Qoidah-qoidah takfir (mengkafirkan)
Sengaja kami sertakan maudhu’ ini dalam risalah ini meskipun sebenarnya telah banyak disinggung sebelumnya, karena menurut kami maudhu’ ini secara tersendiri sangat penting dibahas, mengingat golongan Murjiah terutama Ghulatnya pada masa kini menggunakan topik ini sebagai sarana untuk menyebarkan dan melariskan mazhabnya yang rusak lagi batil dan bid’ah-bid’ah yang lain.
Untuk membahas masalah ini secara detail perlu beratus halaman, tentunya dalam risalah ini tidak mungkin, oleh karena itu kami sarnkan, bagi pembaca yang hendak memahami secara rinci, silakan membaca kitab “ Al-Jami’ 8 / 14-100 “ disitu anda akan mendapat keterangan yang amat jelas tentang “Dhowabithut Takfir” menurut Salaf, dan dengannya - Insya Allah - anda akan lebih memahami lagi akan sesatnya dan dhalalnya mazhab ghulat murjiah dalam masalah ini, dan anda juga akan tahu siapa yang sebenarnya benar-benar alim dan salfi dalam persoalan ini, dan siapa pula yang jahil muta’aalim (bodoh tapi pura-pura pintar) dan mengikut selera nafsu.
Adapun disini kami hanya akan menyampaikan poin-poinnya secara ringkas saja yaitu sebagai berikut :
Dalam membicarakan qoidah-qoidah takfir agar lebih mudah difahami perlu menyebut empat topik Bahasan, yaitu : 1. Tempat-tempat Bahasan maudhu’ takfir, 2. Takrif Riddah (definisi kemurtadan), 3. Qoidah Takfir, 4. Kesalahan-kesalahan yang tersebar dalam masalah takfir.
(1) Tempat-tempat Bahasan Maudhu’ Takfir.
Pembicaraan takfir disini pbyeknya terbatas pada orang-orang yang hukum keislamannya telah tetap dari sebelumnya, baik islamnya dengan dirinya sendiri atau dilahirkan dalam keadaan diatas fitrah karena kedua orang tuanya muslim. Pembicaraan kita bukan orang kafir asli, meskipun kufur adalah kufur tanpa melihat dari siapa kekufuran itu terjadi, akan tetapi pembicaraan mengenai kafir asli tidak ada kemusykilan lagidan tempatnya dalam bab jihad.
Dalam maudhu’ takfir (yakni menghukumi kufur terhadap diri sesorang yang biasa dikenali dengan masalah “ takfirul mu’ayyan “ (mengkafirkan orang tertentu)), mempunyai dua paroh atau bagian yang telah dibahas dengan sempurna dalam berbagai tempat didalam kitab-kitab ilmiyah yaitu :
(a) Paroh yang bersifat i’tiqod : yang berhubungan dengan hakekat kufur dan macam-macamnya, dan tempat bahasannya dalam bab-bab iman dan perkara-perkara yang membatalkannya didalam kitab-kitab aqidah.
(b) Paroh yang bersifat qadha’ (pengadilan), dan bahasannya dalam dua perkara : 4) Sebab-sebab kufur
1. Perkara-perkara yang mengkufurkan yakni sebab-sebab kufur dan hukuman (sangsi) terhadap si kafir, masalah ini pembahasannya ada dalam bab-bab kemurtadan (riddah) dan orang yang murtad didalam kitab-kitab fiqh.
2. Penetapan terjadinya perkara yang mengkufurkan, yakni sebab kekufuran dari sesorang, dan melihat tidak adanya suatu penghalang-penghalang hokum yang dapat diperhitungkan secara syar’i, yang demikian itu adalah untuk mengenakan hukum kufur terhadapnya atau membebaskannya dari hukum kufur itu. Dan tempat Bahasan masalh initerdapat dalam bab-bab qadha’ (pengadilan), da’aawa (dakwaan-dakwaan) dan bayyinat (saksi dan bukti-bukti) didalam kitab-kitab fiqh.
Maka sebagai peringatan bahwasanya tidak boleh berfatwa dalam masalah takfir terhadap orang tertentu hanya dengan melihat dalam kitab-kitab i’tiqad saja tanpa melihat tata cara pengambilan hukum yang berkaitan dengan itu. Hal ini Insya Allah akan diterangkan dalam Bahasan qaidah takfir.
(2) Takrif riddah (definisi kemurtadan)
Kami telah sebutkan beberapa takrif riddah pada Bahasan sebelumnya yaitu dalam uraian mengenai “ mengurus hukum had “ ucapan seorang Tabi’i Al-Hasan Al-Basri, pembaca dipersilakan merujuk padanya. Diantara takrif riddah yang kami kemukakan disitu adalah takrif dari Abu Bakar Al-Hishni dalam kitabnya “ Kifayatul Akhyar 2 / 123, dan ucapan Asy-Sayikh Hanad bin ‘Atiq An-Najdi (1301 H) dalam bukunya “ Ad-Difa’an Ahlissunnah wal Ittiba’, hal. 30, dan Asy-Syaikh Manshur Al-Bahuli dalm bukunya “ Kasyful gina’ 6 / 167-168.
Takrif-takrif tersebut kami anggap telah mewakili semua takrif ulama salaf tentang ridah. Hanya yang harus diperhatikan bahwa takrif riddah yang telah dibentangkan itu adalah takrif riddah menurut hakekatnya. Adapun hokum-hukum di dunia yang berlaku secara lahirnya, maka seseorang tidak dihukumi dengan riddah melainkan dengan ucapan yang mengkufurkan atau perbuatan saja yang nampak dari diri manusia, adapun i’tiqod dan syak tempatnya didalam hati keduanya tidak bisa dituntut di dunia selama tidak dilahirkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shohih :
……………………………………………………………………………………………
artinya : Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengkorek-korek (membagi) hati-hati manusia.
Dalam hadits shohih yang lain beliau berkata kepada Usamah :
…………………………………………………………………………………………….
artinya : Tidaklah kamu telah membelah hatinya ?
Maka barangsiapa yang kufur dengan hatinya (i’tiqad dan syak) dan tidak melahirkannya dalam ucapan maupun perbuatan, dia adalah muslim menurut hukum di dunia akan tetapi pada hakekatnya disisi Allah Ta'ala dia adalah kafir dan dia adalah munafiq nifaqnya nifaq akbar yang menutupi kekufurannya.
Berkata Ibnu Qayyim : Hukum-hukum itu tidak tersusun berdasarkan sesuatu yang wujud didalam jiwa manusia tanpa adanya bukti ucapan atau perbuatan. “ I’lamul Muwaqqi’in 3 / 117 “
Dalam masalah ini tidak ada perselisihan bahwa hukum-hukum dunia adalah berlaku diatas yang lahir atau yang nampak.
Berkata Imam At-Thahawi didalam i’tiqadnya mengenai ahlul qiblat : Dan kami tidak menyaksikan terhadap mereka dengan kufur, tidak juga dengan syirik dan tidak pula dengan nifaq, selama tidak nampak dari mereka sesuatu dari perkara-perkara itu, dan kami nadzarkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah Ta'ala, Berkata Pensyarahnya : Karena kita diperintahkan untuk menghukumi yang nampak, dan kita dilarang berprasangka dan mengikuti yang kita tidak ada pengetahuan dengannya. “ Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah, hal. 427 “
Khulasahnya : Bahwasanya menghukumi seseorang dengan riddah 9murtad) di dunia tidak terjadi kecuali dengan ucapan yang mengkufurkan atau perbuatan yang mengkufurkan dari orang itu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Orang yang murtad ialah : setiap orang yang melakukan seuatu sesudah islam dan ucapan atau perbuatan yang membatalkan Islam yang mana Islam tidak berkumpul bersamanya. “ Ash-Shorimul Maslul, hal. 459 “
Syaikhul Islam berkata lagi : Dan secara global, maka barang siapa yang berkata atau berbuat sesuatu yang kufur (hal-hal yang mengkufurkan) dia telah kufur dengan itu, walaupun dia tidak bermaksud menjadi kufur, sebab seseorang tidak bermaksud kufur melainkan atas kehendak Allah Ta'ala . “ Ash-Shorimul Maslul, hal. 177-178 “
Peringatan tentang kemungkinan terjadinya kemurtadan bahwa terjadinya sangat cepat sekali.
Banyak sekali manusia pada masa kini termasuk yang mengaku alim mentahdzir dan mengkafirkan manusia meskipun mereka telah melakukan berbagai macam kufur akbar, seperti mencela Allah Ta'ala, mencela Rasul-Nya, membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin dan sebagainya. Orang-orang itu menyatakan sesungguhnya mengkafirkan itu mazhab khawarij, bahkan tidak sedikit dari pada mereka yang sampai menafikan kemungkinan terjadinya kemurtadan, menurutnya seorang muslim yang telah bersyahadat itu tidak kufur selama-lamanya, dan sebagiannya berdalil dengan ungkapan “ ………….. “ artinya : Kami tidak mengkafirkan orang muslim dengan dosa.
Coba bayangkan sikap salf kita seperti orang-orang ini apa jadinya Islam sebagai Ad-Dien yang mulia ini tentu menjadi bahan permaian bagi orang-orang kafir khususnya para murtaddin, akan tetapi sekali-kali tidak, Allah Ta'ala akan senantiasa memelihara ad-dien ini dari rongrongan dan kejahatan mereka, maka dimunculkanlah para pelopor seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dan lain sebagainya, serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka hingga hari ini.
Ketahuilah bahwa sikap seperti itu tak lain dan tak bukan hanya karena bodohnya dengan dienul Islam, adapun golongan Khawarij mereka mengkafirkan manusia dengan dosa-dosa yang tidak mengkufurkan, adapun Ahlus Sunnah mengkafirkan dengan dosa-dosa yang mengkufurkan, maka sikap mengkafirkan orang bukan mazhab Khowarij saja, ia juga mazhab Ahlus Sunnah, hanya bedanya, pengakfiran Khawarij adalah bid’ah dan batil, sedangkan pengkafiran Ahlus Sunnah adalah sunnah dan haq. Adapun berkenaan dengan ungkapan “ Kami tidak mengkafirkan orang Islam dengan dosa “ ungkapan ini telah dijelaskan sebelumnya.
Telah terjadi kemurtadan dan manusia murtad pada masa Rasulullah masih hidup, dan setelah beliau wafat, hampir mayoritas bangsa Arab yang telah masuk Islam murtad kecuali penduduk Mekkah, Madinah, dan Bahrain, dan mereka diperangi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para sahabat karena kemurtadan mereka.
Allah Ta'ala berfirman (At-Taubah : 66-67)
Orang-orang yang diturunkan ayat-ayat ini pada mereka, mereka telah kufur disebabkan kata-kat yang mereka ucapkan pada masa kehidupan Nabi
Rasulullah bersabda :
………………………………………………………………………
artinya : Bersegeralah kamu beramal (akan terjadi) fitnah-fitnah bagaikan kepingan malam yang gelap gulita, seseorang pada pagi harinya mukmin, sore harinya menjadi kafir, atau pada sore harinya mukmin, pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya dengan harga sdikit dari keduniaan. “ H.R. Imam Bukhari “
maka sesorang kadangkala bisa kufur dengan satu kata yang diucapkan meskipun dalam keadaan sendau gurau. Oleh karena itu pensyarah Al-Aqidah At-Thahawiyah berkata : Maka dienul Islam adalah sesuatu yang disyareatkan Allah Ta'ala untuk hamba-hambanya melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Dan dasar dien ini dan cabang-cabangnya periwayatannya dari rasul-rasul dalam keadaan jelas dan gamblang yang memungkinkan setiap orang yang b erakal sehat kecil maupun besar, yang fasih maupun yang ‘ajam, yang pintar maupun yang bodoh, untuk memasuki dalam agama ini dengan waktu yang singkat, dan sesungguhnya bisa terjadi keluar darinya lebih cepat daripada itu.. “ Syahrul Aqidatuth Thahawiyah, hal. 585 “. Maka fikirkanlah kata-latanya “ Keluar dari Islam bisa terjadi lebih cepat dari pada itu “.
Oleh karena itu para ulama’ menyebutkan bahwa riddah (kemurtadan) termasuk dalam perkara-perkara yang membatalkan wudhu, adzan, shalat, shaum dan lain sebagainya. Yakni bahwa sesorang bisa jadi dia sedang berwudhu hendak menunaikan shalat lalu melakukan sesuatu yang megkufurkan dari ucapan atau perbuatan atau i’tiqad atau syak, dia menjadi murtad jika dia bertaubat, dia wajib memperbarui wudhunya yang telah rusak dan batal karena murtad. Maka fikirkanlah begitu cepatnya kemurtadan bisa terjadi, anda akan mengetahui pendapat orang-orang yang ngomong seenak lidahnya seolah-olah kemurtadan termasuk sesuatu yang yang jauh dan mustahil terjadi.
Barkata ibnu Qudamah : Dan riddah adalah membatalkan adzan jika terjadi sewaktu sedang adzan. ………………….., lihat pada 1 / 168, dan 3 / 52, 8 / 186 dan 9 / 564-565 “
Inilah sebagian dari contoh-contoh yang sebenarnya banyak sekali dari contoh-contoh itu menjadi jelas bahwa sangat mungkin kemurtadan itu terjadi bahkan begitu cepat terjadinya. Tidak sebagaimana yang diomongkan sebagian orang, sampai orang yang sedang berwudhu bisa murtad diantara wudhunya dan shalatnya, orang yang mengumandangkan adzan untuk shalat karena mengucapkan lafadz yang mengkufurkan atau hatinya meyakini keyakinan yang mengkufurkan atau selainnya dari perkara-perkara yang mengkufurkan bisa murtad, maka sekali lagi renungkanlah hal ini, anda akan mengetahui alangkah jahilnya kebanyakan manusia pada masa kini.
Asy-Syaikh Muhammad Hamid Al-Fiqi berkata : sehingga banyak sekali dari kalangan ulama pada abad-abad ini hebat kecamannya terhadap orang yang mengecam syirik akbar, maka keadaan mereka menjadi bertolak belakang dengan shahabat, para sahabat mengecam syirik meskipun sedikit, tapi sebaliknya mereka malah mengecam orang yang mengecam syirk akbar dan mereka menjadikan larangan terhadap syirik itu sebagai bid’ah dan kesesatan, dan begitu juga keadaan umat-umat terdahulu bersama rasul-rasulnya seluruhnya terhadap apa yang mereka diutus dengannya dari mentauhidkan Allah Ta'ala, ikhlas beribadah kepada-Nya satu-satu-Nya dan melarang dari menyekutukan dengan-Nya. Dan beliau berkata lagi : Banyak orang yang mengaku berilmu yang bodoh terhadap “ …………… “, mereka menghukumi Islam setiap orang yang melafazkan kalimat itu walaupun orang itu telah melakukan kufur yang jelas dengan terang-terangan, seperti meyembah kubur, orang mati dan berhala-berhala, menghalalkan hal-hal yang haram yang telah diketahui haramnya dari dien secara dharurah, berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Ta'ala, dan menjadikan orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah Ta'ala. Dari catatan kaki “ Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid hal. 128 dan hal. 221 “.
(3) Qoidah Takfir
Maksud takfir disini adalah takfirul mu’ayyan (mengkafirkan orang tertentu). Berkata Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz penulis Al-Jami’ fi Tholabil ilmisy Syarif, bahwa istilah qoidqh tqkfir sebenarnya telah banyak disebutkan oleh syaikhul Islam di beberapa tempat dalam majmu’ fatawa. Kami sudah lama berusaha untuk membuka rahasia yang terkandung dalam nash qoidah tersebut dalam berbagai kitab yang ditulis oleh syaikhul Islam, namun kami belum berhasil membuka rahasia itu untuk sekarang meskipun banyak meneliti, dan kami menganggap bahwa itu merupakan sesuatu yang diputuskan dikalangan ulama dalam hal memelihara qoidah-qoidah takfir dari segi proses pengadilan dalam mengambil keputusan di mahkamah syar’i yang sudah dikenal secara umum, mungkin karena itulah sehingga masalah ini tidak menuntut hajat untuk ditulis pada zaman mereka, karena pada saat itu sidang pengadilan secara syar’i dipraktekkan dan dijalankan oleh mereka. Dan apa yang disebutkan Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berulangkali dalam beberapa tulisannya tujuannya adalah : Sesungguhnya takfirul mu’ayyan (mengkafirkan orang tertentu) itu tergantung pada adanya syarat-syarat yang menjadi sebab orang itu bisa dikafirkan dan tidak adanya penghalang-penghalang pada diri orang tersebut yang menghalangi hokum kufurnya, lihat sebagai contoh dalam Majmu’ Fatawa 12 / 484, 487, 489, dan 498.
Adapun pada waktu sekarang ini yang mana mahkamah dan pengadilan syare’at telah terputus dan tidak ada lagi dikebanyakan negara, disamping itu ilmu semakin berkurang dan kebodohan semakin menonjol, maka tidak disangsikan lagi bahwa penulisan qoidah seperti ini sangat dibutuhkan sekali.
Seterusnya Asy-Syaikh Abdul Qadir menyatakan : Oleh karena itu kami telah menyusun qoidah “ takfirul mu’ayyan “ kami berharap mudah-mudahan dapat memenuhi maksudnya. Adapun qoidahnya sebagai berikut :
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
artinya : Dalam hukum-hukum dunia yang berlaku diatas yang lahir (nampak), seseorang dihukumi dengan kufur karena ucapan yang mengkufurkan atau perbuatan yang mengkufurkan, yang mana ucapan atau perbuatan itu telah tetap adanya atas orang tersebut menurut syareat, apabila syarat-syarat hukumnya terpenuhi dan tidak ada penghalang-penghalang pada haknya. Dan orang yang ahli pada hukum syareat memutuskan hokum keatasnya, kemudian dilihat :
Jika orang itu dibawah kekuasaan didalam negara Islam, wajib diberi tempo untuk bertaubat sebelum hukuman dikenakan terhadapnya dari pihak yang berkuasa.
Dan jika dia dilindungi oleh satu kekuatan atau dilindungi oleh negara kafir, maka setiap orang boleh membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa diberi tempo untuk bertaubat. Dan dalam hal ini perlu dilihat maslahah dan mafsadah yang ditimbulkan diatas itu, apabila berlawanan antara maslahah dan mafsadah, maka didahulukan yang lebih kuat.
Penjelasan singkat
a. Ini hanya berlaku untuk menghukumi sesorang yang melakukan kekufuran yang nampak dengan ucapan atau perbuatan, adapun kekufuran yang tersembunyi didalam hati berupa keyakinan yang mengkufurkan atau ragu-ragu terhadap rukun-rukun Iman dan cabang-cabangnya, kufru jenis ini pelakunya tidak bisa diadili dan divonis hukuman oleh pihak yang berwajib di dunia, urusannya dikembalikan sepenuhnya kepada Allah Ta'ala, jika dia mati sebelum bertaubat maka dia mati dalam keadan nifaq akbar atau kufur akbar, dia akan dimasukkan dalam neraka selama-lamanya, dan jika dia bertaubat sebelum mati dengan taubat nashuha, Allah Ta'ala akan mengampuninya.
b. Yang dimaksud : dengan ucapan atau perbuatan.
Bahwa ucapan atau perbuatan adalah sebagai sebab dikenakannya hokum kufur terhadap diri seseorang, karena sebab kufur dalam hukum-hukum dunia terdiri dari dua saja yaitu ucapan atau perbuatan. Adapun contoh dari ucapan misalnya : mencela Allah Ta'ala, atau mencela Rasullullah, atau mencela agam Islam, adapun contoh dari perbuatan misalnya : mencampakkan mushaf Al-Qur’an didalam tempat-tempat yang kotor, termasuk juga dalam konteks perbuatan adalah meninggalkan shalat dan meninggalkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Ta'ala, sebab meninggalkan yang diperintahkan kepadanya adalah termasuk perbuatan berdasrkan firman Allah Ta'ala (Al-Maidah : 79). Dalam ayat ini, tidak melarangnya mereka dari yang mungkar Allah Ta'ala namakan perbuatan, dan terdapat juga dalil-dalil yang lain, Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syangithi dalam “ Mudzkkirah Ushulil Fiqh, hal. 46. dan demikian pula Ibnu Hajar berkata : Menurut yang benar meninggalkan adalah perbuatan. “ Fathul Bari 12 / 315 “.
a. Maksud kat-kat “ mukaffir “ (yang mengkafirkan)
Yaitu merupakan sifat bagi ucapan atau perbuatan, dan sifat kufur terwujud pada keduanya baik ucapan maupun perbuatan, dengan dua syarat :
(1) Syarat yang pertama : Adanya dalil-dalil syar’i yang menganggap atau menyatakan bahwa telah kufur orang yang mengucapkan ucapan itu atau melakukan perbuatan itu. Ini biasa disebut “ at-takfirul muthlaq “ (mengkafirkan secara umum) yaitu kata-kata : Barangsiapa yang berkata begini, maka sungguh dia telah kafir, dan barang siapa berbuat begini, sungguh dia telah kafir. Demikianlah takfir secara umum tanpa mengenakan hukum kufur terhadap orang tertentu. Maka takfir secara muthlaq adalah menjatuhkan hokum kufur terhadap sebab bukan terhadap seseorang sebagai pelaku sebab.
Kemudian dalil syar’inya disyaratkan yang qothiyyud dalalah (dalil yang pasti) yang menunjukkan bahwa ucapan atau perbuatan itu adalah kufur akbar, bukan dalil yang muhtamalatud dalalah yaitu dalil yang tidak pasti atau mengandungi kemungkinan, artinya kufur yang tesebut dalam dalil itu belum pasti kufur akbar, bisa berarti kufur akbar dan bisa berarti selainnya dari kufur asghar dan fasik. Maka untuk memastikan kandungan makna dari nash yang muhtamalatud dalalah apakah kufur akbar atau kufur ashghar, yaitu dengan melihat qorinah dari dalam nash itu sendiri atau dari nash-nash yang lain.
Contoh-contoh dari nash-nash yang muhtamalatud dalalah.
Dalam Shahihul Bukhari didalam kitabul Iman pada bab : Kufraanul ‘asyir (mengkufuri pergaulan) dan kufrun duna kufrin (kufur yang bukan kufur akbar). dalam hadits tersebut telah diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwasanya Nabi bersabna :
……………………………………………………………………………………….
artinya : wahai sekalian kaum wanita bersedekahlah kamu karena sesungguhnya aku tidak diperlihatkan kamu yang paling banyak sebagai penghuni neraka, maka mereka berkat : dan dengan apa wahai Rasulullah ? beliau bersabda : kamu banyak melaknat dan mengkufuri pergaulan. “ al-hadits, No. 204 “
Didalam hadits tersebut Rasullullah mensifati wanita yang tidak menunaikan hak suaminya (al-‘asyir) dan tidak berterima kasih terhadap ihsan suaminya kepadanya dengan sifat kufur, dan qorinah dalam hadits itu telah menunjukkan bahwa yang dimaksud kufur disitu adalah kufur ashghar bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari millah, adapun qorinahnya yaitu : tatkala mereka bertanya, apakah kufur kepada Allah Ta'ala ? beliau mengalihkan jawabannya, dan beliau menyuruh mereka agar bersedekah untuk menghapus maksiat tersebut, sedangkan shodaqoh hanyasanya bermanfaat bagi mukmin, Rasullullah bersabda yang artinya : Shodaqoh itu menghapuskan kesalahan sebagaimana api memadamkan api. “H.H.S.R. At-Tirmidzi “. Dan shodaqoh tidak diterimadari orang kafir dan tidak dapat menghapuskan dosa-dosanya, berdasarkan firman Allah Ta'ala (An-Nisa’ : 48), maka menunjukkan bahwa mereka adalah mukminat meskipun maksiat mereka disifati dengan kufur, berarti sifat kufur disini adalah kufur ashghar.
Contoh yang lain, Rasullullah bersabda :
………………………………………………..
artinya : memaki orang Islam adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran. H.S.R. Imam Al-Bukhari.
Sabdanya lagi :
………………………………………………...
artinya : janganlah kalian kembali sesudah menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memukul sebagian yang lain. “ H.S.R. Al-Bukhari “
Dalam hadits ini perbuatan membunuh yang dilakukan seorang muslim terhadap muslim lainnya disebut kufur. Begitu juga saling memerangi keduanya disebut kufur. Akan tetapi terdapat nash-nash lain yang menyatakan bahwasanya yang membunuh dengan sengaja tidak kufur, berdasrkan firma Allah Ta'ala (Al-Baqarah : 178). Ayat itu mentapkan adanya ukhuwah imaniyah antara si pembunuh dengan wali yang terbunuh, demikan juga dalam hal saling memerangi sebagaimana firman Allah Ta'ala (al-Hujurat : 9). Allah Ta'ala menyebut mereka dengan sebutan mukminin meskipun mereka saling berperang.hal ini menunjukkan bahwa kufur yang disebutkan dalam hadits-hadits tesebut adalah kufur yang tidak menghilangkan iman, berarti kufur ashghar atau kufrun duna kufrin.
Asy-Syaikh Abdul Qadir mengatakan bahwa beliau telah membahas masalah ini dengan rinci dan detil dalam kitabnya “ Al-Hujjah fi Ahkamil Millatil Islamiyah “ - bagi pembaca yang ingin memahami dengan rinci dipersilahkan membaca kitab tersebut -.
Sighah-sighah (bentuk-bentuk) muhtamalud dalalah yang mengandungi kufur akbar dan selainnya, yaitu sebagai berikut :
- Kufur dengan sighah fi’il madhi atau fi’il mudhori’ (……….)
- Kufur dengan sighah isim nakirah mufrad atau jama’ (…….)
- Sighah meniadakan Iman (…….) artinya : tidak beriman,
- Sighah (………….) artinya : bukan dari kami.
- Sighah (………….) artinya : maka dia didalam neraka.
- Sighah (………….) artinya : Allah haramkan atasnya surga
- Sjghah (………….) artinya : maka sungguh telah terlepas tanggungan (jaminan) dari-Nya, atau (…………………………) artinya : maka sungguh telah terlepas diri darinya Allah dan Rasul-Nya.
- Dan lain sebagainya.
Contoh-contoh ini beserta keterangan dalil-dalilnya telah diuraikan Asy-Syaikh Abdul Qadir dalam buku “ Al-Hujjah fi Ahkamil Millatil Islamiyah “. Dan Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam telah menyebutkan sebagian dari sighah-sighah muhtamalatud dalalah dalam bukunya “ Al-Iman “.
Adapun contoh dalil-dalil syar’i qoth’iyyatud dalalah yang menunjukkan kufur akbar, antara lain sebagai berikut :
- Firman Allah Ta'ala (At-Taubah : 65-66). Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyatakan dengan jelas atas kufurnya mereka sesudah beriman, dan ini adalah kufur akbar.
- Firman Allah Ta'ala (Al-Kahfi : 35-37). Dalam ayat ini dinashkan dengan jelas bahwasanya dia telah kufur kepada Allah Ta'ala, berarti kufur akbar.
- Firman Allah Ta'ala (Fathir : 13-14). Ayat ini menerangkan tentang orang yang menyeru kepada selain Allah dalam suatu perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah Ta'ala. Begitu juga firman_nya dalam surat An-Nisa’ : 14.
Dan sebagai qoidah umum.
- Semua “ kufur “ yang disebutkan dengan sighah isim yang dima’rifahkan dengan alif lam (…) didalam Al-Kitab atau As-Sunnah, maka dia adalah kufur akbar, seperti lafadz (…………), karena al-alif adan al-laam (…) menunjukkan istighraqul ism (pengambilan isim keseluruhannya) untuk menyempurnakan maknanya, dan masalah ini tidak ada perselisihan dikalangan ahlul ilmi dan ahli bahasa.
- Semua “ kufur “ yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah kufur akbar, baik yang disebutkan dengan sighah isim, fi’il maupun mashdar, karena seluruh lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah ghiyah (mengandung makna yang maksimal), hal ini telah ditetapkan dengan kajian secara rinci mengenai mufrad Al-Qur’an, sehingga kufur yang tersebut sehubungan dengan kufur nikmat ia juga kufur akbar, sebagaimana dalam surah Ibrahin : 28 dan surah An-Nahl : 112. Bahkan sampai yang kelihatannya yang dimaksud dengannya kufur dari segi bahasa, akan tetapi sebenarnya menurut tafsirnya adalah kufur akbar sya’i sebagaimana dalam surah Al-Hadid : 20.
Adapun lafadz-lafadz kufur yang tersebut dalam As-Sunnah :
- Yang sighatnya isim ma’rifah dengan alif lam (..) maka dia adalah kufur akbar. Sebagaimana dalam hadits :…………………………………… artinya : Antara seorang laki-laki dan antara kekufuran adalah meninggalkan shalat. H.S.R. Imam Muslim “
- Jika sighahnya selain tiu, maka pada asalnya didalamnya mengandungi kufur akbar sehingga terdapat qorinah yang memalingkannya kepada kufur ashghar, dalilnya yaitu hadits kufranul asyir yang telah disebutkan diatas. Tidakkah anda memperhatikan, bahwasanya ketika Rasullullah berkata tentang kaum wanita “……….” (mereka kufur), maka para shahabat berkata : ……… ( apakah mereka kufur terhadap Allah Ta'ala?). hal ini menunjukkan bahwasanya “ kufur “ jika dikatakan secara muthlaq adalah kufur akbar, sampai ada qorinah yang memalingkannya kepada kufur ashghar, sebagaimana contoh-contoh yang telah disebutkan sebelumnya.
“ lihat Ar-Rasailul Mufidah - oleh Asy-Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan bin Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dihimpun oleh Sulaiman bin Sahman, hal. 21-22 “
Peringatan penting : Dalam menghukumi bahwa suatu dosa itu mukaffir (mengkufurkan) tidak diyaratkan mesti adanya nash tersendiri yang menyatakan bahwa dosa itu mukaffir. Berkata Asy-Syaikh Muhammab bin Abdul Wahhab : Dan begitu juga sesunggunya banyak dari masalah-masalah yang disebutkan ulama dalam masalah-masalah kufur dan riddah dan yang telah ditetapkan ulama atasnya tidak tersebut didalamnya nash-nash yang jelas yang menamakan bahwaperkara tersebut kekufuran, akan tetapi para ulama mengambil istimbat dari keumuman nash-nash sebagaimana apabila seorang muslim menyembah sembelihan untuk bertaqarrub dengannya kepada selain Allah Ta'ala, sebagaimana yang telah dinashkan oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, demikian juga jika dia bersujud kepada selain Allah Ta'ala. “ ad-Durarus Sunniyah fil Ajwibatin Najdiyah 9 / 9 “
Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz mengatakan : Termasuk contoh yang sangat jelas dari apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Hamad bin Ma’mar yaitu : Mengkafirkan orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, ini termasuk perkara yang paling masyhur didalam kitab-kitab salaf, ucapan mereka : Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, barang siapa yang berkata bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir. “ lihat kitab As-Sunnah - Abdullah bin Ahmad bin Hambal, As-Sunnah, - oleh Al-Khalal, kiatb Al-lalihai dan kitab Al-Uluw oleh : Adz-Dzahabi dan banyak lagi kitab-kitab lain, sedangkan tidak tersebut nash didalam Al-Kitab maupun As-Sunnah bahwa yang mengatakan Al-Qur;an adalah makhluk dia adalah kafir, seperti wujudnya nash bahwa orang yang meinggalkan shalat adalah kafir, dan tidak didapati juga atsar dari shahabat dalam maslah Al-Qur’an dianggap makhluk, akan tetapi para ulama menghukumi kufur berdasarkan istimbat mereka dari nash-nash yang menunjukkan bahwasanya al-Qur’an adalah kalamullah dan ilmu-Nya, sedang kalam-Nya dan ilmu-Nya adalah termasuk sifat-sifat-Nya jalla sya’nuhu, dan sifat-sifat-Nya bukan sebagai makhluk, dan barang siapa yang mengingkari demikian itu dan berkata bahwa sifat-sifat itu adalah makhluk, maka sungguh dia telah kafir, sehingga hokum masalah ini menjadi tempat ijma’ Ahlus Sunnah.
Dan termasuk dari sesuatu yang bisa menjelaskan anda akan bahwasanya masalah ini adalah apa yang diriwayatkan Adz-Dzahabi dari al-Qadhi Abu Yusuf beliau berkata : aku berdikasi dengan Abu Hanifah enam bulan, maka beliau bersepakat kami berpendapat bahwa orang yang mengatakan : Al-Qur’an itu makhluk maka dia adalah kafir. “ Mukhtasharul Uluwwi lil ‘Aliyyil Ghaffat - Adz-Dzahabi, hal. 155 “.
Kedua beliau berdiskusi begitu lamanya dalam perkara yang tidak ada nashnya secara jelas dari Al-Kitab maupun As-Sunnah dan tidak terdapat riwayat dari shahabat. Semua ini menerangkan bahwasanya tidak disyari’atkan pada dalil syar’i yang mengkufurkan nashnya mesti jelas dalam masalah itu, akan tetapi boleh mengambil hukumnya dari istimbat nash-nash yang ada.
Dan dalam maslah ini yaitu tetapnya sifat kekufuran pada ucapan dan perbuatan dengan dalil qath’i, termasuk masalah yang diperselisihkan antar dolongan
- Golongan Khawarij mengkafirkan dengan sesuatu yang bukan kufur seperti dosa-dosa besar yang tidak mengkufurkan.
- Golongan Murjiah (Al-asyairah dan Murjiah fuqaha’), mereka tidak mengkafirkan dengan sesuatu dari amalan (ucapan dan perbuatan), tetapi mereka menyepakati ahlus Sunnah dalam menghukumi kufur terhadap orang yang melakukan amalan yang mengkufurkan bukan ansih karena amalan itu, akan tetapi karena amalan yang dinashkan oleh dalil atas kufurnya pelakunya merupakan tanda bahwa dia kufur dengan hatinya.
- Adapun golongan ghulat murjiah orang-orang yang telah sesat dengan kesesatan yang jauh, maka mereka tidak mengkafirkan dengan dalil syar’i qothiyyud dalalah yang menunjukkan kufur akbar, dan mereka mensyaratkan untuk mengkafirkan orang yang melakukan amalan yang mengkufurkan, dia mesti menyatakan tahdzibnya, atau juhudnya, atau istihlalnya, dan ini yang banyak tersebar dikalangan banyak manusia pada masa kini termasuk yang mengaku alim, dan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Salaf mengkafirkan orang yang bermadzhab seperti ini.
Inilah penjelasan syarat yang pertama bahwa dalil syar’inya musti dalil yang jika menunjukkan kufur akbar.
(2) Syarat kedua : untuk mentahqiq atau menegaskan sifat kekufuran pada ucapan dan perbuatan, ucapan atau perbuatannya sendiri mesti “ Sharihud dalalah “ (jelas menunjukkan) atas kufurnya, yakni mengandungi al-manathul mukaffir (gantungan hukum yang mengkufurkan) yang tersebut dalam nash syar’i yang ditunjukkan dengan atas pengkafirannya, sebagai contoh misalnya, orang yang mengatakan : ya, Sayidi Al-Badawi tolonglah aku, atau tunaikanlah hajatku, atau lapangkanlah rizkiku, atau selamatkanlah aku dari musuhku. Ucapan-ucapan ini adalah mengkufurkan karena “ Shorimud dalalah “ jelas menunjukkan berdo’a kepada selain Allah Ta'ala , dan adalil syar’i telah menunjukkan bahwasanya orang yang berdo’a kepada selain Allah Ta'ala adalah kafir.
Adapun contoh dari perbuatan yang “ shorimud dalalah ” jelas menunjukkan kufar, seperti orang mencampakkan mushaf Al-Qur’an dalam kotoran, hal ini tidak mengandungi kemungkinan kecuali bahwa dia adalah orang yang menghina mushaf, sedang telah tetap dalilnya yang qoth’i bahwa orang yang menholok-olok atau mengejek dengan aya-ayat Allah Ta'ala adalah kafir. Adapun jika dia mencampakkan mushaf kedalam api, perbuatan ini bukan shorimud dalalah, sebab kemungkinan dia masukkan kedalam api untuk dilupuskan bukan untuk menghina, jika benar tujuannya untuk melupuskan karena alasan yang dibenarkan syar’i, maka dia tidak kafir bahkan dia telah mengikuti sunnah khalifah Rasyid Usman bin affan, beliau telah melupuskan kelebihan mushaf dengan cara membakarnya. Akan tetapi jika dia mencampakkan mushaf kedalam api karena penghinaan maka dia kafir. Masalah ini panjang lebar pembahasannya, yaitu dalam Bahasan “ Ucapan atau Perbuatan Yang Muhtamalatud Dalalah “. Bagi pembaca yang ingin mengetahui secara rinci, baca Al-Jami’ buku 8 hal. 16 dan seterusnya.
Adapun secara ringkasnya yang dimaksud amal muhtamalatud dalalah itu adalah : amal (ucapan atau perbuatan) yang tidak menunjukkan secara jelas atas kufurnya, akan tetapi mengandungi kufur dan lainnya.
Untuk mengetahui maksud yang sebenarnya dan amal yang muhtamalatud dalalah perlu melihat pada tiga perkara atau sebagiannya, yaitu : 1- Jelasnya maksud dan Tujuan pelaku, 2- Melihat indikasi keadaan yang menyertai untuk melakukan amal, 3- Mengetahui urf orang yang mengucapkan ucapan itu dan penduduk negerinya.
Sebagai contoh saja untuk yang pertama, yaitu jelasnya maksud dan Tujuan atau niat pelaku, adalah dengan menanyakan kepadanya apa yang dia kehendaki dengan ucapannya atau perbuatannya misalnya ada orang yang duduk disamping kuburan yang dikeramatkan dan berdo’a disitu, dan suaranya tidak terdengar, tidak diketahui kepada siapa dia menyeru dan apa yang dia seru dengannya, maka untuk mengetahuinya mesti ditanya : jika dia menjawab : saya berdo’a kepada Allah Ta'ala agar mengampuni mayit ini, berarti dia berbuat baik, jika dia menjawab : saya berdo’a disini dengan harapan do’a saya terkabul, maka perbuatannya adalah bid’ah, jika dia menjawab : bahwa dia menyeru kepada si mayit agar ditunaikan hajat-hajatnya, maka amalnya berarti mengkufurkan.
Demikianlah penjelasan kata-kata “ mukaffir “. Jadi kesimpulannya bahwa amal (ucapan atau perbuatan) menjadi mukaffir yakni menjadi sebab untuk menghukumi dengan kufur, dengan dua syarat :
1. Syarat pertama pada dalil syar’i, yaitu mesti shorimud dalalah yang menunjukkan bahwa pelaku amalan itu adalah kafir kufur akbar.
2. Syarat kedua pada amal mukallaf yaitu amal yang dilakukan oleh orang itu mesti amal yang shorimud dalalah yang menunjukkan kekufuran, yakni mengandungi manath mukaffir yang tersebut dalam dalil syar’i. Dan amal shorimud dalalah bisa terjadi sejak semula, atau sesudah jelasnya maksud pelaku dalam melakukan amalan itu, atau melihat qorinah-qorinah (indikasi-indikasi) keadaan dan urf yang mengucapkan ucapan jika amalan itu muhtamalatud dalalah.
Dua syarat tersebut telah ditunjukkan sabda Nabi, hadits Ubadah bin Ash-Shomit yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu sabdanya : ……………………………….. sabdanya (…….) yaitu shorimud dalalah menunjukkan atas kekufuran, ini merupakan syarat mukaffir. Dan sabdanya …………………yaitu dalil syar’i yang shorih, dan ini merupakan syarat dalil mukaffir.
Penjelasan-penjelasan yang lain dari qodah takfir yang telah tertulis diatas seperti : syuruthul hukmi, mawaani’ut takfir, mana yang muktabar menurut syare’at dan mana yang tidak, udzur-udzur atau alasan-alasan batil yang tidak termasuk mawani’ dalam takfir, misalnya : orang yang telah terbukti menyeru kepada selain Allah Ta'ala atau mencela ad-dien, tidak boleh dikafirkan dengan alasan karena dia bersyahadat dan mengerjakan shalat, atau lasan-alasan orang-orang kafir bahwa pimpinan dan ………….. mereka yang menyesatkan mereka, atau alasan-alasan bagi orang yang murtad bahwa dia adalah dari ahlul ilmi, seolah-olah mereka ma’shum dari kekufuran dan penjelasan-penjelasan lain berkenaan dengan qoidah tersebut, silakan baca Al-Jami’ 8 / 34-35.
(4) Kesalahan-kesalahan yang tersebar dalam maudhu’ takfir.
Yaitu kesalahan-kesalahan yang tersebar luas dalam kitab-kitab, buku-buku, tulisan-tulisan, ucapan-ucapan, ceramah-ceramah dalam maudhu’ takfir. Kesalahan ini sedikit terjadi pada orang-orang terdahulu dan banyak sekali pada orang-orang pada masa sekarang. Kesalahan dalam masalah ini mengakibatkan kepada mengkafirkan orang Islam yang sepatutnya tidak dikafirkan, dan sebaliknya menyebabkan tidak mengkafirkan orang kafir (murtad) yang sepatutnya dikafirkan dan dinyatakan murtad.
Adapun kesalahan-kesalahan itu antara lain :
(1) Mengkafirkan dengan dalil-dalil syar’i yang muhtamalatud dalalah.
(2) Mengkafirkan dengan amal-amal (ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan) yang muhtamalatud dalalah tanpa melihat tujuan dan maksud pelakunya.
(3) Mencampurkan antara maksud amal yang mengkafirkan dengan maksud berbuat kufur.
(4) Mencampurkan antara sebab-sebab kufur dan macam-macam kufur.
(5) Mensyaratkan adanya kufur dalam hati untuk menghukum dengan kufur.
“ untuk mendapatkan penjelasan dengan detil dari kesalahan-kesalahan itu dan Insya Allah anda akan puas dengan penjelasannya, maka bacalah Al-Jami’ 8 / 65-100 “ disitu anda akan mendapati ucapan-ucapan ulama salaf dalam masalah ini.
Adapun kami disini hanya akan memberikan keterangan sedikit saja berkenaan dengan nomor (3) dan nomor (4) yang kami anggap belum disinggung penjelasannya sebelumnya.
(3) Tercampur antara tujuan beramal yang mengkufurkan dan bermaksud kufur.
Agar mudah difahami kita beri contoh saja, yaitu laki-laki yang berdo’a diatas kubur yang dieramatkan tadi. Maka yang perlu ditanya adalah tujuan dia berdo’a untuk apa ? jika dia menjawab : Agar si mayit memberi manfaat kepadanya, misalnya, menolongnya, mengeluarkannya dari kesempitan dan bahaya dan sebagainya, maka inilah yang dimaksud tujuan amal yang mengkufurkan. Dan tidak perlu ditanya, apakah anda berdo’a seperti itu bermaksud untuk menjadi kafir, dan kalaupun dia ditanya, lalu dia menjawab ya atau tidak, jawaban tersebut tidak mempengaruhi sama sekali dalam ketentuan hukumnya, dia bermaksud menjadi kafir atau tidak bermaksud menjadi kafir, hukumnya tetap kafir karena tujuan amal yang mengkufurkan itu. Inilah yang dimaksud bermaksud kufur…..
Contoh lain : jika ada seseorang yang mencela hukum rajam atau hukum potong tangan dengan lisannya maupun tulisannya, maka dia adalah kafir dan murtad, dan tidak perlu ditanya apakah anda mencela syare’at Allah Ta'ala itu bertujuan untuk menjadi kafir, bermaksud kufur atau tidak, tidak mempengaruhi hukum kufurnya.
(4) Tercampur antara sebab-sebab (asbab) kekufurna dan macam-macam (anwa’) kekufuran.
Sebab-sebab kekufuran ada emapat : 1- Ungkapan yang mengkufurkan, 2- Perbuatan yang mengkufurkan, 3- I’tiqod atau keyakinan yang mengkufurkan, dan 4- Syak atau ragu-ragu yang mengkafirkan.
Untuk hokum-hukum dunia, artinya mengenakan hukum kufur terhadap seseorang, hanya dengan dua sebab saja tidak ada yang ketiga yaitu : 1- Ucapan yang mengkufurkan, 2- Perbuatan yang mengkufurkan.
Adapun macam-macam kufur banyak sekali, sebab pembagian kufur bisa ditinjau dari beberapa segi, misalnya pembagian kufur ditinjau dari dorongan hati, maka ada kufur takdzib, juhud, istikbar, syak dan raib, kufur taqlid dan kufur jahl. Dan ditinjau dari segi mnampak dan tidaknya disebut kufur nifak. Dan sebagainya.
Dan sebagai catatan yang perlu diingat, bahwasanya hukum-hukum dunia berlaku diatas yang lahir, dengan kata lain menganakan vonis hokum kufur terhadap diri seseorang adalah berdasarkan Asbabul Kufr (sebab-sebab kufur) bukan anwa’ul kufr (macam-macam kufur). Tidak boleh dicampur adukkan. Wallahu a’lam.
4. sebagian bukti campur baurnya i’toqad para ………………………
Setelah kami sampaikan beberapa masalah yang berhubungan dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, mazhab Murjiah termasuk Ghulatnya dan mazhab Khawarij dalam masalah Iman dan takfir, maka kami akan kemukakan sebagian bukti-bukti bahwa para pengasuh ………… “ Asy-Syairah “ dan orang-orang yang sepertinya, dalam memahami masalah tersebut adalah mengikuti paham Murjiah bahkan Ghulatnya dan dicampur adukkan dengan mazhab Ahlus Sunnah. Adapun contoh-contohnya sebagai berikut :
(1) Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Bani
Kami tampilkan Asy-Syaikh Al=Bani disini karena kami melihat bahwa beliau merupakan rujukan utama mereka disamping masyayikh yang lain dalam memahami masalah iman dan takfir, mereka menyangka bahwa mazhab Asy-Syaikh Al-Bani dalam masalah ini sama dengan mazhab ulama salaf seperti Imam Bukhari, Imama Ahmad, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dan sebagainya, bahkan diantara mereka dilihat dari …………….. ada yang menganggap beliau seolah-olah seperti seorang nabi dimasa kini yang ucapan dan perbuatannya mesti diikuti dan dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran.
Menurut penilaian saya Asy-Syaikh Al-Bani adalah seorang alim yang bisa salah dan keliru sebagaimana ahlul ilmi yang lain mereka juga pernah salah, bahkan tidak sedikit dari kalangan mereka yang salah dalam hal prinsip. Hal ini merupakan kehendak Allah Ta'ala, yang mana Allah Ta'ala menguji hamba-hamba-Nya kesalahan ulama mereka yang diantara tujuannya adalah Allah Ta'ala hendak mengetahui siapa yang benar-benar mengikuti firman-Nya dan sabda Nabi-Nya dan siapa pula yang mengikuti seorang alim yang fadhil dalam setiap kata-katanya dan ucapannya meskipun menyelisihi firman-Nya dan sabda Nabi-Nya. Dalam hal ini kami teringat ucapan Amar bin Yasir tatkala Ummul Mukminin Sayidah Aisyah keluar untuk memberontak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Jamal (perang berunta) (karena Ummul Mukminin mengendarai unta). Pada saat itu Amr bin Yasir menyampaikan ucapan untuk mentahdzir kaum muslimin dari mengikuti Aisyah. Adapun kata-kata beliau antara lain sebagai berikut : Sesungguhnya Aisyah telah berjalan menuju Bashrah, Demi Allah Ta'ala, sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan di akhirat, akan tetapi Allah Tahaaraha wa Ta'ala menguji kalian, untuk mengetahui hanya kepada-Nya kalian taat atau kepada dia. “ H.R. Al-Bukhari “.
Dan diriwayatkan juga dengan sanadnya dari Abu Wail berkata : Ammar berdiri diatas mimbar Kufah, lalu menyebutkan perjalanan Aisyah dan berkat : Sesungguhnya dia adalah istri nabi kalian di dunia dan di akhirat, akan tetapi dai adalah termasuk ujian bagi kalian (Shahihul Bukhari No. 7100 dan 7101).
Camkan ucapan Amar, “ Akan tetapi Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menguji kalian, kepada-Nya sajakah kalian taat ataukah kepada dia. “ katanya lagi, “ Akan tetapi dia adalah termasuk ujian bagi kalian. “
Maka begitu juga Allah Ta'ala menguji manusia dengan kesalahan seorang alim yang fadhil dan Rasullullah menyuruh kita untuk tidak mengikutinya, maka beliau bersabda : ……………………………….. artinya : Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka ia tertolak. “ H.R. Imam Muslim “.
Dan meskipun demikian banyak yang terkenafitnah mengikuti kesalahan-kesalahan ulama, oleh karenanya ada sebagian salaf yang mengatakan : Kesalahan seorang alim bagaikan kapal yang tenggelam, dan tenggelam bersamanya manusia yang banyak. (R. Ibnu Abdil Baar dalam ‘ Jami’u Bayanil Ilmi).
Kami melihat bahwa Asy-Syaikh Al-Bani telah salah dan keliru dalam memahami masalah Iman dan takfir, beliau bermazhab seperti mazhab Murjiah bahkan Ghulatnya.
Adapun diantara contohnya sebagai berikut :
Ucapan Asy-Syaikh al-Bani
(a) Asy-Syaikh Al-Bani dalam ulasannya terhadap matan aqidah thahawiyah pada ucapan Imam At-Thohawi : “ Dan kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat dengan dosa selama dia tidak menghalalkannya. “ Berkata Al-Bani sesunguhnya pensyarah al-aqidah ath-thohawiyah menukil dari Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwasanya Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, sesungguhnya dosa itu dosa apa saja, ia adalah kufur amali bukan i’tiqadi, dan sesungguhnya kufur menurut mereka diatas beberapa martabat kufrun duna kufrin sebagaimana iman menurut mereka.
Penjelasan :
1. Ucapan itu bisa dirujuk dalam kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah Syarhu wa Ta’liqu Al-Albani. Cetakan Al-Maktabatul Islami 1398 H, hal. 40-41, dan Syarh Ibnu Abil Izzi bisa dirujuk dalam kitab Syarhul Aqidatith Thohawiyah, libni Abil Izzi, cetakan Al-Maktabatul Islami 1403 H, hal. 362-363.
2. Yang dimaksud kufur amali dalam ucapan al-Bani tersebut adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah. Maka bisa disimpulkan dari ucapan itu bahwa menurut Al-Bani dosa apa saja tidak bisa megkufurkan pelakunya kecuali jika pelaku dosa itu dengan hati dan keyakinannya menghalalkan dosanya. Ini jelas merupakan mazhab Ghulat Murjiah.
3. Asy-Syaikh al-Bani keliru dalam menukil ucapan Ibnu Abil Izzi bahkan beliau telah menisbahkan ucapan kepadanya yang sebenarnya Ibnu Abil Izzi tidak mengucapkannya, yaitu kata-kata : “ Sesungguhnya dosa itu dosa apa saja, ia adalah kufur amali bukan kufur i’tiqodi. “ Ibnu Abil Izzi tidak mengatakan bahwa sesungguhnya dosa apa saja adalah kufur amali, hanyasanya beliau mensifati kufur ashghar (kufrun duna kufrin) dengan kufur amali, bahkan pada halaman lain dalam kitab yang sama “ Syarhul Aqidatith Thohawiyah, hal. 355-356 “ beliau mengatakan ucapan yang menyelisihi dengan apa yang dinisbahkan oleh Al-Bani kepadanya, yaitu sebagai berikut : Oleh karena itu banyak dari para imam yang menolak menggunakan ucapan : Bahwasanya kami tidak mengkafirkan seseorang dengan dosa, akan tetapi diucapkan : Kami tidak mengkafirkan mereka dengan segala dosa sebagaimana yang dilakukan Khawarij. Ini ucapan Ibnu Abil Izzi pensyarah kitab tersebut, maka fikirkanlah bedanya dengan ucapan Al-Bani.
Adapun yang dimaksud Ibnu Abil Izzi para Imam yang mencegah ucapan itu antara lain adalah Imam Ahmad bin Hambal, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Khallal katanya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harun bahwasanya Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada mereka katanya : Aku menyaksikan seorang laki-laki bertanya kepada Abu Abdillah maka dia berkata : Wahai Abu Abdillah ijma’ kaum muslimin atas beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk ? berkata Abu Abdillah : ya, dia berkata : Dan kita tidak mengkafirkan seseorang dengan dosa ? maka Abu Abdillah berkata : Diam kamu, barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka sungguh dia kafir, dan barang siapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir. “ Al-……..” oleh Imam Ahmad bin Hambal tahqiq Ahmad Syakir 1 / 79. dan Imam Al-Bukhari dalam kitabul iman dalam shahihnya memberikan bab dalam masalah ini dengan bab :…………………………..(Kemaksiatan-kemaksiatan dari perkara jahiliyah dan pelakunya tidak kufur dengan melanggarnya kecuali dengan syirik) beliau tidak mengatakan : pelakunya tidak kufur kecuali dengan istihlal, karena ucapan beliau (dengan syirik) mengandung istihlal dan lainnya dari perkara-perkara yang mengkufurkan, ini termasuk kesensitifan Imam Al-Bukhari.
4. Asy-Syaikh Al-Bani dalam memahami ungkapan : (……………………………………..) tidak sebagaimana yang difahami ulama salaf termasuk Imam Ath-Thohawi yang punya matan, menurut salaf yang dimaksud dosa dalam ungkapan tersebut dan sejenisnya adalah dosa-dosa maksiat yang pelakunya tidak kufur dengannya seperti berzina, minum khamr, mencuri dan sebagainya, karena dosa-dosa ini tidak merusak dasar iman tetapi merusak iman yang wajib, tetapi jika pelaku menghalalkannya, dia kafir, misalnya dengan menyatakan bahwa berzina, minum khamr dan mencuri tidak haram dan sebagainya. Adapun maksiat yang mengkufurkan seperti mencela Allah Ta'ala atau mencela Rasul-Nya atau mencela Islam atau menghina mushaf dengan ucapan maupun perbuatan, maka maksiat atau dosa-dosa seperti ini pelakunya kafir hanya karena ucapan atau perbuatannya saja tanpa melihat juhud atau istihlal.
Oleh karena itu ulama salaf mengikat ungkapan itu dengan kalimat “ ahlul kiblah “ maksudnya adalah orang-orang yang tidak melanggar dosa mukaffir yang mengeluarkan mereka dari ahlil kiblah, maka selama tidak melanggar ynag mukaffir, dia tidak kafir dengan dosa yang tidak mengkufurkan, kecuali jika dia menghalalkannya.
Adapun yang disebut dosa mukaffir yaitu dosa yang dinashkan oleh Asy-Syari’ (Pembuat Syariat) atas kufurnya pelaku dosa itu, seperti mencela Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, berdo’a kepada selain Allah Ta'ala dan sebagainya. Adapun dosa ghairu mukaffir yaitu dosa yang tersebut ancaman siksanya terhadap pelakunya, seperti minum khamr, berzina, makan riba, mencuri dan sebagainya.
Dan bahwasanya yang dimaksu “ ahlul kiblah “ adalah orang Islam yang tidak melakukan dosa mukafiir yang mengeluarkannya dari Islam, demikianlah menurut ulama. Sebagaimana ucapan Abu Muhammad Al-Hasan Al-Barbahari (329 H) : dan seseorang dari ahlul kiblah tidak keluar dari Islam sehingga dia menolak satu ayat dari ktab Allah Azza wa Jalla atau menolak sesuatu dari atsar-atsar Rasullullah atau shalat untuk selain Allah Ta'ala, atau menyembelih untuk selain Allah Ta'ala, apabila dia melakukan sesuatu dari yang itu, maka sungguh wajib atas kamu mengeluarkan dia dari Islam, jika tidak melakukan sesuatu dari yang itu maka dia adalah orang mukmin dan muslim menurut sebutannya bukan hakekatnya. “ Kitab Syahrus Sunnah, - oleh Abu Muhammad Al-Hasan bin ali bin Khalaf Al-Barbahari - Tahqiq Dr. Muhammad Sa’id Al-Qahthami, hal. 31 “.
Imam Al-Bukhari telah menjelaskan hal ini dalam i’tiqadnya (( Dan mereka tidak mengkafirkan sesorang dari ahlul kiblah dengan dosa berdasarkan firman-Nya “ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang lain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. )) Syarhu I’tiqodi Ahlus Sunnah - oleh Abul Qasim Al-Lalikai 1 / 175 -.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Oleh karena itu berkata ulama Ahlus Sunnah dalam pensifatan mereka kepada “ I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah “ bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahlul kiblah dengan dosa, sebagai isyarat kepada bid’ah Khawarij yang mengkafirkan dengan segala dosa. “ Majmu’ Fatawa 12 / 474. “
Syaikhul Islam berkata lagi : dan kami apabila mengatakan : Bahwa Ahlus Sunnah bsersepakat bahwasanya tidak mengkafirkan dengan dosa, maka hanyasanya yang kami maksudkan adalah dosa-dosa maksiat seperti berzina dan minum khamr, adapun dalam hal-hal ini (Al-Mabani), maka dalam mengkafirkan orang yang meninggalkannya ada perselisihan yang masyhur. “ Majmu’ Fatawa 7 / 302 “.
Beliau berkata lagi : Sesungguhnya telah menjadi ketetapan dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahlul kiblah dengan dosa dan tidak mengeluarkannya dari Islam dengan amalan yang terlarang seperti berzina, mencuri dan minum khamr yang tidak mengandungi meninggalkan Iman. “ Majmu’ Fatawa 20 / 90 ”.
Berkata Asy-Syaikh Hafidz Hukmi : Dan kami tidak mengkafirkan orang mukmin dengan kemaksiatan-kemaksiatan kecuali disertai dengan penghalalannya terhadap apa yang dia langgar. “ Ma’arijul Qabul 2 / 438 “. Yang dimaksud “ Al-Ma’ashi “ (kemaksiatan-kemaksiatan) disini adalah al-kabair yang bukan syirik.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ari dalam menerangkan i’tiqad Ahlus Sunnah : Dan mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahlul kiblah dengan dosa, seperti berzina, mencuri dan lain sebagainya dari dosa-dosa besar, mereka selama ada iman pada hatinya, mereka adalah orang-orang beriman walaupun melanggar dosa-dosa besar. “ Maqolatul Islamiyyin 1 / 347 “.
Berkata Syaikhul Islam Muhamad bin Abul Wahhab dalam sanggahannya terhadap salah seorang dari penentangnya : Adapun masalah yang ketiga : Ialah termasuk pemalsuan (talbis) mu yang paling besar yang kamu palsukan terhadap orang awam, bahwasanya ahlul ilmi berkata : Tidak boleh mengkafirkan orang Islam dengan dosa, ini benar, akan tetapi bukan masalah ini yang kami persoalkan sekarang ini, yang demikian itu bahwasanya Khawarij megkafirkan orang yang berzina atau mencuri atau orang yang menumpahkan darah bahkan setiap dosa besar apabila dilakukan seorang muslim dia telah kafir.
Adapun Ahlus Sunnah maka mazhab mereka bahwasanya seorang muslim tidak kafir melainkan dengan syirik, dan kami tidak mengkafirkan para thaghut-thaghut dan pengikut mereka kecuali dengan syirik, dan kamu adalah seorang laki-laki yang paling bodoh, kamu menyangka bahwa orang yang shalat dan mengaku muslim tidak akan kufur - dan seterusnya hingga kata-katanya - taukah kamu para shahabat Rasullullah tatkala memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, ketika mereka menghendaki bertaubat, Abu Bakar berkata : Kami tidak menerima taubat kalian sehingga kalian bersaksi bahwa yang terbunuh dari pihak kami dalam surga dan yang terbunuh dari pihak kalian didalam neraka, apakah kamu menyangka bahwa Abu Bakar dan shahabat-shahabatnya mereka tidak paham dan kemudian bapakmu yang paham ? Aduhai celaka kamu wahai orang yang jahil jahil murakkab, jika kamu berkeyakinan seprti itu. Dari Rasail Syakhsyiyyah lisy Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab, bagian kelima dari tulisan-tulisan beliau, cetakan Jami’atul Iman Muhammad bin Saud, hal. 233-234.
Berkata Asy-Syaikh Abdul Latif bin abdu Rahman bin Hasan (1292 H), bapaknya (Abdur Rahman) adalah pengarang “ Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid “ dalam sanggahannya terhadap Mulla Daud bin Jarjis Al-Iraqi : adapun ucapannya : Sesungguhnya Asy-Syaikh Ahmad bin Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim keduanya tidak mengkafirkan ahlul kiblah, maka dikatakan : Seandainya dia mengerti siapa ahlul kiblah dalam tempat ini dan siapa yang dimaksud dalam ungkapan ini, niscaya dia tidak akan berhujjah dengannya atas amalan menyeru kepada selain Allah Ta'ala dan tidak mengkafirkan pelakunya ? dan barangsiapa yang berpaling dari ucapan ahlul ilmi dan berpendapat bahwa orang yang shalat dan mengucapkan ‘ ………………….. “, maka dia termasuk ahlul kiblah walaupun nampak pada dirinya dari kesyirikan dan meninggalkan bagi dienul Islam apa yang zhahir, maka orang yang seperti ini berarti telah menjajakan dirinya sebagai orang yang bid’ah dan sesat, dan membuka kapasitas otaknya dari segi ilmu dan dien dengan omongan itu. Dan Imam ahmad telah menyangkal ucapan : “ Kami tidak mengkafirkan pelaku dosa-dosa. “ Dan orang ini mengaku bahwasanya dia berada diatas mazhab Imam Ahmad. Adapun maksud orang yang mengucapkan ungkapan itu : hanyasanya dia adalah berlepas diri dari mazhab Khawarij yang mengkafirkan hanya karena dosa-dosa, dan orang ini telah meletakkan ucapan mereka tidak pada tempatnya dan menghilangkan kebagusannya karena mentakwilkannya pada ahli syirk dan orang-orang yang menyeru kepada kaum Sholohin, maka menjadi kabur atasnya dan tidak mengerti maksud sebenarnya dari salaf. Ini adalah pemahaman yang rusak tertolak dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ Ahlul ilmi. Dan para fuqaha’ telah menetapkan dari berbagai mazhab satu bab tersendiri dalam masalah ini, dan mereka menyebutkan hukum orang yang murtad dari ahlul kiblah, dan mereka menetapkan mukaffirat (perkara-perkara yang mengkafirkan) dari sesuatu yang banyak sekali yang tidak kita bicarakan disini, dan mereka memutuskan bahwasanya …………….. beriltizam kepada Islam, bangunan-bangunannya dan penyanggah-penyanggah yang besar-besar, bukan hanya dengan mengucapsyahadatain dan shalat, namun terus menerus berada diatas hal-hal yang menafikan (dosa-dosa mukaffir atau hal-hal yang membatalkan Islam, Pent). Hal ini difahami oleh para pelajar ibtidaiyah, ia tersebut dalam buku-buku ringkasan dari kitab-kitab mazhab Hambali dan lainnya, maka orang ini tidak mengerti apa yang dimengerti oleh anak-anak di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah, maka dia membuat tuduhan dan nampak sekali lemahnya. “ ad-Durarus Sunniyyah fi Ajwibatin Anjdiyah, hal. 290-291 “.
Itulah penjelasan ulama salaf tentang maksud kata “ dosa ‘ didalam qoidah atau ungkapan atau matan Imam Ath-Thohawi tersebut, yakni dosa-dosa besar (al-kabair) yang tidak mengkafirkan, tidak sebagaimana yang difahami oleh Asy-Syaikh Al-Bani “………………” ( dosa apa saja ).
5.. Ungkapan Asy-Syaikh Al-Bani “ bahwa dosa apa saja adalah kufur amali bukan i’tiqodi “ pamahaman istilah kufur amali disini bisa mengelirukan para pembaca, apalagi para pembaca yang cenderung kepada mazhab Ghulat Murjiah, sebab jika dilihat dari ungkapan tersebut berarti segala dosa yang bentuknya amalan bukan keyakinan adalah kufur ashghar atau kufrun duna kufrin. Prinsip yang menyatakan bahwa dosa yang berbentuk amalan adalah kufur ashghar atau kufrun duna kufrin dan bukan kufur akbar mengelirukan bahkan bisa sesat dan menyesatkan, karena banyak sekali amalan (ucapan maupun perbuatan) yang temasuk kufur akbar yang mengkafirkan pelakunya. Sebagaimana yang telah diuraikan panjang lebar sebelumnya.
Oleh karena itu perlu dibedakan antara dua istilah yang hampir mirip, yaitu “al-kufrul amali “ dan al-kufru bil amal “. Al-kufrul amali dalam ucapan para ulama berarti kufrun asghar yang tidak mengeluarkan dari millah, atau disebut kufrun duna kufrin, seperti dosa karena melakukan zina, minum khamr, mencuri dan sebagainya, perbuatan ini disebut kufrun amali. “ lihat Kitabus Sholah “ Ibnul Qayyim, hal. 26. dan ‘Alamus Sunnatul Mansyurah - Hafidz Hukmi, hal. 80-82. adapun kufru bil amal ialah amalan-amalan (ucapan-ucapan lisan dan perbuatan-perbuatan anggota badan) yang mengkafirkan pelakunya dengan kufur akbar, lihat Kitab “ ash-Sholah, hal. 24, 25 dan ‘Alamus Sunnahtil Mansyurah, hal. 83. “
Maka sebaiknya ahlul ilmi dan thalibil ilmi pada masa kini tidak menggunakan istilah alkufrul amal dan lebih baik menggunakan istilah yang semakna yang datang dari salaf, hal ini karena dua alasan :
1. Istilah tersebut baru, yang dipakai oleh mutaakhkhirin, tidak …………….. dari salaf, para shahabat dan para tabi’in tidak menggunakannya, yang dating dari mereka untuk mensifati kufur ashghar yaitu “ kufrun la yunqilu ‘anil millah “ ………….. dan kufrun duna kufrin dan kufrun nikmah.
2. Mensifati atau menamakan kufur asghar dengan kufur amali mengelirukan bahwa seolah-olah seorang tidak kufur dari segi amalan, dan tidak ada kekufuran kecuali dengan i’tiqod. Ini mazhab Murjiah, tetapi orang sekarang lebih jahat dari Murjiah. “ rujuk Al-Jami’ 8 / 86. “
Ucapan Asy-Syaikh Al-Bani (2)
(b) Ucapan Asy-Syaikh Al-Bani yang lain, kalau yang tadi membatasi kufur pada istilah tanpa membedakan dosa mukaffir dan yang tidak mukaffir, maknanya mensyartkan adanya istihlal secara keyakinan dalam takfir dengan dosa apapun juga, dan ini jelas pendapat ghulat murjiah. Adapun ucapan yang ini beliau membatasi kufur pada ingkar (yaitu jahd atau juhud). Katanya : Akan tetapi aku katakana sesungguhnya memutuskan hukumnya orang-orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah Ta'ala baik hukum mereka menyampaikan mereka kepada kufur secara keseluruhan atau kufur amali tidak penting bagi kita banyak maupun sedikit pemisahan ini antara keduanya. Sekarang dari segi aqidah, siapa yang kufur disisi Allah Ta'ala ? yaitu orang yang mengingkari syareat Allah Ta'ala .
Penjelasan
1. Ucapan ini bisa dirujuk dalam kitab “ Hayatu Al-Albani wa Atsaruhu - oleh Muhammad Ibrahim Asy-Syaibani, cetakan Ad-Dar As-Salafiyah 1407 H, juz 2 hal. 518.
2. Asy-Syaikh Al-Bani dalam ucapan ini memandang bahwa urusan kufur dan tidaknya penguasa itu urusan remeh temeh tidak penting, pandangan ini jelas sesat dan menyesatkan bertentangan dengan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’ sebagaimana yang telah kami uraikan panjang lebar diatas. Dan dari sini juga antara lain yang akhirnya menular kepada para muqalidnya sehingga memandang urusan pemerintahan, khalifah, dan daulah sebagai sesuatu yang sekunder bahkan tidak sedikit yang tidak peduli sama sekali seolah-olah tidak mempengaruhi sama sekali terhadap kehidupan mereka di akhirat kelak.
3. Asy-Syaikh Al-Bani bahwa para penguasa hari ini yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Ta'ala, yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Ta'ala dan yang membuat syareat yang Allah Ta'ala tidak mengizinkan dengannya, mereka tidak kafir, kesimpulan saya ini dikuatkan oleh ucapan beliauyang lain yang terdapat dalam “ Silsilah Ash-Shohihah “ - Al-Albani juz 6 / 111-112 – Insya Allah sebentar lagi akan saya nukil. Pendapat ini adalah sesat menyesatkan, jikalau beliau menganggap bahwa orang yang berhukum tidak dengan apa yang diturunkan Allah Ta'ala dan orang yang berhukum dengan selain hokum Allah Ta'ala itu tidak kafir dengan dalil ucapan Ibnu Abbas, apakah beliau tidak melihat ucapan Ibnu Abbas yang lain bahkan kedudukannya dari segi riwayat lebih kuat dan tidak ada seorangpun shahabatpun yang menyelisihi bahwa mentaati satu hukum saja yang bertentangan dengan hukum Allah Ta'ala adalah musyrik, apalagi membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah Ta'ala, satu hukum saja telah kafir, rujuk ucapan …………………. Ulama yang terdahulu maupun yang terkemudian (salaf maupun kholaf) yang telah kami paparkan diatas.
4. Apa rahasianya asy-Syaikh Al-Bani tidak mengkafirkan mereka, sebab beliau hanya menggantungkan hokum kufur dan takfir pada juhud atau ingkar yaitu mengingkari syareat Allah Ta'ala yang adanya dalam hati berupa keyakinan, maka amalan apa saja termasuk membuat syareat, pelakunya tidak kafir. Inilah mazhab Ghulah Murjiah yang dikafirkan slaf. Kalau Murjiah Fuqaha’ meskipun mereka berpendapat bahwa amalan tidak dapat mengkafirkan seseorang, tapi seseorang yang malakukan dosa mukaffir (seperti membuat hukum) mereka mengkafirkannya, sebab menurut mereka tidak ada seorangpun yang membuat syareat yang bertentangan dengan syareat Allah Ta'ala kecuali karena adanya takdzib dalam hatinya termasuk juhud dan isithlal. Adapun Asy-Syaikh Al-Bani tidak demikian halnya, beliau menjadikan juhud, istihlal, dan ingkar sebagai syarat yang berdiri sendiri, maka para pelaku dosa mukaffir termasuk yang berhukum dan membuat Al-Yasiq mereka tidak dikafirkan selama tidak diketahui bahwa mereka mendustakan (ingkar dan istihlal), terus bagaimana caranya mengetahui takdzib dalam hati itu? Ada yang ngomong para penguasa itu mesti menyatakan dengan mulutnya “ bahwa kami adalah mendustakan atau mengingkari atau menghalalkan “. Mungkinkah hal ini terjadi - wallahu a’lam fikirkanlah betul-betul.
Kami cukupkan dua saja ucapan Asy-Syaikh Al-Bani, sebenarnya masih ada lagi beberapa ucapan beliau dalam masalah ini yang perlu diluruskan, tapi kami anggap dua ucapan ini sudah bisa mewakili ucapan-ucapan yang lain.
Kemudian kalau mazhab Asy-Syaikh dalam masalah iman dan kufur seperti itu, maka apa yang akan terjadi pada mazhab muridnya, dan bagaimana pula pada murid dari muridnya, tentu lebih parah lagi - kecuali yang dirahmati Allah Ta'ala -.
Mari kita perhatikan ucapan sebagian murid beliau :
1. Muhammad bin Ibrahim Syaqrah berkata : Manusia apabila telah mengucapkan syahadat, dan hatinya membenarkannya, dan meyakini dengan pasti, dan mengimani haknya seluruhnya, maka dia adalah mukmin, walaupun melakukan kemaksiatan-kemaksiatan seluruhnya, yang nampak dan yang tidak nampak selama tidak disertai juhud dan nukran (mengingkari) “ Kitab Mujtamauna Alma’ashir bainat Takfiril Jair wal Imanil hair - oleh Muhammad bin Ibrahim Syaqrah, hal. 37 “.
Kami tidak perlu panjang lebar mengomentari ucapan itu. Kami yakin pembaca yang mau menggunakan sedikit saja akal sehatnya akan dapat memahami bahwa ucapan tersebut lebih sesat dan lebih melampaui dari pada ucapan Jahmiyah dan Ghulat Murjiah terdahulu yang telah dikafirkan salaf.
2. Murad Sykri dan Ali Hasan Abdul Hamid …………….. berkata : Seorang muslim tidak kufur kecuali apabila dia mendustakan Nabi dalam apa yang beliau bawa dan beritakan, baik takdzibnya (pendustaan) nya itu berupa pengingkaran (juhud) seperti juhudnya Iblis dan Fir’aun, maupun takdzib yang bermakna tahdzib. “ Kitab Ihkamit Taqrir li Ahkami Masalatit takfir, hal. 13 “.
Ucapan ini pada prinsipnya sama dengan ucapan Syaikhnya yaitu membatasi kufur dengan tahdzib saja pada dosa mukaffir maupun ghoiru mukaffir, sebagimana yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa takdzib merupakan sumber dari ingkar, juhud dan istihlal. Dan ini jelas mazhab Murjiah, jika takdzib dijadikan syarat tersendiri dalam dosa yang mengkafirkan berarti mazhab Ghulat Murjiah, dan jika dianggap sebagai syarat yang lazim adanya pada dosa mukaffir berarti mazhab murjiah Fuqaha’.
Begitulah nasib murid kebanyakannya berada diatas mazhab syaikhnya yang haq maupun yang bathil - kecuali yang dirahmati Allah Ta'ala - yang lebih kasihan lagi orang awam yang tidak bisa membedakan antara kambing dan anjing, mereka menjadi kurban, coba bayangkan bagaimana tidak menyesatkan, buku-buku yang memuat mazhab Ghulat Murjiah yang sesatnya tidak terkira bahkan dikafirkan salaf, akan tetapi komentar dari para penulisnya setinggi langit dan menyilaukan mata bahkan tidak segan-segan mengaku yang paling benar dan yang paling salaf, dan sudah tidak menjadi hal yang aneh yakni disertai dengan maki-makian terhadap pihak yang menyelisihi pendapatnya.
Penulis kitab “ Mujtama’unal Ma’ashir bainat Takfiril Jair wal Imanil Hair “ yang sebagian kandungannya sebagaimana yang telah disampaikan diatas, itupun tidak terlepas dari makian terhadap orang-orang yang dianggapnya bodoh yang berbicara dalam masalah takfir tanpa ilmu, dan diantara contoh ucapannya yang paling sederhana dalam hal ini adalah maksudnya sebagai berikut : Alangkah banyaknya sesuatu yang dipalsukan oleh para pengecut yang mengaku sebagai para penganjur dan para pakar teori untuk menyadarkan hamba-hamba Allah Ta'ala yang lalai - hingga ucapannya - dan apabila saya mengkhususkan penulisan dalam maudhu’ yang penting lagi kritis ini, maka untuk memberi tahukan kepada kaum muslimin yang berada diatas mazhab mereka, standart hidup mereka dan kedudukan mereka, tentang manhaj ilmu yang benar dalam masalah-masalah dan menyelesaikan musykilah-musykilah, khususunya dalam masalah seperti yang diragukan ini. “ lihat hal. 23 “. Dan yang serupa ini banyak sekali, termasuk dalam majalah Asy-Syariah - …………………. –
(2) Para Masyayikh yang tergabung dalam “ …………. Kibarul Ulama wa Idararatil Buhutsil Ilmiyah wal Ifta’ atau dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta’ - Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Suudiyah -
Menurut penilaian saya - dengan modal ilmu dan pengetahuan yang sdikit - dan perlu saya katakan bahwa sebenarnya saya tidak layak untuk menilai masyayikh-masyayikh ini termasuk terhadap Asy-Syaikh Al-Bani, akan tetapi karena terpaksa sebab ada hubungannya erat dengan Bahasan, maka meskipun berat menurut perasaan, mesti disampaikan juga, sebab menyembunyikan al-haq dilarang dalam syariat.
Banyak orang menyangka - terutama para pengkultusnya - bahwa mazhab para masyayikh dalam segala permasalahan sama dengan mazhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan ada sebagian orang yang mengaku salah seorang dari masyayikh sebagai Ibnu Taimiyah abad ini, dan sebagaimana yang sudah maklum mereka mengaku atau dilabel sebagai Al-Wahabiyyin, namun kalau kita cermati sebenarnya banyak perbedaan yang tidak mungkin satu persatu kami sebutkan disini, mereka menjadikan tulisan-tulisan kedua syaikhul Islam tersebut termasuk sebagai rujukan utama, akan tetapi mereka tidak seimbang dalam menyampaikan tulisan-tulisan itu kepada ummah khususnya dalam masalah-masalah kontemporer yang dihadapi masa kini, seperti siyasah syariyyah, jihad takfir dan sebagainya, ucapan-ucapan beliau berdua yang sesuai dengan kehendaknya, menguntungkan posisinya dan tidak menjejaskan kedudukannya disebar luaskan tanpa terbatas, sebagai contoh ucapan-ucapan beliau berdua yang menyanggah bid;ah khawarij yang mengkafirkan dengan dosa-dosa yang tidak mengkufurkan disebarkan, dan Tujuan penyebarannya jika dilihat dari lisanulhalnya minimal ada dua, pertama : sebagai pembelaan tidak kafirnya para thawaghit meskipun mengganti syareat, kedua : mengecap sebagai khawarij terhadap mujahidin yang berjihad melawan thaghut. Tetapi sebaliknya sanggahan-sanggahan beliau berdua terhadap murjiah dan ghulatnya yang tidak kurang sesat dan bahayanya dari khawarij, yang mana golongan ini tidak mengkafirkan dengan amalan-amalan yang mengkufurkan kecuali disertai dengan juhud dan istihlal, dan sanggahan beliau terhadap golongan ini memenuhi kitab-kitabnya khususnya Ash-Shorimul Maslul (Ibnu Taimiyah) dan Ar-Rasail Asy-Syakhsiyah (Ibnu Abdul Wahhab), bahkan karena beliau tegas dalam mengkafirkannya terhadap golongan inidan sejenisnya serta pengkafirannya terhadap para thaghut, beliau dituduh sebagai khawarij. Sanggahan-sanggahan yang ini tidak disampaikan, kalaupun disampikan kadarnya amat sedikit, tidak membawa kepada pemahaman sebenarnya bahwa mengkafirkan dengan dosa-dosa mukaffirah adalah manhaj ahlus sunnah termasuk takfir muayyan. Sehingga yang terkesan di kalangan awam bahwa mengkafirkan adalah manhaj khawarij. Dan keadaan ini tidak ada pihak yang paling diuntungkan selain ghulat murjiah dan para thawaghit.
Kami tidak melihat para masyayikh dalam memahami iman dan kufur sebagaimana pemahaman Asy Syaikh Al Bani dan murid-muridnya yang semazhab dengan ghulat murjiah, karena para masyayikh mengkafirkan dengan dosa-dosa mukaffirah yang bentuknya ucapan maupun perbuatan, hanya masalahnya menurut pendapat saya – wallahu a'lam – mereka ifrath dalam menyikapi mawani’ (penghalang-penghalang) kufur, misalnya jahl dan mukrah (bodoh dan terpaksa). Di samping itu mereka masih tercampur mazhab murjiah dalam satu dua masalah, termasuk dalam masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, keadaan ini terutama setelah terjadi krisis Teluk, dengan demikian mereka tidak tegas dalam mengkafirkan para pelaku dosa-dosa mukaffirah apalagi yang sifatnya takfir mu’ayyan (mengkafirkan orang tertentu). Kemudian sikap ini dinilai oleh sebagian orang sebagai ciri khas ahlus sunnah wal jama'ah atau salaf yang kononnya sangat hati-hati dalam mengkafirkan (lihat majalah Asy Syari’ah vol.1/no.08/1425 H/07/2004). Maka dengan perasaan kehati-hatiannya yang tidak ada batasannya itu menjadikannya tidak pernah berani mengkafirkan orang meskipun orang itu telah dengan jelas melakukan dosa mukaffir misalnya mencela hukum-hukum Islam, dan penghalang-penghalang kufur pada dirinya pun tidak ada, dia tidak dipaksa, dia tidak bodoh yang ma’dzur, dia bukan mu’allaf yang baru masuk Islam, dan tidak ada penghalang-penghalang lain yang diakui syari’Allah Ta'ala sebagai penghalang, bahkan orang itu mencela hukum-hukum Allah dengan penuh congkak dan kesombongannya, orang yang begini jelasnya kufurnya itupun tidak dikafirkan. Kemudian yang menyedihkan sikap kehati-hatian yang tidak pada tempatnya ini dicap dan dikuatkan dengan ucapan-ucapan ulama salaf khususnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan syaikhul Islam Abdul Wahhab rahimahumullah, padahal ucapan-ucapan tersebut adalah ditujukan kepada golongan khawarij dan sebagainya yang mengkafirkan dengan dosa-dosa yang tidak mengkufurkan. Adapun pengkafiran terhadap dosa-dosa mukaffirah beliau berdua tegas sekali dan bahkan tidak sedikit pengkafiran secara ta’yin yang beliau lakukan sebagaimana yang telah kami sebutkan sebagiannya dan kalau anda ingin mengetahui contoh-contohnya silakan baca fatwa-fatwa beliau.
Maka kalau kami boleh pinjam kata-kata kehati-hatian ahlus sunnah wal jama'ah dalam masalah takfir seperti yang tertulis dalam majalah Asy Syari’ah maka perlu diketahui bahwa kehati-hatiannya itu jelas ukurannya bukan khayal dan tidak terbatas yaitu:
§ Tidak mengkafirkan dengan dosa-dosa yang tidak mukaffir sebagaimana yang dilakukan khawarij.
§ Tidak mengkafirkan seseorang dengan dosa-dosa mukaffir kecuali setelah mengetahui bahwa pada diri orang tersebut tidak ada penghalang yang menghalangi kufurnya, dan penghalang-penghalang itu mesti masyru’, bukan bid’ah dan muhdats yang dibuat-buat, misalnya, orang itu beriman kepada Allah dan hari akhir, shalat, shaum, haji, dia kiyai, dia syaikh, dia termasuk ulama’, din i’tiqadnya salaf dan sebagainya. (lihat qaidah takfir hal 214-231)
Dan sebagai catatan, bukan termasuk kehati-hatian yang terpuji sikap yang tidak mengkafirkan dengan dosa-dosa yang mukaffirah baik yang berbentuk ucapan maupun perbuatan kecuali dengan adanya takdzib, ingkar, juhud, dan istihlal. Sikap ini bukan hati-hati, ini adalah bid’ah dhalalah kaum ghulat murjiah yang dikafirkan salaf.
Sebagai contoh kehati-hatian yang sesat lagi menyesatkan.
Misalnya ada seseorang presiden yang ber KTP muslim mencerca syari'at Allah dengan bahasa yang jelas yang tidak mengandungi takwil, seperti kata-kata: hukum Islam tidak sesuai di zaman modern ini, maka untuk menjatuhkan vonis apakah presiden tersebut kafir atau tidak, yang perlu diteliti adalah penghalang-penghalang yang bisa menghalangi jatuhnya hukum kafir terhadap dirinya. Sebab dosa yang dia lakukan berbentuk ucapan tersebut adalah mukaffir yaitu mencela Allah. Jika ternyata terdapat penghalang yang masyru’ pada dirinya, misalnya mengucapkannya dalam keadaan mabuk, tidak sadarkan diri berarti tidak sengaja, atau ada pihak yang memaksa, jika enggan mengucapkan akan dibunuh dan sebagainya, terpaksa yang masyru’ atau karena dia benar-benar jahil yang ediot atau bertempat tinggal di suatu tempat yang tidak mungkin mendapatkan ilmu untuk menghilangkan kejahilannya. Jika demikian halnya maka dia tidak kafir. Akan tetapi cara yang sesat lagi menyesatkan yaitu, hendak mengetahui kufurnya presiden tersebut dengan mensyaratkan adanya takdzib atau ingkar atau juhud atau istihlal dalam hati sang presiden tersebut, lalu untuk mengetahui bagaimana caranya? Kata ghulat murjiah: Presiden itu mesti mengatakan, bahwa saya mencela syari'at itu adalah karena saya mendustakan syari’at Allah atau saya mengingkari kebenarannya, atau saya menganggap bahwa ucapan saya tidak salah, tidak berdosa dan boleh, halal dan tidak haram. Atau kalau sang presiden tidak mau ngomong sendiri, maka perlu ditanya, misalnya: wahai yang terhormat anda sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, atau anda mengucapkan ucapan tersebut, anda mengingkari kebenaran Al Qur'an dan as Sunnah tidak? Maka jika sang presiden menjawab, Ya! Berarti dia kufur, dan jika dia menjawab tidak, hati saya penuh dengan iman, maka dia tidak kafir. Cara seperti ini tidak ubahnya bagaikan lelucon dan dagelan, dan sesat lagi menyesatkan. Yang mengikuti cara itu sesat, karena pada akhirnya tidak mengkafirkan orang yang dikufurkan Allah, presidennya sesat dan tetap dalam kesesatannya sebab dia tidak akan bertaubat karena tidak tahu bahwa dirinya telah murtad, dan rakyatpun tersesat karena tidak mengetahui status kedudukan presidennya, sebenarnya sudah murtad rakyat wajib menggantinya, tetapi malah menganggapnya sebagai seorang mukmin yang wajib ditaati.
Kemudian perbedaan lain antara masyayikh dan kedua syaikhul Islam yang mulia itu, dalam memahami firman Allah Ta'ala (S.Al Maidah: 44) “………………….. ………………………” (barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir).
Kalau kita baca pembahasan ayat ini dalam majalah Asy Syari'ah yang cover depannya tertulis “menyikapi kejahatan penguasa” dan “Bahaya mengkafirkan seorang muslim”, (maaf yang lain saya tidak mengetahuinya), dapat disimpulkan bahwa ucapan-ucapan masyayikh yang dipaparkan di situ menyatakan bahwasanya “berhukum dengan selain hukum Allah itu tidak termasuk kekufuran yang nyata (kufur akbar) akan tetapi kufrun duna kufrin atau kufur kecil. Ini bahasa Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. (lihat makalah “kapan diperbolehkan memberontak”). Saya katakan: Tidak ada seseorang yang menyimpulkan seperti itu kecuali ghulat murjiah, silakan membuka kitab-kitab rujukan utama dalam masalah ini, penulisnya tidak ada yang menyimpulkan seperti itu (bahwa kufur dalam ayat tersebut adalah kufur kecil, bukan kufur akbar). Al Allamah Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/60-64, Al Allamah Ibnul Qayyim “Madarijus Salikin” 1/335-337; Ibnu Abil Izzi dalam Syarhul Aqidah At Thahawiyah, hal 363-364, dan lain sebagainya.
Semua para penulis itu mengatakan bahwa kufur dalam ayat tersebut mengandungi dua macam: kufur akbar dan kufur asghar, dengan kata lain mereka tidak menyimpulkan bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah itu sebagai kufur kecil sebagaimana kesimpulan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. Apa sebagian rahasianya mereka tidak berbuat demikian, antara lain:
a. Ditinjau dari segala qaidah, syara’, ushul, dan bahasa, ayat tersebut tidak mengandungi kecuali kufur akbar, anda tidak akan mendapatkan hatta di dalam hadits apalagi firman Allah Ta'ala, seperti ini konteksnya kepada kufurnya kufur kecil. Dan sudah menjadi kesepakatan ahlul ilmi bahwa semua lafadz dalam Al Qur'an adalah ghaiyah (maksimal). Maka anda tidak mendapati al kabaair (dosa-dosa besar) yang Allah Ta'ala firmankan dalam Al Qur'an seperti berzina, mencuri, berjudi, minum khamr, merampok, membunuh, dan sebagainya yang Allah Ta'ala mengkafirkan pelakunya.
Maka dengan berpegang pada zhahir nash yang muhkam tersebut sebagian ahlul ilmi bermazhab bahwa kufur atau takfir dalam ayat tersebut adalah kufur akbar antara lain:
· Dari kalangan shahabat: Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhu sebagaimana yang dinukil Ibnu Katsir dan bisa dirujuk juga Tafsir Ath Thabari 6/240 dan Ibnu Hajar al Makki dalam Az Zawajir 2/189 juga menyebutkannya dan Umar bin Al Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhuma sama dengan kata-kata ibnu Mas'ud. Tafsir Ruhul Ma’ani, Al Alusi jilid 3 juz 6 hal 140.
· Dari kalangan tabi’in: Al Hasan Al Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i dan As Sadi. Lihat Al Mughni ma’a Syarhil Kabir 11/437-438 dan Al Qasim 6/215 dalam kitabnya “Mahasinut takwil” dan ucapan As Sadi yang dinukil Ibnu Katsir yang diriwayatkan Ibnu Jarir dengan sanadnya, ia berkata: “…………….” Dia berkata: dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Aku turunkan, lalu meninggalkannya dengan sengaja dan dzalim dan dia mengetahui, maka dia termasuk orang-orang yang kafir. Tafsir Ath Thabari 6/257. (rujuk Al Jami’ 13/121-122)
· Fatwa masyayikh termasuk Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, tahun dikeluarkannya fatwa ini saya tidak pasti, tetapi yang jelas sebelum krisis Teluk (1990 M), karena buku himpunan fatwa-fatwa itu dicetak pada tahun 1411 H oleh percetakan Darul Ashimah Riyadh. Adapun kandungan fatwanya sebagai berikut:
Dari Al Lajnah Ad Daimah bis Su’udiyah, tersebut dalam jawaban fatwa (no. 5226): adapun bentuk takfir di dalam firman Allah Ta'ala “…………………………….” Maka ia adalah: kufur akbar.Ifta’: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghadayyan,Abdur Razzaq Afifi dan Abdul Aziz bin Baaz. (fatawa Al Lajnah ad Daimah lil buhuts al ilmiyah wal ifta’) himpunan Ahmad Abdur Razzaq ad-Dawisy 2/93.
Dan fatwa ini dikuatkan oleh fatwa lain (no.5966), menjawab pertanyaan: Kapan kita menyebut seseorang sebagai thaghut? Maka jawaban beliau-beliau: Apabila seseorang menyeru kepada syirik, atau menyeru untuk menyembah kepada dirinya, atau mengaku sesuatu dari ilmu yang ghaib atau dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dengan sengaja dan yang seperti itu. (idem 1/542-543)
Dalam fatwa ini orang yang – berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah disebut thaghut, kalau kita bandingkan dengan sebutan thaghut-thaghut yang lain sebelumnya yaitu orang yang menyeru kepada syirik, menyeru kepada menyembah dirinya, mengaku mengetahui ilmu yang ghaib, ketiga amalan ini adalah kufur akbar, maka berarti berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan sengaja juga kufur akbar.
· Dan masih banyak lagi ahlul ilmi yang bermazhab kufur akbar sebagaimana yang sudah saya paparkan sebelumnya dan insya Allah akan saya tambah lagi uraiannya supaya lebih jelas. Dan termasuk juga yang bermazhab kufur akbar adalah NII kata majalah Asy Syari'ah (lihat vol.1/no.08/1425 H/07/2004 hal 17). Dengan nada sinisnya dan tidak ragu-ragu lagi mengecap mereka sebagai orang-orang yang bermazhab khawarij. Inilah perangai dan mablagh para pengasuh majalah Asy Syari'ah dari segi ilmu, melabel dan mengecap kaum mukminin dengan julukan yang tidak sepatutnya karena kebodohannya.
b. Kenapa menjadi rancu dalam memahami ayat yang muhkam itu? Karena adanya ucapan yang dinisbahkan kepada hibrul ummah Abdullah Ibnu Abbas radliallahu 'anhu bahwa kufur dalam ayat tersebut adalah kufrun duna kufrin, maka ungkapan ini akhirnya menjadi ujian bagi manusia khususnya bagi ahlul ilmi dan terbagi beberapa mazhab dalam memahami ayat tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Golongan pertama, golongan murjiah terutama ghulatnya pada masa kini, karena sudah rusak pemahamannya dan i’tiqadnya yang mana segala dosa yang zhahir dan yang batin dianggapnya tidak dapat merusakkan dan membatalkan iman alias kufrun duna kufrin atau kufur amali atau kufur kecil kecuali disertai dengan juhud dan istihlal, lagi pula menurutnya amalan tidak termasuk iman, maka ungkapan tersebut langsung daja diuntal karena memang sesuai dengan selera i’tiqadnya, dengan demikian golongan ini tidak mengkafirkan berfirman seluruh manathul kufri yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu: 1. Meninggalkan hukum Allah. 2. Membuat syari'at selain hukum Allah. 3. Berhukum dengan syari'at yang dibuat yang bertentangan dengan syari'at Allah. Mereka menganggap pelanggaran dalam tiga hal ini sebagai dosa maksiat biasa, bahkan kalau boleh saya mentafsirkan lebih kecil dosanya daripada mencuri, berzina, munum khamr, sebab dosa-dosa ini ada hukum hadnya, sedangkan meninggalkan hukum Allah, membuat syari'at dan berhukum kepadanya tidak ada hadnya. Maka natyahnya golongan ini tidak mengkafirkan seluruh penguasa ber KTP muslim pada hari ini meskipun pada diri penguasa-penguasa itu terdapat tiga manath kufur tersebut termasuk mengganti syari'at Allah dengan syari'at kufur dan jahiliyah. Yang anehnya pendapat yang sesat dan dhalal ini tidak dicurigai kebenarannya sama sekali dan diyakini seyakin-yakinnya sebagai satu-satunya mazhab yang benar. Mereka tidak berpikir sama sekali bahwa boleh jadi pendapatnya salah, sebab Allah Ta'ala dengan begitu jelas dalam nash tersebut berfirman bahwa orang yang tidak berhukum dengan syari'at-Nya adalah kafir, sedangkan menurut qaidah, lafadz kafir dalam firman Alla adalah kafir kufur akbar, kemudian hanya karena adanya ucapan Ibnu Abbas radliallahu 'anhu yang keshahihannya dari segi riwayat masih diperselisihkan. Dan seandainya benar bahwa qaul itu dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, untuk mentafsirkan ayat tersebut, itu pun tidak boleh dijadikan hujjah, sebab qaul shahabi bukan termasuk hujjah kecuali jika disepakati oleh para shahabat maka menjadi hujjah karena ijma’ shahabat. Sedangkan qaul Ibnu Abbas radliallahu 'anhu tersebut tidak disepakati oleh para shahabat, maka bagaimana kedudukan qaul seperti ini bisa merubah kufur akbar dalam nash yang sharih menjadi kufur asghar. Pikirkanlah!
2. Golongan yang kedua, berusaha menggabungkan dan menyesuaikan keduanya, masing-masing difungsikan, nash yang menunjukkan kufur akbar berusaha tidak diabaikan dan tidak mau meninggalkan qaul yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, maka mereka membuat qaidah yang mereka pandang sesuai, bahwa ayat tersebut mengandungi dua kekufuran asghar dan akbar dengan melihat keadaan hakim, maka yang kufur asghar berarti memfungsikan qaul Ibnu Abbas, agar tidak bertentangan dengan ayat, maka diberi alasan-alasan misalnya, si hakim tidak juhud dan istihlal, meyakini haramnya berhukum kepada selain Allah, dan dia berkata bahwa syari'at Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, akan tetapi di lakukan hal itu karena memudah-mudahkan urusan atau karena perintah dari penguasanya atau karena nepotisme, atau karena suap, atau karena kepentingan dunia yang lainnya. Maka hakim yang seperti ini dia kafir kufur asghar tidak keluar dari millah dan perbuatannya termasuk dosa-dosa besar (lihat fatwa masyayikh, Asy Syaikh bin Baaz, dalam kiatb Qadhiyatut Takfir Baina Ahlis sunnah wal Firaqidh dhalal – Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani hal 73, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 158-159, atau fatwa masyayikh dalam masalah ini yang dimuat dalam majalah Asy Syari'ah. Adapun yang kufur akbar berarti kembali kepada nash, dan agar tidak bertentangan dengan qaul Ibnu Abbas, mik diberi alasan-alasan, misalnya: si hakim meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini kebolehannya, karena meremehkan hukum Allah dan menganggap hina, meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi mahluk atau semisalnya. Maka hakim yang seperti ini dia kafir kufur akbar dan keluar dari millah.
Golongan ini maunya mengikuti tafsiran Ibnul Qayyim rahimahullah, sebab yang membuat tafsiran yang bentuknya seperti ini adalah beliau lalu diikuti oleh Ibnu Abil Aziz dan lain-lainnya – insya Allah – akan diuraikan selanjutnya. Akan tetapi golongan ini kebablasan dalam memahaminya dan memberikan alasan sehingga melampaui batas dari apa yang dikehendaki Ibnul Qayyim, misalnya: alasan-alasan seperti yang sudah saya garis bawahi di atas, bahwa syari'at Islam lebih utama dan tidak boelh berhukum dengan selainnya, karena perintah dari penguasa, meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi mahluk atau semisalnya.
Alasan-alasan ini menunjukkan bahwa golongan ini menyamakan tiga manath di atas (meninggalkan hukum Allah, membuat syari'at selainnya, berhukum kepada syari'at yang dibuat). Seluruhnya dianggap kufur asghar jika tidak disertai juhud, istihlal dan sebagainya. Sedangkan juhud, istihlal, dan sebagainya tempatnya dalam hati, tidak disyaratkannya menurut ahlus sunnah dalam dosa-dosa mukaffirah, ia adalah syarat dalam dosa-dosa yang tidak mukaffirah. Karena golongan ini memandang bahwa tasyri’ ansih tanpa juhud dan istihlal tidak mukaffir, maka natijahnya sama dengan natijah golongan ghulat, murjiah di atas, yaitu tidak mengkafirkan para penguasa ber KTP muslim yang telah mengganti syari'at Allah dengan syari'at syirik, kufur dan jahiliyah pada masa sekarang ini.
3. Golongan ketiga: Golongan yang pada prinsipnya mengikuti tafsiran Ibnul Qayyim rahimahullah yakni pembagian kufur akbar dan kufur asghar itu pada manth hukum yang pertama saja “meninggalkan hukum Allah”, tidak termasuk membuat syari'at dan berhukum kepadanya, dakan tetapi dalam beralasan ada yang manambal dari alasan Ibnul Qayyim, seperti karena syahwat, hawa nafsu, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya saya tuliskan di sini ucapan Ibnul Qayyim: Setelah beliau memaparkan ucapan sebagian shahabat dan tabi’in dan komentarnya secara singkat, lalu beliau berkata: Dan yang betul, bahwasanya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah, mengandungi dua kekufuran, yang kecil dan yang besar sesuai dengan keadaan hakimnya. Maka jika dia meyakini wajibnya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah “………………..” (dalam kejadian ini), dan dia menyimpang darinya karena maksiat, disertai dengan pengakuannya bahwa dirinya berhak dikenakan hukuman maka yang ini kufur asghar. Dan jika dia meyakini bahwasanya tidak wajib, dan dia boleh memilih di dalam berhukum, disertai dengan keyakinan bahwa ia adalah hukum Allah, maka yang ini kufur akbar dan jika dia jahil dan salah, maka dia adalah orang salah, dan baginya hukum orang-orang yang salah. (Madarijus Salikin 1/336-337)
Ucapan Ibnu Qayyim bisa disimpulkan: Bahwasanya hakim atau qadhi tersebut berarti berada di bawah kekuasaan daulah Islamiyah yang berhukum dengan syari'at Allah (Al Kitab dan As Sunnah), tetapi dalam satu peristiwa sidang pengadilan atau sejenisnya, hakim tersebut tidak memutuskan perkara yang diadili berdasarkan syari'at Islam, tetapi berdasarkan hawa nafsunya. Dan hakim tersebut bukannya seperti hakim yang memiliki kitab undang-undang tersendiri yang menyelisihi syari'at Allah, sebab kalau jenis hakimnya seperti ini Al Allamah Ibnul Qayyim tidak akan menghukumi kufur kecil, karena menurut beliau orang yang beriltizam dengan hukum-hukum syari'at yang telah dimansukhkan dalam Taurat, Injil dan seluruh millah, maka dia adalah kafir. Dan jikalau yang berpegang dan beriltizam dengan hukum syari’at yang mansukh yang pada asalnya dari Allah saja kafir, maka tentu saja orang yang berpegang dan beriltizam dengan hukum-hukum syari'at yang dibuat oleh manusia kafir seperti Napoleon, Justinian, dan lain sebagainya, maka jelas lebih kafir lagi. (Lihat ahkamu ahlidz dzimmah 1/259)
Adapun ahlul ilmi yang mengikuti tafsiran Ibnul Qayyim, antara lain
1. Ibnu Adil Izzi Al Hanafi (792 H) rahimahullah. Tafsiran beliau hampir mirip dengan Ibnul Qayyim rahimahullah secara prinsip sama berbeda sedikit bahasanya, kemungkinan besar beliau menukil dari Ibnul Qayyim, sebab beliau hidup kemudian setelah Ibnul Qayyim, beliau wafat tahun 792 H sedang Ibnul Qayyim wafat tahun 751 H. adapun ucapan beliau termaktub dalam kitab “Syarhul Aqidah At Thahawiyah, hal 363-364.
2. Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh, ucapan beliau terdapat dalam risalah Tahkimul Qawanin, hal 7. kandungannya mirip dengan ucapan Ibnul Qayyim. Tasyri’ menurut beliau kufur akbar.
3. Asy Syaikh Asy Syinqithi berkata: Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah, dan dia mengetahui bahwa dirinya melanggar dosa, melakukan yang buruk, dan hanyasanya yang mendorong berbuat demikian adalah hawa nafsunya, maka termasuk dalam golongan orang-orang yang maksiat dari kalangan kaum muslimin. (Adhwa’ul Bayan 2/103. Tasyri’ menurut beliau kufur akbar. (rujuk yang telah tersebut sebelumnya)
4. Dr. Umar bin Abdur Rahman. (lihat Ashnaful Hukkam hal 59-61)
5. Dan lain sebagainya.
4. Golongan keempat, Yaitu golongan yang bermazhab bahwa ayat tersebut tidak mengandungi kecuali kufur akbar. Adapun hujjah-hujjahnya banyak sekali, tidak mungkin saya sampaikan semuanya di sini dan saya tidak berani meringkasnya khawatir kurang tepat. Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz telah menyampaikan masalah ini dalam buku beliau yang berjudul “……………………..” termasuk bagian dari kitab Al Jami’ buku 13. beliau telah jelaskan secara rinci dan detil dalam 256 halaman. Pembaca dipersilakan membacanya.
Di sini saya hanya akan menunjukkan sebagian dari kurang kuatnya hujjah pembagian dua kufur asghar dan akbar dalam ayat tersebut sebagaimana mazhab golongan ke 1, 2, dan 3. Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dikatakan kufur akbar dengan alasan jika hakim dalam keadaan juhud, atau istihlal atau memandang remeh dan hina, menganggap hukum yang lain lebih bermaslahat dan sebagainya yang bersifat i’tiqad. Sebenarnya alasan ini lemah dan Al Allamah Ibnul Qayyim sendiri melemahkannya, sebagaimana ucapan beliau: Dan di antara mereka ada yang mentakwil ayat tersebut di atas meninggalkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah karena juhud (ingkar) terhadapnya. Ini adalah ucapan Ikrimah dan ia merupakan takwil yang marjuh (lemah). Karena juhudnya sendiri itu kufur, baik dia berhukum atau tidak berhukum. (Madarijus Salikin 1/336)
Ucapan beliau ini melemahkan hujjah beliau sendiri. Beliau dalam menghukumi seorang hakim kufurnya kufur akbar, jika hakim tersebut meyakini tidak wajibnya berhukun dengan hukum Allah dan dia bebas memilih. Saya katakan: Bahwa keyakinan ini kufur, baik dia berhukum atau tidak berhukum. Dan demikian juga semua alasan-alasan tersebut di atas seperti istihlal, memandang remeh dan hina, menganggap hukum yang lain lebih afdhal dan lebih membawa maslahah dan sebagainya. Seluruhnya adalah kufur akbar.
Oleh karena itu dalam qaidah takfir menurut ahlus sunnah bahwa syarat-syarat itu (juhud, istihlal, dan sebagainya) disyaratkan adanya dalam pengkafiran dosa-dosa yang tidak mengkafirkan seperti berzina, mencuri, dan sebagainya. Dengan kata lain kemaksiatan-kemaksiatan yang tidak ada nash yang mengkufurkannya atau ada nash yang mengkufurkannya tetapi ada nash lain atau qarinah yang menunjukkan bukan kufur akbar. Sedangkan berhukum dengan selain hukum Allah, nashnya sangat jelas akan kufur akbarnya dan tidak ada satu dalilpun dari kitab maupun sunnah yang memalingkan menjadi kufur asghar. Adapun ucapan shahabat tidak bisa mentakhshish ayat, atau memalingkan ayat, apalagi ucapan tersebut diperselisihkan di kalangan shahabat ditambah lagi riwayatnya diperselisihkan.
Maka sadar atau tidak sadar, sebenarnya penamaan kufur akbar tersebut bukan pada berhukum atau meninggalkan hukum, tetapi pada manath (gantungan) hukum kufur yang lain yaitu istihlal, juhud dan sebagainya, dan berarti menganggap bahwa berhukum dengan selain hukum Allah atau meninggalkan hukum itu seperti maksiat biasa. Dan pemahaman seperti ini jelas bertentangan dengan nash ayat tersebut. Sebab dalam ayat itu Allah Ta'ala dengan gamblangnya meletakkan manath hukum kufurnya kufur akbar yaitu pada perbuatan (meninggalkan berhukum kepada hukum Allah), berarti kufur dengan perbuatan, dan Allah Ta'ala tidak mensyaratkan kufurnya dengan syarat-syarat seperti juhud, istihlal, dan sebagainya. Maka apa alasannya membuat syarat-syarat yang Allah tidak mensyaratkannya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang mensyaratkan satu syarat yang bukan dari Kitabullah, maka ia adalah batil meskipun seratus syarat. (H.R. Al Bukhari dan Muslim)
Pembagian yang kedua yaitu penamaan kufur asghar dengan alasan-alasan seperti jika si hakim meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya, hukum yang benar, tetapi dia mengikut syahwat dan hawa nafsu dan lain sebagainya. Alasan-alasan seperti ini sebenarnya dibuat-buat oleh mutaakhkhirin untuk menyesuaikan ucapan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas radliallahu 'anhu “kufrun dunna kufrin” dengan kufur akbar yang terkandung dalam ayat tersebut (juhud), dan menjadikan kufur asghar dalam ucapan Ibnu Abbas pada orang yang meyakini wajibnya.
Maka menjadikan kufur asghar dengan alasan seperti itu jelas salahnya, sebab justru di antara sebab turunnya ayat tersebut gambarannya persis dengan itu keadaannya dan Allah Ta'ala kufurkan dengan kufur akbar, sedangkan gambaran sebab nuzul ayat adalah qath’iyyatud dukhul dalam nash. Dan orang-orang yang Allah Ta'ala kafirkan dalam nash itu mereka mengakui bahwa hukum rajam itu dari sisi Allah, akan tetapi mereka tidak berhukum dengan rajam karena mengikuti hawa nafsunya, karena pada hakikatnya semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah mesti mereka mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah Ta'ala (Al Maidah: 49), (Shad (38): 26), (Al Qashash: 50) dan (Al Jatsiyah: 18)
Dari ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya jelaslah bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan setiap orang yang yi mengikuti Rasul dan orang yang tidak mengikuti syari'at sudah pasti mereka mengikuti hawa nafsu. Maka hanya ada dua saja tidak ada yang ketiga, yaitu haq atau hawa nafsu. Maka orang-orang yang dikafirkan Allah Ta'ala dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mengakui akan kewajiban hukumnya, akan tetapi mereka tidak berhukum dengan hukum yang diwajibkan kepada mereka karena mereka mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian menjadikan kufur asghar dalam ayat tersebut dengan alasan jika hakim mengakui wajibnya, dan berhukum dengan selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu adalah bertentangan dengan nash yang ada.
Selanjutnya mari kita lihat bagaimana mazhab ulama idola kita seperti Al Allamah Ibnu Katsir, Syaikhul Islam Muhammad Abdul Wahhab dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini.
5. Al Allamah Ibnu Katsir rahimahullah.
Beliau dalam mentafsirkan ayat tersebut tidak mengikuti tarjih Ibnul Qayyim rahimahullah, padahal beliau hidup sezaman atau sesudahnya sebab Ibnul Qayyim wafat tahun 751 H, sedangkan beliau wafat tahun 774 H. Beliau dalam mentafsirkannya hanya memaparkan ucapan-ucapan ahlul ilmi dari kalangan shahabat dan tabi’in dan ikhtilaf mereka dalam mentafsirkan ayat tersebut. Pertama, beliau tampilkan yang bermazhab kufur akbar yaitu Ibnu Mas'ud dan Assadi’. Kedua yang bermazhab kufur akbar jika disertai juhud, dan ketiga yang bermazhab kufrun duna kufrin dan beliau tidak mentarjihnya. (lihat tafsir Ibnu Katsir 2/63-64)
Menurut pendapat saya – wallahu a'lam – sikap beliau tidak mentarjih pendapat-pendapat tersebut termasuk sifat wara’ beliau, mungkin karena beliau memandang kurang bermaslahah atau beliau bersikap yang baik pada diri seorang mufti adalah mentarjih dari pendapat-pendapat yang ada. Akan tetapi menurut penilaian saya – wallahu a'lam – beliau ada kecenderungan bermazhab kufur akbar meskipun dalam mentafsirkan ayat ini tidak dilahirkan, adapun alasan saya: 1. Beliau meletakkan mazhab ahlul ilmi yang menyatakan kufur akbar pada urutan pertama. 2. Beliau jelaskan mazhab ini dengan sejelas-jelasnya dalam mentafsirkan ayat berikutnya, yaitu ayat 50 surat Al Maidah yang mana beliau menjadikan tidak manath hukum (meninggalkan hukum Allah, membuat syari'at selainnya dan berhukum kepada syari'at yang dibuat) seluruhnya merupakan kufur akbar, tanpa adanya syarat-syarat juhud, istihlal dan sebagainya ansih dengan perbuatannya saja dia kafir. Perhatikan bahasa beliau saya nukilkan di sini sebagai contoh. Berkata Ibnu Katsir:
Artinya: Maka barang siapa yang berbuat demikian maka dia kafir wajib memeranginya sehindda dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya lalu tidak berhukum kepada selainnya dalam sdikit dan tidak juga banyak. (Allah Ta'ala berfirman: Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari?)
Ada orang yang berpenyakit hatinya mengatakan bahwa fatwa Ibnu Katsir tersebut khusus untuk Tartar saja. Ucapan tolol ini tertolak dari segala seginya. Karena Tartar hanya sebagai contoh saja, bahkan selain Tartar beliau telah menyebutkan juga, kata beliau: sebagaimana ahlul jahiliyah berhukum dengannya. Dengan demikian keadaannya adalah persis dengan hukum undang-undang jahiliyah pada masa kini.
Dengan keterangan ini jelaslah bahwasanya menurut Al Allamah Ibnu Katsir orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah (seperti para penguasa hari ini yang berhukum dengan hukum yang mereka sebut positif) adalah kafir kufur akbar.
6. Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Saya tidak menemukan data untuk sementara ini penafsiran beliau berkenaan ayat tersebut. Selain bahwa beliau telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa orang yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah adalah salah satu dari kepala-kepala thaghut yang menurut beliau ada lima, sebagaimana yang telah saya paparkan sebelumnya, dan hal ini dikuatkan lagi oleh ucapan beliau bahwa penguasa yang dzalim yang merubah hukum-hukum Allah Ta'ala juga termasuk salah satu dari kepala thaghut dengan dalil firman Allah (An Nisa’: 60). Sedangkan tidaklah sesuatu dianggap thaghut kecuali kufur akbar, sebagaimana fatwa masyayikh sebelumnya. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa menurut syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab kufur dalam ayat tersebut adalah kufur akbar, tanpa syarat-syarat seperti juhud, istihlal, dan sebagainya. Dan kita bisa simpulkan juga bahwa menurut beliau para penguasa hari ini yang berhukum tidak dengan hukum Allah alias dengan undang-undang buatan mereka adalah thaghut-thaghut dan tidaklah thaghut itu kecuali kafir kufur akbar.
7. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Saya juga belum menemukan data penafsiran beliau untuk ayat tersebut, silakan bagi ikhwan yang mempunyai kitab tafsir beliau mengeceknya. Akan tetapi yang jelas, tentang pengkafiran beliau terhadap golongan manusia sebagaimana yang dikafirkan oleh Ibnu Katsir memenuhi kitab-kitab beliau, sebagaimana sebagiannya sudah saya sebutkan sebelumnya. Apalagi para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, para ulama saja yang mengikuti hukum penguasa yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya beliau menghukumi ulama tersebut murtad dan kafir.
Supaya anda percaya saya nukilkan bahasa asli beliau:
Artinya: Dan kapan saja seorang alim meninggalkan apa yang diketahuinya dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan mengikuti hukum penguasa yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya, dia adalah murtad lagi kafir. Berhak dihukum di dunia dan di akhirat, Allah berfirman (Al A'raf: 1-3). Dan seandainya dia dipukul dan dipenjara dan disakiti dengan berbagai siksaan agar meninggalkan apa yang dia ketahui dari syari'at Allah dan Rasul-Nya yang wajib mengikutinya dan dia mengikuti hukum selainnya dia berhak menerima azab Allah. Bahkan seharusnya dia wajib bersabar jika disiksan di jalan Allah, karena hal ini merupakan sunnatullah dalam kehidupan para nabi-nabi dan para pengikut mereka. Allah Ta'ala berfirman (Al Ankabut: 1-3). Majmu'ul Fatawa 35/373.
Jikalau seorang ulama yang mengikuti hukum penguasa yang menyelisihi hukum Allah beliau hukumi dengan murtad lagi kafir, maka bagaimana pula menurut pendapat akal sehat anda hukum yang sesuai yang harus dikenakan terhadap para ulama yang mengikuti undang-undang kufur dan syari'at jahiliyah para thawaghit pada hari ini? Dan bagaimana juga menurut pikiran normal anda hukum para thaghutnya yang berhukum dengan syari'at dan undang-undang warisan para penjajah kafir dan warisan nenek moyang itu? Kalau seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah hidup, apa kira-kira putusan hukum yang dikenakan terhadap mereka? Seperti kaum Ubaidiyyin kah? Ataukah seperti penguasa Tartar? Ataukah seperti Ibnu Arabi dan sejenisnya? Ataukah seperti pengikut Musailamah Al Kadzdzab? Ataukah sebagaimana orang-orang yang enggan membayar zakat? Dan ataukah lebih kufur dari itu semuanya? Dan ataukah malah beliau menggelari sebagai amir jama’atil muslimin atau imam sawadul a'dzam seperti gelaran yang diberikan oleh ghulat murjiah pada hari ini kepada mereka? Jawab sendiri dengan sejujur-jujurnya.
Dengan keterangan yang sedikit itu, menjadi jelaskah bahwasanya ternyata di sana terdapat perbedaan antara mazhab masyayikh dengan mazhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah iman dan kufur serta takfir termasuk masalah meninggalkan hukum Allah, membuat syari'at selainnya dan berhukum kepadanya.
Itulah sekilas keterangan tentang masyayikh dan mazhabnya dalam masalah yang kita bahas. Kemudian sebagaimana murid Asy Syaikh Al Bani membela mazhab syaikhnya, maka tidak jauh berbeda juga dengan murid para masyayikh dan para pengikutnya, mereka juga membela mazhab masyayikh, posisinya dan sesuatu yang dibela masyayikh. Berbagai-bagai macam ucapan dan tulisan – hanya Allah Ta'ala Yang Maha Mengetahui jumlahnya – senada dengan mazhab masyayikh, dan untuk menguatkan mazhab tersebut dinukillah sebagian ucapan-ucapan ulama salaf termasuk Ibnu Taimiyah rahimahullah, sehingga para pembaca yang tidak mempunyai kelapangan membuka secara langsung kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan enggan membaca kitab-kitab ulama mujahidin yang berbeda mazhab dengan masyayikh dalam masalah ini, karena tidak ada informasi lain yang masuk dalam benaknya, maka mereka menyangka mazhab masyayikh dan murid-muridnya sama dengan mazhab Ibnu Taimiyah dan sebagainya. Dan musibah ini banyak menimpa manusia hari ini, termasuk para pengasuh majalah Asy Syari'ah, hal ini juga termasuk salah satu sebab tercampur baurnya i’tiqad dan pemahaman mereka dalam masalah iman dan kufur sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar