Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 05


     Ahkamud Diyar (Hukum Negara)
Sebelum itu baiklah di sini kita bahas seperlunya masalah yang berkaitan dengan “ahkamud diyar” (hukum-hukum yang berkaitan dengan negeri-negeri). Mudah-mudahan dapat memperjelas bahasan kita.
1.      Dasar terbaginya dunia menjadi dua bentuk negeri.
            Negeri-negeri yang ada di dunia ini terbagi-bagi menjadi dua macam yaitu negeri Islam (darul Islam) dan negeri kafir (darul kufri). Pembagian ini berdasarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala sebagai Nabi terakhir adalah umum kepada seluruh manusia, umum secara tempat kepada seluruh penduduk bumi, dan umum dari sisi masa atau zaman yaitu ari waktu beliau diutus hingga hari kiamat. Dengan keumumannya diutusnya beliau dan dakwahnya maka manusia terbagi menjadi dua golongan mukmin dan kafir, kemudia sesudah itu Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman berhijrah dari kalagan orang-orang kafir, dan Allah Ta’ala mentaqdirkan bagi mereka adanya para anshar di Madinah sehingga Madinah menjadi darul hijrah dan tempat berkimpulnya para muhajirin dan di sinilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membentuk negeri Islam dan wajibnya hijrah ke Madinah berlangsung terus hingga Fathu Makah, kemudian setiap muslim yang tinggal bersama orang-orang kafir wajib berhijrah dengan demikian terbagilah negara menjadi dua bagian 1. negara Islam yaitu tempat berkumpulnya masyarakat kaum muslimin dan tempat penguasa mereka dan pemerintahannya. 2. Negara kafir yaitu tempat berkumpulnya masyarakat orang-orang kafir, tempat penguasa mereka dan pemerintahannya. Kemudian Allah Ta’ala mewajibkan atas orang-orang beriman memerangi orang-orang kafir sampai hari kiamat, maka negara mereka disebut juga sebagai darul harbi. Dalil-dalilnya dalam masalah ini silakan merujuk kitab al Jami’ fie Thalabil Imisy Syarif 9/87-88.
            Dalam hal ini ada peringatan penting: meskipun kami katakan bahwasanya keumuman risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan dasar terbaginya dunia menjadi dua bentuk negara, hal ini tidak berarti dua bentuk negeri tersebut mesti wujud bersamaan kedua-duanya di dunia selama-lamanya, dan untuk mensifati suatu negara itu sebagai negeri kafir tidak disyaratkan mesti wujud negara Islam di dunia. hal ini tidak termasuk dalam manatul hukmi (tempat gantungan hukum) atas diyar (negara-negara) sebagaimana yang akan dijelaskan nanti – Insya Allah - . bahkan boelh jadi para suatu saat bumi ini kosong dari negara Islam yang ada hanya negara-negara kafir, sebagaimana keadaan di masa awal Islam sebelum hijrah ke Madinah, dan sebagaimana keadaan pada zaman kita sekarang ini. Dan hal ini telah diisyaratkan dalam hadits Hudzaifah Ibnul Yaman pada masa fitnah, dalam haditsnya ia berkata:



Artinya: Maka apa yang baginda perintahkan kepadaku jika hal yang demikian itu menimpaku? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, kamu lazimi (tetapi) jama'atul muslimin dan imam mereka, aku katakan: jika mereka tidak mempunyai jama'ah dan imam? Beliau bersabda: Maka tinggalkanlah kelompok-kelompok (yang batil) itu semuanya. Walaupun kamu menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu, dan kamu dalam keadaan seperti itu. (H.S.R. Al Bukhari & Muslim)
            Demikianlah yang berhubungan dengan asas atau dasar pembagian dunia menjadi dua negeri.
2.      Dalil-dalil yang mendasari pembagian tersebut.
            Sebagian penulis masa kini misalnya Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam kitabnya “Aatsaarul Harbi Fil Fiqhil Islami” berpendapat bahwasanya pembagian dunia menjadi dua negeri itu tidak ada dasarnya dari Al Kitab dan As Sunnah, ia hanya merupakan ijtihad dari para fuqaha sesudah masa kenabian dan masa shahabat.
            Wajib diketahui bahwasanya pembagian ini merupakan ijma’ yang telah disepakati oleh para ulama ummat ini yang salaf mapun yang khalaf. Sedangkan yang namanya ijma’ itu sudah pasti disandarkan di atas dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, lihat Majmu’ul Fatawa 1/39. Di sini akan kami sebutkan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan pembagian ini.
1.      Dari Al Qur’an antara lain: S. Ibrahim: 13; S. Al A’raf : 88; An-Nisa: 97; Al Mumtahanah: 10; Al-Anfal: 72.
Pada dua ayat (Ibrahim:13 dan Al A’raf : 88) di sini idhafah dalam dua kalimat (…………..= bumi kami) dan (……………..= desa kami) yaitu: idhafah bumi dan kampung kepada dhamir mutakallimin (……..= kami) yang bearti idhafah atau penisbahan kepemilikan, maka yang dimaksud bumi kami dan desa kami yaitu bumi orang-orang kafir dan desa orang-orang kafir yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan mereka yang menguasai dan mengontrol dengan bumi dan desa itu, di tangan merekalah hak memerintah, melarang, dan kekuasaan, oleh karena itu mereka mengultimatum rasul-rasul mereka, inilah di antara sifat negara kafir.
Adapun nash-nash yang lainnya khususnya yang menceritakan tentang hijrah, sebagai dalil yang jelas yang menunjukkan adanya dua buah bentuk negeri yaitu negeri Islam dan negeri kafir, karena istilah hijrah yang terdapat dalam nash-nash syar’i yang bentuknya muthlaq (umum) yaitu berarti berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam.
Dan termasuk nash dalam masalah ini juga firman Allah Ta’ala pada surah Al A’raf: 145.
2.      Dari As Sunnah: banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan akan wajibnya berhijrah, hal ini menunjukkan adanya pembagian dunia menjadi dua negeri, dan ada juga diantaranya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah ini:



Artinya: Tiap-tiap muslim terhadap muslim yang lain adalah diharamkan, keduanya merupakan saudara bersekutu, Allah Azza wa Jalla tidak menerima suatu amalan dari orang musyrik sesudah masuk Islam sehingga memisahkan (diri dari) kaum musyrikin dan (bergabung) kepada kaum muslimin.
Disamping hadits-hadits tentang wajibnya hijrah, terdapat juga nash-nash yang menunjukkan pembagian tersebut antara lain:
v     Hadits dari Ibnu Umar radliallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh imam Antara lain Bukhari & Muslim yang bermaksud bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf Antara lain Qur’an ke bumi musuh.
v     Hadits Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, hadits panjang yang membicarakan tentang rajam, di dalam hadits ini disebutkan bahwa Abdur Rahman bin Auf mengatakan kepada Umar bin Antara lain Khaththab radliallahu 'anhu di Mina: Maka tangguhkanlah sehingga Anda tiba di Madinah karena sesungguhnya ia adalah darul hijrah dan sunnah. (H.S.R Imam Al Bukhari, 6830)
v     Dan di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dengan isnad shahih dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar dan Umar adalah dari kaum muhajirin karena mereka hijrah meninggalkan kaum musyrikin, dan dari kaum anshar ada juga kaum muhajirin, karena Madinah semula adalah darusy syirk (negeri musyrik) lalu mereka datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam (bai’ah) aqabah.
v     Dan di antaranya juga hadits Abu Hurairah radliallahu 'anhu dalam kisah hijrahnya Islam berkata: tatkala aku datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam aku katakan dalam perjalanan ……………………………………………. Maksudnya: Aduhai malam yang begini panjangnya dan penuh jerih payahnya.
                     Namun bahwasanya ia telah menyelamatkan (kami) dari pada negeri/tempat tinggal/daerah/kabilah kafir.
v     Dan lain sebagainya (lihat Al Jami’ 9/89-92)
3.      Ta’rif (definisi) darul Islam (negeri Islam) dan darul kafir (negeri kafir).
            Dari dalil-dalil yang telah tersebut pada dua masalah di atas nampak jelas bahwasanya negeri Islam adalah negeri-negeri yang tunduk kepada kekuasaan atau pemerintahan kaum muslimin dan hukum mereka, sedangkan negeri kafir adalah negeri-negeri yang tunduk kepada kekuasaan kaum kafirin dan hukum mereka. di bawah ini kami akan tunjukkan beberapa qaul para ulama dalam masalah ini:
            Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Jumhur berkata, darul Islam adalah negeri yang diduduki kaum muslimin dan berjalan (berlaku) di atasnya hukum-hukum Islam, dan negeri yang tidak berjalan di atasnya hukum-hukum Islam tidak menjadi darul Islam meskipun berdampingan dengannya, maka Thaif adalah dekat sekali dengan Mekkah, tetapi ia tidak menjadi darul Islam dengan Fath (ditaklukkannya) Mekkah. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, Ibnul Qayyim 1/366)
            Berkata imam As-Sarakhsi Al Hanafi: Menurut imam Abu Hanifah rahimahullah bahwasanya negeri mereka menjadi darul harbi dengan tida syarat: 1. Jika antara ketetanggaan bumi yang ditinggalkan dan bumi harbi (kafir) tidak ada negeri bagi kaum muslimin. 2. Di dalamnya tidak tinggal seorang muslim yang aman dengan imannya. 3. Jika mereka memberlakukan hukum-hukum syirik di dalam negeri itu. Dan dari Abu Yusuf dan Muhammad rahimahullah jika mereka melahirkan hukum-hukum syirik di dalamnya maka negeri mereka telah menjadi negeri harb (kafir), karena sesungguhnya sebidang tanah itu dinisbahkan kepada kita atau kepada mereka  dilihat dari segi ‘kekuatan dan kemenangan’ maka setiap tempat yang di situ hukum Islam yang tampak dan kekuatan bagi kaum muslimin, maka negeri itu adalah darul Islam (negeri Islam). (Al Mabsuth, oleh As Sarakhsi 10/114. Maka dua shahabat Abu Hanifah rahimahullah ajma’in menjadikan manath (gantungan hukum) negeri: yaitu al ghalbah wal ahkam (kemenangan dan hukum-hukum).
            Para ulama tidak menganggap syarat-syarat yang disebutkan oleh Abu Hanifah rahimahullah sebagai syarat, sampai dua shahabat beliaupun (Al Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin al Hasan Asy Syaibani) menyelisihinya sebagaimana yang disebutkan oleh As Sarakhsi, dan ‘Alauddin Al Kasani juga menyebutkan dan ia menerangkan qaul kedua ulama tersebut katanya: Sesungguhnya setiap dar (negeri) yang didhafahkan baik kepada Islam ataupun kafir, hanyasanya dar (negeri) yang didhafahkan kepada Islam adalah negeri yang diterpkan di dalamnya hukum-hukumnya, dan didhafahkan kepada kafir jika diterapkan di dalamnya hukum-hukumnya, sebagaimana surga disebut darus salam karena di dalamnya terdapat keselamatan dan neraka disebut darul bawar karena di dalamnya wujudnya kebinasaan di dalamnya, dan karena hukum-hukumnya. (Bada’iush shana’untuk, Al Kasani 9/4375). Al Kasani menjadikan tempat gantungan hukum atas dar (negeri) yaitu: Bentuk hukum-hukum yang diterapkan di dalamnya.
            Ibnu Qudamah al Hambali juga mengkritik syarat-syarat Abu Hanifah, maka ia berkata: Dan kapan saja penduduk suatu negeri telah murtad dan berlaku di dalamnya hukum-hukum mereka, mereka menjadi darul harb, harta mereka boleh dijadikan sebagai ghanimah, istri dan anak mereka menjadi tawanan sesudah terjadi kemurtadan, dan wajib bagi imam memerangi mereka, karena sesungguhnya Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu 'anhu memerangi orang-orang murtad dengan jama’ah shahabat, dan karena Allah Ta’ala telah memerintahkan memerangi orang-orang kafir dalam banyak tempat dari kitab-Nya dan mereka sebenarnya lebih berhak diperangi karena dengan membiarkan mereka bisa memikat orang lain menjadi seperti mereka dan ikut murtad bersamanya, maka madharatnya sangat besar terhadap mereka, dan jika imam memerangi mereka, orang yang bisa dibunuh dari kalangan mereka naka dibunuh, yang lari kebelakang boleh dikejar, yang lukapun dibolehkan, dan harta mereka dijadikan ghanimah (harta rampasan perang). Dan dengan ini berkata Asy Syafi’i. Dan berkata Abu Hanifah: Tidak menjadi darul harb kecuali jika terkumpul tiga perkara. 1. Jika tetangga negeri kafir (darul harbi) tidak ada sesuatu antara keduanya dari darul Islam. 2. Tidak tinggal di dalamnya seorang muslim dan tidak pula seorang dzimmi yang aman. 3. Jika mereka memberlakukan hukum-hukum syirik di dalam negeri itu. Berkata Ibnu Qudamah: Dan menurut kami, sesungguhnya ia adalah negeri orang-orang kafir, di dalam negeri itu hukum-hukum mereka yang berlaku, maka ia adalah darul harbi. (Al Mughni Ma’Asy Syarhul Kabir 10/95. di sini Ibnu Qudamah menjadikan manathul hukmi (tempat gantungan hukum) atas dar (negeri) yaitu: Bentuk hukum-hukum yang berlaku di dalam negeri itu.
            Dan berkata As Sarakhsi dalam syarahnya untuk kitab (As Sainul Kabir): Dan negeri menjadi negeri kaum muslimin dengan berjalannya hukum-hukum Islam. (As Sairul Kabir, 5/2197)
            Dan menurut Al Qadhi Abu Ya’la Al Hambali: Setiap negeri yang di dalamnya hukum kufur yang menang bukan hukum-hukum Islam maka ia adalah negeri kafir. (Al Mu’tamad fie Ushuliddin, Abu Ya’la hal 276).
            Dan menurut Abdul Qahir Al Baghdadi seperti pendapat Al Qadhi Abu Ya’la Al Hambali tersebut – lihat tulisannya dalam “Ushuluddin hal 270”-.
            Dan berkata Asy Syaikh Manshur Al Bahuti: Dan wajib hijrah bagi orang yang tidak bisah menzhahirkan agamanya di negeri kafir yaitu negeri yang di dalamnya hukum kufur yang menang. (Kasysyaful Qina’, tulisan beliau sendiri 3/43)
Penjelasan tentang manathul hukmi (tempat gantungan hukum yang menentukan bentuk negeri yang Islam maupun yang kafir).
            Manathul hukmi adalah ‘illatul hukmi, ‘ulat dinamakan manath karena ia merupakan tempat gantungannya, dan dinamakan ‘illah karena ia meninggalkan bekas pada obyek seperti illat (penyakit) orang yang sakit. Maka illah adalah sifat yang digantungkan hukum ke atasnya, apabila terdapat sifat terdapat pula hukum dan jika tidak ada sifat hukum pun tidak ada, inilah makna qaul ulama:…………………………. Artinya: hukum itu berputar bersama illatnya adanya dan tidak adanya.
            Dari pendapat-pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menghukumi suatu negeri dengan dua sebab: 1. Kekuatan dan kemenangan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan yang telah tersebut sebelumnya. 2. Bentuk hukum-hukum yang diterapkan dalam negeri itu, sebagaimana pendapat seluruh ulama yang telah kami nukil di atas.
            Dan jika ditahqiq dua sebab tersebut sebenarnya sesuatu yang satu sebagai manathul hukmi (tempat gantungan hukum) untuk menentukan hukum suatu negeri, dan dua sebab itu tidak bertentangan satu dengan yang lain karena ‘menang dan hukum’ keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, orang yang menang tidak menjadi pemenang yang sebenarnya jika ia yang memiliki kendali memerintah dan melarang, maka perintah dan larangan adalah termasuk ekspresi yang paling penting dari kemenangan dan kekuasaan. Oleh karena itu penguasa yang muslim adalah penguasa yang menerapkan hukum-hukum Islam, kalau tidak dia bukan muslim. Dan penguasa yang kafir adalah penguasa yang menerapkan hukum-hukum kufur. Dan dengan demikian yang menjadi manathul hukmi dalam menentukan negeri adalah bentuk hukum-hukum yang diterapkan dalam negeri itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh dua shahabat Abu Hanifah rahimahullah yang dinukil oleh As Sarakhsi (rujuk qaulnya yang telah tersebut sebelumnya). Insya Allah akan dibahas. Jika orang kafir menguasai negeri Islam, tetapi hukum Islam tetap berlaku di negeri tersebut, berarti ‘penguasaannya kurang’ (as-istiilaaun naaqis), maka negeri tersebut tetap sebagai negeri Islam. Hal ini juga menunjukkan bahwa tempat gantungannya dikembalikan kepada hukum yang diterapkan.
            Dan perlu diperhatikan di sini bahwa keadaan manath: Bentuk hukum yang diterapkan di negeri, ia adalah sifat yang sesuai untuk menjelaskan dan menafsirkan bentuk suatun yang sebenarnya, yang demikian itu karena hukum yang mewarnai bentuk negeri dan bukannya hakim (penguasa)nya. Maka hukum-hukum Islam dengan apa yang diperintah dengannya dan yang dilarang darinya mewarnai negeri dengan shibghah Islamiyah (celupan yang Islami). Demikian juga hukum-hukum kufur dengan apa yang diperintah dengannya dan yang dibolehkannya dan dengan apa yang dilarangnya mewarnai negeri dengan celupan kufur, misalnya seperti membolehkan kemurtadan, ilhad, mencela dan menghina agama tanpa ada yang menghardik atau menghukum, termasuk juga membolehkan riba, zina , arak, tabaruj, dan pergaulan bebas, tidak menghukum orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat. Sebaliknya malah menghukum orang yang menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar khususnya dengan menggunakan tangan. Semua ini dan yang lain-lain adalah termasuk sifat-sifat darul kufri (negeri kafir). Maka hukum-hukum yang ada di suatu negeri yang mewarnai negeri itu dengan celupannya bukan penguasanya, sebab seandainya penguasa menghendaki sesuatu dari yang demikian itu tidak mungkin dapat menguasainya kecuali dengan perintah dan larangan. Inilah hukum-hukum ia  terdiri dari perintah dan larangan atau boleh (ibahah) dan seorang penguasa melaksanakan dan melakukan yang demikian itu dengan kekuatannya.
            Adapun di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya manathul hukmi atas negeri : bentuk hukum-hukum yang diekspresikan oleh pihak yang menang di dalam negeri itu adalah sebagai berikut :
v     Q.S. An-Nisa: 97; Al A’raf: 88; Ibrahim: 13
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya darul kufri (negeri kafir) adalah negeri di mana dalam negeri tersebut kemenangan dan hukum-hukum yang berlaku milik orang-orang kafir.
v     Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah Fathu Makkah …………………………………, “Tidak ada hijrah sesudah Fath” (H.S.R. Al Bukhari & Muslim). Sebelum Fathu Makkah, hijrah dari Mekkah hukumnya wajib sebab pada saat itu Mekkah adalah negeri kafir sampai Fath, lalu menjadi negeri Islam dan gugurlah kewajiban hijrah darinya. Yang berubah dengan Fath dan berubah hukum-hukum Mekkah bersamanya adalah berubahnya tangan yang menang terhadap Mekkah dari tangan kaum kuffar kepada tangan kaum muslimin dan dari sini terus diikuti perubahan hukum-hukumnya. Maka hal ini menunjukkan bahwasanya manathul hukmi atas negeri adalah tangan yang menang atasnya dan hukum-hukumnya mengikuti padanya. Maka sesungguhnya orang kafir berhukum dengan hukum-hukum orang-orang kafir dan orang muslim berhukum dengan hukum-hukum Islam kalau tidak dia benar-benar menjadi kafir. Dan dalam menerangkan manath ini, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: karena sesungguhnya negeri itu hanyasanya dinasabkan kepada yang menang atasnya, yang berkuasa di dalamnya dan yang memilikinya. (Al Muhalla 11/200). Inilah tempat gantungan hukum terhadap negeri (dar).
v     Tanqih Manathul Hukmi (tempat gantungan hukum) terhadap dar (negeri).
Berkata Asy Syaikh al Amin Asy Syinqithi: At tanqih menurut bahasa adalah at Tahdzib dan at Tashfiyah (pembersihan, pemurnian, dan pelurusan). Tanqihul manath maksudnya: membersihkan illat dan memurnikannya dengan membatalkan sesuatu yang tidak patut dijadikan sebagai penjelasan atau penafsiran serta pertimbangan yang baik baginya. (Mudzkhirah Ushulil Fiqh hal 292)
Sebagian orang salah dalam hal ini, mereka menyangka bahwasanya ermukimnya sejumlah besar dari kaum muslimin di sebagian negara dalam keadaan aman dan mampu mendhahirkan syiar-syiar agama mereka seperti azan, shalat, puasa, dan sebagainya sudah cukup negara tersebut bisa disebut negeri Islam. Sampai ada di antara mereka yang berkata: bagaimana kalian menyatakan bahwa negara fulan itu negara kafir sedangkan di ibukotanya saja terdapat lebih dari seribu masjid? Seluruhnya ini tidak menjadi perhitungan baginya kami telah terangkan bahwa “manathul hukmi ‘alad dar” yaitu tangan yang menang terhadap negeri itu dan hukum-hukum yang berlaku di situ, maka sifat-sifat selain itu tidak diambil kira dalam menghukumi suatu bentuk negara, apakah ia negara Islam atau negara kafir.
Di antara sifat-sifat yang wajib dibatalkan dalam konteks ini untuk memurnikan manath (tempat gantungan hukum) sebagai berikut:
1.      Agama mayoritas penduduk tidak termasuk manath dalam menghukumi suatu negeri.
Dalilnya: bahwasanya Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh orang-orang Yahudi, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaklukkannya pada tahun 7 H, beliau memutuskan orang-orang Yahudi diizinkan tetap tinggal di sana untuk melaksanakan program pertanian (hadits 4248 Al Bukhari), dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seorang amir dari kalangan shahabat Anshar (hadits 4246 al Bukhari), pada waktu itu mayoritas penduduk Khaibar beragama Yahudi sampai diusir oleh khalifah Umar bin al Khaththab radliallahu 'anhu pada masa khalifah beliau. Mayoritas penduduk Khaibar beragama Yahudi dan hal ini tidak menghalangi Khaibar sebagai darul Islam (negeri Islam) karena kekuasaan di tangan kaum muslimin dan berlaku di dalamnya hukum-hukum mereka (hukum Islam). Dalam hal ini berkata Ibnu Hazm: “Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di kalangan kaum musyrikin.” Menjadi jelas apa yang kami katakan, bahwasanya yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tinggal di darul harb (negeri kafir), jika tidak demikian tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memperkerjakan para pegawainya terhadap Khaibar sedangkan penduduknya seluruhnya orang-orang Yahudi. Apabila ahludz dzimmah berada di negeri-negeri mereka dan tidak ada yang mempergauli mereka selain mereka, maka orang yang tinggal bersama mereka untuk menjadi amir atau dalam rangka bisnis orang tersebut tidak dinamakan kafir dan tidak juga disebut penjahat, akan tetapi ia adalah seorang muslim yang muhsin dan negeri mereka adalah negeri Islam bukan negeri musyrik. Karena sesungguhnya negeri itu dinasabkan kepada yang menang atasnya, yang berkuasa di dalamnya dan yang memilikinya. (al Muhalla 11/200). Dan berkata Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i: Bukan termasuk syarat sebagai negeri Islam mesti terdapat kaum muslimin di dalam negeri itu akan tetapi cukup bahwa keberadaannya berada di tangan imam dan Islamnya. (Fathul Aziz Syarhul Wajiz, Ar Rafi’i 8/14) 
2.      Syiar-syiar Islam atau syiar-syiar kufur tidak termasuk manath dalam menghukumi suatu negeri.
      Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendhahirkan dien di Mekkah dan menyeru kepadanya dan mengatakan dengan tegas permusuhan dan bara’ahnya terhadap kaum musyrikin dan dari sesembahan-sesembahan mereka selain Allah. Hal ini terjadi  sebelum hujjah dari Mekkah, dan demikian juga para shahabat mereka mendhahirkan shalatnya dan membaca Al Qur'an dengan terang-terangan, akan tetapi dengan syiar-syiar tersebut Mekkah tidak menjadi negeri Islam, bahkan kaum muslimin berhijrah darinya sebab kemenangan di situ berada di pihak orang-orang kafir. Hal ini termasuk dapat menjelaskan kesalahan Al Mawardi rahimahullah yang mana ia berpendapat: Apabila seseorang mampu mendhahirkan dien dalam suatu negeri dari negeri-negeri kafir, maka berarti negeri tersebut menjadi negeri Islam, maka bertempat tinggal di situ lebih utama daripada meninggalkannya, karena diharapkan dengan keberadaannya yang lain akan masuk Islam. (Fathul Bari 7/229)
      Dan Asy Syaukani menukil ucapan tersebut dan ia mengkritiknya, katanya: Dan tidak samar lagi bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang memutuskan akan haramnya bertempat tinggal di negeri kafir. (Nailul Authar 8/178)
      Jika lawan dari itu maka benar kedudukannya dengan kata lain wujudnya sebagian orang-orang kafir sebagai ahludz dzimmah di negeri Islam dan mereka mendhohirkan syiar-syiar agama mereka, hal ini tidak menjadikan negeri itu menjadi negeri kafir, sebab zhahirnya syiar-syiar kafir itu bukan karena kekuatan mereka akan tetapi dengan izin kaum muslimin. Maka zhahirnya syiar-syiar tidak termasuk dalam menentukan hukum suatu negeri, sebagaimana yang dikatakan Asy Syaukani: I’tibar (penilaian) adalah dengan zhahirnya al kalimah (kalimatul Islam dan kalimatul kufri), maka jika perintah-perintah dan larangan-larangan di suatu negeri berada di tangan ahlul Islam yang mana orang-orang kafir di situ tidak bisa menzhahirkan kekufurannya kecuali hal itu telah diizinkan oleh ahlul Islam, maka ini adalah negeri Islam, tidak memberi madharat zhahirnya perkara-perkara kekufuran di dalam negeri itu karena zhahirnya bukan dengan kekuatan orang-orang kafir, dan tidak pula dengan kekuasaan mereka sebagaimana keadaan yang dapat disaksikan pada ahludz dzimmah dari orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang yang terikat perjanjian yang bertempat tinggal di negeri-negeri atau kota-kota Islam. Dan jika masalahnya sebaliknya, maka kedudukan negerinya juga sebaliknya. (As Sail Al …………)
3.      Wujudnya keamanan bagi segolongan dari penduduk tidak termasuk manath dalam menentukan hukum negeri.
Orang-orang kafir dzimmi mereka aman berada di negeri Islam hal ini tidak menghilangkan sama sekali sifat dan keadaan negeri Islam, kaum muhajirin dari kalangan shahabat yang berhijrah ke Habasyah mereka aman di sana sedangkan Habasyah adalah negeri kafir, dan kaum muslimin mereka juga aman dengan Mekkah sesudah perjanjian Hudaibiyah sampai Fathu Mekkah, sampai mereka dapat menunaikan umrah “Al Qadha” di celah-celah perjanjian itu, akan tetapi keamanan ini tidak menghalangi Mekkah disebut darul kufri (negeri kafir) sehingga ditaklukkannya. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Tidak ada hijrah sesudah Fath. Dan beliau tidak mengatakan: Tidak ada hijrah sesudah Shulh (perdamaian). Dari sini jelas bahwasanya manath yang merubah hukum negeri adalah kemenangan bukan ansih keamanan.
Demikianlah yang berhubungan dengan pensterilan al manath dan pemahaman tentang manathul hukmi terhadap negeri. Dari sini bisa diketahui bahwasanya negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim akan tetapi diperintah oleh para penguasa murtaddin dengan hukum-hukum orang-orang kafir yaitu undang-undang produk manusia (al qawaaniin al wadl'iyyah) seperti hari ini, maka negara-negara itu adalah negara-negara kafir meskipun mayoritas penduduknya muslim mereka bisa menjalankan syiar-syiar agama mereka seperti mengadakan shalat Jum’at, shalat jama’ah dan lain sebagainya dalam keadaan aman, walaupun demikian ia adalah negeri kafir karena  kemenangan dan hukum-hukum di situ di tangan orang-orang kafir, adapun kaum muslimin dapat menzhahirkan syiar-syiar agama mereka tersebut bukan karena adanya kekuatan kaum muslimin tetapi karena mendapatkan izin dari penguasa kafir. Seandainya penguasa tersebut ingin merubah keamanan mereka dengan ketakutan dan fitnah dengan kekuatannya dan tentaranya, hal ini bisa dilakukan kapan saja. Sebagaimana yang terjadi di beberapa negara pada hari ini dengan kedok nama memerangi teroris dan orang-orang ekstrim.
(Faedah) Bagian-bagian secara cabang bagi darul kufri (negeri kafir).
            Negeri kafir dibagi menjadi beberapa bagian lebih banyak dari yang bisa dibahasakan, akan tetapi nama yang merangkumi semua itu adalah darul kufri (negeri kafir) atau darusy syirki (negara musyrik). Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1.      Ditinjau dari segi keadaan kufurnya sejak lama atau datang tiba-tiba. Ini dibagi menjadi:
a.       Darul kufriil asli (negeri kafir yang asli): yaitu negeri yang belum pernah menjadi negeri Islam pada waktu dari waktu-waktu yang ada, misalnya Jepang, Cina bagian Timur, Inggris, Benua-benua Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Australia.
b.      Darul kufrith thari’ (negeri kafir yang bukan asli): yaitu negeri yang pernah menjadi negeri Islam lalu dikuasai oelah orang-orang kafir asli seperti Andalusia (Spanyol dan Portugis), Palestina, negara-negara Eropa Timur yang dahulu berada di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyah seperti Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, Yunani dan Albania.
c.       Darul riddah (negeri murtad): yaitu cabang dari negeri kafir yang bukan asli, ia adalah negeri yang tadinya negeri Islam kemudian dikuasai oleh orang-orang murtad dan diberlakukan hukum-hukum orang-orang kafir di negeri itu, seperti negeri-negeri yang hari ini dinamakan dengan negara-negara Islam, antara lain negara-negara Arab. Kebanyakan negara-negara tersebut telah menjadi negara kafir yang bukan asli yaitu sejak dikuasai oleh para penjajah salibis dan diwajibkan atas negara-negara tersebut berhukum dengan al qawaaniin wadl'iyyah (undang-undang buatan manusia) kemudian mereka pergi meninggalkan negara-negara itu dan mewariskan pemerintahannya kepada orang-orang murtad dari penduduk setempat dan anak bangsa sendiri. Di sana ada perbedaan-perbedaan dalam hukum-hukum fiqh antara darul kufri dan darul riddah, Al Mawardi menyebutkan dalam kitabnya (Al Ahkam As Sulthaniyah, hal 57). Asy Syaikh[1] menambahkan keterangannya katanya: Kami ingatkan di sini bahwasanya dalam tulisan-tulisan kami, kami mensifati negara-negara tersebut dengan negara-negara kaum muslimin, yang demikian itu dengan melihat keadaan mayoritas penduduknya, sifat tersebut tidak sama dengan istilah “darul Islam” bahkan negara-negara tersebut adalah negara-negara kafir dan murtad.
2.      Ditinjau dari segi hubungannya dengan negeri Islam, negeri kafir dibagi kepada:
a.       Darul harbi (negeri perang): yaitu negeri yang antara negeri itu dan negeri Islam tidak ada ikatan perjanjian perdamaian, dan penamaan suatu negeri dengan nama darul harbi itu tidak di syaratkan mesti terjadi perang secara nyata, akan tetapi cukup tidak adanya ikatan perdamaian sebagaimana yang telah disebutkan, dengan kata lain berarti kaum muslimin boleh memerangi penduduk negeri-negeri itu kapan saja mereka menghendaki dari sinilah ia dinamakan darul harbi.
b.      Darul ahdi (negeri yang terikat perjanjian): yaitu negeri yang antara negeri itu dengan negeri Islam terdapat muwada’ah, sulh dan hudnah (ikatan perjanjian damai). Seperti keadaan Mekkah dalam masa-masa antara perjanjian Hudaibiyah sampai Fathu Mekkah (6-7 H). Dan tidak boleh berdamai dengan orang-orang kafir dengan mengadakan ikatan perjanjian damai dan meninggalkan perang kecuali dengan melihat kepada kemaslahatan kaum muslimin misalnya firman Allah Ta’ala (QS. Muhammad: 35), yang demikian itu karena Allah Ta’ala mewajibkan kepada kita untuk memerangi mereka sehingga dien seluruhnya milik Allah, Allah Ta’ala tidak mewajibkan ke atas kita berdamai dengan mereka melainkan kita menghajatkan hal itu. Allah Ta’ala berfirman (QS. At Taubah: 5 dan Al Anfal: 39). Lihat Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir 10/517 dan As Sairul Kabir oleh Muhammad bin Al Hasan 5/1689. Dan ikatan perjanjian damai tidak boleh diadakan kecuali dari imam atau dari wakilnya. Memandang pada masa kini, imam tidak ada, akan tidak dianggap perjanjian yang shah menurut syar’i segala perjanjian-perjanjian yang bersifat internasional yang diadakan oleh penguasa-penguasa kafir karena dikeluarkan dari orang-orang yang tidak mempunyai wilayah secara syar’i terhadap kaum muslimin, maka wujudnya perjanjian-perjanjian itu seperti tidak wujudnya, karena sesuatu yang secara hukum tidak ada secara hakikatpun tidak ada.
3.      Ditinjau dari segi amannya seorang muslim terhadap dirinya di negeri itu, dalam hal ini negeri kafir dibagi kepada:
a.       Darul amn (negeri yang aman): yaitu negeri yang orang muslim aman terhadap dirinya di dalam negeri tersebut seperti Habasyah pada masa awal Islam, tatkala para shahabat berhijrah ke sana karena lari dari kejaran orang-orang kafir Mekkah.
b.      Darul fitnah (negeri fitnah): yaitu negeri yang orang Islam tidak aman atas dirinya tinggal di dalam negeri tersebut, seperti Mekkah pada awal Islam dan seperti kebanyakan negara-negara murtad pada hari ini.
(Faidah lain) Bagian-bagian secara cabang bagi darul Islam (negeri Islam).
            Kadang-kadang dalam buku-buku ahlul ilmi tertera istilah-istilah khusus bagian-bagian yang bersifat cabang bagi negeri Islam, misalnya:
a.       Darul baghyi (negeri bughat): yaitu satu negeri yang berada di wilayah darul Islam yang mana kelompok atau khawarij mengasingkan diri dengan membentuk pemerintahan sendiri dan menjalankan hukum-hukum di dalam negeri itu, dan dihadapi oleh darul adil (negeri yang adil) yang berada di bawah kekuasaan imam kaum muslimin.
b.      Darul fisq (negeri fasiq): Yaitu negeri yang berada di darul Islam yang dilanda kefasiqan, berkata Asy Syaukani: Ja’far bin Mubasysyir dan sebagian Al Hadawiyah bermazhab bahwa berhijrah dari negeri fasiq hukumnya waji karena diqiaskan dengan negeri kafir, qias ini adalah qias yang terdapat perbedaan, dan yang benar tidak wajib hukumnya berhijrah dari negeri fasiq karena ia adalah negeri Islam. (Nailul Authar 8/179). Kami katakan: Akan tetapi disunahkan meninggalkan negeri yang di dalamnya banyak maksiat, sebagaimana kisah dalam sebuah hadits orang yang membunuh seratus orang,dalam kisah itu dikatakan bahwasanya seorang alim memberitahukan kepada si pembunuh tersebut bahwa sesungguhnya termasuk hal yang dapat membantu dirinya bertaubat adalah berpindah dari negerinya yang disifatinya sebagai bumi yang jahat dan agar pergi ke suatu negeri yang dengannya ada kaum shalih sehingga ia dapat beribadah kepada Allah bersama-sama mereka.
c.       Dar ahlidz dzimmah (negeri ahlidz dzimmah): negeri ahlidz dzimmah yang tidak terkait dengan perjanjian dan perdamaian berarti termasuk bagian dari negeri kafir. Adapun negeri ahludz dzimmah adalah negeri Islam sebagaimana Khaibar setelah ditaklukkan kaum muslimin pada masa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Adapun sifat negeri ahludz dzimmah yaitu sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Al Hasan rahimahullah: Dan jika amir pasukan mengepung penduduk suatu kota dari kota-kota musuh, lalu sebagian mereka mengatakan kami masuk Islam, dan sebagian yang lain menjadi ahludz dzimmah, kami tidak meninggalkan rumah-rumah kami, maka jika kaum muslimin kuat untuk menjadikan bersama mereka dari kaum muslimin orang yang kuat untuk memerangi orang yang hadir dengan mereka dari ahlul harbi dan menghukumi pada mereka dengan hukum Islam, hal itu boleh dilakukan oleh amir. Berkata pensyarah As Sarakhsi: karena sesungguhnya memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka adalah mungkin, dan negeri menjadi negeri kaum muslimin dengan memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin, lalu imam menjadikannya sebagai negeri Islam dan menjadikan kaum (yang kafir yang ada di negeri itu) sebagai ahludz dzimmah. (As Sairul Kabir 5/2196-2197)
Asy Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz menambahkan keterangannya, bahwa maksud dari menyebutkan bagian-bagian itu adalah untuk memberitahukan kepada penuntut ilmu apabila membaca dan menemukan istilah-istilah tersebut dalam kitab-kitab ahlul ilmi.
4.      Perubahan sifat dar (negeri) dan hukumnya.
Sifat suatu negeri merupakan sifat yang tetap selama-lamanya, tetapi bisa berubag pada suatu saat menurut tangan yang berkuasa di negeri itu dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Boleh jadi tadinya negeri kafir kemudian berubah menjadi negeri Islam sebagaimana Mekkah pada awal Islam, dan bisa juga yang tadinya negeri Islam kemudian berubah menjadi negeri kafir seperti Andalus dan Palestina.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: Maka sesungguhnya keadaan bumi dan daru kufrin (negeri kafir) atau daru Islam atau iman (negeri Islam atau iman) atau daru salmin (negeri damai) atau harbin (perang) atau daru tha’atin (negeri ta’at) atau ma’shiyah (maksiat) atau daru mukminin (negeri orang-orang beriman) atau darul fasiqin (negeri orang-orang fasiq) adalah merupakan sifat-sifat yang insidental bukan tetap, kadang-kadang berpindah dari satu sifat kepada sifat yang lain sebagaimana pindahnya seseorang dengan sendirinya dari kufur kepada iman dan ilmu, demikian pula sebaliknya. (Majmu’ul Fatawa 27/45, dan beliau ulang-ulang hal ini pada 18/282 dan 27/143-144)
Telah bermazhab Ibnu Hajar Al Maki Al Haitami dalam kitabnya “Tuhfatul Muhtaj Lisyarbil Minhaj fi Fiqhisy Syafi’iyyah” bahwasanya darul Islam tidak menjadi darul kufri meskipun orang-orang kafir telah menguasai negeri tersebut dan memberlakukan hukum-hukum mereka di dalamnya, beliau mendasarkan pendapat ini dengan hadits …………………………………, artinya: Islam adalah tinggi dan tidak ditingii. (Hadits riwayat Ad Daraquthni dengan isnad hasan dari ‘Aidz bin Amru hadits marfu dan diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam keadaan mu’allaq dalam kitabul Janaiz, Fathul Bari 3/218-220)
Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya (Al ‘Ibrah fima warada fil ghazwi wasy syahadah wal hijrah, hal 240) menukil qaul Ibnu Hajar tersebut: dan sebagian manusia pada masa kini ada juga yang bermazhab kepada pendapat Ibnu Hajar itu, sedangkan pendapat tersebut jelas batalnya sebab dalil-dalil yang khusus dda masalah ini menunjukkan bahwa manathul hukmi terhadap negeri adalah kemenangan dan hukum-hukum, sebagaimana yang elah dijelaskan sebelumnya, dalil-dalil khas ini mentarjihkan terhadap dalil-dalil umum seperti yang dijadikan dalil oleh ibnu Hajar dan para ulama telah berijma’ atas didahulukannya dalil yang khas atas yang ‘am, sebagaimana mendahulukan firman Allah Ta’ala:
…………………………………………………………………………..
artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya..” terhadap firman-Nya:

artinya: “wanita-wanita yang ditolak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….” Tidak ada perselisihan ulama dalam masalah tarjih ini. Andaikata pendapat Ibnu Hajar itu betul, niscaya boleh berpendapat bahwasanya seorang muslim itu selama-lamanya tidak kufur meskipun ia kufur dengan dalil hadits di atas tadi. (Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi). Hal ini jelas pertentangan dengan nash dan ijma’. Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia. (H.S.R. Al Bukhari)
Maka nash yang ‘am (umum) yang dijadikan dalil oleh Ibnu Hajar tersebut tidak sepatutnya menentang nash-nash yang khas (khusus) dalam setiap masalah, dan tidak sepatutnya dari dalil tersebut tersusun hukum yang demikian itu. Pendapatnya bahwa negeri Islam tidak bisa berubah menjadi negeri kafir adalah bertentangan dengan dalil-dalil serta menyelisihi pendapat jumhur fuqaha.
Seandainya kita katakan betul pendapat tersebut, maka negara Spanyol yang Nasrani itu wajib kita katakan sebagai negara Islam pada hari ini karena dahulu pernah menjadi negara Islam (Andalusia). Jika demikian berarti setiap muslim wajib berhijrah ke negeri Islam di Spanyol dan mesti diterima loyalitasnya terhadap berlakunya hukum-hukum orang-orang kafir terhadap dirinya dalam negeri itu, di samping itu berarti haram hukumnya orang Islam berhijrah dari Spanyol karena tidak ada hijrah dari negeri Islam, dan hukumnya haram atas kaum muslimin menyerang Spanyol yang nasrani itu sebab darul Islam. Dan seandainya orang-orang kafir menyerang Spanyol berarti wajib hukumnya atas setiap muslim memberikan pertahanannya terhadap negeri Islam di Spanyol dan tuntutan-tuntutan serta ketetapan-ketetapan syar’i yang lain dari pendapat Ibnu Hajar itu yang ketetapan-ketetapan tersebut mesti dipegangi dalam tidak boleh lari darinya, dan rusaknya pendapat ini dan tuntutan-tuntutannya sudah cukup tidak perlu lagi dilihat dari segi yang dirusaknya.
(Fasal) Dampak Pengambilan alih kekuasaan orang-orang kafir terhadap negeri Islam.
Dalam hal ini terbagi menjadi dua macam:
1.      Penguasaan yang sempurna: yaitu penguasaan yang mana orang-orang kafir mengalahkan terhadap negeri Islam dan diberlakukan di situ hukum-hukum kafir, maka negeri seperti ini berarti telah menjadi negeri kafir karena terwujudnya manath padanya, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada ta’rif para ulama tentang darul kufri (negeri kafir), dan termasuk dalam hal ini adalah negara-negara kaum muslimin yang berhukum dengan undang-undang rekaan manusia (hukum positif) ia adalah negara-negara kafir.
Asy Syaikh Sulaiman bin Salman An Najah 1349 H, mensifati bentuk negeri seperti ini dengan beberapa bait syairnya sebagai berikut:





Maksudnya:
Apabila orang kafir menguasai darul Islam dan negeri itu ditimpa rasa ketakutan
Dan diberlakukan di situ hukum-hukum kafir secara terang-terangan dan dizhahirkan di dalamnya sekeras-kerasnya tanpa perlahan-lahan.
Dilemahkan di situ hukum-hukum syari'at Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan Islam tidak nyata didalamnya dan diikuti mazhabnya.
Maka inilah daru kufrin (negeri kafir) menurut para peneliti.
Sebagaimana yang dikatakan pakar-pakar ilmu dalam agama.
Dan tidaklah setiap orang yang berada di dalam negeri itu dikatakan kafir, maka berapa banyak di kalangan mereka berada di atas sebaik-baik amal.
(di nukil dari al Muwalat wal Mu’adat, oleh Mahmas al Jal’ud 2/225.

Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh ditanya: apakah wajib berhijrah dari negara-negara kaum muslimin yang berhukum dengan qanun (hukum positif)? Maka beliau menjawab: negara yang berhukum dengan wanun bukan negeri Islam, wajib berhijrah darinya, demikian juga jika nampak kaum penyembah berhala tanpa adanya pengingkaran dan tidak dirubah maka wajib berhijrah, maka kekufuran dengan tersebarnya kekufuran dan ketampakannya, inilah negara kafir. Dari Fatawa dan Rasail Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh – koleksi Muhammad bin Abdur Rahman bin Qasim cetakan 1399 H Mekkah al Mukarramah juz 6/188.
2.      Penguasaan yang kurang: yaitu apabila orang-orang kafir menguasai negeri Islam akan tetapi hukum-hukum yang berlaku di negeri itu tetap hukum-hukum Islam. Di antara contohnya adalah: penguasaan Tartar tj Asy Syam (sekarang Palestina, Syria, Yordania, dan Lebanon) pada akhir abad ketujuh hijriyah. Dan sejarah membuktikan bahwasanya mereka menetapkan para qadhi (hakim) untuk menghukum dengan syari'at di kalangan kaum muslimin, meskipun demikian mereka dikafirkan oleh para ulama karena mereka berhukum dengan undang-undang nenek moyang mereka (Jenghis Khan) di kalangan mereka (Al Yasiq). Lihat kitab “Al Ibrah” oleh Shiddiq Hasan Khan hal 233, dan kitab “Watsaiqul Hurubis Shahbiyah wal Ghazwil Mongoli” oleh Muhammad Mahir Hammadah. Dan sebagaimana yang dinukil dari para fuqaha pada masa itui bahwasanya dar (negeri) tidak menjadi negeri kafir dengan itu selagi hukum-hukum syari'at tegak. (Lihat Al Ibrah oleh Shiddiq Hasan Khan, hal 232 dan sesudahnya)
Dan yang benar bahwasanya apabila orang-orang kafir menguasai darul Islam dan hukum-hukum Islam tetap tegak di situ, maka dalam hal ini wajib dibedakan apakah hukum-hukum yang tegak itu disebabkan kekuatan kaum muslimin ataukah disebabkan karena diizinkan oleh orang-orang kafir.
Maka jika hukum-hukum Islam yang berjalan itu disebabkan kekuatan kaum muslimin maka ia adalah darul Islam, dalam hal ini gambarannya adalah sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Syam meskipun dikuasai Tartar. Hal ini tidak terjadi kecuali sebagai penipuan dan sikap cari muka (mudahanah) dari pihak kafir yang menang. Dengan sikap begini diharapkan semangat kaum muslimin tidak berkobar-kobar untuk melawan mereka sebagaimana kalau mereka dilarang berhukum dengan hukum Islam. Dan orang kafir tidak akan bermudahanah kecuali ketika mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengalahkan dan menguasai kaum muslimin dengan sempurna. Demikianlah situasi dan kondisi di Syam pada saat itu yang mana peperangan berimbang kadang kalah kadang menang. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir pada awal juz 14 dari kitab Al Bidayah wan Nihayah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hadir dalam sebagian pertempuran-pertempuran yang terjadi.
Karena musuh tidak dapat menguasai dengan sempurna dan hukum-hukum Islam tetap berjalan, maka negeri Syam tetap sebagai negeri Islam (darul Islam) meskipun penguasaannya kafir, sebagaimana pula darul Islam tetap kedudukannya sebagai darul Islam jika penguasanya murtad dari Islam dan tidak merubah sesuatu dari hukum-hukumnya. Dalam keadaan seperti ini wajib atas kaum muslimin memerangi penguasa yang kafir (yang menang atau yang murtad) untuk menggulingkannya dan mengangkat imam muslim dan perangnya fardhu ‘ain karena jihad difensif.
Adapun apabila hukum-hukum Islam tetap berlaku di suatu negeri yang dikuasai oleh orang-orang kafir yang mana berlakunya hukum tersebut karena diizinkan orang kafir yang menang bukan karena kekuatan kaum muslimin, maka negeri seperti ini adalah negeri kafir, karena jikalau seandainya orang kafir yang menguasai negeri itu hendak membatalkan dan memberangus hukum-hukum tersebut bila-bila masa mereka bisa melakukannya, dan potret seperti inilah yang terjadi di Andalusia pada awal-awal orang-orang Spanyol menguasainya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad bin Ja’far Al Kitani dalam kitabnya “Nashihatu Ahlil Islam” ia berkata: syarat-syarat perjanjian penyerahan Andalusia kepada orang-orang Spanyol: dan lihatlah sesungguhnya mereka tatkala menghimpit dan mempersulit penduduk Andalusia dan penduduk Andalusia tidak berdaya lagi untuk menghadapi mereka sesudah terjadi banyak sekali pertempuran dan blokade yang dahsyat. Maka penduduk Andalusia bersedia tunduk di bawah wilayah mereka dan kekuasaan mereka dengan syarat-syarat yang disyaratkan ke atas mereka kurang lebih ada lima puluh lima syarat dan dikatakan juga enam puluh tujuh syarat. Antara lain memberikan keamanan kepada yang kecil maupun yang besar pada jiwanya, keluarganya, dan hartanya, dan membiarkan manusia tetap tinggal di tempat-tempat mereka, di rumah-rumah mereka, di kediaman mereka dan di tanah-tanah pekarangan mereka, dan menegakkan syari'at di atas apa yang ada dan tidak akan menghukum seorangpun terhadap mereka melainkan dengannya, dan masjid-masjid dibiarkan sebagaimana adanya, dan demikian jiga barang-barang wakaf…dan seterusnya sehingga ia berkata: Maka tatkala mereka (orang-orang kafir Spanyol) – semoga Allah membinasakan mereka – telah melihat bahwa urusan dan kekuasaan mereka telah sempurna yang mana kaum muslimin telah berada di bawah akad jaminan mereka dan mereka telah menguasai sepenuhnya, mereka mulai berkhianat dan membatalkan syarat-syarat yang telah mereka buat satu persatu. Pasal demi pasal sampai keseluruhannya dan sirnalah seluruh kehormatan kaum muslimin dan mereka ditimpa kehinaan yang amat dahsyat – dan seterusnya –hingga kata-katanya: lalu kaum muslimin dipaksa masuk agama nasrani dan meninggalkan seluruh syiar-syiar Islam dan tidak tersisa sama sekali. (Nashihah Ahlil Islam, hal 102-103)
Demikianlah kisah Andalusia pada awal-awalnya orang-orang kafir berkuasa hukum-hukum syari'at dilaksanakan dengan izin mereka, keadaan seperti ini tidak menghalangi negeri itu disifati sebagai negeri kafir, sebagaimana kalau penguasa muslim mengizinkan ahludz dzimmah melaksanakan syiar-syiar mereka atau berhukum kepada pendeta-pendeta m dalam sebagian perkara mereka. hal ini tidak menghalangi bahwasanya ia sebagai darul Islam. Berkata Shiddiq Hasan Khan: Maka kapan saja kita mengetahui secara pasti baik dengan menyaksikan sendiri atau mendengar berita yang kuat lagi dapat dipercaya bahwasanya orang-orang kafir telah menguasai seatu negeri dan negeri-negeri Islam yang berdekatan dengan mereka, mereka mengalahkan negeri itu dan memaksa penduduknya sehingga mereka tidak dapat menzhahirkan kalimat Islam dengan sempurna kecuali dengan restu dari orang-orang kafir, maka negeri itu telah menjadi negeri kafir meskipun di dalamnya shalat masih ditegakkan. (Al Ibrah fima Ja’a fil Ghazwi wasy Syahadah wal Hijrah hal 236)
Maksud lain apa yang disampaikan oleh Shiddiq Hasan Khan tersebut bahwasanya apabila orang-orang kafir menguasai satu negeri dan memaksanya atau mengalahkannya, maka jika penduduk di negeri itu tidak menzhahirkan syari'at-syari'at Islam kecuali dengan seizin mereka, maka ia adalah darul harb (negeri perang), dan beliau mengulang lagi hal ini dengan kata-katanya: Bertitik tolak dari tulisan kami di atas menjadi jelas bagi Anda bahwasanya Adam dan wilayahnya jikalau nampak di dalamnya dua kalimat syahadat dan shalat-shalat meskipun nampak juga di situ perkara kekufuran, dengan tanpa seizin orang kafir maka ia adalah negeri Islam, dan jika tidak demikian maka ia adalah darul harb. (Ibid hal 237) Yang dimaksud Adan di sini adalah kota Adan yang berada di Yaman, tatkala dikuasai oleh Inggris pada pertengahan abad 19 Masehi.
(Faedah) Masalah Ad Darul Murakkabah (Negeri yang Kombinasi)
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bermazhab kepada pendapat adanya bentuk ketiga dari bentuk-bentuk pembagian negeri yaitu negeri yang kombinasi, beliau rahimahullah ditanya tentang negeri Marden, apakah ia negeri harb (perang) ataukah negeri Salm (damai), dan apakah wajib atas seorang muslim yang tinggal di sana untuk berhijrah ke negeri-negeri Islam atau tidak? Dan jikalau wajib atasnya berhijrah dan dia tidak berhijrah dan dia membantu musuh-musuh kaum muslimin dengan jiwanya dan hartanya apakah ia berdosa dalam hal itu? Dan apakah dosa orang yang menuduh terhadap bahwa dia telah berbuat nifaq dan mencelanya ataukah tidak berdosa?
            Maka beliau menjawab: Alhamdulillah, darah-darah kaum muslimin dan harta-harta mereka diharamkan dimanapun berada di Marden atau selain Marden. Dan membantu orang-orang yang keluar dari syari'at agama Islam diharamkan baik mereka penduduk Marden atau selain mereka. dan orang yang tinggal di dalamnya jika tidak mampu atau lemah untuk menegakkan agamanya dia wajib hijrah dan jika tidak demikian disunnahkan berhijrah dan tidak wajib.
            Dan bantuan mereka terhadap musuh kaum muslimin dengan jiwa dan harta diharamkan atas mereka, mereka wajib menolak dari membantu mereka dengan cara apapun yang mungkin bisa mereka lakukan dengan menghilangkan diri, atau dengan kata-kata yang jelas, atau dengan pura-pura, maka jikatak mungkin menghindar kecuali dengan hijrah, maka hijrah menjadi fardhu ‘ain. Dan tidak halal mencela mereka secara umum dan menuduhnya sebagai munafiq, akan tetapi celaan dan tuduhan adalah terkena terhadap sifat-sifat yang telah disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah, maka termasuk di dalamnya penduduk Marden dan selain mereka.
            Adapun keadaannya darul harbi atau darul salmi maka ia adalah kombinasi: Mengandungi dua makna: ia tidak berkedudukan seperti darus salmi yang berlaku di atasnya hukum-hukum Islam, karena keadaan tentaranya kaum muslimin, dan tidak berkedudukan seperti darul harbi yang penduduknya orang-orang kafir, akan tetapi ia adalah bentuk ketiga yang mana seorang muslim di dalamnya digauli sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya, dan diperangi orang yang keluar dari syari'at Islam sesuai dengan apa yang menjadi haknya. (Majmu'ul Fatawa 28/ 240-241) (Marden pada masa kini adalah negeri yang terletak di sebelah tenggara negara Turki yang dekat dengan perbatasan Syria)
            Dari soal jawab di atas isa ditarik kesimpulan: Bahwasanya Marden adalah dikuasai orang-orang kafir (musuh-musuh kaum muslimin) dan di dalamnya tidak berlaku hukum-hukum Islam dan tentaranya bukan kaum muslimin, dan penduduknya bercampur antara kaum muslimin dan kuffar, maka negeri seperti ini tidak diragukan lagi bahwa ia adalah darul harbi. Dan tidak disyaratkan pada darul harbi mesti penduduknya orang-orang kafir seperti yang dikatakan Syaikhul Islam. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa manathul hukmi terhadap dar tidak diperhitungkan agama penduduknya. Dan Syaikhul Islam hujjahnya dalam membuat sesuatu yang baru yaitu bagian ataubentuk ketiga dari pembagian negeri terlemahkan dengan ijma ulama sebelumnya bahwasanya pembagian dar (negeri) hanya ada dua bukan tiga. Oleh karena  itu para ulama dakwah najdiyah tidak menerima pendapat beliau adanya bentuk ke tiga. Maka mereka berkata: Dan adapun negeri yang dihukumi sebagai negeri kafir, maka Ibnu Muflih berkata: Dan setiap negeri yang hukum-hukum kaum muslimin menang di situ, maka ia adalah darul Islam dan jika yang menang hukum-hukum kafir, maka ia darul kufr, dan tidak ada dar selain keduanya. Dan berkata Asy Syaikh Yaqiyuddin – Ibnu Taimiyyah – beliau ditanya tentang Marden, apakah ia darul harbi atau darul Islam? Beliau berkata: Ia adalah kombinasi mengandungi dua makna, bukan berkedudukan seperti darul Islam yang berlaku di dalamnya hukum-hukum Islam karena keadaan tentaranya kaum muslimin, dan tidak juga kedudukannya seperti darul harbi yang penduduknya adalah orang-orang kafir, tetapi ia adalah bagian ketiga yang mana seorang muslim di dalam dimua’malahi atau dipergauli sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya dan orang yang keluar dari syari'at Islam dipergauli sesuai dengan haknya. Dan yang lebih utama adalah pendapat yang disebutkan oleh Al Qadhi dan Ashabnya. (Addurarus sunniyah fil Ajwibatin Najdiyah – kolekasi Ibnu Qasim juz 7, Kitabul jihad hal 353). Maka mereka (para ulama dakwah An Najdiyah) tidak sependapat dengan syaikhul islam dalam membuat hal baru pada pembagian bentuk dar ketiga, sebab para ulama sebelumnya telah bersepakat bahwasanya negeri-negeri dibagi menjadi dua saja tidak ada yang lain.
            Berkata Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman: Sesungguhnya Marden yang difatwakan oleh Syaikhul Islam taqiyuddin Ibnu Taimiyyah tidak berlaku di atasnya hukum-hukum orang-orang kafir hanyasanya ia dikuasai orang-orang kafir dengan penguasaan yang kurang, andaikan hal ini benar dan hukum-hukum Islam berlaku di dalamnya, maka ia adalah boleh jadi darul Islam atau darul kufri dengan melihat sebab berjalannya atau berlakunya hukum-hukum Islam sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, akan tetapi jika kita perhatikan fatwa Syaikhul Islam di situ jelas bahwasanya hukum-hukum Islam tidak berjalan di kondisi berlainan dengan apa yang dikatakan oleh Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman:





Maksudnya:
Dan tidak berjalan bagi orang-orang kafir hukum-hukum dien mereka terhadap penduduknya (Marden) akan tetapi kekufuran telah teerjadi di sana.
Dan tidaklah dua bagian itu di dalamnya memenuhi kriterianya yang sepenuhnya
Maka dalam hal ini Taqiyuddin berkata
Kaum muslimin di situi dipergauli sebagaimana hak mereka,
Dan demikian pula orang-orang kafir dikenakan terhadap mereka amalan-amalan yang sepatutnya.
Maka janganlah dihukumi kufur dari segala seginya.
Dan tidak juga dihukumi dengan Islam, demikianlah menurut pendapat orang-orang yang adil
(Nadzan ini dinukil dari kitab Al Muwalat wal Mu’adat – Mahmas al Jal’ud 2/522)
            Di sini yang perlu kami ingatkan bahwasanya bentuk negeri itu hanya ada dua bagian saja tidak ada ketiga, dan ad darul murakkabah (negeri yang kombinasi) mungkin saja wujudnya tetapi sebagai sifatbagi keadaan penduduknya bukan sebagai hukum dar, dan menyikapi atau bermuamalah dengan manusia sesuai dengan hak-haknya tidak ada perselisihan dalam masalah ini, keterangannya sudah ada sebelumnya bahwasanya seorang muslim itu terpelihara darah dan hartanya di mana saja dia berada, akan tetapi ini merupakan bentuk mu’amalah menyikapi penduduk di suatu negeri sesuai dengan hak-hak yang dipunyai. Hal ini tidak menjadikan adanya bagian negeri yang ketiga.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri telah menukil bahwasanya Mesir pernah menjadi darur riddah (negeri murtad) pada masa dikuasai oleh Al Ubaidiyyin (yang dinamakan dengan Al Fathimiyyin), disebabkan karena mereka adalah orang-orang zindiq murtaddin. (Majmu'ul Fatawa 13/178). Padahal hukum-hukum syari'at berjalan di Mesir sepanjang kekuasaan mereka yang kurang lebih selama dua ratus delapan puluh tahun. (Al Bidayah wan Nihayah 12/267) disamping itu rakyat Mesir adalah kaum muslimin, akan tetapi negerinya menjadi negeri murtad disebabkan karena dikuasai oleh al Ubaidiyyin secara sempurna. Dan dalam hal ini pemberian izin mereka tetap berhukum dengan syari'at tidak ada pengaruhnya terhadap kedudukan mereka.
            Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah: Dan berulang kali masuknya pasukan ke Mesir bersama Shalahuddin yang menaklukkan Mesir. Maka dihapuskanlah dakwah para pengkut Ubaid dari golongan Qaramithah batiniyah dan dizhahirkanlah syari'at-syari'at Islam di dalamnya. Sehingga hal itu menenangkan orang-orang yang menzhahirkan dinul Islam pada saat itu – dan seterusnya sampai kata-katanya: Karena mereka adalah orang-orang zindiq dan bid’ah, maka negeri-negeri Mesir sepanjang kekuasaan mereka selama dua ratusan tahun telah terpadam cahaya Islam dan iman, sehingga berkatalah para ulama, sesungguhnya ia adalah darur riddah wan nifaq (negeri murtad dan nifaq) seperti negeri musalamah Al Kadzdzab. (Majmu'ul Fatawa 35/138-139)
            Dan berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: Kalau kita mau menghitung jumlah orang-orang yang dikafirkan oleh para ulama meskipun mereka mengaku Islam dan yang mereka fatwakan kemurtadannya dan dibunuhnya tentu akan panjang pembahasannya. Akan tetapi cukup sebagai contoh saja apa yang berlaku pada kisah Bani Ubaid raja-raja Mesir dan kelompok mereka, mereka mengaku bahwasanya mereka dari ahlul bait, mereka menunaikan shalat jum’at dan jama’ah dan melantik para qadhi dan para mufti, namun demikian para ulama telah berijma’ di atas kufurnya mereka dan murtadnya mereka serta memerangi mereka dan sesungguhnya negeri-negeri mereka adalah negeri-negeri harbi (perang) wajib memerangi mereka meskipun mereka tidak suka dan benci terhadap mereka. (Muallifatu Syaikhil Islam Muhammad bin Abdul Wahhab – bagian kelima – Ar Rasaillusy Syakhshiyyah hal 220, cet. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud). Dan ucapannya: meskipun mereka tidak suka lagi benci kepada penguasa-penguasa mereka dari kalanganBani Ubaidm maka hal ini tidak menghalangi bahwasanya negeri-negeri mereka adalah sebagai negeri-negeri harb (perang).
            Maka jikalau Mesir menjadi darur riddah dan harb pada zaman pemerintahan Al Ubaidiyyin padahal mereka melantik para qadhi syari'ah, maka sesungguhnya gambaran Marden yang telah disebutkan di atas lebih buruk lagi daripada itu, sebab tidak berjalan diatasnya hukum-hukum Islam, maka ia adalah darul harb sebagaimana keterangan sebelumnya dika ia diatas sifat yang dihasilkan dari fatwa. Dan tidak didapati dalam pembagian diyar (negeri-negeri) yang dinamakan ad darul murakkabah (negeri kombinasi), melainkan ditinjau dari segi sifat bukan hukum, diyar (negeri-negeri) di menjadi dua bukan tiga sebagaimana yang telah diterangkan, dan sebagaimana yang dinukilpara ulama Najd dari Ibnu Muflih – beliau termasuk murid Ibnu Taimiyyah – bahwasanya diyar (negeri-negeri) itu mungkin ia sebagai negeri Islam atau negeri kafir dan tidak ada negeri yang selain keduanya, demikianlah. Wallahu a'lam.
            Demikianlah bahasan tentang perubahan sifat negeri dan dampak penguasaan orang-orang kafir terhadap negeri-negeri Islam. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq-Nya kepada kita.

5.      Hukum-hukum syari’at yang tersusun di atas perbedaan negeri.
hukum-hukum syari’at yang tersusun di atas perbedaan negeri adalah merupakan buah pembahasan dalam madhu’ ini (ahkamud diyar), telah berkata AsySyaukani rahimahullah: Ketahuilah bahwasanya mendiskusikan masalah darul Islam dan darul kufri faedahnya sedikit sekali sebagaimana yang sudah kami kemukakan pengantin anda pada bahasan mengenai darul harb, bahwa sesungguhnya orang kafir harbi adalah mubah darah dan hartanya pada setiap keadaan selama tidak ada jaminan keamanan dari kaum muslimin, dan sesungguhnya harta seorang mulim dan darahnya terpelihara dengan pemeliharaan Islam di darul harb dan selainnya. (As Sailul Jarrar 4/576)
Mesipun AsySyaukani mengatakan demikian, maka sesungguhnya di sana banyak hukum-hukum yang tersusun di atas perbedaan negeri-negeri dan yang paling penting adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan hijrah dan jihad, dan di antara hukum-hukum itu adalah sebagai berikut:
1.      Wajibnya berhijrah dari darul kufri (negeri kafir) ke darul Islam (negeri Islam) jika mampu berbuat demikian, atau ke negeri yang aman (yaitu negeri kafir yang fitnahnya sedikit) jika tidak wujud negeri Islam di dunia sebagaimana hijrah ke Habasyah pada awal Islam dan sebagaimana keadaan pada hari ini, dan kami telah kemukakan sebagian nash-nash yang menunjukkan akan wajibnya berhijrah, dan hukum-hukum hijrah yang lain bisa di rujuk dalam Al Mughni Ma’Asy Syarhil Kabir 10/513-515, dan Nailul Authar 8/176-179.
Dan kewajiban hijrah terdapat ambang hukum-hukumnya antara lain sebagai berikut:
a.       Gugurnya wajibnya adanya mahram bagi safar seorang wanita yang hijrah dari darul kufri baik yang tadinya kafir lalu masuk Islam atau yang muslimah yang ditawan yang dapat meloloskan diri, maka ia boleh bersafar dari darul kufri tanpa muhrim jika uzur, karena mafsadah (rusaknya) keberadaannya di kalangan orang-orang kafir lebih besar daripada mafsadah safarnya dengan tanpa muhrim, maka ditempuh yang lebih sedikit mafsadahnya untuk menghindari dari yang lebih besar. (Lihat Al Mughni Ma’asySyahil Kabir 3/192 dan 10/527, Fathul Bari 2/568 dan 4/76)
b.      Bahwasanya iddah wanita yang berhijrah yang radinya kafir lalu masuk Islam dan suaminya kafir berada di darul harb, maka iddahnya sekali haid dan ia boleh menikah dengan seorang muslim sesudah itu jika ia mau, dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Imam Al Bukhari  dalam shahihnya (5286) yang artinya: Dan adalah apabila seorang wanita hijrah dari ahlul harb ia tidak dihitbah sehinga haidh dan suci, maka apabila telah suci halal baginya menikah, maka jika suaminya berhijrah sebelum ia dinikahi orang lain ia dikembalikan kepadanya. (Al Hadits). Ini adalah tafsir firman Allah Ta’ala (Al Mumtahanah:10) (Lihat Ahkamu Ahlidz Dzimmah, Ibnul Qayyim 1/339 dan 365).
c.       Bahwasanya apabila sebagian hamba sahaya yang dimiliki orang-orang  kafir masuk Islam dan berhijrah maka mereka menjadi merdekan dan mereka berhak memiliki sesuatu yang dibawa keluar dari harta benda ahlul harbi berdasarkan hadits Ibnu Abbas sama dengan diatas yang di antara kandungannya yang berarti: Dan jika seorang hamba sahaya laki-laki maupun perempuan dari mereka maka keduanya menjadi merdeka, dan bagi keduanya memperoleh apa yang diperolehi para muhajiri. (Al Hadits)
Dan yang sepertinya kisah larinya Ash Shahabi Abu Bakrah Nafi’ bin Al Haris dari benteng Ath Thaif semasa dikepung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah perang Hunain, Abu Bakrah meloloskan diri sari benteng dengan perantara dan menggunakan bakkrah (tampar), maka ia diberi kunyah (Abu Bakrah) dan kisahnya terdapat dalam shahih Imam Al Bukhari dalam bahasan “Perang Thaif” dan masalah ini tersebut dalam Nailul Authar 8/157, dan dalam As Sairul Kabir, Muhammad bin Al Hasan 5/ 2286 dan sesudahnya.
d.      Bahwasanya diharamkan safar seorang muslim ke darul harb dan bertempat tinggal di dalamnya tanpa darurat, karena hijrah darinya wajib bagi setiap penduduknya yang masuk Islam, maka tidak boleh seorang muslim dari awal mula bersafar kecuali karena dharurat seperti berdagang atau berobat dan sebagainya, Allah Ta'ala berfirman, berkenaan dengan orang Islam yang tinggal di kalangan orang-orang kafir (An-Nisa: 97). Bertempat tinggal di kalangan orang-orang kafir adalah termasuk sebab-sebab fitnah dalam dien. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah dengan panjang lebar menerangkan dalam kitabnya, “Iqtidhaush Shiratil Mustaqim” tentang madharatnya bercampur dan bergaul dengan orang-orang kafir dan sesungguhnya hal ini akan mengakibatkan kepada tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan berakhlak dengan akhlak mereka secara lahir maupun batin. Sebagian ulama mengatakan kufur orang yang berazam kuat bertempat tinggal di negara kafir terhadapnya dengan kesetiaan dan loyalitas, maka berhukum seperti ini berarti telah berloyalitas kepada thaghut. Dengan ini barang siapa yang terpaksa safar ke negara-negara kafir dia harus tidak berazam tinggal di sana dan mesti senantiasa ada niat untuk meninggalkan negara-negara tersebut jika ada kemudahan. Hari ini musibah telah melanda kaum muslimin yang mana banyak dari orang-orang Islam yang bersafar ke negara-negara kafir asli seperti Eropa dan Amerika bukan karena dharurat melainkan hanya untuk memperolehi dan memperbanyak penghasilan duniawi. Dan bermukim di negara-negara Arab yang disebut dengan nama negara Islam lebih baik daripada negara-negara kafir asli meskipun semuanya negara kafir, akan tetapi sebagian kejahatan lebih sedikit dari sebagian yang lain. Dan di antara penyebab terpenting untuk mengekalkan agama sekuler di negara-negara kaum muslimin adalah dikirimnya para mahasiswa untuk belajar ke negara-negara kafir barat, mereka dididik di sana, dicuci otak dan akhlaknya, dibentuk sesuai dengan kemauan mereka dan dipersiapkan untuk memegang jawatan-jawatan penting di negara-negara kaum muslimin dalam segala bidang, politik, ekonomi, pendidikan dan informasi.
(keterangan selengkapnya tentang resiko duduk di negara kafir lihat Al Jami’ 9/111-112). Antara lain qaul AsySyaikh Hamad bin Atiq An Najdi: bahwasanya orang yang menyetujui orang-orang kafir pada lahirnya meskipun menyelisihi pada batinnya, dan dia tidak berada di bawah kekuasaan mereka, hanyasanya dia melakukannya karena tamak terhadap tahta atau harta atau karena kedekat dengan negerinya atau keluarganya, atau karena takut dari sesuatu yang terjadi di tempat tinggalnya, maka sesungguhnya dalam keadaan seperti ini dia menjadi murtad dan tidak bermanfaat kepadanya rasa tidak sukanya terhadap mereka dalam batinnya, orang seperti ini termasuk golongan orang yang Allah Ta'ala berfirman berkenaan dengan mereka (QS. An Nahl:107). Dan risalah beliau “Bayanun Najaati wal Fikaali min Mawaalaati Murtaddin wa Ahlil Isyrak”, kandungan “Majmu’atul Tauhid hal 418.
Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: jikalau muwaalat (loyalitas) disertai bertempat tinggal bersama mereka – yaitu orang-orang kafir di negeri-negeri mereka dan keluar bersama mereka dalam peperangan mereka dan sebagainya, maka sesungguhnya orang Islam yang seperti ini dihukumi kufur, sebagaimana firman Allah Ta'ala ……………………………………. (Al Maidah:51). Dari risalah “Autsaqu ural imaan”, kandungan kitab Majmu’atut Tauhid hal 175.
e.       Dan barang siapa yang bersafar ke negara-negara kafir karena sebab-sebab yang dibolehkan (mubah), kebanyakan ahlul ilmi tidak menyukai (makruh) ia menikah di negeri mereka. Apabila ia tidak dapat menahan syahwat dan takut terjerumus dalam perbuatan zina, ia boleh menikah dengan muslimah jika mungkin, dan jika tidak mungkin maka dengan wanita ahlil kitab dan supaya ia melakukan ‘azl dari istrinya karena dikhawatiri jika mempunyai anak, anaknya akan dididik di atas agama orang-orang kafir dan berakhlak seperti akhlak mereka. (Lihat Al Mughni Ma’aSyarhil Kabir 10/512 dan As Sairul Kabir, Muhammad bin Al Hasan 5/1838, dan Ahkamu Ahludz Dzimmah, Ibnul Qayyim 2/431) selengkapnya rujuk Al Kami’ 9/112-113.
f.        Dan barang siapa yang memasuki negara-negara kafir dengan jaminan keamanan dari mereka, mka tidak halal baginya mengkhiyanati mereka pada jiwa dan harta mereka. (keterangan selengkapnya rujuk Al Jami’ 9/113-114)
2.      Dan diantara hukum-hukum yang tersusun karena perbedaan diyar (negeri-negeri) yaitu: wajib memerangi orang-orang kafir di negeri-negeri mereka, ini disebut jihaadut thlab (perang mencari musuh di negeri mereka sendiri atau ekspansi). Allah Ta'ala berfirman di surat AtTaubah:123. Para ulama berkata: Imam kaum muslimin paling tidak sekali dalam satu tahun memerangi orang-orang kafir di negeri mereka. (lihat Al Mughni Ma’aSyarhil Kabir 10/367-368). AsySyaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz mengatakan bahwa bilangan tersebut istimbath dari firman Allah Ta'ala surat AtTaubah: 126, dan beliau menyebutkan  dalil-dalil tentang jihaduththalab. (Lihat al Umdah fi I’dadil Uddah lil Jihad fi Sabilillah- bagian Ma’alim Asasiyah fil Jihad, penerbit Aqwam hal 15-16)
3.      Dan di antara hukum-hukum tentang tersusun:istishhab hukmiddar (disamakan hukum negaranya) bagi orang yang majhululhal (tidak diketahui keadaannya) apakah ia kafir atau muslim, jika tidak mendapatkan cara lain untuk mengetahui statusnya yang sebenarnya.
4.      Dan di antara hukum-hukum darul kufri: wajib meneliti ketika membeli daging sembelihan. Dan termasuk juga hukum-hukumnya, dibolehkan membunuh orang murtad yang dilindungi di negara kafir dan mengambil hartanya tanpa diberi tempo untuk bertaubat. (penjelasannya bisa dibaca pada keterangan qaidah takfir dalam kitab Al Jami’ hal……………
Demikianlah sebagian hukum-hukum yang tersusun dengan adanya perbedaan negara yang kafir dan yang Islam. Dalam masalah mazhab Hanafi banyak hukum-hukum yang tersusun karena perbedaan dar tersebut , akan tetapi kebanyakannya tidak disepakati oleh jumhur. Bagi yang ingin mengetahui bisa dibuka kitab Al Jami’, Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz 9/115-116.
Masalah pembagian negara yang Islam dan yang kafir beserta ciri-ciri masing-masing ana paparkan di sini di sampaing tujuannya untuk memperjelas masalah pokok yang kita bicarakan ana juga ingin menyadarkan saudara kita dari kaum muslimin yang lalai terhadap masalah yang besar ini. Perlu kita sadari bahwasanya masalah hukum-hukum negara dan pembagiannya termasuk masalah yang menghadapi penyelewengan yang dahsyat dan luar biasa dari golongan manusia yang mengaku beragama Islam bahkan mengaku sebagai seorang mujtahid, mufakkir, cendekiawan muslim dan sebagainya, akan tetapi otak dan nalarnya adalah otak dan nalar orientalis, maka mereka berusaha menyesuaikan antara hukum-hukum Islam dan hukum-hukum orang-orang kafir khususnya disebut undang-undang internasional dan piagam-piagam UN (PBB) dan lain sebagainya yang menyeru hidup berdamai antar bangsa-bangsa dan dilarang segala bentuk peperangan yang sifatnya offensif (menyerang). Semua ini pada hakikatnya hanya sekedar penipuan dan makar negara-negara yang kuat yang dalam hal ini semuanya adalah negara kuffar untuk mengekalkan kekuasaan mereka, sehingga bangsa-bangsa yang lemah termasuk seluruh bangsa kaum muslimin tetap dalam keadaan lemah selama-lamanya sedang yang kuat seperti Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Cina dan sebagainya tetap dengan kekuatannya. Maka begitu kaum muslimin pada suatu hari berusaha untuk berjihad melawan orang-orang kafir langsung dicap melanggar undang-undang internasional dalam nberhak menerima hukuman-hukuman secara internasional. Maka di antara upaya-upaya orang-orang kafir untuk menyesatkan kaum muslimin dan menipu mereka adalah menyelewengkan dan merubah hukum-hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan jihad. Karena demikian eratnya hubungan antara hukum-hukum negara dan jihad maka hukum-hukum negara mau tak mau juga diselewengkan . Allah Ta'ala berfirman (QS. Ali Imran: 69). Dan di antara penyelewengan itu adalah penyelewengan-penyelewengan yang telah ditanam dan ditabur benihnya oleh para orientalis lalu idpelihara dan diteruskan oleh antek-anteknya yang mengaku sebagai orang-orang yang layak berijtihad maka mereka mengeluarkan pendapat-pendapat tololnya, misalnya kata mereka: pembagian dunia menjadi dua negara (negeri Islam dan negeri kafir) adalah tidak ada sandarannya, kata mereka lagi: sesungguhnya negara-negara kafir tidak dinamakan darul harb kecuali jika terjadi peperangan secara riil antara negara-negara itu dan kaum muslimin dan selama tidak ada peperangan dan yang ada adalah perdamaian, maka tidak ada darul harb. Katanya lagi: sesungguhnya penguasaan orang-orang kafir dan menzhahirkannya hukum-hukum kafir di negara-negara kaum muslimin tidak menjadikannya negara tersebut sebagai negara kafir, selama kaum muslimin boleh menampakkan syiar-syiar agama mereka berarti ia adalah negeri Islam, dan selagi keadaannya seperti itu maka tidak ada jihad di dalam negeri Islam. Dan penyelewengan-penyelewengan lain yang tujuan intinya adalah menyesatkan kaum muslimin dan mamalingkan mereka dari agama Islam yang benar. Maka hendaklah berwaspada wahai orang yang masih ada sisa hati yang sehat.
(Dikutip dari kitab Al Jami’ fi Thalabil Ilmisy Syarif, Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz kitab 9/86-116) dengan sedikit perubahan untuk meringkas.


[1] Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar