Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 04


·        Fatwa ulama tentang Tartar dan siapa Tartar.
Agar lebih jelas dalam persoalan ini kita ambil contoh dari pakar fatwa (mufti) kita yang sudah tidak asing lagi bagi ahlus sunnah yaitu syaikhul Islam Imam Taqiuddin Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Di dalam Majmu’ul Fatawa 28/510 dinyatakan bahwasanya ketika beliau ditanya tentang hukumnya memerangi Tartar beliau menjawab (berfatwa): Ya, wajib memerangi mereka berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan kesepakatan imam-imam kaum muslimin.
Fatwa ini dibangun di atas dua ashl (dasar pokok) yaitu:
1.      Mengatahui keadaan Tartar dengan sebenar-benarnya.
…………………………………….
2.      Mengatahui hukum Allah Ta’ala pada orang-orang yang seperti mereka.
……………………………………
            Saya katakan: Siapakah sebenarnya Tartar itu, sehingga ditanyakan kepada Syaikhul Islam, apa hukumnya memerangi mereka dan beliau menjawab wajib hukumnya memerangi mereka. Di sini perlu saya jelaskan meskipun dengan singkat agar tidak terjadi kekeliaruan, banyak orang keliru dalam memahami Tartar dan pemerintahannya, seolah-olah digambarkan bahwa mereka tidak mengenal sama sekali tentang Islam, melarang seluruh kaum muslimin berhukum dengan syari'at Islam dan mewajibkan atas em untuk berhukum dengan undang-undang warisan nenek moyang mereka (Al Yasiq). Tidak demikian yang terjadi, untuk memudahkan gambaran ringkasnya sebagai berikut:
v     Datuk mereka bernama Jenghis Khan seorang penyembah berhala, dia yang meletakkan dan undang-undang yang disebut Al Yasiq (Ilyasa) yaitu sebuah kitab undang-undang dari kumpulan hukum-hukum yang diambil dari multi syari'at, dari Yahudi, Nasrani, millah Islamiyah dan lainnya. (buku Tafsir Ibnu Katsir 2/67). Dia meninggal pada tahun 624 H.
v     Tartar penyembah berhala dan Mongolia (Mongol atau Mongolia  kalau kita lihat dalam peta dunia adalah negara yang terletak antara Rusia dan Cina, di sebelah selatan dari Rusia dan di sebelah utara dari Cina) mereka menjajah dan menyerang kaum muslimin dan berhasil menguasai wilayah negara Islam  (Iraq) pada tahun 656 H di bawah pimpinan Hulaghu Khan cucu Jenghis Khan.
v     Di antara pimpinan mereka yang pertama kali masuk Islam adalah Sultan Ahmand bin Hulaghu pada tahun 680 H (Lihat Watsiqul Hurubish Shalibiyah wal Ghazwil Moghol – Dr. Mahir Hamadah hal 80).
v     Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwasanya di antara peristiwa yang terjadi pada tahun  694 H, salah seorang raja Tartar bernama Qazan/Ghazan bin Arghun bin Ahghabun Toli bin Jenghis Khan telah masuk Islam dan mendhohirkan Islamnya di atas tangan Amir Tuzon rahimahullah dan masuklah Tartar atau kebanyakan mereka ke dalam agama Islam, dia membagi-bagikan emas, perak, dan permata di depan khalayak ramai pada hari keislamannya dan dinamakan dengan Mahmud. (Al Bidayah wan Nihayah 13/360)
            Pada tahun 699 H, Qazan mengirim surat kepada wakilnya yang memerintah negeri-negeri Syam yaitu Saifuddin Qabjiq, yang mana risalah atau surat tersebut dibacakan di atas mimbar-mimbar Damsyik (Damaskus) pada tahun 699 H, di antara kandungan surat tersebut Qazan mengatakan: Dan wajib atas raja besar pemimpin para amir-amir Saifuddin untuk bertaqwa kepada Allah dalam hukum-hukumnya dan takut kepada-Nya untuk membatalkan dan melepaskannya, mengagungkan syari'at dan penguasa-penguasanya/hakim-hakimnya dan seterusnya.. dan agar supaya menegakkan hukum hudud dan qishas terhadap setiap orang yang wajib diqishas ….. (watsaiqul hurubish shalibiyal wal ghazwil mughuli hal 403-406)
v     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah wafat pada tahun 728 H. Berarti satu zaman dengan Sulthan Ahman bin Hulaghu yang masuk Islam pada tahun 680 H. Demikian juga sezaman dengan Qazan cucu Jenghis Khan yang masuk Islam pada tahun 699 H.
v     Al Allamah Ibnul Katsir lahir pada tahun 701 H dan beliau wafat pada tahun 744 H. Berarti juga sezaman dengan mereka.
v     Tartar adalah kaum yang pertama kali dalam sejarah Islam yang menisbahkan diri sebagai orang-orang Islam tetapi berhukum dengan selain syari'at Islam. (Al Jami’ 13/169)
v     Raja-raja Tartar yang mengaku Islam berhukum selain dengan hukum yang diturunkan Allah yaitu undang-undang Alyasiq. Di kalangan mereka sendiri, hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam: Dan mereka tidak mewajibkan berhukum dengan hukum Allah di antara mereka. (Majmu’ul Fatawa 28/505), demikian juga pernyataan Al Allamah Ibnu Katsir: … maka Al Yasiq menjadi syari'at yang diikuti di kalangannya. (Tafsir Ibnu Katsir 2/67). Dan sebagai bukti juga surat Qozan kepada Saifuddin yang telah tersebut di atas bahkan memerintahkan untuk melaksanakan hukum hudud dan sebagainya. Berarti meskipun mereka menguasai negeri-negeri kaum muslimin seperti Khurasan, Iraq, dan Syam tetapi mereka tidak mewajibkan terhadap negeri-negeri tersebut untuk melaksanakan undang-undang produk mereka (Al Yasiq) dan mengizinkan negeri-negeri tersebut melaksanakan syari'at Islam. Jadi kalau dibuat perbandingan antara penguasa Tartar dan penguasa pada hari ini:
1.      Mereka sama-sama mengaku beragama Islam.
2.      Mereka sama-sama berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
3.      Para penguasa Tartar melaksanakan hukum dan undang-undang Wad’iyah itu terhad di kalangan mereka dan tidak mewajibkan seluruh negeri-negeri kaum muslimin untuk melaksanakan dan mengikuti undang-undang mereka bahkan memberi izin dan dorongan untuk melaksanakan syari'at Islam termasuk hukum hudud yang hari ini paling dibenci di sini oleh kaum kuffar dan murtaddin serta munafiqin dan sebagainya.
4.      Para penguasa hari ini mewajibkan setiap muslim untuk mengikuti undang-undang wad’iyah dan tidak boleh ada satu jengkal pun bumi di bawah kekuasaannya diatur dengan syari'at Islam.
5.      Kesimpulannya: Jika Anda termasuk manusia yang masih ada akal yang sehat apalagi jika iman Anda sehat tentu akan mengatakan bahwasanya para penguasa masa kini adalah lebuh kufur, lebih sesat dan lebih buruk daripada para penguasa Tartar.
Itulah sebagian keadaan Tartar sebagai gambaran saja, dan sudah tentu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagai seorang ‘alim tokoh ahlus sunnah yang boleh dikata luar biasa dari segala seginya tidak ada yang membencinya kecuali ahluz zaigh, ahlul bid'ah dan ahludh dhalalah, beliau telah diselamatkan Allah dari segala bid’ah, bid’ah takwil, bid’ah irja’, bid’ah kalam, bid’ah tashawuf, bid’ah ifrath, bid’ah tafrith dan sebagainya, maka sudah pasti beliau jauh lebih memahami keadaan Tartar apalagi beliau menyaksikan krenahnya secara langsung. Dalam Majmu’ul Fatawa 18/501-502 beliau ditanya: Mereka Tartar mengaku berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat, dan mengaku haram memerangi pasukan mereka karena mereka mengaku telah mengikuti ashl (pokok) Islam. Beliau ditanya lagi: Apa yang dikatakan oleh para pembesar ulama…tentang orang-orang Tartar yang datang masuk ke Syam berkali-kali, dan mereka mengucapkan syahadatain, mereka menisbahkan diri kepada Islam dan tidak tetap di atas kekufuran sebagaimana pada awalnya. (Majmu’ul Fatawa 28/509). Ini tadi berkenaan dengan pengakuan mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang Islam. Adapun tentang mereka berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah padahal mereka mengaku Islam, dalam hal ini beliau berkata: Dan mereka tidak mewajibkan berhukum di kalangan mereka dengan hukum Allah, akan tetapi mereka berhukum dengan hukum yang dibuat sendiri kadangkala sesuai dengan Islam dan kadang kala bertentangan. (Majmu’ul Fatawa 28/505). Dan masih banyak lagi komentar beliau tentang Tartar silakan merujuk Al Fatawa.
Sesudah beliau memahami waqi’ Tartar dengan jelas dan gamblangm maka beliau mengeluarkan fatwa antara lain: Mereka wajib diperangi (Majmu’ul Fatawa 28/510 dll). Bahkan dengan begitu tegas mengatakan: Apabila kalian melihat aku berada di pihak mereka dan di atas kepalaku ada mushaf (Al Qur’an) maka bunuhlah aku. (Al Bidayah wan Nihayah 14/25)
Kenapa mereka wajib diperangi? Di antara alasan beliau, mereka adalah kelompok yang enggan berpegang dengan syari'at Islam dan tidak mau melaksanakannya serta keseluruhannya, meskipun mereka mengucapkan syahadatain dan mengikuti ssebagian syari'at Islam mereka juga mengkuti selain syari'at Muhamad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menghukumi mereka kafir murtad sebagaimana murtadnya orang-orang yang enggan membayar zakat di zaman Abu Bakar Ash-Shadiq radliallahu 'anhu (buka Majmu’ul Fatawa dalam banyak tempat, antara lain 28/501-509, 519, 524, 502-502 dll)
Dan Allamah Ibnu Katsir rahimahullah murid beliau dan sebagai seorang alim dan tokoh ahlus sunnah yang agung beliau juga diselamatkan Allah Ta’ala dari segala bentuk bid’ah (bukan berarti tidak pernah salah, ada kesalahan tetapi kesalahannya kesalahan biasa bukan pada prinsip, tidak seperti misalnya Imam An Nawawi, Al Qadhi Iyadh dan Ibnu Hajar rahimahullah beliau-beliau juga tokoh-tokoh ahlus sunnah, tetapi dalam memahami masalah iman bermazhab murjiah (Asyairah) dan sebagian mentakwil sifat Ibnu Katsir dengan tegas dan jelas menyatakan: ….maka barang siapa yang berhukum dengan Al Yasiq mereka sungguh dia adalah kafir wajib memeranginya shingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, dan tidak berhukum dengan hukum lainnya baik sedikit ataupun banyak. Tafsir Surat Al Maidah (5): 50. (Lihat Tafsit Ibnu Katsir 2/67)
Demikianlah contoh mengeluarkan fatwa yang diajarkan oleh salaf kita yaitu wajib memahami waqi’ dan memahami hukum Allah pada waqi’. Akan tetapi yang menyedihkan, fatwa yang dikeluarkan oleh Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed dan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. tidak demikian halnya. Fatwa tersebut hanya sekedar menukil fatwa-fatwa dari masyayikh terutama yang tertulis dalam kitab Fiqh Siyasah Syar’iyyah dan kitab Mu’amalatul Hukam. Mengeluarkan fatwa dengan menukil aqwal masyayikh bukan tidak boleh sama sekali, boleh tetapi perlu memilah-milahkan persoalannya, misalnya fatwa masyayikh tentang haramnya merokok, kita boleh menyampaikan dimana saja hanya mungkin perlu memperhatikan maslahah dan mudharatnya saja, dan dalam menyikapi perokokpun tidak boleh kita samakan dengan peminum khamr, sebab khamr dalilnya qath’i sedangkan rokok dzonni. Mengeluarkan fatwa rokok tidak perlu fahmul waqi’, maka kita boleh menukil begitu saja dari para ulama atau para masyayikh, akan tetapi malangnya kedua ustadz tersebut tidak membedakan antara fatwa rokok dan fatwa terhadap satu bentuk pemerintahan. Sedangkan menghukumi satu bentuk pemerintahan diperlukan banyak modal ilmu, termasuk fahmul waqi’ dan fahmul wajib fil waqi’. Jika hal ini tidak ditempuh dan hanya sekedar menaqal atau menukil saja, maka hasilnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Allamah Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang telah disebutkan di atas yang maksudnya: Barang siapa berfatwa hanya sekedar dengan menukil dari kitab-kitab sedangkan kitab-kitab yang dinukil yang berisi fatwa-fatwa tersebut berlainan dengan a. urf mereka. b. kebiasaan mereka. c. zaman mereka. d. tempat mereka. e. kondisi (keadaan mereka). f. indikasi-indikasi keadaan-keadaan mereka, maka sungguh dia telah sesat dan menyesatkan. (lihat I’lamul Muwaqi’in 3/89)
Qaul beliau yang lain yang juga sudah sisampaikan sebelumnya maksudnya dan ringkasnya: Ma’rifatun nas (mengerti manusia) adalah merupakan ushul yang bersar seorang yang berfatwa mesti memahaminya sebagaimana memahami dalam masalah perintah dan larangan Allah (fahmul wajib fil waqi’), kemudian menyesuaikan satu dengan yang lainnya (antara keadaan manusia dengan dalil yang ada). Jika tidak berbuat demikian, maka apa yang dirusak oleh orang yang berfatwa itu lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki. Karena jika dia tidak faqih dalam dalil-dalilnya dan tidak memahami keadaan manusia, maka pemahamannya akan menjadi terbalik yang zalim dianggap mazlum atau sebaliknya, yang sholeh dianggap tholeh atau sebaliknya, yang zindiq dianggap shiddiq atau sebaliknya, yang wajib dikenakan bara’ terhadapnya malah diberikan wala’ kepadanya atau sebaliknya. Dan seterusnya. (silakan rujuk lagi terjemahan aslinya di atas).
Ana katakan bahwa qaul Al Allamah Ibnul Qayyim tersebut betul-betul sesuai dengan keadaan Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed dan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. karena beliau telah mengeluarkan fatwa dengan tanpa ma’rifatun nas sesuai dengan syar’i dan tidak memahami dalil-dalil syar’inya, dengan demikian ana nyatakan bahwa beliau berdua dalam masalah ini telah tersesat dan menyesatkan manusia dan pemahamannya serta sikap amalinya menjadi terbalik dan sungsang. Insya Allah kesesatan-kesesatan dan kesungsangannya sebagiannya akan ana tunjukkan pada bahasan akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar