Senin, 23 Mei 2011

(Kaidah-Kaidah Mengkafirkan)

QOWAIDUT TAKFIR

Oleh : Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz

Yang dimaksud QOWAIDUT TAKFIR di sini adalah takfirul mu’ayyan (mengkafirkan orang). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan istilah qo’idatut takfir lebih dari satu tempat di dalam kitab Majmu’ Fatawa. Dan sejak lama saya telah berusaha untuk mendapatkan teks kaidah tersebut dalam berbagai tulisan beliau namun sampai sekarang saya belum mendapatkannya padahal telah saya teliti berulang kali.
Saya perkirakan bahwa yang beliau maksud dengan kaidah takfir tersebut adalah apa yang telah di tetapkan oleh para ulama’, yang mencakup hal-hal yang menjadi patokan dalam menghukumi kafir dari segi pelaksanaan hukuman yang dikenal di kalangan mereka. Dan mungkin – oleh karena itu – tidak dibutuhkan untuk menulis kaidah tersebut pada masa mereka sebab mereka telah melaksanakannya dalam praktek hukum pada waktu itu.
Inti dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah – yang beliau ulang-ulang di beberapa tempat – adalah bahwa takfir mu’ayyan itu tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapatnya penghalang-penghalang vonis kafir pada seseorang yang melakukan kekafiran tersebut. Sebagai contoh lihat majmu’ fatawa XII/484, 487, 489 dan 498. Namun pada hari ini, bersamaan dengan terputusnya hukum syar’i di sebagian besar negara ditambah lagi dengan sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, maka (dalam keadaan seperti ini) dibutuhkan untuk menulis kaidah seperti ini.
Oleh karena itu saya membuat sebuah teks kaidah takfir mu’ayyan, saya berharap dapat mencakup apa yang dimaksudkan, yaitu sebagai berikut:

Pada hukum di dunia yang berlandaskan hukum secara dzohir (yang nampak), seseorang divonis kafir jika terdapat padanya perkataan atau perbuatan mukaffiroh (yang menyebabkan kekafiran), yangmana perkataan atau perbuatan tersebut ditetapkan secara syar’i, telah memenuhi syarat-syarat vonis kafir, dan tidak terdapat penghalang-penghalangnya pada orang tersebut, dan yang menjatuhkan vonis (hukum) padanya adalah orang yang layak untuk menghukumi, lalu dilihat:
Jika dia statusnya maqdur ‘alaih (dibawah kekuasaan) negara Islam maka wajib disuruh untuk taubat sebelum dijatuhi hukuman oleh penguasa. Dan jika ia mumtani’ (mempertahankan diri) dengan kekuatan atau berlindung kepada darul harbi (negara musuh), maka diperbolehkan kepada setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa menyuruhnya untuk bertaubat terlebih dahulu, dalam keadaan seperti ini dilihat pada kemaslahatan dan kerusakan yang akan ditimbulkan, dan jika kemaslahatan dan kerusakannya bercampur jadi satu maka lebih dikedepankan yang paling kuat.”
Berikut saya jelaskan kaidah ini dengan singkat, maka dengan memohon petunjuk dari Allah Ta’ala saya katakan:

  1. Perkataanku yang berbunyi - Pada hukum di dunia yang berlandaskan hukum secara dzohir - merupakan pendahuluan untuk perkataanku yang berbunyi - Dengan perkataan atau perbuatan - karena kedua hal tersebut yang nampak pada seseorang dan yang dapat menjadikan jatuh vonis di dunia, adapun kekafiran yang dilakukan dengan hati - seperti berkeyakinan dengan keyakinan kafir atau ragu-ragu terhadap rukun iman dan cabang-cabangnya - maka pelakunya tidak dapat divonis di dunia akan tetapi urusannya dipasrahkan kepada Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala tidak akan mengampuni seseorang yang mati dalam keadaan kafir.
Dan telah saya jelaskan hal itu dalam catatan yang saya sebutkan dalam pengertian murtad.1
  1. Perkataanku yang berbunyi - Dengan perkataan atau perbuatan - ini adalah penyebab seseoarang dapat divonis kafir di dunia. Dengan demikian maka penyebab kekafiran pada hukum yang berlaku di dunia adalah perkataan atau perbuatan.
Contoh dari kekafiran secara perkataan adalah menghina Allah Ta’ala atau menghina Rosul atau menghina agama.
Sedangkan contoh dari kekafiran secara perbuatan adalah melemparkan mushaf (Al-Qur’an) ke dalam kotoran.
Termasuk dalam katagori perbuatan adalah meninggalkan dan menolak terhadap perintah, seperti meninggalkan sholat dan tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya setelah diteliti bahwa meninggalkan perintah itu masuk dalam perbuatan, berlandaskan firman Allah Ta’ala:
كَانُوا لاَيَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. 5: 79)
Allah Ta’ala menamakan tidak saling melarang kemungkaran itu sebagai perbuatan, dan dalam hal ini ada dalil-dalil lain yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad al-Amin Asy-Syinqithi dalam kitab Mudzakkirotu Ushulil Fiqhi cet. Maktabah Ibnu Taimiyah, th. 1409 H. hal. 46. dan Ibnu Hajar juga mengatakan: ”Meninggalkan amalan itu yang benar adalah termasuk perbuatan.” (fathul bari XII/315)

  1. Perkataanku yang berbunyi - MUKAFFIROH (yang menyebabkan kekafiran) - adalah sifat perkataan dan perbutan. Dan sifat kekafiran itu terwujud pada keduanya dengan dua syarat :

    1. Telah dinyatakan dalam dalil syar’i bahwa orang yang melakukan atau mengatakannya kafir (dan inilah yang dinamakan degan Takfirul Mutlaq [pengkafiran secara umum]). Yaitu dengan mengatakan : “ Barang siapa yang berkata begini maka ia kafir dan barang siapa yang melakukan perbuatan begini maka ia kafir “. Begitulah, menyatakan kufur secara mutlak tanpa menjatuhkan hukum kafir kepada orang tertentu. Dengan demikian maka takfirul mutlaq adalah menghukumi sesuatu (perkataan atau perbuatan) menjadi penyebab kekafiran dan bukan mengukumi kafir terhadap orang yang melakukan penyebab tersebut.
Dalil syar’i yang dijadikan landasan disyaratkan harus dalil yang qoth’iyud dalalah (jelas penunjukan/indikasinya) bahwa kekafiran yang dimaksud adalah kufur akbar. Karena ada beberapa bentuk kalimat yang muhtamilud dalalah (penunjukannya mengandung kemungkinan) bahwa kekafiran yang dimaksud adalah kufur ashghor atau kefasikan. Dan untuk mengetahui maksud dari nas (kalimat) yang muhtamilud dalalah itu dengan melihat kepada qorinah (keadaan/korelasi yang menyertainya) yang terdapat dalam kalimat tersebut atau dalam nas-nas yang lain. Contohnya:
Hadits yang diriwayatkan al-Bukhori dalam kitabul iman dalam kitab shohih Al-Bukhori pada bab “Kufur terhadap keluarga dan kufrun duna kufrin”. Pada bab tersebut beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., bersabda:”Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, mereka kufur.” Beliau ditanya:” Apakah mereka kafir kepada Allah Ta’ala?” beliau menjawab:”Mereka kafir terhadap keluarga (suaminya) dan mereka kafir terhadap kebaikan.” Hadits no. 29 dan beliau meriwayatkan dalam kibul haidl dari Abu Sa’id bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., melewati beberapa wanita maka beliau bersabda: ”Wahai kaum wanita bersedekahlah karena sesungguhnya aku melihat kalian yang paling banyak menghuni neraka.!” Mereka bertanya:”Kenapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab:”Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap keluarga.” Hadits no. 304. dalam hadits tersebut Rasulullah menyebut wanita yang tidak memberikan hak suaminya (keluarga) dan tidak mensyukuri kebaikan suaminya kepadanya, beliau menyebutnya dengan kekafiran. Namun qorinah yang menyertai hadits menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kufur ashghor, bukan kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Qorinah yang menyertai hadits itu adalah ketika mereka bertanya ‘apakah mereka kufur kepada Allah Ta’ala?’ beliau mengingkarinya dan beliau menyuruh mereka bersedekah untuk menghapus kemaksiatan-kemaksiatan tersebut, sedangkan sedekah itu hanyalah berguna bagi orang yang beriman berdasarkan sabda Rasulullah : ” Sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” Hadits ini diriwayatkan at-Tirmidzi dan beliau mengatakan “Hadits ini hasan shohih.” Sedangkan sedekah tidaklah diterima dari orang kafir dan tidak pula menghapuskan dosa orang kafir berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya) “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mengampuni dosa orang yang menyekutukannya.” Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka itu beriman meskipun kemaksiatan mereka disebut sebagai kekufuran, dan penyebutan ini adalah penyebutan kufur ashghor.
Contoh yang lain adalah: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., :”Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalanku, yaitu dengan saling membunuh.!” Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhori. Beliau menamakan membunuh orang muslim itu dengan kekafiran dan begitu pula saling berperang. Sedangkan nas-nas yang lain menyatakan bahwa orang yang membunuh dengan sengaja tidaklah kafir berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَاْلأُنثَى بِاْلأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفُُ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS. 2:178) Demikianlah Allah Ta’ala menetapkan persaudaraan iman antara orang yang membunuh dan antara wali orang yang terbunuh. Dan begitu pula saling berperang, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
Dan jika dua kelompok orang beriman saling membunuh,” (al-Hujurot: 9) Demikian Allah Ta’ala menamakan mereka kelompok beriman meskipun saling berperang. Ini semua menunjukkan bahwa kekafiran yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas tidaklah menghapuskan keimanan sehingga kekufuran yang dimaksud adalah kufur ashghor atau kufrun duna kufrin.
Tujuan saya disini adalah menunjukkan bukan menjelaskan secara terperinci karena permasalahan ini telah saya jelaskan secara detail dalam kitabku yang berjudul (al-Hujjah fii Ahkaamil Millah Al-Islamiyyah). Dan diantara bentuk kalimat yang muhtamilud dalalah, yang mengandung kemungkinan kufur akbar dan kufur ashghor adalah kata kekafiran yang diungkapkan dengan bentuk fi’il (kata kerja) madli (lampau) atau mudlori’ (sedang, yang akan datang), isim nakiroh (kata benda yang belum jelas) baik bentuk tunggal maupun jama’ (seperti orang kafir atau orang-orang kafir), bentuk peniadaan keimanan (seperti “tidak beriman”), bentuk kalimat yang berbunyi “ bukan dari golongan kami” atau bentuk kalimat yang berbunyi “maka ia penghuni neraka”, dan bentuk kalimat “Allah Ta’ala mengharamkan syurga baginya”, bentuk kalimat yang berbunyi: ”ia telah lepas dari tanggungan” atau “Allah Ta’ala dan Rosul-Nya berlepas diri darinya” dan kalimat-kalimat semacam itu. Contoh-contoh dari semua ini lengkap dengan penjelasan maksud-maksudnya tercantum dalam kitabku yang berjudul “al-Hujjah fii Ahkamil Millah Al-Islamiyyah”. Dan Imam Abu ‘Ubaid Al-Qosim bin Salam menyebutkan beberapa bentuk kalimat muhtamilud dalalah dalam kitabnya Al-Iman.
Adapun dalil-dalil syar’i yang qoth’iyud dalalah (menunjukkan secara jelas) atas kufur akbar, contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:"Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. 9: 65-66)
Nas ini menyatakan kekafiran mereka setelah beriman, dan yang semacam ini adalah kufur akbar. Contoh yang lainnya adalah firman Allah Ta’ala :
ودخل جنته وهو ظالم لنفسه قال مآأظن أن تبيد هذه أبدا ومآأظن الساعة قآئمة ولئن رددت إلى ربي لإجدن خيرا منها منقلبا قال له صاحبه وهو يحاوره أكفرت بالذي خلقك
Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata:"Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu". Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya :"Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu (QS. 18: 35-37). Nas ini menyatakan bahwa ia kafir kepada Allah Ta’ala dan yang semacam ini adalah kufur akbar. Contoh yang lain adalah firman Allah Ta’ala :
يُولِجُ الَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأَجَلٍ مُّسَمًّى ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن تَدْعُوهُمْ لاَيَسْمَعُوا دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَااسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan.Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaan-Nyalah kerajaan.Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada menmendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu. (QS. 35: 13-14).
Dan juga firman Allah Ta’ala
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لاَيَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَىْءٍ إِلاَّ كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَآءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَاهُوَ بِبَالِغِهِ وَمَادُعَآءُ الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do'a yang benar.Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya kedalam air supaya sampai air kemulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya.Dan do'a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS. 13:14)

Pedoman umum:

  1. Sesungguhnya semua kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber lam ta’rif baik dalam al-Qur’an atau sunnah maka maksudnya adalah kufur akbar, seperti (al-kufru, al-kafir, al-kuffar, al-kafirun, al-kawafir) karena alif dan lam itu menunjukkan bahwa kata benda tersebut mengandung arti yang sempurna. Dan yang semacam ini tidak ada perselisihan antara para ulama’ dan ahli bahasa.
  2. Semua kata kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an maksudnya adalah kufur akbar, sama saja apakah dalam bentuk isim (kata benda) atau fi’il (kata kerja) atau mashdar (kata dasar). Karana lafadz-lafadz dalam al-Qur’an itu sempurna. Dan hal ini dapat disimpulkan setelah meneliti kosakata dalam al-Qur’an. Sampai kekafiran yang berbicara tentang kufur nikmat adalah kufur akbar sebagaimana yang tersebut dalam surat Ibrohim: 28 dan an-Nahl: 112. Dan sampai meskipun seolah-oleh kufur secara lughowi (bahasa) sesungguhnya yang dimaksud dalam tafsirnya adalah kufur akbar secara syar’i sebagaimana dalam surat al-Hadid: 20.
  3. Tinggallah lafadz-lafadz kufur yang terdapat dalam sunnah, maka setiap lafadz yang diungkapkan dengan bentuk isim yang ber laam ta’rif, maka maksudnya adalah kufur akbar, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi: ”(Batas) antara seseorang dan antara Al Kufry (kekafiran) adalah meninggalkan sholat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Namun jika tidak diungkapkan dengan bentuk seperti ini maka pada asalnya pengertiannya adalah kufur akbar sampai ada qorinah (keterangan lain) yang memalingkan dari maksud asalnya (kufur akbar) ke kufur ashghor. Dalilnya adalah hadits tentang kufur terhadap keluarga yang tersebut di atas. Bukankah anda melihat bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., bersabda (tentang wanita) “mereka kafir” para sahabat bertanya:”Apakah mereka kafir kepada Allah Ta’ala?” pertanyaan ini menunjukkan bahwa kekafiran itu jika diungkapkan secara lepas maka yang dimaksud adalah kufur akbar sampai ada qorinah yang memalingkannya kepada makna kufur ashghor sebagaimana yang terdapat dalam contoh-contoh di atas.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:”Dan lafadz kedloliman, maksiat, fusuq, fujur, muwalah (loyalitas), mu’adah (permusuhan), rukun (kecenderungan), syirik, dan lafadz-lafadz yang semacam dengan itu yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah kadang yang dimaksud adalah hakekatnya secara sempurna dan kadang yang dimaksud adalah hakekatnya secara mutlaq (lepas) (tidak mesti secara sempurna). Dan menurut para ushuliyyun (ahli ushul fiqih) pengertian asalanya adalah yang pertama, dan tidak dibawa kepada pengertian yang kedua kecuali jika ada qorinah (keterangan yang menyertainya) baik berupa lafadz atau makna. Dan seperti ini dapat diketahui dari keterangan Nabi dan penafsiran dalam sunnah. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. 14:4) (ar-Rosa’il al-Mufidah tulisan syaikh Abdul Latif yang dikumpulkan oleh Sulaiman bin Samhan hal. 21-22.
Catatan penting: tidak disyaratkan untuk menghukumi sesuatu itu kekafiran harus ada nas yang menyatakan secara langsung bahwa sesuatu tersebut merupakan kekafiran. Syaikh Hamad bin Nashir bin Ma’mar yang wafat pada 1225 H sebagai salah satu imam dakwah Nejd dan salah satu murid syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau berkata: ”Dan juga bahwa sesungguhnya banyak permasalahan kekafiran dan kemurtadan, yang telah disepakati para ulama’ yang tidak terdapat nas yang jelas yang menamakannya sebagai kekafiran, akan tetapi disimpulkan para ulama’ dari keumuman nas. Hal ini sebagaimana jika seorang muslim menyembelih untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada selain Allah Ta’ala. Perbuatan ini adalah kekufuran secara ijma’ sebagaimana yang dinyatakan oleh an-Nawawi dan yang lainnya, begitu juga sujud kepada selain Allah Ta’ala.” (Ad-Duror As-Sunniyah fil Ajwibah an-Najdiyah, IX/9) Saya katakan: diantara contoh yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan oleh Syaikh Hamad bin Ma’mar adalah kafirnya orang yang mengatakan al-Qur’an itu makhluq. Permasalahan ini termasuk permasalahan yang paling masyhur dalam kitab-kitab salaf, mereka mengatakan: ”Al-Qur’an adalah kalamulloh, bukan makhluq, dan barang siapa mengatakan al-Qur’an itu makhluq ia telah kafir.” Lihat kitab As-Sunnah tulisan Abdulloh bin Ahmad, As-Sunnah tulisan al-Kholal dan bukunya Al-Lalika’i, kitab Al-Ghuluw tulisan adz-Dzahabi dan masih banyak yang lainnya. Dan tidak ada nas dalam Al Qur’an maupun sunnah yang menyatakan bahwa orang yang mengatakan al-qur’an makhluq itu kafir sebagaimana nas yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat itu kafir. Sebagaimana juga tidak terdapat atsar dari sahabat tentang permasalahan al-Qur’an Makhluq, akan tetapi para ulama’ menyimpulkan hukum kafirnya orang yang mengatakan al-Qur’an itu makhluq dari nas-nas yang menunjukkan bahwa al-Qur’an itu kalam dan ilmu Allah Ta’ala. Sedangkan kalam dan ilmu Allah Ta’ala itu adalah bagian dari sifat-sifatNya yang agung dan sifat Allah Ta’ala itu bukanlah makhluq dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia kafir, sehingga permasalahan ini menjadi ijma’ ahlus sunnah. Diantara yang menjelaskan kepadamu samarnya hukum permasalahan (kafirnya orang yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluq) adalah riwayat adz-Dzahabi dari Al-Qodli Abu Yusuf, beliau berkata: ”Setelah aku berdiskusi dengan Abu Hanifah selama 6 bulan, kami bersepakat bahwa orang yang mengatakan al-Qur’an itu makhluq, ia telah kafir.” Mukhtashorul Ghuluw lil’aliyil Ghoffar, tulisan adz-Dzahabi terbitan al-maktab al-islami th. 1401 H. hal. 155.
Beliau berdua berdiskusi dalam waktu yang lama itu disebabkan karena tidak ada nas yang jelas dari al-Qur’an dan sunnah atau atsar dari sahabat tentang permasalahan ini. Ini semua menunjukkan bahwa tidak ada syarat harus ada dalil syar’i secara jelas yang menyatakan kafirnya sebuah permasalahan, akan tetapi bisa jadi hukumnya disimpulkan dari nas.
Dan pada permasalahan ini – yaitu menentukan kafir terhadap sebuah perkataan atau perbuatan dengan dalil qoth’i – terjadi perselisihan antar firqoh. Adapun khowarij mereka menganggap kafir sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa-dosa besar yang tidak sampai tingkatan kekafiran. Adapun murji’ah, mereka tidak mengkafirkan perbuataan apapun (baik perkataan maupun amalan), mereka sepakat dengan ahlus sunnah atas kafirnya orang yang melakukan perbuatan kufur, akan tetapi (menurut mereka ia kafir) bukan karena perbuatan tersebut namun karena perbuatan yang dinyatakan kafir oleh dalil syr’i tersebut merupakan pertanda bahwa dia kafir dengan hatinya. Mereka sepakat dengan ahlus sunnah pada hukumnya akan tetapi mereka berselisih dengan ahlus sunnah terhadap penafsirannya. Murji’ah yang saya maksudkan dalam pembicaraan saya tersebut adalah asya’iroh dan fuqoha’ul murji’ah.
Adapun para ghulatul murji’ah (ekstrimis murji’ah) yang telah jauh tersesat, mereka tidak tidak mengkafirkan seseorang dengan dalil syar’i yang qoth’iyud dalalah sekalipun pada kufur akbar, namun mereka mensyaratkan untuk mengkafirkan orang yang melakukan kekafiran ia harus menyatakan dengan jelas atas takdzib (pendustaan) atau juhud (pengingkaran) atau istihlal (meyakini halalnya maksiyat), dan inilah yang banyak tersebar di kalangan mu’asirin (orang-orang pada zaman sekarang). Dan telah kusebutkan kepada anda bahwa para salaf mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.
Inilah yang berkaitan dengan syarat yang pertama, yaitu hendaknya dalil yang dijadikan landasan, jelas menunjukkan kufur akbar.
    1. Syarat yang kedua untuk menentukan kekafiran pada perkataan dan perbuatan adalah hendaknya perkataan atau perbuatan itu sendiri jelas menunjukkan kekafiran. Artinya di dalamnya memang terdapat unsur sebab yang mengkafirkan sebagaimana yang terdapat dalam nas syar’i yang dijadikan landasan untuk mengkafirkan perbuatan tersebut. Contohnya adalah orang yang mengatakan; wahai tuanku al-badawi! Tolonglah aku! Atau kabulkanlah kebutuhanku, atau lapangkanlah rejekiku, atau selamatkanlah aku dari musuhku.
Perkataan-perkataan semacam ini adalah kekafiran karena jelas-jelas menunjukkan berdo’a kepada selain Allah Ta’ala dan karena ada dalil syar’i yang menunjukkan atas kafirnya orang yang berdo’a kepada selain Allah Ta’ala. Dan di antara perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas menunjukkan atas kekafiran adalah melemparkan mushaf ke dalam kotoran. Perbuatan ini tidak mengandung kemungkinan lain kecuali penghinaan terhadap mushaf dan ada dalil qoth’i yang menunjukkan kafirnya orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Ta’ala. Adapun melempar mushaf ke dalam api, perbuatan ini tidak jelas penunjukkannya terhadap kekafiran, sebagaimana akan kami terangkan pada permasalahan yang mengandung kemungkinan.
Kebalikan dari perbuatan yang jelas penunjukkannya adalah perbuatan yang penunjukannya mengandung kemungkinan. Yaitu perbuatan (baik perkataan maupun amalan) yang tidak jelas-jelas menunjukkan kekafiran, akan tetapi kadang menunjukkan kekafiran dan kadang tidak menunjukkan kekafiran. Inilah yang disebut dengan at-takfir bil muhtamalat (pengkafiran dengan perbuatan yang mengandung kemungkinan) dan termasuk katagori ini juga perkataan yang sebenarnya bukan perkataan kufur akan tetapi mengandung konsekuensi kekufuran. Dan inilah yang disebut dengan at-takfir bilma’aal (pengkafiran lantaran akibat) atau at-takfir bilaazimil qoul (pengkafiran lantaran konsekuensi perkataan).
Pada perbuatan yang mengandung beberapa kemungkinan ini harus dilihat beberapa hal untuk menentukan maksudnya, apakah menunjukkan kufur secara jelas atau tidak dianggap. Dalam masalah ini al-Qodli Syihabud Din al-Qurofi berkata: ”Segala yang nampak jelas dianggap sebagaimana yang nampak kecuali jika ada hal-hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah sebagaimana yang nampak atau kemungkinan yang lebih kuat bukanlah yang nampak, dan segala kemungkinannya yang tidak nampak tidak dianggap lebih kuat kecuali ada penguat syar’i.” Al-Furuq tulisan Al-Qurofi II/195. terbitan daruul ma’rifah. Penguat syar’i yang menentukan maksud dari perbuatan yang muhtamilud dalalah (mengandung beberapa kemungkinan) adalah dengan melihat 3 macam, yaitu tabayyun (mencari kejelasan) terhadap maksud pelaku, melihat kepada qoro’inul hal (keadaan yang menyertai) perbuatan tersebut dan mengenal ‘urf (kebiasaan) pelaku dan penduduk negrinya.
Adapun tabayyun terhadap niat pelaku adalah dengan cara bertanya kepadanya tentang maksud dari perkataan atau perbuatannya. Seperti seseorang yang berdo’a di kuburan yang tidak terdengar suaranya dan tidak terdengar pula dia berdo’a kepada siapa dan ia berdo’a dengan apa. Maka ia ditanya, jika dia menjawab; aku berdo’a kepada Allah Ta’ala untuk mengampuni mayit ini, maka orang tersebut adalah orang baik. Dan jika dia menjawab; aku berdo’a kepada Allah Ta’ala di kuburan ini supaya Allah Ta’ala menerima amalannya, maka perbuatannya ini adalah bid’ah dan tidak sampai kafir. Dan jika dia menjawab bahwa dia berdo’a kepada penghuni kubur tersebut untuk memenuhi kebutuhannya, maka orang tersebut kafir. Maka dengan tabayyun terhadap maksud pelaku dapat membantu untuk mengetahui maksud dari perbuatan yang mengandung beberapa kemungkinan. Oleh karena itu An-Nawawi menukil perkataan Ash-Shoimiri dan Al-Khotib : ”Jika seorang mufti ditanya tentang orang yang berkata begini dan begini, yang mengandung beberapa kemungkinan yang sebagian kemungkinannya kekafiran dan sebagian kemungkinan lainnya bukan kekafiran, maka hendaknya mufti itu menjawab; tanyakan tentang maksud perkataannya, jika dia menjawab begini maka jawabannya begini dan jika dia menjawab begini maka jawabannya begini.” Al-Majmu’ tulisan An-Nawawi I/49.
Dan pada masalah ini Imam Ayafi’i juga mengatakan: ” Pada masalah yang mengandung kemungkinan yang tidak jelas, perkataan yang dijadikan pegangan adalah perkataan pelakunya.” Al-Umm tulisan Asy-Syafi’i VII/297. Di sini ada catatan penting yang keterangannya akan menyusul tentang kesalahan dalam mengkafirkan. Yaitu bahwa yang ditanyakan dan yang berpengaruh pada hukum adalah maksud perbuatan pelaku dan bukan maksud untuk kafir dengan perbuatannya itu. Dalam contoh di atas jika dia menjawab; bahwa dia berdo’a kepada mayit untuk menyingkirkan kesusahannya, maka inilah yang harus ditanyakan dan yang berdampak pada hukum, dan tidak harus bertanya; apakah kamu bermaksud untuk kafir dengan perbuatanmu itu?, bahkan meskipun dia mengatakan, bahwa dia tidak bermaksud kafir dengan perbuatannya itu, perkataannya itu tidak akan berpengaruh untuk menolak hukum. Masalah ini akan dijabarkan nanti Insya Allah Ta’ala.
Tentang melihat kepada qoro’inul ahwal (keadaan yang menyertai perbuatannya), maka barangsiapa yang mengucapkan pekataan yang mengandung kemungkinan kekafiran namun pelakunya mengingkari maksud untuk kafir akan tetapi setelah diteliti ternyata perbuatannya itu mengandung unsur kezindikan dan dia sendiri tertuduh sebagai orang zindiq, maka keadaan yang menyertai perbuatannya ini menunjukkan kuat maksud kekafirannya. Contoh yang lainnya adalah; jika ada seseorang melemparkan mushaf ke dalam api. Orang ini ada kemungkinan meremehkan mushaf sehingga dia kafir sebagaimana orang yang melemparkannya ke dalam kotoran, dan ada kemungkinan ia ingin memusnahkannya karena mushaf itu sudah lama dengan cara membakarnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Utsman bin Affan, beliau membakar mushaf yang lebih, maka semacam ini adalah sunnah kholifah sehingga dia tidak kafir. Apabila kita bertanya kepadanya lalu dia mengatakan bahwa dia ingin menghilangkannya (karena mushaf itu sudah lama), namun setelah diteliti keadaannya ternyata mushaf yang dia bakar masih baru dan ternyata orang itu tertuduh sebagai orang zindiq. Maka bukti-bukti ini menunjukkan bahwa dia dusta, dia bilang ingin menghilangkan mushaf itu mamun sebenarnya dia meremahkannya. Ibnu Rojab al-Hambali berkata: “Bukti yang berupa keadaan berbeda dengan bukti yang berupa perkataan dalam menerima pengakuan yang sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Bukti keadaan saja (tanpa bukti yang berupa perkataan) dapat mengakibatkan hukum.” Al-Qowa’id tulisan Ibnu Rojab al-qo’idah 151 hal. 322.
Adapun melihat kepada ‘urf (kebiasaan) sebagaimana kata Ibnul Qoyyim – dalam ahkamul mufti – : ”Dia (mufti) tidak boleh berfatwa pada pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan lafadz dengan berlandaskan lafadz yang biasa dia gunakan, untuk memahami lafadz-lafadz tersebut tanpa mengetahui kebiasaan pelakunya dan orang-orang yang mengucapkannya dengan lafadz-lafadz tersebut. Sehingga dia memahami lafadz tersebut sebagaimana apa yang mereka pahami dalam kebiasaan mereka meskipun tidak sesuai dengan hakekat asalnya. Namun jika mufti tidak melakukannya ia akan sesat dan menyesatkan.” A’lamul muwaqqi’in IV/228.
Inilah tiga penguat syar’i yang membantu untuk menentukan maksud dari hal-hal yang mengandung beberapa kemungkinan. Namun Asy-Syafi’i tidak menerima kecuali tabayyun terhadap maksudnya saja. Lihat Al-Umm VII/297. Untuk pendekatan masalah, kami sebutkan beberapa fatwa ulama’ pada masalah-masalah yang mengandung kemungkinan menunjukkan kekafiran:
Al-Qodli ‘Iyadl berkata: “.. dan aku menyaksikan syaikh kami Abu Abdulloh bin ‘Isa ketika beliau memegang jabatan qodli (hakim). Dihadapkan kepadanya seseorang yang menghina orang lain. Ia mendatangi seekor anjing dan menendang dengan kakinya, lalu ia mengatakan kepada anjing tersebut; ’Berdirilah wahai Muhammad !’ Namun ia mengingkari perbuatan tersebut, akan tetapi ada beberapa orang yang bersaksi atas perbuatannya itu. Maka ia pun dipenjara, dan diteliti tentang keadaannya dan apakah orang yang bersamanya orang yang diragukan agamanya? Ketika ia tidak dapatkan penguat keraguan untuk menolak keyakinannya maka ia dicambuk dan di lepas.” Pensyarah kitab tersebut mengatakan: “Sesungguhnya lawan orang tersebut namanya adalah Muhammad.” Dan Al-Qodli ‘Iyadl juga berkata: “Pernah terjadi juga masalah yang dimintakan fatwa oleh beberapa hakim Andalusia kepada syaikh kami Al-Qodli Abu Muhammad bin Manshur tentang orang yang dihina oleh orang lain dengan sesuatu. Maka beliau mengatakan kepadanya: ”Kau hanya ingin memutuskan perkara berlandaskan perkataanmu, sedangkan aku adalah manusia dan semua manusia itu mempunyai kekurangan meskipun nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., sendiri. Maka beliau menfatwakan untuk memenjarakannya dalam waktu yang lama dan menyakitinya, karena ia tidak bernaksud untuk menghinanya. Dan sebagian ulama’ Andalusia menfatwakan untuk membunuhnya.” Asy-Syifa tulisan Al-Qidli ‘Iyadl terbitan Isa Al-Halabi II/984 dan 996.
Dan Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang yang mencela orang mulia dari ahlul bait. Orang tersebut mengatakan kepada ahlul bait tersebut: ”Semoga Allah Ta’ala melaknatnya dan melaknat orang yang memuliakannya.” Maka Ibnu Taimiyah menjawab: ”Perkataannya ini saja bukanlah termasuk penghinaan yang menyebabkan pelakunya dibunuh, akan tetapi harus ditanyakan tentang yang dimaksud dengan orang yang memuliakannya itu. Jika ia menjelaskan atau qorinah (yang menyertainya) baik berupa keadaan atau perkataan menunjukkan ternyata yang dia maksud adalah nabi Muhammad SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., maka dia wajib dibunuh. Dan jika hal itu tidak terbukti – sampai beliau berkata – maka hal itu tidak mengharuskan ia dibunuh atas kesepakatan ulama’.” Majmu’ Fatawa XXX/197-198, yang semacam itu juga terdapat dalam Majmu’ Fatawa XXIV/135-136. Ini tentang perkatan-perkataan yang muhtamilud dalalah.
Adapun perbutan-perbuatan yang muhtamilud dalalah (mengandung kemungkinan) misalnya adalah seseorang yang sholat menghadap kiblat sedangkan di depannya ada api atau kuburan. Perbuatan semacam ini mengandung kemungkinan ia sholat untuk Allah Ta’ala atau ia adalah penyembah api yang menampakkan Islam karena takut, atau lainnya yang semacam dengan itu. Al-Bukhori membuat satu bab tersendiri masalah ini dalam kitab shohihnya pada bab “orang yang sholat sedangkan di depannya ada tungku atau api atau sesembahan lainnya sedangkan yang ia maksudkan adalah sholat untuk Allah Ta’ala” Fathul Bari I/527.
Inilah yang harus ditempuh untuk menentukan maksud dari perbuatan (perkataan atau amalan) yang mengandung kemungkinan. Perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya sama dengan lafadz-lafadz sindiran dalam talak (perceraian), qodzaf (tuduhan zina), membebaskan budak dan hal-hal lainnya yang tidak bisa dibedakan kecuali dengan mengetahui niat orang yang mengatakannya dan melihat kepada keadaan-keadaan yang menyertainya dan kebiasaan yang mengucapkannya. Adapun pada masalah-masalah yang sudah jelas, tidak dibutuhkan lagi melihat kepada niat dan maksud pelakunya. Namun hanya melihat kepada kesengajaan berbuat sebagaimana yang akan kami terangkan pada masalah kesalahan-kesalahan dalam mengkafirkan. Insya Allah Ta’ala.
Dan yang dijadikan pedoman dalam menentukan maksud dari hal-hal yang mengandung kemungkinan – pada hukum di dunia – adalah ijtihad hakim yang melihat kepada tuduhan, sebagaimana contoh-contoh yang dinukil dari Al-Qodli ‘Iyadl tadi. Dan seorang hakim boleh menghukum orang yang tertuduh dengan hukuman yang keras meskipun ia tidak dapat membuktikan hal-hal yang mengandung kemungkinan kepada hal yang jelas maksudnya jika tuduhannya kuat. Dan disini terdapat perselisihan hukum orang zindiq yang banyak melakukan perbuatan yang mengandung kemungkinan kafir, dan beginilah kebanyakan orang-orang munafik pada zaman nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.,sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
وَلَوْ نَشَآءُ لأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُم بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya.Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS. Muhammad:30) Dan di antara orang-orang munafik itu ada yang mengucapkan kata-kata yang jelas-jelas kekafiran akan tetapi tidak tertetapkan dengan ketepan syar’i karena tidak lengkapnya bukti, sebagaimana Yang Allah Ta’ala firmankan:
يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَاقَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلاَمِهِمْ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam,” (QS. At-Taubah:74) Adapun orang zindiq, yaitu orang yang murtad berkali-kali dan telah disuruh bertaubat berkali-kali atau orang yang banyak melakukan perbuatan yang mengandung kemungkinan kafir dan banyak sindiran-sindirannya yang (mengandung kekafiran), maka dalam madzhab Malik ia tidak diterima taubatnya dan dalam madzhab Asy-Syafi’i selamanya akan diterima taubatnya. Dan hal ini juga dikembalikan kepada ijtihadnya hakim dan juga melihat pengaruhnya terhadap perkembangan kejahatan dan pelecehan terhadap agama dikalangan manusia. Apabila hal ini terjadi haruslah dipertegas dan lebih diperkuat dengan mengikuti madzhab Malik. Lihat pembahasan taubatnya zindiq dalam Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir X/78-80, Al-Furu’ tulisan Ibnu Muflih Al-Hambali VI/170-171, Fathul Bari XII/269-273, Al-Umm VI/156-167 dan A’lamul Muwaqqi’iin III/112-115, 140-145.
Adapun hukum orang yang terdapat perbuatan-perbuatan yang mengandung kemungkinan permasalahannya di akherat diserahkan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan niatnya. Allah Ta’ala Maha Tahu dengan niatnya dan Allah Ta’ala akan membalasnya sesuai dengan niatnya, meskipun di dunia dia tidak ditetapkan hukuman apapun. Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., bersabda : “ Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat, dan seseorang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” Hadits ini muttafaq ‘alaih. Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَآئِرُ فَمَالَهُ مِن قُوَّةٍ وَلاَنَاصِرٍ
Pada hari dinampakkan segala rahasia,maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong. (QS. 86: 9-10)
Untuk penjelasan lebih lanjut masalah ini silahkan kaji:
Shohih Al-Bukhori – Kitab istitabatul murtaddin – bab “jika seorang dzimmi mengucapkan kata-kata kiasan yang menunjukkan penghinaan kepada Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., namun tidak menyatakannya terusterang”, Fathul Bari XII/280.
Asy-syifa tulisan Al-Qodli ‘Iyadl Pasal “Perkataan-perkataan yang mengandung kemungkinan penghinaan kepada nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.” II/978-999 dan pasal “meneliti perkataan dalam mengkafirkan orang yang mentakwilkan” dan pasal setelahnya II/1056-1076, terbitan Isa Al-Halabi.
Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, masalah “apakah konsekuensi madzhab itu termasuk madzhab” XX/217-219, V/306-307.
Perkataan Ibnul Qoyyim pada masalah “apakah konsekuensi madzhab itu termasuk madzhab” dalam sya’ir an-nuniyah beliau beserta penjelasannya oleh Syaikh Muhammad Kholil Harros II/252-25, terbitan maktabah Ibni Taimiyah 1407 H.
Al-Asybah wan Nadzo’ir fii Qowa’id wa Furu’ Fiqhisy Syafi’ii, tulisan As-Suyuti bab “masalah perkataan yang jelas, kinayah dan sindiran” hal. 488 dan setelahnya cetakan Darul kitab al-‘arobi 1407 H.
A’laamul Muwaqqi’iin tulisan Ibnul Qoyyim II/5, masalah peran bukti keadaan dalam memalingkan kinayah kepada hal yang jelas.
Kesimpulannya: bahwa perbuatan (yang kumaksud di sini adalah perkataan dan amalan) dapat menyebabkan kekafiran dengan dua syarat:
Satu syarat pada dalil syar’i yaitu hendaknya dalilnya shorihud dalalah (jelas menunjukkan) bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut kafir kufur akbar.
Satu syarat lagi pada perbuatan seorang mukallaf tersebut, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut shorihud dalalah (jelas menunjukkan) kekafiran yang disebutkan dalam dalil syar’i tersebut. Dan perbuatan itu dapat dinyatakan shorihud dalalah sejak awal atau setelah tabayyun terhadap maksud pelakunya dan melihat kepada keadaan yang menyertainya dan kebiasaan pelakunya jika perbuatan tersebut muhtamilud dalalah.
Dua syarat ini terdapat dalam kandungan sabda Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., “kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, kalian mempunyai dalil dari Allah Ta’ala.” Hadits ini muttafaq ‘alaih. Maka kalimat “kekafiran yang nyata” maksudnya adalah jelas menunjukkan kekafiran dan ini adalah syarat pada perbuatan, sedangkan kalimat “kalian mempunyai dalil dari Allah Ta’ala” maksudnya adalah dalil syar’ii yang jelas dan ini adalah syarat pada dalil yang mengkafirkan. Asy-Syaukani mengatakan: “sabda beliau yang berbunyi “kalian mempunyai dalil dari Allah Ta’ala” maksudnya adalah nas ayat atau hadits yang jelas penunjukannya dan tidak mengandung takwil, kosekuwensinya tidak boleh memberontak mereka (para pemimpin) selama perbuatan mereka masih mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.” Nailul Author VII/361.
Begitulah, dan sebagian besar perselisihan para ulama’ tentang hal-hal yang menyebabkan kekafirkan seseorang dan hal-hal yang tidak menyebabkan kekafiran seseorang kembali kepada syarat yang kedua di atas yaitu apakah perbuatannya dengan jelas menunjukkan kekafiran atau masih mengandung kemungkinan, jika perbuatannya jelas mereka tidak berselisih pendapat dan jika masih mengandung kemungkinan ada perselisihan karena ini adalah masalah ijtihad.
Dan di antaranya adalah yang disebutkan Abu Bakar al-Hishni Asy-Syafi’i dalam contoh-contoh kemurtadan dengan ucapan, ia berkata: “Sebagaimana jika seseorang mengatakan kepada musuhnya; seandainya dia tuhanku aku tidak akan menyembahnya, ia kafir. Dan begitu pula jika ia mengatakan; seandainya dia nabi aku tidak akan beriman kepadanya. Atau dia mengatakan mengenai anaknya atau istrinya; ia lebih kucintai dari pada Allah Ta’ala atau dari pada RosulNya. Dan begitu pula jika seseorang yang sakit setelah sembuh mengatakan; aku dapatkan sakitku ini yang seandainya aku membunuh Abu Bakar atau Umar aku tidak akan menerimanya, ia kafir. Dan sekelompok ulama’ berpendapat bahwa orang semacam ini harus dibunuh karena perkataannya itu terdapat unsur menuduh Allah Ta’ala berbuat dzolim. Dan permasalahan sebab ini disamakan dengan segala ucapan yang semakna dengannya karena unsur yang sama yaitu tuduhan Allah Ta’ala berbuat dzolim, semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari hal tersebut. Dan begitu pula jika seseorang mengaku telah mendapatkan wahyu meskipun dia tidak mengaku sebagai nabi. Atau dia mengaku masuk jannah dan memakan buah-buahannya serta memeluk bidadari, orang ini kafir secara ijma’. Hal semacam ini dan yang lainnya adalah sebagaimana yang dikatakan orang-orang zindiq dari kalangan ahli tasawuf, semoga Allah Ta’ala memerangi mereka. Alangkah bodohnya mereka, alangkah kafirnya mereka dan alangkah bodohnya orang yang berkeyakinan seperti keyakinan mereka. Dan seandainya ia mencela salah seorang nabi atau meremahkannya maka ia kafir cara ijma’. Dan di antara bentuk penghinaan adalah apa yang dikatakan orang-orang dzolim ketika mereka memukul orang lalu orang yang dipukul tersebut meminta tolong kepada nabi Muhammad SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., lalu orang dzolim tersebut mengatakan; biarkan Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., membebaskanmu, atau semacam itu. Seandainya seseorang mengatakan; aku adalah nabi, dan yang lain mengatakan; ia benar, maka keduanya telah kafir. Dan jika ia mengatakan kepada orang muslim; wahai orang kafir, tanpa ada takwilan, maka ia kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekafiran. Lafadz-lafadz ini banyak dikatakan oleh orang At-Turk, maka renungkanlah hal itu. Jika ia mengatakan; apabila anaku mati aku akan masuk yahudi atau nasrani, maka ketika itu juga ia kafir. Jika ia dimintai tolong oleh orang kafir yang ingin masuk Islam, untuk menuntunnya kalimat tauhid, lalu ia menyarankannya agar tetap kafir atau dia tidak mau menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid ia kafir. Dan jika ia menyarankan orang islam untuk kafir maka ia kafir. Dan jika dikatakan kepadanya; potonglah kukumu dan cukurlah kumismu karena itu sunnah, lalu ia menjawab; aku tidak mau meskipun sunnah, maka ia kafir. Ini dikatakan oleh Ar-Rofi’ii yang dinukil dari sahabat-sahabat Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikutinya. Dan An-Nawawi berkata: “Pendapat yang terpilih bahwa orang itu tidak kafir kecuali ia bermaksud mengolok-olok, wAllahu Ta’ala a’lam. Seandainya ada dua orang saling bunuh, lalu salah satunya mengucapkan; laa haula walaa quwwata illaa billah, lalu yang satunya lagi mengatakan: laa haula walaa quwwata illaa billah tidak bisa menghilangkan lapar, maka ia kafir. Dan jika ia mendengar adzan lalu ia mengatakan; ia dusta, maka ia kafir. Dan jika ia mengatakan; aku tidak takut dengan hari kiyamat, ia kafir.
Dan jika ia ditimpa musibah lalu ia mengatakan; Ia (Allah Ta’ala) telah mengambil hartaku, anakku, ini dan itu, lalu apa yang akan Ia lakukan lagi, maka ia kafir. Dan jika ia memukul budaknya dan anaknya, lalu ada seseorang yang mengatakan kepadanya; bukankah kamu seorang muslim, lalu dengan sengaja ia mengatakan; tidak, maka ia kafir. Dan jika ada seseorang mengatakan kepadanya; wahai orang yahudi atau wahai orang nasrani, lalu ia menjawab; ya, maka ia kafir. Ini dinukil oleh Ar-Rofi’ii dan ia tidak mengomentarinya. An-Nawawi berkata; dalam masalah ini tidak benar jika ia tidak berniat apa-apa, wAllah Ta’ala a’lam.
Dan jika seorang pendidik anak mengatakan; sesungguhnya yahudi jauh lebih baik dari pada orang-orang Islam karena mereka memberikan hak-hak pendidik anak-anak mereka, maka ia kafir, inilah yang dinukil oleh Ar-Rofi’i dari sahabat-sahabat Abu Hanifah ra., dan beliau tidak mengometarinya begitu pula An-Nawawi. Saya katakan; kata-kata semacam ini banyak terjadi pada pegawai-pegawai dan buruh-buruh, sedangkan untuk mengkafirkannya tidak dibenarkan karena mengeluarkan seorang muslim dari agamanya lantaran perkataan kata-kata yang masih mengandung kemungkinan yang bisa dibenarkan, apa lagi jika terdapat qorinah yang menyertainya yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perlakuan mereka lebih baik dari pada perlakuan orang-orang Islam, terlebih lagi jika ia menyatakan bahwa inilah yang ia maksudkan atau terdapat jelas pada kata-kata seperti permasalahan yang dibawakan. WAllah Ta’alau a’lam.
Inilah contoh-contoh kemurtadan yang disebabkan perkataan, dan sebagaimana kamu lihat pada perkataan-perkataan yang masih mengandung kemungkinan diperselisihan oleh para ulama’ begitu pula perselisihan ini terjadi pada perbuatan-perbuatan yang masih muhtamilud dalalah (mengandung kemungkinan) dia antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakar Al-Hishni setelah perkataannya di atas.
Beliau mengatakan: “Adapun kekafiran yang dilakukan dengan perbuatan adalah seperti sujud kepada patung, matahari dan bulan, dan melemparkan mushaf ke dalam kotoran, dan sihir yang mengandung unsur penyembahan kepada matahari, dan begitu pula menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada patung, menghina salah satu dari nama Allah Ta’ala atau salah satu perintahNya atau ancamanNya atau membaca al-Qur’an dengan diiringi duff (rebana), dan begitu pula minum khomer dan berzina dengan membaca bismillah sebelumnya sebagai penghinaan, sesungguhnya ia kafir.
Ar-Rofi’ii menukil dari sahabat-sahabat Abu Hanifah jika ada seseorang yang memakai sabuk pada tengah badannya ia kafir. Ia berkata: “dan mereka berselisih pendapat tentang orang yang memakai peci orang majusi di atas kepalanya, namun yang benar dia kafir. Dan jika seseorang mengikatkan tali pada tengah badannya lalu ketika ditanya ia menjawab; ini sabuk, maka kebanyakan berpendapat ia kafir dan Ar-Rofi’ii tidak mengomentari masalah itu (karena sabuk tersebut sebagai ciri khas ahli dzimmah, edt). An-Nawawi berkata yang benar dia tidak kafir jika dia tidak punya niat. Dan apa yang dikatakan An-Nawawi dikatakan pula oleh Ar-Rofi’i pada awal kitab Al-Jinayat pada masalah keempat yang intinya ia sepakat dengan pendapat An-Nawawi dan bahwasanya hanya sekedar memakai pakaian orang-orang kafir tidak menyebabkan murtad.
Dan Ar-Rofi’ii menukil dari sahabat-sahabat Abu Hanifah bahwa orang fasik meminumkan khomer kepada anaknya lalu kerabat-kerabatnya memberikan dirham dan dinar maka mereka kafir, dan Ar-Rofi’ii tidak berkomentar dalam masalah ini. Dan An-Nawawi berkata; yang benar mereka tidak kafir. Dan jika ada seseorang melakukan perbuatan yang disepakati oleh umat Islam bahwa perbuatan itu tidak dilakukan kecuali oleh orang kafir, meskipun orang yang melakukan tersebut menyatakan bahwa dia Islam, seperti sujud kepada salib, atau pergi ke gereja-gereja bersama mereka dan menggunakan pakaian mereka seperti sabuk dan yang lainnya, maka ia kafir.” Kifayatul Akhyar II/123-124
Jika kamu memperhatikan perkataa-perkataan dan perbuatan-perbuatan kafir tersebut padahal ini hanyalah contoh dari sekian banyak yang terdapat pada bab-bab murtad dalam buku-buku fikih, kamu akan memahami bahwa banyak orang yang menganggap remeh masalah-masalah yang membatalkan Islam, dan ini semua disebabkan oleh tersebarnya kebodohan dan diremehkannya agama. Anas bin Malik ra., mengatakan: “Sesungguhnya kalian menganggap perbuatan-perbuatan itu lebih kecil dari pada rambut, sedangkan kami menganggapnya sebagai amalan-amalan yang menghancurkan pada masa Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.” hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori.
Inilah yang berkaitan dengan penjelasan perkataanku – dalam kaidah takfir - yang berbunyinya (dengan perkataan atau perbuatan kafir)
Pelajaran yang dapat diambil: seseorang tidak masuk ke dalam keimanan kecuali dengan beberapa amalan (perbuatan) akan tetapi ia dapat keluar darinya – atau kafir – walaupun hanya dengan satu amalan.
Yang dimaksud disini adalah keimanan yang hakiki yang bermanfaat bagi seseorang di akhirat, bukan iman secara hukum atau dalam kata lain hukum Islam yang diberlakukan baginya di dunia, yang semacam ini ia dapat masuk dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Adapun iman yang hakiki seseorang tidak akan mendapatkannya kecuali dia melasnakan pokok-pokoknya dan telah lalu keterangan bahwa pokok iman itu terdiri dari beberapa amalan hati, lisan dan anggota badan. Kewajiban hati adalah ma’rifah, tashdiq dan beberapa amalan hati seperti patuh, cinta, ridlo dan pasrah kepada Allah Ta’ala. Kewajiban lisan adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan kewajiban anggota badan adalah amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kafir, seperti sholat dan banyak ulama’ yang memasukkan rukun islam yang lainnya dalam katagori ini.
Akan tetapi seorang hamba bisa keluar dari keimanan atau kafir hanya dengan satu perbuatan saja – tidak harus dengan beberapa perbuatan – maka apabila ia melakukan perkataan atau perbuatan atau keyakinan yang masuk dalam katagori kekafiran maka ia kafir sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dan kekafirannya tidak bersyarat harus hilang semua cabang keimanan dari dirinya pada lahiriyahnya – meskipun pada hakekatnya semua amalannya terhapus – ini menunjukkan bahwa sebagian orang yang divonis kafir kadang memiliki amal sholih pada lahiriyahnya namun hal ini tidak menghalanginya untuk dikafirkan jika dia melakukan perbuatan yang menuntut pengkafiran.
Hal semacam ini banyak persamaannya dalam fikih:
Misalkan sholat, ia tidak syah kecuali dengan beberapa syarat den beberapa rukun yang wajib seperti wudlu, menutup aurot, menghadap kiblat, niat, berdiri, ruku’, sujud dan yang lainnya. Akan tetapi ia bisa batal walaupun hanya dengan satu perbuatan, seperti berhadats atau makan ketika sholat maka batal sholatnya.
Begitu pula haji tidak syah kecuali dengan sejumlah rukun dan kewajiban, namun ia bisa rusak dengan satu perbuatan seperti jima’.
Apabila seseorang beramal sholih sepanjang hidupnya kemudian dia melakukan kekafiran berupa perkataan atau perbuatan atau keyakinan, dan ia mati dalam keadaan seperti itu maka terhapuslah seluruh amal sholehnya, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni naar, mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:217) dan Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., bersabda: “sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amal penghuni syurga sepanjang hidupnya lalu ia menutup amalannya dengan amalan penghuni neraka, dan sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penghuni neraka sepanjang hidupnya kemudian ia tutup amalannya dengan amalan penghuni syurga.” Hadits ini diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairoh dan asalnya adalah terdapat dalam dua kitab shohih dari Ibnu Mas’ud ra.
Pelajaran yang lain: perbedaan antara At-Takfir Al-Mutlaq dan Takfirul Mu’ayyan.
At-Takfiirul Mutlaq adalah menjatuhkan hukum kepada sebabnya saja (yaitu perkataan atau perbuatan kufur). Maka dikatakan: orang yang mengatakan begini kafir dan orang yang berbuat seperti ini ia kafir. Dengan demikian maka at-takfirul mutlaq adalam mengetahui hukum secara umum tanpa menjatuhkan hukum kepada seseorang tertentu meskipun ia telah melakukan penyebab kekafiran tersebut. Dan at-takfirul mutlaq adalah yang telah kita bicarakan dalam fakroh-fakroh diatas dari kaidah takfir.
Adapun takfirul mu’ayyan adalah menghukumi kafir kepada seseorang tertentu yang melakukan penyebab kekafiran (yaitu perkataan atau perbuatan kekafiran) hal ini selain dengan apa yang telah dijelaskan diatas - yaitu meneliti kekafiran pada perkataan atau perbuatannya – ditambah lagi dengan memperhatikan apakah sebab tersebut benar-benar dilakukan oleh pelaku dan tidak terdapatnya penghalang hukum pada orang tersebut.
Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa perbedaan antara dua macam di atas adalah:
Bahwa at-takfirul mutlaq adalah menghukumi perbuatan, dan dalam hal ini hanya memperhatikan satu perkara saja yaitu penyebab kekafiran dengan terpenuhinnya syarat kekafiran dari sisi dalil syar’ii dan dari segi perbuatan sendiri adalah qoth’iyatud dalalah (jelas penunjukkannya).
Adapun takfiirul mu’ayyan adalah menghukumi pelaku, dalam hal ini yang perlu dilihat adalah dua masalah; yaitu hukum perbuatan sendiri sebagaimana di atas dan melihat kepada keadaan pelakunya yang mencakup menetapkan perbuatan itu sendiri dan tidak terdapatnya penghalang hukum pada orang tersebut.
Dan melihat kepada penetapan dan penghalang ini adalah yang isi pembahasan alinea-alinea berikutnya.

4- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi [ditetapkan dengan cara penetapan yang syar’ii] maksudnya adalah perkataan atau perbuatan kafir yang menjadi sebab kafirnya pelakunya. Jelasnya hal itu masuk kedalam kaidah yang berbunyi “memberlakukan hukum di dunia berlandaskan dhohir” yaitu perkataan dan perbuatan seorang mukallaf di dunia itu tidak divonis dengan hukum yang berlaku di dunia kecuali dengan cara yang telah dijelaskan oleh syari’at. Cara itu dinamakan ‘thuruqul itsbat asy-syar’iyyah’ (cara penetapan secara syat’ii), yang di antara bentuknya adalah pengakuan pelaku dan kesaksian para saksi. Sedangkan nishob (jumlah) kesaksian tidak sama dengan nishob yang lainnya. Oleh karena itu jika perkataan atau perbuatan itu sebelum ditetapkan dengan penetapan secara syar’i dan syah, maka ia tidak terkena hukum meskipun sebenarnya ia terkena hukum tersebut (baca: sebenarnya ia melakukan perbuatan yang mengharuskan untuk mendapatkan vonis hukum, namun ia tidak divonis sebelum melalui tata cara penetapan syar’i). Sehingga orang yang berzina akan tetapi perbuatannya itu menurut tata cara penetapan syar’i tidak terbukti, maka secara hukum syar’i dia tidak divonis berzina meskipun pada hakekatnya dia berzina, dan Allah Ta’ala akan membalas perbuatannya itu, kecuali jika Allah Ta’ala mengampuninya karena dia bertaubat atau karena terhapus dengan amal sholihnya atau karena mendapat syafa’at. Adapun murtad – yaitu melakukan perkataan atau perbuatan kafir – ditetapkan dengan salah satu cara, yaitu: pengakuan pelaku atau kesaksian dua orang muslim yang ‘adil (bisa dipercaya). Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali Al-Hasan, beliau mensyaratkan 4 orang saksi untuk memvonis murtad seseorang, karena hukuman murtad itu adalah dibunuh, hal ini dikiyaskan dengan zina. Namun Ibnu Qudamah menyanggahnya karena ‘illah (sebab) jumlah saksi zina itu bukanlah terletak pada hukuman bunuhnya, karena orang yang tidak muhshon (belum kawin) pun jumlah saksinya 4 orang (padahal hukumannya bukan dibunuh- pent.), dengan demikian jelaslah perbedaannya. Lihat Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabiir X/99
Dan kesaksian terhadap kemurtadan juga harus diperinci. Sebagaiman yang dikatakan Al-Qodli Burhanud Din bin Farhun Al-Maliki :”Kesaksian kemurtadan seseorang secara umum tidak diterima, misalnya seseorang mengatakan si fulan telah kafir atau murtad,’ akan tetapi harus detail apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari orang tersebut, karena bentuk-bentuk kekafiran itu diperselisihkan, kadang mereka meyakini kekafiran padahal bukan kekafiran.” Tabshirotul Hukkam II/277.
Lalu apakah kemurtadan itu dapat ditetapkan dengan kemasyhuran yaitu kesaksiaan banyak orang tanpa mendengar atau melihat secara langsung dari pelakunya? Dalam hal ini terjadi perselisihan pendapat. Ibnul Qoyyim berkata: ”Menghukumi dengan berlandaskan kemasyhuran, adalah tingkatan antara mutawatir (orang yang sangat banyak yang tidak mungkin berdusta) dan ahaad (perorangan). Kemasyhuran adalah apa yang banyak dibicarakan orang – sampai beliau mengatakan – dan tingkatan ini lebih kuat dari pada kesaksian dua orang yang diterima kesaksiannya.” Ath-Thuruq Al-Hukmiyah tulisan Ibnul Qoyyim hal. 212 terbitan Al-Madani. Dan kaji juga Fathul Bari V/254 dan majmu’ fatawa XXXV/312-314. Diantara contoh kesaksian berdasarkan kemasyhuran adalah kejadian yang diceritakan Ibnu Katsir dalam ceritanya pada tahun 741 H. beliau mengatakan:”Kemudian pada hari selasa 21 dzul qo’dah dihadapkan ‘Utsman ad-Dakaki al-madzkur ke darus Sa’adah dan diberdirikan dihadapan para pemimpin dan hakim dia titanya tentang kukurangan saksi, maka dia tidak mampu, lalu ditanyakan kepada hakim yang bernadzhab maliki tentang hukumannya, maka ia memuji Allah Ta’ala dan bersalawat lalu menjatuhkan hukuman mati meskipun bertaubat. Maka al-madzkur diambil dan dipenggal lehernya di damsyik di pasar kuda dan diumumkan ‘inilah hukuman orang yang bermadzhab ittihadiyah. Pada hari itu disaksikan di darus sa’adah yang dihadiri sekelompok orang para syaikh dan juga dihadiri syaikh kita Jamalud Din al-Mizi al-Hafidfz dan al-Hafidz Syamsud Din Adz-Dzahabi, keduanya berbicara dan mengobarkan semangat tentang masalah itu keduanya bersaksi atas kezindikan al-madzkur karena kemasyhurannya. Dan begitu pula syaikh Zainud Din saudara Ibnu Taimiyah, maka keluarlah tiga hakim seorang bermadzhab hanafi, seorang bermadzhab maliki dan seorang bermadzhab hambali, mereka melaksanakan hukuman al-madzkur di dalam majlis tersebut dan mereka menyaksikannya dan aku menyaksikan secara langsung semua itu dari awal sampai akhir. Al-Bidayah wan Nihayah XIV/190.
Inilah tata cara menetapkan hukum murtad di dunia, kadang seseorang pada hakekatnya ia kafir namun tidak ditetapkan hukum kafir di dunia. Orang semacam ini hisabnya diserahkan kepada Allah Ta’ala (pada hari tersingkap seluruh rahasia, ia tidak mempunyai kekuatan dan penolong). Jika dia mati di atas kekafirannya dan tidak bertaubat maka dia masuk neraka kekal di dalamnya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang menyekutukannya. Tidak semua orang yang pada hakekatnya kafir dapat dibuktikan dan divonis kafir di dunia, hal ini dapat dijelaskan dengan empat keadaan berikut:
A. Apabila seseorang menyembunyikan keyakinan kafirnya dan tidak menampakkannya dalam perkataan maupu amalannya, yaitu kufur dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari kebangkitan, maka ia secara dlohir hukumnya adalah orang Islam namun hakekatnya dia adalah kafir. Orang semacam ini masuk golongan orang-orang munafik nifak akbar. Dan pada macam ini Ibnu Taimiyah berkata:”Dan jika mereka menyembunyikan kemunafikan dan tidak mengatakannya, maka mereka itu adalah orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka:"Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. (QS. 9:64) Majmu’ fatawa: XIII/57. ayat ini menunjukkan kemunafikan dalam hati mereka dan tidak Ia tampakkan dalam perkataan atau amalan yang nampak.
B. Apabila seseorang menampakkan perkataan atau perbuatan kafir, akan tetapi tidak seorangpun yang melihatnya, maka secara hukum dlohir dia adalah muslim dan pada hakekatnya dia kafir. Dan orang semacam ini termasuk golongan orang-orang munafik nifak akbar. Dan orang semacam ini dan yang sebelumnya masuk dalam pengertian firman Allah Ta’ala:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ اْلأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لاَتَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali kemudian mereka akan di kembalikan kepada azab yang besar. (QS. 9:101)
C. Apabila seseorang menampakkan perkataan atau perbuatan kafir dan ada beberapa orang yang melihatnya akan tetapi mereka tidak memberikan kesaksian kecuali salah seorang dari mereka atau seorang anak atau seorang perempuan, maka kekafirannya tidak ditetapkan karena tidak mencapai nishob kesaksian terhadap kemurtadan pada orang tersebut. Orang semacam ini secara dlohir muslim dan hakekatnya ia adalah kafir. Orang yang semacam ini diperbolehkan bagi hakim untuk menghukumnya dibawah hukuman had seperti penjara atau jilid atau yang lain, sesuai dengan kuatnya kesaksian, misalnya yang memberikan kesaksian adalah ulama’ yang adil (tidak fasik) lagi sholih namun ia seorang diri. Lihat Tabshirotul Hukkam tulisan Ibnu Farhun II/281.
Pada bagian yang ketiga inilah kebanyakan orang-orang munafik pada zaman nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., sesungguhnya mereka mengatakan kekafiran di kalangan mereka namun mereka tidak memberikan kesaksian pada yang lain, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah:”Ia munafik dalam hatinya, dan mungkin menampakkan kemuertadan bahkan mengucapkan kemunafikan terhadap kawan dekatnya.” Majmu’ fatawa: XIII/54, dan kadang mereka memperdegarkan seorang dari kaum musimin lalu ia bersaksi terhadap apa yang ia dengar namun kesaksiannya tidak cukup untuk menetapkan hukum. Sebagaimana kesaksian Zaid bin Arqom terhadap Abdulloh bin Ubay bahwa ia berkata:”Jika kita kembali ke madinah pasti orang-orang yang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari madinah.” Sebagaimana terdapat dalam shohih bukhori dan meskipun wahyu membenarkan apa yang disaksikan Zaid namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., tidak menghukum mereka berdasarkan wahyu namun dengan cara penetepan secara syar’ii, dan juga karena perkataan orang-orang munafik itu muhtamilud dalalah dan tidak jelas.sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS. 47:30) sedangkan kiasan adalah perkataan yang difahami artinya dan tidak dinyatakan dengan jelas, hal itu disebutkan Al-Qurthubi.
Dan beginilah para ulama’ menjawab pertanyaan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh orang-orang munafiq? Ibnu Taimiyah berkata:”Pada umumnya mereka tidak mengatakan kekafiran yang perkataannya cukup untuk dijadikan bukti, akan tetapi mereka menampakkan keislaman. Sedangkan kemunafikan mereka kadang diketahui dari kata-kata yang didengar oleh seorang sahabat lalu disampaikan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., lalu orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah Ta’ala bahwa mereka tidak mengucapkannya atau kadang tidak bersumpah. Dan kadang nampak dari keterlambatan mereka dari sholat dan jihad dan keberatan mereka untuk mengeluarkan zakat dan juga nampak dari ketidak senangan mereka pada banyak hukum Allah Ta’ala, dan umumnya mereka dapat diketahui dari sindiran-sindiran mereka – sampai beliau berkata – kemudian semua orang munafik itu menampakkan keislaman dan mereka bersumpah bahwa mereka itu Islam, mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai. Maka jika mereka itu keadaannya seperi ini nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., tidak menegakkan hukuman had kepada mereka hanya berdasarkan pengetahuan beliau atau pemberitahuan seorang atau berdasarkan wahyu atau petunjuk atau penguat sampai ditetapkan dengan sebuah ketetapan yang mengharuskan untuk ditegakkan had, dengan bukti atau pengakuan – sampai beliau berkata – maka beliau tidak membunuh mereka – meskipun mereka kafir – karena kekafiran mereka tidak nampak dengan alasan yang dibenarkan secara syar’ii. Dan yang menunjukkan hal ini adalah bahwa beliau tidak menyuruh mereka secara perorangan padahal sudah maklum bahwa sebaik-baik orang yang telah dinyatakan murtad dan zindiq ia di suruh bertaubat sebagai orang murtad, jika ia tidak mau bertaubat ia dibunuh. Dan kami belum pernah mendengar bahwa beliau menyuruh bertaubat mereka secara perorangan. Dengan demikian maka sesungguhnya kekafiran dan kemurtadan mereka belum bisa di tetapkan atas mereka dengan sebuah ketetapan yang mengharuskan pembunuhan sebagaimana orang murtad. Oleh karena itu keadaan lahiriyah mereka diterima dan kita serahkan hati mereka kepada Allah Ta’ala. Jika begini keadaan orang yang telah nampak kemunafikannya namun belum bisa ditetapkan dengan ketetapan yang syar’ii, maka terlebih lagi orang yang belum tampak kemunafikannya?.” Ash-Shorimul Maslul hal. 355-357. dan al-Qodli ‘Iyadl berkata: “Hati orang-orang munafik itu tersembunyi, sedangkan nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., menghukumi secara dlohir. Sedangkan kata-kata (kekafiran) itu kebanyakan mereka ucapkan secara sembunyi-sembunyi dan bersama orang-orang munafik seperi mereka dan jika ketahuan maka mereka mengingkarinya dan bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa mereka tidak mengatakannya padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kafir tersebut – sampai beliau berkata – dan beginilah para imam kami dalam menjawab persoalan ini.” Dan beliau berkata: “Mungkin belum nyata bagi beliau SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., perkataan mereka yang disampaikan, akan tetapi hanya disampaikan oleh seseorang yang tidak sampai bisa diterima kesaksiannya dalam permasalahan semacam ini, seperti kesaksian seorang yang masih anak-anak atau budah atau perempuan sedangkan darah tidak bisa ditumpahkan kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil (bisa diterima kesaksiannya). – sampai beliau berkata – dan begitu pula sahabat-sahabat kami dari baghdad mengatakan: ‘Sesungguhnya nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., tidak membunuh orang-orang munafik hanya berdasarkan pengetahuan beliau atas kemunafikan mereka namun tidak ada bukti atas kemunafikan mereka, oleh karena itu beliau membiarkan mereka.” Asy-Syifa II/961-963, terbitan Al-Halabi.
Dan begini pulalah Ibnu Taimiyah menjawab pertanyaan tentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., “biarkanlah dia (orang munafiq) supaya orang tidak mengatakan; Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Dan ketika Umar ingin membunuh Abdulloh bin Ubay atas kesaksian Zaid bin Arqom. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhori (4905), Ibnu Taimiya berkata:”Yang menghalangi Rasulullah untuk membunuhnya adalah sebagai mana yang beliau katakan yaitu supaya orang tidak mengatakan bahwa beliau membunuh sahabat-sahabatnya, karena kemunafikannya tidak ada buktinya, dan dia telah bersumpah bahwa dia tidak mengatakannya, akan tetapi kemunafikannya beliau ketahui dari wahyu dan dari pemberitahuan Zaid bin Arqom.” Ash-shorimul Maslul hal. 354. Dan Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan:”Jika nabi membunuh mereka lantaran kemunafikan dan apa yang keluar dari mereka serta pengetahuan beliau terhadap apa yang mereka sembunyikan dalam jiwa mereka, pasti orang yang menghalang-halangi mendapatkan bahan pembicaraan, orang yang enggan jadi ragu dan orang yang ngeyel akan melemahkan keyakinan dan tidak mau bersahabat dengan nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., enggan masuk Islam, orang akan berprasangka yang macam-macam dan musuh yang dzolim akan menyangka bahwa pembunuhan itu disebabkan oleh permusuhan – sampai beliau mengatakan – hal ini beda jika yang diberlakukan terhadap mereka adalah hukum secara dhohir seperti membunuh mereka karena berzina, karena mereka membunuh orang dan hal yang semacam itu karena hal-hal semacam itu adalah nampak dan manusia sama-sama mengetahuinya. Asy-Syifa II/964, terbitan al-Halabi.
D. Apabila seseorang menampakkan perkataan atau perbuatan kafir, dan dia mengakuinya atau ada dua orang adil (tidak fasik) yang bersaksi atas dirinya atau yang lebih kuat dari pada itu atau kekufurannya itu telah tersebar di kalangan manusia, maka perbuatannya itu telah ditetapkan secara syar’ii dan syah, namun hal ini belum cukup untuk menghukuminya kafir sampai dilihat penghalang-penghalang hukum padanya.
Maka inilah empat keadaan orang yang pada hakekatnya kafir namun tidak bisa ditetapkan berbuat kafir di dunia kecuali dalam satu keadaan saja. Dan inilah yang berkaitan dengan penetapan secara syar’ii.
Di sini ada satu tambahan yaitu apakah orang yang telah mengetahui kekafiran seseorang ia boleh menganggapnya kafir – sebagaimana keadaan di atas – namun ia tidak memungkinkan untuk menetapkannya secara syar’ii kepadanya.
Jawabannya adalah ; bahkan dia wajib menghukuminya sebagai orang kafir akan tetapi dengan dua syarat:
Pertama: ia layak untuk menghukuminya baik ia sendiri seorang mufti atau minta fatwa orang lain, untuk membedakan antara kekafiran dan yang lainnya dan untuk melihat penghalang-penghalang kekafirannya.
Kedua: ia tidak boleh menghukumnya dengan hukuman yang menjadi hak Allah Ta’ala seperti menghalalkan harta dan darahnya supaya tidak dihukum dengan hukuman semacam ini padahal tidak terpenuhi tata cara penetapannya secara syar’ii secara sempurna, dan kalau hal ini diperbolehkan pasti akan menimbulkan kekacauan dalam menghalalkan darah dan harta hanya berlandaskan tuduhan, akan tetapi dihukum dengan selain itu seperti menjauhinya (hajr) tidak menerima lamarannya dan tidak menikahkannya, tidak menyolatkannya jika meninggal dan yang lainnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa XXIV/285-287. dan Ibnu Taimiyah berkata tentang orang-orang munafik:”dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., pada awalnya menyolatkan dan memintakan ampun mereka sampai Allah Ta’ala melarang beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “dan jangan menyolatkan seorangpun dari mereka jika mati dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya”. Dan juga Allah Ta’ala berfirman: “mintakanlah ampun mereka atau jangan kau mintakan ampun, jika kau mintakan ampun mereka 70 kali Allah Ta’ala tidak akan mengampuni mereka”. Maka beliau tidak menyolatkan mereka dan tidak pula memintakan ampun akan tetapi darah dan harta mereka tetap terjaga dan tidak halal sebagaimana halalnya orang kafir yang menampakkan kekafiran akan tetapi mereka menampakkan kekafiran.” Majmu’ fatawa VII/212 – 213.
Dalil yang menunjukkan seseorang bisa menghukumi kafir orang lain jika ia mengetahuinya adalah firman Allah Ta’ala:
واضرب لهم مثلا رجلين جعلنا لأحدهما جنتين من أعناب وحففناهما بنخل وجعلنا بينهما زرعا كلتا الجنتين ءاتت أكلها ولم تظلم منه شيئا وفجرنا خلالهما نهرا وكان له ثمر فقال لصاحبه وهو يحاوره أنا أكثر منك مالا وأعز نفرا ودخل جنته وهو ظالم لنفسه قال مآأظن أن تبيد هذه أبدا ومآأظن الساعة قآئمة ولئن رددت إلى ربي لإجدن خيرا منها منقلبا قال له صاحبه وهو يحاوره أكفرت بالذي خلقك من تراب ثم من نطفة ثم سواك رجلا
Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu," dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu'min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia:"Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat". Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata:"Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu". Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya :"Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurnak (QS. 18: 32-37)
Orang yang pertama kafir karena ragu terhadap hari kebangkitan dan yang lainnya mengkafirkannya lantaran keraguannya tersebut. Dan mereka hanya berdua saja sebagimana yang Allah Ta’ala katakan. Dan contoh semacam ini di kalangan salaf banyak, diantaranya adalah Imam Syafi’ii yang mengkafirkan Hafsh sendirian di dalam majlis perdebatan. Lihat Asy-Syari’ah tulisan Al-Ajuuri hal. 81. Syarhu I’tiqod Ahlis Sunnah tulisan Abul Qosim Al-Lalika’ii I/252-253, Ibnu Taimiya berpendapat bahwa Syafi’ii tidak mengkafirkan Hafsh akan tetapi mengatakan kafir terhadap perkataannya, namun yang benar, dilihat dari pembicaraan keduanya tidak sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah. Lihat perkataan beliau dalam Majmu’ fatawa XXIII/349.
Dan orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak boleh mengharuskan orang Islam lainnya selama mereka belum bisa menetapkan sebagaimana dia dan selama orang yang kafir tersebut kekafirannya belum ditetapkan secara syar’ii dan syah.
Akantetapi orang yang mengkafirkan orang lain ini diperbolehkan orang lain untuk taqlid kepadanya jika ia faqih dan tsiqoh (terpercaya) dan contohnya adalah taqlidnya Umar bin Khothob kepada Hudzaifah bin Yaman dalam tidak menyolatkan orang yang diketahui oleh Hudzaifah atas kemunafikan mereka berdasarkan pemberitahuan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Lihat majmu’ fatawa VII/213 dan al-Umm tulisan Asy-Syafi’ii VI/166.
Dan bolehkah orang yang mengetahui kekafiran seseorang untuk mengumumkannya di kalangan manusia meskipun orang yang kafir itu menutupi kekafirannya? Jawabannya adalah; ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan bahayanya, khususnya jika orang kafir tersebut termasuk penyeru bid’ah atau orang yang diambil ilmunya atau dia hendak menikahi seorang muslimah atau yang semacam itu karena din itu nasehat. Dalam masalah ini al-Qodli ‘Iyadl mengatakan :”Jika orang yang mengatakan perkataan itu orang yang diambil ilmunya atau periwayatan haditsnya atau dipegangi keputusannya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam kepemilikan, maka wajib bagi orang yang mendengar perkataannya untuk menyebarluaskan apa yang ia dengar dan menjauhkan manusia darinya dan bersaksi terhadap apa yang ia dengar, dan para pemimpin muslimin yang mendengarkannya kesaksian tersebut wajib untuk mengingkarinya, menerangkan kekafirannya dan kerusakan perkataannya, untuk memutuskan bahayanya dari muslimin dan juga untuk melaksanakan hak Sayidil mursalin. Dan begitu pula jika orang yang melekukan kekafiran tersebut orang yang suka memberi nasehat kepada manusia atau mendidik anak-anak, karena sesungguhnya orang yang hatinya seperti ini tidak bisa dipercaya untuk tidak menanamkannya pada hati mereka. Maka pada orang-orang semacam mereka lebih wajib demi hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., dan hak syari’atnya.” Asy-Syifa’ II/997-998. inilah yang berkaitan dengan penetapan secara syar’ii yaitu menetapkan penyebab kekafiran pada pelakunya secara syah.

5- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi [jika terpenuhi syarat-syarat untuk memvonis kafir]. Melihat kepada syarat-syarat ini harus dilakukan sebelum menghukumi. Karena kaidah menghukumi secara umum di dalam syari’at adalah:
Sebab itu akan mengakibatkan sebuah hukum jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak terdapat penghalang-penghalangnya.”
Hukum adalah menyatakan adanya sesuatu kepada orang lain atau tidak adanya, dalam hal ini adalah menyatakan kekafiran (murtad) pada seseorang.
Sebab hukum adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan oleh Pembuat syari’at sebagai tanda adanya hukum dan ketidakadaannya sebagai tanda tidak adanya hukum.
Syarat hukum adalah sesuatau yang keberadaan hukum tergantung dengan keberadaannya, namun keberadaannya tidak mesti adanya hukum akan tetapi ketidakadaannya mengakibatkan tidak adanya hukum.
Dan syarat-syarat hukum kafir itu ada tiga macam:
  • Syarat-syarat pada pelaku: yaitu ia harus mukallaf (berakal dan baligh) tahu bahwa perbuatannya itu kafir, sengaja melakukannya dan ia melakukan dengan kemauannya sendiri.
  • Syarat-syarat pada perbuatan (yang menjadi sebab hukum): yaitu perbuatan tersebut merupakan kekafiran tanpa syubhat, dan telah di jelaskan diatas syaratnya yaitu; perbuatan orang mukallaf itu shorihud dalalah, dan dalil syar’inya juga shorihud dalalah.
  • Syarat-syarat dalam menetapkan perbuatan mukalaf tersebut: yaitu dengan cara yang syar’ii dan benar.

6- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi [dan tidak terdapat penghalang-penghalang untuk memvonis kafir pada orang tersebut] maksudnya adalah penghalang-penghalang untuk menghukumi kafir.
Sedangkan penghalang: adalah sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum dan ketidak adaanya tidak mesti adanya hukum.
Dan ketahuilah bahwasanya dalam kaidah takfir diperbolehkan hanya menyebutkan syarat-syaratnya saja atau penghalang-penghalangnya saja, karena keduanya saling berkebalikan, sehingga salah satunya mewakili yang lainnya, sebagaimana kata Ibnul Qoyyim: “Dan di antara yang memperjelas masalah bagi adalah bahwa manusia bersepakat bahwa syarat itu terbagi menjadi syarat harus ada dan syarat harus tidak ada. Dengan kata lain bahwa keberadaan sesuatu menjadi syarat sebuah hukum dan ketidakadaannya sesuatu menjadi syarat sebuah hukum. Dan ini disepakati oleh para ulama’, ahli ushul fiqih, mutakallimin dan semua kelompok. Oleh karena itu apa saja yang ketiadakadaannya itu menjadi syarat maka keberadaannya menjadi penghalang dan apa saja yang keberadaannya itu merupakan syarat maka ketidakadaannya adalah penghalang. Dengan demikian maka tidak adanya syarat merupakan penghalang sebuah hukum dan ketidakadaannya penghalang merupakan syarat sebuah hukum, wabillahit taufiq.” Bada’iul Fawa’id IV/12 terbitan Darul Kitab Al-Arobi.
Penghalang-penghalang – sebagai syarat - itu terbagi menjadi tiga bagian:
  1. penghalang-penghalang yang terdapat pada pelaku: yaitu keadaannya yang menjadikan dia tidak bisa dihukumi perkataan dan perbuatannya secara syar’ii. Dan penghalang-penghalang ini disebut sebagai ‘awaridlul ahliyah (penghalang kelayakan).
  2. penghalang-penghalang yang terdapat pada perbuatan (yaitu penyebab kekafiran): seperti perbuatannya itu tidak shorihud dalalah (jelas maksudnya) terhadap kekafiran atau dalilnya tidak qoth’iyud dalalah terhadap kekafiran.
  3. penghalang-penghalang yang terdapat pada penetapan hukum: seperti salah satu saksinya tidak bisa diterima kesaksiannya karena masih kecil atau tidak ‘adil (fasik).

Awaridl Ahliyah (Penghalang-penghalang kelayakan)
Yang dimaksud disini adalah ahliyatul adaa’, karena ahliyah itu menurut ulama’ ushul fikih ada dua macam:
Ahliyatul adaa’ yaitu kelayakan seseorang untuk dianggap perkataan dan perbuatannya secara syar’ii, dan syarat-syarat syah ahliyatul adaa’ ini adalah berakal, baligh, sekarela.
Dan ahliyatul wujub; yaitu kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban. Dan dasar ahliyatul wujub ini adalah hidup, maka baik orang tua maupun anak kecil bahkan sampai janin sekalipun begitu pula orang yang berakal maupun gila syah ahliatul wujub.
Sedangkan penghalang-penghalang kelayakan berkaitan dengan ahliyatul adaa’ (kelayakan melaksanakan), yaitu masalah-masalah yang terjadi pada seorang mukallaf yang mengakibatkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya tidak diperhitungkan secara syar’ii, ia tidak dihukum dan perbuatannya tidak berdampak apapun terhadap hak-hak Allah Ta’ala dan tidak pada hak-hak manusia. Dan penghalang-penghalang kelayakan ada dua macam:
Bagian pertama adalah penghalang-penghalang samawiyah (dari langit); yaitu karena ditakdirkan Allah Ta’ala dan tidak ada peran manusia dalam mewujudkannya, seperti masih kecil, gila, dungu, tidur dan lupa. Maka jika orang yang terdapat padanya salah satu dari penghalang-penghalang tersebut melakukan kejahatan maka ia tidak berdosa dan tidak dijatuhi hukuman karena ia tidak terkena kewajiban, akan tetapi ia dihukum dengan hak-hak manusia seperti harga kerugian, denda dan yang semacam itu, karena ini adalah khithob wadl’ii (hukum penyebab). Penghalang-penghalang samawiyah ini kebalikannya adakah syarat-syarat, seperti anak-anak kebalikannya adalah baligh, gila dan dungu kebalikannya adalah berakal. Maka di antara syarat-syarat takfirul mu’ayyan adalah berakal dan baligh. Sedangkan syah tidaknya kemurtadan anak mumayyiz ada perselisihan, dan yang berpendapat syah seperti madzhab hambali mereka mengatakan ia dihukum sampai ia baligh dan disuruh bertaubat. Lihat al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/91-92.
Bagian kedua adalah penghalang-penghalang muktasabah; yaitu penghalang yang karena pilihan seseorang ia berperan dalam usaha dari dirinya atau dari yang lainnya, meskipun semua itu adalah takdir Allah Ta’ala :
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ketentuan” (QS. 54:49) dan di antara penghalang-penghalang muktasabah yang dianggap sebagai penghalang takfir mua’ayyan adalah:
  1. Al-Khotho’ (tidak sengaja), yang mengakibatkan keterlanjuran berbicara, ia mengucapkan kata-kata kafir padahal ia tidak bermaksud mengucapkannya. Penghalang ini membatalkan syarat al-‘amdu (sengaja). Yaitu hendaknya mukallaf itu melakukan kekafiran dengan sengaja. Dan dalil ketidaksengajaan sebagai penghalang secara umum adalah firman Allah Ta’ala:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّاتَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
.dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. 33:5) sedangkan dalil sebagai penghalang kekafiran adalah hadits tentang seseorang yang kehilangan kendaraannya kemudian ketika mendapatkannya ia berkata:”Ya Allah Engkau hambaku dan aku adalah tuhanMu.” Dan dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam mengatakan: “Ia salah karena sangat senangnya.” Hadits ini muttafaq ‘alaih. Dan keadaan yang menyertainya termasuk sesuatu yang menjadi pertimbangan dianggap atau tidaknya penghalang ini.
  1. Al-Khotho’ Fit Ta’wil (salah takwilan) : Takwil adalah meletakkan dalil tidak pada tempatnya berdasarkan ijtihad atau syubhat yang muncul dari ketidak fahaman terhadap maksud nas. Lalu ia melakukan perbuatan kafir sedangkan dia tidak menganggapnya kafir dan beralasan dengan dalil yang ia salah dalam memahami maknanya. Dengan kesalahan ini meniadakan syarat sengaja. Sehingga kesalahan dalam mentakwilkan menjadi penghalang untuk mengkafirkan dirinya. Namun jika telah disampaikan hujjah dan diterangkan kepadanya dan ia tetap dalam perbuatannya maka ia ketika itu kafir. Dan dalilnya adalah kejadian Qudamah bin Madz’un – dan telah kusebutkan pada peringatan penting dalam catatanku terhadap aqidah thohawiyah – di dalamnya disebutkan bahwa Qudamah minum khomer – sedangkan menghalalkan khomer hukumnya adalah kafir – ia berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحُُ فِيمَا طَعِمُوا
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah makan “ (QS. 5:93) ia berhujjah dihadapan Umar dengan menggunakan dalil ini ketika ia mau melaksanakan hukuman had. Pada masalah ini Ibnu Taimiyah mengatakan: “..atau ia salah, ia mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal sholih dikecualikan dari pengharaman khomer, sebagaimana kesalahan orang-orang yang dilakukan istitabah (disuruh taubat) oleh Umar, dan orang-orang semacam mereka. Mereka dilakukan istitabah (disuruh taubat) dan disampaikan hujjah kepada mereka lalu, jika mereka tetap dalam pendapat mereka, ketika itu mereka kafir. Dan mereka tidak divonis kafir sebelum dilakukan itu semua, sebagaimana para sahabat tidak mengkafirkan Qudamah bin Madz’un dan sahabat-sahabatnyakarena mereka salah dalam mentakwilkan.” Majmu’ fatawa VII/610. dan kejadian ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam mentakwilkan penghalang kekafiran atas ijma’ para sahabat. Sebagaimana hal itu juga masuk adalam keumumam ayat;
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّاتَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
.dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. 33:5)
Namun demikian tidak semua kesalahan dalam mentakwilkan dianggap sebagai udzur secara syar’ii dari pengkafiran;
Kesalahan dalam mentakwilkan yang diterima sebagai udzur adalah takwil yang timbul dari melihat dalil syar’ii namun dia salah dalam memahaminya.
Sedangkan kesalahan takwil yang tidak dianggap sebagai udzur adalah yang timbul dari pemikiran belaka dan hawa nafsu tanpa menyandarkannya kepada dalil syar’ii.
Sebagaimana penolakan iblis untuk sujud kepada Adam dan behujjah bahwa dia; “aku lebih baik dari pada Adam, engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan Adam dari tanah.” Ini hanyalah pemikiran. Dan sebagaiman pentakwilan-pentakwilan al-Bathiniyah yang menggugurkan kewajiban-kewajiban syar’ii, sesungguhnya ini hanyalah hawanafsu.
Dan dalam semua keadaan itu, kesalahan dalam mentakwilkan sebagai penghalang kekafiran akan menjadi gugur setelah disampaikannya hujjah kepadanya.
  1. Penghalang yang berupa Al-Jahlu (kebodohan); seperti seorang mukallaf melakukan kekafiran sedangkan dia tidak tahu kalau itu adalah kekafiran, maka kekafirannya – jika syah – menghalanginya untuk dikafirkan, dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
dan kami tidaklah mengadzab sampai kami mengutus seorang Rosul.” Al-Isro’: 15. Maka tidak ada adzab baik di dunia maupun di akherat kecuali setelah sampainya ilmu. Dan pembahasan ini telah berlalu pada bab 6 dalam kitab ini, dan kusebutkan di sana bahwa kebodohan yang syah dianggap sebagai udzur dan penghalang vonis kafir adalah kebodohan yang tidak memungkinkan bagi seorang mukallaf untuk menghilangkannya baik disebabkan oleh sebab-sebab yang ada pada dirinya atau sebab-sebab yang ada pada sumber ilmu sendiri. Jika ia mampu untuk belajar dan menghilangkan kebodohan pada dirinya namun ia meremehkannya maka dia tidak diterima udzur kebodohannya dan dia secara hukum dianggap orang yang tahu – sebagaimana hukumnya orang yang tahu – meskipun ia pada hakekatnya tidak tahu.
  1. Penghalang yang berupa terpaksa; kebalikannya adalah sebagai syarat hendaknya seorang mukallaf itu suka rela dalam mengerjakan perbuatannya. Dan dalil yang menunjukkan bahwa terpaksa adalah penghalang vonis kafir adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), “ (QS. 16:106) dan disyaratkan untuk syahnya keterpaksaan berbuat kafir, sebagai penghalang vonis kafir hendaknya ada ancaman bunuh atau memotong atau terjadi siksaan yang keras terhadap mukallaf tersebut, ini adalah pendapat mayoritas ulama’ dan inilah pendapat yang kuat. Dan akan dibahas tentang ikroh dengan agak terperinci pada akhir pembahasan insya Allah Ta’ala.
  • Mabuk yang mengakibatkan hilangnya akal; diterimanya sebagai penghalang diperselisihkan. Ibnul Qoyyim menganggapnya sebagai penghalang dan ini adalah pendapat madzhab Hanafi yang bertentangan dengan pendapat yang kuat yaitu pendapat madzhab hambali dan syafi’ii dan syahnya kemurtadan orang yang mabuk. A’lamul Muwaqqi’iin III/65, lihat Kasyaful Qona’ tulisan Al-Bahuti VI/176 dan al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/109.
  • Perkataan kafir karena menceritakan orang lain: sebagaimana orang yang membacakan perkataan orang-orang kafir yang Allah Ta’ala ceritakan kepada kita dalam Al-Qur’an dan Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk membacanya dan sebagaimana cerita orang yang bersaksi atas perkataan kafir yang ia dengar kepada hakim, dan seperti menceritakan pendapat-pendapat orang-orang kafir untuk menerangkan kerusakannya dan membantahnya. Ini semua diperbolehkan atau diwajibkan dan orang yang mengucapkannya tidaklah kafir. Lihat Al-Fashl tulisan Ibnu Hazm III/250. Oleh karena itu orang yang menceritakan kekafiran tidak dikatakan kafir. Dan disini ada perincian penting; barangsiapa yang bercerita tentang kekafiran dengan alasan yang syar’ii sebagaimana dalam contoh-contoh di atas maka ia tidak apa-apa. Namun barangsiapa yang bercerita dengan menganggapnya baik dan rela dengannya maka ia kafir. Dan keadaan yang menyertainya akan berperan dalam membedakan keadaan-keadaan tersebut. Dan dalam menerangkan perincian ini Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan: ”Orang tersebut menceritakan orang lain, maka orang semacam ini dilihat cara dia menceritakannya dan keadaan pembicaraan yang menyertainya, dan hal itu berbeda-beda sesuai dengan keadaannya menjadi empat macam hukum, yaitu wajib, sunnah, makruh dan haram.” Kemudian contoh masing-masing hukum tersebut, kajilah dalam Asy-Syifa II/997-1003, dan perincian ini juga disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrohim dalam majmu’ fatawanya XII/ 196-197 yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Abdur Rohman bin Qosim.
Dan bermain-main; meskipun terhitung sebagai penghalang muktasabah (yang diusahakan) namun ia bukanlah penghalang kekafiran sesuai kesepakatan para ulama’.
Dan jika kami telah menyebutkan syarat-syarat takfir yang berkaitan dengan mukallaf yaitu; baligh, berakal, tahu, sengaja dan sukarela, maka sesungguhnya penghalang-penghalang yang tersebut tadi masing-masing menghapuskan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat ini:
        • Baligh sebagai syarat yang menghapuskan masih kecil sebagai penghalang.
        • Dan akal sebagai syarat yang menghapuskan gila, dungu dan mabuk sempurna sebagai penghalang.
        • Dan ilmu sebagai syarat yang menghapuskan kebodohan yang diterima sebagai penghalang.
        • Dan kesengajaan yaitu niat sebagai syarat yang menghapus ketidak sengajaan (kesalahan) dalam berbicara atau dalam mentakwilkan dan bercerita tentang kekafiran sebagai penghalang.
        • Dan sukarela sebagai syarat yang menghapus keterpaksaan sebagai penghalang.

Beberapa catatan tentang pembahasan mawani’ut takfir

Catatan pertama: tabayyun mawani’ masuk ke dalam pengertian istitabah.
Ketehuilah meskipun istitabah itu arti asalnya adalah menyuruh bertaubat, dan hal ini tidak dilakukan kecuali setelah orang yang melakukan kekafiran itu divonis kafir dan murtad – sebagaimana yang akan kami jelaskan sebentar lagi insya Allah Ta’ala - , namun sesungguhnya yang dimaksud istitabah itu juga mencakup segala apa yang dilakukan sebelum menjatuhkan vonis, yang mencakup tabayyun syarat-syarat dan penghalang-penghalang vonis. Dalam menerangkan hal ini Ibnu Taimiyah berkata: “…atau ia keliru, ia kira bahwa orang-orang orang beriman dan beramal sholih itu di kecualikan dari pengharaman khomer sebagaimana orang-orang yang dilakukan istitabah oleh Umar dan orang-orang semacam mereka. Mereka dilakukan istitabah dan disampaikan hujjah kepada mereka. Jika mereka tetap dalam kekafiran ketika itu mereka kafir, dan mereka tidak divonis kafir sebelum dilakukan itu semua, sebagaimana para sahabat tidak menghukumi kafir Qudamah bin Madz’un dan sahabat-sahabatnya ketika mereka keliru dalam mentakwilkan.” Majmu’ Fatawa VII/610. Dangan demikian maka istitabah itu mencakup semua yang dilakukan dalam majlis hukum yang mencakup tabayyun syarat dan penghalang sebelum menjatuhkan hukum dan menyuruh bertaubat setelah itu.



Catatan kedua: tabayyun penghalang-penghalang wajib dilakukan ketika berkuasa dan gugur jika ada udzur. Diantara bentuk-bentuk udzur itu adalah:
  • Imtina’ ‘anil qudroh (mempertahankan diri dari kekuasaan), dan akan kami terangkan arti maqdur ‘alaih dan mumtani’ nanti insya Allah Ta’ala, yang ringkasnya maqdur ‘alaih itu orang yang memungkinkan untuk dihadirkan oleh hakim di majlis hukum dan memungkinkan untuk dilaksanakan hukuman had padanya jika mengharuskan untuk malaksanakan hukuman had, sedangkan mumtani’ adalah kebalikannya. Orang yang maqdur ‘alaih harus diteliti penghalang-penghalang vonis kafir padanya sedangkan mumtani’ divonis dengan tanpa harus tabayyun terhadap penghalang-penghalangnya. Ibnu Taimiyah berkata: “ Orang mumtani’ tidak dilakukan padanya istitabah, sesungguhnya yang dilakukan istitabah itu hanyalah orang yang maqdur ‘alaih”. Ash-Shorimul Maslul hal. 325-326. Dan telah berlalu catatan bahwa tabayyun terhadap penghalang vonis kafir itu masuk dalam pengertian istitabah.
  • Di antara bentuk udzur yang lain adalah mati; jika ada orang mati yang diperselisihkan agamannya oleh ahli warisnya, sebagian ahli waris mengatakan ia mati dalam keadaan Islam dan sebagian yang lain mengatakan ia mati dalam keadaan murtad, maka untuk menjatuhkan vonis (hukum) kepada mayit tersebut cukup dengan kesaksian para saksi. Ibnu Qudamah mengatakan – tentang orang muslim yang tertawan di negeri kafir – “Jika ada bukti bahwa dia mengucapkan kata-kata kafir dan ia ditawan oleh orang-orang kafir dalam keadaan takut, maka ia tidak divonis murtad karena secara dzohir dia terpaksa, dan jika disaksikan bahwa dia ketika mengucapkannya dalam keadaan aman maka dia divonis murtad, jika ahli warisnya mengklaim ia telah kembali ke Islam, maka pengakuan tersebut tidak diterima kecuali dengan bukti karena pada asalnya ia berada dalam kemurtadan.” Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/106. Pembicaraan kita ini bukan pada orang yang terpaksa akan tetapi tentang orang yang mengucapkan kata-kata kafir dalam keadaan aman, maka orang semacam ini divonis murtad meskipun masih mengandung kemungkinan adanya penghalang padanya seperti kebodohan yang syah atau takwil atau bercerita tentang kekafiran atau yang lainnya. Namun demikian ia divonis sebagaimana kesaksian para saksi, hal itu disebabkan karena ada udzur untuk melakukan tabayyun terhadap penghalang setelah dia mati. Pembicaraan kita ini adalah tentang orang yang mati sebagaimana yang dikatakan Syafi’ii dalam perkataannya tentang masalah yang sama dalam kitab Al-Umm VI/162. Dan ini tidaklah khusus orang yang mati di negeri kafir, akan tetapi hal ini juga berlaku bagi orang yang mati di negeri Islam jika ahli warisnya berselisih pendapat tentang agamanya, maka ia divonis dengan kesaksian para saksi saja tanpa tabayyun terhadap penghalang karena hal itu tidak memungkinkan., sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabiir XII/214-218.
Dan jika ada orang murtad, lalu gila, lalu ia mati sebelum disuruh bertaubat, maka ia divonis mati dalam keadaan kafir. Hal ini disebutkan oleh Asy-Syafi’ii dalam Al-Umm.
Dan apabila ada orang yang dalam keadaan mabuk murtad, lalu ketika mabuk itu ia mati, maka ia mati dalam keadaan kafir. Dan jika ia dibunuh seseorang ketika mabuk, orang yang membunuh tersebut tidak mempunyai tanggungan apa-apa. Ini menurut orang yang berpendapat bahwa mabuk itu bukan penghalang kemurtadan. Hal ini disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabir X/109, dan Al-Umm tulisan Asy-Syafi’i VI/158.
Pada semua keadaan ini seseorang divonis murtad tanpa dengan tabayyun terhadap penghalang-penghalangnya dan tanpa menyuruhnya bertaubat. Dan barang siapa mati dalam keadaan kafir maka ahli warisnya yang Islam tidak mewarisinya, namun demikian jika ada orang yang bersaksi atas adanya penghalang pada orang yang mumtani’ atau orang yang mati tersebut , maka wajib untuk diterima kesaksiannya.

Catatan ketiga: yang dijadikan pegangan dalam menganggap penghalang secara mutlak adalah syari’at sedangkan yang dijadikan pegangan dalam menganggap penghalang itu pada seseorang tertentu adalah hakim

Penghalang dalam mengkafirkan adalah apa yang ditetapkan dalil syar’ii sebagai penghalang, dan jika tidak ditetapkan sebagai penghalang maka ia bukanlah penghalang meskipun disangka orang sebagai penghalang dan mereka beralasan dengannya, dan akan kami sebutkan contoh-contohnya dalam catatan yang kelima.
Adapun menganggap penghalang pada seseorang tertentu maka yang dijadikan sandaran adalah hakim yang melihat kepada tuduhan. Kebodohan dan terpaksa adalah penghalang dalam mengkafirkan yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’ii, adapun menganggap seseorang itu bodoh atau terpaksa yang dijadikan sandaran adalah hakim.

Catatan keempat: jika penghalang itu telah hilang namun orang tersebut tetap dalam kekafirannya maka ia kafir.

Sedangkan penghalang itu hilangnya, bisa dengan sendirinya (seperti anak-anak yang melakukan kekafiran, jika beranjak usia dewasa hilanglah penghalangnya) atau bisa karena hilangnya sebab kekafirannya (seperti terpaksa dan mabuk) atau hilang karena telah disampaikan hujjah kepadanya (seperti kebodohan, tidak sengaja dan takwil). Maka jika penghalang itu telah hilang namun orang tersebut tetap tidak merubah perkataan atau perbuatannya yang kafir ketika masih ada penghalang maka ketika itu ia kafir.

Catatan kelima: apa-apa yang secara syar’ii tidak dianggap sebagai panghalang menghukumi kafir

Penghalang-penghalang hukum – diantaranya adalah hukum mengkafirkan – yang diterima secara syar’ii adalah penghalang-penghalang yang ditetapkan dalil syar’ii, maka apa saja yang disebutkan dalam dalil sebagai penghalang maka kami anggap sebagai penghalang dan apa yang tidak disebutkan dalam dalil atau yang bertentangan dengan dalil maka kami tidak menganggapnya sebaga penghalang. Hal itu karena sebagian manusia mempermudah dalam melarang mengkafirkan dengan udzur-udzur yang tidak diterima secara syar’ii. Karena tidak semua yang dijadikan udzur oleh orang diterima. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:"Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. 9: 65-66) mereka berudzur akan tetapi tidak diterima udzur mereka dan yang mirip dengan ini adalah firman Allah Ta’ala:
يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُل لاَّتَعْتَذِرُوا لَن نُّؤْمِنَ لَكُمْ
Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan 'uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah:"Janganlah kamu mengemukakan 'uzur; kami tidak akan percaya kepadamu, ". (QS. 9:94)

Maka tidaklah semua udzur itu diterima sebagai penghalang.

Dan diantara ‘udzur (alasan) yang batil adalah: orang yang telah jelas melakukan kekafiran itu – kerena berdo’a kepada selain Allah Ta’ala atau mencaci agama misalkan – ia mengucapkan syahadat dan sholat. Sebagian orang menyangka bahwa hal itu dapat menghalangi untuk menghukuminya kafir, padahal tidak.
Dan telah berlalu peringatan bahwa seorang hamba itu tidak masuk ke dalam iman yang hakiki kecuali dengan sejumlah amalan akan tetapi ia dapat keluar dari keimanan tersebut hanya dengan satu amalan. Dan untuk menghukumi ia kafir tidak mesti harus hilang semua cabang keimanan padanya. Maka jelaslah dengan demikian bahwa kadang seseorang itu kafir padahal padanya masih terdapat beberapa cabang iman, akan tetapi cabang-cabang tersebut tidak bermanfaat karena kekafirannya. Allah Ta’ala berfirman:
ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ). (QS. 12:106) Disini Allah Ta’ala menyatakan bahwa mereka memiliki keimanan sedangkan mereka mereka melakukan kesyirikan.
Dan telah kusebutkan beberapa dalil dan contoh yang cukup sehingga tidak membutuhkan tambahan, dan diantaranya adalah yang kusebutkan dalam catatan penting yang terdapat dalam catatanku terhadap aqidah thohawiyah, bahwa sahabat bersepakat (ijma’)atas kafirnya orang-orang yang tidak membayar zakat dan mereka tidak menyebutnya dengan sebutan yang lain, para sahabat tidak menyebut mereka sebagai orang-orang yang meninggalkan sholat dan zakat, hal ini menunjukkan mereka itu masih sholat. Hal yang serupa dengan mereka adalah orang-orang yang dikafirkan oleh Abdulloh bin Mas’ud dan sahabat-sahabat yang bersamanya , sedangkan mereka yang dikafirkan itu sholat di masjid Bani Hanifah di Kufah. Ini semua adalah dalil syar’ii dan contoh dalam satu waktu.
Dan diantara udzur yang batil adalah udzurnya orang-orang kafir bahwa para pemimpin dan masyayikh mereka menyesatkan mereka dan mencampur adukkan kebenaran dan kebatilan kepada mereka. Ini adalah udzur batil berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَن نُّؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلاَبِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِندَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلآ أَنتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَى بَعْدَ إِذْ جَآءَكُم بَلْ كُنتُم مُّجْرِمِينَ وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَآ أَن نَّكْفُرَ بِاللهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَندَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا اْلأَغْلاَلَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلاَّ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan orang-orang kafir berkata:"Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada al-Qur'an dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya".Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zhalim itu dihadapkan kepada Rabb-Nya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebahagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah:"Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk petunjukitu datang kepadamu (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa". Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"(Tidak), sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya".Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab.Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir.Mereka tidak di balas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan". (QS. 34: 31-33) Nas ini menyatakan bahwa para penguasa menyesatkan rakyatnya dan membuat makar untuk mereka dan memerintahkan mereka untuk kafir, dan keadaan ini tidak menghalangi untuk mengkafirkan para pengikut tersebut dan hak mereka untuk mendapatkan ancaman. Bahkan penyesatan yang sebagian orang mengira sebagai udzur ini merupakan salah satu bentuk kekafiran yaitu kufur taqlid sebagaimana telah kami bahas dan ini adalah kekafiran orang-orang awan dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani dan seluruh kelompok-kelompok kafir, orang-orang awam mereka taqlid kepada pemimpin-pemimpin mereka yang menyesatkan mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَتَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَآءِ السَّبِيلِ
Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (QS. 5:77) dan ayat-ayat yang membahas tentang taqlidnya orang-orang kafir kepada bapak-bapak mereka banyak, begitu pula ayat-ayat yang membahas tentang perdebatan para pengikut dengan orang-orang yang mereka ikuti dan saling belepas diri satu sama lain banyak, sebagaimana pada surat Saba’ di atas, surat Al-Baqoroh: 166-167, Al-A’rof: 38-39, Ibrohim: 21, Al-Ahzab: 64-68 dan Ghofir 47-48.
Dan di antara udzur-udzur yang batil adalah: udzur orang yang mengatakan bahwa dia adalah seorang ulama’, seolah-olah mereka itu orang-orang yang maksum dari kekafiran, sedangkan Allah Ta’ala berfirman tentang para nabi :
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS. 6:88)
Dan yang semisal dengan itu adalah surat az-Zumar ayat 65, jika kekafiran itu tidak mungkin terjadi di pada para nabi, namun ia tidak mustahil terjadi pada orang-orang yang berada di bawahnya. Karena seorang ulama’ meski berapapun banyak ilmunya, ia bisa kafir dan “sesungguhnya amalan itu tergantung dengan penutupnya” dan contohnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan ceritakanlah kepada mereka tentang orang yang kami berikan kepadanya ayat-ayat kami lalu ia tergelincir darinya lalu ia diikuti syetan maka ia menjadi termasuk orang-orang yang tersesat.” Surat Al-A’rof. Dan contoh pada umat ini banyak sekali, dimulai dari orang yang murtad pada zaman Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., seperti Abdulloh bin Abis Saroh, ia adalah penulis wahyu Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., kemudian orang-orang murtad setelah wafat beliau, dan banyak para penyeru bid’ah mukaffiroh yang mengaku berilmu syar’ii seperti Qodariyah yang tidak mempercayai ilmu Allah Ta’ala yang dikafirkan Ibnu Umar dalam awal hadits pada Shohih Muslim, disebutkan ciri-ciri mereka adalah “mereka membaca al-Qur’an dan mengikuti ilmu” dan kejelakan pada akhir zaman lebih banyak adari pada pendahulunya, berdasarkan sabda Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., : “Tidaklah datang hari kepada kalian kecuali yang setelahnya lebih buruk dari pada sebelumnya.” Hadits riwayat Al-Bukhori. Dan kami melihat pada zaman kita ini para pemerintah yang murtad diberbagai negara masing-masing membuat kelompok masyayikh yang memberikan sebutan kepada para pemerintah itu dengan gelar-gelar yang besar seperi ashabul fadlilah (yang mempunyai keutamaan) dan As-Samahah (yang mulia) untuk menipu orang awam untuk menyebar luaskan kebatilan mereka, dan merekapun memberikan gelar kepada masyayikh tersebut dengan dengan gelar-gelar keimanan dan syari’at Islam untuk menyesatkan orang awam. Maka para masyayikh tersebut dan orang-orang semacam mereka tidak diragukan lagi atas kekafiran dan kemurtadan mereka, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa menolong mereka maka ia termasuk mereka.” Al-Maidah: 51dan juga karena mereka ridlo dengan kekafiran dan mereka juga tidak mengkafirkan para pemerintah yang kafir tersebut yang telah ditunjukkan dalam dalil atas kekafiran mereka. Abdulloh ibnul Mubarok berkata:
Adakah yang paling merusak agama itu selain para raja…
Para ulama’ suu’ dan ahli ibadahnya….
Dan sebagai contoh untuk dua masalah di atas – yaitu keberadaan orang yang menyesatkan bukan udzur bagi orang yang mengikutinya dan bahwa sebagian orang yang diberi ilmu kadang kafir – bahwa ada seseorang yang bernama Naharu Rojjal bin ‘Unfuwah menyertai nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., dan belajar agama kepada beliau, lalu beliau mengutusnya sebagai pengajar kepada penduduk Yamamah kaumnya Musailamah Al-Kadzab lalu ia murtad dan ia bersaksi bahwa dia menjadi sekutu nabi dalam kerasulan, lalu orang-orangpun percaya kepadanya dan mereka mengikuti Musailamah karena percaya kepada Ar-Rojjal, namun hal ini tidak menghalangi para sahabat untuk mengkafirkan dan memerangi mereka. Thobari menyebutkan ceritanya dalam tarikhnya, ia berkata: “ As-Sarri menulis surat kepadaku dari Syu’aib dari Saif dari Tholhah ibnul A’lam dari Ubaid bin Umair dari Utsal Al-Hanafi – dia bersama Tsumamah bin Utsal – ia berkata: ‘dan musailamah merayu setiap orang dan merangkulnya dan ia tidak perduli pada orang yang melihatnya berbuat jelek, dan bersamanya Ar-Rojjal bin ‘Unfuwah, ia telah berhijroh kepada Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., dan membaca Al-Qur’an dan memperdalam agama. Lalu Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., mengutusnya sebagai pengajar untuk penduduk Yamamah supaya menentang Musailamah dan bersikap keras terhadap urusan umat Islam. Maka ia lebih besar fitnahnya terhadap Bani Hanifah dari pada musailamah. Ia bersaksi bahwa ia mendengar bahwa Muhammad SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., mengatakan: ‘ia (musailamah) bersekutu dengannya’. Maka mereka mempercayainya dan menyambutnya, dan mereka menyuruhnya untuk menulis surat kepada Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., dan mereka berjanji jika beliau tidak menerima mereka akan membantu melawannya.” Dan Ath-Thobari juga berkata:”As-Sarri menulis surat kepadaku ia berkata; telah bercerita kepada kami Syu’aib dari Saif dari Tholhah Ikrimah dari Abu Huroiroh dan Abdulloh bin Sa’id dari Abu Sa’id dari Abu Huroiroh, ia berkata: ‘ Abu Bakar mengutus utusan kepada Ar-Rojjal maka utusan itu mendatanginya lalu berwasiat kepadanya, lalu ia diutus kepada penduduk Yamamah dan dia melihat bahwa ia jujur ketika menjawab. Berkata Abu Huroiroh; Aku duduk bersama Nabi SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM., dengan sekelompok orang dan Ar-Rojjal bin ‘Unfuwah bersama kami. Lalu beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya diantara kalian ada yang giginya di neraka lebih besar dari pada gunung uhud.’ Lalu mereka yang berada dalam majlis itu telah meninggal dan tinggallah aku dan Ar-Rojjal, aku khwatir dengan sabda Nabi itu. Sampai akhirnya Ar-Rojjal keluar bersama Musailamah, ia bersaksi bahwa musailamah itu nabi. Maka fitnah yang lakukan Ar-Rojjal lebih besar dari pada fitnahnya Musailamah. Lalu Abu Bakar mengutus Kholid kepada mereka.” Tarikhuth Thobari II/276 dan 278 cetakan darul kutub al-‘ilmiyah 1408 H.
Intinya sesungguhnya penghalang-penghalang hukum itu – di antaranya adalah penghahlang-penghalang kekafiran – yang syah secara syar’ii adalah yang ditetapkan dengan dalil-dalil syr’ii, bukan semua yang disangka orang sebagai penghalang. Wabillahit taufiq.

7 – Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi (dan yang memvonisnya adalah orang yang layak untuk memvonis). Maksud dari (dan yang memvonisnya) adalah memvonis kafir dan murtad karena dia berbuat kufur dan telah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya. Dan maksud dari (orang yang layak untuk memvonis) adalah hakim, mufti dan ahul ilmi (orang berilmu syar’i) lainnya. Dan hendaknya ia adalah seorang mujtahid, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.,bersabda: ”Jika seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar maka ia mendapat dua pahala dan jika ia memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah maka ia mendapat satu pahala.” Muttafaq ‘alaih. Dan jika tidak terdapat mujtahid maka orang yang muqollid sesuai dengan yang kami sebutkan dalam “marotibul Muftin” (tingkatan-tingkatan mufti) dalam bab lima dalam kitab ini2. Ibnu Taimiyah berkata:”dan syarat-syarat hakim diambil sesuai dengan kemungkinan, oleh karenanya wajib mengangkat orang yang terbaik lalu orang yang berada dibawahnya, dan hal ini yang terdapat dalam perkataan Ahmad dan yang lainnya, sehingga jika tidak ada orang baik maka diangkat orang yang paling sedikit kefasikan dan kejelekannya dan muqollid yang paling adil (tidak fasik) dan paling tahu dengan taqlid.” Al-Ikhtiyarot al-Fiqhiyyah yang dikumpulkan oleh ‘Alaa’ud Din al-Ba’li, di tahqiq oleh Al-Faqi terbitan daarul ma’rifah hal. 332.
Dan secara lebih terperinci sebagai berikut:
A. Barang siapa yang murtad di darul Islam, maka yang berhak menghukuminya (menyatakan kekafirannya) adalah hakim atau orang yang berkuasan hukum. Dan jika ada ‘ulama selain hakim yang berbicara tentang orang yang murtad tersebut maka perkataan mereka itu dianggap sebagai fatwa dan bukan hukum. An-Nawawi berkata tentang fatwa sorang mufti dalam permasalahan murtad :”Ash-Shoimiri dan Al-Khothib berkata : jika ditanya tentang orang yang mengatakan; aku lebih jujur dari pada Muhammad bin Abdulloh atau mengatakan; sholat itu permainan dan perkataan yang semacam itu, maka jangan langsung mengatakan orang ini darahnya halal (ditumpahkan) atau dia harus dibunuh, akan tetapi katakanlah; jika ini benar karena ia mengakuinya atau karena ada bukti maka pemerintah menyuruhnya bertaubat, jika dia bertaubat maka taubatnya diterima dan jika ia tidak bertaubat maka dilakukan seperti ini dan beliau memaparkan secara panjang lebar sampai ia puas. Ash-Shoimiri dan Al-Khothib berkata: dan jika ditanya tentang seseorang yang mengatakan perkataan yang mengandung banyak maksud, sebagiannya kafir dan sebagian yang lain tidak, maka katakan; tanyakan kepada yang mengatakannya jika dia menjawab begini maka jawabannya begini.” Al-Majmu’ I/49. Maka hukum itu adalah hak hakim yang menerima kesaksian bukan hak para mufti karena hakimlah yang mempunyai kekuasaan untuk meneliti keberadaan syarat-syaratnya dan ketidak adaan penghalang-penghalangnya. Sebagaimana keputusan hakim itu menghapus perselisihan dan tidak bisa membatalkan keputusannya kecuali bertentangan dengan nas al-Qur’an atau sunnah atau ijma’. Lihat Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabiir XI/403-405 dan A’lamul Muwaqqi’in IV/224. Di antara contohnya adalah yang dilaksanakan musimin pada kejadian yang disebutkan Ibnu Katsir pada tahun 701 H.. beliau mengatakan:”pada hari senin 14 robi’ul awwal dibunuh Al-Fatah Ahmad bin Ats-Tsaqofi di negeri Mesir. Pada hari itu hakim Zainud Din bin Makhluf Al-Maliki, karena ia telah ditetapkan melakukan penghinaan terhadap syari’at dan mengolok-olok ayat-ayat yang telah jelas dan mempertentangkan ayat-ayat musytabihat sebagian dengan sebagian yang lainnya. Dan disebutkan ia menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan seperti liwath (homoseks), khomer dan yang lainnya untuk orang-orang fasik dari at-turk dan juga orang-orang bodoh lainnya yang berkumpul padanya. Namun dia mempunyai keutamaan dan pada lahiriyahnya dia mempunyai penampilan dan kegiatan yang baik, begitu juga pakaian dan sikapnya bagus. Ketika dia diberdirikan di jendela Darul Hadits Al-Kamiliyyah di antara dua istana, ia meminta tolong kepada hakim Taqiyud Din bin Daqiqi al-‘Id, ia mengatakan: ‘apa yang kau ketahui tentang diriku?’ ia menjawab: ‘yang ku tahu kau orang yang mempunyai keutamaan, akan tetapi hakim Zainud Din telah memutuskan hukum kepadamu.’ Maka hakim memerintahkan gubernur untuk memenggal lehernya. Mak dipenggallah lehernya dan kepalanya di kelilingkan di dalam negeri. Dan di umumkan inilah hukuman orang yang mencela Allah Ta’ala dan RosulNya.” Al-Bidayah wan Nihayah XIV/18. Maka hukuman orang yang berbuat jahat itu diserahkan kepada hakim meskipun sebagian ulama’ memberikan kesaksian atas keutamaannya atau semacam itu sebagaimana dalam kejadian ini.
B. Dan barangsiapa murtad lalu bergabung dengan Darul harbi (Negara Kafir) atau dia murtad di darul harbi, maka diperbolehkan bagi setiap orang yang layak seperti hakim atau yang lainnya untuk menghukuminya dan diperbolehkah bagi setiap orang untuk melaksanakan hukumannya. Dan secara terperinci akan dibahas pada faqroh 10 insya Allah Ta’ala.

8- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi (jika orang murtad tersebut maqdur ‘alaih di Darul Islam). “Maqdur ‘alaih” adalah berada di bawah kekuasaan penguasa dan hakim, baik secara kenyataan yaitu ia berada dalam tahanannya atau secara hukum yaitu mereka memungkinkan untuk menghentikannya dan menanyakannya tanpa bisa mengadakan perlawanan (mempertahankan diri). Ibnu Taimiyah berkata: “Dan yang dimaksud dengan Maqdur ‘Alaihim adalah memungkinkannya untuk melaksanakan hukuman had kepada mereka karena telah terbukti atau karena dia mengakuinya, dan mereka berada dalam kekuasaan muslimin.” Ash-Shorimul Maslul hal. 508. Dan perkataanku yang berbunyi (di Darul Islam) adalah tafsiran untuk perkataanku yang berbunyi (maqdur ‘alaih), karena sesungguhnya seseorang itu tidak berada dibawah kekuasaan muslimin kecuali mereka berada di Darul Islam. Sesungguhnya keberadaannya di darul harbi cukup sebagai pertahanan baginya dari kekuasaan muslimin dan ini bukan berarti semua orang yang berada di darul Islam tunduk dalam kekuasaan Islam. Akan tetapi seseorang yang tinggal di darul Islam itu bisa jadi ia maqdur ‘alaih atau mumtani’. Sedang imtina’ di darul Islam itu tidak terwujud kecuali dengan membelot dari ketaatan dan melawan dengan persenjataan dan pembela sebagaimana keadaan muharibin (perampok) yang membegal di perjalanan. Dan perkataanku yang berbunyi (Daarul Islam) maksudnya adalah setiap negara yang berhukum dengan hukum Islam.
Al-Mawardi menyebutkan perbedaan antara orang murtad yang maqdur ‘alaih dan mumtani’ yaitu ketika beliau membahas perang melawan orang-orang murtad bab hurubul masholih dalam kitab beliau al-Ahkam As-sulthoniyah, beliau berkata: “Apabila mereka orang-orang yang wajib dibunuh karena murtad keadaan mereka tidak keluar dari dua macam; pertama mereka berada di darul Islam, jumlah mereka sedikit dan sendiri-sendiri yang tidak menyatu di daerah yang terpisah dari muslimin, maka kita tidak perlu memerangi mereka karena mereka berada di bawah kekuasaan, maka disingkap sebab kekafiran mereka – sampai beliau berkata – dan barangsiapa yang tetap pada kemurtadannya ia dibunuh baik laki-laki maupun perempuan. – kemudian beliau mengatakan – keadaan yang kedua adalah jika orang-orang murtad tersebut bergabung di sebuah daerah yang terpisah dari muslimin sehingga mereka menjadi mumtani’in (mempertahankan diri)…sampai akhir” al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 69-70 terbitan darul kutub al-‘ilmiyah th. 1405 H. dan Ibnu Taimiyah berkata: “hukuman yang terdapat dalam syari’at bagi orang yang bermaksiyat kepada Allah Ta’ala dan RosulNya ada dua macam; pertama hukuman bagi orang yang maqdur ‘alaih yang terdiri perorangan maupun kelompok, sebagaimana yang telah lalu, dan yang kedua adalah hukuman bagi kelompok yang mumtani’ (mempertahankan diri) yang tidak mungkin ditundukkan kecuali dengan peperangan.” Majmu’ Fatawa XXVIII/349. Dan Ibnu Taimiyah juga berkata: “Ini adalah nas bagi orang yang maqdur ‘alaih dan itu adalah bagi orang yang memerangi dan mumtani’ (mempertahankan diri).” Minhajus Sunnah An-Nabawiyah IV/455, tahqiq Dr. Muhammad Rosyad Salim. Maksud dari semua ini adalah menjelaskan bahwa syari’at membedakan antara hukuman maqdur ‘alaih dan mumtani’. Dan mumtani’ itu tidak selalu kelompok akan tetapi bisa kelompok bisa individu, sebagaimana murtadnya Abdulloh bin Sa’ad bin Abis Saroh lalu dia lari ke Mekah sebelum ditaklukkan. Dan setiap kitap fikih pasti membedakan antara dua macam ini. Dan termasuk yang mesti diketahui bahwa kaidah syari’ah yang membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ sangat kuat sampai-sampai syari’at juga membedakan antara keduanya pada binatang yang boleh dimakan. Binatang yang maqdur ‘alaih – meskipun asalnya liar seperti kijang – tidak halal dimakan kecuali disembelih namun binatang yang mumtani’ – meskipun aslinya jinak seperti onta – boleh dimakan dengan cara dilukai memakai benda tajam pada badannya sebagaimana berburu. Demikianlah syari’at sangat ketat persyaratannya terhadap yang maqdur ‘alaih dan mempermudah pada mumtani’.

9- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi (wajib dilakukan istitabah sebeuim dilaksanakan hukuman) ini jika yang murtad itu maqdur ‘alaih (berada di bawah kekuasaan Islam).
Dan ketahuilah bahwa istitabah itu meskipun pada asalnya artinya adalah menyuruh bertaubat kepada orang murtad yang berarti orang yang disuruh bertaubat itu hanyalah orang yang telah dinyatakan murtad namun dalam perkataan ulama’ juga yang dimaksud mencakup kegiatan sebelum menghukumi yang mencakup tabayyun terhadap terhadap syarat-syarat dan penghalang-penghalangnya sebelum menghukumi murtad pada seseorang dan menyuruh bertaubat setelah menghukumi. Dan ini akan nampak jika seorang tholibul ilmi membaca katab-kitab ilmu “bahwa barang siapa yang mengakatan begini atau berbuat begini, maka dilakukan istitabah padanya” hal ini bukan berarti ia telah kafir lalu disuruh bertaubat, akan tetapi artinya kalau ia berkata atau berbuat kekafiran maka harus ditabayyun terhadap keadaannya yaitu tabayyun terhadap syarat-syarat dan penghalang-penghalangnya setelah itu ia divonis terbebas dari kekafiran atau ia divonis murtad lalu disuruh bertaubat.
A. adapun istitabah yang berarti tabayyun terhadap syarat-syarat dan penghalang-penghalangnya sebelum menghukumi pelakunya baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka hal ini adalah merupakan ijma’ para sahabat ra.,sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah pada perkataannya: “ adapun empat kewajiban (dalam rukun Islam) maka apabila seseoarang itu menolaknya sebagian darinya dan telah sampai hujjah kepadanya maka dia kafir, begitu pula orang yang menolak pengharaman sesuatu yang telah jelas-jelas diharamkan seperti perbuatan-perbuatan keji, kedloliman, dusta, khomer dan yang lainnya. Namun jika belum tegak hujjah padanya seperti jika pelakunya baru masuk Islam atau ia tumbuh di daerah yang sangat jauh di pedalaman yang belum sampai padanya syari’a-syari’at Islam dan keadaan yang semacam dengan itu atau salah sangka, ia kira orang-orang yang beriman dan beramal sholih itu di kecualikan dari pengharaman khomer, sebagaimana salahnya orang-orang yang di lakukan istitabah oleh Umar, dan orang-orang yang seperti itu. Sesungguhnya orang-orang tersebut dilakukan istitabah dan ditegakkan hujjah kepadanya, lalu jika mereka tetap pada pendiriannya, maka mereka ketika itu kafir dan tidak divonis kafir kecuali setelah dilakukan proses tersebut sebagai mana para sahabat juga tidak menghukumi kafir Qudamah bin Madz’un dan kawan-kawannya ketika mereka salah dalam mentakwilkan.” Majmu’ fatawa VII/609-610. Maka nampak dari perkataan beliau ini bahwa istitabah itu artinya adalah tabayyun terhadap penghalang-penghalangnya dan menegakkan hujjah, dan ini terjadi sebelum menghukumi murtad sebagaimana yang beliau katakan “ dan tidak divonis murtad sebelum itu”. Istitabah semacam ini wajib dilakukan bagi orang yang maqdur ‘alaih. Dan dilakukan sesuai dengan kemungkinan bagi orang yang mumtani’ (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam) yaitu jika orang yang menghukumi seseorang kafir itu mendengar bahwa orang yang melakukan kekafiran tersebut terdapat padanya penghalang kekafiran maka ia wajib untuk mengakuinya akan tetapi ia tidak wajib meneliti penghalang-penghalang kekafiran pada orang tersebut dan tidak menggantungkan hukum kekafiran pada tabayyun terhadap penghalang-penghalang tersebut padanya khususnya jika jika hal itu mengakibatkan kerusakan terhadap kaum muslimin. Dan akan disebutkan dalil-dalilnya pada alinea berikutnya insya Allah Ta’ala, ketika berbicara tentang mumtani’.
B. adapun istitabah yang berarti menyuruh bertaubat orang yang telah dinyatakan murtad, makna ini telah masyhur di dalam buku-buku ilmiyah. Dan hal ini banyak dalilnya, seperti firman Allah Ta’ala:
يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَاقَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلاَمِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَانَقَمُوا إِلاَّ أَنْ أَغْنَاهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ مِن فَضْلِهِ فَإِن يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka” (QS. 9:74) Dan juga firman Allah Ta’ala:
كَيْفَ يَهْدِي اللهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقُُّ وَجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ أُوْلاَئِكَ جَزَآؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَهُمْ يُنظَرُونَ إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka Allah tidak menunjuki orang-orang yang zhalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan . “ (QS. 3: 86-89)
Dan dalam kisah murtadnya orang-orang Bani Hanifah di Kufah yang dibawah kepemimpinan Abdulloh bin Mas’ud – disebutkan dalam diriwayatkan Al-Baihaqi – “… kemudian ia meminta pendapat manusia tentang mereka (orang-orang murtad tersebut) maka Adi bin Hatim menyarankan untuk membunuh mereka, lalu Jarir dan Asy’ats berdiri dan berkata: tidak, akan tetapi lakukanlah istitabah pada mereka dan tanggunglah keluarga mereka, lalu mereka bertaubat maka ditanggunglah mereka dan keluarga mereka.” Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IV/470. dan telah saya nukil kisahnya secara lengkap sebelum ini. Maka yang kalimat “lakukanlah istitabah pada mereka….lalu mereka bertaubat” menunjukkan bahwa istitabah yang dimaksud disini adalah menyuruh bertaubat orang yang telah dinyatakan murtad. Istitabah semacam ini menurut kebanyakan ulama’ hukumnya wajib, sedangkan madzhab hanafi, ahludz dzohir dan asy-Syaukani berpendapat hal itu tidak wajib. Namun pendapat yang kuat hukumnya wajib, dan Ibnul Qoshor menyatakan para sahabat ijma’ atas wajibnya istitabah ini. Yang ia maksud adalah ijma’ sukuti. Lihat Asy-Syifa tulisan al-Qodli ‘Iyadl II/1023-1925, cetakan al-halabi. Ibnu Taimiyah juga menyatakan ijma’ sahabat atas wajibnya istitabah terhadap orang murtad dalam ash-Shorimul Maslul hal. 323. dan kaji juga Fathul Bari XII/269, Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabiir X/76, al-Majmu’ tulisan An-Nawawi IX/229, As-Sailul Jarror tulisan Asy-Syaukani IV/373 dan Ash-Shorimul Maslul hal. 321 dan hal. selanjutnya.
Dan taubatnya orang murtad itu dengan cara bersyahadat (mengucapkan 2 kalimat sahadat) dan kembali dari kekafirannya. Lihat referensi-referensi diatas. Ibnu Muflih Al-Hambali mengatakan: “Syaikh kami berkata: para imam telah bersepakat bahwa orang murtad jika ia kembali Islam terlindungi darah dan hartanya meskipun belum dinyatakan oleh hakim.” Al-Furu’ VI/172 terbitan Maktabah Ibnu Taimiyah. Dan yang beliau maksud dengan “syaikh kami” adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pelajaran yang dapat diambil: kapan ‘adalah (kepercayaan) dikembalikan kepada pelaku dosa yang sudah bertaubat?

Kita telah bicarakan tentang taubat dan penjelasan syarat-syaratnya ketika menjelaskan ilmu yang hukumm mempelajarinya fardlu ‘ain pada pasal kedua dari bab kedua dalam kitab ini, sedangkan taubat itu ada dua yaitu, taubat batin dan taubat secara hukum.
Adapun taubat batin adalah taubat yang memenuhi syarat yang telah kami sebutkan yang terdiri dari penyesalan, meninggalkan perbuatan dosa yang diperbuat, bertekat untuk tidak mengulanginya, istighfar dengan lisannya, mengembalikan hak orang lain jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain dan syarat-syarat lainnya. Inilah taubat yang diterima.
Dan adapun taubat secara hukum adalah menampakkan taubat di hadapan manusia, meninggalkan perbuatan dosanya dan menampakkan penyesalan. Para ulama’ berselisih pendapat dalam hal ini apakah ‘adalahnya dikembalikan kepadanya – sehingga kesaksiannya diterima, dan ia shah menjadi wali nikah – ketika itu juga dengan hanya sekedar bertaubat atau disyaratkan tenggang waktu untuk membuktikan kebenarannya? Ini ada dua pendapat:
Pertama: ‘adalah dikembalikan kepadanya ketika itu juga, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya” (QS. Asy-Syuro:25) dan firmanNya (yang artinya): “ sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni semua dosa.” (Az-Zumar :53)
Perdapat yang kedua: disyaratkan berlalunya waktu sebelum dikembalikan ‘adalahnya kepadanya. Jika telah berlalu satu tahun dan ia beramal sholih setelah ia bertaubat itu, maka kita mengetahui bahwa ia benar-benar bertaubat, dalilnya adalah:
Sesungguhnya Allah Ta’ala mensyaratkan shahnya taubat itu dengan amal sholih setelahnya, Allah Ta’ala berfirman :
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (QS. 25:71) Dan Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan . Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:89) Dan ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak, maka jika seseorang beramal sholih setelah bertaubat, kita tahu bahwa benar-benar bertaubat.
Bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika orang-orang murtad bertaubat beliau melarang mereka untuk naik kuda dan membawa senjata dan beliau mengatakan kepada utusan buzakhoh – mereka adalah kaumnya thulaihah al-asadi – “Kalian ikuti ekor-ekor onta sampai kholifah nabinya dan orang-orang muhajirin memperlihatkan kepada Allah Ta’ala sesuatu yang kalian dimaafkan dengannya.” Hadits ini diriwayat kan Al-Bukhori (7221) maksudnya adalah kalian menggembalakan onta di kampung pedalaman sampai nampak kejujuran taubat kalian. Ibnu Hajar berkata: “Dan yang yang dapat dipahami maksud dari pemberian tenggang waktu kepada mereka adalah nampaknya kejujuran taubat mereka kebaikan mereka dengan berislam secara baik.” Fathul Bari XIII/211. inilah sunnah Kholifah rosyid yang diikuti oleh para sahabat, yang dengan demikian menjadi ijma’ sahabat.
Bahwasanya Umar bin Khothob ra., ketika Shobigh bin ‘Asal bertaubat – setelah diasingkan oleh Umar karena berbuat bid’ah – Umar memerintahkan untuk tidak mengajaknya bicara kecuali setelah satu tahun. Dan ini juga sunnah kholifah rosyidin.
Dan yang kelihatan dari pembahasan di atas adalah pendapat yang kedua, karena kekuatan dalilnya, yaitu dalil-dalil pengkhusus dari dalil-dalil mutlaq yang dijadikan landasan pendapat yang pertama. Kedua pendapaat itu disebutkan oleh Ibnu Qudamah akan tetapi beliau tidak merojihkan salah satunya. Al-Mughni Ma’asy Syarhil Kabiir XII/80-82. dan begitu pula Ibnu Taimiyah menyebutkan keduanya dan tidak merojihkan salah satunya. Ia mengatakan:”Apabila keadaannya seperti itu dan ia bertaubat, jika ia beramal sholih selama satu tahun dan ia tidak membatalkan taubatnya, maka ia diterima taubatnya, ditemani dan diajak bicara. Adapun jika ia bertaubat dan belum berlalu satu tahun, maka para ulama’ mempunyai dua pendapat yang masyhur. Di antara mereka mengatakan: ketika itu juga ditemani dan diterima kesaksiannya, dan di antara mereka berpendapat; harus berlalu satu tahun sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khothob terhadap Shobihg bin ‘Asal. Dan ini adalah masalah ijtihadiyah, maka barangsiapa berpendapat taubatnya diterima dan ia boleh ditemani ketika itu juga sebelum ia diuji maka ia telah mengambil pendapat yang diperbolehkan dan barangsiapa yang berpendapat bahwa dia harus diberi waktu sampai dia beramal sholih dan nampak kejujurannya maka ia telah mengambil pendapat yang diperbolehkan dan keduanya bukanlah kemungkaran.” Majmu’ Fatawa XXVII/214-215 dan lihat VII/86.
Dan anda telah melihat kuatnya dalil pendapat kedua dan bahwa hendaknya ia ditunggu sampai nampak kejujuran taubatnya. Dan ini juga termasuk politik yang baik. Jika adalah (kepercayaan) dikembalikan kepadanya ketika itu juga, ia bercampur dengan umat Islam dan dia diberi kepercayaan memegang urusan umat Islam sedangkan belum jelas kebenaran taubatnya maka akan memungkinkan baginya untuk membikin kerusakan pada kaum muslimin khususnya jika tuduhannya itu adalah kemurtadan dan kezindikan. Maka wajib untuk menunggunya dan ini adalah sunnah al-khulafa’ur Rosyidin sebagaimana yang telah lalu penjelasannya. Dan Ibnu Taimiyah juga berkata:”Dan Umarpun sama sekali tidak menjadikannya pegawai, bahkan Abu Bakarpun juga tidak mengangkat seorang munafikpun jadi pegawai yang memegang urusan kaum muslimin dan keduanya tidak mengangkan kerabat-kerabatnya dan keduanya tidak menghiraukan selaan orang yang mencela. Bahkan ketika keduanya memerangi orang-orang murtad dan mengembalikan mereka kepada Islam mereka tidak boleh menaiki kuda dan tidak boleh membawa senjata sampai nampak kebenaran taubat mereka. Dan Umar mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqosh sedangkan dia ketika itu adalah gubernur Irak; jangan kau berikan jabatan seorangpun dari mereka dan jangan kau minta pendapat mereka dalam urusan perang.” Majmu’ Fatawa XXXV/65. Maka seandainya ada orang yang diberi kekuasaan yang murtad maka ia tidak layak dibiarkan pada kekuasaannya setelah ia bertaubat.

10- Perkataanku – dalam kaidah takfir – yang berbunyi (sebelum dilaksanakan hukuman oleh penguasa) ini adalah orang yang maqdur ‘alaih (berada dibawah kekuasaan Islam) jika ia tidak mau bertaubat maka ia mandapatkan hukuman murtad baik harta dan darahnya. Sama saja baik laki-laki maupun perempuan kecuali pemdapat madzhab hanafi, dan yang melaksanakan hukuman di negara Islam adalah penguasa yang terdiri dari imam, wakil-wakilnya seperti gubernur, dan hakim serta pembantu-pembantunya. Dan setiap orang tidak berhak melaksanakan hukumannya sendiri di negara Islam, Syamsud Din bin Muflih al-Hambali mengatakan dalam kitabnya Al-Furu’: “Dan diharamkan menegakkan hukuman kecuali imam atau wakilnya.” VI/53. dan Ibnu Qudamah berkata:”dan membunuh orang murtad itu diserahkan kepada imam baik yang murtad itu orang yang merdeka atau budak, dan ini adalah pendapat para ulama’ secara umum kecuali Asy-Syafi’ii pada salah satu dari dua pendapat beliau pada budak, menurut beliau tuannya boleh membunuhnya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., :”laksanakanlah hukuman terhadap budak-budak kalian.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabiir X/70. Hal ini tidak ada perselisihan dikalangan muslimin dan inilah yang berlaku di negara Islam sejak jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., sampai berakhirnya negara Islam di bumi. Dan hadits yang di sampaikan Ibnu Qudamah itu diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu’ dan diriwayatkan oleh Muslim secara mauquf. Dan Syaikh Manshur al-Bahuti al-Hambali berkata :” dan tidak boleh membunuhnya kecuali imam atau wakilnya baik orang yang murtad itu orang merdeka maupun budak, karena membunuhnya itu adalah hak Allah Ta’ala maka hal itu di serahkan kepada imam atau wakilnya – sampai beliau berkata – dan jika ia (orang murtad tersebut) dibunuh orang lain (selain imam dan wakilnya) tanpa seijinnya maka orang yang membunhnya diberi hukuman karena ia tidak menganggap adanya imam atau wakilnya (namun orang yang membunuh orang murtad tersebut tidak membayar tebusan) karena orang yang murtad itu tidak ma’shum (terjaga darah dan hartanya) sama saja apakah ia membunuhnya sebelum atau setelah istitabah karena secara umum darahnya terabaikan dan kemurtadan dia itu menyebabkan halal darahnya untuk ditumpahkan, dan hal itu sebelum istitabah maupun sesudahnya kecuali orang murtad itu bergabung dengan negara musuh (darul Harbi) maka setiap orang boleh membunuhnya dengan tanpa istitabah dan mengambil hartanya karena ia menjadi harbi.” Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’ tulisan al-Bahuti VI/175, terbitan daarul fikri th. 1402 H.
Dan apa yang dikatakan oleh al-Bahuti bahwa apabila selain imam itu membunuh orang murtad ia dihukum tanpa membayar tebusan, adalah tidak diperselisihkan dikalangan ulama’ dan hal ini banyak terdapat di buku-buku mereka. Akan tetapi harus dimengerti bahwa orang yang sudah terkenal kekafirannya dan diketahui ia tidak bertaubat, inilah yang apabila ada rakyat yang membunuhnya tidak menebus darahnya dan bahkan kadang wajib bagi rakyat untuk melaksanakannya jika imam meremehkan pelaksanaan hukuman. Dan dalam masalah ini termasuk dorongan salaf untuk membunuh Bisyir bin al-Muraisi ketika mereka mengkafirkannya karena ia berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluq, namun para penguasa meremehkan hukuman kepadanya, tentang hal ini Abdul Malik bin Al-Majsyun – sahabat imam Malik – berkata :” Jika aku berjumpa dengan Bisyir bin al-Muraisi aku penggal lehernya.” Dan Abdulloh bin Mubarok mendorong untuk membunuh Bisyir dengan berkata:” Sungguh mengecewakan bangsa ini, apakah tidak ada seorangpun yang berani membunuh Bisyir.” Keduanya diriwayatkan oleh Abdulloh bin Ahmad bin Hambal dalam kitabnya As-Sunah ha. 40 dan 37 terbitan daarul kutub al-‘ilmiyah th. 1405 H.

11- Perkataanku – dalam kaidah takfir – (dan jika ia mumtani’ dengan kekuatan atau dengan negara musuh maka diperbolehkan setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa menyuruhnya taubat, dan dilihat kepada maslahat dan kerusakan yang ditimbulkan…) inilah hukuman orang murtad yang mumtani’ ‘anil qudroh (mempertahankan diri dari kekuasaan muslimin)
Imtina’ (mumtani’) dalam syar’ii ada dua macam, pertama; imtina’ ‘anil ‘amal bisy syari’ah (menolak untuk melaksanakan syari’at) baik sebagian maupun secara keseluruhan, dan inilah yang banyak disebut oleh Ibnu Taimiyah:”kelompok mana saja yang menolak melaksanakan sebuah syari’at Islam…” maksudnya adalah tidak mau melaksanakannya. Yang kedua; imtina’ ‘anil qudroh maksudnya adalah mempertahankan diri dari kekuasaan muslimin sehingga tidak bisa menahannya dan menghukumnya, dan tidak ada hubungan antara keduanya, kadang orang yang menolak untuk melaksanakan syari’at itu berada di bawah kekuasaan kaum muslimin di negara Islam sebagaimana orang yang menolak melaksanakan sholat dan zakat ia sendirian di dalam negara Islam. Maka harus dibedakan antara kedua macam imtina’. Sedangkan yang kami maksud dengan mumtani’ dalam perkataan kami tersebut adalah mempertahankan diri dari kekuasaan muslimin.
Dan mumtani’ ‘anil qudroh di negara Islam adalah dengan perlawanan senjata dan kelompok – sebagaimana yang dilakukan oleh qutho’ thoriq (begal) – sebagaimana kadang dengan cara lari ke negeri musuh dan berada di luar daerah kekuasaan muslimin. Inilah beberapa bentuk imtina’ ‘anil qudroh dan Ibnu Taimiyyah menyebutkan macam ini dalam perkataan beliau:”…dan juga jika ia mumtani’ dengan kelompok atau dengan negara musuh…” Ash-shorimul maslul hal. 278, dan perkataan beliau:”…dan karena orang murtad yang mumtani’ dengan cara bergabung dengan negara musuh atau mereka itu mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri dari hukum Islam…” Ash-shorimul maslul hal. 322.
Dengan demikian orang murtad yang mumtani’ itu kadang murtad di negara Islam dan ia mempertahankan diri dari kekuasaan muslimin dengan persenjataan dan kelompok yang membantunya, dan kadang ia murtad di negara Islam lalu lari ke negara musuh, dan kadang waktu ia murtad ia tinggal di negara musuh lalu ia tetap tinggal di dalamnya.
Maka jika kemurtadannya itu telah ditetapkan dengan cara kesaksian dua orang yang adil (bukan orang fasik) atau karena sudah terkenal dan tidak ada syubhat maupun kemungkinan yang lain – dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan keputusan hakim atau fatwa seorang mufti – maka diperbolehkan bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya dengan tanpa menyuruhnya taubat, dan inilah diantara perbedaan antara orang maqdur ‘alaih dan mumtani’. Dan telah tersebut di atas perkataan al-Bahuti tentang masalah ini, dan Ibnu Qudamah mengatakan:”Dan jika orang yang murtad itu bergabung dengan negara kafir maka kepemilikannya tetap, akan tetapi diperbolehkan bagi setiap orang untuk membunuhnya tanpa menyuruhnya bertaubat dan mengambil hartanya bagi yang mampu karena dia menjadi seorang harbi dan hukumnya adalah hukum orang harbi.” Al-Mughni ma’asy syarhil Kabir X/82, dan Ibnu Muflih al-Hambali menyebutkan hal yang serupa dalam kitab Al-Furu’ VI/175-176. dan dalilnya adalah penumpahan darah Abdullah bin Sa’id bin Abis Sarooh yang dilakukan oleh An-Nabidl ketika ia murtad dan lari ke Mekah sebelum ditaklukkan. Maka ia mumtani’ dari kekuasaan muslimin dengan lari ke negara kafir. Dan kisahnya ini diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shohih dan disebutkan secara deteil dalam ash-shorimul maslul tulisan Ibnu Taimiyah hal. 109-118 terbitan al-kutub al-‘ilmiyyah th. 1398 H. dan Ibnu Taimiyah mengatakan:”.. dan karena orang murtad itu jika mumtani’ – dengan bergabung dengan darul harbi atau yang murtad itu orang-orang yang mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri dari dari hukum Islam – maka ia dibunuh tanpa istitabah (dimintai taubat) dengan tanpa ragu-ragu.” Ash-Shorimul Maslul hal. 322 dan beliau juga mengatakan:”…dan orang yang mumtani’ itu tidak dilakukan istitabah, sedangkan yang dilakukan istitabah itu adalah maqdur ‘alaih..” Ash-Shorimul Maslul hal. 325-326.
Dan masuk dalam pengertian ini adalah orang-orang murtad yang memerangi Allah Ta’ala dan RosulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menyatakan dengan jelas permusuhan mereka terhadap Islam seperti para pemerintah thoghut yang memerintah dengan selain syari’at Islam, tentara-tentaranya dan orang-orang yang membantu mereka dari kalangan penulis, jurnalis dan yang lainnya diseluruh negeri kaum muslimin pada hari ini. Negara mereka adalah negara musuh (darul harbi) karena hukum yang berlaku adalah hukum kafir. Mereka itu hukumnya adalah hukum orang murtad yang mumtani’ dengan darul harbi yang tidak menghukum orang murtad dan yang tidak dianggap salah orang yang murtad dalam undang-undang positif mereka. Dengan demikian orang murtad yang berada di dalamnya berlindung dengan undang-undang dan tentara-tentaranya yang ditugaskan untuk membela undang-undang tersebut. Degan demikian maka ia mumtani’ dengan darul harbi oleh karena itu diperbolehkan setiap orang Islam untuk membunuh mereka yang telah masyhur kekafiran mereka dan telah melalui penetapan syar’ii atas kekafiran mereka dan ini termasuk jihad fii sabiilillah dan tidak ada pertimbangan lagi disini kecuali pertimbangan kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan, dan meskipun membunuh orang murtad dan kafir itu sebuah kemaslahatan tersendiri namun jika ditambahkan dalam kekafirannya dengan menghalangi dari jalan Allah Ta’ala dan menyakiti kaum muslimin dan menebar musibah pada muslimin maka membunuh orang semacam ini adalah kemaslahatan yang besar. Akan tetapi jika pembunuhannya menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin dari pada kemaslahan tersebut maka pembunuhannya diundur sampai pada kondisi yang sesuai, karena “menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada menngusahakan kemaslahatan” dan juga karena “jika dua kerusakan saling bertentangan maka diambil yang paling ringan untuk menolak yang lebih besar” dan jika kemaslahatan pada pembunuhan orang tersebut lebih kuat dari pada kerusakan yang ditimbulkan, maka kemaslahatan tersebut di dahulukan, wAllah Ta’alau a’lam.
Inilah kaidah takfir dengan penjelasan singkat. Barangsiapa yang ingin mengkaji secara detail hendaknya mengkaji kitab saya yang berjudul Al-Hujjah Fii Ahkaamil Millah Al-Islamiyyah di dalamnya dipaparkan semuanya lengkap dengan dalil-dalilnya. Hanyasanya kami sebutkan penjelasan singkat ini supaya dapat membantu pelajar dalam mempelajari tema Iman dan Kufur dari berbagai buku karena melihat tersebarnya permasalahannya yang tidak menjadikan pemula tidak mampu mengumpulkannya. Dan saya ringkaskan pembahasan diatas sebagai berikut: sesungguhnya tahapan-tahapan atau langkah-langkah yang tersebut dalam kaidah takfir mu’ayyan adalah sebagai berikut:
  1. melihat kepada sebab: yaitu hendaknya perkataan atau perbuatan tersebut memenuhi dua syarat kekafiran, yaitu shorihud dalalah (jelas penunjukkannya) dan kekafirannya ditetapkan oleh dalil syar’ii.
  2. Melihat kepada syarat: yaitu syarat yang berkaitan dengan pelaku, perbuatan dan penetapan hukum.
  3. Melihat kepada penghalang: yaitu pada pelaku, perbuatan maupun penetapan hukumnya.
  4. Memutuskan hukum: yaitu murtad, dan hal ini berkaitan dengan kelayakan orang yang memutuskan hukum untuk memutuskan hukum.
  5. Menyuruh bertaubat setelah diputuskan telah murtad, ini bagi maqdur ‘alaih (orang yang berada dalam kekuasaan Islam).
  6. Pelaksanaan hukuman: yaitu oleh penguasa darul Islam bagi yang maqdur ‘alaih, dan oleh semua orang bagi mumtani’.
Melihat kepada sebab kekafiran saja itu dikenal dengan at-takfirl mutlaq, sedangkan takfirul mu’ayyan (mengkafirkan orang) harus melihat pada syarat dan penghalang (selain kepada sebab) sebelum memutuskan hukum kepada orang tersebut.


1 - Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aiz berkata: “Catatan penting: Definisi murtad di atas – yaitu orang yang kafir setelah masuk Islam dengan perkataan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan – adalah pengertian murtad dengan sebenarnya. Adapun hukum dunia yang berlaku adalah yang dzohir, sehingga seseorang tidak divonis murtad kecuali dengan perkataan atau perbuatan kufur.karena perkataan dan perbuatan itulah yang namapak pada seseorang.sedangkan keyakinan dan keraguan tempatnya adalah hati sehingga tidak bisa divonis di dunia jika tidak dinampakkan dengan perkataan atau perbuatan. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam., bersabda:- dalam hadits shohih - : “Sesungguhnya akau tidak diperintahkan untuk membelah hati manusia.” Dan dalam hadits shohih juga beliau bersabda kepada Usamah: “Kenapa tidak kamu belah hatinya?”maka barangsiapa yang kafir dengan hati (dengan keyakinan atau keraguan) namun dia tidak menampakkannya dengan perkataan atau perbuatan, maka ia di dunia dianggap orang Islam, namun ia pada hakekatnya di sisi Allah Ta’ala kafir. Orang semacam ini adalah orang munafiq, nifaq akbar, yang memendam kekafiran. Ibnul Qoyyim mengatakan orang tidak divonis hanya berdasarkan apa yang terdapat dalam jiwa tanpa ada perkataan atau perbuatan yang menunjukkan.” A’lamul Muwaqqi’in II/117. hukum dzohir pada hukum yang berlaku di dunia in tidak ada perselisihan. Dalam hal ini Imam Ath-Thohawi mengatakan dalam aqidahnya – tentang ahlul qiblah (orang Islam) - :”Kami tidak menyatakan mereka itu kafir atau syirik atau munafiq selama tidak ada yang nampak hal-hal tersebut, kemudian masalah hatinya kami serahkan kepada Allah Ta’ala.” Pensyarahnya (Ali Bin Abil ‘Izz) mengatakan: “Sesungguhnya kita diprintahkan menghukumi orang itu berdasarkan dzohirnya, dan kita dilarang untuk berprasangkan dan mengikuti apa yang tidak kita ketahui.” Syarhul ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 427 terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H.
Ringkasnya: Memvonis murtad seseorang - di dunia – tidak dilakukan kecuali berdasarkan perkataan atau perbuatan kufur.
Ibnu Taimiyah berkata: “Orang murtad adalah orang Islam yang melakukan perkataan atau perbuatan yang merupakan pembatal Islam yang tidak mungkin berkumpul dengan keimanan.” Ash-Shorimul Maslul hal.459. beliau juga mengatakan: “Intinya, orang yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka ia kafir, m eskipun dia tidak bermaksud untuk kafir.karena tidak ada seorangpun yang bermaksud kafir, kecuali orang yang dikehendaki Allah Ta’ala.” Ash-Shorimul Maslul hal. 177-178.
2 - Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aziz berkata: “Syarat ilmu syar’i yang telah kami sebutkan dalam ciri-ciri dan syarat mufti yang dimaksud adalah bahwa ilmu syr’ii itu adalah tingkatan yang ideal, maka barangsiapa yang memenuhinya ia adalah mufti mujtahid mutlaq (seorang mufti yang tidak terikat dengan madzhab tertentu) akan tetapi jika tidak mampu meraih derajad ini apakah ia tidak boleh berfatwa? Dan apakah fatwa akan terputus padahal tingkatan mufti tersebut tidak mampu dicapai?
Jawabannya adalah: fatwa tidak boleh terhenti. Jika tidak terdapat seorang mufti yang mujtahid dan tidak terikat oleh suatu madzhab, maka orang yang berada di bawah tingkatannya boleh berfatwa. Oleh karena itu maka orang yang berfatwa itu bertingkat-tingkat. Di antaranya ada yang bukan mufti akan tetapi ia boleh berfatwa karena tidak bisa meminta fatwa kepada orang yang lebih tinggi derajadnya dari padanya. Dan jika mereka juga disebut mufti, hal itu hanya karena toleransi.
Dengan demikian maka tingkatan-tingkatan orang yang boleh berfatwa untuk selamanya atau ketika dibutuhkan saja, adalah sebagai berikut:
  1. mufti yang bebas tidak mengikuti suatu madzhab tertentu
  2. mufti pada sebuah madzhab tertentu.
  3. Mufti pada sebuah permasalahan fikih tertentu.
  4. Orang yang telah mempelajari dan membaca sebuah kitab fikih.
  5. Orang yang mempunyai buku-buku hadits atau sebagian saja.
  6. Orang awam yang mengetahui hukum kejadian yang ditanyakan.
  7. Apa yang harus dilakukan oleh orang yang tidak mendapatkan seorang muftipun.”
Pada keadaan yang terakhir ini beliau mengatakan: “Para fuqoha’ (ahli fikih) dari madzhab syafi’ii, seperti Imamul Haromain, Ibnu Sholah dan diikuti olah An-Nawawi, berpendapat bahwa orang semacam ini tidak terkena taklif. Ia diperbolehkan berbuat apa yang ia mau. Sebagaiman orang yang belum sampai kepadanya dakwah, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, begitu juga pendapat Asy-Syathibi dari madzhab maliki.
Sedangkan Ibnul Qoyyim berpendapat bahwa orang semacam ini hendaknya bertaqwa kepada Allah Ta’ala semampunya, dan berbuat yang ia yakini benar. Karena kebenaran itu mempunyai tanda-tanda, namun jika tidak ada tanda-tanda sedikitpun maka keadaannya adalah sebagaimana para fuqoha’ syafi’ii di atas.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar