Senin, 18 Juli 2011

PENGERTIAN DAN HUKUM TAJWID


Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya.

Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.

Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain.

Dalil Wajib Mempraktekkan Tajwid Dalam Setiap Pembacaan Al-Qur’an:

  1. Dalil Dari Al-Qur’an.

    Firman Allah S.W.T.:
     
    Artinya: Dan Bacalah Al-Qur’an Itu Dengan Perlahan/Tartil (Bertajwid)
    [Q.S. Al-Muzzammil (73): 4].

    Ayat Ini Jelas Menunjukkan Bahwa Allah S.W.T. Memerintahkan Nabi S.A.W. Untuk Membaca Al-Qur’an Yang Diturunkan Kepadanya Dengan Tartil, Yaitu Memperindah Pengucapan Setiap Huruf-Hurufnya (Bertajwid).

    Firman Allah S.W.T. Yang Lain:
     
    Artinya: Dan Kami (Allah) Telah Bacakan (Al-Qur’an Itu) Kepada (Muhammad S.A.W.) Secara Tartil (Bertajwid) [Q.S. Al-Furqaan (25): 32].
  2. Dalil Dari As-Sunnah.

    Dalam Hadits Yang Diriwayatkan Dari Ummu Salamah R.A. (Istri Nabi S.A.W.), Ketika Beliau Ditanya Tentang Bagaiman Bacaan Dan Sholat Rasulullah S.A.W., Maka Beliau Menjawab:
     
    Artinya: "Ketahuilah Bahwa Baginda S.A.W. Sholat Kemudian Tidur Yang Lamanya Sama Seperti Ketika Beliau Sholat Tadi, Kemudian Baginda Kembali Sholat Yang Lamanya Sama Seperti Ketika Beliau Tidur Tadi, Kemudian Tidur Lagi Yang Lamanya Sama Seperti Ketika Beliau Sholat Tadi Hingga Menjelang Shubuh. Kemudian Dia (Ummu Salamah) Mencontohkan Cara Bacaan Rasulullah S.A.W. Dengan Menunjukkan (Satu) Bacaan Yang Menjelaskan (Ucapan) Huruf-Hurufnya Satu Persatu." (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi)

    Dalam Hadits Yang Diriwayatkan Dari Abdullah Ibnu ‘Amr, Rasulullah S.A.W. Bersabda:
     
    Artinya: "Ambillah Bacaan Al-Qur’an Dari Empat Orang, Yaitu: Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim, Mu’az Bin Jabal Dan Ubai Bin Ka’ad." (Hadits Ke 4615 Dari Sahih Al-Bukhari).
  3. Dalil Dari Ijma' Ulama.

    Telah Sepakat Para Ulama Sepanjang Zaman Sejak Dari Zaman Rasulullah S.A.W. Sampai Dengan Sekarang Dalam Menyatakan Bahwa Membaca Al-Qur’an Secara Bertajwid Adalah Suatu Yang Fardhu Dan Wajib. Pengarang Kitab Nihayah Menyatakan: "Sesungguhnya Telah Ijma’ (Sepakat) Semua Imam Dari Kalangan Ulama Yang Dipercaya Bahwa Tajwid Adalah Suatu Hal Yang Wajib Sejak Zaman Nabi S.A.W. Sampai Dengan Sekarang Dan Tiada Seorangpun Yang Mempertikaikan Kewajiban Ini."

Tingkatan Bacaan
Terdapat 4 tingkatan atau mertabat bacaan Al Quran yaitu bacaan dari segi cepat atau perlahan:

  1. At-Tahqiq:
    Bacaannya Seperti Tartil Cuma Lebih Lambat Dan Perlahan, Seperti Membetulkan Bacaan Huruf Dari Makhrajnya, Menepatkan Kadar Bacaan Mad Dan Dengung.

    Tingkatan Bacaan Tahqiq Ini Biasanya Bagi Mereka Yang Baru Belajar Membaca Al Quran Supaya Dapat Melatih Lidah Menyebut Huruf Dan Sifat Huruf Dengan Tepat Dan Betul.
  2. Al-Hadar:
    Bacaan Yang Cepat Serta Memelihara Hukum-Hukum Bacaan Tajwid. Tingkatan Bacaan Hadar Ini Biasanya Bagi Mereka Yang Telah Menghafal Al Quran, Supaya Mereka Dapat Mengulang Bacaannya Dalam Waktu Yang Singkat.
  3. At-Tadwir:
    Bacaan Yang Pertengahan Antara Tingkatan Bacaan Tartil Dan Hadar, Serta Memelihara Hukum-Hukum Tajwid.
  4. At-Tartil
    Bacaannya Perlahan-Lahan, Tenang Dan Melafazkan Setiap Huruf Dari Makhrajnya Secara Tepat Serta Menurut Hukum-Hukum Bacaan Tajwid Dengan Sempurna, Merenungkan Maknanya, Hukum Dan Pengajaran Dari Ayat.

    Tingkatan Bacaan Tartil Ini Biasanya Bagi Mereka Yang Sudah Mengenal Makhraj-Makhraj Huruf, Sifat-Sifat Huruf Dan Hukum-Hukum Tajwid. Tingkatan Bacaan Ini Adalah Lebih Baik Dan Lebih Diutamakan.

Tanda Tanda Baris
  1. Baris Di Atas (Fathah)  
    Memberikan Bunyi Vokal 'A', Contoh:  (Ba)
  2. Baris Di Bawah (Kasrah)  
    Memberikan Bunyi Vocal 'I', Contoh:  (Bi)
  3. Baris Di Hadapan (Dhammah)  
    Memberikan Bunyi Vokal 'U', Contoh:  (Bu)
  4. Tanda Mati (Sukun)  
    Tanda Sukun Di Atas Sebuah Huruf Berarti Huruf Itu Mati, Contoh:  (Ab)
  5. Baris Dua Di Atas (Fathatain)  
    Memberikan Bunyi 'An', Contoh:  (Ban).
  6. Baris Dua Di Bawah (Kasratain)  
    Memberikan Bunyi 'In', Contoh:  (Bin).
  7. Baris Dua Di Hadapan (Dhammatain)  
    Memberikan Bunyi 'Un', Contoh:  (Bun).
  8. Sabdu Di Atas (Syaddah Fathah)  
    Contoh:  (Abba).
  9. Sabdu Di Bawah (Syaddah Kasrah)  
    Contoh:  (Abbi).
  10. Sabdu Di Hadapan (Syaddah Dhammah)  
    Contoh:  (Abbu).
  11. Sabdu Dua Di Atas (Syaddah Fathatain)  
    Contoh:  (Abban).
  12. Sabdu Dua Di Bawah (Syaddah Kasratain)  
    Contoh:  (Abbin).
  13. Sabdu Dua Di Hadapan (Syaddah Dhammatain)  
    Contoh:  (Abbun).
  14. Fathah-Alif  Dibaca Panjang 2 Harakat (Hitungan)
    Contoh:  (Baa).
  15. Kasrah-Alif  Dibaca Panjang 2 Harakat (Hitungan)
    Contoh:  (Bii).
  16. Dhammah Terbalik  Dibaca Panjang 2 Harakat (Hitungan)
    Contoh:  (Buu).
  17. Maddah  Dibaca Panjang Antara 3 Sampai Dengan 4 Harakat (Hitungan)
    Contoh:  (Baaa) .

Tartil surat Al Fatihah KH. Bashori Alwy beserta Alumni PIQ Singosari ma...

4 - 4 : Al-Mu'minun - Mishary Alafasy - Taraweh ( HQ)

1 | 4 :: Al-Mu'minun :: Mishary Alafasy ( HQ)

DEMOKRASI : SISTEM KUFUR HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya



A B D U L Q A D I M Z A L L U M

عبد القَديم زَلّوم
الدّيمُقراطيةُ نظام كُفْرٍ
يَحْرُمُ
أخذها أو تطبيقها أو الدّعوة إليها
من مَنشورات حزب التحر ير



عبد القَديم زَلّوم
الدّيمُقراطيةُ نظام كُفْرٍ
يَحْرُمُ
أخذها أو تطبيقها أو الدّعوة إليها
من مَنشورات حزب التحرير
Judul Asli : الديمقراطية نظام كفرٍ ٬
يحرم أخذها أو تطبيقها أو الدعوة إليها
Pengarang : Abdul Qadim Zallum
Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh
HIZBUT TAHRIR
Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Penyunting : A.R. Nasser
Penata Letak : Abu Azka








بِسمِ اللهِ الرَّحمَن الرَّحيم
Demokrasi yang telah dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri
Islam, sesungguhnya adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan
sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung.
Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum
Islam dalam
garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya,
aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta
berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak
mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi.
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat
manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman
dan penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama.
Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia. Tidak
ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di
Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah Wakil Tuhan di
bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka
kewenangan membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain,
penguasa dianggap memiliki kewenangan memerintah rakyat dengan
peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri, karena mereka telah
mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat. Lantaran
hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat —sebagaimana
pemilik budak menguasai budaknya— berdasarkan anggapan
tersebut.
Lalu timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan
rakyatnya. Para filosof dan pemikir mulai membahas masalah
pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat —
yaitu sistem demokrasi— di mana rakyat menjadi sumber kekuasaan
dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya
dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat dikatakan
memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan
menjalankannya sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu
kekuasaan pun yang menguasai rakyat, karena rakyat ibarat pemilik
budak, yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan,
serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak
pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat —karena
posisinya sebagai wakil rakyat— dengan peraturan yang dibuat oleh
rakyat.
Karena itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya
adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan
wahyu atau agama.
Demokrasi merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan
untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang
berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan
menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab
kepada kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak
membuat peraturan dan undangundang
sendiri —karena mereka
adalah pemilik kedaulatan— melalui para wakil rakyat yang mereka
pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undangundang
yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang
mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat,
karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —
sebagaimana individu lainnya— berhak menyelenggarakan negara,
mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undangundang.
Menurut konsep dasar demokrasi —yaitu pemerintahan
yang
diatur sendiri oleh rakyat— seluruh rakyat harus berkumpul di suatu
tempat umum, lalu membuat peraturan dan undangundang
yang
akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberi
keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh
rakyat di satu tempat agar seluruhnya menjadi sebuah lembaga
legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya untuk
menjadi lembaga legislatif. Lembagainilah yang disebut dengan
Dewan Perwakilan, yang dalam sistem demokrasi dikatakan
mewakili kehendak umum rakyat dan merupakan penjelmaan politis
dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian memilih
pemerintah dan kepala negara —yang akan menjadi penguasa dan
wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala
negara tersebut mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah
memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan peraturan dan
undangundang
yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah
yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan
undang-undang
dan memilih penguasa yang akan melaksanakan
undangundang
tersebut.
Kemudian, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya
sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan
kehendaknya sendiri secara sempurna —baik dalam pembuatan
undangundang
dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa—
tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu
menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap
individu rakyat. Dengan demikian rakyat akan dapat mewujudkan
kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebasbebasnya
tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan individu ini nampak dalam empat macam
kebebasan berikut ini :
1. Kebebasan Beragama.
2. Kebebasan Berpendapat.
3. Kebebasan Kepemilikan.
4. Kebebasan Bertingkah Laku.
Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari
kehidupan yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Aqidah ini
merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir dari pergolakan
antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof
dan pemikir. Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama
sebagai alat mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk
menghisap darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu anggapan
bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja
dan kaisar itu lalu memanfaatkan para rohaniwan sebagai
tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah
pergolakan sengit antara mereka dengan rakyatnya.
Pada saat itulah para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di
antara mereka ada yang mengingkari keberadaan agama secara
mutlak, dan ada pula yang mengakui keberadaan agama tetapi
menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang kemudian
melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu
pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan
menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini merupakan
aqidah yang menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan
pemikiran (Qaidah Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari
seluruh bangunan pemikirannya, menentukan orientasi pemikiran
dan pandangan hidupnya, sekaligus menjadi sumber pemecahan bagi
seluruh problem kehidupan. Maka aqidah ini merupakan pengarahan
pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang diemban oleh Barat dan selalu
diserukannya ke seluruh penjuru dunia.
Jelaslah bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan
gereja dari kehidupan bernegara, yang selanjutnya menjauhkan
agama dari pembuatan peraturan dan undangundang,
pengangkatan
penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena
itu, rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat
peraturan dan undangundang,
dan mengangkat penguasa yang akan
memerintah rakyat dengan peraturan dan undangundang
tersebut,
serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum
mayoritas rakyat.
Dari sinilah sistem demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama
dari kehidupan adalah aqidah yang telah melahirkan demokrasi,
sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh
ide-ide
demokrasi.
Demokrasi berlandaskan dua ide :
1. Kedaulatan di tangan rakyat.
2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Kedua ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di
Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja, untuk
menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang menguasai
Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja menganggap bahwa
mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah
yang berhak membuat peraturan dan menyelenggarakan
pemerintahan serta peradilan. Raja adalah negara.
Sementara itu rakyat dianggap sebagai pihak yang harus
diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam pembuatan peraturan,
kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat
berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan
kehendak, melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada
penguasa dan melaksanakan perintah.
Lalu disebarkanlah dua ide landasan demokrasi tersebut untuk
menghancurkan ide Hak Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk
memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa
kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa
rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai
tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu
pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki
kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian,
berarti rakyat adalah budak, sebab perbudakan artinya ialah
kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila rakyat
tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi
budak.
Maka untuk membebaskan rakyat dari perbudakan ini, harus
dianggap bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan kehendaknya
dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau menghapus
dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab,
rakyat adalah pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus
dianggap pula berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya,
serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan
yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang
dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan,
sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja
serta robohnya ide Hak Ketuhanan, maka kedua ide landasan
demokrasi tersebut —kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai
sumber kekuasaan— dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide
inilah yang menjadi asas sistem demokrasi.
Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai Musyarri'
(pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan,
dan bertindak sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam
kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara
mayoritas. Anggota-anggota
lembaga legislatif dipilih berdasarkan
suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan
dan undangundang,
pemberian mosi percaya atau tidak percaya
kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula

berdasarkan suara mayoritas. Demikian pula penetapan semua
keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh
dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan
suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat baik langsung
maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara
mayoritas pemilih dari rakyat.
Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang
menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut
demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat
mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
Demikianlah penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi
pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang
melahirkannya, asasasas
yang melandasinya, serta halhal
yang
harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Dari penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poinpoin
berikut ini :
1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah
SWT. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan
tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agamaagama
yang diturunkan Allah kepada para rasulNya.
2. Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan,
yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi berlandaskan dua ide :
a. Kedaulatan di tangan rakyat.
b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan
penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan
berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan
dalam lembagalembaga
tersebut diambil berdasarkan pendapat
mayoritas.
5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :
a. Kebebasan Beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)
c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)
Demokrasi harus mewujudkan kebebasan tersebut bagi setiap
individu rakyat, agar rakyat dapat melaksanakan kedaulatanya dan
menjalankannya sendiri. Juga agar dapat melaksanakan haknya
untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota
lembagalembaga
perwakilan dengan sebebasbebasnya
tanpa ada
tekanan atau paksaan.
Dengan memperhatikan poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas
bahwa demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan
tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam.
Namun sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan
demokrasi dengan Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya,
kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, bahwa demokrasi itu sendiri
sebenarnya belum pernah diterapkan di negaranegara
asal
demokrasi, dan bahwa praktek demokrasi itu sesungguhnya
didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin menjelaskan
pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, serta berbagai
musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat
penerapan demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan
masyarakat yang menerapkan demokrasi.
Demokrasi dalam maknanya yang asli, adalah ide khayal yang
tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak akan pernah
terwujud sampai kapan pun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di
satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan
dalam berbagai urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula
keharusan atas seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan
dan mengurus administrasinya, juga hal yang mustahil.
Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lalu mengarang
suatu manipulasi terhadap ide demokrasi dan mencoba
menakwilkannya, serta mengadaadakan
apa yang disebut dengan
"Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan Perwakilan".
Namun meskipun demikian, pengertian demokrasi yang telah
ditakwilkan ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan
tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan.
Klaim bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota
parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan
perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas
rakyat; dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat,semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya.
Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai
wakil dari minoritas rakyat —bukan mayoritasnya— mengingat
kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan
oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu suara para
pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang
mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas
para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara
mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut.
Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya
mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka
mereka menjadi orangorang
yang mendapat kepercayaan dari
minoritas rakyat dan menjadi wakil mereka, bukan orangorang
yang
mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi
wakil mereka.
Demikian pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat
secara langsung maupun oleh para anggota parlemen, sebenarnya
juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi
berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan
anggota parlemen tersebut di atas.
Lagi pula, para kepala negara dan anggota parlemen di negaranegara
asal demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris,
sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis —yaitu para
konglomerat dan orangorang
kaya— dan tidak mewakili kehendak
rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para
kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi
pemerintahan dan lembagalembaga
perwakilan, yang akan
merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis
tersebut telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota
parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat atas
presiden dan anggota parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika.
Sementara di Inggris, yang berkuasa adalah orangorang
dari
partai Konservatif. Partai Konservatif ini juga mewakili para kapitalis
raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan pemilik tanah,
serta golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak dapat
menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang
mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan.
Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika
Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak
mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Berdasarkan fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di
negerinegeri
demokrasi adalah wakil dari pendapat mayoritas,
merupakan perkataan dusta dan menyesatkan. Demikian pula
pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan
mengambil kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta
yang menyesatkan!
Di samping itu, peraturanperaturan
yang ditetapkan dalam
parlemenparlemen
tersebut, serta kebijakankebijakan
yang diambil
oleh negaranegara
tersebut, diputuskan dengan pertimbangan:
bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada
kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.
Kemudian pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung
jawab kepada parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak
umum rakyat; dan bahwa keputusankeputusan
yang penting tidak
dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota
parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang ada.
Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya, telah mengumumkan
Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada
parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam
pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu.
John Foster Dulles pada saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres
untuk menyerahkan laporan mengenai Terusan Suez dan
menjelaskan sebabsebab
pembatalan usulan pembiayaannya.
Namun dia menolak mentahmentah
untuk menyerahkan laporan
tersebut kepada Kongres. Sementara itu Charles de Gaulle telah
mengambil keputusankeputusan
tanpa diketahui para menterinya.
Raja Hussein pun telah mengambil keputusankeputusan
yang
penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau
anggota parlemen.
Oleh karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen
di
negeri-negeri
demokrasi telah mewakili pendapat mayoritas, dan
bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara mayoritas serta
menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan
dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekatdan kenyataan yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan
menyesatkan!
Penjelasan di atas berkenaan dengan kenyataan di negerinegeri
asal usul demokrasi. Adapun parlemenparlemen
di Dunia
Islam, keadaannya lebih buruk lagi. Parlemenparlemen
tersebut tak
lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada
satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau
menentang penguasanya, atau menentang sistem pemerintahannya.
Parlemen Yordania misalnya —yang dipilih dengan slogan
"Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan"—
ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim
pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa
penyebab krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain
adalah kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta
kekayaan negara.
Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun
yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani
mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri. Padahal mereka tahu
bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan,
yang tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa
mendapat ijin dan restu dari raja.
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, undangundang
yang ada
umumnya justru dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan
undangundang.
Kemudian rancangan undangundang
itu dikirim
oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisikomisi
khusus
yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut,
dan kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota
parlemen yang tidak memahami isi undangundang
tersebut sedikit
pun, sebab pembahasan dalam undangundang
tersebut bukan
bidang keahlian mereka.
Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan
oleh parlemenparlemen
di negerinegeri
demokrasi merupakan
ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu
mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak sesuai
dengan hakikat dan kenyataan yang ada.
Cacat yang menonjol dalam sistem demokrasi —yang
berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet— antara lain ialah bila di
dalam suatu negeri demokrasi tidak terdapat partaipartai
politik
besar —yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan
menyusun kabinetnya sendiri— maka pemerintah negeri tersebut
akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus digoncang dengan
tekanan krisiskrisis
politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena
pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan kepercayaan mayoritas
parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk
meletakkan jabatannya. Kadangkadang
presiden selama berbulanbulan
tak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga
pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi. Kadangkadang
pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan
menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah
perimbangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinetnya
yang baru.
Krisiskrisis
tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah
selalu tidak stabil dan aktivitas politiknya pun terus digoncang dan
nyaris tak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani,
dan negerinegeri
demokrasi yang lain, yang memiliki banyak partai
politik sementara tidak ada satu partai politik besar yang mampu
mendapatkan mayoritas mutlak.
Karena kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu
terjadi di antara partaipartai
tersebut, sehingga terkadang partaipartai
kecil dapat mendikte partaipartai
lain —yang mengajak
berkoalisi untuk membentuk kabinet— dengan cara mengajukan
syaratsyarat
yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan
kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partaipartai
kecil —yang
hanya mewakili minoritas rakyat itu— dapat mengendalikan partai
lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut termasuk
penetapan kebijakankebijakan
kabinetnya.
Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh
umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh
demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara
universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di
negerinegeri
demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada
derajat segerombolan binatang!Sebenarnya ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang
dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, telah mengakibatkan
lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka ini jelas
membutuhkan bahanbahan
mentah untuk menjalankan industrinya
dan membutuhkan pasarpasar
konsumtif untuk memasarkan
produk-produk
industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negaranegara
kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah
bangsabangsa
yang terbelakang, menguasai harta bendanya,
memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsabangsa
tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan
seluruh nilainilai
kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.
Keserakahan dan kerakusan yang luar biasa dari negaranegara
kapitalis itu, kekosongan jiwa mereka dari nilainilai
kerohanian,
akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan di antara mereka untuk
mencari harta yang haram; telah membuat darah bangsabangsa
terjajah menjadi barang dagangan. Faktorfaktor
tersebut juga telah
mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsabangsa
terjajah, sehingga negaranegara
kapitalis tersebut dapat
menjajakan produkproduk
industrinya dan dapat mengembangkan
industriindustri
militernya yang menghasilkan keuntungan besar.
Sungguh betapa banyak hal yang menggelikan sekaligus
memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negaranegara
demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika, Inggris, dan
Perancis, misalnya, selalu saja menggembargemborkan
nilai-nilai
demokrasi dan Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM) di manamana.
Padahal pada waktu yang sama mereka telah menginjakinjak
seluruh
nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh Hak-Hak
Asasi Manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia.
Krisis-krisis
di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam
(Afrika Tengah), dan Afrika Selatan, adalah bukti paling nyata yang
akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka
yang sangat pendusta dan tidak tahu malu itu!
Adapun ide kebebasan bertingkah laku, sesungguhnya
telah
memerosotkan martabat berbagai masyarakat yang mempraktekkan
demokrasi sampai pada derajat masyarakat binatang yang sangat
rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya
hidup serba boleh
(permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak
dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah SWT
yang berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكيْلاً %
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَو يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إلاَّ كَالأَنْعَام بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً %
"Terangkanlah kepadaKu
tentang orangorang
yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu
tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat jalannya (dari binatang ternak itu)."
(AlFurqaan
4344)
Dalam masyarakat demokrasi ini, hubungan seksual menjadi
aktivitas yang sah-sah
saja —seperti halnya minum air— karena
telah disahkan oleh undang-undang
yang ditetapkan parlemen
negerinegeri
tersebut dan direstui oleh para tokoh gerejanya.
Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan
lelakiperempuan
dengan sebebas-bebasnya
bila masing-masing
telah
berumur 18 tahun. Negara dan orang tua tidak berwenang sedikit pun
untuk mencegah segala perilaku seksual tersebut.
Undang-undang
itu ternyata tidak sekedar membenarkan
hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi lebih dari itu telah
membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan beberapa
negeri demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang
yang berkelainan seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya,
dan wanita dibolehkan menikahi sesamanya pula.
Karena itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa
dalam masyarakat demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan —di
jalan-jalan,
tamantaman,
busbus,
dan di wagonwagon
kereta api—
para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan,
berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini
mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun karena
perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar
saja.
Begitu pula sudah dianggap biasa kalau para wanita Barat
menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring
di tamantaman
dengan tubuh telanjang —persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu
mereka— tanpa penutup
kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling
vital. Juga sudah dianggap biasa para wanita di sana pada musim
panas berjalan-jalan
dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi
tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya saja.
Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal
telah memenuhi masyarakat demokrasi yang bejat ini. Perilaku
homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan
pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi.
Juga banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di mana
beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersamasama.
Padahal perilaku seperti ini bahkan tak akan dijumpai di dalam
kandangkandang
binatang ternak sekalipun.
Sensus sebuah koran Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25
juta pelaku seksual yang menyimpang di Amerika Serikat telah
menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut
hakhak
yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah
koran lain juga mempublikasikan data, bahwa satu juta orang di
Amerika Serikat telah melakukan hubungan seksual dengan keluarga
mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun
saudara perempuan mereka.
Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah
menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin —yang paling
mematikan adalah AIDS— dan juga telah menghasilkan banyak anak
zina, sampaisampai
sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang
Inggris adalah anak zina.
Dalam masyarakat demokrasi, institusi keluarga benarbenar
telah hancur berantakan. Tak ada lagi yang namanya rasa kasih
sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara
perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa, jika
terdapat puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang
berjalan-jalan
di taman hanya bertemankan anjinganjing.
Hewan
inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan,
dan bahkan di tempat tidur mereka! Anjinganjing
itu menjadi
sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing
memang
hanya hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain anjing.
Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai
demokrasi, khususnya ide kebebasan individu yang selalu
mereka dengungdengungkan
itu. Itu pula salah satu bentuk dan
penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka bangga-banggakan,
mereka gembargemborkan,
dan mereka sebarluaskan ke
seluruh pelosok dunia. Tujuannya tak lain agar seluruh dunia ikut
terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu.
Kebejatan-kebejatan
tersebut tidak mempunyai makna apa-apa,
kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan kebusukan
demokrasi.
Beberapa kerusakan dan keburukan demokrasi tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Masyarakatmasyarakat
demokrasi Barat telah bejat sedemikian
rupa, hingga terpesosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan
tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini akibat
adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan bertingkah laku.
2. Penjajahan Barat yang demokratis itu telah nyatanyata
menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsabangsa
yang terjajah dan terbelakang; dengan cara mencuri sumber
daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk,
dan menistakan rakya-trakyatnya,
serta menjadikan negeri-negeri
mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
3. Demokrasi dalam arti yang sebenaranya tidak mungkin
diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang baru, sesudah
dita'wilkan, tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan
terwujud dalam kenyataan.
4. Kedustaan dan kebohongan para penganut demokrasi telah
nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen adalah wakil dari
kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudan politis
kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat
mayoritas. Nyata pula kedustaan mereka yang mengklaim
bahwa hukumhukum
yang dibuat parlemen ditetapkan
berdasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang
mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat. Begitu pula
nyata kedustaan mereka yang mengklaim bahwa para penguasa

dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya
dari rakyat.
5. Cacat dalam sistem demokrasi telah jelas, khususnya aspek
yang berhubungan dengan kekuasaan dan para penguasa jika
tidak terdapat partaipartai
besar di suatu negeri yang akan
menjadi golongan mayoritas di dalam dewan perwakilan.
Ya, meskipun semua keburukan tersebut telah terjadi, namun
Barat yang kafir ternyata telah mampu memasarkan ide-ide
demokrasi yang rusak itu di negerinegeri
Islam!
Adapun bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil
memasarkan ideide
demokrasi yang kufur —yang tidak berhubungan
sama sekali dengan hukum-hukum
Islam itu— di negeri-negeri
Islam?
Jawabnya adalah bahwa keberhasilan Barat dalam hal ini
disebabkan negaranegara
Eropa yang kafir dan sangat dengki dan
dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu, dalam hati mereka
terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum
muslimin. Maha Benar Allah dengan firmanNya:
قَدْ بَدَتِ البَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَ مَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ
“…telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Ali
‘Imraan 118)
Mereka telah memahami bahwa rahasia kekuatan kaum muslimin
terletak pada ajaran Islam itu sendiri. Sebab Aqidah Islamiyah adalah
sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Maka setelah itu,
mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia
Islam, dengan jalan melancarkan serangan misionaris (kristenisasi)
dan serangan kebudayaan (berupa westernisasi).
Serangan kebudayaan (westernisasi) ini ternyata telah
mengusung kebudayaan dan ide-ide
barat —termasuk demokrasi—
serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke Dunia Islam. Negaranegara
Eropa itu segera menyerukan ideide
tersebut kepada kaum
muslimin, dengan maksud agar kaum muslimin menjadikannya
sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka, sehingga
pada gilirannya negaranegara
Eropa itu akan dapat menyimpangkan
kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan mereka dari
keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya.
Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah
menghancurkan negara Islam —yakni negara Khilafah— dan
kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum
Islam dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum
muslimin selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil
berbagai ide, peraturan, dan undangundang
kafir, sebagai ganti dari
Islam. Akhirnya Barat akan dapat menjauhkan kaum muslimin dari
Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas mereka.
Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman :
وَ لَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَ لاَ النَّصَارى حَتَّى تَتَّبعَ مِلَّتَهُم قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَ لَئِنِ اتَبَعْتَ
أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَذِي جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لاَ نَصِيْرٍ
"Orangorang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah,
'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan
sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka
Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (AlBaqarah
120)
Serangan misionaris dan kebudayaan ini semakin sengit ketika
kemerosotan kaum muslimin di bidang pemikiran dan politik
semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh
kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam
perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negaranegara
Eropa. Yaitu setelah terjadinya revolusi pemikiran dan
revolusi industri di Eropa dan terwujudnya berbagai kreativitas dan
penemuan ilmiah, yang dengan cepat menghantarkan Eropa menuju
ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah tetap
jumud dan semakin lemah dari hari ke hari. Kondisi inilah yang
akhirnya mengakibatkan banjirnya berbagai kebudayaan, ide,
peradaban, dan peraturan Barat yang mengalir deras ke negeri-negeri
Islam.
Negara-negara
Eropa dalam serangan misionaris dan
kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri
Islam menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek--jelekkan
hukum-hukumnya,
menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap
kebenaran ajaran Islam, membangkitkan kebencian kaum muslimin
terhadap Islam, serta menyatakan bahwa Islamlah yang menjadi
sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara
Eropa mengagung-agungkan
Barat dan peradabannya,
membanggabanggakan
ide dan sistem demokrasi, serta
menggembar-gemborkan
kehebatan peraturan dan undang-undang
demokrasi itu.
Selain itu, negara-negara
Eropa juga menggunakan cara
penyesatan. Yaitu menyebarkan sangkaan di tengah-tengah
kaum
muslimin bahwa peradaban Barat tidak bertentangan dengan
peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat sebenarnya
berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang
Barat sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum
Islam.
Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan
demokrasi, serta menyatakan bahwa demokrasi tidak menyalahi atau
bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka katakan demokrasi itu
berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan musyawarah, amar
ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa.
Propaganda mereka ini ternyata sangat mempengaruhi
kaum
muslimin sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide
dan peradaban Barat.
Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum muslimin
untuk mengambil beberapa peraturan dan undang-undang
Barat
pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan setelah negara khilafah
hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar
peraturan dan undang-undang
Barat.
Propaganda Barat itu berhasil pula mempengaruhi
kaum
terpelajar, para politikus, para pengemban
Tsaqafah Islamiyah,
sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayoritas kaum muslimin.
Mengenai kaum terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari
mereka yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat —yang telah
dijadikan asas pendidikan mereka— tatkala mereka mempelajari
kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negerinegeri
Islam sendiri.
Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negerinegeri
Islam
setelah Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan
pandangan hidup Barat. Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum
terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan
mengagungagungkan
kebudayaan Barat. Sebaliknya mereka
mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum
Islam jika
bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang
Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam sebagaimana halnya
orang-orang
kafir Eropa membenci Islam, serta sangat memusuhi
kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam, sebagaimana halnya
kelakuan orang-orang
Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini
akhirnya menjadi corong-corong
propaganda bagi peradaban, ide,
dan peraturan Barat, sekaligus menjadi alat penghancur dan
penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.
Mengenai para politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar
mengikhlaskan dirinya untuk mengabdi kepada Barat dan
peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan menjadikan Barat
sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada
Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai
penjaga berbagai undang-undang
dan peraturan Barat. Bahkan
dengan suka rela mereka mengangkat diri mereka sebagai budak-budak
yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan
menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat.
Dengan demikian mereka telah menyatakan permusuhan
terhadap Allah dan RasulNya
dan telah mengumumkan perang
terhadap "Islam politik" beserta segenap pengemban dakwahnya
yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang mereka miliki
untuk menghalang-halangi
berdirinya negara Khilafah dan
kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan.
Dilaknati Allahlah
mereka, bagaimana mereka sampai berpaling dari
kebenaran ?
Adapun para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya
mereka tidak lagi memiliki kesadaran terhadap Islam dan
hakikat/realitas hukum-hukum
syara', serta tidak menyadari pula
hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka juga
tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan
hidup Barat dengan aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan
hidup Islam.
Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin
telah merosot sehingga mereka sangat lemah dalam memahami Islamdan hukum-hukumnya,
serta telah salah paham dalam memahami
cara penerapan syari’at Islam di tengah masyarakat.
Akibatnya, Islam lalu ditafsirkan dengan pengertian yang tidak
sesuai dengan kandungan nash-nash
syara'. Demikian juga hukum-hukum
Islam ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan
sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan
hukum-hukum
Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum
yang tidak ada dasarnya dari syara', atau dasarnya lemah, dengan
hujah kaidah syar'iyah rumusan mereka yang sangat keliru :
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ
"Tidak diingkari adanya perubahan hukum-hukum
karena adanya
perubahan zaman."
Akhirnya Islam pun ditakwilkan banyak orang agar sesuai
dengan setiap aliran, gagasan, dan ideologi, walaupun penakwilan
mereka bertentangan dengan hukum-hukum
dan pandangan hidup
Islam. Mereka lalu mengatakan bahwa peradaban dan ideide
Barat
tidaklah bertentangan dengan Islam dan hukumhukum
Islam,
karena semua itu justru diambil dari peradaban Islam. Mereka
katakan pula bahwa sistem pemerintahan demokrasi dan sistem
ekonomi kapitalisme juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum
Islam, padahal faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem kufur.
Mereka berkata pula bahwa ide demokrasi dan kebebasan individu itu
berasal dari Islam, padahal kedua ide itu pada hakekatnya sangat
bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka
mengenai apaapa
yang boleh diambil kaum muslimin dari bangsa dan
umat lain —seperti ilmu kedokteran, perikanan, matematika, kimia,
pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi, dan perkara
mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam— dengan apaapa
yang tidak
boleh mereka ambil, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan
Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum
syara'.
Halhal
seperti ini tidak boleh diambil dari bangsa dan umat
lain. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan
hukum syara' tidak boleh diambil kecuali dari wahyu yang dibawa
Rasulullah, yaitu AlKitab
dan AsSunah,
serta dalil-dalil
syara' yang
ditunjukkan oleh AlKitab
dan AsSunah,
yaitu Qiyas dan Ijma'
Sahabat.
Ketidakjelasan dalam benak mereka inilah yang akhirnya
menyebabkan Barat mampu menjajakan peradaban dan pandangan
hidup mereka, ide demokrasi dan kapitalisme, serta ide kebebasan
individu di negerinegeri
Islam.
Sebelum kami menjelaskan pertentangan demokrasi dengan
Islam dan menerangkan hukum syara' dalam pengambilan
demokrasi, kami ingin mengupas tentang halhal
yang boleh dan yang
tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta
tentang halhal
yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai
dengan nashnash
dan hukumhukum
syara'. Penjelasan kami
sebagai berikut :
1. Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh
bendabenda
yang digunakannya dan atau berhubungan dengan
perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW
dan terikat dengan hukum-hukum
risalah beliau. Keumuman ayatayat
hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah
tersebut wajib
hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat dengan hukumhukum
syara'. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُمُ الرَسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
"Apaapa
yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu
maka
terimalah/laksankanlah, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka
tinggalkanlah." (AlHasyr
7)
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai
hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..."
(AnNisaa'
65)
وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya
(terserah) kepada Allah." (AsySyuura
10)فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (AlQuran)
dan Rasul(Nya)
(Sunnahnya)." (AnNisaa'
59)
Bersabda Rasulullah SAW:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah
kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang mengadaadakan
—dalam urusan (agama) kami
ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak."
(HR. Bukhari)
Dalildalil
ini menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara'
dan terikat dengannya adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan
perbuatan manusia maupun bendabenda
yang digunakannya.
Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum
Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu perbuatan
hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya;
ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus
meninggalkannya, ataukah mubah sehingga dia berhak memilih
untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar
inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa
hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan
hukum Allah.
Adapun bendabenda
yang berhubungan dengan perbuatan
manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak terdapat
dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah.
Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang
menunjukkan keharamannya.
Prinsip ini didasarkan pada nashnash
syara' yang telah
membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada
(di alam sekitarnya), sesuai nashnash
umum dalam masalah ini yang
meliputi semua benda.
Allah SWT berfirman :
أَ لَمْ تَرَوا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرضِ
"Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi." (Luqman 20)
Arti menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk
manusia, adalah bahwasanya Allah SWT telah membolehkan semua
yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT
berfirman pula :
هُوَ الّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
"Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk
kalian." (AlBaqarah
29)
ي ا أَيُّهَا النَّاس كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak
menjijikkan) dari apa yang terdapat di bumi."
(Al Baqarah 168)
هُوَ الَّذي جَعَلَ لَكُمْ الأَرضَ ذَلُولاً فَامْشُوا
فِي مَنَاك بِهَا وَ كُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
"Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkiNya"
(AlMulk
15)
Demikianlah. Semua ayat yang telah membolehkan segala
sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan
hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan
kata lain, hukum bolehnya memanfaatkan semua benda telah
ditunjukkan oleh khithab (seruan) AsySyari'
(Allah SWT) yang
bersifat umum. Maka jika suatu benda diharamkan, berarti harus ada
nash syara' yang mengkhususkan keumuman nash tersebut, serta
menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah yang
bersifat umum. Misalnya firman Allah SWT :حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الخِنْزِيرِ وَ مَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ ال مَوْقُوذَةُ وَ
المُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيحَةُ وَ مَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاّ مَا ذَكَّيْتُم وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ .
"Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian
menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih
untuk berhala..." (AlMaaidah
3)
Dari dalil-dalil
tersebut, maka hukum asal terhadap bendabenda
yang digunakan manusia, adalah mubah.
2. Hukumhukum
Syari'at Islam secara sempurna telah
meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi,
dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak
ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun
masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi,
Syari'at Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara
sempurna dan menyeluruh.
Allah SWT berfirman :
وَ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدًى
وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى لِلمُسْلِمِيْنَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (AlQuran)
untuk
menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan
pemberi kabar gembira bagi orangorang
Islam." (AnNahl
89)
مَا فَرَّطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (AlQuran)."
(AlAn'aam
38)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِس لاَمَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,
dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'matKu,
dan telah Kuridlai
Islam itu menjadi agama bagi kalian." (AlMaaidah
3)
Walhasil, Syari'at Islam tidak pernah melalaikan satu pun
perbuatan manusia. Bagaimana pun juga perbuatan itu, Syari'at Islam
pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan melalui nash AlQuran
dan AlHadits,
atau dengan menetapkan tanda (amaarah)
dalam AlQuran
dan AlHadits
yang menunjukkan maksud dari tanda
tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga
hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang
mengandung tanda atau alasan tersebut.
Jadi, secara syar'i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang
tidak dijelaskan oleh dalil, atau tanda yang menunjukkan status
hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah SWT:
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"untuk menjelaskan segala sesuatu" (An Nahl 89).
Juga berdasarkan nash yang tegas bahwa Allah SWT telah
menyempurnakan agama Islam ini (AlMaaidah
3).
3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah
mana saja halhal
yang boleh diambil kaum muslimin —dari apa
yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain— dan mana saja yang tidak
boleh mereka ambil.
Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi,
penemuanpenemuan
ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala
macam bentuk benda/alat/ bangunan yang bercorak kekotaan dan
terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh kaum
muslimin. Kecuali jika terdapat aspekaspek
tertentu yang menyalahi
ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya.
Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains
dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan
hukum-hukum
syara' yang berkedudukan sebagai solusi terhadap
problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat
dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat
dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah ayatayat
yang bersifat
umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh bendabenda
yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia. Juga
berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ٬ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِ هِ ٬
وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
"Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku
perintahkan kepada kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk
dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu.
Tapi jika aku perintahkan kalian mengenai sesuatu hal yang
termasuk dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah aku ini
hanyalah manusia biasa." (HR. Muslim).
Juga berdasarkan hadits Nabi SAW tentang penyerbukan
korma
sebagaimana sabdanya :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَ اكُمْ
"Kalian lebih mengetahui urusanurusan
dunia kalian." (HR.
Muslim)
Juga berdasarkan tindakan Nabi SAW tatkala mengutus beberapa
shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari
pembuatan senjata perang.
Atas dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk
masalah aqidah atau hukum syara', boleh untuk diambil selama tidak
menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus
yang mengharamkannya.
Berdasarkan uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan
mengambil semua ilmuilmu
yang berhubungan
dengan kedokteran,
teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri,
transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi —yang
membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan
saranasarana
produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini
bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam,
kapitalisme atau sosialisme, dan semua ilmu tersebut boleh diambil
selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Maka dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia
adalah keturunan kera, tidak boleh diambil karena teori ini
bertentangan dengan firman Allah SWT :
خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالفَخَّارِ
"Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar."
(ArRahmaan
14)
وَ بَدَأَ خَلْقَ الإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِيْنٍ
"(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah,
kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina
(mani)." (AsSajdah
7)
وَ مِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ طُرَابٍ
"Dan di antara tandatanda
kekuasaanNya
ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah." (ArRuum
20)
Sebagaimana dibolehkan mengambil semua ilmuilmu
seperti
yang kami sebutkan di atas, kaum muslimin dibolehkan pula
mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produkproduk
industri, alatalat,
mesinmesin,
dan berbagai bentuk benda yang
bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu
dibolehkan mengambil pabrikpabrik
industri dalam segala jenisnya
dan segala jenis produknya. Dikecualikan di sini pabrikpabrik
yang
memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat
nash yang mengharamkannya. Produkproduk
industri boleh diambil
baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik industri
berat —seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom
atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta
api, kapal api— maupun industri ringan seperti industri konsumtif,
senjatasenjata
ringan, alatalat
laboratorium, alatalat
kedokteran,
alatalat
pertanian, furniture, karpet, dan barangbarang
konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil sebab
semuanya termasuk dalam kategori bendabenda
yang mubah, dan
dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan kemubahannya.
Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamalkan
hukum syara', yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti
syari'at Rasulullah SAW sebab semua itu termasuk mubah, sedang
mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal capacity) yang
lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
4. Adapun ideide
yang berkaitan dengan aqidah dan hukumhukum
syara', serta ideide
yang yang berhubungan denganperadaban/kultur Islam, pandangan
hidup Islam, dan hukumhukum
yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka
semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak
boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja.
Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam
Kitabullah, Sunah RasulNya,
dan apaapa
yang ditunjukkan oleh
keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak
boleh diambil dari selain sumbersumber
tersebut. Dalil syar'i untuk
ketentuan di atas adalah sebagai berikut :
a. Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kita untuk
mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita
dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah
SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian
maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang
dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah." (AlHasyr
7)
Kata “ م ا ” (apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk
kata yang bersifat umum, yang berarti ayat itu mewajibkan kita
mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk kita, dan
menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum
mukhalafah (penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah
bahwa kita tidak boleh mengambil hukum dari selain hukum
yang dibawa Nabi untuk kita.
b. Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin
untuk mentaatiNya
dan mentaati RasulNya.
Allah SWT
berfirman :
يَا أَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ
"Hai orangorang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya)
dan ulil amri (penguasa muslim yang
menjalankan Syari'at Islam) di antara kamu." (AnNisaa'
59)
Mentaati Allah dan RasulNya
tidak mungkin terwujud kecuali
dengan mengamalkan dan mengambil
hukumhukum
syara'
yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya.
c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum muslimin
untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan
Allah dan RasulNya,
sebagaimana Dia telah memerintahkan
mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan
hukum RasulNya
ketika terjadi perselisihan dan perbedaan
pendapat. Allah SWT berfirman :
وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ
"Dan tidaklah patut bagi lakilaki
yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan
RasulNya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."
(AlAhzab
36)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوه إلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمَ
الآخِرِ
"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada
Allah (AlQuran)
dan Rasul (Sunahnya), jika kalian memang
benarbenar
beriman kepada Allah dan Hari Akhir."
(AnNisaa'
59)
d. Allah SWT telah memerintahkan RasulNya
yang mulia untuk
memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah
diturunkan Allah, dan memperingatkan
beliau agar waspada
supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الكِتَابِ وَ مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ"Dan kami telah turunkan kepadamu AlQuran
dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitabkitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai
penghapus kitabkitab
tersebut; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu." (AlMaaidah
48)
e. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang kaum muslimin untuk
mengambil hukum dari selain Syari'at Islam. Allah SWT
berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (AnNisaa'
65)
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orangorang
yang menyalahi perintahnya
(Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih." (AnNuur
63)
يُرِ يْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari (kufur terhadap) thaghut itu."
(AnNisaa'
60)
Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda :
ك لُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Setiap perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka
perbuatan itu tertolak."
(HR. Muslim)
Nashnash
syara' di atas menunjukkan dengan jelas
mengenai kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang
dibawa Rasul SAW untuk kita. Maka kita tidak boleh
menghalalkan sesuatu kecuali apa yang telah dihalalkan Allah,
dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang telah
diharamkan Allah. Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul
untuk kita, kita tidak boleh mengambilnya,
dan apa yang tidak
beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.
Jika kata “ مَا ” (apa saja) dalam firmanNya
:
وَ مَا آتَاكُمْ
"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada
kalian." dan,
وَ مَا نَهَاكُمْ
“dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian."
dikaitkan dengan firman Allah SWT :
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orangorang
yang menyalahi perintahnya
(Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih." (AnNuur
63)
Maka, akan nampak sangat jelas adanya kewajiban untuk
mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan bahwa mengambil
(hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan
mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah SWT tidak
mengakui keimanan dari orang yang berhakim kepada selain
Rasul dalam perbuatanperbuatannya.
Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (AnNisaa'
65)
Hal ini menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan
berhakim hanya pada apa yang dibawa Rasul saja, apalagi
Allah SWT telah memperingatkan RasulNya
untuk waspadasupaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang
diturunkan Allah kepadanya. Allah SWT berfirman :
وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"Dan berhatihatilah
kamu terhadap mereka (ahli kitab),
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang diturunkan Allah kepadamu." (AlMaaidah
49)
Di samping itu, AlQuran
telah mencela orangorang
yang
hendak berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul,
yakni hendak kepada hukumhukum
kufur. Allah SWT
berfirman :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَ بْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ
يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang
yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan
undangundang
kufur), padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauhjauhnya."
(AnNisaa'
60)
Hal ini menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang
tidak dibawa Rasul adalah suatu kesesatan, sebab tindakan ini
berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran. Padahal
Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mengingkari thaghut itu.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin
tidak boleh mengambil peradaban/ kultur Barat, beserta segala
peraturan dan undangundang
yang terlahir darinya. Sebab,
peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali
peraturan dan undangundang
administratif yang bersifat mubah
dan boleh diambil, sebagaimana Umar bin Khaththab telah
mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan
Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari
kehidupan, serta pemisahan agama dari negara.
Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah
Islamiyah, yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara
berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukumhukum
syara'.
Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity), dan
menjadikannya sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan
demikian, peradaban Barat adalah peradaban yang hanya
mempertimbangkan
nilai manfaat saja, serta tidak memperhitungkan
nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik.
Karena itu, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai
kerohanian, nilai akhlak, dan nilai kemanusiaan.
Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani
(spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip halalharam
sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam
kehidupan, serta mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai
berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah
memberikan kenikmatan jasmani yang sebesarbesarnya
kepada
manusia dan segala sarana untuk memperolehnya.
Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan
adalah diraihnya ridla Allah SWT. Peradaban tersebut mengatur
pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan
hukumhukum
syara'.
Atas dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil
sistem pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan
sistem kebebasan individu yang ada di negaranegara
Barat. Dengan
demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan
undangundang
demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan
republik, bankbank
ribawi, dan sistem bursa dan pasar uang
internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua
peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undangundang
kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan
peraturan Islam.Sebagaimana tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta
segenap ide dan peraturan yang terlahir darinya, maka kaum
muslimin juga tidak boleh mengambil peradaban/kultur komunisme.
Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan peradaban Islam
secara menyeluruh.
Peradaban komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu
bahwa tidak ada pencipta terhadap alam semesta ini, dan bahwa
materilah yang menjadi asal usul segala benda. Seluruh benda di alam
semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan evolusi
materi.
Sedangkan peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah
sajalah yang menjadi pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh
benda yang ada di alam semesta merupakan makhluk Allah SWT.
Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan membawa agamaNya
kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti
perintah dan laranganNya
yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban komunisme menganggap bahwa peraturan hanya
diambil dari alatalat
produksi. Masyarakat feodal menggunakan
kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut diambil
peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi
masyarakat kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari
alat ini diambil peraturan kapitalisme. Jadi peraturan komunisme
diambil dari evolusi materi.
Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah SWT
telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan
dalam hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad SAW untuk
membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan
tersebut kepada manusia, dan mewajibkan mereka untuk
melaksanakannya.
Peradaban komunisme memandang bahwa peraturan materi
adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya
peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur dalam
kehidupan.
Sementara itu peradaban Islam memandang halalharam
yakni perintah dan larangan Allah— sebagai tolok ukur perbuatan
dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang haram
ditinggalkan. Dan bahwasanya hukumhukum
ini tidak akan
berevolusi dan atau berubah. Prinsip halalharam
ini juga tidak akan
ditetapkan berdasarkan asas manfaat ataupun materialisme,
malinkan ditetapkan atas dasar syara’ semata. Dari sinilah jelas
terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban
komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin
tidak boleh mengambil peradaban komunisme beserta segala ide dan
peraturan yang berasal darinya.
Karenanya, kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi
materi, ide penghapusan kepemilikan
individu, penghapusan
kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan
tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak boleh
mengambil ide mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia,
dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang atheistik ini.
Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan
dengan Aqidah Islam serta ideide
dan hukumhukum
Islam.
Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara
demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah
yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan
peraturan yang dibawanya.
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam
demokrasi, yang menjadi pemutus (alhaakim)
untuk memberikan
penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan
perbuatanperbuatannya,
adalah akal. Para pencetus demokrasi
adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala
berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa
dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi
adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah
akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi
dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukanNya
kepada rasulNya
Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah
SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan."
(AnNajm
34)إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (AlQuran)
pada
malam kemuliaan." (AlQadr
1)
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan
penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia,
adalah Allah SWT, atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas
hanya untuk memahami nashnash
yang berkenaan dengan hukum
yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاَّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."
(AlAn'aam
57)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (AlQuran)
dan Rasul (Sunahnya)."
(AnNisaa'
59)
وَمَا اخْتَلَفْت مْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah)
kepada Allah." (AsySyuuraa
10)
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah
pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah
ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para
rohaniwan Kristen —yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan
dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat,
menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar
segala urusan tunduk di bawah peraturan agama— dengan para
filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak
otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya
menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara.
Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan
kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya
sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah
Fikriyah) ideide
Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan
atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya
dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal
aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang
mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah —yakni
hukumhukum
syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah— dalam
seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan
bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri.
Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut
peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur
dan pandangan hidup Islam.
Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya
terdapat dua ide yang pokok : Pertama,
kedaulatan di tangan
rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan
melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah
yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan,
pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat
hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat
dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat
membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk
membuat hukum sebagai wakil rakyat.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undangundang
apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi,
peraturan, dan hukum apa pun, menurut pertimbangan mereka
berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak
mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau
sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem
republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya.
Hal ini pernah terjadi, misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani,di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada
dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.
Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari
kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun
melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum
mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau
kepada keyakinan yang nonagama
(animisme/paganisme),
sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya
zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan
homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan,
maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk
menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan
perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan
penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah
yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya
dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di
tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang
layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara
keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu
hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu
menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi
perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan
dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat,
atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau
menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat
meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian
ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang
muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan
yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya
dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan
berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti
menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak
ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh
kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati halhal
tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan
diri dari kesepakatan tersebut.
Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh
aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan
larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukumhukum
Islam, sebagaimana mereka
tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya
Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT
berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَ هُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus)
terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (AnNisaa'
65)
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."
(AlAn'aam
57)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أ نْ يَتَحَاكَمُوا إلَى
الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَع يْدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang
yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (AlQuran)
dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu." (AnNisaa'
60)
Berhakim kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum
yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada
hukumhukum
kufur yang dibuat manusia.
Dan Allah SWT berfirman :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ ي بْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orangorang
yang yakin." (AlMaaidah
50)Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa
Muhammad SAW dari Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat
oleh manusia. Allah SWT berfirman juga :
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orangorang
yang menyalahi perintahnya
(Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
(AnNuur
63).
Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul —sesuatu yang harus
diwaspadai itu— adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan
meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Rasululah
SAW bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami
atasnya, maka perbuatan itu tertolak."
(HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam
hadits di atas adalah Islam.
Masih ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian
yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di
tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri',
bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka
wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini
sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan
larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara
pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan
suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.
Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di
tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih
penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah
dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari haditshadits
mengenai bai'at, yang
menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum
muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan
Sunah RasulNya.
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at
(kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah."(HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata,
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
وَ مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ ٬ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُن ازِعْهُ فَاضْرِبُوا
عُنُقَ الآخَرِ
"Siapa saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan
memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya
(bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat
kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut
kekuasaannya, maka penggalllah batang lehernya." (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:
عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ r بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ
"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan
mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan
bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk
mengamalkan Kitabullah dan Sunah RasulNya.
Meskipun syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di
tangan umat —yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk
memerintah umat melalui prosesi bai'at— akan tetapi syara' tidak
memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa,
seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada haditshadits
yang mewajibkan
taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak
memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata,
"Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci,
maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja
yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka
dia mati jahiliyah."
Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda :
... وًشِرَارُ أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَكُمْ وَ يَلْعَنُونَكُمْ ٬ قَال : قُلْنَا يَا رَسُولَ الله : أَفَلاَ
نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ٬ مَا أقَامُوا فِيكُمْ الصَلاَةَ ٬ ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
وَ لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
'...sejahatjahat
pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian
benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka
sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu
berkata,"Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita
perangi saja mereka pada saat itu ?" Rasulullah SAW menjawab:
"Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat di tengahtengah
kalian, kecuali bila seseorang —yang menjadi rakyat seorang
penguasa— menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan
ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang
dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekalikali
dia tidak boleh
melepaskan ketaatan kepadanya."
Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di
atas ialah "melaksanakan hukumhukum
Islam". Karena ungkapan
tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut
sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.
Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap
penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terangterangan,
sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai
bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :
... فَبَايَعْنَاهُ ٬ فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ
يُسْرِنَا وَ أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ٬ وَ أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْد كُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ
"...Maka kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan
apaapa
yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at
beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami
sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang
mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri
(daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan merebut
kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika
kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian
mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah
Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus
yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan
suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga
dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang
harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang
berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah
Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk
menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka
Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus
kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula
yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.
Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas
dan hukum mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota
dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan
organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat
(mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan,
pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan
organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat
mayoritas.
Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas
bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan.
Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan
kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan
kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.
Sedangkan dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda.
Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak tergantung pada
pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nashnashsyara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah SWT, bukan
umat.
Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk
mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukumhukum
syara' yang
menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan
roda pemerintahan, adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum
syara' dari nashnash
syara' dalam Kitabullah dan Sunah RasulNya,
berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar.
Dalam hal ini khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat
mengenai hukumhukum
yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal
ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah
meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak mengadopsi
suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta
pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum
syara' mengenai masalah tanahtanah
taklukan di Syam, Mesir, dan
Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin
dalam masalah tersebut.
Jika khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai
hukumhukum
syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat
Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu
diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang
demikian ini karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan
pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian
Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan
pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat
mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah
SAW bersabda kepada mereka :
إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusanNya.
Dan
sekalikali
aku tidak akan menyalahi perintahNya."
Selain itu para shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa
seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukumhukum
syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk
mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan
meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah diistimbath
(diambil dan ditetapkan) kaidahkaidah
syara' yang terkenal
:
أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
"Perintah (keputusan) Imam (khalifah) menghilangkan perbedaan
pendapat."
أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا
"Perintah (keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir
maupun batin."
لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
"Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusankeputusan
(hukum) baru, sesuai perkembangan problem yang terjadi."
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk
mentaati Ulil Amri, sebagaimana firmanNya:
أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orangorang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(
Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para
penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.
Adapun masalah yang berhubungan dengan aspekaspek
profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan
pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah
ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas
atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada
para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang
ada dengan tepat. Masalahmasalah
kemiliteran dikembalikan kepada
para pakar militer. Masalahmasalah
fiqih dikembalikan
kepada para
fuqaha dan mujtahidin. Masalahmasalah
medis dikembalikan
kepada para dokter spesialis. Masalahmasalah
teknik dikembalikan
kepada para pakar insinyur teknik. Masalahmasalah
ide/gagasan
dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalahmasalah
seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan
pendapat yang tepat diambil dari pihak yang berkompeten, yaitu para
ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Yang patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan
rakyat (parlemen) baik yang ada di negerinegeri
Islam maupun di
Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian,
dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan
secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan
yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada
nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam
sidang majlis hanya berupa formalitas belaka, tidak didasarkan pada
pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat.
Oleh karena itu, dalam masalahmasalah
yang memerlukan
keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat
mengikat.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah
SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang
Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempattempat
strategis— yang mengusulkan
kepada Nabi agar meninggalkan
tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan
dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk
kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al
Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al
Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya
sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat
lainnya dalam masalah tersebut.
Adapun masalahmasalah
yang langsung menuju kepada amal
(praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan
mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas,
sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan
pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan
yang ada. Masalahmasalah
seperti ini contohnya, apakah kita akan
memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi
misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita
akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah
kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalahmasalah
seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga
mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam
masalahmasalah
seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan
pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi
pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para
shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu
keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya
para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya
keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar
kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan,
keluar kota Madinah atau tidak.
Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar
kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan
mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju
Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.
***
Adapun ide kebebasan individu, sesungguhnya merupakan
salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Ide ini
dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi, sebab
dengan ide ini tiaptiap
individu akan dapat melaksanakan dan
menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan
atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan
kehendak umumnya kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu
bagi seluruh rakyat.
Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem
demokrasi, sehingga baik negara maupun individu tidak dibenarkan
melanggarnya. Sistem demokrasi kapitalis menganggap bahwa
adanya peraturan yang bersifat individualistik, serta pemeliharaan
dan penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah satu
tugas utama negara.
Kebebasan individu yang dibawa demokrasi tidak dapat
diartikan sebagai pembebasan bangsabangsa
terjajah dari negaranegara
penjajahnya yang telah mengeksploitir
dan merampas
kekayaan alamnya. Sebabnya karena ide penjajahan tiada lain adalah
salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan, yang justru dibawa
oleh demokrasi itu sendiri.
Demikian pula kebebasan individu tidak berarti pembebasan
dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.
Yang dimaksud dengan kebebasan individu tiada lain adalah
empat macam kebebasan berikut ini :
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan bertingkah laku.
Keempat macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam,
sebab seorang muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syara'
dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim tidak dibenarkan
berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya
kebebasan kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedang
perbudakan itu sendiri sudah lenyap sejak lama.
Keempat macam kebebasan tersebut sangat bertentangan
dengan Islam dalam segala aspeknya sebagaimana penjelasan kami
berikutnya.
***
Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu
aqidah yang dikehendakinya, atau memeluk agama yang
disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula
meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah
baru, agama baru, atau berpindah kepada kepercayaan nonagama
(Animisme/paganisme). Dia berhak pula melakukan semua itu
sebebasbebasnya
tanpa ada tekanan atau paksaan. Jadi, seorang
muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk agama
Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebasbebasnya,
tanpa boleh ada larangan baginya dari negara atau pihak lain untuk
mengerjakan semua itu.
Sedangkan Islam, telah mengharamkan seorang muslim
meninggalkan Aqidah Islamiyah atau murtad untuk memeluk agama
Yahudi, Kristen, Budha, komunisme, atau kapitalisme. Siapa saja
yang murtad dari agama Islam maka dia akan diminta bertaubat. Jika
dia kembali kepada Islam, itulah yang diharapkan. Tapi kalau tidak,
dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari
isterinya. Rasulullah SAW:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
"Barang siapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah
hukuman mati atasnya."
(HR. Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Jika yang murtad adalah sekelompok orang, dan mereka tetap
bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga
mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan. Hal ini seperti yang
pernah terjadi pada orangorang
murtad setelah wafatnya Rasulullah
tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian
orang yang tidak terbunuh kembali kepada Islam.
***
Adapun kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi,
mempunyai arti bahwa setiap individu berhak untuk
mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun juga
pendapat atau ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan
ide atau pendapat itu dengan sebebasbebasnya
tanpa ada syarat atau
batasan apapun, bagaimana pun juga ide dan pendapatnya itu. Dia
berhak pula mengungkapkan ide atau pendapatnya itu dengan cara
apapun, tanpa ada larangan baginya untuk melakukan semua itu baik
dari negara atau pihak lain, selama dia tidak mengganggu kebebasan
orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan,
mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.
Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda.
Seorang muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib
terikat dengan apa yang terkandung dalam nashnash
syara'. Dengan
demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau
mengucapkan suatu perkataan kecuali jika dalildalil
syar'i telah
membolehkannya.
Atas dasar itulah, maka seorang muslim berhak
mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apapun,
selama dalildalil
syar'i telah membolehkannya. Tapi jika dalildalil
syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh
mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut.
Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi.Jadi seorang muslim itu wajib terikat dengan hukumhukum
syara' dalam mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan suatu
pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya.
Islam sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk
mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tempat. Dalam hadits
Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :
... وَ أَنْ نَق ولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا ٬ لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
"...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami
berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang
mencela."
Demikian pula Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk
menyampaikan pendapat kepada penguasa dan mengawasi serta
mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah dari
Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq
kepada penguasa yang zhalim."
Dirawayatkan pula dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah
SAW pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar jumrah
aqabah, "Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah ? Maka
Rasulullah SAW menjawab :
كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa yang
zhalim."
Rasululah SAW pernah bersabda pula :
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَ صَحَهُ فَقَتَلَهُ
"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang
berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia menasehati
Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya."
Tindakan yng demikian ini bukanlah suatu kebebasan
berpendapat, melainkan keterikatan dengan hukumhukum
syara',
yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan, dan
kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.
***
Adapun kebebasan kepemilikan —yang telah melahirkan
sistem ekonomi kapitalisme, yang selanjutnya melahirkan ide
penjajahan terhadap bangsabangsa
di dunia serta perampokan
kekayaan alamnya— mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki
harta (modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan
cara apapun. Seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan
mengembangkannya melalui imperialisme, perampasan
dan
pencurian harta kekayaan alam dari bangsabangsa
yang dijajah.
Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta
melalui penimbunan dan mudlarabah (usahausaha
komanditen/trustee) mengambil riba, menyembunyikan cacat barang
dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi
secara tidak wajar, mencari uang dengan judi, zina, homoseksual,
mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr,
menyuap, dan atau menempuh caracara
lainnya.
Sedangkan ajaran Islam, sangat bertolak belakang dengan ide
kebebasan kepemilikan harta tersebut. Islam telah memerangi ide
penjajahan bangsabangsa
serta ide perampokan dan penguasaan
kekayaan alam bangsabangsa
di dunia. Islam juga menentang
praktik riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh
macam riba dilarang. Di samping itu Islam telah menetapkan adanya
sebabsebab
kepemilikan harta, sebabsebab
pengembangannya, dan
caracara
pengelolaannya. Islam mengharamkan ketentuan di luar itu
semua. Islam mewajibkan seorang muslim untuk terikat dengan
hukumhukum
syara' dalam usahanya untuk memiliki, mengembangkan,
dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan
kepadanya untuk mengelola harta sekehendaknya,
tetapi Islam telah
mengikatnya dengan hukumhukum
syara', dan mengharamkannya
untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil. Misalnya
dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap, mengambil
riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutupnutupi
kecacatanbarang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga
tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamr,
mengeksploitir tubuh wanita, dan caracara
lain yang telah
diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan
harta.
Semua itu merupakan sebabsebab
pemilikan dan
pengembangan harta yang dilarang Islam. Dan setiap harta yang
diperoleh melalui jalanjalan
itu, berarti haram dan tidak boleh
dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.
Dengan demikian jelaslah bahwa kebebasan kepemilikan harta
itu tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, Islam
mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukumhukum
syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta.
Dia tidak boleh melanggar hukumhukum
itu.
***
Mengenai kebebasan bertingkah laku, artinya adalah
kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan
untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian, akhlak, dan
kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporakporandakan
keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi
keluarga. Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah
menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu
yang telah diharamkan.
Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat
Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat memalukan dan
membejatkan moral individuindividunya
sampai ke derajat yang
lebih hina daripada binatang ternak.
Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku
dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai
dengan kehendaknya, sebebasbebasnya,
tanpa boleh ada larangan
baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya.
Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan
perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr,
bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja —walaupun
sangat hina— dengan sebebasbebasnya
tanpa ada ikatan atau
batasan, tanpa tekanan atau paksaan.
Hukumhukum
Islam sangat bertentangan dengan kebebasan
bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam
Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan
Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya
melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan
suatu perbuatan yang diharamkan, berarti dia telah berdosa dan akan
dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual,
lesbianisme, minuman keras, ketelanjangan, dan halhal
lain yang
merusak. Untuk masingmasing
perbuatan itu Islam telah
menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya.
Islam memerintahkan muslim berakhlaq mulia dan terpuji,
juga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat
yang bersih
dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilainilai
yang mulia.
***
Dari seluruh penjelasan di atas, nampak dengan sangat jelas
bahwa peradaban Barat, nilainilai
Barat, pandangan hidup Barat,
demokrasi Barat, dan kebebasan individu, seluruhnya bertentangan
secara total dengan hukumhukum
Islam.
Seluruhnya merupakan ideide,
peradaban, peraturan, dan
undangundang
kufur. Oleh karenanya adalah suatu kebodohan dan
upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan demokrasi itu adalah
bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan penyesatan
kalau dikatakan demokrasi itu identik dengan sistem syura
(permusyawaratan) itu sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi
munkar, dan atau mengoreksi tingkah laku penguasa.
Syura, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa,
adalah hukumhukum
syara', yang telah ditetapkan Allah SWT. Kaum
muslimin telah diperintahkan untuk mengambil dan
melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah hukumhukum
syara'.
Sedangkan demokrasi bukanlah hukumhukum
syara' dan
tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia
dan peraturan buatan manusia.
Demokrasi bukan syura, karena syura artinya adalah
memberikan pendapat. Sedangkan demokrasi, sebenarnya
merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untukseluruh konstitusi, undangundang,
dan peraturan, yang telah dibuat
oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan
ketentuanketentuan
itu berdasarkan kemaslahatan yang
dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan
menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partaipartai
politik
yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan
demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau
menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undangundang
atau
sebagai sumber bagi konstitusi dan undangundang;
atau sebagai asas
bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya.
Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauhjauhnya
karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.
Demokrasi adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai
ide, peraturan, dan undangundang
kufur. Demokrasi tidak ada
hubungannya dengan Islam sama sekali.
Demikian pula kaum muslimin wajib menerapkan dan
melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلِّى وَ نُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيْرًا
"Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orangorang
mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburukburuk
tempat kembali." (QS. An Nisaa'
: 115)



 Telah selesai dengan pertolongan dan karunia Allah SWT, pada hari
Ahad tanggal 3 Dzulqa'dah 1410 H, bertepatan dengan tanggal 17 Mei
1990 M.