebut disesuaikan salah satunya atas yang lain. (Lihat ‘lamul muwaqqi’in 1/71)
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang hukum memerangi orang-orang Tartar, beliau menjawab: Ya, wajib memerangi mereka dengan (berdasarkan) Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan kesepakatan para imam-imam kaum muslimin. Hal ini didasarkan di atas dua ushul pokok, pertama: mengetahui keadaan mereka. Kedua: mengetahui hukum Allah pada semisal mereka. (Lihat Mujmu’ul Fatawa, 28/510)
Artinya Syaikhul Islam mengerti benar siapa Tartar itu, dan mengerti benar hukum Allah pada mereka dan orang-orang yang semisalnya. Memahami hakikat Tartar disebut fahmul waqi’ dan memahami hukum Allah pada mereka disebut fahmul wajib fil waqi’.
Berkata imam Asy Syathibi yang maksudnya: Tidak shah bagi seorang ‘alim apabila ditanya tentang suatu perkara yang muncul dari adalah waqi’ melainkan ia wajib menjawab sesuai dengan al waqi’. Maka jika ia menjawab di atas selain itu, ia telah salah kafir tidak memperhitungkan manath (tempatnya hukum bergantung) yang ditanyakan tentang hukumnya, karena ia ditanya tentang manath mu’ayyan (yang tertentu) tetapi ia jawab tentang manath yang ghairu mu’ayyan (tidak tertentu). (Lihat Al Muwafaqaatm 3/62)
Pada halaman lain Imam AsySyathibi memberikan contoh untuk menjelaskan al waqi’ atau tahqiqul manath, katanya: Sesungguhnya syari'at ini datang adalah untuk menghukumi atas pelaku dari segi perbuatan apa yang mereka lakukan, maka apabila disyari’atkan kepada mukallaf dalam hal mimun khamr misalnya dikatakan kepadanya, ‘apakah ini khamr atau tidak?’ maka harus di lihat keadaan yang sebenarnya, khamr atau bukan khamr. Inilah yang disebut tahqiqul manath. (Lihat Al Muwadaqat, 3/31-32)
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:
1.      Bahwa seorang faqih tidak boleh memberikan fatwa sehingga ia benar-benar mengetahui al waqi’.
2.      Seorang faqih yang mengeluarkan fatwa tanpa memahami al waqi’ fatwanya akan salah, sesat dan menyesatkan.
3.      yang dimaksud al waqi’ bukannya berita-berita yang terjadi akan tetapi ia adalah sunnatullah, ciptaan-Nya dan alam-Nya. Menurut para pakar ushul fiqh al waqi’ disebut tahqiqul manath yang pada hakikatnya adalah mengetahui sesuatu dan memahaminya di atas hakikat yang sebenarnya.[4]
4.      kebanyakan kekaburan, kerancuan dan ketidak jelasan yang terjadi diarena amal Islami adalah karena meniggalkan dan mebelakangkan salah satu dari dua hal yang sangat penting, yaitu: fahmul waqi’ dan fahmul wajib fil waqi’
Menurut ana – wallahu a'lam bishawab – keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang mengaku ‘as salafi’ terutama yang dilakukan oleh ustadz-ustadznya yang masih muda, diantara puncaknya karena mereka mengabaikan dan mencuaikan fahmul waqi’ atau fiqhul waqi’ bahkan ada di antaranya yang mengatakan fiqhul waqi’ itu bid’ah.
Akibat dari tidak perdulinya dan enggannya untuk memahami al waqi’ atau mengetahui sesuatu dan memahaminya di atas hakikat yang sebenarnya maka tidak sedikit fatwa-fatwa yang dikeluarkan ngawur tidak sesuai dengan waqi’ yang ada, dalilnya memang betul tidak diragukan lagi sebab dari Al Qur’an dan As Sunnah tetapi penerapannya salah sebab tidak sesuai dengan waqi’nya. Contoh-contohnya banyak sekali sebagiannya telah disebutkan di atas. Untuk lebih jelasnya ana berikan satu lagi contoh.
Di antara ustadz-ustadznya mengeluarkan fatwa bahwasanya “Setiap dar (kampung) yang terdengar atau dikumandangkan adzan di dalamnya adalah darul Islam atau daulah Islamiyyah.”[5]
Penjelasan: ini merupakan hukum Allah berdasarkan hadits dan amalan para shahabat radliallahu 'anhum – maaf ana terlupakan haditsnya tetapi pernah membacanya – yang di antara kandungannya, “apabila para shahabat mengadakan penyerangan di malam hari dan ragu-ragu akan kedudukan seutau kamapung apakah darul kufr atau darul Islam, maka mereka menunggunya hingga waktu fajar, jika terdengar suara azan di kampung tersebut berarti darul Islam, tetapi sebaliknya bila tidak terdengar suara azan berarti darul kufr, maka mereka menyerangnya. Demikianlah kurang lebih maksudnya. Wallahu a'lam.
Kemudian dengan hukum ini yang mereka peroleh dari taklimat masyayikh atau dari membaca buku-buku, maka yang terekam pada benaknya bahwa azan adalah alamat dan tanda sebagai darul Islam, oleh karenanya begitu mereka mendengar di Singapura ada azan, di Thailand ada azan, di Filipina ada azan, di Irian ada azan, di Menado ada azan, di Bali ada azan, di Jawa ada azan dan lain sebagainya, baik mendengarnya secara langsung atau melalui perantara seseorang atau media masa, maka dengan kebodohannya berani menghukumkan bahwa negeri-negeri yang disana-sini terdapat azan tersebut berarti darul Islam. Tanpa peduli sama sekali hakikat yang sebenarnya kampung yang terdengar azan di dalamnya pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat sehingga dinamakan darul Islam, dan tidak mau tahu hakikat yang sebenarnya apa itu Bali, Jawa, dan sebagainya. Inilah puncak kesesatannya.
Dari perjalanan sejarah Islam dan dari sikap dan amalan salaf kita menunjukkan bahwa wujudnya azan tidak bisa dijadikan sebagian tolok ukur di semua tempat, artinya tidak semua tempat yang terdengar azan di situ berarti mujahidin tidak boleh menyerang tempat tersebut atau sebagai darul Islam. Pada waktu Abu Bakar As Shiddiq radliallahu 'anhu sebagai khalifah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang pertama, beliau melancarkan perang besar-besaran terhadap orang-orang murtad yang enggan membayar zakat dan menyerahkan zakat kepadanya dan beribu-ribu korban dari kedua belah pihak. Pada masa itu tidak dinafikan bahwa di beberapa kampung murtaddini yang enggan membayar zakat itu masih ada azan.
Ketika golongan Ismailiyah Ubaidiyah menguasai Al Maghribi, meskipun disana-sini terdengar azan, tetapi ulama-ulama sunnah yang bermazhab Al Maliki mengeluarkan fatwa akan wajibnya memerangi penguasa dari golongan tersebut bahkan dengan tegas menghukumi  kafir terhadap setiap khatib yang keluar berkhutbah di atas mimbar Bani Ubaid. Dan fatwa ini mendapat pujian dari para ulama termasuk Imam Al Qadhi ‘Iyadh dan Imam Syamsuddin Adz Dzahabi. (Lihat Siyar ‘A’lamin Nubala’)
Semasa Tartar menjajah dan menguasai negara-negara kaum muslimin dan mereka menggantikan syari'at Islam dengan syari'at Al Yasiq (undang-undang campuran dari berbagai agama dan isme), maka meskipun disana-sini terdengar azan di daerah-daerah di bawah kekuasaannya tentunya bekerja sama dengan para munafiqin, namun para ulama ahlus sunnah pada saat itu memfatwakann wajibnya perang terhadap mereka, antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – rujuk qaul beliau pada halama …. Dan Imam Ibnu Katsir, lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/68-70)
Sewaktu perang Afghanistan antara mujahidin melawan kafir komunis Rusia dan antek-anteknya dari kaum munafiqin Afghanistan, maka yang terjadi di medan perang di antaranya – dan hal ini adalah pengalaman saya sendiri – yang mana di kedua belah kubu baik yang dikuasai mujahidin maupun Rusia dan anteknya, kedua-duanya terdengar gema suar azan, garis pemisahnya dibatasi dengan sungai, dan sewaktu markaz besar mereka bisa direbut mujahidin setelah kurang lebih dua minggu dikepung dan kami ikut memasuki rumah-rumah mereka untuk mengumpulkan sebagian ghanimah, maka pada waktu itu saya melihat beberapa sajadah yang terbuat dari tikar di sana sini dan melihat tempat-tempat shalat.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya wujudnya azan dan mushalla tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan dalil bahwa tempat tersebut pasti dienul Islam tanpa memahami waqi’ yang sebenarnya. Sekali lagi jelasnya dalam masalah ini ikutilah bahasan berikutnya berkenaan dengan bentuk-bentuk dar (negara). (hal 62-93)

3. Dalam memahami siyasah syar’iyyah.
Termasuk bermu’amalah dengan para penguasa, kedudukan penguasan, kedudukan pemerintahan dan hukum-hukumnya, mereka menjadikan ulama-ulama istana atau yang bukan istana tetapi pro dengan istana sebagai acuan utamanya bahkan menganggap sebagai suri tauladannya.
Kami tidak mengingkari bahwa ulama-ulama istana atau mufti-mufti yang ada di pelbagai negara yang nama-namanya melejit memenuhi ufuk, mereka adalah gudang-gudang ilmu. Namun kita jangan memejamkan mata bahwa selain merekapun banyak orang-orang ‘alim di sana-sini yang ilmunya tidak kalah dengan mereka bahkan bisa jadi lebih ‘alim lagi, hanya masalahnya mereka digembar-gemborkan oleh media massa dan dibesar-besarkan kedudukannya sementara orang-orang ‘alim ini tidak.
Kita mesti menyadari bahwa para ulaam yang tergabung dalam Haiah Kibarul Ulama di mana-mana termasuk di Saudi Arabia, mereka adalah pegawai dan pekerja makan gaji pemerintah, mereka diberi tugas dan dikontrak demi maslahah pemerintahannya.
Perlu diingat bahwa ulama istana meskipun pemerintahannya masih diakui sebagai pemerintahan Islam, rajanya masih menegakkan dien meskipun zalim dan fasiq, ulama salaf tidak ada yang memuji kedudukan ulama tersebut dan keberadaannya di istana apalagi jika penguasanya telah murtad karena telah melakukan kufur akbar yang jelas.
Camkan hadits dan qaul ahlul ‘ilmi di bawah ini:


Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada sesudahku para amir (raja-raja), barang siapa yang mengunjungi mereka, lalu membenarkan kedustaannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan termasuk dariku dan aku bukan darinya dan dia bukan termasuk orang yang minum ari telaga(ku).” (HR. At-Tirmidzi, shahih gharib)


Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kamu melihat seorang ‘alim yang banyak bergaul dengan penguasa, maka ketahuilah bahwasanya dia adalah pencuri.” (HR. At-Tirmidzi)
Berkata Muhammad bin Maslamah rahimahullah:

Artinya: “Seekor lalat di atas tahi adalah lebih baik dari pada seorang qari’ di atas pintu-pintu mereka (para penguasa).”
Berkata Imam As Suyuthi:


Artinya: “Jumhur salaf dan orang-orang shalih khalaf (terkemudian) berpendapat bahwa hadits-hadits dan atsar-atsar ini berlaku secara umum, baik sang ‘alim itu diundang atau tidak, baik diundangnya untuk maslahah diniyah atau yang lain.”
Berkata Imam Sufyan Ats Tsauri:

Artinya: “Jika mereka mengundang kamu untuk membacakan kepada mereka surah Al Ikhlas, maka jangan mendatangi mereka.”
(Rujuk “Ma Rawahul Asathin fi ‘Adamil Majii Ilas Salathin, As-Suyuthi: 58-76)
Berkata Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi:

         Artinya: “Dan termasuk bagian dari pemalsuan iblis terhadap para fuqaha’ adalah pergaulan mereka dengan raja-raja dan para penguasa, mencari muka mereka dan tidak mencela mereka dan tidak menyalahkannya, padahal mereka mampu melakukannya. Mungkin mereka membolehkan untuk sang penguasa dalam sesuatu hal yang sebenarnya tidak boleh sama sekali untuk mereka demi memperoleh imbalan bagian dari keduniaan mereka. Maka dengan itu akan terjadi kerusakan dalam tiga bidang, Pertama: Sang raja akan mengatakan, “Kalaulah akau tidak berada di atas kebenaran, tentu si ‘alim itu akan mencela dan menyalahkanku, bagaimana aku tidak benar sedang dia makan dari hartaku. Kedua: orang awam (masyarakat umum) akan mengatakan, “Tidak ada hal sang raja ini dan baik-baik saja, begitu juga hartanya dan perbuatan-perbuatannya, sebab si fulan yang faqih itu senantiasa berada di sisinya.” Dan ketiga: “si faqih dengan sikapnya itu berarti rusak agamanya.” (Talbisu Iblis: 118)
Mungkin para penggemar para masyayikh yang tergabung dalam Haiah Kibar Ulama marah dan cemberut apalagi para pengikutnya bilamana saya katakan bahwa para masyayikh tersebut adalah ulama’ istana dan pegawai kerajaan. Tetapi diterima atau tidak diterima, mengakui atau tidak mengakui, memang begitu hakikatnya dan keadaannya. Kalau kita rujuk kepada data-data pribadi mereka pun di sana akan tertulis bahwa mereka adalah muwadhdhaf hukumah atau mamlakoh, itulah hakikatnya kita tidak perlu marah.
Kalau kita sudah mengakui dengan insaf maupun terpaksa, bahwa mereka adalah pegawai-pegawai dan pekerja-pekerja sang raja maka yang menjadi pertanyaan, bisakah mereka menjawab secara fasih dan bebas jika ditanya tentang hukum sang raja dan pemerintahannya serta kebijaksanaan-kebijaksanaannya menurut syari'at? Jawab dengan jujur.
Semua orang mengakui – kecuali yang simbing atau yang matanya sudah dibutakan Allah – bahwa para masyayikh tersebut begitu fasihnya dalam menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan syirkul kubur, tauhid asma’ wa sifat, shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, dan hal tersebut bisa kita nikmati hasilnya. Tetapi kenapa dalam masalah yang berkaitan dengan siyasah syar’iyyah, kedudukan sang raja dan kerajaannya dan sebagainya, kok jadi kelu dan tidak fasih? Jawabannya, sebab kalau mereka fasih dan menerangkan, sebenarnya sesuai dengan syar’iy dan pemahaman salaf, akan menjelaskan keduniaannya, kedudukkannya dan kemudah-mudahannya yang lain bahkan tidak mustahil akan dibuang dari negerinya, akan disiksa, dipenjara, dicambuk dan bisa jadi dibunuh dan di musnahkan diri dan pengikut-pengikutnya di padang pasir.
Maka demi maslahat duniawinya, karena cintakan dunia dan takut menghadapi risiko terpaksalah menyokong sang raja dan kerajaannya meskipun jelas-jelas di atas kebatilan bagaikan matahari di siang bolong bahkan telah melakukan berbagai kufran bawaahan.
Kemungkinan ada yang bertanya, mungkinkah para masyayikh yang gudang ilmu itu terperdaya dengan keduniaan dan mencintainya, sehingga menghalangi mereka untuk mengatakan yang benar? Justru saya kembali bertanya, adakah di antara kalian yang berani mengatakan dan menjamin bahwa mereka terpelihara dari fitnah itu? Tidak secuilpun dalil yang menerangkann demikian sebab mereka bukan nabi dan rasul. Tetapi kendatipun begitu saya tidak berani memastikan bahwa mereka bersikap seperti itu karena cinta dunia, namun saya berani mengatakan bahwa mereka dalam keadaan takut.
Maka timbul pertanyaan lagi, mungkinkah seorang syaikh merasa takut?
Untuk menjawab persoalan ini – agar kita mau menyadari – mari kita buka kembali sejarah perjalanan ulama-ulama kita, pada saat para ulam menghadapi fitnah khalqil Qur’an di zaman pemerintahan Al Makmun, Al Mu’tasim dan Al Watsiq (ingat mereka adalah penguasa yang masih menegakkan ad dien, tapi menyokong dan mengikut paham ahlul bid'ah yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, dengan kata lain mereka menjalankan syari'at Islam, memberlakukan hukum hudud, menjaga perbatasan dan memerangi orang-orang kafir dst, maka jangan disamakan kedudukannya dengan para penguasa murtaddin pada masa kini). Dalam menghadapi fitnah ini banyak sekali ulama-ulama yang hebat-hebat (jauh lebih hebat dari para masyayikh dari segala seginya dan mereka bukan ulama istana), mereka tergelincir karena takut ancaman cambuk, penjara dan sampai kepada pembunuhan, yang tidak tergelincir dan tetap istiqamah berani menyatakan kebenaran amat sedikit di antaranya sudah tidak asing lagi bagi kita yaitu Imam ahlus sunnah wal jama'ah Ahmad bin Hambal rahimahullah beliau gadaikan nyawanya demi tegaknya kebenaran, menerima hukuman cambuk hingga syahid.
Kebanyakan ulama waktu itu terpaksa taqiyah karena takut, tetapi mereka jujur mengakui kelemahannya – terka, siapa di antara mereka? Yaitu ulama besar, pakar dan syaikhul muhadditsin Ali bin Al Madani rahimahullah dan Yahya bin Mu’in rahimahullah dsb –. Beliau terpaksa bertaqiyah dihadapan penguasa, mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya dan pahamnya karena takut dibunuh. Katanya: ‘aku ini orang yang lemah, kalau aku dicambuk sekali saja aku akan mati, atau kata-kata yang sepertinya.’ (rujuk Siyar ‘A’lamin Nubala, Imam Adz Dzahabi 11/57, 71-87).
Oleh karena itu menurut saya – wallahu a'lam bish shawab – fatwa-fatwa para masyayikh yang dalam keadaan takut itu dan pendapat-pendapatnya berkenaan dengan siyasah syar’iyyah, muamalatu hukam dan hal-hal yang berhubungan dengannya, tidak boleh dipakai secara keseluruhannya, mesti dipilah-pilahkan ada yang boleh dipakai dan ada yang tidak boleh dipakai sama sekali. Sebab mereka berfatwa dan menulis dalam keadaan takut jadi tidak maksimal, kata Asy Syaikh Ibnul Qoyyim rahimahullah orang yang dalam keadaan takut itu ……………………………., sedikit fiqhnya dan pahamnya .
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: “Seorang qadhi (hakim) tidak boleh mengadili antara dua orang yang bersengketa sedangkan dia dalam keadaan marah.” (HR. Imam Ahmad)
Jika seorang hakim dalam keadaan marah tidak boleh mengadili perkara sebab dengan kemarahannya akan mengganggu kejiwaannya sehingga akan mempengaruhi keputusannya. Jika marah saja demikian pengaruhnya, apalagi rasa takut dan ketakutan lebih hebat pengaruhnya terhadap kejiwaan seseorang.
Bagi yang ingin mengetahui lebih detil mengenai ulama istana, silakan baca “Taujihat Manhajiyah I & II oleh Abu Abdullah atau bisa juga membaca tulisan penulis Ath Thaifah Al Manshurah (III) halaman 23-38).

4. Sikap mentahdzir.
         Tahdzir menurut makna bahasa adalah peringatan atau mewaspadai. Adapun menurut istilah yang dikehendaki kira-kira – wallahu a'lam – yaitu memberikan peringatan kepada ummat atau anggota atau anak buah atau muridnya agar tidak melakukan sesuatu yang dianggap dapat menjerumuskan kepada bid’ah dan dhalalah.
Al Qur’an dan As Sunnah banyak mentahdzir kita, misalnya mentahdzir kita agar tidak berwala’ kepada syaitan dari jin maupun manusia, mentahdzir kita agar kita menjaukan diri dari segala yang diharamkan Allah Ta’ala, menurut Asy Syaikh Ibnul Qoyyim pada pokoknya ada 12 jenis, yaitu: kufur, syirik, nifaq, fasiq, ishyan, itsm, ‘udwan, mungkar, baghyu, alqaul ‘alallah bikailmin, ittiba’ ghairi sabilil mukminin. (Rujuk Madarijus Salikin, 1/335-374).
Ulama-ulama salaf kita telah banyak juga memberikan tahdzir kepada kita, misalnya amirul mukminin Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu mentahdzir kita agar menjauhi ashabur rakyi (orang-orang yang mengikuti akal dan rasionya) sebab mereka adalah musuh sunnah. Dan ada juga di antara mereka mentahdzir agar menjauhi dua golongan manusia yaitu orang ‘alim yang fasiq dan abid yang jahil dan sebagainya dan sebagainya.
Seterusnya mari kita lihat bagaimana secara lisanul halnya mentahdzir yang dipraktekkan oleh sebagian ustadz-ustadz yang mengaku sebagai ‘as salafi’ tersebut :

·        Golongan manusia yang ditahdzir.
      Menurut hemat saya di antara golongan manusia yang mereka tahdzir dengan kata lain yang mesti dijauhi adalah sebagai berikut:
1.      Semua ulama yang tidak sepaham dan sesikap dengan para masyayikhnya.
2.      Semua ulama yang terlibat bertandhim selain tandhim ‘as salafi’.
3.      Semua ulama yang menentang sang raja dan pemerintah.
4.      Semua mujahidin yang sekarang berjihad di mana-mana, baik yang melawan penguasa murtaddin maupun musuh-musuh Islam dari golongan kuffur dan musyrikin.
5.      Dan golongan-golongan lain yang tidak perlu disebut di sini karena menurut saya mereka memang wajar di tahdzir.
Kemudian sesudah mereka tentukan orang-orang yang mesti ditahdzir, maka mereka punya sikap dan cara yang ajaib sekali yang menurut saya bertentangan dengan naql dan aql dan menyelisihi manhaj yang ditempuh oleh ulama salaf keseluruhannya yang mana orang yang mereka tahdzir tidak boleh disebutkan sama sekali kebaikannya sebab katanya jika disebutkan kebaikannya tahdzirnya tidak berarti. Dengan prinsip ini mereka melihat golongan-golongan tersebut dengan sebelah mata dengan kata lain keburukan, kejelekan, dan kesalahannya saja (kesalahan menurut penilaian mereka) yang mereka pandang dan gembar-gemborkan, sedang kebaikan-kebaikannya diabaikan sama sekali.
Dari prinsip itu, maka keluarlah seruan kepada para pengikutnya agar tidak belajar dengan golongan tersebut, tidak boleh mendengar ceramah mereka, tidak boleh tukar pikiran dengan mereka, tidak boleh membaca kitab-kitab dan tulisan-tulisan mereka, tidak boleh menerima hujjah-hujjah mereka dan lain sebagainya.
Maka Asy Syahid Sayid Qutb yang banyak membongkar syirkul qushur yang tidak sependapat dengan pendapat masyayikhnya dan didapati ada ungkapan beliau yang bisa dita’rif oleh mereka sebagai aqidah wihdatul wujud yaitu yang termaktub dalam Tafsir fi Dhilalil Qur’an pada surat Al Ikhlas dan Al Hadid. Maka dengan alasan itu dan sebagainya mereka tidak tanggung-tanggung mengenakan tahdzir terhadap Sayid Qutb bahkan sebagian dari mereka ada yang super melampaui batas menganggap buku-buku Sayid Qutb adalah buku dhalal yang tidak layak dibaca, tidak layak disimpan di kutub khanah bersama dengan buku-buku ulama sunnah yang lain, bahkan ada yang lebih majnun lagi enggan masuk ke dalam rumah saudaranya sesama muslim selagi di dalamnya terdapat tafsir Fi Dhilalil Qur’an. Astaghfirullah jenis kaum apa ini?
Sewaktu beberapa pemuda datang kepada Asy Syaikh Nashiruddin Al Bani rahimahullah yang di antara hal yang ditanyakan kepada beliau adalah penilaian beliau terhadap Sayyid Qutb, maka beliau menjawab dengan panjang lebar termasuk menceritakan hubungan retaknya dengan Asy Syaikh Abdullah Azzam rahimahullah gara-gara adanya isu bahwa Asy Syaikh telah mengkafirkan Sayyid Qutb. Namun tuduhan tersebut beliau tolak mentah-mentah bahwa beliau tidak pernah mengkafirkan Sayyid Qutb, beliau hanya mengatakan bahwa ada ungkapan Sayyid Qutb yang bermuatan wihdatul wujud. Di antara komentar beliau tentang Sayyid Qutb beliau mengatakan antara lain: Sayyid Qutb tidaklah se’alim seperti Ibnu Katsir, tapi dia adalah lelaki yang banyak mendapat ilham sewaktu dipenjara, dan beliau memuji sebagian tulisannya antara lain:……………………………………
Mendengar jawaban Asy Syaikh al Bani yang munshif dan mu’tadil tersebut, seolah-olah sebagian pemuda itu kurang puas apalagi para pelampau batas tersebut jika mendengar. Sebab yang mereka inginkan Asy Syaikh Al Bani supaya mengenakan tahdzir terhadap Sayyid Qutb sebagaimana selera hawa nafsu mereka. (Rujuk kaset rekaman suara Silsilatul Huda wan Nur)
Asy Syaikh Asy Syahid Abdullah Azzam rahimahullah salah seorang faqih dan mujahid yang jasanya besar dalam mentahridh kaum muslimin untuk berjihad terutama di Afghanistan, warisan-warisan beliau sangat banyak lafi berharga bagi kaum muslimin baik berupa tulisan maupun ceramah-ceramah dan sebagainya, terutama bagi para pemuda untuk memberikan semangat berjihad dan ghirah untuk membela agamanya, tetapi karena bertandhim dan dianggap ahlul bid'ah, maka ditahdzir.
Asy Syaikh Abdur Rahman Safar Hawali dan Asy Syaikh Salman Audah yang berani menyatakan kebenaran, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan menjelaskan kepada umat tentang kemungkaran-kemungkaran yang terjadi baik kufur, syirik, nifaq, riddah, dan kemaksiatan lainnya, termasuk yang berkaitan dengan sang raja dan kerajaannya yang masyayikh istana tidak mungkin melakukannya. Sehingga dengan keberanian tersebut terpaksa mereka mendekam di penjara. Tetapi anehnya dengan kedudukan yang mulia dan amal yang afdhal itu, mereka berdua malah ditahdzir karena bertentangan dengan sikap masyayikh istana, dengan tuduhan sebagai ahlul bid'ah dan khawarij sehingga amalnya tidak boleh dicontoh, tulisan-tulisannya tidak boleh dibaca.
Para syuyukh jama’ah-jama’ah jihad as salafiyah dan ulama-ulama ahluts tsughur mengeluarkan berbagai kitab, buku, misalnya sebagai hujjah syar’iy dalam berbagai persoalan dengan pembahasan yang sangat gamblang dan memuaskan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah mengikuti paham salaf Sholeh. Tetapi karena mereka mujahid dan berjihad yang menurut kebanyakan mereka – hari ini tidak ada jihad, tidak perlu ada jihad dan belum waktunya berjihad dengan seribu satu alasan yang didasarkan ke selera pribadi – maka karena menyelisihi seleranya tak terlepas juga mereka dari disiplin tahdzir, dengan label khawarij, musta’jil, ambisi dan lain sebagainya.
Dengan sikap mentahdzir yang ifrath dan ngawur tersebut, yang diantara ngawurnya adalah karena mereka sudah mengklaim sebagai satu-satunya yang patut menisbatkan diri sebagai as salafi, maka seluruh kelompok yang menyelisihi prinsip mereka, paham mereka, sikap mereka dan sebagainya meskipun prinsip, paham, dan sikap itu banyak yang dhalal, kelompok yang menyelisihi tersebut langsung dicap sebagai ahlul bid'ah dan ahlul hawa', maka dengan sendirinya terkena tahdzir. Sikap tahdzir seperti inilah yang menjadikan mereka pincang dalam memahami banyak hal terutama masalah yang berhubungan dengan siyasah syar’iyyah, jama’ah, jihad, bai’ah dan masalah-masalah lain kontemporer yang dihadapi oleh ummat hari ini, karena membutakan matanya dari hujjah-hujjah ahlul ilmi dalam permasalahan tersebut yang bukan dari kelompoknya. Padahal belum tentu para masyayikh itu menguasai segala persoalan, sebab pengetahuan manusia terbatas apalagi yang bukan bidang yang digelutinya, apalagi jika terdapat kelemahan-kelemahan lain yang bersifat maknawi. Yah, sebagai contoh misalnya sebagian masyayikh yang duduk di istana, bagaimana mereka bisa fasih dlam menerangkan kedudukan istananya dan sang rajanya, tentu mereka akan mengeluarkan dalil-dalil yang menguatkan sikapnya dan posisinya sementara dalil-dalil yang mengecam sikap dan posisinya dan tidak menguntungkan mereka tidak dikeluarkan meskipun hafal diluar kepala. Maka kalau kita hendak memahami kedudukan istana yang sebenarnya menurut syar’iy, kita harus bertanya kepada ahlul ilmi yang tsiqqah yang tidak menjadi pegawai dan pekerja istana meskipun ahlul ilmi tersebut bukan dari kelompok kita. Kalau semua ahlul ilmi yang tidak suka dengan istana dan sang raja sudah ditahdzir, mana mungkin mereka akan dapat memahami kedudukan istana yang sebenarnya. Pada akhirnya pemahaman mereka tentang istana sesuai dengan apa yang keluar dari mulut-mulut pegawai istana dan pihak-pihak yang memihak istana, maka mereka sesat dan menyesatkan.
Contoh lain, sebagian masyayikh ditanya tentang kedudukan operasi jihad yang dilakukan oleh jama’ah jihad as salafiyah dimana-mana termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, maka jawabannya kalau boleh ana simpulkan kurang lebih sebagai berikut: Itu kan perbuatan kelompok-kelompok khawarij yang suka memberontak dan melakukan kekerasan itu. Kemudian jawaban seperti ini disebarluaskan  ke seluruh penjuru dunia melalui kasetnya atau tulisan-tulisan dan taklim-taklim ustadz-ustadznya, maka begitu para ustadz itu ditanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan operasi jihad termasuk pembunuhan terhadap orang-orang kafir yang tulen maupun yang murtad, maka jawaban yang diberikannya tidak lebih dari apa yang didengar dari sebagian masyayikhnya yaitu: Itu perbuatan orang-orang yang bermanhaj khawarij, murid bertanya lagi kepada sang ustadz, katanya: Yang dibunuh kan orang kafir bule, ustadz? Jawaban ustadznya yang pengetahuannya belum cukup bahkan tidak ada ilmu tentang masalah yang ditanyakan kalau menjawab – wallahu a'lam – tentu lebih baik baginya dihadapan Allah kemudian dihadapan manusia karena tidak banyak orang yang disesatkan, akan tetapi dengan kebodohannya dia menjawab, katanya: Tidak boleh membunuh orang kafir bule sebab mereka telah mendapat jaminan keamanan darah dan hartanya dari negara Islam, karena mereka telah membayar visa, dan visa itu kedudukannya sama dengan jizyah. Astaghfirullah. Jawaban seperti ini kalau bukan karena tololnya dan sengaja bermain-main dengan syari'at Allah maka dia kufur.
Kemudian jawaban sebagian masyayikh bahwa kekerasan dan pemberontakan adalah manhaj khawarij sebagian jawaban dan penilaian terhadap operasi jihad yang ada, hal ini banyak mengandung talbis yang bisa menyesatkan orang awam bahkan tidak sedikit mereka yang bergelar ustadz ikut tersesat juga, seolah-olah kekerasan dan pemberontakan itu identik dengan khawarij, kalau sebaliknya memang benar artinya golongan khawarij memang banyak melakukan kekerasan dan mengadakan pemberontakan , akan tetapi agar Anda tidak menjadi sufi, irjai dan jabari ketahuilah bahwa kekerasan itu juga sifat ahlus sunnah dalam sepanjang sejarahnya, khususnya pada tiga abad pertama yang disaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan kebaikannya. Begitu juga pemberontakan terhadap pemimpin banyak terjadi di kalangan ahlus sunnah semenjak abad pertama lagi, silakan rujuk sirah berpuluh kejadiannya.

·        Contoh pemberontakan ahlus sunnah.
Misalnya, pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan radliallahu 'anhu dan para pengikutnya terhadap kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhu, demikian juga pemberontakan Ummul Mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair dan lain-lain terhadap Ali radliallahu 'anhu, pemberontakan yang dilakukan oleh al Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H) terhadap khalifah Bani Ummayyah Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Fathul Bari 13/63). Pemberontakan ahlul madinah yang dipimpin oleh Ash Shalabi Abdullah bin Handholah (63 H) terhadap Yazid bin Mu’awiyyah. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 8/217 dan Fathul Bari, 6/118, 13/63).
Pemberontakan Abdur Rahman bin Al Asy Syari'ah’ats terhadap Al Hajjaj Ats Tsaqafi kemudian terhadap Abdul Malik bin Marwan (81-82 H). (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, 9/35-42).
Pemberontakan Zaid bin Ali bin al Husain bin Ali bin Abi Thalib (121 H) terhadap khalifah Hisyam bin Abdul Malik. (Lihat Al Bidayah wan Nihayah 9/35-42).
Pemberontakan Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib terhadap Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz – Amir Iraq - lihat Al Bidayah wan Nihayah 10/25.
Dan lain sebagainya, rujuk Al Bidayah wan Nihayah.
Dari sebagian contoh tersebut menjadi jelaslah bagi orang yang mau membuka mata dan telinganya bahwasanya berlaku keras dan memberontak juga merupakan amalan ahlus sunnah, bukan khawarij saja, hanya perbedaannya, keras dan berontaknya golongan khawarij batil karena diasaskan di atas kebatilannya, mereka mengkafirkan dengan segala dosa baik yang mukaffirah (mengkufurkan) maupun yang tidak mukaffirah, karena menurutnya dosa adalah satu martabat misalnya berzina disamakan dengan menyembah berhala. Maka seluruh pemimpin yang melakukan dosa-dosa al kabair mereka vonis telah kafir dan wajib diperangi, sehingga mereka memberontak pemimpin yang sebenarnya masih shah di sisi syari'at dan tidak boleh diperangi.
Adapun kekerasan dan pemberontakan yang dilakukan ahlus sunnah adalah berdasarkan ilmu yang benar bukan ngawur sebagaimana khawarij. Ahlus sunnah memberontak penguasa dalam dua keadaan:
1.      Terhadap penguasa yang kafir dan hal ini disepakati oleh jumhur ulama akan wajibnya. Penguasa yang kafir kalau disimpulkan ada 3 bentuk:
a.       Penguasanya kafir tulen dan pemerintahannya juga kafir, contohnya negara-negara barat, Singapura, Thailand, Philipina dan sebagainya.
b.      Penguasa yang mengaku beragama Islam tetapi pemerintahannya tidak berdasarkan Islam, di dilantik menjadi pemimpin bukan di atas Al Kitab dan As Sunnah, nukan juga untuk menegakkan dien (Islam) tetapi di atas dasar selain Islam, berhukum dan membuat syari'at selain syari'at Allah. Penguasa seperti ini tidak ada seorangpun yang meragukan kafirnya apalagi para ulama kecuali orang-orang yang tolol yang sudah buta mata hatinya.
Bagi yang sulit untuk melek mata hatinya dalam masalah ini, baiklah di sini ana sertakan sebagian nama-nama ulama kita yang dengan tegas menyatakan kafir dan murtad terhadap siapa saja yang berhukum dengan undang-undang rekaan manusia dengan kata lain,  meninggalkan hukum yang diturunkan Allah, membuat syari'at yang bertentangan dengan syari'at Allah dan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Silakan memperhatikan nama-nama ulama di bawah ini dan tempat-tempat aqwal mereka dalam kitab-kitab mereka, mudah-mudahan mata hati kalian dibuka oleh Allah Ta’ala.

·        Nama-nama 18 ulama yang mengkafirkan tasyri’.
1.      Al Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah.
Beliau mengatakan hal tersebut di banyak tempat, antara lain kata-kata beliau: orang yang membuat syari'at yang syari'at tersebut tidak ada pada masa kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka orang itu kafir musyrik halal darah dan hartanya, hukumnya hukum orang murtad tidak ada bedanya sama sekali (Al Ahkam 1/73)
Dan di tempat lain Al Ihkam 2/144-145, Al Ihkam 5/173, Al Ihkam 6/31, Al Ihkam 6/110, Al Ihkam 2/9, Al Ihkam 6/77-78, 109, 117.
2.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (728 H)
Silakan baca Majmu’al Fatawa 28/524; 35/365; 35/200; 11/262; 8/106; 3/267; 35/373; 28/501,509; 28/502-503, 281, 510-511; 28/519.
3.      Al Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah (751 H)
Silakan buka Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/259.
4.      Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah (774 H)
Lihat di Al Bidayah wan Nihayah 13/119; Tafsir Ibnu Katsir 2/67.
5.      Asy Syaukani (Muhammad bin Ali) rahimahullah (1250 H)
Buka Ad-Dawa’ul ‘Ajil fi Daf’il ‘Aduwwish Shail hal 33-35.
6.      Asy Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (1292 H).
Buka Ad-Durarussunniyah fil Ajwibatin Najdiyah- koleksi Abdur bin Qasim 8/241.
7.      Asy Syaikh Hamad bin Atiq An Najdi rahimahullah (1301 H)
Buka Majmu’atul Tauhid Syaikhul Islam hal 412.
8.      Asy Syaikh Abdullah bin Hamid rahimahullah.
Beliau berkata: Barang siapa yang mengeluarkan undang-undang syari'at secara umum yang wajib diikuti manusia yang bertentangan dengan hukum Allah, maka hal ini adalah mengeluarkan dia dari Islam menjadi kafir, dinukil dari kitab “Ahammiyatul Jihad” oleh Ali bin Nafi’ Al Ulyani, hal 196.
9.      Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh rahimahullah (1389 H).
Beliau seorang mufti yang amat masyhur. Beliau dalam risalahnya “Tahkimul qawanin” (berhukum dengan undang-undang rekaan manusia), berbicara panjang lebar dalam masalah ini, singkatnya menurut beliau, pengadilan-pengadilan yang menjamur di negara-negara kaum muslimin pada masa kini yang tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka tidak ada kufur yang lebih atas dari pada itu, dan tidak ada pembatal syahadat bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah lebih dari itu.
Silakan baca buku ini, bukunya kecil dan tipis saja, biar mata Anda segera melek.
10.  Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah.
Beliau dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala (QS Al Isra (17): 9) mengatakan antara lain: Siapa saja yang mengikuti tasyri’ (syari'at yang bukan tasyri’ yang dibawa oleh penghulu anak Adam Muhammad bin Abdullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka mengikuti tasyri’ yang bertentangan dengan tasyri’ beliau adalah ………………………………… (kufur yang gamblang yang mengeluarkan dari millah Islam)
Buka adhawaul bayan 3/439-441; 4/82-85; 7/162-173; 7/587-590; 1/395-396, 476; 7/614.
11.  Muhammad bin Ja’far Al Kinani rahimahullah dari ulama Al Maghribi.
Buka Nashihatul Islam hal 191-194.
12.  Asy Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah
Beliau berbicara panjang lebar tentang undang-undang produk manusia dalam kitab, “Umdatut tafsir Muhtashar Tafsir Ibnu Katsir” antara lain beliau katakan:

Maksudnya: undang-undang produk otak manusia itu jelas gamblang bagaikan matahari di siang bolong, dia adalah kufur yang jelas, tidak ada yang samar lagi dan tidak ada pengelakan lagi. (Umdatut Tafsir 4/173-174)
Buka di tempat lain Umdatut Tafsir 3/214-215; 3/51; 2/197; 1/175, 204, 227-228; juz2/192; 3/38, 12-109, 125, 135; 4/146-147.
Dan bisa juga dibuka dalam buku Ta’liq beliau terhadap Al Musnad Ahmad Ibnu Hambal 6/303, 305. dan ta’liqnya terhadap Ar Risalah lisy-Syafi’i  hal 505.
13.  Asy Syaikh Mahmud Syakir rahimahullah.
      Buka Umdatut Tafsir 4/157.
14.  Asy Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi rahimahullah.
Lihat catatan kaki pada Fathul Majid hal 287 dan 406.
15.  Al Ustadz Abdul Qadir Audah rahimahullah
Buka dalam kitab beliau At Tasyri’ul Jinnai 2/232, 708.
16.  Al Ustadz Sayyid Qutb rahimahullah.
Buka Fie Dhilalil Qur’an hal 1216.
17.  AsySyaikh Hamud Al Tuwaijiri rahimahullah.
Lihat dalam kitab beliau “Al Lidhah Wat Tabyiin Lima Waqa’adalah Fihil Aktsaru min Musyrikin” hal 28-29.
18.  Dr. Muhammad Naim Yasin.
Lihat kitab beliau Al Iman hal 102-104.

                  Itulah nama-nama ahlul ilmi dari salaf dan mu’ashirin yang dengan tegas mengkafirkan siapa saja yang berhukum dan membuat syari'at yang bertentangan dengan syari'at Allah Ta’ala. Jikalau anda masih mau tambah lagi silakan buka:
Ø      Tahdzir ahlil iman ‘anil hukmi bighairi maa anzalallah-oleh Asy Syaikh Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim Al As’and.
Ø      Wujubut Tahkimusy Syariatil Islamiyyah-Makalah Asy Syaikh Marna’ul Qatthan – di majalah Al Buhutsul Islamiyyah – yang dikeluarkan oleh Darul Ifta’, Saudi no.1 Rajab 1395 H hal 57-69.
Ø      Kitab Al Ilmaniyah bal 681-693 oleh Dr. Safar Al Hawali
(Rujuk kitab Al Jami di Thalabil Ilmisy Syarif – Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz 13/172-201.
               Contoh lain lagi yang masih berhubungan dengan siyasah syar’iyyah. Ada salah seorang dari masyayikhnya yang berceramah bahwasanya, “berhukum dengan selain yang diturunkan Allah adalah kufur amali atau kufur ashghar bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam, katanya berdasarkan qaul hibrul ummah, Abdullah bin Abbas radliallahu 'anhu dalam mentafsirkan surat Al Maidah (5): 44 ..………………………………………………………………. yaitu kufrun duna kufrin (kufur yang bukan kufur).[6]
   Kemudian tanpa penelitian yang seksama dari ceramah dan taklim syaikh tersebut, tanpa merujuk tafsir ayat-ayat lain yang berpuluh jumlahnya, tanpa meneliti kedudukan qaul Ibnu Abbas radliallahu 'anhu yang sebenarnya. Sebab dari segi riwayatnya saja sudah disangsikan keshahihannya karena adanya seorang yang bernma Hisyam bin Hujair yang didhaifkan oleh banyak Imam-Imam yang terpercaya seperti Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Said Al Qahthani, Ali bin Madani, dll. (Al Jami’ 13/123-128).
Taruhlah andaikan qaul tersebut batil dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, kita wajib mendudukkannya pada kedudukan yang sebenarnya jangan mengikuti hawa nafsu dan selera kita atas nama Ibnu Abbas, lalu dengan jahilnya mengatakan bahwasanya pemerintahan-pemerintahan dan penguasa-penguasa hari ini yang beragama Islam tidak kufur meskipun berhukum dengan hukum yang mereka cipta sendiri yang bertentangan dengan hukum Allah, pendapat seperti ini lehi sesat dari keledai yang ada di kandang rumahnya dan menyesatkan orang lain.
Jika Anda terasuk yang membenarkan shahihnya riwayat qaul Ibnu abbas tersebut, maka yang perlu Anda paham antara lain:
a.       Di zaman Ibnu Abbas radliallahu 'anhu belum ada penguasa yang mengaku muslim yang memproduk dan berhukum dengan hukum Uyasiq seperti hari ini.
b.      Ibnu Abbas  radliallahu 'anhu adalah seorang faqih dari kalangan shahabat di antaranya yang paling getol mengadakan munadharah dengan khawarij untuk mendakwahi mereka agat kembali kepada kebenaran. (Lihat Jami’untuk Bayanil Ilmu – Ibnu Abdil Bar 2/103-104). Karena golongan khawarij mengkafirkan dengan segala dosa baik yang mukaffirah maupun yang tidak mujaffirah, yang mana pendapat sesat tersebut didasarkan pada ayat tersebut (5: 44) karena kebodohannya. Maka boleh jadi dengan itu beliau mengatakan kepada khawarij bahwa ayat tersebut tidak bisa kalian pakai untuk mengkafirkan orang-orang beriman terhadap dosa yang mereka lakukan karena dosa mereka adalah kufrun duna kufrin.
c.       Ikuti tarjih Ibnul Qayyim rahimahullah (Lihat Madarijus Salikin 1/336-337),  meskipun tarjih beliau perlu ditarjih lagi, akan tetapi jauh lebih baik dari kesesatan pemahaman Anda.
Kata beliau: “Yang benar bahwasanya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mengandung dua bentuk kufur, kufur ashghar dan kufur akbar dengan melihat keadaan hakim. Jika ia meyakini akan wajibnya berhukum dengan yang diturunkan Allah ………………….., dalam kejadian (kasus) itu, dan ia menukar dengan yang lain karena maksiat disertai dengan pengakuannya bahwa ia berhak dikenakan hukuman, maka yang seperti ini adalah kufur ashghar dan jika ia meyakini bahwasanya berhukum dengan hukum Allah tidak wajib, dan ia boleh memilih disertai dengan keyakinan bahwasanya hal itu adalah hukum Allah, maka yang seperti ini adalah kufur akbar.
Coba perhatikan kata-kata beliau ………………………….. Maksudnya adalah beliau berbicara tentang suatu kejadian yang mana seorang qadhi atau hakim mengadili suatu perkara dan memutuskan hukuman dengan hukum selain yang diturunkan Allah maknanya dalam suatu pengadilan atau mengeluarkan suatu perintah dalam kejadian tertentu bukan bermaksud ‘membuat syari'at secara umum’ seperti keadaan para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam pada masa sekarang ini. Hal ini menguatkan qaul Ibnu Abbas radliallahu 'anhu jika qaul itu betul, bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah dalam keadaan qadha’ (pengadilan) bukan dalam keadaan tasyri’ (membuat undang-undang). Wallahu a'lam.
d.      Perlu diingat bahwa Ibnu Abbas radliallahu 'anhu juga yang meriwayatkan sebab turunkan firman Allah Ta’ala (QS Al An’am (6): 121) yang di antara kandungannya bahwa mentaati orang musyrik dalam masalah membuat satu syari'at saja berarti telah benar-benar musyrik. (riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang shahih)
               Dalam pembahasan masalah-masalah ini bisa dirujuk dalam kitab:
Ø      Kasyfus Syubuhatil Mujadilin ‘an Asakirisy Syirk wa Ansharil Qawanin, oleh: Asy Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi hal 8-25.
Ø      Waqfaat ma’a Asy Syaikh Al Bani Haula Syarith min Manhajil Khawarij, oleh Al Jama’ah Al Islamiyah Mesir hal 43-47.
Ø      Al Jami’: Asy Syaikh Abdul Qadr bin Abd. Aziz 13/121-172.
Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan dan syubuhat-syubuhat lain yang telah dijelaskan dengan keterangan yang gamblang berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah mengikuti pemahaman ulama salaf oleh para ulama ahluts tsughur dan mujahidin. Tetapi sayang seribu sayang, buku-buku tersebut terkena tahdzir sehingga bayan tidak sampai ke telinga dengan demikian puas menerima bayan dan pandangan dari sebagian masyayikh yang belum lengkap bahkan mengandung banyak syubuhat, dan yang lebih sesat lagi keterangan yang belum lengkap dan banyak mengandung syubuhat itu di stempel sebagai satu-satunya mazhab salaf. Kalau yang dimaksud pendapat dari kelompok yang mengaku ‘as salafi’ memang betul, tetapi jika salaf yang dimaksud adalah istilah syar’iy, maka jauh panggang dari api.
Kalaulah seandainya sebagian para ustadz yang semangatnya ana nilai lebih hebat dari ilmunya itu insaf lalu terketuk mata hatinya kemudian tergerak mau membaca tulisan-tulisan ahlul ilmi dari kalangan mujahidin tak usah banyak-banyak satu atau dua buku saja, misalnya: “Al Umdah fil I’dadil Uddah lil Jihad fi Sabilillah” atau “Al Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif” oleh Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Insya Allah akan dapat menampal atau melengkapi ilmu yang diperoleh dari sebagian masyayikhnya dalam masalah yang kita maksudkan termasuk syubuhat-syubuhat yang terjadi pada masa kini, dan tidak akan semudah itu dengan kebodohannya membuat tuduhan-tuduhan yang jauh dari kenyataan terhadap jama’ah-jama’ah jihad as salafiyah dan para mujahidin.
c.       Jenis penguasa kafir yang ketiga: Yaitu penguasa yang shah menurut syari'at Islam (bukan sekedar mengaku beragama Islam), kemudian dalam perjalanan pemerintahannya ternyata melakukan kufur akbar yang jelas. Penguasa yang seperti ini wajib diturunkan berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu:
                                                                                                        

Artinya: Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah.
……………………, maksudnya amal yang dilakukan oleh penguasa tersebut menunjukkan atas kufurnya dengan kata lain merupakan amal yang mukaffir (mengkufurkan) dan ………………………….., maksudnya ada dalil syar’iy yang jelas dari ayat al Qur’an maupun al Hadits yang tidak mengandung takwil bahwasanya perbuatan atau amal yang dilakukan oleh penguasa itu mukaffir. (lihat Al Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif, 8/31 dan Nailul Authar 7/361)
2.      Pemberontakan yang dilakukan ahlus sunnah (bukan khawarij) terhadap penguasa muslim (sesuai dengan istilah syar’i) yang fasiq atau yang zalim. Jenis pemberontakan inilah yang banyak terjadi di zaman abad yang terbaik yaitu pada tiga abad pertama Hijriyah, yang dilakukan antara lain oleh shahabat-shahabat yang mulia radliallahu 'anhuma ajma’in sebagaimana yang telah di sampaikan sebagiannya di atas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka memberontak? Bukankah prinsip ahlus sunnah wal jama'ah tidak membolehkan memberontak kepada penguasa yang fasiq atau yang zalim?
Jawabannya perlu diketahui bahwasanya masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah sejak awal-awal lagi, sebagian mereka berpendapat wajib berjihad melawan penguasa tersebut berdasarkan umumnya kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan sebagian yang lain melarang berbuat demikian berdasarkan hadits-hadits, misalnya: “Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari amirnya maka hendaklah bersabar.”

·        Ijma ahlus sunnah di atas tidak bolehnya memberontak penguasa yang zalim setelah terjadi perselisihan.
Kemudian setelah fitnah demi fitnah, terjadilah kesepakatan pendapat jumhur ahlus sunnah wal jama'ah mengambil sikap sabar dalam menghadapi pemimpin yang zalim dan melarang keluar untuk memberontak mereka.
Al Imam An Nawawi telah menyebutkan perselisihan yang lama ini dan kesepakatan pendapat atasnya, maka beliau berkata: “Berkata Al Qadhi Iyadh: kalau seandainya seorang khalifah dengan tiba-tiba fasiq, sebagian mereka berkata: wajib mencopotnya kecuali jika mengakibatkan fitnahdan peperangan. Dan berkata jumhur ahlus sunnah dari para fuqaha’nya, para pakar haditsnya dan mutahalliminnya bahwa khalifah tidak dicopot atau digulingkan karena fasiq, zalim dan tidak menunaikan hak-hak, dan ia tidak diturunkan dari jabatannya dan tidak boleh keluar memberontak ke atasnya dengan hal-hal itu, akan tetapi wajib menasihatinyadan menakut-nakutinya berdasarkan hadits yang ada dalam masalah itu. Berkata Al Qadhi: Abu Bakar bin Mujahid telah mengakui dalam Ijma’ ini dan sebagian mereka menolaknya dengan alasan Al Husein, Ibnu Zubair dan penduduk Madinah memberontak Bani Umayyah, demikian juga kumpulan yang besat dari para Tabi’in dan generasi pertama bersama Ibnul Asy’ats memberontak Al Hajjaj dan pihak yang berpendapat seperti ini mentafsirkan kata-katanya ‘Agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya, adalah pada pemimpin-pemimpin yang adil, dan hujjah jumhur saja akan tetapi ketika dia merubah syari'at dan mendhahirkan kekufuran. Berkata Al Qadhi: Dikatakan bahwa perselisihan ini adalah pada mulanya, kemudian terjadilah ijma’ atas dilarangnya keluar memberontak mereka. Wallahu a'lam. (Syarah An Nawawi li Shahih Muslim 12/229).
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwasanya bersabar terhadap para pemimpin yang zalim dan tidak keluar memberontak mereka adalah telah menjadi ketetapan pendapat ahlus sunnah setelah terjadi perselisihan yang lama dalam masalah ini.” Minhajus sunnah 2/241.
Kemudian pada akhirnya masalah ini ditulis dan dimasukkan dalam kandungan i’tiqad ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang sudah tetap dalam aqidah yang populer. Berkata penulis Al Aqidah At Thahawiyah: Kami tidak berpendapat boleh keluar memberontak pemimpin-pemimpin kami dan para pengurus yang mengurusi urusan-urusan kami meskipun mereka zalim dan kami tidak mendo’akan yang tidak baik ke atas mereka, dan kami tidak mencabut tangan dari mentaati mereka dan kami berpendapat bahwa mentaati mereka adalah termasuk mentaati Allah Azza wa Jalla dan hukumnya wajib selama tidak memerintahkan maksiat, dan kami mendoakan kebaikan dan perlindungan dari segala yang tidak baik untuk mereka. (Syarhul Aqidatith Thahawiyah)
Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal ijma’ atas masalah ini juga, berkata Ibnu Hajar: Dan Ibnut Tin menukil dari Ahludh dhalal' Dawudi berkata: Yang dipegangi oleh para ulama dalam masalah para amir yang zalim bahwasanya jika mampu mecopotnya tanpa ada fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, kika tidak (mampi tanpa fitnah dan kezaliman) maka wajib besabat. Dan dari sebagian ulama: tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula), maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, maka mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh keluar memberontak ke atasnya atau tidak, yang benar adalah dilarang kecuali jika kufur maka wajin keluar memberontak ke atasnya.” (Fathul Bari juz13/7,8)
Meskipun demikian Ibnu Hazm mengambil pendapat dengan keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai penasakh terhadap hadits-hadits yang menyuruh diam (tidak memberontak) – Al Muhalla 9/362 – pendapat Ibnu Hazm dilemahkan dengan ijma yang telah di aqadkan yaitu bersabar atas pemimpin-pemimpin yang zalim. Dan pendapat beliau tentang  nasakh tersebut perlu mengetahui tarikh, dan yang betul adalah pendapat Al’ am dan ikhlas, adapun yang khas (yaitu hadits-hadits bersabar terhadap pemimpin yang zalim) didahulukan atas yang ‘am (umum) (yaitu keumuman hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar) sesuai dengan qaidah-qaidah ushul. (Rujuk Al Umdah fi I’dadil Uddah- masalah jama’ah minal muslimin, hal 111)
Dari keterangan di atas menjadi jelaslah kesalahan orang-orang yang menisbahkan kekerasan dan pemberontakan hanya kepada ahlul bid'ah dan ahlul ahwa' yaitu golongan khawarij sehingga terkesan seolah-olah ahlus sunnah wal jama'ah itu kelompok sufi dan jabari yang berusaha mengislah kemungkaran termasuk kemungkaran penguasa dengan tasbih, bersemedi, dan mentarbiyah, sedangkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash termasuk hadits-hadits Ubadah bin Shamit radliallahu 'anhu dan lain sebagainya. Dan berpuluh-puluh qaul ulama salaf bahwasanya penguasa yang kafir tulen maupun yang murtad wajib diperangi bahkan yang tadinya benar-benar pemimpin yang shah menurut syar’iy memenuhi semua syarat sebagai seorang khalifah, kemudian tiba-tiba melakukan kekufuran yang jelas, maka wajib hukumnya bagi rakyat yang beriman keluar memberontaknya untuk menggulingkannya. Camkan sekali lagi kata-kata Ibnu Hajar tersebut di atas. (Fathul Bari 13/7,8). Siapa yang menjadi pelopor untuk menunaikan perintah-perintah tersebut jika seandainya ahlus sunnah telah merubah jati dirinya menjadi ahlush shufiyah, ahlul jabar dan ahlul irja’?
Karena Islam menuntut kepada setiap pemeluknya bersikap kepada penguasanya sesuai dengan syari'atnya, mka wajib setiap muslim mengetahui kedudukan penguasanya menurut syari'at, apakah ia seorang penguasa yang shah atau tidak shah, dan ataukah ia seorang kafir tulen, ataukah seorang kafir murtad, dan ataukah ia seorang penguasa yang shah tetapi fasiq atau zalim? Semua ini baik bentuk-bentuk penguasa maupun tata cara menyikapi masing-masing telah diatur dalam syari'at dan telah dijelaskan oleh ahlul ilmi kita dengan sedetail-detailnya. Untuk dapat memahami keadaan penguasa yang sebenarnya menurut syari'at caranya bukan ngawur seenaknya sendiri, dengan goyang kaki mengikut cara yang mudah mengikut hawa nafsu dan selera, misalnya: karena KTP penguasa tersebut beragama Islam, berarti dia penguasa muslim yang shah, maka semua rakyat yang muslim wajib taat. Cara dan kesimpulan seperti ini adalah jahil dan dhalal. Bagaimana cara yang benar? Yaitu dengan merujuk kepada al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf.
Alhamdulillah, berkah limpahan rahmat dan nikmat Allah Ta’ala kepada ummat ini, Allah Ta’ala mentaqdirkan wujudnya hamba-hamba-Nya yang ‘alim dalam persoalan ini yang telah berjihad dan bermujahadah dengan tinta mereka, dengan demikian ummat ini bisa memahami persoalan ini dengan baik sesuai dengan sunnah.
Maka atas ummah ini terutama para pemuka-pemuka agama, para dai-dai, para mu’alim-mu’alim, para ustadz-ustadz dan sebagainya lebih khusus lagi atas mereka yang mau ngomong masalah yang besar, penting, dan kritis ini wajib menelaah, dan merujuk kitab-kitab mereka apalagi yang hendak mengeluarkan fatwa, jika tidak, tidak boleh tidak, mesti sesat dan menyesatkan.


[1] lihat al jihad wal ijtihad hal 299.
[2] Perlu diperiksa lagi.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam muqaddimah hal 5.
[4] Lihat al Jihad wal Ijtihad, 315
[5] Dalam masalah negara dan bentuk negara lebih jelasnya ikuti pembahasan pada halaman ……………
[6] Atau karena membaca Ta’liq Asy Syaikh Al Bani terhadap Al Aqidah At Thahawiyah hal 40-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar