Sabtu, 28 Mei 2011

KOREKSI MAJALAH ASY SYARI'AH. 07


Syubuhat Kedua
            Penulis dalam makalah-makalah tersebut tidak jelas manath atau pijakan atan gantungan hukumnya menurut syar’i dalam mengkatagorikan pa penguasa yang ada ini sebagai penguasa-penguasa kaum muslimin yang zalim dan fasiq. Dan hal ini merupakan sebagian dari penyebab kesesatan-kesesatan yang lain.
            Kalau kita cermati dalam makalah-makalah tersebut, yang terkesan pijakan penulis hanyalah karena para penguasa itu KTP (Karti Tanda Penduduk) nya tertulis beragama Islam. Tempat gantungan hukum seperti ini menurut pendapat saya mardud atau tertolak di sisi syari'Allah Ta'ala dan bukan cara yang layak ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menentukan hukum yang sepenting itu, dan jika kita mau membuka buku-buku ahlul ilmi khususnya dalam bahasan masalah ini sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya – insya Allah – anda tidak akan mendapati tempat penggantungan hukum yang sejahil itu.
Karena Musailamah Al Kadzdzab, Abdullah bin Saad bin As Sarah, Nahar Ar Rajjal bin Unfuwah, Al Aswad Ar Arsi Al Mutanabbi Al Kadzdzab, para penguasa Mesir pada masa pemerintahan Al Ubaidiyyin yang terkenal dengan sebutan daulah Fatimiyyah, para penguasa Tartar dan sebagainya, termasuk orang-orang yang enggan membayat zakat pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu 'anhu, mereka seluruhnya adalah ber KTP Islam, akan tetapi mereka tidak menghalangi salaf menyebut mereka orang-orang murtad.
Oleh karena itu sungguh salah besar lagi sesat orang yang menghukumi para penguasa sekuler pada hari ini sebagai penguasa-penguasa yang shah disisi syari'Allah Ta'ala meskipun misalnya mereka zalim, fasiq, bengis, dan kejam, hanya karena disandarkan dan berangkat dari KTP nya.
Mk di sini saya akan uraikan sesingkat mungkin, siapa sebenarnya yang dimaksud Penguasa Jair (zalim) menurut istilah syar'i – ingat dan ingat bukan menurut Istilah Indonesia – yang kaum muslimin tetap diwajibkan memberikan wala’ (loyalitas) nya kepada mereka meskipun mereka menganiaya, kejam terhadapnya dan perangai-perangai buruk yang lainnya.
·        Penguasa zalim menurut Al Hasan Al Bashri
Dalam pembahasan ini pertama-tama saya akan menukil seorang tabi’in yang besar yaitu: Al Hasan Al Bashri rahimahullah yang ucapan tersebut dalam salah satu dari makalah yang ada yang bertajuk “Cara Menasihati Penguasa” tulisan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dijadikan sebagai penutup dan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. berpesan kepada para pembaca bahkan bisa dipahami sebagai pesan untuk setiap orang agar memperhatikan baik-baik ucapan tersebut. Supaya lebih jelas saya nukil di sini kata-katanya. “Sebagai penutup, perhatikan baik-baik ucapan seorang tabi’in Al Hasan Al Bashri [1] dalam masalah pemerintah: Mereka mengurusi lima urusan kita, (shalat) Jum’Allah Ta'ala, (shalat) jama’ah, ‘id (hari raya), perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalimdan curang. Demi Allah sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal 7-8)
(Majalah Asy Syari’ah no. 05/1/11/1424 H/02/2004 hal 21)
Pesan dan nasihat Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. agar kita memperhatikan baik-baik ucapan Al Hasan Al Bashri itu sungguh baik, akan tetapi sayangnya dan kasihannya beliau yang menyuruh orang lupath diri sendiri sebab beliau tidak memperhatikan baik-baik bahkan cuai dan telah berbuat zalim tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya sehingga beliau sesat dan menyesatkan orang lain, tidak salah insya Allah kalau saya katakan bahwa Al Ustadz  tersebut telah terkena ancamannya Allah Ta'ala dalam firmannya (S. Al Baqarah: 44) dan (S. Ash-Shaf: 2-3)
Mari sekarang kita ikuti pesan al ustadz sebaik-baiknya ucapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah tersebut.
Saya katakan, bahwasanya ucapan seorang tabi’in yang agung itu adalah sebagai cerminan dan gambaran serta potret yang jelas sekali tentang penguasa yang shah di sisi syari'Allah Ta'ala yang patut menyandang berbagai gelaran dan mendapatkan hak-hak sebagai seorang pemimpin kaum muslimin yang telah kita bahas panjang lebr sebelumnya, dan mari kita buka mata, telinga, dan hati kita untuk memahami hakikat yang sebenarnya bahwa potret penguasa yang disebutkan oleh seorang yang alim lagi faqih dari kalangan tabi’in itu jauh berbeda dengan pemimpin-pemimpin sekuler murtaddin pada masa kini termasuk Indonesia bedanya antara langit dan bumi, antara masyriq dan maghrib.
Coba kita perhatikan lagi dengan seksama lima perkara yang diurus oleh pemerintahan Islam dalam daulah Islamiyyah (negara Islam) yang telah dikemukakan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah yaitu: 1. Mengurus jum’Allah Ta'ala (shalat jum’Allah Ta'ala). 2. Mengurus jama’ah (shalat jama’ah). 3. Mengurus ‘ied (shalat ‘idul Fitri dan ‘Idul Adha). 4. Mengurus perbatasan. 5. Mengurus hukum had.
Untuk nomor 1, 2, dan 3 saya tidak perlu uraikan panjang lebar sebab mengurus tiga perkara tersebut belum bisa dijadikan bukti bahwa penguasa tersebut sebagai penguasa muslim sesai dengan istilah syar'i. Bahkan mayoritas penguasa-penguasa thaghut di muka bumi ini termasuk yang kafir dan musyrik tulen ikut mengurus masalah tersebut atau minimal memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk mengurus perkara-perkara tersebut dan melaksanakannya. Oleh karena itu kita bisa menyaksikan di mana-mana di Amerika, Eropa, Australia, Jepang, Indoa, Rusia, dan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, di Singapura, Thaliand, Filipina,  dan lain sebagainya ummat Islam bebas untuk melaksanakan tiga perkata itu, apa kira-kira rahasianya> mereka para penguasa thaghut itu yang kafir tulen maupun yang murtad, mengurus masalah tersebut atau membebaskan rakyatnya menunaikannya bukan atas dasar menegakkan dien (agama) Allah akan tetapi dalam rangka menegakkan agama thaghutnya (demokrasi) dan hukum thaghutnya (hukum positif). Sebab menurut pesan agama dan syari'Allah Ta'ala iblisnya segala bentuk ibadah-ibadah ritual tidak dilarang dalam negara sekuler kafir tidak menggangu gugat adan tidak menjejaskan sama sekali agama dan kekuasan para thaghut-thaghut itu. Justru kalau mereka berani mengganggu kebebasan yang tiga tersebut akan sangat berbahaya terhadap agama dan kekuasaan mereka, sebab kaum muslimin akan cepat sadar dan bangkit fhirahnya dengan demikian mereka akan bangun berjihad melawan penguasa-penguasa kuffat tersebut. Mereka benar-benar memahami hal ini dan berpengalaman karena belajar dari nenek moyang mereka, dulu orang-orang komunis yang beragama sosialisme melarang orang-orang Islam yang berada di bawah kekuasaannya untuk menunaikan ibadah-ibadah ritual termasuk shalat lima waktu, tetapi ternyata sikap itu tidak banyak menguntungkan agama mereka, maka akhrinya mereka pun membebaskannya asalkan mau mengikuti agama sosialismenya.
Dan agama demokrasi lebih pengalaman lagi dalam persoalan ini orang Islam dibebaskan sebebas-bebasnya untuk melaksanakan ritual-ritual itu, pribahasanya orang Islam sampai dahinya benjut kafir sujud atau mau membangun seribu masjid disetiap kampung asal punya tanah – meskipun ada juga negara yang membatasinya – akan mereka biarkan. Masalah ini saya telah uraikan panjang lebar dalam risalah saya “Ath Thaifah al Manshurah II, dan silakan merujuk kepada risalah tersebut.
Akan tetapi kalau kita cermati pada hakikatnya tidak ada seorang pun dari para penguasa thaghut yang dengan seriuas mengurus tiga masalah besar dan penting itu, bagaimana mereka mau mengurus shalat jama’ah dengan serius, sedangkan masalah rakyatnya meninggalkan shalat pun tidak diperdulikan sama sekali padahal hukum meninggalkan shalat dengan sengaja sampai habis waktunya adalah kufur menurut ahlus sunnah. Maka di dalam daulah Islamiyah jika didapati ada rakyat yang meninggalkan shalat akan ditindak tegas, kemudian diberi wakti untuk bertaubat, jika enggan bertaubat dia akan dihukum bunuh karena telah murtad.
Selanjutnya mari kita bahas yang keempat dan yang kelima, yaitu mengurusi perbatasan dan mengurusi hukum had atau hukum hudud.
·        Mengurus hukum had.
Saya suka memilakan pembahasan ini dengan “mengurusi hukum had” karena pentingnya dan peranannya dalam masalah ini. perlu disadari bahwa hukum had meskipun hanya merupakan salah satu bagian dari hukum-hukum atau syari'at Islam yang maha sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan, akan tetapi ia bisa dijadikan sebagai salah satu tolok ukur apakah sebuah pemerintahan itu pemerintahan Islam atau pemerintahan kafir, apakah penguasa itu penguasa muslim ataukah dia penguasa munafiq dan kafir, disamping itu wajib diketahui bahwasanya pada hari ini hukum had adalah termasuk sesuatu yang paling ditakuti, dibenci, disinisi, bahkan dihina, dicerca, dicela, diejek dan disunda guraukan oleh orang-orang kafir yang tulen maupun yang murtad termasuk para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam yang demikian itu dilakukan baik dengan lisanul hal maupun lisanul maqal. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang tidak henti-hentinya mengutuk hukum hudud dan pelaksanaannya sambil dengan ketololannya dan kedunuannya, mengatakan h hukum had adalah hukum primitif, hukum manusia yang tidak berbudaya dan berhamaddun, hukum badui, hukum kejam dan ekstrem tidak sesuai dengan zaman kini dan sebagainya dan sebagainya.
Maka bagi siapa saja yang mau menggunakan sebagian akal sehatnya untuk memahami keadaan para thaghut-thaghut yang ada, dia akan dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa mereka bukan termasuk penguasa yang mengurus hukum had sebagaimana anggapan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. Justru sebaliknya mereka adalah para penguasa yang menentang dan mengutuk hukum had dan pelaksanaannya dan orang-orang yang berusaha melaksanakannya.
Agar supaya lebih jelas dan mudah-mudahan dengannya Allah Ta'ala membuka dan menghidupkan mata hati-mata hati yang tertutup dan yang mati, di sini akan saya uraikan secukupnya tentang hukum had.
Setiap kitab fiqh yang muktabat dalam semua mazhab baik yang mazhab Hanafi, Maliki,  Syafi’i, Hambali maupun yang dhahiri, seluruhnya membahas masalah hukum had, maka saya persilakan para pembaca untuk merujuk kepada kitab-kitab tersebut. Karena sewaktu saya menulis risalah ini tidak ada kitab-kitab fiqih yang muktabar dari mazahib yang bisa saya jadikan rujukan, yang ada hanyalah kitab “Minhajul Muslim” tulisan Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, oleh karena itu penjelasan hukum had saya akan ringkaskan dari tersebut yaitu sebagai berikut:
1.      Takrif (definisi) Al had jama’nya al hudud.
Al had (had): adalah mencegah dari perbuatan yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dengan jalan memukul (mendera) atau membunuh. Dan hudud (batasan-batasan) Allah Ta'ala adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya yang wajib dijaga dalam tidak boleh didekati. (Minhajul Muslim hal 432).
2.      hukum had atau hudud berarti: Hukuman pukul atau bunuh dan sebagainya yang dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti sexara shah menurut syari’Allah Ta'ala bahwa mereka telah melanggar had-had Allah Azza wa Jalla. Adapun had-had tersebut antara lain sebagai berikut:
      a.   Hukum had terhadap peminum khamr (arak)
            Hukuman terhadap orang yang telah terbukti minum khamr baik dengan pengakuannya sendiri ataupun dengan penyaksian dua orang yang adil yaitu: dipukul atau dicambuk 80 kali di atas punggunya dan cara melaksanakan hukumnya, peminum khmr didudukkan lalu dipukul di atas punggungnya dengan pukulan yang sederhana tidak terlalu keras dan tidak terlalu ringa sebanyak 80 kali sebatan (cambukan). Wanita juga sama dengan laki-laki, hanyasanya wanita wajib menutup auratnya dengan kaun jenis tipis yang tidak menghalangi dari pukulan.
            Komentar: apakah benar pernyataan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. yang mengatasnamakan al Hasan Al Bashri rahimahullah bahwa penguasa yang ada dihadapan mata kita ini mengurusi hukum had ini? Jawab dengan jujur, keadaan mereka justru sebaliknya mereka tidak menindak peminum khamr bahkan mereka membolehkan minum khamr meskipun dengan iseng dikhususkan tempat-tempatnya.
      b.   Hukum had terhadap orang yang menuduh seseorang telah melakukan zian  atau lewat tanpa bukti yang cukup. Hukumannya dipukul 80 kali cambukan (S. An Nur:4)
            Komentar: apakah penguasa-penguasa sekuler mengurusi hukum had ini? Jawabannya jelas tidak.
      c.   Hukum had terhadap pelaku zina.
            Hukumannya: 1. Bagi yang belum pernah menikah secara syar'i dan menggaulinya, maka dicambuk 100 kali cambukan (S. An Nur: 2) dan diasingkan dari negerinya atau dibuang ke tempat lain selama satu tahun berdasarkan hadits riwayat Imam Al Bukhari. 2. Bagi yang muhshan atau yang sudah menikah sexara syar'i, maka dirajam sampai mati.
            Cara melaksanakan hukum rajam: pelaku dimasukkan ke dalam lubangan sedalam dadanya, lalu dilempari dengan batu sampai mati di depan imam atau wakilnya dan jama’ah kaum muslimin yang jumlahnya tidak kurang dari empat orang (S. An Nur: 2). Hukum rajam adalah berdasarkan as sunnah, yang mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam seorang wanita Al Ghamidiyah dan Ma’iz radliallahu 'anhuma, juga telah merajam dua orang Yahudi yang telah berzina laknatullahi ‘alaihima.
            Komentar: Apakah par thaghut mengatur hukum had ini? Sekali-kali tidak, bahkan dengan jelas hukum mereka membolehkan segala bentuk perzinaan asal suka sama suka, dan prakteknya bisa disaksikan dimana-mana hampir di seluruh wilayah, semua orang bisa melihat kecuali bagi yang sudah tersumbat otak normalnya dan buta mata hatinya.
      d.   Hukum had terhadap pencuri.
            Hukuman pencuri adalah dipotong tangannya, jika barang yang dicuri seharga empat dinar keatas, berdasarkan firman Allah Ta'ala (S. Al Maidah: 28) dan hadits shahih riwayat Imam Muslim dan sebagainya.
            Komentar: Apakah pemerintahan thaghut itu pernah mengurusi hukum had ini, ataukah malah dengan congkaknya menjadikannya sebagai bahan ejekan dan menganggap bahwa hukum jahiliyah warisan penjajah kafir yang mereka bela itu jauh lebih baik dan bijaksana.
      e.   Hukum had terhadap perusuh dan pengacau keamanan di negara Islam.
            Hukumannya adalah dibunuh atau disalib atau dipotong kedua tangannya atau kedua kakinya atau dibuang dari m tempat kediamannya berdasarkan firman Allah Ta'ala (S.Al Maidah: 33) dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap kaum al Uraniyyin yang telah berkhianat dan menipu, yang mana mereka telah dibantu keperluannya oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diperlakuakn dengan sebaik-baiknya termasuk dibantu mengobati penyakitnya dengan minum susu/kencing unta-unta shadaqah, akan tetapi setelah sembuh malah penggembala unta tersebut dibunuh dan untanya dibawa kabur lari. (H.R. Al Bukhari dan Muslim)
            Komentar: dalam masalah Al Muharibin (perusuh dan pengacau keamanan) sengaja saya tambahkan di negara Islam untuk menolak syubuhat dan kesesatan-kesesatan ahlul bid'ah, orang-orang yang jahil dan para ulama’ su’ yang perangi dan sikapnya seperti Bal’am bin Bu’uura’ (lihat tafsir Ibnu Katsir 2/275-277). Mereka ini di setiap tempat dan zaman senantiasa menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara dan sarana antara lain
1.      Dengan terang-terangan berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan menasabkan sesuatu kepada Al Qur'an padahal sebenarnya bukan dari Al Qur'an atau dusta terhadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan mengada-adakan hadits-hadits palsu. Orang-orang yang seperti ini meskipun berusaha sembunyi-sembunyi tetapi tetap dan pasti akan tercium busuknya dan aakn terbongkar boroknya, sebab Allah Ta'ala telah menjamin menjaga nash-nash syari'Allah Ta'ala dan Al Kitab dan As Sunnah. Allah Ta'ala berfirman (S.Al Hijr: 9). Perangai seperti ini telah dilakukan oleh ummat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah Ta'ala (S.Al Baqarah: 79)
2.      Menyembunyikan nash-nash syari'at yang menunjukkan kepada kebenaran. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (S.Ali Imra: 187) dan sebagainya. Penyembunyiannya dengan bermacam-macam cara misalnya mendhaifkan hadits yang shahih agar tidak bisa dijadikan hujjah, berfatwa dengan pendapat yang sadz atau yang marjuh (tidak kuat) dan tidak menyampaikan pendapat para ulam yang rajih (lebih kuat), dan kadangkala dengan menaqal qaul ulama yang menguntungkan seleranya dan mencampakkan qaul ulama yang sama yang tidak atau kurang sesuai dengan hawa nafsunya, di antaranya juga berhujjah dengan yang ‘amn (nash yang bentuknya umum) dan menyembunyikan yang muqayyad, berhujjah yang bentuknya mujmal menyembunyikan yang mubayyan, dan lain sebagainya.
3.      Menyelewengkan nash-nash syar'i dari tempat dan kedudukan yang sebenarnya, Allah Ta'ala berfirman (S.An Nisa: 46)
Demikianlah yang terjadi, para penyesat itu akan senantiasa menggunakan ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits serta aqwalul ulama’ untuk melariskan dagangannya karena mereka menyadari tanpa dalil-dalil jualannya tidak akan laku.
Kemudian perlu diketahui bahwasanya tiga golongan manusia 1. Para penguasa yang berkuasa yang enggan kembali kepada syari'at Allah. 2. Para pengasung aliran-aliran kebendaan (materialisme). 3. Para masyayikh atau para syuyukh ahlul bid'ah dan ahlul ahwa’, mereka ini selalu berada dalam satu front untuk menentang kebenaran dan memusuhi para penegak kebenaran disetiap zaman dan tempat, termasuk pada masa kini dan di Indonesia.
Dahulu sewaktu Presiden Sukarno mencanangkan agama NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunis) dan sebagainya, maka ada sebagian golongan yang paling mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama'ah yang tidak tanggung-tanggung memberikan gelar kepada sang presiden yang nasionalis dan nyrempet-nyrempet komunis itu dengan gelaran “amirul mukminin adh dharuri fisy syaukah” kan tetapi pada masa yang sama para mujahidin yang berjuang mati-matian untuk menegakkan kalimatullah malah dilabelkan sebagai Al Muharibin, sebagai bughat, sebagai khawarij dan sebagainya dengan menggunakan dan menyelewengkan nash-nash dan qaul ahlul ilmi tidak pada tempatnya.
Dan sama juga halnya pada hari ini, para ahlul bid'ah, dan ahlul ahwa' sebagian ulama su’ dan sebagian orang yang paling mengaku bermanhaj salaf dengan lisanul hal maupun maqal telah menobatkan sawadul a'dzam dan amirah kaum muslimin yang shah menurut syari'at yang tidak shah hanya pada jenis kelaminnya saja akan tetapi jama’ahnya adalah shah, oleh karena itu siapa yang menentangnya baik dengan berdemontrasi maupun dengan kekuatan maka mereka itu adalah orang-orang khawarij atau orang-orang bermanhaj khawarij, katanya lagi kalau mau menasihati sang presiden atau sang penguasa menurut sunnah bukan dengan kekerasan, tetapi dengan cara peganglah tangannya dengan lembut ajaklah duduk berempat mata dan seterusnya….
Sebagian masyayikh dan ulama di Timur Tengah yang nama-namanya melecit membumbung di atas awan seperti Al Qardhawi, Fami Hudaibi dan sebagainya, begitu dongengan-dongengan kehebatan negara pelacur Amerika musnah dan hilang dalam sekejap mata dengan ambruknya WTC dan jebolnya benteng angker Pentagon, maka keluarlah fatwa busuk dari mulut-mulut mereka antara lain kaum muslimin wajib ikut serta memerangi orang-orang yang diduga sebagai teroris, sesuai dengan kemampuannya dan memerangi negara yang diduga melindungi mereka (Thaliban) dan katanya lagi, “tidak mengapa tentara yang beragama Islam untuk ikut serta – maksudnya bersama-sama tentara kafir – untuk memerangi mereka. Dengan alasan katanya: perbuatan terorisme adalah merupakan “harabah” menggunakan dalil (S.Al Maidah: 33) yang telah tersebut diatas. (rujuk surat kabar Asy Syarqul Ausath 08/10/2001 M).
Dahulu pasukan mujahidin yang dipimpin Nabi Musa dan Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihimus salam porak poranda dan tujuh puluh ribu yang terkorbankan dalam beberapa jam saja serta mengalami kerugian yang tidak terhitung baik dari segi maknawi maupun materi, hal ini gara-gara fatwa busuk yang terkeluar dari mulut Bal’an bin Ba’uura’.
Pada masa kini tidak lebih sedikit kerugian dan derita yang dialami oleh kaum mukminin khususnya para mujahidin jika ditinjau dari segi materi, puluhan ribu para mujahidin terkorban, satu-satunya pemerintahan Islam yang didirikan di atas as Sunnah tanpa campur tangan orang-orang kafir zionis, salibis, majusi dan sebagainya, yang ada di muka bumi ini musnah, berapa banyak orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban dan menderita, para mujahidin di seantero jagad dikejar-kejar dan tidak aman, penjara-penjara dimana-mana termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bahkan mengaku sebagai negara Islam dan sebagainya dan sebagainya semua ini tidak terlepas dari gara-gara fatwa busuknya ulama-ulama Bal’an yang bercokol dimana-mana. Para mujahidin GPK (Gerakan Penegak Kebenara) yang sebenarnya dikatakan sebagai Muharibin, bughat, khawarij, dan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Akan tetapi sebaliknya GPK (Gerakan Penegak Kekufuran) yang sebenar-benarnya malah disanjung, dibela, diberi gelaran yang mentereng lagi indah seperti aimmatul muslimin, amir sawad a'dzan, amir jama’atul muslim, sulthan Allah di muka bumi dan sebagainya.
Demikianlah sunntullah di sepanjang sejarah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnatullah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunnatullah itu. (S.Faatir: 43)
      f.    Hukum had terhadap baghyi (bughat)
            Ahlul baghyi ialah: golongan yang memiliki persenjataan dan kekuatan yang keluar dari imam (kaum muslimin yang shah menurut syari'at) karena sesuatu takwil, misalnya meyakini bahwa imam telah kafir atau karena berbuat sewenang-wenang dan zalim. Lalu mereka menjadi orang-orang yang fanatik dan menolak taat kepada imam tersebut dan keluar memberontaknya.
Kelompok bughat wajib diperangi bahkan seluruh kaum muslimin berkewajiban memerangi mereka. berdasarkan firman Allah Ta'ala (S.Al Hujurat: 9) dan dalam kitab-kitab fiqh yang muktabar seluruhnya membahas masalah ini.
Komentar: Hampir sama dengan komentar sebelumnya yaitu pada bahasan Al Muharibin (para perusuh dan pengacau keamanan). Dan sebagai tambahan perlu saya nyatakan bahwa tajuk ini merupakan maudhu’ yang paling jitu dipergunakan dan dijadikan hujjah oleh para pembela para penguasa batilnya dalam memberangus kelompok-kelompok penegak dan pejuang kebenaran yang berupaya menegakkan kalimatullah di atas bumi. Dengan membuka buku fiqh kitab kuning dalam bahasa bughat saja, sudah cukup untuk mempengaruhi orang awam bersikap membenci para mujahidin, sebab mujahidin menurut keterangan ustadz yang tolol atas nama kitab kuning yang mulia itu, mereka adalah orang-orang bughat dan khawarij yang sudah muruq dari dien dan wajib diperangi. ………………………..
g.       Orang-orang yang terkena hukum had “dibunuh”.
1.      Orang murtad
Ta’rif murtad: murtad adalah orang yang meninggalkan agama Islam kepada agama lain seperti Nasrani atau Yahudi atau kepada yang tidak bergama seperti atheis dan komunis dan dia dalam keadaan berakal dan mengikuti pilihan sendiri bukan terpaksa. (Minhajul Muslim hal 440)
Untuk melengkapi ta’rif murtad saya sertakan di sini ta’rif dari ahlul il yang lain. Kalau kita simpulkan ta’rif riddah dan murtad dari semua mazhab yang empat maupun selain yang empat adalah sebagai berikut:
Riddah: adalah kembali dari dienul Islam kepada kekufuran atau memutuskan Islamnya dengan kekufuran. Allah Ta'ala berfirman (S.Al Baqarah: 217)
Murtad adalah orang yang kufur sesudah Islamnya dengan ucapan atau perbuatan atau i’tiqad (keyakinan) atau syak (ragu-ragu).
(lihat Kasyasyaful Qina’ oleh Asy Syaikh Manshur Al Bahuti 6/167-168.
Abu Bakar al Himshi Asy Syafi’ rahimahullah dalam “Kifayatul Akhyar 2/123” mengatakan: Riddah dalam syari’at adalah kembali dari si kepada kekufuran dan memutuskan Islam, dan ini  terjadi kadangkala dengan ucapan, kadangkala dengan perbuatan, dan kadangkala dengan i’tiqad, dan masing-masing dari tiga bentuk ini di dalamnya banyak masalah-masalahnya hampir tidak terhitung.
Dan berkata Asy Syaikh Hamad bin Atiq An Najd rahimahullah: Sesungguhnya para ulama as sunnah dan al hadits mengatakan: bahwasanya orang yang murtad yaitu orang yang kufur sesudah Islamnya baik dengan ucapan, atau perbuatan, atau i’tiqad dan mereka menetapkan bahwasanya orang yang mengucapkan kekufuran ia telah kufur walaupun ia tidak meyakininya dan tidak mengamalkannya jika ia tidak mukrah (terpaksa). Demikian pula jika ia melakukan kekufuran ia telah kufur meskipun ia tidak meyakininya dan tidak mengucapkannya, begitu pula apabila ia berlapang dada dengan kekufuran yakni hatinya dan merasa lapang dan luas dengan kekufuran meskipun tidak mengucapkannya dan tidak mengamalkannya. Dan hal ini telah dimaklumi seyakin-yakinnya dari kitab-kitab mereka dan siapa saja yang telah banyak berkecimpung dalam arena ilmu, tentunya telah sampai salah satu thaifah dari yang demikian itu. (Ad Difa ‘an ahlis sunnah wal ittiba’, oleh Asy Syaikh Hamad bin Atiq, hal 30)
(Rujuk Al Jami’ buku 8 “Al Iman wal Kufr” oleh Asy Syaikh Abdullah Qadir bin Abdul Aziz, hal 14-19)
adapun murtad yang dikenakan hukum bunuh hanyasanya murtad yang lahir dan nampak yaitu murtad dengan ucapan dan perbuatan, adapun yang i’tiqad selama tidak dilahirkan urusannya kembali kepada Allah Ta'ala, adapun hukum dunia ia tetap dianggap sebagai muslim.
Contoh-contoh murtad banyak sekali silakan anda merujuk buku-buku fiqh, di sini saya beri beberapa contoh saja sebagai berikut:
1.      Murtadnya dengan ucapan, misalnya: Mencela Allah, mencela Rasul dari Rasul-rasul-Nya, mencela malaikat …………. termasuk mencela hukum-hukum Allah dan sebagainya. Atau mengucapkan apa saja dari jenis ucapan yang kufur dengan sengaja tanpa terpaksa.
2.      Murtad dengan perbuatan, misalnya: Mengganti ahludh dhalal' Islam masuk agama lain, menghina mushaf dengan menginjak-injak atau mencampakkannya ke tempat-tempat kotor, sujud dan rukuk kepada berhala, ikut serta beribadah dan menyembah di tempat-tempat ibadah orang-orang kafir dan sebagainya.
Termasuk orang-orang yang terkena hukum “bunuh” adalah:
(2). Orang zindiq. (3) Tukang sihir. (4) Orang yang meninggalkan shalat. Keterangannya bisa dirujuk (Minhajul Muslim hal 442-443.
Komentar: Apakah penguasa-penguasa thaghut itu mengurusi hukum had orang-orang murtad, orang-orang yang meninggalkan shalat dan sebagainya. Coba perhatikan betu-betul masalah ini agar tidak ngomong seenaknya mengikuti goyangnya lidah. Justru hukum kufur mereka itu menjamin kebebasan keyakini. Seseorang yang sudah dewasa – kalau tidak salah – umur 18 tahun, maka bebas menentukan keyakinannya, mau pilih Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, sontoloyo terserah tidak ada paksaan. Maka kalau ada seorang pemuda atau pemudi muslim/muslimah yang murtad dari agamanya sesudah dewasa, lalu orang tuanya mengadukan ke pengadilan, maka orang tua tersebut akan ditertawakan oleh hukum-hukum kufur itu dan aduannya akan sia-sia belaka, hal ini sering terjadi di Malaysia yang rata-rata kaum muslimin di sana masih punya rasa cemburu dan sensitif terhadap murtad, kalau di Indonesia kebanyakan sudah hilang perasaan itu – kecuali yang dirahmati Allah – bahkan tidak sedikit yang dengan bangganya tinggal di satu rumah atau satu keluarga yang penghuninya beragam agamanya, misalnya bapak dan ibunya beragama Islam karena berasal dari keluarga Islam, anak pertama murtad masuk agama Kristen, anak kedua murtad masuk agama Hindu, anak ketiga murtad tidak beragama dan seterusnya. Dan dengan bangganya megatakan: inilah potret dari keluarga yang harmonis, keluarga yang berjaya mengamalkan prinsip toleransi dan keluarga yang paling pancasilais dan sebagainya. (……………….)
Kemurtadan-kemurtadan seperti ini sudah membudaya resam tanpa ada reaksi dan tindakan apa-apa dari pihak berkuasa bahkan direstui, maka bagaimana Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. berani menyatakan mereka mengurusi hukum had dan mengatasnamakan al Hasan Al Bashri. Rahimahullah. Saya katakan: Seandainya al Hasan Al Bashri rahimahullah hari ini dibangkitkan dari kubur, saya yakin Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. tidak akan terlepas dari kecaman beliau dan dampratnya karena telah dengan semena-mena mempergunakan qaulnya tidak pada tempatnya bahkan untuk menyokong para thawaghit.
Jika penulis buku “Muamalatul Hukkam” menaqal qaul Al Hasan Al Bashri rahimahullah untuk menguatkan pandangannya tentang peranan para penguasa Saudi Arabia, hal ini tidak terlalu aneh sebab secara lahirnya mereka memang masih mengurusi lima perkara tersebut meskipun banyak kepincangan dan kekurangan, hanya yang mengurus perbatasan, mungkin tidak sesuai dengan yang dimaksud Al Hasan Al Bashri rahimahullah sebab para penguasa Saudi mengurusi perbatasan negerinya yang direka-reka oleh penjajah itu dengan menyerahkannya antara lain kepada tentara-tentara penjajah kafir salibis Amerika.
Akan tetapi yang malang Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. yang mana menaqal fatwa dan qaul tanpa ilmu dan tidak memahami hakikat yang dinaqal. Orang seperti ini kata Al Allamah Ibnul Qayyim sebagaimana yang telah tersebut sebelumnya dia akan sesat dan menyesatkan, dan demikianlah yang terjadi, pembaca makalah tulisan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. yang tidak dapat membedakan antara putih dan hitam, antara belut dan ular, antara kambing dan anjing pasti akan tersesatkan – kecuali yang dirahmati Allah – sesatnya minimal menganggap seolah-olah al Hasan Al Bashri seorang tabi’in yang penuh dengan kekufuran dan kesyirikan itu, maka bentuk naqal aqwal ulama seperti ini merupakan sikap tidak amanah dan akhlak yang tidak baik terhadap ulama salaf. (………………..)
·        Mengurusi perbatasan
Yang dimaksud perbatasan terjemahan dari qaul al Hasan Al Bashri rahimahullah – wallahu a'lam – saya tidak mengetahui secara pasti sebab tidak mengetahui bahasa aslinya, apakah bahasa aslinya al hudud ataukah ats tsughur, akan tetapi saya yakin bahwasanya perbatasan yang dimaksud oleh beliau adalah istilah syar'i sebagaimana empat istilah syar'i yang lainnya, yaitu jum’ah, jama’ah, ‘id, dan hukum had.
Istilah perbatasan dalam syar'i biasanya disebut ats tsughur, yaitu tempat-tempat di mana musuh (orang-orang kafir) berkemungkinan masuk dari situ untuk menyerang kaum muslimin dan negeri mereka.
Bertempat tinggal di tsughur (perbatasan) untuk menjag keamanan kaum muslimin dari serangan musuh kuffar disebut “ribath”.
“Ribath” dalam syari'at Islam merupakan amalan yang sangat utama, berpuluh-puluh hadits shahih dan hasan yang menerangkan masalah ini, jika disimpulkan kandungannya antara lain sebagai berikut:
1.      Ribath sehari lebih baik daripada dunia dan apa yang ada diatasnya. (H.S.R. Al Bukhari no. 2892)
2.      Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan qiyamnya (shalat malamnya termasuk tarawih), dan ribath sebulan lebih baik daripada puasa setahun. (H.S.R. Muslim no 1913).
3.      Jika orang yang ribath mati, amal shalih ribathnya mengalir terus. (H.S.R. Abu Daud 3/20, Allah Ta'ala Tirmidzi 3/98 dan Al Hakim 2/144)
4.      Jika mati dalam keadaan ribath, ia akan aman dari ketakutan yang maha dahsyat pada hari kiamat. (H.S.R. Ibnu Majah 2/924)
5.      Jika mati dalam ribath, Allah Ta'ala bangkitkan pada hari kiamat sebagai mati syahid. (H.S.R. Ibnu Majah 1/516 dan Musharrif Abd Razzaq 5/283)
6.      Dia memperoleh ganjaran dari amal shalih yang dikerjakan oleh kaum muslimin yang dijaganya. (Majma’uz Zawaaid, Al Haitsami 5/289 dan Rijalnya tsiqat)
7.      Ribath sehari fi sabilillah lebih baik daripada seribu hari berada di tempat lain. (H.H.R. At-Tirmidzi 3/108, An Nasai 6/40, dan Musharraf Abu Syaibah 5/368)
(Rujuk Masyari’ul Asywaaq ila Mashari’ul Usysyaq fi Fadhalil Jihad, Ibnu Nahhus, syahid tahun 814 H, Tahdzib wa Tanqih Dr. Shalah Abd. Fattah Al Khalid hal 139-146)
Segala bentuk perbatasan yang berada di wilayah negara Islam yang sebenarnya menurut syari'at – apalagi di negara murtad dan kafir – yang telah diyakini aman artinya musuh tidak mungkin datang melalui tempat tersebut, maka secara syar'i tempat tersebut tidak disebur “tsughur” yang berarti tidak ada amalan ribath di situ.
Imam Malik rahimahullah melemahkan adanya amalan ribath di Jiddah alasannya karena musuh hanya datang sekali dalam satu tahun (pada masa beliau). (idem/ibid hal 148)
Amalan ribath senantiasa bergandengan dengan jihad, maka tidak ada ribath di suatu tempat yang tidak ada jihad, tempat ribath disebut “tsughur” yaitu tempat yang berada di antara kaum muslimin dan musuh mereka.
Maka seluruh negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dan telah dijamin keamanannya tidak akan diserang musuh, maka tidak ada istilah tsughur dan ribath di daerah-daerah tersebut. Misalnya Jazirah Arabia di zaman Khulafaur Rasyidin, kecuali tempat-tempat tertentu yang memang di situ ada jihad seperti memerangi orang-orang murtad.
Imam Malik rahimahullah ditanya: “Mana yang lebih anda sukai, saya bertempat tinggal di Madinah Munawarah atau di Iskandariyah?” Maka beliau menjawab, “Bertempat tinggallah engkau di tsugr Iskandariyah.” (Ibid hal 145)
Beliau mengatakan tsugr (perbatasan) Iskandariyah sebab di Iskandariyah pada masa itu ada jihad.
Berkata Khalifah Rasyid Utsman bin Affan radliallahu 'anhu: “… Sesungguhnya Syam adalah bumi ribath, dan tsughur (perbatasan)nya yang paling afdhal adalah pesisirnya (tepi laut) dan ribath di situ pahalanya besar sekali.” (Idem hal 146)
Al Harits bin Hisyam radliallahu 'anhu saudara kandung Abu Jahal, beliau masuk Islam pada waktu Fathu Makkah, beliau merasa iri dengan kelebihan shahabat-shahabat lain yang lebih dahulu masuk Islam dan telah banyak beramal dan berjihad bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk merampal dan menebus kekurangannya, maka ia meninggalkan Mekkah keluar pergi menuju Syam untuk menunaikan ibadah ribath dan jihad di sana sampai menemui syahidnya dalam pertempuran Yarmuk. (Idem 145)
Berkata Ibnu Nakhas rahimahullah: Dan di antara tempat-tempat yang disukai untuk menenunaikan ribath di situ karena merupakan tsughur yaitu Iskandariyah, Dimyath, Uka (Aka), Shaida (Shida), Beirut, Tharables, Anthakiah, Qazwain dan Andalus dan sebagainya. (idem hal 146)
Allah Ta'ala berfirman (S.Al Ankabut: 69)
Berkata Sufyan bin Uyainah radliallahu 'anhu: Apabila kamu melihat manusia berselisih maka hendaklah kamu (ikuti) mujahidin dan ahluts tsughur (orang-orang yang ribath di perbatasan), karena sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: “………………….” “Sungguh benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (29:69) (Ibid hal 73)
Dan keterangan di atas – lebih jelas lagi baca dalam kitab-kitab fiqhul jihad – dapat disimpulkan bahwa ungkapan ats tsughur jika dinyatakan dalam syari'at atau dinyatakan oleh shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (…………………….) berarti ats tsughur (perbatasan) yang di situ terdapat amalan ribath dan jihad.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah yang ucapannya dinaqal oleh Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. tersebut adalah salah seorang tabi’in yang agung dan kalau tidak salah beliau termasuk salah seorang murid di madrasah-madrasah tafsir yang terkenal yaitu:
1.      Madrasah Mekkah Al Mukkarramah.
-   Ustadznya adalah : Ash Shalah Al Jalil, Abdullah bin Abbas radliallahu 'anhuma
-   Muridnya adalah: Sa'id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus dan Atha’.
2.      Madrasah AL Madinah Al Munawarah.
-   Ustadznya adalah: Ash Shahabi Ubay bin Ka'ahlul bid'ah radliallahu 'anhu
-   Muridnya adalah: Zaid bin Aslam, Abu Al ‘Aliyah, Muhsamad bin Ka'ahlul bid'ah al Qurdhi.
3.      Madrasah Al Iraq (Irak)
-   Ustadznya adalah: Ash Shahabi Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhu
-   Muridnya adalah: Al qamah, masyruq, Al Aswad, Murrah, Amir, Al Hasan dan Qatadah.
Nama Al Hasan Al Bashri rahimahullah adalah hidup di awal-awal abad zaman kejayaan Islam dan kaum muslimin, yang saya maksud awal-awal abad yaitu pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (10 tahun beliau memimpin pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah). Lalu pada masa Khulafaur Rasyidin (selama 35 tahun) dan seterusnya adalah masa Khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Masa-masa tersebut termasuk sebaik-baik abad yang disaksikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana hadits shahih: “…………………………………………………” artinya: sebaik-baik manusia adalah abadku, lalu orang-orang yang berikutnya kemudian berikutnya. (H.S.R. Muslim)
Pada masa kekhilafahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah meskipun pada saat iru benyak terjadi perselisihan bahkan terjadi peperangan antar dalaman kaum muslimin diawali sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan radliallahu 'anhu, akan tetapi perjuangan iqamatuddin dengan jihad fi sabilillah tentang bentuknya jihadut thalab (ekspansi perluasan wilayah) terus dengan gemilangnya sehingga belum masuk tahun 102 Hijriyah saja yang pada saat itu kekhalifahan masih berada di tangan Bani Umayyah, kekuasaan Islam telah menyebar luas sampai ke negeri-negeri Sind dan sebagian besar wilayah India dan sampai ke perbatasan negeri Cina dibagian timurnya dan ke barat sampai ke negeri Andalusia (Spanyol dan Portugis) di Eropa dan seterusnya.
Kalau kita baca dalam buku-buku sejarah – wallahu a'lam bish shawab – dinyatakan bahwa kebanyakan khalifah pada Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah adalah dhalim bahkan ada di antaranya yang fasik, akan tetapi yang perlu dimengerti tidak sedikit dari pada urusan ribath dan jihad bahkan mereka terjun sendiri ke medan tempur. Harun Ar Rasyid yang terkenal khalifah yang kaya raya itu mempunyai kebiasaan mengamalkan ibadah haji dan jihad bergantian, tahun yang satu pergi haji maka tahun berikutnya pergi berjihad. Al Mu’tashim Ibnu Ar Rasyid, Amirul Mukminin salah seorang khalifah Abbasiyah sesudah Al Makmun, meskipun beliau terpengaruh dengan i’tiqad muktazilah termasuk fitnah khalqil qur’an, tetapi perlu dicatat bahwa beliau seorang mujahid yang handal dan pemberani, beliau berkali-kali terjun dalam pertempuran memerangi Rum (salibis) termasuk dalam pertempuran yang terkenal “Umuniyah” pernah beliau dikirimi surat oleh raja Rum yang berisi ancaman dan ultimatum, namun beliau tidak takut sama sekali dengan ancaman itu, beliau jawab dengan singkat saja:

Artinya: jawabannya anda akan lihat, bukan apa yang anda akan membacanya. Dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik itu) (13:42).
Dan banyak lagi dari contoh-contoh amal jihadi khalifah-khalifah yang lain yang tidak munkin ditulis di sini, silakan membaca dalam kitab-kitab tarikh.
Dan jabaliat (front-front pertempuran) dan tsughur (tempat-tempat ribath) pada masa kekhalifahan tersebut dipenuhi oleh kaum muslimin baik yang bir maupun yang fajir, yang ahlus sunnah maupuny ahlul bid'ah, yang ulama maupun yang umara’, yang terpelajar maupun yang tidak terpelajar dan sebagainya. Semua ini tidak terlepas dari jasa dan pentadbiran para khalifah tersebut. Maka tidak anehlah bahkan begitulah yang terjadi sebenarnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah mereka adalah mengurusi tsughur (perbatasan 0
Komentar: Apakah penguasa-penguasa sekuler sekarang ini mengurusi perbatasan sebagaimana yang dimaksud Al Hasan Al Bashri rahimahullah?
Untuk memahami masalah ini dengan baik, perlu mempelajari sejarah, baik sejarah kawan (sejarah Islam) maupun sejarah lawan (selain Islam, salibis dan sebagainya). Sejarah Islam khususnya sejak mulai melemahnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pada paruh pertengahan akhir abad 18 Masehi, kemudian siran dari permukaan bumi pada tahun 1924 M (kekuasaan Khilafah Utsmaniyah selama + 600 tahun, dari tahun 1300 M hingga 1924 M) sampai hari ini. adapun sejarah lawan, khususnya mulai ambruknya kekuasaan gereja di Eropa kemudian dibentuklah negara-negara yang baru yang memiliki perbatasan-perbatasan dan kekuasaan yang diakui sebagai tuntutan dari hasil keputusan perjanjian Lestivalia tahun 1648 M. Sesudah terjadi peperangan demi peperangan di Eropa, perang selama 30 tahun antara negara kafir Katolik melawan protestan, lalu muncullah agama sekuler (sekularisme) dengan demokrasi dalam bidang politik, kapitalisme dalam bidang ekonomi dan liberalisme dalam bidang sosial.
Negara-negara yang modern tersebut saling gontok-gontokan, saling berselisih salin gberperang yang tidak berkesudahan, berpuluh-puluh juta jiwa yang terkorban dalam Perang Dunia I (1914-1918 M) 10 juta, dalam Perang Dunia II (1939-1945 M) 5 juta. Belum lagi peperangan-peperangan sebelumnya, baik perang antar negara-negara Eropa maupun antara Amerika Utara dan Selatan. Padahal mereka sama-sama kuffarnya, sungguh benar firman Allah Ta'ala, “Kamu mengira mereka bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (S.Al Hasyr: 14) dan (S.Al Maidah: 14, 64)
Kenapa mereka berperang? Tak lain dan tak bukan hanyalah karena masing-masing mau berkuasa di Eropa dan berebut untuk dapat menguasai negara-negara jajahan yang belum maju di sebrang laut (Afrika dan Asia) demikian juga negara-negara modern di Amerika Utara dan Selatan.
Abad demi abad saling ganti berganti. Negara thaghut modern yang berkuasa dan bercokol congkak, sombong, dan pongah di atas permukaan peta dunia. Maka abad 16 Masehi adalah abad Spanyol dan Portugal (Portugis), abad 17 Masehi abad Belanda, abad 18 dan 19 Masehi, dua abad ini adalah abad Inggris dan Prancis dan abad 20 adalah abad Amerika. Kita berdoa semoga Allah Ta'ala menghancurkan Amerika dan seluruh orang-orang kafir dan menjadikan abad-abad berikutnya abad-abad Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Kemudian sesudah negara-negara thaghut itu khususnya Inggris, Prancis, Itali, dan Yunani yang dikendalikan oleh Zionis internasional bekerja sama dengan para munafiqin yang ajam maupun yang arab, berhasil menggulingkan kekhalifahan Islam Utsmaniyah di Turki. Maka mereka para syaitan itu membuat seribu satu makar dan strategi antara lain satu saja yang akan saya sebutkan di sini yang berhubungan dengan bahasan kita yaitu: Membagi-bagi dan mengkotak-kotakkan serta memecah-mecahkan seluruh bumi dan wilayah yang tadinya berada di bawah kekuasaan khilafah, baik yang ada di Eropa Timur dengan sebutan negara-negara Balkan, maupun yang berada di Arab dikotak-katikkan sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan termasuk juga negara-negara yang ada di Asia Timur, Afrika Timur, dan lain sebagainya.
Masing-masing petaan bumi mereka bikin batasan-batasan, lalu mereka angkat penguasa-penguasa yang mereka akui dan mau tunduk kepada mereka dan yang siap menjalankan segala kebijaksanaan termasuk melaksanakan undang-undang mereka. Dan di antara bukti jahatnya mereka dalam masalah amenentukan perbatasan-perbatasan antara satu negara dengan negara laim, maka mereka buat satu wilayah yang tidak bertuan baik berbentuk pulau, hutan, gunung, gurun, sungai dan sebagainya. Makar ini mereka maksudkan agar tempat tersebut menjadi ajang pertikaian, perselisihan,dan peperangan antara satu negara dengan negara yang lainnya. Lalu dengan pertikaian mereka mengeruk keuntungan dari segala seginya termasuk menjual senjata dan sebagainya dan pada akhirnya dua negara yang bertikai tersebut akan merujuk kepada mereka dan menjadikan syaitan itu sebagai pengadil. Coba kita bayangkan di negara arab saja tidak kurang dari 100 titik wilayah tidak bertuan di perbatasan, dan hal ini terus menerus menjadi ajang pertikaian antar negara-negara arab yang berjiran dan menyulut api peperangan antar negara, seperti perang Irak dan Kuwait, perselisihan Oman dan Yaman, perselisihan Mesir dan Sudan, perselisihan Libya dan Chad dan perselisihan Aljazair dan Maghribi dan lain sebagainya termasuk di Asia Tenggara.
Dengan pembagian dan pengkotak-kotakan bumi itu yang mana masing-masing mempunyai daulah dan kekuasaan sendiri-sendiri maka menjadi suburlah keyakinan dan perasaan ashabiyah nasionalis dan kebangsaan yang dilarang dan diharamkan Allah Ta'ala. kaum muslimin yang tinggal di negara-negara tersebut – kecuali yang dirahmati Allah – akhirnya lebih sensitif disenggol kebangsaannya daripada Islamnya, kebangsaannya diusik mereka bangkit dan mengasah arit, dari pada masa yang sama Islam diinjak-injak kaum muslimin dimana-mana goyang kaki dan berpangku tangan.
Dan untuk memenuhi tuntutan dan memfungsikan perbatasan-perbatasan tersebut, maka direkalah surat-surat izin untuk melalui perbatasan-perbatasan seperti passport (paspor) dan sebagainya dengan warna-warna tertentu sesuai dengan pesan bos. Dan tidak ada yang paling untung dengan wujudnya selain jaringan iblis dan syaitan. Dengannya mereka bisa kontrol dunia, sebaliknya karenanya kaum mukminin yang jujur ingin menegakkan dienullah di muka bumi tersekat.
Seterusnya di samping perlu mempelajari sejarah kawan maupun lawan, perlu juga mengetahui kondisi dan situasi nasional maupun internasional. Sebenarnya kaum muslimin wajib mengetahui hal tersebut terutama para ulamanya lebih khusus lagi yang hendak berfatwa dalam masalah yang bersangkut paut dengannya.
Adapun dalil-dalilnya sebagai berikut:
1.      Hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari dan Muslim yang mengkisahkan adanya seorang yang telah membunuh seratus jiwa lalu dia ingin bertaubat – singkat ceritanya – maka bertemulah dia dengan seorang alim pada masa itu, si alim menyuruhnya pergi ke suatu negeri karena di negeri itu terdapat orang-orang yang beribadah kepada Allah, dalam menyuruh dia supaya beribadah kepada Allah bersama-sama mereka, dan tidak boleh kembali ke negerinya kafir negerinya adalah negeri yang jahat.
Coba perhatikan si alim tersebut benar-benar mengetahui dan memahami kondisi mana negeri yang shalihah dan mana pula yang su’, dan demikian pula hendaknya para ulama’ disetiap zaman dan tempat wajib mengetahui secara detil kondisi suatu negeri yang baik dan yang buruk serta keadaan penduduknya dan para penguasanya, sebab dengannya banyak tuntunan dan kewajiban-kewajiban syar'inya, seperti: hijrah, jihad, dan hukum-hukum muwaalat (loyalitas) dan mu’aadat (permusuhan) dan sebagainya. Dan seorang alim tidak boelh hanya ansih memperhatikan batasan-batasan politik di negerinya, yaitu batasan yang direkayasa oleh musuh-musuh Islam untuk memecah belah kaum muslimin, akan tetapi yang paling menyedihkan, kebanyakan orang yang mengaku alim pada masa kini termasuk yang kerjanya berfatwa – kecuali yang dirahmati Allah – tidak peduli sama sekali dengan masalah kondisi baik nasional mupun internasional, dengan demikian fatwa yang dikeluarkan kebanyakannya tidak memenuhi tuntutan syari'at bahkan sesat dan menyesatkan.
2.      Allah Ta'ala berfirman (S.Ar Rum: 1-4)
Ayat-ayat ini turun pada saat kaum muslimin masih berada di Mekkah, sebelum hijrah, namun demikian Allah Ta'ala dengan ayat-ayat itu menolehkan pandangan mereka kepada kondisi dunia yang terjadi di sekitarnya pada masa itu serta perimbangan kekuatan internasional yang ada dengan kata lain agar mereka memperhatikan percaturan politik internasional dan pergolakan dunia, sebab pada zaman itu negara super power dunia adalah Persi dan Rumawi.
Maka memperhatikan politik internasional bukan termasuk sesuatu yang hukumnya sunnah bahkan wajib hukumnya, sebab dinul Islam bersifat internasional untuk alam dan dunia keseluruhannya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia dengan keumumannya ini tersusunlah pembagian manusia ada yang muslim ada yang kafir, begitu juga dunia ada yang negara Islam dan adalah yang negara kafir, sebagaimana yang telah diuraikan di atas dalam bab dujar (negara-negara). Allah berfirman (S. Al Furqan: 1 dan S. Al A'raf: 158)
3.      Banyak nash-nash dari Al Kitab dan As Sunnah yang menyatakan bahwa orang mukmin adalah bersaudara, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban terhadap yang lain, bagaimana seorang muslim atau mukmin bisa menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya yang lain kalau tidak mengetahui kondisi mereka. Bahkan dalam beberapa nash, memberikan ancaman terhadap orang Islam yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin.
Bagi pembaca yang ingin memahami sejarah dan kondisi kawan dan lawan secara baik saya sarankan mengikuti petunjuk Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. (Liht al Jami’ buku 14/84-117)
Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan antara lain:
1.      Perbatasan-perbatasan negara-negara yang bersifat politik pada masa kini adalah rekaan dan bikinan musuh-musuh Islam yang bermuatan makar atau rencana jahat.
2.      Perbatasan-perbatasan tersebut adalah merupakan bid’ah dhalalah, dan termasuk di antaranya bid’ah yang paling besar pada masa kini.
3.      Perbatasan-perbatasan tersebut tidak ada hubung kaitnya dengan istilah ats tsughur atau perbatasan dalam syari'at.
Dengan demikian maka mengurusi perbatasan menurut istilah syari'at bukan berarti menjaga perbatasan untuk mengawasi pendatang haram (ilegal) dan menangkapinya sebagaimana yang dilakukan oleh polisi Malaysia baik pendatang tersebut msulim atau non muslim, atau yang dilakuan polisi Indonesia untuk mengawasi pembajak laut atau pencuri kayu dan sebagainya, dan tidak pula seperti yang dilakukan oleh pegawai-pegawai imigrasi di port-port atau pelabuhan-pelabuhan baik udara laut dan darat. Atau yang dilakukan tentara dan polisi di berbagai perbatasan dan tempat dengan pejuang Islam yang dilabel oleh musuh-musuh dengan sebutan teroris dan fundamentalis dan sebagainya.
Sebagai catatan: segala bentuk penjagaan di pos-pos penting di bawah pemerintahan Islam daulah maupun khilafah yang dilakukan seorang muslim dengan niat semata-mata  karena Allah bisa disebut amalan ribath fi sabilillah. Sebaliknya segala amalan yang secara lahirinya seperti ribath bahkan di medan perang yang dilakukan seorang muslim di bawah pemerintahan non Islam seperti sekuler dan sebagainya, meskipun niatnya semata-mata karena Allah, amalan tersebut tertolak di sisi Allah. Sebab amal ibadah diterima Allah jika memenuhi dua syarat:
1.      Ikhlas (semata-mata karena Allah Ta'ala dan mengharap ridha-Nya)
2.      Mutaba’ah (mengikuti sunnah) artinya ribath atau jaganya mesti fi sabilillah dalam rangka menegakkan kalimatullah, jika fi sabilit thaghut dan dalam rangka menegakkan kalimatut thaghut, maka sebaliknya dia akan berdosa bahkan kalau dudah sampai kepada memberikan perwalaannya dia kan terjatuh dalam kekufuran dan jika dia mati disaat itu dalam belum bertaubat dia akan mati dalam keadaan kufur dan su’ul khatimah. Naudzu billahi min dzalik.
Jadi pernyataan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dengan menaqal ucapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah bahwa penguasa-penguasa sekuler pada masa kini mengurusi perbatasan sebagaimana yang dimaksud Al Hasan Al Bashri rahimahullah, maka saya nyatakan di sini bahwa pernyataan tersebut salah dan batil serta menyelewengkan dan meletakkan qaul salaf tidak pada tempatnya.
·        Penguasa dzalim menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Setelah kita bahas “Penguasa Dzalim” menurut Al Hasan Al Bashri rahimahullah, mari kita lihat pendapat pendapat para ahlul ilmi yang lain, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu'ul Fatawa 28/179 dari fiqih siyasah syar’iyyah hal 163, sebagai berikut: Sabar terhadap kedzaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama'ah. (buka majalah Asy Syari’ah no.5/1/11/1424 H/02/2004  hal 13)
Saya katakan ucapan Syaikhul Islam merupakan ucapan yang haq, akan tetapi dalam makalh tersebut dikehendaki dengannya yang batil, karena penguasa dzalim dalam makalah tersebut dimaksudkan dengannya penguasa-penguasa sekuler pada masa kini termasuk penguasa Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Maka sekali lagi Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. menyelewengkan ucapan salaf dan meletakkannya tidak pada tempatnya, syaikhul Islam menghendaki dengan ucapannya ke arah kiblat, tetapi Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. membawa ucapan tersebut ke arah sebaliknya membelakangi kiblat. Syaikhul Islam hendak mendaki bukit, dia malah terjun ke dalam jurang. (……………………….).
Oleh karena itu mari kita dudukkan ucapan Syaikhul Islam tersebut di atas kedudukan yang sebenarnya dan sabar terhadap kedzaliman penguasa yang mana, yang beliau katakan sebagai prinsip ahlus sunnah wal jama'ah itu?
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di tempat lain bahwasanya bersabar terhadap pemimpin-pemimpin yang dhalim dan tidak memberontak terhadap mereka adalah telah menjadi ketetapan pendapat ahlus sunnah setelah terjadi perselisihan yang lama dalam masalah ini. (Minhajus sunnah 2/241)
Untuk memahami siapa yang beliau maksudkan para pemimpin yang dzalim itu, maka perlu kita uraikan secukupnya maksud ucapan beliau, “setelah terjadi perselisihan yang lama dalam masalah ini.”
Imam An Nawawi telah menyebutkan  adanya perselisihan lama di kalangan ahlus sunnah wal jama'ah dalam menghadapi pemimpin yang dzalim, ada yang berpendapat boleh memberontak bahkan ada yang berpendapat wajib dan ada pula yang berpendapat tidak boleh, beliau menukil ucapan Qadhi ‘Iyadh: (ucapan selengkapnya lihat pada risalah ini hal 42) dan pada akhirnya ahlus sunnah wal jama'ah bersepakat atau berijma’ atas dilarangnya memberontak terhadap mereka.
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh: Dikatakan bahwa perselisihan ini adalah pada awal-awal, kemudian terjadilah ijma’ atas dilarangnya memberontak terhadap mereka – wallahu a'lam – syarah An Nawawi li Shahih Muslim 12/229.
Adapun alasan dari masing-masing pendapat tersebut sebagai berikut:
1.      Kelompok yang berpendapat boleh bahkan wajib alasannya adalah amalan salaf antara lain:
a.       Al Husein bin Ali bin Abi Thalib radliallahu 'anhuma pada tahun 61 H memberontak terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. (Fathul Bari 13/63)
b.      Ash Shahabi Abdullah bin Handzalah pada tahun 63 H memberontak Yazid bin Mu’awiyah. (Al Bidayah wan Nihayah 8/217 dan Fathul Bari 6/ 118, 13/68)
c.       Ash Shahabi Abdullah Az Zubair radliallahu 'anhu memberontak terhadap khilafah Bani Umayyah dan meminta dibai’at setelah wafatnya Yazid bin Mu’awiyah dan akhirnya beliau menjadi Amirul Mukminin masa khalifahnya dari tahun 63-73 H. dan beliau wafat dalam keadaan terbunuh. Fathul Bari 13/69, 193 dan Al Bidayah wan Nihayah 8/238 dan sesudahnya.
d.      Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib pada tahun 127 H keluar memberontak Amir Irak Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz dan terjadi peperangan yang berkepanjangan. (Al Bidayah wan Nihayah 10/25)
e.       Muhammad An Nafs Az Zakiyah memberontak khalifah Abbasiyah Abu Ja’far Al Manshur pada tahun 145 H. Al Bidayah wan Nihayah 10/91-94.
f.        Dan masih banyak lagi pemberontakan yang terjadi karena pemimpin atau khalifah pada saat itu dinilai telah berbuat kedzaliman yang dilakukan oleh kelompok dari kalangan ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Dan yang mendasari tokoh-tokoh salaf tersebut memberontak antara lain adalah keumuman hadits-hadits yang mewajibkan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Dan Ibnu Hazm rahimahullah juga berpendapat seperti ini dan mengetahui bahwa hadits-hadits tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar menasakh terhadap hadits-hadits yang menyuruh diam (tidak memberontak). Al Muhalla 9/362 (Lihat dalam risalah ini hal 43)
2.      Kelompok yang berpendapat tidak boleh dan melarang memberontak, alasannya adalah berdasarkan hadits-hadits yang telah tersebut di atas, misalnya hadits Ibnu Abbas radliallahu 'anhu yang artinya: “Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu dari amirnya, maka hendaklah bersabar…” (H.S.R. Al Bukhari dan Muslim) dan sebagainya.
Dari keterangan singkat tersebut, cukup bagi orang yang masih ada sisa akal sehat bahwa yang dimaksud syaikhul Islam “Sabar terhadap kedzaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama'ah (Majmu'ul Fatawa 28/179), dan bersabar terhadap aimmatul juur (pemimpin-pemimpin yang dzalim). ” (Minhajus Sunnah 2/241).
Penguasa dan pemimpin di sini persis sebagaimana yang disifatkan oleh Al Hasan Al Bashri rahimahullah: Mereka mengurusi jum’ah, jama’ah, ‘id, tsughur (perbatasan) dan hukum had, dan karena syaikhul Islam mengatakan ahlus sunnah wal jama'ah telah berikhtilaf tentang hukum memberontak terhadap mereka, berarti penguasa yang beliau maksudkan adalah penguasa-penguasa yang berada di bawah naungan khilafah dan daulah Islamiyah seperti khilafah Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan sebagainya yang mana ditinjau dari syari'at mereka adalah penguasa-penguasa yang shah dari segala seginya termasuk pengangkatannya, bai’atnya dan semuanya menjaga dan menegakkan ad dien dan tidak ada satu pun di antara mereka yang merusak dasar-dasar ad dien misalnya  membuat syari'at dan undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Allah. Sebab kalau perkara ini mereka lakukan sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa murtaddin pada masa kini, tentu Syaikhul Islam tidak menyebut aimmatul juur (pemimpin-pemimpin dzalim) beliau pasti akan menyebut pemimpin-pemimpin kafir atau murtad, begitu pula Ibnu Hazm rahimahullah, beliau tidak akan sekedari beralasan boleh memberontak mereka  karena hadits-hadits amar ma’ruf dan nahi mungkar menasakh hadits-hadits yang menyuruh diam, sebab tidak ada hadits yang menyuruh mendiamkan pemimpin kafir dan murtad. Sedangkan kedua syaikh tersebut menyatakan bahwasanya barang siapa yang merubah satu syari'at saja atau membuat satu saja syari'at yang bertentangan dengan syari'at Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam dia adalah kafir keluar dari millah. (Lihat risalah ini hal 35-37)
Dan bukti-bukti lain bahwa yang dimaksud pemimpin-pemimpin dzalim oleh Syaikhul Islam itu bukan sekedar pemimpin yang ber KTP Islam, negerinya banyak masjid dan adzan terdengar di sana-sini, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian ghulat (pelampau) murji’ah pada masa kini, adalah sebagai berikut:
1.      Beliau telah mengkafirkan para penguasa Tartar yang muslim dan menyatakan wajib memerangi mereka, padahal mereka berKTP Islam di sana-sini terdapat masjid dan terdengar adzan. (rujuk dalam risalah ini hal 56-60)
2.      Beliau menyatakan bahwasanya Mesir selama 200 tahun lebih adalah merupakan darur riddah wan nifaq (negara murtad dan munafiq) sebagaimana negeri Musailamah Al Kadzdzab karena dikuasai oleh golongan Ubaidiyyin yang biasa dikenal dengan Al Fatimiyyin. Mereka adalah orang-orang zindiq dan murtaddin. Beliau katakan demikian padahal seluruh penguasanya berKTP Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam, masjid-masjid terdapat di sana-sini, suara adzan bergema di seluruh penjuru Mesir, ibadah-ibadah ritual berjalan normal (rujuk pada hal 87-88)
3.      Dalam sejarah tercatat bahwa Tartar adalah kaum yang pertama kali menisbahkan diri sebagai orang-orang Islam tetapi berhukum dengan syari’Allah Ta'ala selain syari'at Islam. (rujuk hal 58)
Dari kenyataan in berarti sebelum Tartar tidak wujud penguasa dalam Islam yang modelnya seperti penguasa Tartar atau seperti penguasa-penguasa pada masa kini yang mengaku beragama Islam tetapi membuat dan menjalannyak syari'at thaghut.
Peristiwa seperti ini (penguasa mengaku Islam tetapi enggan melaksanakan syari'at Islam) bermula pada tahun 680 H dengan masuk Islamnya Sultan Ahmad Hulaghu cucu Jenghis Khan.
Dengan demikian kita dapat mengetahui dengan jelas akan dzalimnya Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. yang telah menggunakan ucapan seorang ulama bernama Abul Walid Ath Thartusi rahimahullah tidak pada tempatnya. Beliau mengatakan: jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarangpun tidak seperti rakyat di masa lalu dan seterusnya. (Sirajul Muluk, hal 100-101) atau majalah Syari’ah no.05/1/11/1424 H/02/2004 hal 13.
Saya mengatakan lagi bahwa Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. sekali lagi telah sesat dan menyesatkan buah dari tidak pedulinya dan masa bodohnya terhadap ilmu waqi’. sehingga dia keliru memahami ucapan Abul Walid Ath Thartusi, “penguasa di masa ini dan rakyat sekarang”, dia pahami dari ucapan yang mulia itu bahwa berarti penguasa dan rakyat Indonesia yang ada sekarang ini masuk dalam katagori ucapan tersebut. Kesimpulan seperti ini adalah dhalal, antara lain alasannya sebagai berikut:
1.      Berfatwa tanpa memahami waqi’ adalah sesat dan menyesatkan sebagaimana yang telah saya uraikan sebelumnya.
2.      Berfatwa dalam masalah yang ada hubungannya dengan waqi’ tidak boleh hanya sekedar menukil. Penulis “Fiqih Siyasah Syar’iyyah” kalau berada di Saudi Arabia dengan pemerintahannya yang ada, maka jika ia menukil ungkapan tersebut tidak begitu aneh sebab pemerintahannya dalam beberapa segi masih ada kesamaan dengan pemerintahan pada masa Abul Walid Ath Thartusi yang paling kentara adalah sama-sama berhukum dengan syari'at Allah dan tidak membuat dan berhukum dengan selainnya meskipun banyak penyelewengan.
3.      Abul Walid Ath Thartusi, nama aslinya adalah Abu Bakar Ath Thartusyi Al Maliki, beliau penulis kitab “Sirajul Muluk” yang membahas tentang siyasah syar’iyyah, dan perlu diketahui bahwa beliau wafat pada tahun 520 H, berarti beliau hidup pada akhir dari bad kelima hiriah dan awal dari abad keenam hijriah. Pada tahun-tahun beliau hidup termasuk ketika beliau menggoreskan mata penanya di atas kertas berisi ucapan tersebut yang akhirnya termuat dalam buku beliau yang bertajuk “ Sirajul Muluk” pada halaman 100-101, ketika itu belum muncul dalam sejarah Islam, penguasa seperti Tartar dan seperti penguasa sekuler pada masa kini.
Oleh karena itu penguasa yang beliau maksudkan juga sama dengan yang dimaksudkan oleh Al Hasan Al Bashri, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hazm, An Nawawi, Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Hajar, dan ulama salaf yang lain (………………………..), bukan sebagaimana yang dimaksud dan diimani Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. seperti Presiden Megawati dan sebagainya.
Dengan bahasan di atas – insya Allah – bisa dipahami bagi yang masih ada sisa akal dan hati yang sehat bahwa yang dimaksud penguasa dzalim, fasik, curang, kejam dan sebagainya yang masih diakui syari'at sebagai pemimpin kaum muslimin yang shah adalah tidak termasuk para penguasa sekuler yang telah keluar dari Islam dari segala pintunya seperti masa kini. Wallahu a'lam.
Syubuhat ketiga
            I’tiqad penulis makalah sekaligus pemimpin redaksi majalah Asy Syari’ah: Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dan semisalnya, dalam masalah “iman” dan “kufur” adalah bercampur antara pemahaman ahlus sunnah dan murjiah yang sederhana sampai yang ghulat (ekstrem) nya lebih mempengaruhi sikap dan pendapat-pendapatnya. Tetapi meskipun begitu hakikatnya, mereka merasa dan mengaku sebagai orang dan kelompok yang paling beraqidah salaf dan yang paling pantas disebut ahlus sunnah wal jama'ah.
Sungguh keadaan mereka persis dengan apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu'ul Fatawa 7/364 sebagai berikut:




Maksudnya: Banyak dari mutaakhkhirin (orang-orang yang akhir) tidak bisa membedakan antara mazhab-mazhab salaf dan ucapan-ucapan golongan murjiah dan jahmiyah karena tercampurnya yang ini dengan yang itu dalam banyak pendapat dari mereka dari orang yang pada batinnya berpendapat seperti pendapat jahmiyah dan murjiah dalam masalah iman, sedangkan diamengagungkan salaf dan ahlul hadits, maka dia menyangka bahwasanya dia menghimpunkan antara keduanya, atau menghimpunkan antara ucapan orang-orang yang sepertinya dan ucapan salaf. (Majmu'ul Fatawa 7/364)
Bukti-bukti, contoh-contoh dan indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa i’tiqad mereka dalam “iman” dan “takfir” campur baur antara pendapat ahlus sunnah dan pendapat murjiah bahkan ghulatnya banyak sekali, tapi sayang di depan saya hanya ada tiga majalah Asy Syari’ah saja, yaitu: vol 1/no.05/12/1424 H, vol 1/no.04/10/1424 H, dan vol 1/no.08/1/1425 H, maka saya tidak bisa mengambil sebanyak mungkin data kemurjiahannya dari majalah tersebut, untuk melengkapinya – insya Allah – saya akan nukilkan beberapa pendapat sebagian masyayikh dan semisalnya serta para pengikutnya, karena menurut penilaian saya Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dkk hanya ikut dan taqlid saja kepada pendapat-pendapat mereka.
Sebelum saya memberikan contoh-contoh irja’ mereka, ada beberapa hal yang perlu disampaikan – insya Allah – dapat membantu untuk memperjelas masalah dan syubuhat tersebut.
Kalau kita menghendaki i’tiqad kita benar-benar sesuai dengan i’tiqad salaf terhindar dari segala pemahaman ahlul bid'ah, termasuk i’tiqad khawarij dan murji’ah, kita wajib rujuk kepada kitab-kitab tulisan ulama salaf yang kesalafannya telah diakui oleh ahlul ilmi yang tsiqqah dari ulama-ulama salaf, meskipun demikian kita tidak boleh menganggap bahwa seluruh kandungan sesuatu kitab yang kita baca itu benar semuanya tanpa membandingkan dengan kitab-kitab salaf yang lain, apalagi jika kitab yang kiya baca itu tulisan ulama-ulama zaman sekarang yang penuh dengan fitnah ini, yang mana kebanyakan para penulisnya termasuk yang mengaku salaf – kecuali yang dirahmati Allah – mereka dalam menulis memiliki i’itqad terlebih dahulu sebelum berdalil, sehingga seluruh dalil-dalil yang dikemukakan dan nash-nash yang dimuat dalam kitabnya baik dari Al Kitab, As Sunnah, ijma’, qiyas, maupun aqwal ulama semuanya yang mendukung i’tiqadnya, sementara dalil-dalil dan nash-nash yang bersebrangan dan tidak menguntungkan i’tiqadnya dilempar dibelakang punggungnya. Sikap seperti inilah antara lain yang menyuburkan munculnya bid’ah dan ahlul bid'ah.
Maka dibawah ini – insya Allah – saya akan tuliskan sebagian nama-nama buku i’tiqad yang perlu dipelajari yang para penulisnya kita yakini selamat dari fitnah i’tiqad qabal istidlal, insya Allah kitab-kitab ini dengan izin-Nya bisa mengantarkan diri kita beraqidah salaf yang sebenarnya. Adapun kitab-kitab sebagai berikut:
1.      Nama-nama kitab salaf yang membahas masalah i’tiqad.
      1.   Ar Radd a'lal zanadiqah wal jahmiyah – Ahmad bin Hambal (241 H).
2.      Ar Radd a'lal Jahmiyah – Al Bukhari (256 H).
3.      Ar Radd a'lal Basyar Al Murisi – Utsman bin Said Ad Darimi (280 H).
4.      Ar Radd a'lal Wa’idiyyah (Khawarij dan Muktazilah) wa a'lal Murjiah – Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (224 H).
5.      Kitab-kitab “Al Iman” dalam “Kutubus Sittah” Al Bukhari (256 H), Muslim (261 H), Ibnu Majah (273 H), Abu Daud (275 H), At Tirmidzi (279 H), dan An Nasai (303 H).
6.      As-Sunnah – Abu Bakar bin Abu Ashim (287 H).
7.      As-Sunnah – Abdullah bin Ahmad bin Hambal (290 H).
8.      As-Sunnah – Muhammad bin Nashar Al Marwazi (294 H).
9.      As-Sunnah – Abu Bakar Al Khallal (311 H).
10.  Asy Syari’ah – Abu Bakar Al Aajuri (360 H).
11.  Al Ibanah ‘an Syari’atil Firaqin Najiyah – Ibnu Baththah (387 H)
12.  Syarhu ushuli i’tiqadi ahlis sunnah wal jama’ah – Abul Qasim Al Lalikaui (418 H).
13.  Matnul Aqidatith Thahawiyah – Abu Ja’far Ath Thahawi (321 H). Perlu dimaklumi bahwa Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah dalam “matan” tersebut dalam membahas “iman” mengikuti cara murji’ah fuqaha’ bukan cara ahlus sunnah, karena mengikuti mazhab Abu Hanifah dan Syaikhnya Hammad bin Abu Sulaiman dan orang yang mengikuti keduanya, Al Jami’ 7/46.
14.  Syarhus Sunnah – Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Khalaf Al Barbahani (329 H).
15.  At-Tauhid – Abu Huzaimah (311 H).
16.  Al Ibanah – Abul Hasan Al Asy'ari (324 H).
17.  Aqidatus salaf Ashhabul Hadits – Abu Utsman Ash Shabuni (449 H).
18.  dan lain sebagainya.

Catatan: Jika sekiranya anda tidak mampu membaca seluruh kitab-kitab tersebut di atas, maka ada jalan yang agak mudah dan Insya Allah bisa anda tempuh untuk meluruskan i’tiqad anda supaya wasth dan mu’tadil, tidak ifrath dan tidak tafrith, tidak miring dan condong kepada murjiah dan tidak pula kepada khawarij dan ahlul bid'ah lainnya, yaitu dengan membaca tulisan-tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (yang masih utuh bukan nukilan para penulis pada masa kini) dalam masalah i’tiqad ahlus sunnah dan kritik terhadap maqalat (pendapat-pendapat) firqah-firqah yang sesat yaitu kitab Majmu'ul Fatawa beliau dari jilid I sampai jilid ke 12. Dengan membaca buku-buku itu berarti anda telah membaca seluruh intisari kitab-kitab salaf yang ditulis pada masa sebelum beliau dan sesudahnya hingga hari ini, sebab buku-buku tersebut telah menghimpun khulashal (ringkasan) seluruh kitab-kitab salaf dalam masalah i’tiqad dan menjadi rujukan seluruh penulis sesudah beliau yang menulis tentang i’tiqad salaf (pengalaman ini saya ambil dari pengalaman Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, penuli Al Jami’ lihat buku 7 hal 38-39)
2.   Kitab-kitab rujukan untuk memahami maudhu’ iman dan kufur.
a.      Kitab-kitab asas atau dasar.
1.      Jilid ketujuh dari Majmu'ul Fatawa Ibnu Taimiyah (728 H).
Jilid ini keseluruhannya membahas tentang iman, ia mengandungi kitab “Al Imanul Kabir”, dari hal 4-460 dan kitab “Al Imanul Ausath”, dari hal 461-686. Dalam  kitab ini beliau menyebutkan mazhab ahlus sunnah dan mazhab-mazhab firqah-firqah yang menyelisihi ahlus sunnah seperti muktazilah, khawarij, dan murji’ah, dengan segala puak-puaknya yang banyak, misalnya Asya’irah, Ahnaf, Jahmiyah dan lain sebagainya.
2.      Kitab “Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul” – Ibnu Taimiyah. Beliau mensifati kitab ini dengan kata-katanya: Dan sesungguhnya aku telah mengarang sebuah kitab yang agung yang saya namakan Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul dan aya sebutkan masalah ini dalam kitab tersebut yang saya tidak mengetahui ada seseorang yang mendahului sebelumnya, dan begitu juga qaidah-qaidah iman telah saya tulis di dalamnya pasal-pasalnya ia termasuk sesuatu yang paling bermanfaat dalam urusan addien (agama). (Majmu'ul Fatawa 3/277)
Dalam buku ini beliau menyebutkan tiga maudhu’ mendasar, yaitu:
a.       Tentang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukum orang yang mencelanya baik dari muslim ataupun kafir.
b.      Tentang syarat-syarat aqdudz dzimmah dan hal-hal yang membatalkannya dan hukum orang dzimmi apabila ia mencela.
c.       Tentang qaidah-qaidah takfir (mengkafirkan), khususnya penjelasan beliau bahwasanya kufur bisa terjadi dengan ucapan mukaffir (yang mengkufurkan) dan perbuatan yang mukaffir tanpa melihat tujuan atau maksud pelakunya, tanpa melihat kepada istihlal (penghalalan) dari tidak adanya, disertai dengan keterangan bahwa syarat-syarat tersebut seperti “istihlal” adalah syarat-syarat yang rusak (batil), karena syarat-syarat itu termasuk sesuatu yang masuk dalam ucapan para fuqaha’ dari mazhab Jahmiyah seperti sebagian hukum-hukum orang-orang yang murtad, misalnya orang yang mencela Allah Ta'ala, mencela istri-istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Dan maudhu’ yang berkaitan dengan hukum-hukum iman dan kufur dalam kitab Ash Sharimul Maslul ia adalah maudhu’ dhawabithut takfir (qaidah-qaidah mengkafirkan).
Saya beri contoh satu saja qaidah beliau tentang takfir, barangkali qaidah ini termasuk yang paling disinisi oleh murjiah khususnya ghulatnya, syaikhul Islam berkata:


Artinya: Dan secara global, maka barang siapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu yang sesuatu itu adalah kekufuran, dia telah kufur dengan itu meskipun dia tidak bermaksud menjadi kafir. Sebab seseorang tidak bermaksud kufur kecuali dikehendaki Allah. (Ash Sharimul Maslul hal 177-178)
3.      Kitab “Al Fashlu fil Milali wal Ahwaa’i wan Nihali – Ibnu Hazm (456 H). kitab ini membahas tentang firaq dan pendapat-pendapatnya, akan tetapi dalam menampilkan pendapat-pendapat firaq dalam masalah iman dan kufur dan perselisihan mereka dalam masalah ini beliau memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat muktazilah, khawarij dan murjiah, dan kritikannya kebanyakannya bagus akan tetapi ada beberapa kesalahan sebab dalam sebagian masalah beliau bermazhab murjiah.
Adapun bahasan iman dan kufur yang terdapat dalam buku tersebut bisa dilihat pada cetakan “Darul Jail” 1405 H, sebagai berikut:
a.       Kitab “Al Iman wal Kufri wath tha’Allah Ta'ala wal ma’aashi wal wa’du wal wa’id juz 3/227-302.
b.      Al Kalam fil wa’di wal wa’id, juz 4/79-99.
c.       Dzikrul adhaaimil mukhrijati ilal kufri an ilal muhal min aqwa li ahlil bida’: Al Muktazilah wal khawarij wal murjiah wasy syiya’, juz 5/33-98.
Perlu diingat bahwa mazhab Ibnu Hazm rahimahullah dalam masalah iman adalah murji’, dan beliau memiliki mazhab khusus dalam irja’, seluruh firqah-firqah murjiah mengeluarkan amal perbuatan dari iman, adapun Ibnu Hazm mengeluarkan amal perbuatan dari ashlul iman dan memasukkannya dalam iman yang wajib. (contoh-contohnya dan contoh irja’nya, rujuk Al Jami’ buku 9/5-6)
Maka pendapat Ibnu Hazm dalam masalah iman, dalam beberapa masalah seseuai dengan murji’ah dan dalam beberapa masalah sesuai dengan ahlus sunnah, oleh karena itu ucapan beliau: Iman dan Islam adalah sesuatu yang satu – sampai ucapannya – semua itu adalah yakin dengan hati, ucapan, dengan lisan dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. (al Muhalla 1/38)
Ta’rif tersebut meskipun secara dhahirnya sesuai bagi ahlus sunnah, tetapi pada hakikatnya menyelisihi mereka, sebab beliau tidak memasukkan amalan (perbuatan) dalam ashlul iman, sedangkan ahlus sunnah memasukkannya. Oleh karena itu Ibnu Jauzi memasukkan golongan Dhahiriyah dalam firqah murjiah dalam bukunya “Talbisu Iblis” cetakan Maktab al Madani hal 28.
Baca komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah terhadap kitab Ibnu Hazm tersebut. (Lihat Majmu'ul Fatawa 4/18-19)
4.      kitab Asy Syafaa bi ta’rifi huquqil mushthafa …….- oleh Al Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al Yahshibi (544 H).
            buku ini terbagi menjadi empat bagian, adapun maudhu’ yang berkenaan dengan masalah iman dan kufur yang kita kehendaki terdapat pada bagian yang keempat khusus dalam bahasan hukum orang yang mencela Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada juz 2 hal 926 hingga akhir kitab. Dan bisa dikatakan bahwa apa yang disebutkan Al Qadhi ‘Iyadh berkenaan dengan hukum orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ashl atau rujukan dasar bagi ahlul ilmi yang menulis masalah ini termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Ash Sharimul Maslul. Al Qadhi Burhanuddin bin Farhun Al Maliki (799 H), dalam bab riddah, dalam kitabnya “Tabshiratul Hukkam” dan Ibnu Hajar Al Maliki Al Haitami (974 H) dalam kitabnya “Al I’lamu biqawathiil Islam” yang dicetak di akhir kitabnya “Az Zawajir Finnahyi ‘an Iqtirafil Kabair” beliau menukil dari kitab “Asy Syafaa” dan banyak lagi selain mereka.
Kitab Asy Syafaa dimasukkan dalam katagori kitab asas dalam mempelajari maudhu’ iman dan kufur bukan karena bahasan hukum orang yang mencela Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam akan tetapi karena wujudnya maudhu’ dhawabithut takfir (qaidah-qaidah mengkafirkan) khususnya dari segi al qadha’ (pengadilan)
Dalam bagian keempat dipaparkan persoalan dalam segi ini yaitu:
a.       Bahwasanya menghukumi kufur terhadap seseorang di dunia adalah dengan keluarnya ucapan yang mengkufurkan dan perbuatan yang mengukufurkan darinya.
b.      Sesungguhnya orang tertentu tidak dihukumi kufur atasnya di dunia kecuali apabila telah tetap sebab (kufur) atasnya dengan jalan ketetapan syari’Allah Ta'ala yang betul.
c.       Perbedaan antara kufur yang jelas dan kufur yang mungkin (tidak jelas) atau dengan takwil (bil maaal) yang disebut “Ikfarul Mutaawwilin” (mengkufurkan orang-orang yang mentakwil) dan bahasan masalah ini beliau sudahi dengan menerangkan ucapan-ucapan yang kufur, dan yang tawaqquf yang diperselisihkan dan yang bukan termasuk kufur.
d.      Bahkan kejelasan maksud pelaku yang diperhitungkan adalah pada muhtamaluddalalah (yang tidak pasti atau yang mengandungi kemungkinan), dan tidak diperhitungkan dalam kufur yang jelas.
e.       Mungkin yang terpenting dari kandungan ucapan Al Qadhi ‘Iyadh dalam bagian ini adalah praktek-prakteknya secara amali yang diperolehi dari hukum-hukum pengadilan dan fatwa-fatwa para mufti dalam permasalahan kufur yang bermacam-macam, dan dengan membaca praktek-praktek tersebut kita akan mengetahui alangkah israf dan berlebih-lebihannya sebagian ulama pada masa kini dalam memeperhitungkan mawani’ (penghalang-penghalang) pengkafiran, seperti udzur karena bodoh dan lain sebagainya sehingga hampir membawa kepada pengguguran taklif secara keseluruhan.
Setelah keterangan tentang pentingnya kitab Asy Syafaa dalam maudhu’ iman dan kufur ada beberapa kesalahan yang perlu diambil perhatian, berkenaan dengan hadits-hadits yang dhaif alhamdulillah kebanyakannya telah ditahqiq oleh muhaqqiq, adapun hal yang perlu diperhatian yang kami maksud adalah kesalahan-kesalahan dalam maudhu’ iman, kesalahan itu dikarenakan Al Qadhi 'Iyadh mazhabnya dalam iman adalah mazhab Asya’irah, mereka termasuk firaq murjiah yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman dan bahwasanya seseorang hamba tidak kufur dengan amalan (ucapan atau perbuatan), akan tetapi dia kufur dengan kufurnya hati. Mereka bersepakat dengan ahlus sunnah bahwa orang yang melakukan ucapan atau perbuatan yang ditunjukkan dalil atas kufurnya, maka dia kafir secara dhahir dalam hukumnya dan secara batin pada hakikatnya. Akan tetapi mereka menyelisihi ahlus sunnah dalam menafsirkan kufurnya, mereka mengatakan bahwa kufur \nya bukan karena ansih ucapan dan perbuatan, akan tetapi dia melakukan hal itu (ucapan atau perbuatan) sebagai tanda bahwa dia adalah kafir dengan hatinya. Karena kesepakatannya dengan ahlus sunnah dalam menghukumi maka kitab Asy Syifaa bermanfaat untuk dipelajari dari segi qadha’ (pengadilan atau keputusan dalam maudhu’ takfir (pengkafiran))
Dari sini pembaca bisa mengetahui dengan mudah kesalahan-kesalahan Asya’irah dalam kitab (Asy Syafaa), baik kesalahan itu dari Al Qadhi 'Iyadh atau dari yang lainnya yang beliau nukil, adapun contohnya sebagai berikut:
Adapun kesalahan beliau sendiri misalnya, ucapannya dalam tafsir iman. Iman adalah: tashdiq (membenarkan) dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan, beliau tidak menyebutkan  perbuatan (2/539). Beliau menyebutkan  sebagian amalan-amalan  yang mengkufurkan, lalu berkata: sungguh kaum muslimin telah berijma’ bahwasanya amalan ini tidak didapati kecuali dari si kafir, dan bahwasanya amalan-amalan ini sebagai tanda atas kufurnya, walaupun pelakunya menyatakan dengan Islamnya (2/1073). Pendapat bahwa iman adalah membenarkan dan mengikrarkan, dan ucapannya bahwa ucapan dan perbuatan merupakan alamat (tanda-tanda) atas kufurnya hati – ini adalah pendapat murjiah hukan ahlus sunnah.
Adapun kesalahan orang lain yang beliau nukil dan mendiamkannya, antara lain ucapannya: Berkata Al Qadhi Abu Bakar: pendapat saya bahwasanya kufur terhadap Allah adalah jahil terhadap wujud-Nya, dan iman kepada Allah adalah ilmu kepada wujud-Nya, dan tidaklah seseorang kufur dengan ucapan dan tidak pula dengan pendapat, melainkan jika dia jahil terhadap Allah, maka jika dia ebrmaksiat dengan ucapan atau perbuatan yang telah Allah dan Rasul-Nya nashkan atas kaum muslimin telah berijma’ bahwasanya hal itu tidak ditemui melainkan dari orang kafir, atau tegak dalilnya atas hal itu, maka sungguh dia telah kafir, bukan karena ucapannya atau perbuatannya tetapi karena hal itu indikasi dari kekufurannya. (Asy Syafaa 2/1080).
Al Qadhi 'Iyadh dan golongan Asya’irah kalau mereka menyebut ucapan Al Qadhi, maka bermaksud dengannya. Abu Bakar Baaglani termasuk dari pendahulu Asya’irah bahkan dia tokoh besarnya, dia yang meletakkan qaidah-qaidah ilmu kalam, wafat tahun 403 H.
Ucapan Al Baaglani  bahwa kufur terhadap Allah adalah jahil terhadap wujud-Nya adalah jelas-jelas mazhab Al Jahm bin Shafwan (wafat 128 H). Dia adalah pimpinan Al Jahmiyah (lihat Al Fashl oleh Ibnu Hazm 3/227), dan ucapan al Baaglani “karena hal itu merupakan indikasi kekufuran” maka seperti ucapan yang lain bahwa ucapan dan perbuatan adalah alamat (tanda) atas kufurnya.
Inilah sebagian kesalahan Asya’irah dalam kitab “Asy Syafaa” dan dengannya anda dapat mengetahui kesalahan lainnya. Karena Asya’irah bersepakat dengan ahlus sunnah, dalam menghukumi kufurnya seseorang yang mengucapkan ucapan yang mengkafirkan atau melakukan perbuatan yang mengkafirkan maka bahaya mereka jauh lebih ringan dibandingkan dengan ghulat murji’ah pada masa kini yang menganggap kufurnya hati sebagai syarat yang berdiri sendiri untuk mengkafirkan, bukan syarat yang lazim adanya bagi orang yang mengucapkan ucapan yang mengkufurkan atau melakukan perbuatan yang mengkufurkan sebagaimana pendapat Asya’irah dan murjiah fuqaha’. Walhasil pendapat yang mengaku ulama pada masa kini – kecuali yang dirahmati Allah – termasuk pendapat para pengasuh majalah Asy Syari’ah mungkin tanpa sadar – wallahu a'lam – berarti tidak mengkafirkan orang kafir. (……………)
b.      Kitab-kitab yang dapat mengantarkan untuk mempelajari kitab-kitab yang asas.
Untuk memudahkan dalam mempelajari kitab-kitab asas yang telah disebutkan di atas khususnya dalam maudhu’ iman dan kufur, pembaca bisa membaca buku di bawah ini:
1.      Masa’ilul Iman dalam kitab “Ma’arijul Qabul” oleh Hafidz Hukmi, tempatnya berada pada juz kedua dalam dua tempat.
a.       Dari hal 17 hingga 46, didalamnya membahas yang hakikat iman, dan macam-macam kekufuran, dan perbedaan antara iman dan Islam.
b.      Dari hal 405 hingga 444, dengan tajuk “Sittu masaail tata’allaqu bimabahitsid dien” bagian ini dicetak tersendiri oleh Maktabah As Sawadi Jiddah, tetapi bagian ini belum merangkumi seluruh masalah-masalah iman khususnya masalah hakikat iman yang merupakan dasar (ushul) masalah uman keseluruhannya.
2.      Masalah-masalah iman dalam kitab “Lawami’ul anwaril bahiyah” oleh As Safarini, dalam kitab ini pembahasan masalah-masalah iman lebih luas daripada kitab Ma’arijul Qabul. Adapun tempatnya berada pada juz pertama, dari halaman 352-446, dalam kitab cetakan Al Maktabul Islami tahun 1411 H.

c.       Kitab-kitab lain dalam maudhu’ iman dan kufur.
1.      Kitabul iman dalam shahihul Bukhari.
Al Imam Al Bukhari  telah menyebutkan sebagian besar masalah-masalah iman diatas mazhab ahlus sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memujinya, katanya: Hal ini juga termasuk sesuatu yang telah disaksikan dengannya oleh Al Bukhari dalam “shahihnya”, maka sesungguhnya kitab “Al Iman” yang menjadi pembuka Ash shahih telah menetapkan mazhab ahlus sunnah wal jama'ah dan mengandungi sanggahan terhadap murjiah, maka sesungguhnya beliau termasuk yang berdiri tegak untuk menolong as sunnah wal jama’ah mazhab para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Majmu'ul Fatawa 7/351)
Sebetulnya kitab iman dalam shahihul bukhari bukan saja menyanggah terhadap murjiah bahkan menyanggah juga terhadap muktazilah dan khawarij, maka sebenarnya lebih utama memuliakan mempelajari imam dari shahih Al Bukhari sebelum kitab-kitab pengantar dan asas, akan tentang masalahnya kalau bermula dari kitab al bukhari boleh jadi banyak faedah-faedahnya yang tidak nampak apalagi melihat syarah Ibnu Hajar yang tidak genap, sebab beliau bermazhab Asy'ari dengan demikian banyak kekurangan syarahnya dalam masalah iman. Adapun kekurangannya dalam dua hal :
            1.   Kekurangannya dalam menerangkan kesesuaian penguraian bab-bab bagi maudhu’ iman dan masalah-masalahnya yang bermacam-macam.
            2.   Syarahnya di atas mazhab Asya’irah mereka adalah murjiah. Padahal al iman Al Bukhari menghendaki dengan kitab tersebut menolong mazhab ahlus sunnah, sebagai misal sebagai berikut:
            Ibnu Hajar (852 H) dalam Fathul Bari juz 1/46, mengatakan: Bahwasanya salaf dalam ucapan mereka bahwasanya iman adalah meyakini dengan hati, berikrar dengan lisan, dan beramal dengan arkan. Mereka menghendaki dengan itu bahwa amalan-amalan itu sebagai syarat dalam kesempurnaan iman. Ini adalah ucapan Ibnu Hajar, dan bukan ucapan salaf danti juga mazhab mereka.
Ta’rif tersebut bukan ucapan salaf, karena di antara salaf ada yang menta’rif iman mirip dengan ungkapan tersebut tetapi berbeda, yaitu: iman adalah meyakini dengan hati, berucap dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan, bukannya beramal dengan rukun-rukun saja, dan di antara keduanya jika berbeda.
Adapun mazhabnya bukan mazhab salaf, karena mazhab salaf menyatakan bahwasanya amal adalah hakikat iman, bukan sebagai syarat dalam kesempurnaannya saja, dan iman menurut mereka ada tiga martabat: 1. Ashl (ushul/dasar). 2. kamal wajib (kesempurnanan yang wajib). 3. kamal mustahab (kesempurnaan yang sunnah). Dan amal masuk dalam tiga martabat tersebut, ada yang masuk pada ashl, ada yang pada kamal wajib, dan yang masuk pada kamal mustahab.
Maka mana saja amal yang meninggalkannya kufur berarti termasuk dari ashlul iman. Dan mana saja amal yang meninggalkannya fasik, maka berarti termasuk iman yang wajib, seperti menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang haram.
Dan mana saja amal yang tidak dicela orang yang meninggalkannya dan tidak disiksa, maka termasuk dari iman mustahab, seperti perkara-perkara yang sunnah:
·        Maka ucapan Ibnu Hajar: sesungguhnya salaf berkata: bahwa amal-amal perbuatan adalah  syarat dalam kesempurnaan iman, adalah tidak benar. Bahkan ini adalah pendapat golongan murjiah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy Syaikh Ibrahim Al Baijuri (1277 H), dalam syarahnya “Jauharatut Tauhid” oleh Ibrahim Al Laqani (1041 H). berkata Al Baijuri, sesungguhnya amal perbuatan adalah syarat kesempurnaan di atas yang dipilih menurut ahlus sunnah, maka barang siapa yang menunaikan amal sungguh telah memperoleh kesempurnaan, dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia adalah seorang mukmin akan tetapi telah hilang kesempurnaan atas dirinya.
Ucapan Al Baijuri, “ahlus sunnah” maksudnya Al Asya’irah dan Al Maturidiyah, sebab menurut mereka jika disebut ahlus sunnah wal jama'ah berarti maksud mereka adalah Al Asya’irah dan Al Maturidiyah. (lihat Ithafus Saadatil Muttaqin, Az Zubaidi 2/6)
Dari keterangan tersebut sekali lagi pembaca menemukan kesesatan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. kali ini adalah dalam memahami iman, beliau tidak  dapat membedakan antara barang yang asli dan yang imitasi, antara ahlus sunnah wal jama'ah yang betul dan yang sekedar mengaku-ngaku sebagai ahlus sunnah wal jama'ah.
Perhatikan nukilan Al Ustadz Qamar Suadi, Lc. dalam majalah Asy Syari’ah pada rubrik Kajian Utama, dalam makalah bertajuk “hujjah lemah paham Takfiriyyah”, halaman 11 no.08/1/1424 H/2004, katanya (sesudah memuliakan ta’rif iman): khawarij dan muktazilah juga berpendapat sama, namun ada sisi perbedaan yang sangat tipis dengan ahlus sunnah, yang perlu untuk dicermati dengan penuh perhatian perbedaan itu adalah, ahlus sunnah berkeyakinan bahwa secara global amal anggota badan itu adalah syarat kesempurnaan iman. Sedangkan khawarij dan muktazilah mengatakan bahwa amal anggota badan adalah syarat sahnya iman. (Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, hal 26). Insya Allah, uraian bid’ah dan dhalalnya ungkapan tersebut akan dijelaskan dalam bahasan selanjutnya nanti.
·        Contoh kesalahan Ibnu Hajar yang lain dalam syarah shahih Al Bukhari juz 1/46 beliau berkata: maka barang siapa berikrar (mengakui) dijalankan (diberlakukan) ke atasnya hukum-hukum di dunia dan tidak dihukumi kufur melainkan jika disertai dengannya perbuatan yang menunjukkan atas kufurnya (…………………………..) maka ucapannya: perbuatan yang menunjukkan atas kufurnya, adalah seperti ucapan murjiah bahwa perbuatan adalah alamat (tanda) atas kufurnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat ini adalah bertentangan dengan pendapat ahlus sunnah, yang mengatakan bahwasanya orang yang melakukan kekufuran dengan ucapan ataupun perbuatan dia telah kufur dengan amalnya, apa sebabnya golongan murjiah berpendapat seperti itu? Karena kufur menurut mereka tidak terjadi melainkan dengan hati, dan bahwasanya amal bukan termasuk hakikat iman maka dia tidak kafir dengannya, dan mereka menetapi bahwa barang siapa yang dikafirkan Allah atau dihukumi Allah dengan kufurnya karena amalnya, dia menjadi kafir, dan bahwasanya amalnya itu merupakan tanda atas kufurnya hatinya.
·        Contoh kesalahan yang lain lagi, pada juz 1/57, yaitu dalam menerangkan bentuk peniadaan iman dalam hadits:

Artinya:  Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai kepada dirinya sendiri.
Ibnu Hajar berkata: maksudnya menafikan (meniadakan) kesempurnaan iman. Pendapat ini tidak benar, karena pernafikan iman merupakan bentuk ancaman (shighah wa’id), sedangkan ancaman tidak dikenakan melainkan terhadap orang yang meninggalkan kewajiban, baik dari ashlul iman ataupun dari iman yang wajib, adapun orang yang meninggalkan sesuatu dari iman yang mustahab, maka tidak ada ancaman pada haknya.
Oleh karena itu, sesungguhnya setiap ayat atau hadits yang ada padanya penafikan iman, maka ada dua kemungkinan, mungkin dimaksudkan menafikan ashlul iman maka pelakunya kafir, dan mungkin dikehendaki dengannya menafikkan iman yang wajib yaitu kesempurnaan yang wajib, maka pelakunya menjadi fasik, ini hasil dari apa yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan dalalat yang shighahnya menafikan iman. (lihat Majmu'ul Fatawa 7/14-15, 37-42 dan 337)
Adapun untuk membedakan dengan sempurna apakah penafian iman itu menunjukkan kufur atau fasik, maka dengan melihat qarinah yang terdapat pada nash itu sendiri atau dari nash-nash lainnya.
·        Dan kesalahan yang lain dalam juz 1 halaman 74-75 dalam bab “………….” (malu adalah dari iman). Beliau berkata: sesungguhnya penyebutan malu dari iman adalah majaz (bahasa kiasan bukan sebenarnya), dan beliau berkata sesungguhnya ia adalah (bahasan dari bahasan-bahasan iman). Ini semua dan begitu juga sebelumnya adalah berlaku di atas mazhabnya yaitu mazhab al Asy'ari yang mengatakan bahwa amal bukan termasuk iman pada hakikatnya, dan amal jika dinamakan iman, maka berarti mengikuti bahasa kiasan (majaz), atau karena ia merupakan buah dari buah-buah iman (lihat Majmu'ul Fatawa 7/195). Dan semua ini menyelisihi mazhab ahlus sunnah. (rujuk al Jami’ buku 9/10-13)
            Peringatan: oleh karena itu saya sarankan kepada para pembaca terutama kepada para ustadz, para da'i, para pemuka dalam urusan ad-dien, dan sebagainya, jika kalian membaca kitab yang ditulis salaf atau khalaf usahakan mengerti mazhab penulis dalam persoalan yang kalian baca, agar kalian dapat memperoleh manfaat yang sebanyak-banyaknya dari apa yang kalian baca dan terhindar dari kesalahan atau bid’ah dari penulisnya. Coba bayangkan gara-gara tidak mengerti mazhab Ibnu Hajar rahimahullah dalam masalah iman, maka pembaca menyangka semua pendapat belaiau tentang iman sesuai dengan sunnah dan mazhab salaf padahal bukan. Akhirnya kesalahan ulama yang sepatutnya dimintakan ampun malah disebarkan di kalangan ummat dan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. (…………………).

2.      Kitabul iman dalam shahih Muslim dan syarah An Nawawi.
3.      Sebagai pelengkap Kitabul Iman dalam kitab As Sunan yang empat (sunan Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
4.      Kitab Al Iman bi Syarhis Sunnah – Al Baghawi.
5.      Kitab Al Iman – Muhammad bin Ishaq (395 H)
6.      Kitab Masril Iman – Al Qadhi Abu Ya’la al Fara’ Al Hambali (458 H)
Beliau penulis “Al Ahkamus Sulthaniyah” termasuk salah seorang yang alim dari kalangan mazhab Hambali (ada sedikit kesalahan hal 342)
7.      Kitabul Iman – Abu Bakar bin Abu Syaibah. (235 H)
8.      Kitab Al Iman – Abu Ubaid al Qasim bin Salam (224 H) (ada kesalahan pada hal. 97)
9.      Kitab Syu’abul Iman
a.       Kitab “Al Minhaj fi Shu’abil Iman – Abu Abdullah Al Halimi (403 H) Tahqiq hilmi Muhammad Faudah.
b.      Kitab “Syu’abul Iman” Al Baihaqi Abu Bakar Ahmad bin Al Husein (458 H). Qaul Al Baihaqi dalam “Iman” bukan qaul ahlus sunnah tetapi serupa dengan Ibnu Hazm, lihat juz 1/38 dan 43. Pendapatnya sebagiannya bersetuju dengan murjiah dan dalam sebagian lain menyelisihinya, seperti Ibnu Hazm, namun demikian beliau terhitung dari Asya’irah. (lihat Majmu'ul Fatawa Ibnu Taimiyah 6/53).
10.  Kitab-kitab i’tiqad yang merangkumi semua masalah i’tiqad termasuk masalah iman yaitu:
a.       Asy Syari’ah (Al Ajuni)
b.      Al Ibanah (Ibnu Baththah)
c.       At Tauhid (Ibnu Huzaimah)
d.      Al Hujjah fi bayanil Mahajjah (Ismail At Taimi)
11.  Kitab Al Allamah Ibnul Qayyim dalam maudhu’ iman dan kufur.
a.       Kitab “Ash Shalah” dari masalah pertama hingga keempat hal 1-33.
b.      Kitab “Madarijus Salikin” jilid pertama, pada akhir pembicaraannya tentang taubat hal 364.
c.       Kitab “Miftahu Daris Sa'adah juz 1/87-104.
d.      Kitab “Thariqul Hijratain, halaman 349-414. (Ada beberapa koreksi, rujuk Al Jami’ buku 9/hal 17-19)
12.  Kitab “Al I’lan biqawathill Islam – Ibnu Hajar Al Maliki al Haitami (974 H). makna qawathiul Islam: sesuatu yang memutuskan Islam dari perkara-perkara yang mengkufurkan.
13.  Kitab” Thathirul I’tiqad ‘an Adraanil Ilhad – Muhammad bin Ismail al Amirus Shan’aani (1182 H). Pengarang “Subulus Salam” (ada sedikit kesalahan). Dalam kitab ini pembahasannya yang terpenting adalah sanggahan terhadap sebagian  syubuhat yang disangka oleh sebagian orang sebagai penghalang-penghalang dari takfir (pengkafiran).
14.  Kitab “Ahludh dhalal' Durrun Nadhid fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid” Asy Syaukani (Muhammad bin Ali 1250 H). Kitab ini risalah ringkas tetapi bermanfaat termasuk membongkar sebagian syubuhat antara lain syubuhat membedakan kufrul amal dengan kufrul i’tiqad yang dinisbahkan kepada Ash Shun’aani. (lihat hal 39 dan 49)
Ash Shun’aani juga disanggah oleh Shiddiq Hasan Khan Al Qawaji dalam kitabnya “Ad Dinul Khalis” juz 4 hal 87-92. Pembicaraannya menyerupai kalam Asy Syaukani, beliau dari madrasah Asy Syaukani dan penulis Ar Raudhatun Nadiyah- Syarhud Durarul Bahiyah- Asy Syaukani.
15.  Kitab-kitab ulama’ dakwah Najdiyah dalam maudhu’ iman dan kufur antara lain
a.       Kitab “At Tauhid haqqullah ‘alal ‘abid”- Muhammad bin Abdul Wahhab dan syarahnya “Fathul Majid” cucu beliau Abdur Rahman bin Hasan
b.      Kitab “Kasyfusy Syubuhat fit Tauhid”- Muhammad bin Abdul Wahhab.
c.       Kitab “Ar Rasailusy Syakhshiyyah” – Muhammad bin Abdul Wahhab, bagian kelimadari tulisan-tulisan beliau yang dicetak Jamiatul Imam Muhammad bin Su’ud.
d.      Kitab “At Tandhih ‘an Tauhidul Khallaq” – Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab. Penulis kitab “Tasirul Azizil Hamid” dan dalam kitabnya, “At Taudhih” beliau menukil kalam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ash Shalah, dan mengikuti kesalahan-kesalahan beliau.
e.       Kitab Majmu’atur Rasaail wal Masaail An Najdiyah – oleh Majmu’ah (kumpulan) dari ulama dakwah.
f.        Kitab “Ad Dururus Sunniyyah fil Ajwibah an Najdiyah – mengandungi beberapa juz (bagian), adapun maudhu’ yang kita kehendaki berada pad juz kedelapan yaitu, “kitabul murtad” dan sebagiannya ada di juz ketujuh dalam “Kitabul Jihad”
      kitab-kitab ulama dakwah najdiyah dibangun pada dasarnya di atas kalam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dalam maudhu’ ini, dan yang paling penting dalam kitab-kitab para ulama’ dakwah Najdiyah rahimahumullah yaitu: menerangkan hakikat tauhid, makna thaghut dan kufur terhadapnya, dan memperingatkan perkara-perkara yang mukaffirah (mengkufurkan) yang banyak manusia terlibat dengannya, kemudian sanggahan mereka terhadap berbagai syubuhat yang bersangkutan dengan maudhu’ takfir (pengkafiran, khususnya sanggahan terhadap perkara-perkara yang sebagian orang menyangka hal-hal tersebut merupakan udzur-udzur syar'i yang menghalangi dari pengkafiran, padahal sebenarnya tidak.
16.  Kitab ‘alaamus sunnatil Mansyurah – Hafidz Hukmi.
17.  Kitab “Itsarul haq ‘alal khalqi” – Ibnu Wazir (Muhammad bin Ibrahim al Wazir 840 H). Penulis “Ar Raudhul Baasim fil dzabbi ‘an Sunnati Abil Qasim Shallallaahu 'alaihi wa sallam
18.  Kitab “al Iman Arkanuhu, haqiqatuhu, nawaqidhuhu” – oleh Al Ustadz Muhammad Naim Yasin – kitab ini dalam menerangkan rukun iman yang enam dan pembatal-pembatal iman bagus, akan tetapi ada beberapa kesalahan-kesalahan termasuk dalam ta’rif iman.
19.  Risalah Majister berjudul “Dhawahithut Takfir ‘inda Ahlis sunnah” – oleh Abdullah bin Muhammad Al Qarni, dikeluarkan Jami’ah Ummul Qura kulliyyatud dakwah.
Qismul aqidah pada tahun 1410 H, sebanyak 400 halaman,  penulis risalah membicarakan tiga maudhu’ dasar: 1. Al Islamul Hukmi (Islam secara hukum). 2. Macam-macam syirik dan kufur. 3. Penghalang-penghalang takfir (pengkafiran) dari jahil, takwil, taqiyah, dan ikrah.
Risalah ini belum memenuhi masalah-masalah maudhu’ “Qaidah-qaidah Takfir” adapun kekurangannya yang terpenting dalam dua hal yaitu:
1.      Tidak menerangkan perbedaan antara asbab (sebab-sebab) kufur dan anwa’ (macam-macam) kufur, sedangkan menghukumi dengan kufur di dunia tidak terjadi kecuali dengan ucapan atau perbuatan, sebagaimana ucapan syaikhul Islam: dan secara global maka barang siapa yang mengucapkan atau melakukan sesuatu yang kufur, dia telah kufur dengan itu. (ash sharimul maslul, hal 177) dan penulis hanya membicarakan macam-macam kufur saja, oleh karena itu maka ia tidak memenuhinya.
2.      penulis tidak membicarakan dalam segi qadha’i (pengadilan) dalam maudhu’ takfir, tidak perlu menyebutkan dalam hal penetapan dan lainnya dari syarat-syarat yang ada, al istitabah (pemberian masa untuk bertaubat), pemenuhan hukuman, perbedaan antara pelaku dalam keadaan terkuasai dan tidak terkuasai (mampu mengilak dari hukuman) dan sifat hakim.
Dan terdapat beberapa kesalahan dalam pembahasannya.
20.  Kitab “Haddul Islam wa Haqiqatul Iman” – oleh Abdul Majid Asy Syadzali, cetakan Jami’ah Ummul Qura 1404 H. Buku ini disebutkan di sini agar menjadi perhatian kesalahan-kesalahan yang terkandung di dalamnya, bahasannya dalam maudhu’ iman dan Islam bercampur aduk, meskipun banyak menukil dari Ibnu Taimiyah tetapi dalam mengambil istimbat tidak betul, dan banyak sekali kesalahannya.
Inilah beberapa kitab yang saya kemukakan sebagai rujukan untuk memahami masalah iman dan seluk beluknya, bagi pembaca yang hendak mengetahui secara detil kelebihan dan kekurangan kitab-kitab tersebut, saya persilakan membuka kitab, Al Jami’ fie Thalabil Ilmisy Syarif buku 9 hal 2-85.


[1] Penting, Al Hasan Al Bashri rahimahullah lahir pada masa khilafah Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu dan wafat pada tahun 110 Hijriyah, abad itu adalah abad yang terbaik dan zaman kegemilangan khilafah dan daulah Islamiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar