Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 03


Adapun kitab-kitab ahlul ilmi yang kami maksudkan antara lain sebagai berikut:
   Nama-nama kitab ahlul ilmi yang membahas masalah siyasah syar’iyyah.
1.      Al Ahkam As Sulthaniyah – oleh Al Mawardi (Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Bashri Al Baghdadi, 450 H)
Kitab ini terdapat sedikit kesalahan, misalnya: membolehkan seorang dzimmi menjabat wuzaratut tarfidz di negara Islam, pendapat ini keliru dan telah disanggah oleh Al Juwaini dalam kitabnya (al Ghiyathi).
2.      Al Ahkam Al Sulthaniyah – oleh Abu Ya’la ( Muhammad bin Al Husein Al Farra’ Al Hambali 458 H)
3.      Ghiyatsul Umam Fittiyatsizh zhulmi (Al Ghiyatsi) – oleh Al Imam Al Haramain Abil Ma’ali Al Juwaini, 478 H)
4.      As Siyasah Asy Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah – oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 728 H (Majmu’ Al Fatawa 28/244-398)
5.      Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam – oleh Badruddin bin Jama’ah 733 H.
6.      Mu’idun Ni’am wa Mubidun Niqam – oleh Tajuddin Abdul Wahhab bin As Subki 771 H.
7.      Nizhamul Hukumah An Nabawiyyah Al Musamma bit Tartib al Idariyyah – oleh Abdul Hayyi Al Kitani.
Itulah kitab-kitab penting untuk memahami masalah siyasah syar’iyyah dan sudah seharusnya mesti ditambah Kitabul Ahkam dalam Shahihul Bukhari dan Kitabul Imarah dalam Shahih Muslim.
            Ada juga kitab-kitab lain sebagai tambahan:
1.      Tashilun Nadhar wa Ta’jiludh Dhafar fi Akhlaqil Mulki wa Siyasatil Mulki – oleh al Qadhi Al Mawardi 450 H.
2.      Qawaninul Wazarah – idem.
3.      Dusturu ma’alimil Hikam – Muhammad bin Salamah Al Qadha’i 454 H.
4.      At Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk – oleh Abu Hamid Al Ghazali 505 H.
5.      Sirajul Muluk – oleh Abu Bakar Ath Tharthusyi Al Maliki 520 H.
6.      Asy Syifa’ fi Mawidhil Muluk wal Khulafa’ – oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi 597 H.
7.      Al  Fakhriy fil Adabis Sulthaniyah – oleh Muhammad bin ali bin Thabathaba 709 H.
8.      Dan ada kitab yang bagus yang mengandungi masalah-masalah siyasah syar’iyyah khususnya yang berhubungan dengan amal Islami jama’ah yaitu “Al Umdah fi ‘Idadil Uddah lil Jihad fie Sabilillah – oleh Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Demikian juga Al Jami’ fi Thalabil Ilmisy Syarif (14 buku).
      Bisa di rujuk di Al Jami’ 12/92-95.
            Lebih bagus lagi bila Anda memperdalam tentang “Ahkamu Ahlidz Dzimmah di Daril Islam”, supaya lebih jelas dalam masalah ini mana yang haq dan mana yang batil, mana yang darul Islam dan mana yang darul kufr menurut syar’i dan keterangan-keterangan salaf agar tidak nglindur dan ngawur mengatakan di situ terdapat adzan di situlah darul Islam.
            Adapun kitab-kitab yang bagus dalam masalah ini antara lain:
1.      Ahkam Ahlidz Dzimmah – oleh Al Allamah Ibnul Qayyim.
2.      Iqtidhaush Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ashabil Jahim – oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3.      Ash Sharimul Maslul A’la Syatimir rasul – idem.
4.      Kitabul Jizyah – dalam Shahihul Bukhari beserta Syarahnya dalam Fathul Bari 6/257.
5.      Kitabul Jizyah di kitab (Al Mughni) – oleh Ibnu Qudamah – (Al Mughni ma’Asy Syarhil Rabir 10/dari hal 567 hingga akhir)
6.      Majmu’ul Fatawa 28/601-668 dari Ar Risalah Al Qabrashiyah.
Itulah beberapa kitab ahlul ilmi yang menjelaskan persoalan-persoalan yang sedang kita bincangkan, dengan membaca dan memahami buku-buku tersebut – Insya Allah – pemahaman kita dalam masalah ini akan lurus dan benar, meskipun begitu belum layak lagi untuk berfatwa dalam masalah yang besar ini perlu ada syarat-syarat lain – Insya Allah – akan disampaikan berikutnya.

B.     Disiplin Berfatwa dan Penjelasannya.
Sesudah muqaddimah dan keterangan di atas selanjutnya ana katakan: setelah membaca lima makalah tulisan Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed dan Al Ustadz Qomar Suadi, Lc. Sebagaimana yang telah tertulis di awal risalah ini, maka saya dapat mengambil kesimpulan bahwasanya kedua ustadz tersebut telah mengeluarkan satu fatwa untuk seluruh kaum muslimin di Indonesia bahkan boleh jadi untuk kaum muslimin di seluruh dunia, yang di antara kandungan fatwanya adalah: Bahwasanya menurut syari'at Islam, negara Indonesia adalah merupakan daulah Islamiyyah atau hukumah Islamiyyah, dan para penguasanya khususnya presidennya sebagai penguasa tertinggi adalah penguasa yang shah menurut al Kitab dan As Sunnah meskipun fasiq dan zalim, oleh karena itu mereka berhak mendapatkan hak-hak imarah sebagaimana yang ada dalam Al Kitab dan As Sunnah yang terurai dalam kitab-kitab ulama’ salaf, dan semua rakyat kaum muslimin yang di bawah kekuasaannya wajib menunaikan kewajibannya terhadap mereka termasuk mendengar dan taat dalam hal yang tidak maksiat dan dilarang keluar berjihad untuk mencopot mereka. Demikianlah kurang lebih kesimpulan dari makalah-makalah tersebut.
Adapun koreksi dan komentar saya sebagai berikut:
1.      Urusan mengeluarkan fatwa bukan masalah kecil dan remeh, apalagi dalam perkara yang sebesar itu yang skupnya begitu luasnya. Berfatwa dalam masalah cebok saja kalau modal ilmunya kurang itupun akan sesat dan menyesatkan, tetapi yang disesatkan mungkin hanya satu dua orang yang sedang belajar mengenai cebok. Saya menilai kedua ustadz tersebut terlalu berani dalam masalah ini, yang perlu disadari bahwa berani dalam berfatwa tidak terpuji sebagaimana berani dalam perkara-perkara lain, bahkan salaf kita sangat mengecam perangai ini.
         Berkata Al Qadhi Abu Ya’la rahimahullah: ……………………………… artinya: Orang yang paling berani dari kalian untuk berfatwa adalah orang yang paling berani dari kalian untuk masuk ke dalam pangkal neraka jahannam.
Berkata Imam Ahmad dalam riwayat shahih yang artinya: sepatutnya bagi seseorang yang mau berfatwa dia harus ‘alim dengan segala seluk beluk Al Qur’an, ‘alim dengan sanad-sanad yang shahih, ‘alim dengan sunnah-sunnah, dan berkata pada riwayat Hambal: Bagi seorang yang berfatwa harus ‘alim dengan qaul orang yang terdahulu, jika tidak, maka tidak (berhak) berfatwa.
         Berkata Allamah Ibnul Qayyim: Barang siapa yang berfatwa kepada manusia sedangkan dia bukan orang yang ahli berfatwa, maka dia berdosa dan barang siapa yang menyetujuinya dari pihak pemerintah, ia juga berdosa.
         Berkata Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah: Wajib waliyul amri melarang mereka sebagaimana yang dilakukan Bani Umayyah, mereka kedudukannya bagaikan orang yang menunjukkan jalan, sedangkan mereka sendiri tidak mengetahui jalan, bagaikan orang buta yang menunjukkan jalan manusia arah kiblat, bagaikan seorang yang tidak mengerti ilmu perobatan, tapi mengobati manusia. Bahkan lebih buruk keadaannya dari itu semua. Jika fardhu ‘ain hukumnya bagi waliyul amri melarang orang yang tidak mengerti ilmu perobatan untuk mengobati orang, maka bagaimana pula terhadap orang yang tidak mengerti Al Kitab dan As Sunnah dan tidak tafaqqul fiddin (maksudnya wajib melarangnya untuk berfatwa)
         Dan syaikh kami Ibnu Taimiyyah rahimahullah sangat mengecam terhadap mereka, aku mendengar beliau berkata: Sebagian dari mereka berkata kepadaku, apakah aku dijadikan sebagai bendaharawan untuk berfatwa? Maka aku katakan kepadanya, Menjadi bendaharawan tukang membuat roti dan tukang masak dan bukan menjadi bendaharawan atas fatwa? (I’lamul Muwaqqi’in 4/217)
         Karena demikian kritisnya urusan berfatwa, maka ualama salaf kita telah menentukan syarat-syarat yang layak berfatwa, yaitu sebagai berikut:
a.       Islam.
b.      Baligh.
c.       Berakal.
d.      Tidak disyaratkan laki-laki.
e.       Tidak disyaratkan merdeka.
f.        Tidak disyaratkan sehat indra.
g.       ‘adalah (adil makna syar’i).
h.       Ilmu syar’i
i.         Ilmu waqi’ (ma’rifatun nas wa a’raafihim)
                     Di sini saya akan mengulas dua nomor yang terakhir yang saya anggap berhubungan erat dengan pembahasan kita. Seorang yang berfatwa harus menguasai ilmu syar’i dengan kata lain dia mesti seorang mujtahid, sendangkan menurut kesepatakan ulama, seorang mujtahid harus memiliki ilmu-ilmu sebagai modal untuk berijtihad, yaitu lima ilmu:
1.   Ma’rifatul Qur’an wa ulumuhu.
2.      Ma’rifatul hadits wa ulumuhu, riwayah dan dirayah dan mampu membedakan mana yang bisa dijadikan hujjah dan yang tidak.
3.      Ma’rifah al ijma’ dan al ikhtilaf yakni mengetahui apa yang sudah di sepakati ulama sebelumnya dan apa yang diperselisihkan, dan mempunyai kemampuan mengetahui yang benar terhadap hal-hal yang diperselisihkan tersebut, dengan kata lain mampu mentarjih secara benar. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: seorang faqih adalah orang yang mendengar ikhtilaf ulama dan dalil-dalil mereka secara keseluruhan, dan dia mampu mengetahui mana yang paling kuat dari pendapat-pendapat itu. (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah hal 333)
4.      Ma’rifatul lughatul arabiyyah, nahwunya, sharafnya, ma’aninya dan ushlub-ushlubnya.
5.      Ma’rifatu ushulil fiqh, khususnya dalam masalah qiyas, ta’arudh dan tarjih.
Berkata imam Asy Syafi’i rahimahullah (204 H): Tidak halal seseorang untuk berfatwa dalam dienullah melainkan seseorang yang arif dengan Kitabullah, nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, takwil dan tanzilnya, makiyah dan madaniyahnya, apa yang dikehendaki dengannya dan dalam hal apa ia diturunkan, kemudian sesudah itu dia harus bashir dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan nasikh dan mansukh, dan mengerti hadits sebagaimana dia mengerti dari Al Qur’an, dia harus bashir dengan bahasa, bashir dengan syair dan dengan  apa yang diperlukan kepadanya untuk  ilmu dan Al Qur’an, dan mempergunakan semua ini dengan penuh inshaf, sedikit bicara, setelah itu dia haruus menjadi pembimbing/pengawas terhadap ikhtilaf penduduk kota yang besar dan dia akan mempunyai kepintaran sesudah itu semua. Maka apabila dia keadaannya seperti itu baru layak berbicara dan berfatwa dalam hal yang halal dan yang haram, dan jika tidak demikian halnya, dia hanya berhak berbicara dalam hal ilmu dan tidak berhak berfatwa. (Al Faqih wal Mutafaqil, 2/157).
Kemuadian syarat orang yang berfatwa yang terakhir yaitu yang kesembilan: ilmu waqi’ (ma’rifatun nash wa a’rrafihim)
Ibnul Qayyim rahimahullah menukil dari Imam Ahmad, bahwasanya harus ada pada diri seorang yang berfatwa ma’rifatun nas (mengenal manusia). (I’lamul Muwaqi’in 4/199). Kemudian Ibnul Qayyim menguraikan syarat ini sebagai berikut: Adapun qaulnya yang kelima (ma’rifatun nas) maka hal ini merupakan ushul yang besar yang diperlukan bagi seorang mufti dan seorang hakim, maka jika dia tidak faqih dalam masalah ini, sebagaimana faqihnya dalam masalah perintah dan larangan, lalu mensuaikan yang satu dengan yang lainnnya, jika yi demikian maka apa yang dia rusak lebih banyak dari apa yang dia perbaiki. Karena sesungguhnyajika dia tidak faqih dalam masalah perintah dan mengenal manusia, dia akan menganggap orang zalim sebagai orang mazlum atau sebaliknya, dan orang yang benar dianggap orang yang batil atau sebaliknya, orang yang mengharap ke atasnya baik-baik dianggap bermakar, manipu dan membuat tipu daya, dan orang yang zindiq dianggap sebagai orang yang shiddiq (jujur), dan yang pendusta dianggap orang yang jujur, dan setiap orang yang batil/pendusta berkedok dengan baju kepalsuannya berselindung di bawah dosa, kedustaan dan kejahatan, karena kebodohannya terhadap manusia, keadaan mereka, kebiasaan mereka dan istilah suatu adat istiadat mereka, maka dia tidak membedakan yang ini dan yang itu, bahkan dia harus faqih dalam mengenal tipu daya manusia, makar mereka, penipuan mereka, kebiasaan mereka dan adat istiadatnya. Karena sesungguhnya fatwa itu berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat, kebiasaan-kebiasaan dan keadaan. Seluruhnya itu termasuk dienullah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kepada Allah kita memohon taufiq-Nya. (I’lamul Muwaqi’in, 4/204-205; bisa juga dilihat pada juz 3/229-230 dan 1/87-88).
Ini dalam hal ma’rifatun nas, adapun tentang ma’rifatul Urfnya. Bisa dilihat qaul Ibnu Shalah rahimahullah dalam Adabul Mufti hal 115 dan I’lamul Muwaqi’in 4/228-229.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Barang siapa yang berfatwa hanya dengan menukil dari kitab-kitab di atas berlainannya urf mereka, zaman mereka, tempat mereka, kondisi mereka, kebiasaan mereka, dan indikasi-indikasi keadaan mereka, maka sesungguhnya dia telah sesat dan menyesatkan. (I’lamul Muwaqi’in 3/89)
2.   Menurut penilaian saya – wallahu a'lam – berdasarkan makalah-makalah yang ada, bahwa kedua ustadz tersebut tidak memiliki dua syarat yang wajib ada pada diri orang yang berfatwa (mufti) yaitu:
1.      Dia sebagai seorang mujtahid.
2.      ilmu waqi’ (mengetahui keadaan manusia yang seberantnya dan mengetahui adat istiadat termasuk istilah mereka).
Hal ini ana katakan tidak bermaksud untuk menghina kehormatan beliau atau menjatuhkan martabat beliau - ……………… - akan tetapi ana katakan sebenarnya sebagai rasa kasih sesama mukmin dan sebagai rahmat atas beliau agar segera inshaf dan bertaubat dari kesilapannya, dengan kata lain sebetulnya beliau belum layak untuk mengeluarkan fatwa sebesar itu.
Coba bayangkan bagaimana fatwa akan bisa benar sesuai dengan syari'at jika yang berfatwa tidak memiliki dua syarat tersebut. Sedangkan satu syarat saja jika tidak ada pada dirinya, fatwanya akan pincang bahkan sebagaimana qaul Ibnul Qayyim rahimahullah tidak mengetahui istilah dan adat istiadat manusia saja meskipun dia seorang mujtahid akan sesat dan menyesatkan. (I’lamul Muwaqi’in 4/228)
Sebagai contoh, kita tidak meragukan lagi bahwa para masyayikh seperti Asy Syaikh Bin Baaz, dan sebagainya beliau adalah seorang mujtahid, tapi dalam sebagian fatwanya karena kurang memahami ilmu waqi’ (kondisi manusia dan urf mereka dsb) maka fatwanya bisa salah dan yang perlu disadari bahwa fatwa salah itu wajar sebab manusia tidak ada yang terpelihara dari kesalahan – selain para anbiya – dan kasih sayang serta rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-Nya sangat luas, terutama kepada para mujtahidin yang mana jika ijtihadnya salah dapat pahala satu, jika fatwanya benar memperoleh dua pahala. Salah tetap mendapatkan pahala sebagai ganjaran dan balasan dari mujahadah dan jerih payahnya, akan tetapi sebaliknya fatwa yang disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya meskipun benar – dan itu hampir mustahil – tetap salah sebab benarnya karena ngawur apalagi salah, berlipat ganda dosanya.
Kembali kepada contoh dua orang mujtahid tapi kurang memahami urf manusia. Fatwa tentang bolehnya melibatkan dalam pesta demokrasi termasuk menjadi anggota parlemen dengan alasan jika niatnya untuk berdakwah. Fatwa ini jelas salah, kesalahannya bukan karena masyayikh itu tidak memahami ilmu syara’ – subhanallah -  beliau-beliau boleh dikata gudang ilmu, tetapi kesalahannya adalah pada kurangnya memahami al waqi’ termasuk manusia, sedangkan fatwa bukan sekedar seperti taklim, fatwa adalah ma’rifatul wajib fi waqi’ atau fahmul wajib fi waqi’, yaitu: memahami hukum Allah yang Allah menghukumio dengannya dalam kitab-Nya atau melalui lisan rasul-Nya dalam waqi’ tersebut. (lihat I’lamul Muwaqi’in 1/71). Maka bagaimana akan bisa memahami dalil-dalinya dan bisa menyesuaikannya jika tidak memahami waqi’nya.
Demokrasi adalah urf manusia barat kafir munculnya di Inggris dan Prancis, dan menjadi kuat dan populer terutama setelah revolusi Prancis pada tahun 1789 M. Demokrasi menurut urf atau istilah mereka adalah : siyadatus sya’ib (kekuasaan rakyat) dan bahwasanya siyadah itu merupakan kekuasaan tertinggi secara muthlaq tidak tertakluk oleh kekuasaan yang manapun. Maknanya kekuasaan dan kedaulatan di kembalikan kepada rakyat, jadi rakyat yang berkuasa. Maka prinsip yang final bagi demokrasi adalah: prinsip kedaulatan rakyat. (lihat Mansu’ah As Siyasah, Dr.Abdul Wahhab al Kiyali 2/756)
Rujuk Al Jami’ 3/19-35.
Dari urf tersebut kita bisa memahami bahwasanya prinsip demokrasi bertentangan dengan Islam dan merupakan syirkul akbar, maka bagaimana dihukumi boleh hukumnya menjadi anggota parlemen dengan alasan jika niatnya untuk berdakwah, sedangkan menurut qaidah bahwa kemaksiatan itu tidak dibolehkan hanya dengan niat, akan tetapi dibolehkan jika ada dalil syar’i yang khos, yang mentakhshish dalil yang umum. (rujuk Ihya’ ulumuddin 4/388-391, untuk menguatkannya bisa juga dilihat di Majmu’ul Fatawa 14/476)
Jadi kesimpulannya, demokrasi adalah syirkul akbar haram hukumnya seorang muslim melibatkannya dengan alasan apapun – wallahu a'lam – rujuk Al Jami’ dalam banyak tempat.
Itu salah satu contoh, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain, padahal muftinya atau orang yang berfatwa seorang mujtahid karena kurang memahami bagian dari ilmu waqi’ bisa salah dan menyesatkan orang lain. Maka bagaimanapun menurut pendapat Anda jika yang berfatwa bukan mujtahid dan tidak juga memahami waqi’ dengan bahasa lain: …………………………………………………………….., maka tentu rusaknya lebih besar lagi. Sedangkan sebagaimana yang kita saksikan pada hari ini kebanyakan orang yang ngomong termasuk berfatwa tidak memiliki dua syarat tersebut. Inilah sebenarnya sumber dan muara segala bentuk bid’ah, dhalalah dan syubuhat yang terjadi di kalangan ummat.
Keadaan ini termasuk salah satu dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat, sebagaimana yang termaktub dalam shahihul Bukhari dalam kitabul ilmi, beliau menamakan satu bab: …………………………………… (diangkatnya ilmu dan merajalelanya kebodohan) dalam salah satu haditsnya:


Artinya: “Dari Anas radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya termasuk dari tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, ditetapkannya kebodohan, diminumnya arak dan ditampakkannya perzinahan.” (H.S.R. Al Bukhari)
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menggenggam (mencabut) ilmu dengan cabutan yang dicabut-Nya dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Allah menggenggam (mencabut) ilmu dengan mematikan para ulama. Sehingga apabila tidak tersisa orang alim, manusia akan mengangkat ketua-ketua (pemimpin-pemimpin) yang bodoh-bodoh, lalu mereka ditanya kemudian berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq alahi)
3.      Saya melihat – wallahu a'lam – bahwa kedua ustadz tersebut dalam menyampaikan fatwanya tidak mengikuti disiplin dan tata cara berfatwa yang telah ditunjukkan ahlul ilmi. Hal ini tidak berarti saya mengatakan bahwa beliau tidak berhak berfatwa karena bukan seorang mujtahid yang menguasai segala persoalan ilmu syar’i, tidak demikian sebab mufti dan mujtahid menurut ahlul ilmi berperingkat-peringkat: 1. Mufti mujtahid muthlaq mustaqil. 2. Mufti ghairul mustaqil (al muntasib li mazhab).  3. Mujtahid dalam satu bab atau masalah fiqh. 4. Orang yang bertafaqqul dan membaca suatu kitab dari kitab-kitab fiqh. 5. Orang yang memiliki kitab-kitab hadits atau sebagainya. 6. Orang awam yang mengetahui hukum sesuatu yang terjadi. 7. Orang yang tidak menjumpai seorangpun yang bisa ditanyai. (Al Jami’ 4/57-86).
Tujuh golongan tersebut berhak berfatwa sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan syarat mengikut disiplin dan tata cara berfatwa yang benar antara lain harus benar-benar memahami masalah yang difatwakan yaitu dua syarat tersebut di atas yaitu fiqhul waqi’ dan fiqhul wajib fil waqi’, kecuali jika dalam keadaan terpaksa seperti golongan ketujuh tersebut di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata (dalam masalah ijtihad dan kemampuan): orang awam yang berijtihad dalam sebagian permasalahan, mereka boleh berijtihad, karena ijtihad adalah suatu kedudukan yang menerima bgaian-bagian, maka ibrah adalah pada kemampuan dan kelemahan, kadangkala seorang mampu dalam sebagian dan lemah dalam sebagian yang lain. (majmu’ul Fatawa 5/203)
Adapun kedua ustadz tersebut kalau kita mau memperhatikan makalah-makalah yang ditulisnya dengan seksama nampak sekali ketidakmampuannya bahkan tidak memahami masalah pokok yang beliau fatwakan yang paling kentara sekali tidak memahami waqi’ yang sebenarnya.
Dalam keadaan seperti ini sebenarnya hukumbya haram berfatwa. Jangankan atas beliau hatta seorang yang mempunyai keahlian berfatwa jika pada suatu saat ditanya satu masalah yang mana dalam pertanyaan itu ada masalah yang ia tidak memahami atau tidak memahami urf dalam sebagian masalah, maka haram juga ke atasnya berfatwa. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 4/2010 dan Adabul Mufti hal 115)
Kenapa hal ini diharamkan sebab terlibat dalam perbuatan dosa yang sangat besar sekali, lebih besar dari dosa-dosa besar, yaitu ……………………………………. (mengada-adakan terhadap Allah tanpa ilmu).
Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah, …ini adalah bab yang besar yang terjadi pada diri seorang mufti yang jahil, maka ia menipu manusia, dan berdusta terhadap Allah dan rasul-Nya, dan merubah dien (agama)-Nya dan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah dan mewajibkan apa yang tidak diwajinkan Allah. Wallahul musti’an (…………………………..)  I’lamul Muwaqi’in 4/228-229.
Beliau menerangkan tentang besarnya dosa mengada-ada atas nama Allah tanpa ilmu, kata beliau: Ia adalah termasuk muharramat (hal-hal yang diharamkan) yang paling keras pengharamannya, oleh karena itu disebutkan pada giliran yang keempat dari perkara-perkara yang diharamkan yang haramnya disepakati oleh seluruh syari'at dan agama-agama apapun bahkan selamanya haram. Tidak sebagaimana haramnya bangkai, darah, daging babi yang kadang kala dalam suatu keadaan diperbolehkan.
Kata beliau: sesungguhnya muharramat itu ada dua macam, 1. Diharamkan pada zatnya yang tidak diperbolehkan dalam keadaan apapun. 2. Diharamkan yang haramnya bersifat mengikut keadaan atau waktu, dalam waktu tetentun ia haram dalam waktu yang lain dibolehkan.
Allah Ta’ala berfirman dalam perkara yang diharamkan zatnya (QS. Al A’raf (7): 33) artinya: “Katakanlah: Hanyasanya Tuhanku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi (lalu beralih darinya kepada yang lebih besar darinya, maka Dia berfirman) dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (lalu beralih darinya kepada yang lebih besar darinya, maka Dia berfirman) dan (mengharamkan) kamu mepersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkah hujjah itu (kemudian beralih darinya kepada yang lebih besar dari itu, maka Dia berfirman) Dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. Maka ini adalah merupakan sesuatu yang diharamkan yang paling besar di sisi Allah dan yang paling dasyat dosanya karena mengandungi dusta terhadap Allah penisbahan yang tidak sesuai dan tidak layak dengan-Nya, dan merubah agama-Nya dan menggantinya, menafikan sesuatu yang ditetapkan-Nya, dan mengitsbatkan dan dinafikan-Nya, an membenarkan apa yang dibatilkan-Nya dan membatilkan apa yang dibenarkan-Nya, dan memusuhi orang yang berwala’ kepada-Nya dan bermuwalay kepada orang yang memusuhi-Nya, mencintai sesuatu yang membuat-Nya marah dan membenci sesuatu yang membuat cinta-Nya, dan mensifati-Nya dengan sesuatu yang tidak layak dengan-Nya pada dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, aqwal-Nya dan af’al-Nya.
Tidak ada jenis yang diharamkan yang lebih besar di sisi Allah daripadanya dan tidak ada yang dahsyat dosanya, ia adalah asal syirik dan kufr, dan di atasnya di asaskan bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan, maka setiap bid’ah yang sesat dalam agama asasnya adalah mengada-adakan terhadap Allah dengan tanpa ilmu. Oleh karena itu imam-imam salaf sangat mengecam terhadap perbuatan itu…dan seterusnya. (Madarijus Salikin 1/372)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar