Jumat, 17 Juni 2011

TINJAUAN SYAIKH AL MAQDISIY TERHADAP OPERASI JIHAD DENGAN MELEDAKKAN DIRI

Oleh: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidzahullah

Dan Sebagian Orang Menamakannya “Operasi Istisyhad”
Berkaitan dengan intihar (bunuh diri), maka hukumnya sudah tidak samar lagi terhadap seorangpun dalam syari’at ini dan bahwa ia tergolong dosa besar yang diancam (pelakunya) oleh Allah SWT dengan ancaman yang keras.
Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung sehingga ia membunuh dirinya, maka ia di neraka Jahannam seraya menjatuhkan diri di dalamnya seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racunnya di tangannya seraya meminumnya di neraka Jahannam kekal selamanya lagi abadi di dalamnya””.
Dan jama’ah mengeluarkan dari Tsabit Ibnu Ad-Dlahhak radliallahu’anhu., ia berkata:
“Rasulullah saw berkata: “Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat””.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibnu Sa’ad radliallahu’anhu. Bahwa Rasulullah saw bertempur melawan kaum musyrikin, kemudian tatkala Rasulullah saw kembali ke kampnya dan kaum musyrikin kembali ke kamp mereka, sedang di antara sahabat Rasulullah saw ada seorang laki-laki yang tidak membiarkan seseorang yang menyendiri dan memisahkan dari barisan (dari kalangan musyrikin) melainkan ia mengejarnya seraya menghajarnya dengan pedangnya, maka ia (Sahl) berkata: Pada hari ini tidak ada di antara kita orang yang lebih hebat dari si fulan”, Maka Rasulullah saw berkata: ”Sesungguhnya dia itu termasuk ahli neraka”. Maka seseorang berkata: “Saya temannya”. Ia berkata: “Ia keluar bersamanya, setiap kali ia berhenti, maka ia berhenti bersamanya dan bila ia bergegas, maka ia bergegas bersamanya”. Ia berkata: “Kemudian ia terluka parah, sedangkan ia tidak sabar, maka ia meletakkan pedangnya di tanah lalu ia menepatkannya pada ulu hatinya kemudia ia menjatuhkan dirinya di atas pedangnya sehingga ia membunuh dirinya sendiri”. Dalam hadits tersebut (dikisahkan) bahwa Rasulullah saw tatkala mendapatkan kabar tentang dia, beliau bersabda:
“Sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli surga dalam apa yang nampak di hadapan manusia, sedangkan ia termasuk ahli neraka dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli neraka dalam apa yang nampak di hadapan manusia sedangkan ia termasuk ahli surga”.
Dalam Ash-Shahihain secara marfu’ juga:
“Adalah di tengah orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang mendapatkan luka dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil sebilah pisau dan terus ia memotong dengannya (urat nadi) tangannya, maka darah pun keluar tanpa berhenti sampai ia mati, Allah ta’ala berfirman: “Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan surga atasnya””
Dan sangat banyak hadits yang semakna dengan ini.
Di dalam hadits-hadits tersebut terdapat ancaman yang besar bagi orang yang membunuh dirinya sendiri dan bahwa itu termasuk hal yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Dhahir sebagian hadits adalah bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri itu kekal selamanya di dalam neraka Jahannam dan sebagian hadits tegas tentang pengharaman surga, namun sudah maklum bahwa Ahlus Sunnah telah membatasi lontaran-lontaran ini pada hak kaum muwahhidin dengan panduan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An-Nisaa: 48)
Dan dengan apa yang diriwayatkan Muslim dari Jabir dalam hadits Ath-Thufail Ibnu ‘Amr Ad-Dausiy dan kawannya yang memotong persendiannya sehingga ia mati, maka Allah mengampuninya dengan sebab hijrahnya…” Hadits ini akan datang (pembahasannya, ed.).
Sedangkan lafazh…”di neraka Jahannam seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya” dalam hadits pertama dan sabdanya “maka Aku haramkan surga atasnya” dalam hadits yang lain adalah bahwa hal itu bagi orang yang menghalalkan hal itu atau bagi orang yang melakukannya karena putus asa dari rahmat Allah dan penentangan terhadap ketentuan Allah ta’ala, maka itu adalah kekafiran yang mengekalkan pelakunya di dalam neraka Jahannam. “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf: 87)
Darinya nampak bahwa ada perbedaan yang harus diperhatikan oleh orang yang menimbang dengan al-haq dan meninggalkan sikap curang, antara orang yang membunuh dirinya karena putus asa dari Rahmat Allah atau karena penentangan terhadap ketentuan Allah atau karena keluh-kesah dari luka, penyakit dan yang lainnya dengan orang-orang yang menjadi pertanyaan yang meledakkan dirinya sendiri dengan bahan-bahan peledak untuk memberikan pukulan besar pada musuh-musuh Allah
Ini adalah perbedaan yang nampak jelas bagi kami, kami mengetahui dan memperhatikannya.
Mereka itu bila tergolong kaum muwahhidin dan berperang di jalan Allah serta di bawah panji Islamiyyah bukan fanatisme buta dan bukan kejahiliyyahan, maka mana mungkin kami menghukumi kebatilan amalan mereka atau menyamakan mereka dengan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari rahmat Allah atau karena keluh kesah dari luka dan yang lainnya kemudian kami mengatakan pengekalan mereka dalam neraka Jahannam atau pengharaman surga terhadap mereka[1], karena sesungguhnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertauhid adalah luas, sedangkan Allah SWT itu adalah Hakim Yang Paling Adil. Dia tidak menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik dan Dia tidak mengurangi amalan shalih yang tulus dari orang-orang yang beriman.
Imam Thufail ibnu ‘Amr Ad-Dausiy hijrah kepada Rasulullah saw ke Madinah dan bersamanya ada seorang laki-laki dari kaumnya, kemudian mereka tidak cocok dengan kondisi Madinah sehingga ia sakit dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil pisaunya dan memotong persendiannya sehingga kedua tangannya mengalami pendarahan sampai akhirnya ia mati. Maka Thufail ibnu ‘Amr melihat dia dalam mimpinya. Ia melihatnya dengan penampilan yang bagus dan ia melihatnya menutupi kedua tangannya, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang dilakukan Tuhanmu kepadamu?” Maka dia berkata: “Dia telah mengampuni saya dengan sebab saya hijrah kepada Nabi-Nya saw”, ia (Thufail) berkata: “Kenapa saya melihatmu menutupi kedua tanganm?”, maka ia berkata: “Dikatakan kepada saya, Kami tidak akan memperbaiki darimu apa yang telah kamu rusak”, Maka Ath-Thufail menceritakannya kepada Rasulullah saw, maka beliau saw berkata: “Ya Allah, ampunilah bagi kedua tangannya”.
An-Nawawiy berkata: “Di dalam hadits ini ada hujjah bagi kaidah agung Ahlus Sunnah yaitu bahwa orang yang bunuh diri atau melakukan maksiat dan ia mati tanpa taubat, maka ia tidak kafir dan tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi ia dalam status masyi-ah (kehendak Allah)”
Abu Muhammad –semoga Allah memaafkannya- berkata: “Tidak ada yang dirasa sulit dalam hal ini, bersama keberadaan ancaman yang dahsyat yang datang dalam hadits-hadits yang lalu, karena Allah swt berhak mengampuni hamba-hambaNya yang bertauhid, yang berbuat baik dan Dia berhak untuk tidak merealisasikan ancaman-Nya pada diri mereka dan ini termasuk kemuliaan, kebaikan dan keterpujian-Nya swt, namun Dia tidak akan menyelisihi janji-Nya bagi mereka, sedangkan sudah maklum perbedaan antara penyelisihan janji dengan penyelisihan ancaman…
Tapi kami katakan: “Sesungguhnya keberadaan para pelaku ‘amaliyyat (oprasi-oprasi) ini tidak seperti orang-orang yang bunuh diri karena putus asa dari kehidupan atau karena penentangan terhadap taqdir dan keluh-kesah terhadap luka, maka ini saja tidak cukup untuk melegalkan ‘amaliyyat ini dengan gambaran ini atau untuk memberikannya sisi pensyari’atan, karena ‘amaliyyat ini bila keluar dari keumuman nash-nash yang mencela lagi mengancam orang yang membunuh dirinya dengan ancaman yang dahsyat dan di antaranya adalah hadits yang telah lalu “Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat”. Hadits ini dan yang serupa dengannya yang telah lalu adalah seperti firman Allah ta’ala:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak memasukannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (An-Nisaa: 29-30)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu barang siapa melanggar apa yang telah Allah larang seraya aniaya di dalamnya lagi zhalim dalam pelanggarannya yaitu ia mengetahui pengharamannya lagi berani lancang terhadap pelanggarannya “Maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka”, ini adalah ancaman yang keras lagi pedas, maka hendaklah bersikap hati-hati setiap orang yang  berakal lagi memiliki pikiran yaitu orang yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya”” (Selesai perkataan Al-Maqdisiy)
Dan keumuman firman Allah ta’ala “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar” (Al An’am: 151), dalam dua tempat dari Kitabullah.
Begitu juga keumuman hadits-hadits yang melarang dari membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sesuatu sebab yang benar, seperti hadits “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau bersabda:
“Penyekutuan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya), melainkan dengan suatu sebab yang benar….dst sampai akhir hadits”.[2]
Serupa dengannya hadits Nabi saw pada haji wada’: “Ketahuilah bahwa darah kalian dan harta kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini…Ketahuilah, apakah saya sudah menyampaikan…Ya Allah, saksikanlah…”
Abu Muhammad Al-Maqdisiy –semoga Allah memaafkannya- berkata: “Ini dan yang lainnya adalah nash-nash yang umum, yang qath’iy dilalah-nya dalam pengharaman membunuh jiwa yang ma’shum dan tidak halal atau tidak boleh sama sekali mengecualikan darinya, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at. Dan orang-orang yang ingin meledakkan dirinya dalam ‘amaliyyat seperti ini dituntut untuk mengkaji nash-nash seperti ini dan mencermatinya secara seksama sebelum memfatwakannya atau melakukannya, karena bagi kaum muslimin tujuan itu tidak melegalkan segala macam cara, kita ini bukan Mikafiliyyin (Machiavellian/Nicolas Machaivelli) dan cara itu harus sesuatu yang syar’iy sebagaimana tujuan dan hendaklah mereka mengetahui bahwa kebenaran itu bukan bersama pendapat yang paling keras namun bersama pendapat yang paling tepat yang selaras dengan dalil, serta hendaklah mereka ingat bahwa orang itu tidak memiliki tujuh nyawa yang bisa ia gunakan untuk percobaan di sana sini, namun ia hanya satu nyawa, maka hendaklah ia berupaya keras untuk mengorbankannya dalam ketaatan kepada Allah dan keridlaan-Nya di atas bashirah dari urusannya.[3]
Sagat disayangkan, sesungguhnya saya belum melihat dirasat (kajian-kajian) ‘ilmiyyah yang peka lagi terarah milik orang-orang yang bertanggung jawab terhadap ‘amaliyyat semacam ini. Umumnya mereka didorong oleh perasaan emosional dan hamasah (semangat) tanpa memperhatikan dalil syar’i, berbeda halnya dengan saudara-saudara kita di Mesir dan Al-Jazair di mana mereka itu dalam masalah ini memiliki fatwa-fatwa dan banyak kajian, oleh sebab itu jarang sekali engkau mendapatkan ‘amaliyyat semacam ini pada mereka, padahal sesungguhnya mereka itu diintimidasi oleh musuh-musuh Allah melebihi penindasan yang didapatkan oleh para pengusung ‘amaliyyat ini, karena sesungguhnya ilmu modern dan sarana-sarananya telah memberikan kepada mereka banyak faidah yang dengannya mereka menjaga ikhwan mereka yang bertauhid dan membantu mereka untuk pencapaian mashlahat terbesar dengan cara yang paling efektif, di mana di sana ada banyak timer, jebakan, sumbu penyulut, ranjau, penekan pengendali, arus listrik, pena timer, remote control, pantulan cahaya dan yang lainnya yang bisa digunakan oleh para pengusung ‘amaliyyat semacam ini. Hal-hal ini menjadikan mufti yang mengetahui bahayanya fatwa dan bahwa ia adalah tanda tangan atas nama Allah, diam lama sekali sebelum mengatakan kebolehan ‘amaliyyat itu yang mana orang muslim membunuh dirinya sendiri di dalamnya tanpa dlarurat yang sebenarnya, karena sarana ini memperluas wawasan amal pada mujahidin. Selagi di sana ada cara untuk menjaga dan melindungi darah para muwahhidin, maka cara itu wajib diambil. Ikhwan kita -mujahidin- di berbagai belahan bumi memiliki bashirah, (mereka) mengikatkan barang-barang, surat-surat dan tas serta mereka meledakkan banyak kendaraan dan yang lainnya dengan sesuatu dari cara-cara ini dan mereka memberikan pukulan kepada musuh-musuh Allah dengan pukulan yang sangat dahsyat dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin dan syahadah itu bukan kerugian, namun kerugian itu adalah ada pada penyelisihan terhadap hukum syar’i dan mati di luar bashirah…
Kami selalu mengatakan: Sesungguhnya saudara muwahhid yang sampai dalam tarbiyyah dan i’dad pada fase-fase yang lalu, ia pada hakikatnya adalah berlian satu-satunya di zaman ini yang tidak seyogyanya bagi pimpinannya bila dia itu berakal mengorbankannya demi dua atau tiga sepatu (maksudnya dua atau tiga orang anshar thaghut, pent.) atau yang lainnya dari aparat syirik dan bala tentara mereka, yang padahal mungkin menghabisi mereka dengan selain cara ini, di mana mungkin membunuhnya dengan senjata laras panjang, pistol dan bom atau mobil yang sudah diisi muatan bahan peledak tanpa perlu membunuh dirinya, maka dalil syar’iy mana yang membolehkan membunuh diri karenanya…???
Sebagian orang-orang yang tergesa-gesa yang tidak mengetahui cara-cara istidlal (pengutaraan dalil) dan tidak memiliki alat-alatnya, mereka berdalil dengan dalil-dalil yang tidak bisa digunakan untuk hujjah dalam bab ini, di mana mereka menuturkan firman Allah ta’ala dalam memuji orang-orang mu’min: “Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh” (At-Taubah: 111), dan menuturkan seorang laki-laki yang secara sendirian menyerang pasukan besar dan kisah seorang sahabat yang meminta dari para sahabatnya agar mengangkatnya di atas perisai terus melemparkannya ke dalam benteng orang-orang kafir untuk membukakan pintunya bagi mereka dan hadits Aslam ibnu ‘Imran, berkata: Seorang laki-laki dari muhajirin menyerang barisan musuh di Konstantinopel sampai ia mencerai-beraikannya sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Anshari, maka orang-orang berkata: “Dia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan” seraya mereka memaksudkan firman-Nya ta’ala:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah: 195)
Maka Abu Ayyub berkata: “Kalian mentakwilkan ayat ini seperti ini, yaitu seseorang menyerang seraya mencari syahadah atau ia menemui kematian!! Kami paling mengetahui akan ayat ini, ia itu hanyalah diturunkan perihal kami”, maka beliau menuturkan bahwa yang dimaksudkan dengan kebinasaan adalah menetap di tengah keluarga dan harta dan meninggalkan jihad. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan yang lainnya)
Seperti itu pula adalah apa yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Ishhaq As-Suba’iy. Seorang laki-laki berkata kepada Al-Bara Ibnu ‘Azib: “Bila saya menyerang secara sendirian terhadap musuh terus mereka membunuh saya, apakah saya menjatuhkan diri saya ke dalam kebinasaan?” Maka beliau berkata kepadanya: “Allah berfirman kepada Rasul-Nya “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri” (An-Nisaa: 84)
Sesungguhnya ayat tadi hanyalah berkaitan dengan nafaqah dan dalam riwayat At-Tirmidzi: (Tapi kebinasaan itu adalah seseorang melakukan dosa terus ia menjatuhkan dirinya sendiri kepada kebinasaan kemudian ia tidak taubat).
Sebagaimana mereka menuturkan dalam dalil-dalil mereka, hadits: (Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan laki-laki yang mendatangi pemimpin yang aniaya, terus dia memerintah dan melarangnya kemudian dia (si penguasa) membunuhnya).
Ini adalah apa yang mereka jadikan sebagai dalil, sedangkan semuanya tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam masalah yang sedang diperdebatkan ini.
Firman-Nya ta’ala: “Mereka membunuh atau terbunuh”, maka orang-orang itu bahagia dengan firman-Nya “atau terbunuh”, padahal sesungguhnya ayat ini tidak menunjukan secara tegas terhadap sikap membunuh dirinya sendiri, akan tetapi terhadap sikap musuh Allah membunuh dia, dan andaikata ia menunjukan, maka sesungguhnya ia adalah penunjukan yang lemah, dhanniy lagi memiliki banyak kemungkinan dan tentunya mereka itu lebih utama untuk berhujjah dengan firman-Nya “Mereka membunuh” terus mereka mengatakan: Ia adalah umum mencakup sikap mereka membunuh orang lain dan membunuh diri mereka sendiri. Cara istidlal ini adalah modal orang-orang yang pailit, di mana mereka itu tatkala tak bisa menghadirkan dalil-dali qath’iy yang tegas, maka mereka justeru malah menggunakan dalil-dalil yang lemah dilalah-nya. Andaikata kami menerima dalil-dalil itu, maka itu adalah nash yang tidak sharih (tegas) dan justeru ia dibatasi dengan nash-nash qath’iy yang sharih dilalah-nya yang telah lalu dalam hal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan nash yang tidak sharih lagi dhanniy dilalahnya tersebut tidak boleh dibenturkan pada nash-nash yang qath’iy lagi sharih sebagaimana juga bahwa dalil itu bila mengandung banyak kemungkinan, maka ia tidak bisa dijadikan sebagai dalil, karena pemastian dengan sesuatu yang banyak mengandung kemungkinan itu membutuhkan dalil. Bagaimanapun keadaannya, maka sesuai penafsiran mereka, dalil itu tergolong dalil yang mutasyabih, sehingga wajib dikembalikan kepada nash-nash yang muhkam dan jelas yang mengharamkan pembunuhan jiwa….Wallahu A’lam.
Adapun kisah seorang sahabat yang dilemparkan ke dalam benteng, maka orang yang berhujjah dengan kisah itu pertama-tama wajib membuktikannya terlebih dahulu, yaitu buktikan dulu keshahihan dalil itu kemudian silahkan berdalil dengannya, sedangkan tidak sah berdalil dengan sesuatu sebelum membuktikan keshahihannya.[4] Kemudian bila mereka telah membuktikannya dengan isnad yang shahih, maka kami katakan kepada mereka: “Itu adalah perbuatan serang sahabat, sedangkan sudah ma’lum bahwa perbuatan seorang sahabat itu bukanlah hujjaj dalam perselisihan, karena Allah SWT berfirman: “Kemudian bila kamu berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul(-Nya)” (An-Nisaa: 59) Dia tidak mengatakan “Maka kembalikanlah kepada sahabat”, sedangkan menjadikan perbuatan mereka sebagai pendekatan adalah suatu hal dan berdalil dengannya dalam perselisihan serta menjadikannya sebagai hujjah syar’iyyah adalah hal lain, maka bagaimana bila perbuatan-perbuatan itu menentang nash-nash yang sharih lagi qath’iy keterbuktiannnya juga qath’iy dilalah-nya seperti nash-nash yang lalu prihal pelarangan membunuh jiwa (sendiri)”. Ini atas dasar pengandaian bahwa perbuatannya itu adalah bunuh diri, sedangkan kami tidak menerima hal itu.
Bila mereka berkata: Sesungguhnya ia adalah ijma sukutiy (ijma yang ulama diam tidak menampakkan penyelisihan) itu adalah hujjah yang lemah lagi dhanniy, di dalamnya terdapat perselisihan yang besar, maka bagaimana bila ijma yang diklaim ini menentang nash-nash qath’iy lagi shahih. Kemudian ijma ini menurut orang-orang yang memegangnya harus memiliki sandaran syar’iy, yaitu hujjah bukan yang lainnya. Sandaran yang sharih lagi shahih ini adalah dalil yang masih kami menuntut kalian untuk mendatangkannya dan kalian membutuhkannya.
Terakhir, kemudian dikatakan kepada mereka bahwa kisah yang dijadikan hujjah oleh kalian ini menjelaskan bahwa shahabiy ini tidak bermaksud membunuh dirinya sendiri dengan perbuatannya itu, akan tetapi bermaksud membuka benteng bagi kaum muslimin[5]. Sedangkan klaim mereka bahwa kemungkinan kematiannya adalah besar sekali, maka ini bukan sumber perselisihan, karena dalil-dalil terhadap kebolehan terjun maju dalam peperangan yang memiliki dugaan kuat mendapatkan syahadah di dalamnya adalah banyak, seperti hadits Abu Ayyub dan hadits Al-Bara yang telah lalu. Namun yang menjadi perselisihan adalah perihal seseorang membunuh dirinya sendiri secara sengaja dan dimaksud.
Adapun hadits Abu Ayyub dan Al-Bara, maka keduanya sebagaimana yang telah kami katakan hanyalah pantas dijadikan dalil untuk dorongan terhadap jihad, maju pantang mundur dan anjuran gesit dalam memerangi orang-orang kafir, serta penampakan keberanian, kekuatan dan pukulan di hadapan mereka. Dan dalam hadits itu sama sekali tidak ada sesuatupun yang menunjukan kebolehan seorang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri. Karena kandungan yang ada dalam hadits itu adalah bahwa dia maju, tampil atau menghadangkan dirinya untuk memerangi suatu pasukan dan untuk mengingkari kemungkaran yang sangat besar sebagaimana dalam hadits “Penghulu Para Syuhada…” di mana kuat dugaannya bahwa ia dibunuh di dalamnya tanpa pemastian dan hatta andaikata ia itu memastikan, maka gambaran ini berbeda dengan gambaran itu, sedangkan mencampuradukkan antara kedua gambaran ini adalah sikap melampaui ketentuan Allah dan pengkaburan al-haq dengan al-bathil, padahal Allah ta’ala telah berfirman:
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu menyembunyikan yang haq sedangkan kamu mengetahui” (Al-Baqarah: 42).
Di mana nash-nash yang lalu adalah sharih lagi qath’iy prihal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan hal ini adalah yaqin, tidak bisa lenyap dengan dilalah yang lemah lagi jauh semacam ini, oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mencermati ucapan ulama dalam bab-bab semacam ini, ia akan mendapatkan mereka itu bersikap ketat lagi hati-hati dalam masalah-masalah ini dan mereka tidak memfatwakan sekedar mengikuti semangat atau rasa takut dari lisan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang hobi menebar isu, akan tetapi mereka memfatwakan dengan apa yang mereka yakini seraya selaras dengan dalil syar’iy “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah” (Al-Ahzab: 39).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy berkata dalam Al-Mughniy 8/478, Kitab Al-Jihad.
(Pasal) Bila orang-orang kafir melemparkan api ke kapal yang terdapat kaum muslimin di dalamnya, sehingga api berkobar di dalamnya, maka apa yang menjadi dugaan kuat mereka akan selamat, baik itu mereka tetap di dalam kapal atau mereka menceburkan diri ke air, maka lebih utama bagi mereka adalah melakukannya.
Abul Khaththab berkata dalam riwayat lain: “Bahwa mereka harus diam di kapal, karena bila mereka menceburkan dirinya ke air, maka kematian mereka itu adalah (karena) perbuatan mereka sendiri[6], dan bila mereka diam di kapal, maka kematian mereka itu adalah perbuatan orang lain”. Selesai.
Perhatikan sikap mereka membedakan antara kematian oleh perbuatan diri sendiri dengan kematian oleh perbuatan orang lain. Ketahuilah bahwa masalah yang paling serupa dengan masalah kita ini menurut para ulama adalah masalah yang biasa dijadikan contoh oleh ulama ushul dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, yaitu masalah yang terkenal dengan sebutan Masalah Tatarrus. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: “Bila orang-orang kafir membentengi diri dengan orang muslim[7] sedangkan tidak ada keperluan untuk menembak mereka dikarenakan peperangan tidak sedang berlangsung atau dikarenakan ada kemungkinan menguasai mereka tanpa hal itu atau karena aman dari kejahatan mereka, maka tidak boleh menembak orang muslim itu.
Al-Auza’iy dan Al-Laits berkata: Tidak boleh menembak orang-orang kafir itu berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu’min dan perempuan-perempuan yang mu’min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka)” (Al-Fath: 25).
Al-Laits berkata: Meninggalkan membuka benteng yang mampu untuk membukanya adalah lebih utama daripada membunuh orang muslim tanpa hak.
Dan sering sekali para fuqaha menuturkan dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, ucapan mereka: “Seandainya orang-orang kafir membentengi diri dengan sejumlah kaum muslimin, di mana seandainya kita menahan diri dari mereka tentulah orang-orang kafir itu menguasai Darul Islam dan menghabisi seluruh kaum muslimin serta membunuh (orang-orang yang dijadikan) benteng itu dan seandainya kita menembak benteng itu dan kita membunuh mereka tentulah mafsadah tersebut terhindarkan secara pasti dari seluruh kaum muslimin, namun mesti darinya membunuh orang muslim yang tidak berdosa…” Maka mashlahat ini meskipun dlaruriyyah kuliyyah qath’iyyah (darurat yang pasti dan menyeluruh), akan tetapi dikarenakan ketidaknampakan pengakuan terhadap bisa dianggapnya hal tersebut dari Sang Pembuat syari’at, maka di dalamnya terdapat perselisihan yang masyhur di antara para ulama….
Sekelompok ulama melarang hal itu, karena di dalamnya ada pembunuhan orang muslim, sedangkan tidak boleh menebus jiwa yang ma’shum dengan jiwa yang serupa dengannya…
Sekelompok ulama membolehkan hal itu dengan beberapa syarat yang di antaranya:
  • Dalam sikap meninggalkan (tidak dilakukan) pembunuhan perisai itu terdapat pengguguran akan jihad… Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy 8/450 dari Al-Qadli dan Asy-Syafi’iy ucapan mereka: “Boleh menembak mereka bila peperangan sedang berlangsung, karena membiarkannya menyebabkan pada pengguguran jihad…”. Selesai.
  • Di antaranya adalah tidak mungkin mencapai orang-orang kafir itu, kecuali dengan membunuh perisai tersebut.
  • Sikap membiarkan perisai ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin, pengotoran kehormatan mereka dan pendudukan negeri itu kemudian setelah itu pembunuhan perisai juga…
Saya bertanya dengan Nama Allah kepadamu, wahai orang yang obyektif, siapa saja engkau ini;
Apakah syarat-syarat seperti ini terpenuhi pada realita ‘amaliyyat tersebut pada hari ini…?!
Apakah tidak mungkin memerangi orang-orang kafir, kecuali dengan cara operasi-operasi peledakan diri sendiri…?
Apakah tidak mungkin hal itu dilakukan dengan selain cara ini…?
Apakah dalam sikap meninggalkan cara ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin dan pengguguran jihad, di mana tidak mungkin memerangi orang-orang kafir dan membungkam mereka, kecuali lewat cara membunuh jiwa yang ma’shum…?
Bila keadaannya seperti itu, maka kami tidak mengingkarinya, yaitu bila mashlahat yang diharapkan di balik operasi-operasi ini atau mafsadah yang dimaksudkan penghindarannya itu adalah dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah (darurat yang pasti dan menyeluruh) yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ini, maka kami tidak mengingkarinya dan orang yang berpendapat ini memiliki pendahulu dari kalangan ulama serta telah baku di kalangan para ulama yaitu bila dua mafsadah saling berbenturan, maka dipikullah yang paling ringan di antara keduanya demi menghindari yang paling besar.
Di samping itu sesungguhnya orang yang melihat realita banyak dari sasaran operasi-operasi ini –dan saya tidak mengatakan seluruhnya-, maka sesungguhnya dia mendapatkan mereka itu dari kalangan sipil, baik itu wanita, anak-anak atau lansia dan yang lainnya, sedangkan ini adalah hal lain yang disayangkan mesti disebutkan di sini.
Sedangkan sudah ma’lum bahwa dalam agama kita tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita yang tidak ikut berperang serta yang semisal dengan sengaja.
Para ulama yang di antaranya Hibrul Qur’an Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Telah menafsirkan firman Allah ta’ala: “Dan janganlah kamu melampaui batas” (Al-Baqarah: 190), dengan ucapannya: “Janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak dan kakek lanjut usia…” Dan Muslim meriwayatkan dalam <Bab: Wanita-Wanita Yang Berperang… dan Larangan dari membunuh ahlil harbi> dari Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Juga ucapannya: “Dan sesungguhnya Rasulullah saw tidak pernah membunuh anak-anak, maka janganlah kamu membunuh anak-anak, kecuali bila kamu mengetahui apa yang diketahui Al-Khidlr (Khidir) dari anak-anak kecil yang ia bunuh…”[8]
Al-Imam Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Al-Aswad Ibnu Sari’ bahwa Rasulullah saw berkata: “Kenapa orang-orang melampaui batas pembunuhan sampai mereka membunuh anak-anak… Ingat jangan kalian membunuh anak-anak… Ingat jangan kalian membunuh anak-anak…”
Dalil-dalil dalam bab ini adalah sangat masyhur, bahkan Malik dan Al-Auza’iy memfatwakan dengan sesuatu yang lebih dari hal itu, di mana mereka berkata: “Tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak sama sekali, hatta termasuk andaikata ahlul harbi memperisaii diri dengan wanita dan anak-anak atau mereka membentengi diri dengan benteng atau kapal (perahu) dan mereka menyertakan wanita dan anak-anak bersama mereka, maka tidak boleh menembak dan membakar mereka…”[9]
Ini serupa dengan masalah Tatarrus, bahkan lebih rendah darinya, karena ‘ishmah (keterjagaan) darah anak-anak dan wanita orang-orang kafir tidak ragu lagi adalah lebih rendah dari ‘ishmah darah kaum muslimin. Sudah ma’lum bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu boleh membunuh wanita dan anak-anak mereka, umpamanya pada serangan malam atau orang-orang kafir ditembaki sedangkan bersama mereka ada anak-anak dan wanita mereka sehingga mereka mati tanpa dimaksud, maka ini seperti tabyit (serangan malam) yang ditanyakan kepada Rasulullah saw, yaitu di mana Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dalam Kitabul Jihad (Bab Penduduk suatu negeri diserang pada malam hari, sehingga jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak) dan di dalamnya beliau menuturkan hadits Ash Sha’b Ibnu Jatstsamah <Rasulullah saw ditanya tentang penduduk suatu negeri. Kaum musyrikin diserang pada malam hari sehingga jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak mereka> dan saya mendengar beliau bersabda: “Tidak ada batasan kecuali milik Allah dan milik Rasul-Nya saw”.
Begitu juga bila si wanita atau anak kecil itu ikut berperang atau membantu peperangan, sebagaimana hal itu sudah ma’lum pada tempatnya dalam Kitab-kitab Jihad dan Peperangan dan hadits-hadits di dalamnya sangat banyak.
Bahkan ulama membolehkan membunuh wanita bila ia berada di barisan orang-orang kafir dan ia menghina kaum muslimin
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: (Pasal) Dan andaikata wanita berdiri di barisan orang-orang kafir atau di atas tembok (benteng, ed) mereka, lalu menghina kaum muslimin atau dia membuka auratnya di hadapan mereka, maka boleh sengaja menembaknya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id: “Telah mengabarkan kepada kami Hammad ibnu Zaid dari Ayyub dari Ikrimah[10], ia berkata: “Tatkala Rasulullah saw mengepung penduduk Tha’if, maka seorang wanita naik benteng lalu membuka kemaluannya, maka beliau bersabda: ”Ini sasaran, tembak dia…!!!”, maka seorang laki-laki dari kaum muslimin menembaknya dan tidak meleset sedikitpun darinya”. Boleh pula menembak wanita bila ia memungutkan anak panah bagi mereka atau memberikan minuman bagi mereka atau menyemangati mereka terhadap peperangan, karena dia berstatus sama dengan muqatil[11]. Hukum ini berlaku juga pada anak-anak kecil, orang tua serta yang lainnya yang dilarang dibunuh di antara mereka… (Selesai)
Adapun menyengaja pada kerumunan anak-anak dan wanita yang tidak muqatil, seperti sekolah, Taman Kanak-Kanak, Rumah Sakit dan yang serupa itu lalu ia dipilih (sebagai target serangan, ed), karena ia adalah target yang mudah, maka sikap ini menyelisihi tuntunan Nabi saw dan sikap ini mengandung bahaya pada da’wah serta pencorengan pada wajah jihad Islamiy yang bercahaya.
Bagaimanapun keadaannya, sungguh pembicaraan dalam bab ini sangatlah panjang dan para ulama kita telah mencukupinya dalam hal ini pada kitab-kitab fiqh dan hadits, juga sangat mudah dirujuk oleh pencari al-haq di sumbernya.
Sebelum kami menutup masalah ini, maka kami mengumpulkan apa yang telah kami katakan pada point-point ini:
  • Kami tidak mengatakan hapusnya amalan para pelaku operasi-operasi yang ditanyakan ini (pelaku operasi bunuh diri, ed.) atau kekekalan mereka di neraka, bahkan kami telah membedakan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari kehidupan atau berkeluh-kesah dan penentangan terhadap taqdir Allah atau keluhan karena luka…[12]
  • Akan tetapi kami memiliki terhadapnya catatan-catatan dan kritikan-kritikan yang telah kami isyaratkan pada sebagiannya, oleh sebab itu kami mengajak para pemerannya dan orang-orang yang memperhatikannya untuk mengkajinya dengan kajian syar’iy yang menyeluruh lagi peka, yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih.
  • Adapun bila mafsadah yang ingin dihindarkan dengan ‘amaliyyah ini adalah qath’iyyah kulliyyah haqiqiyyah serta tidak mungkin dihadang kecuali dengan membunuh diri sendiri dengan cara ini, maka ini memiliki sesuatu yang mendukungnya dari ushul syari’at dan ini telah dianut oleh segolongan ulama mu’tabar dengan batasan-batasan syar’iy
  • Kami mengajak para mujahidin untuk memanfaatkan sarana-sarana ilmu (teknologi, ed.) modern dalam memerangi musuh-musuh Allah, sebagaimana pelaksanaan firman Allah ta’ala: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu berupa kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan, yang dengannya kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian” dan itu untuk mendatangkan pukulan telak terhadap mereka dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin, terutama kerugian-kerugian yang terjadi karena tangan mujahidin sendiri.
  • Kami mengajak mereka untuk memfokuskan terhadap sasaran-sasaran militer musuh-musuh Allah, Dinas Keamanannya dan yang serupa itu.
Ini adalah kesimpulan pendapat kami pada masalah ini dalam kesempatan ini. Kami mengatakannya dan kami tidak peduli dengan sikap sentiment orang-orang yang menyelisihi kami, karena penuntun dan acuan kami hanyalah dalil bukan yang lainnya, serta tujuan kami adalah ridla Allah bukan ridla manusia. Kami memohon Allah ta’ala agar menjadikan kami bagian dari orang-orang yang disifati oleh Rasulullah saw dengan sabdanya: “Mereka tidak terusik oleh orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula oleh orang yang menggembosi mereka sampai datang ketentuan Allah”.
Sudah ma’lum bahwa bila datang kepada kami orang-orang yang menyelisihi dalam bab ini dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih yang menggugurkan apa yang telah kami jelaskan, maka kami akan menerimanya dengan penuh lapang dada dan kami akan meninggalkan apa yang telah kami katakan, karena al-haq adalah lebih berhak untuk diikuti.
Allah-lah yang Mengatakan kebenaran dan Memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.
LAMPIRAN SUSULAN
Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tatkala saya telah menulis jawaban saya dalam masalah ini dan dibaca oleh sebagian kawan di penjara, maka datang kepada saya lembaran tulisan dari sebagian orang-orang yang tulus…. Di dalamnya ia menuturkan ungkapan tentang pokok-pokok dasar kajian syar’iy dan pentingnya mengetahui realita fatwa juga pentingnya pengamatan terhadap dalil-dalil syar’iy serta hal-hal lain seputar ini yang sudah diketahui oleh setiap orang yang menulis dan mengkaji dan tidak ada perselisihan di dalamnya, kemudian bahwa ia membedakan antara sekedar bunuh diri dengan bunuh diri oleh perbuatan orang itu sendiri dalam memerangi musuh, dan ia membolehkan yang ke dua seraya berdalil dengan nash-nash yang umum lagi dhanniy dilalah dalam menghantam nash-nash qath’iyyah yang mengharamkan membunuh jiwa secara muthlaq… Kemudian ia menuturkan firman Allah ta’ala:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” (Al-Baqarah: 191) dan firman-Nya ta’ala: “Dan perangilah mereka itu hanya semata-mata untuk Allah…” (Al-Baqarah: 193) dan firman-Nya ta’ala: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu…” (At-Taubah: 123)
Ia berkata: “Sesungguhnya itu adalah dalil-dalil umum tanpa pengkhususan yang muthlaq tanpa pembatasan”… kemudian berkata: “Dan atas dasar ini, maka setiap peperangan terhadap musuh yang kafir yang memang memerangi, (boleh, ed.) dengan cara apa saja dari cara-cara qital, walaupun itu dengan meledakkan diri sendiri untuk membunuh mereka, maka semua itu berada dalam cakupan indikasi dalail-dalil yang lalu ” (selesai)
Kemudian ia menuturkan bahwa: “Sunnah Rasulullah saw dan para sahabatnya menjelaskan bagaimana kaum muslimin melesat maju untuk memerangi musuh dan mereka berlomba-lomba untuk menggapai syahadah sampai bahwa sebagian mereka melesat maju di tengah barisan musuh atau dilemparkan dari atas tembok benteng. Ini sangat terkenal lagi masyhur di banyak tempat yang tidak butuh untuk dijelaskan lagi” (selesai)
Maka saya katakan: “Adapun ucapannya yang terakhir seputar maju melesat dalam memerangi musuh dan berlomba-lomba untuk meraih syahadah, maka ini sudah kami ketengahkan kepada anda dan tidak ada perselisihan di dalamnya dan ia adalah memperbanyak ucapan dengan sesuatu yang di luar masalah yang sedang diperbincangkan, sedangkan telah kami utarakan bahwa tidak apa-apa dalam hal itu, akan tetapi yang jadi masalah adalah pada sikap orang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri bukan dengan tangan musuhnya”.[13]
Adapun dia menjadikan bunuh diri sebagai salah satu cara dari sekian cara qital, maka ia adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan sebelumnya oleh seorangpun dari ulama yang mu’tabar. Kami pernah bertanya kepada orang-orang yang menyelisihi dalam hal ini, kami katakan: “Seorang kafir muharib yang bisa dibunuh dengan pistol atau senjata serupa itu, apakah boleh meledakkan diri untuk membunuhnya?” Maka orang-orang bodoh di antara mereka menjawab dengan penuh pengototan: “Ya, hal itu boleh” Namun, kami tidak menoleh kepada mereka, karena mereka pailit dari dalil. Orang-orang yang berakal di antara mereka menjawab: “Tentu tidak boleh, karena ia masih bisa dibunuh tanpa bunuh diri…” Maka apa alasan yang membolehkan untuk membunuh diri…??
Kami katakan: Jadi masalahnya haruslah ada batasan dan tentunya termasuk sikap serampangan menjadikan cara ini seperti cara lain dari cara-cara qital lalu membuka pintunya lebar-lebar tanpa batasan-batasan syar’iy dan terutama sesungguhnya dalil-dali syar’iy yang dhanniy dilalah-nya yang ia utarakan itu tidak mendukung mereka dalam menetapkan pendapat mereka itu. Di mana istidlal mereka dengan nash-nash qital yang umum dalam masalah khusus tertentu adalah amat sangat lemah, karena indikasi nash yang umum terhadap suatu individu dari individu-individunya secara indikasi khusus tanpa qarinah adalah dilalah dhaniyyah (indikasi yang tidak pasti) sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama ushul…
Sudah ma’lum pula bahwa jihad fie sabilillah itu adalah ibadah, bahkan ia tergolong ibadah yang paling agung… Sedangkan sudah ma’lum bahwa (hukum asal pada ibadah adalah terlarang sampai datang dalil shahih yang mensyari’atkannya). Berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Al-Isra: 36)
Juga berdasarkan sabda Nabi saw: “Barang siapa mengadakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia ditolak”[14]
Maka orang yang menjadikan bunuh diri dalam jihad sebagai sesuatu yang disyari’atkan secara muthlaq seperti layaknya cara-cara jihad yang lainnya, ia membutuhkan kepada dalil sharih shahih yang mensyari’atkan hal itu. Sedangkan ayat-ayat yang umum perihal memerangi orang-orang kafir itu bukanlah dalil-dalil yang sharih dan dhahir dalam indikasinya terhadap apa yang dimaksud, akan tetapi ia adalah seperti istidlal sebagian kaum sufi yang bodoh untuk ajaran sima’ (senandung nyanyian) yang bid’ah, yang di dalamya mereka mengingat Allah dengan tarian, rebana dan nyanyian dengan keumuman firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya” (Al-Ahzab: 41) dan dengan keumuman firman-Nya ta’ala: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kamu beruntung” (Al-Anfal: 45)
Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya” (Ali ‘Imran: 7)
Allah ta’ala mencela orang yang mengikuti sesuatu yang mutasyabih dan malah meninggalkan yang muhkam…
Kemudian Dia swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami” (Ali ‘Imran: 7)
Allah memuji orang yang mengembalikan sesuatu yang mutasyabih lagi musykil pada yang muhkam untuk mengetahui maksud Allah darinya dan Dia mensifatinya sebagai metode orang-orang yang mendalam ilmunya…Semoga Allah menjadikan kita bagian darinya.
Sedangkan yang muhkam dari ayat-ayat qital itu adalah orang muslim membunuh musuhnya atau ia terbunuh oleh tangan musuhnya setelah ia menghadang dan melawan. Adapun orang muslim membunuh dirinya sendiri ~sebagai cara qital~, maka ia termasuk sesuatu yang mutasyabih yang wajib memiliki dalil syar’iy sharih (yang khusus) sehingga ia dikecualikan dari keumuman nash-nash yang melarang dari bunuh diri, ini yang pertama. Kemudian dalil sharih yang lain yang menjadikannya sebagai wasilah (cara) yang syar’iy dari cara-cara qital…
Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan qishash atas kamu, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” sampai firman-Nya ta’ala: “Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqarah: 178)
Allah swt menamakan pembunuhan jiwa yang terjaga (ma’shum) siapa saja tanpa alas an yang benar sebagai “sikap melampaui batas/ aniaya” dengan nash Al-Qur’an. Dan Dia ta’ala berfirman prihal memerangi orang-orang kafir: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Al-Baqarah: 190)
Meskipun ayat ini dinyatakan telah dinasakh dengan ‘ayat pedang’, maka penasakhan yang dimaksud oleh orang yang mengatakannya adalah (pelarangan memerangi orang-orang kafir yang tidak mengganggu) di mana memerangi kaum musyrikin itu menjadi menyeluruh, baik itu mereka yang mengganggu maupun yang tidak. Adapun indikasi lain yang ada pada ayat itu, maka tidak seorang ulamapun mengatakan bahwa ia di-nasakh, oleh sebab itu Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu berdalil dengan firman-Nya ta’ala: “Dan janganlah kamu melampaui batas”. Ia berkata: “Janganlah kamu membunuh wanita dan anak-anak…”
Kami dapat mengatakan bahwa Allah ta’ala mengecualikan dari memerangi orang-orang kafir segala yang dinamakan melampaui batas dalam pembunuhan dan qital, di mana Dia me-nasakh dari hal itu apa yang telah lalu, dan semua macam lain dari sikap melampaui batas masih tetap tercela dan terlarang dan di antaranya adalah apa yang telah nyata jelas dalam ayat yang lalu berupa membunuh jiwa muslim yang terjaga, sungguh Allah telah mensifatinya dengan melampaui batas: “Barang siapa siapa melampaui batas…” Maka jelaslah sikap bunuh diri itu tidaklah bisa menjadi manhaj atau metode atau cara dari sekian cara-cara qital, kecuali karena dlarurat sebagaimana yang telah kami utarakan, karena dlarurat itu memperbolehkan apa-apa yang terlarang…
Sebagian mereka berhujjah dengan perbuata si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud serta bantahannya…
Kemudian saya mendengar sebagian mereka berhujjah untuk kebolehan bunuh diri secara muthlaq dalam ‘amaliyyat semacam ini tanpa batasan atau syarat dengan perbuatan si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud. Seluruh khabar (kisah, ed.) ini ada dalam Shahih Muslim.
Sedangkan jawaban terhadap hal itu adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa hal itu termasuk syari’at orang-orang sebelum kita, bukan syari’at kita, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Al-Maidah: 48). Jadi apa yang ada dalam khabar ini, bila ia selaras dengan syari’at kita, berupa da’wah kepada Tauhid dan sabar di atasnya atau faidah-faidah yang karenanya Allah menceritakan kisah itu kepada kita, maka kita menerimanya dan bila tidak seperti itu (atau, ed) bahkan dari syari’at kita ada yang menyelisihinya, maka ia bukan syari’at bagi kita. Seperti mempelajari sihir, maka itu diharamkan dalam syari’at kita, begitu juga membunuh diri sendiri, sungguh telah disyari’atkan bagi orang-orang sebelum kita untuk membunuh diri mereka sendiri, umpamanya sebagai bentuk taubat, seperti firman Allah swt tentang Bani Israil: “…Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu” (Al-Baqarah: 54). Bila si ghulam ini telah membunuh dirinya sendiri ~sedangkan kami tidak menerima hal ini, sebagaimana yang akan datang (penjelasannya, ed.)~, maka ia termasuk syari’at sebelum kita yang telah di-nasakh, karena ia menyelisihi syari’at kita, sedangkan ulama ushul telah menetapkan bahwa bila syari’at sebelum kita menyelisihi syari’at kita, maka ia bukan syari’at bagi kita.
Ke dua: Bahwa di dalam hadits ini ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka yang muhkam diamalkan dan yang mutasyabih dikembalikan kepada syari’at Allah yang muhkam, karena  di dalam urusan si ghulam ini terdapat suatu isykal dan mawani’ yang menghalangi dari qiyas dan ber-istidlal dengannya:
Ia (si ghulam) itu dapat menyembuhkan orang yang buta sejak dilahirkan dan orang yang berpenyakit sopak serta dapat mengobati manusia dari berbagai jenis penyakit dengan sekedar berdo’a kepada Allah ta’ala, dan Allah tidak menelantarkan dia sedikitpun dalam hal itu, sedangkan hal ini lebih dekat pada mu’jizat para Nabi daripada karomah para wali, karena dia melakukannya kapan saja dia mau. Kasus (kisah) dia bersama pembantu raja yang buta menunjukkan terhadap hal itu…
Begitu pula pemastian si ghulam dengan ucapannya kepada si raja: “Sesungguhnya kamu tidak bisa membunuh saya sampai (kamu) melakukan apa yang diperintahkan kepadamu”. Sungguh ini adalah hal ghaib yang tidak bisa dipastikan dan tidak bisa diketahui oleh manusia, kecuali oleh para Nabi, karena Allah ta’ala berfirman: “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun hal yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang dikehendaki-Nya” (Al-Jinn: 26-27)
Hal itu memang terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh si ghulam, di mana si raja tidak mampu membunuhnya, kecuali dengan cara yang ia tunjukkan kepadanya.
Bisa jadi si ghulam adalah nabi dan apa yang ia lakukan adalah wahyu dan perintah dari Allah ta’ala sebagaimana yang dikatakan Khidlir tentang sikapnya membunuh anak kecil: “…dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri” (Al-Kahfi: 82). Karenanya tidak boleh melakukannya, kecuali dengan perintah dan wahyu khusus yang tegas dari Allah, atau itu adalah perintah yang tidak bisa diqiyaskan terhadapnya, seperti firman Allah ta’ala kepada ibu Musa: (Thaha: 7). Maka jumhur ulama mengatakan bahwa ia adalah ilham dan bukan wahyu kenabian, sedangkan sudah ma’lum bagi setiap orang alim dan orang jahil bahwa tidak sah mencontoh hal itu dan berdalil dengannya terhadap kebolehan menjatuhkan anak ke laut bila mereka dikhawatirkan dari kezhaliman orang yang zhalim atau serangan orang yang menyerang.
Terhadap sisi mana saja, tetaplah tidak sah pen-qiyas-an terhadap perbuatan si ghulam ini dalam penunjukannya kepada si raja terhadap cara yang dengannya ia bisa membunuh si ghulam.
Ke tiga: Dikatakan bahwa perbuatan si ghulam ini mendatangkan mashlahat yang besar karena dengan sebab perbuatannya itu semua manusia yang menghadiri kejadian tersebut menjadi beriman.
Bila pertama-tama kami menerima bahwa perbuatannya ini adalah bunuh diri dan ke dua kami membolehkan pen-qiyas-an terhadapnya dan istidlal dengannya, maka menurut orang yang menimbang dengan timbangan lurus wajib membatasinya dengan mashlahat dlaruriyyah ‘ammah ‘azhimah (mashlahat pokok yang menyeluruh lagi besar) seperti ini dan tidak boleh pintunya dibuka lebar-lebar dan dijadikan –sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang yang menyelisihi- sebagai suatu cara seperti halnya cara-cara qital yang lain dan tidak ada perbedaan.
Dan kami telah menuturkan kepada engkau sebelumnya bahwa orang-orang yang membolehkan masalah Tatarrus, mereka telah membatasinya dengan syarat bahwa mashlahatnya mesti dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah.
Ke empat: Bahwa kami tidak menerima -sebagaimana yang disyaratkan oleh kami sebelumnya- bahwa si ghulam itu membunuh dirinya sendiri oleh tangannya sendiri, akan tetapi sebenarnya yang membunuhnya adalah si raja itu dengan tangannya sendiri.
Bila mereka mengatakan: “Si ghulam telah menunjukan caranya…”
Maka kami katakan: Ini bukan masalah yang kita perselisihkan, akan tetapi yang kita perselisihkan adalah seseorang membunuh dirinya dengan tangannya sendiri, bukan dibunuh oleh tangan musuhnya.
Bila kalian ingin meng-qiyas-kan terhadap khabar ini atau berdalil dengannya, maka berhentilah pada batas-batasnya dan jangan kalian melampauinya serta jangan berlaku curang. Qiyas-kanlah terhadap gambarannya secara persis dan bolehkanlah seseorang menunjukkan musuhnya terhadap cara yang dengannya dia membunuhnya untuk merealisasikan dengan hal itu mashlahat kuliyyah qath’iyyah dlaruriyyah, bukan dengan dia membunuh dirinya dengan tangannya sendiri.
Ini andai boleh qiyas terhadapnya dan ber-istidlal dengannya dalam bab ini, sedangkan engkau telah mengetahui dari sisi-sisi yang telah lalu bahwa selain itu adalah penyimpangan.
Ini adalah yang mesti disertakan terhadap masalah ini. Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar Dia mengilhamkan kelurusan kepada kita dan mengarahkan ucapan dan amalan kita pada kebenaran.
Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir.
Dari risalah Husnur Rifaaqah (Masalah ke-7)
Penterjemah: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah

[1] Sebagaimana kami tidak memastikan bagi mereka dan bagi yang lainnya setelah terputusnya wahyu dengan pemestian surga atau kesyahidan. Silahkan dalam hal ini rujuk Shahih Al-Bukhari (Bab Laa yuqalu fulan syahid) akan tetapi kami memohon kepada Allah agar menyampaikan mereka pada kedudukan syuhada. Ini tidak bertentangan dengan perlakuan terhadap orang yang gugur di medan perang (jihad,ed.) dengan perlakuan sebagai syahid, di mana ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan ia dikuburkan dengan pakaiannya karena hukum-hukum dunia diambil dengan dugaan kuat.
[2] H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
[3] Penyandaran kepada Nicholash Machiavelli, penulis kitab Al-Amir dan di antara kaidahnya yang paling masyhur yang ia tetapkan bagi para penguasa dalam rangka mengokohkan kekuasaan mereka (tujuan itu melegalkan sega macam cara)
[4] Saya telah merujuk atsar ini, maka saya telah mendapatkannya ada pada Tarikh Ath-Thabariy 3/290, 294 dari Muhammad Ibnu Ishhaq dan dalam Bidayah Wan Nihayah 6/268, 325 dalam kisah terbunuhnya Musailamah Al-Kadzdzab. Adapun secara musnad, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab As-Sunnah yang ada di penjara –dan memang ia sulit didapatkan di sini-, akan tetapi saya mendapatkannya dalam Sunan Al-Baihaqiy dalam Kitab As-Sair 9/44 di mana ia meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad Ibnu Sirin:  “Bahwa kaum muslimin tiba di benteng yang pintunya terkunci, sedang di dalamnya ada pasukan musyrikin, maka Al-Bara Ibnu Malik duduk di atas perisai, lalu ia berkata “Angkatlah saya dengan tombak-tombak kalian, kemudian lemparkan saya ke tengah mereka”, maka mereka mengangkatnya dan melemparkannya ke tengah mereka dari balik benteng, kemudian mereka (kaum muslimin) mendapatkannya telah membunuh sepuluh orang dari mereka (kaum musyrikin).
[5] Perhatikanlah bahwa masalah dalam kasus ini adalah terbangun di atasnya mashlahat yang besar, yaitu pembukaan benteng yang dirasakan sulit untuk kaum muslimin dan bukan sekedar membunuh beberapa orang kafir yang bisa dibunuh dengan banyak cara. Namun demikian Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm 4/168:  Ats-Tsaqafiy telah mengabari kami dari Humaid dari Musa ibnu Anas dari Anas ibnu Malik bahwa Umar ibnul Khaththab radliallahu’anhu. Bertanya kepadanya:  “Bila kalian mengepung suatu kota, bagaimana kalian bertindak?”Ia berkata: “Kami mengutus seseorang ke kota itu dan kami membuatkan baginya Hannah dari kulit”Umar bertanya:  “Bagaimana kalau ia dilempari dengan batu?” Ia berkata:  “Ya terbunuh tentunya” Umar berkata:  “Jangan kalian lakukan itu, karena demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, saya tidak bahagia, bila kalian membuka suatu kota yang di dalamnya ada 4000 tentara dengan mengorbankan seorang muslim.” Selesai.
[6] Ini berkaitan dengan orang yang tidak pandai berenang
[7]Yaitu mereka menjadikannya sebagai perisai dan tameng yang dengannya mereka membentengi diri dari panah dan tombak kita. Dan gambarannya adalah sama, di mana membunuh jiwa yang ma’shum adalah diharamkan, meskipun ia adalah jiwa orang muslim itu sendiri atau jiwa saudaranya.
[8] Shahih Muslim dengan Syarah An-Nawawi 17/190
[9] Dari Fathul Bari Kitab Al-Jihad (Bab Ahli Ad-Daar Yubayyatun Fa Yushaabu Al-Wildan Wadz-Dzarariy)
[10] Ikrimah adalah seorang tabi’in dan bukan sahabat, jadi hadits ini mursal.
[11] Perlu diperhatikan bahwa muqatil dalam istilah fuqaha adalah lebih khusus dan lebih tepat dari (muharib), karena seluruh orang kafir di darul harbiy adalah kafir harbiy, akan tetapi tidak semua  berstatus muqatil . Ucapan kami dalam lembaran-lembaran ini sebagaimana yang engkau lihat bukan khusus prihal Yahudi, akan tetapi ia umum mencakup seluruh musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.
[12] Kritikan-kritikan kami terhadapanya dengan gambaran tersebut adalah suatu hal, sedangkan kebatilan dan kerusakan amalan adalah hal lain. Ketidakbolehan atau pengharaman adalah hukum taklifiy, sedangkan kebatilan dan kerusakan adalah hukum wadl’iy dan sudah diketahui perbedaan antara keduanya di kalangan ulama ushul fiqh, sedangkan tidak setiap larangan menuntut kerusakan dan kebatilan.
[13] Silahkan rujuk Shahih Muslim <Bab Perang Khaibar> Kisah pembunuhan ‘Amir ibnul Akwa’ terhadap dirinya sendiri. Pedang yang ia miliki pendek, lalu ia mengayunkannya ke betis orang Yahudi untuk menebasnya, namun pedangnya terpental, sehingga mengenai lutunya sampai akhirnya ia meninggal dengan sebab itu…
Dalam hadits itu ada ucapan Salamah:  “Mereka mengklaim bahwa ‘Amir terhapus amalnnya” dan dalam satu riwayat:  “Mereka mengatakan:  “Batal amalan ‘Amir, ia telah membunuh dirinya sendiri” ”Dalam riwayat lain  Salamah berkata:  “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang takut untuk menshalatkan dia, mereka mengatakan “Orang yang mati dengan senjatanya sendiri” ”Maka Rasulullah saw bersabda:  “Salah, orang yang mengatakan itu, sesungguhnya dia mendapatkan dua pahala”
Perhatikanlah rasa ngeri para sahabat dari hal ini, rasa takut mereka dari mendo’akannya dan kekhawatiran mereka dari keterhapusan amalannya, karena ia membunuh dirinya sendiri dengan tanpa sengaja..!! Maka bagaimana dengan orang yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja?? Dari itu engkau mengetahui bahwa masalahnya tidak enteng dan tidak cukup di dalamnya ucapan yang hanya sekedar bermodal semangat dan perasaan, namun harus dengan ucapan ‘ilmiyyah yang kokoh.
[14] HR. Muslim dalam Shahihnya dari Ummul Mu’minin Aisyah radliallahu’anha no. 1718

KEBERLEPASAN KAUM MUWAHHIDIEN DARI PERJANJIAN DAMAI PARA THAGHUT DAN JAMINAN KEAMANAN MEREKA UNTUK KAFIR HARBI


Oleh: Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi

Alih Bahasa: Abu Sulaiman


Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah.
Semenjak dua hari yang lalu dan setelah ‘amaliyah jihadiyah (operasi jihad) yang dilakukan dua mujahid (Anas Al Kandariy dan Jassim Al Hajiriy) semoga Allah menjadikan keduanya bagian Asy Syuhadaa Al Abraar, berdatangan kepada saya pertanyaan-pertanyaan yang banyak dari Kuwait dan yang lainnya seputar apa yang muncul dari banyak orang yang intisab kepada ilmu dan pengajaran ilmu syar’i, juru ceramah, dakwah salafiyah dan harakah islamiyah lainnya berupa kecaman, hujatan penilaian batil dan penganggapan dosa serta pengingkaran terhadap apa yang dilakukan oleh kedua mujahid yang hebat ini. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar melimpahkan rahmat kepada keduanya dan menjadikan keduanya dalam jajaran Asy Syuhadaa Al Abraar.
Saya telah membaca dan menelaah ucapan yang menjijikkan yang mengeluarkan bau ta’shilat jahilliyyah (pengambilan sandaran padanya bersifat jahiliyah), dan didalamnya terkandung pembauran, talbis antara al haq dengan al batil, serabutan, pencampuradukan dan penyetaraan nash-nash syari’at dengan teks-teks undang-undang, serta penjinakan bahkan pembancian dien dan nash-nash syari’at ini dan menjadikannya sebagai pijakan untuk kepentingan-kepentingan para thaghut dan auliya mereka dari kalangan penyembah salib.
Pencampur-adukan yang disengaja yang bahagia dengannya kaum sekuler, mulhid dan kuffar sehingga media massa-media massa menyebar kekafiran, kefasikan dan kebejatan yang tidak pernah memuat (tulisan) ahluddien kecuali sedikit saja. Dan hanya mengkhususkan selamanya dalam penerbitan kekafiran, ilhad, perolok-olokan terhadap dien ini dan pemeluknya serta berbisnis dengan menyebarkan pornografi dan cabul, ia segera memuat pernyataan-pernyataan, penegasan-penegasan dan fatwa-fatwa itu berulang kali dan berkali-kali dan atas lisan para masyayikh dari berbagai kelompok pemikiran dan ittijah yang beraneka ragam karena hal itu sejalan dengan kepentingan-kepentingan hidup duniawi mereka yang serba ada, dan membela-bela auliya mereka yang kafir dan menjadikan mereka itu sebagai ahlu shulhin wa ‘ahdin wa aman (orang-orang kafir yang memiliki ikatan perdamaian, perjanjian, dan jaminan kemanan), serta menjadikan setiap mujahid fi sabiilillah sebagai para perusak, teroris, orang bodoh dan perusuh….
Dan sebagai bukti atas apa yang telah saya utarakan, saya akan menuturkan sebagian dari apa yang telah sampai kepada saya dari hal itu, dan saya meyakini bahwa di baliknya akan terus ada tambahan yang mengalir. Alur pemikiran inhizamiy inbithahiy (yang kalah dengan realita sehingga mengikuti opini umum yang mau hidup selalu nyaman) ini telah bertambah dan beranak di negeri kita, dan pada akhirnya terbongkar kebusukan dan kebobrokan setiap di dengar panggilan untuk berjihad di negeri kita ini…
Doktor ‘Ujail An Najmiy berkata: “Haram menyakiti atau menghinakan atau menganiaya dengan membunuh dan tindakan yang lebih rendah dari itu terhadap orang masuk ke negeri kaum muslimin dengan ridho mereka!! Dan dalam selain kondisi perang di antara mereka!! Dan sungguh para ulama mujahidin telah menetapkan dengan sepakat bahwa darah kaum muslimin dan non muslim adalah ma’shum, yaitu tidak boleh aniaya terhadapnya, karena landasan ‘Ishmah (ketejagaan darah) pada diri mereka adalah al Islam dan al aman (jaminan kemanan), sehingga dianggap ma’shum darahnya orang muslim dan dzimmiy!! serta orang yang memiliki perjanjian dan perdamaian antara dia dengan kaum muslimin,  sebagaimana ia keadaan Kuwait !! dan Negara-negara dunia Islam dengan selainnya!! siapa yang masuk negeri ini dengan jaminan kemanan walau dia itu berkebangsaan Negara yang memerangi, maka darahnya ma’shum selama jaminan keamanan itu berlaku, sedangkan izin masuk (visa) itu dianggap sebagai jaminan kemanan. Sehingga orang-orang yang berada di negeri kita adalah ma’shum darahnya, maka tidak boleh aniaya terhadap mereka dan terhadap harta mereka, dan barangsiapa membunuh seseorang di antara mereka secara sengaja, ia seperti membunuh yang lainnya secara sengaja. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al Maidah: 32)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang membunuh (kafir) mu’ahid maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Al Bukhariy). Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka Allah haramkan surga atasnya.” (HR An Nasaai dan Ahmad) dan ia adalah hadits shahih.
Kedua pemuda yang telah berani membunuh tentara Amerika ini adalah telah melakukan pembunuhan sengaja dan dalam hal seperti ini tidak bisa diterima pentakwilan!! Atau klaim ijtihad!! Karena ini adalah nyleneh dalam pendapat yang tidak boleh istihlal (penghalalan) darah dengan sebabnya…!!
Sungguh kami berangan andaikata kedua pemuda ini mendapatkan mati syahid yang shahih di bumi Afghanistan atau Sarajevo di mana predikat syahid di sana tidak ada kesamaran!! Dan adapun perbuatan mereka ini maka hukumnya yang dhahir adalah apa yang telah kami sebutkan, dan adapun maslah batinnya maka itu diserahkan kepada Allah, karena dialah yang mengetahui keadaan mereka dan rahasianya!
Dan Menteri Keadilan!! Serta Menteri Wakaf dan Urusan Islam Ahmad Baqir menganggap tragedi penembakan terhadap pasukan AS sebagai perbuatan tidak syar’I!! Dan tidak mengemban kepentingan Kuwait!! serta kepentingan umat ini, seraya mengisyaratkan bahwa pasukan AS ini datang untuk melindungi Kuwait!! Dan terdapat di antara kita dengan mereka perdamaian, perjanjian koalisi dan kesepakatan keamanan!!.
Dan Baqir menuntut pentingnya mengejar setiap orang yang telah merancang dan melaksanakan serangan itu dan menyeretnya ke meja hijau!! Karena perbuatan itu ditolak secara syari’at dan Undang-Undang!!
Dan Baqir menambahkan seraya berkata: “Kami percaya pada kemampuan aparat keamanan dalam upaya sampai pada hakekat sebenarnya!! Siapapun para pelaku itu atau apapun organisasinya” seraya mengisyaratkan bahwa kami mengetahui metode jama’at-jama’at Islamiyah di Kuwait, sehingga ini bukan metode mereka, sedangkan apa yang terjadi adalah hal yang direncanakan dengan cara rahasia!! Sedang jama’ah-jama’ah Islamiyah di Kuwait melakukan aktivitas secara terang-terangan!! Dan dengan cara terbuka serta lewat Majelis Rakyat!! Juga lewat media massa dan siaran/jalur-jalur yang syar’i (sah)!!sembari mengisyaratkan bahwa andaikata Jama’ah-jama’ah Islamiyyah itu menentang suatu hal, maka sesungguhnya dia akan melakukan penentangannya dengan cara terang-terangan, dan tidak pernah muncul dari jama’at-jama’at Islamiyah atau wakil-wakil mereka di Majelis Rakyat itu sedikitpun penentangan terhadap kesepakatan-kesepakatan keamanan!! Bahkan sebaliknya seluruh anggota Majelis menyuarakan dan dengan ijma’ terhadap kesepakatan-kesepakatan keamanan!!
Dan Baqir menutup pernyataannya seraya mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini merupakan cerminan pendapat-pendapat ganjil tertutup dan terselubung yang wajib dibongkar!!
Khalid Sulthan Al ‘Isq berkata: “Sesungguhnya perbuatan ini adalah tertolak dan tidak bisa diterima secara syar’i!!terutama sesungguhnya Negara telah memberikan jaminan keamanan buat orang-orang Amerika di dalam Kuwait!! Sehingga tidak boleh aniaya terhadap mereka!! Sedangkan ini bukanlah cara untuk berta’amul (berinteraksi) dengan manusia!!karena kita tidak dalam kondisi berperang dengan mereka!!sehingga mengganggu mereka di negeri kita, ini adalah tidak boleh!! Dan perbuatan ini akan mempersulit pemerintah Kuwait!
Dan Sulthan mengakhiri dengan ucapannya: “Tidak ada jalan bagi kami kecuali mengatakan bahwa kami mengecam perbuatan semacam ini yang tidak pernah kami kenal di Kuwait!!.
Adapun Abdul Aziz Al Haddah, maka dia telah berdalil dalam pengecamannya terhadap perbuatan ini dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Siapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah maka dia tidak akan mendapatkan harum surga, dan sesungguhnya harumnya bias didapatkan dari jarak perjalanan 70 tahun” !! Dan hadits ini menempatkan kaum mukminin pada posisi sulit dari sebab pelanggaran dzimmah Negara Islam ini!!!yang mengikat perjanjian dengan orang mana saja di atas dienul Islam, sedangkan apa yang terjadi kemarin di Felka adalah perbuatan yang sangat kami kecam, dan ia bukan dari dienullah sama sekali!!”
Sebagaimana harakah salafiyah mendorong pemerintah untuk mengekang/menahan diri, dan Doktor Hakim Al Muthairiy Sekjen Harakah salafiyah menghati-hatikan dari pemanfaatan kejadian  dan kritikan pihak-pihak luar terhadap jama’ah-jama’ah Islamiyah Kuwait yang dikenal moderat, terutama sesungguhnya hal ini biasanya menimbulkan dan memecah barisan!! Sedangkan waktu yang sulit ini menuntut gandeng tangan dan bersatu di satu lembah. !!!
Dalam pernyataan Jami’ah Ihyauts Tsurat setelah kejadian: “Sungguh kami sangat menyayangkan!! Kuwait yang damai menyaksikan tragedi terorisme! yang menganiaya terhadap orang-orang yang mu’min di negeri ini, padahal mereka memiliki bersama Kuwait ikatan perjanjian dan perdamaian!!” Dan mereka menguatkan kecamannya terhadap tragedi ini dan mensifatinya bahwa ia “tidak diakui oleh syari’at dan diharamkan oleh ajaran Islam yang lapang!!” Dan pernyataan menambahkan bahwa, “para tentara AS itu memiliki perjanjian di kita! Dan mereka telah diberi jaminan kemanan dari pemerintah Kuwait sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan bersama!! seraya berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 34)
Dan mereka berkata, “Sesungguhnya perbuatan ini bertentangan dengan kepentingan Kuwait dan penduduknya, serta ia itu adalah iftiat (kelancangan)!!terhadap pemerintahnya dan para pemimpinnya!!!” dan pernyataan berkata: “seandainya setiap orang yang ingin memprotes suatu hal atau ingin mengingkari kemungkaran, dia memikul senjata, tentulah keamanan lenyap !! dan kita berada dalam kekacauan yang tidak diketahui ujungnya kecuali oleh Allah!! Kuwait itu adalah Negara yang memiliki undang-undang yang mengaturnya!! Dan wajiblah atas orang yang hidup di atas tanah ini untuk menghormati undang-undangnya, perjanjiannya dan piagam-piagamnya !!” selesai dari Jarridah al Wathan Kamis 4 Sya’ban 1423 H.
Isa Majid Asy Syahin Sekjen Harakah Dusturiyah!! Islamiyyah (Gerakan Penggodokan Undang-Undang Dasar Islam) mengungkapkan dalam penjelasannya tentang perasaan pilu dan menyayangkan!terhadap terjadinya penganiayaan terhadap pasukan AS di pulau Felka, dan dia menampakkan pengecamannya terhadap penganiayaan ini yang mana ia adalah bukti pembangkangan terhadap pilar-pilar pemerintahan dan undang-undang Kuwait!!!serta mengancam keamanan dan ketenteraman dalam negeri. Dan dia mengajak seluruh lapisan dan elemen masyarakat untuk bersatu padu dalam upaya serius dan bertanggung jawab demi menjaga persatuan nasional !!! dan menjadikan keamanan nasional sebagai tujuan terpenting dan mashlahat tertinggi, terutama dalam kondisi-kondisi yang menegangkan di kawasan (Teluk) ini. Dan dia menguatkan atas sikap bara’ah perjalanan gerakan Islam di Kuwait dari uji coba-uji coba individu semacam ini yang tertolak!!karena dakwah dengan  cara terbaik dan moderat dengan usul dan perbaikan lewat jalur-jalur politik dan undang-undang !! adalah manhaj harakah Islamiyah dengan berbagai alur pemikirannya.
Dan di akhir penjelasannya si sekjen itu mengajak agar mensikapi penganiayaan ini (memprosesnya) sesuai dengan dasar-dasar undang-undang dan agar reaksi tidak keluar dari aturan yang sudah ditentukan demi menjaga kepentingan-kepentingan nasional yang tertinggi dan kesatuan barisannya serta kekuatan keamanannya.” Dari Jandah Al Wathon, Kamis 4 Sya’ban 1423 H.
Dan dalam koran itu juga: “Juru bicara atas nama Harakah Islamiyah Salafiyah di Kuwait Abdurrazzaq Asy Syayiji mengecam operasi itu seraya menguatkan bahwa keberadaan armada pasukan AS di Kuwait adalah syar’iy (sah)!!!”
Dan saya memprediksikan bisa mendapatkan selain nama-nama ini yang telah saya lihat, dari kalangan munhazimin (yang merasa kalah dengan realita) yang berlomba-lomba dalam mengecam, mengingkari dan bara’ dari ‘amaliyah itu.
Saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberkahi operasi-operasi jihad ini dan menambah di dalamnya, sungguh keterbongkaran rahasia itu telah terjadi pada orang-orang yang mana para pemuda terkecoh dengan mereka.
Dan bagaimanapun keadaannya saya tidak akan merinci dalam penjelasan saya di sini tentang apa yang ada dalam statemen-statemen ini berupa ungkapan rendahan dan bodoh, seperti ucapan mereka tentang kejadian ini.
“(Tidak mengemban kepentingan Kuwait)” ini adalah Khithab KUWAITI (ucapan atas dasar kebangsaan Kuwait) dan bukan Islami, maka saya tidak akan (buang-buang waktu untuk membantahnya).
“(Dan bahwa pasukan AS datang untuk melindungi Kuwait)” ini sama juga, dan di dalamnya terkandung manipulasi terhadap hakekat sebenarnya, di mana dunia semua mengetahui dan apalagi orang-orang Kuwait sebagaimana di dalam media-media massa mereka dan siaran berita mereka bahwa pasukan AS tidak datang kecuali untuk memerangi Irak yang telah diboikot/dikepung selama 10 tahun dan yang sekarang tidak mampu dari mengancam Kurdi di sebelah utara dan Rafidhah di sebelah selatan, dan apalagi dari mengancam Kuwait!! Mereka datang untuk menghancurkannya dan mereka tidak perduli seandainya dalam merealisasikan tujuan ini mereka menghancurkan rakyat Irak seluruhnya sebagaimana yang mereka lakukan di Afghanistan.
Dan juga ucapan mereka (dan pentingnya mengejar setiap orang yang merancang dan melaksanakan operasi ini serta menyeretnya ke meja hijau karena perbuatan ini tertolak secara syari’at dan Qanun), ini adalah ajakan untuk menyeret kaum mujahidin kepada hukum thaghut dan mahkamah-mahkamah mereka!! dan di dalamnya terjadi penyaudaraan yang jelas antara syari’at dengan undang-undang, dan pembauran (penyetaraan) yang nyata dan sengaja akan syari’at Allah bersama undang-undang buatan yang mana penyetaraan semacam itu ditolak oleh binatang ternak sekalipun, apalagi oleh orang yang mengklaim diri dengan dakwah, ilmu, ustadz (professor) dan Islam…
Dan juga ucapannya (“Kami percaya akan kemampuan aparat keamanan dalam upaya sampai pada hakekat sebenarnya), di dalamnya terdapat tazkiyah bagi Anshar para thaghut dan tugas-tugas kufur mereka, dan dia pura-pura buta dari kedhaliman-kedhaliman mereka, kegelapan-kegelapannya, serta kabatilannya yang sangat panjang.
Dan ucapan mereka (“Jama’ah-jama’ah Islamiyah di Kuwait, ini bukan metode mereka, dan apa yang terjadi adalah hal yang dirancang dengan cara rahasia), seolah sirriyah (perahasiaan) dan penunaian keperluan dengan cara sembunyi-sembunyi yang diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah aib dan perbuatan tercela yang mana orang-orang dungu itu berlepas darinya!!
Oleh sebab itu mereka mengatakan: (Dimana jama’ah-jama’ah Islamiyah di Kuwait melakukan aktivitas di terang cahaya dan cara terang-terangan serta lewat Majelis Rakyat!! media massa dan jalur-jalur syar’i (resmi)!!)  dan telah kami jelaskan dalam kitab kami  “Ad Dimuqrathiyyah Dienun” dan yang lainnya status Majelis Rakyat mereka ini, dan kami menjelaskan bahwa aktivitas amal lewat jalurnya adalah ‘amal dalam kegelapan, kekafiran dan kmusyrikan bukan dalam cahaya!! Sebagaimana yang mereka klaim, dan bukan termasuk sama sekali dalam jalur-jalur syar’i Islam, bahkan ia tergolong comberan-comberan syirki thaghuty. Dan bagaimanapun keadaannya sesungguhnya mereka memaksudkan dengan jalur-jalur syar’iy di sini adalah syar’iy (resmi) dari sisi dustur (peraturan) dan Qanun (undang-undang)!! Inilah aturan dan syar’iy (resmi) menurut jumhur mereka. Jadi klaim mereka berada di satu lembah sedang tauhid ada di lembah lain.
Oleh sebab itu mereka mengatakan sesudah itu: [Dan tidak pernah muncul dari jama’ah-jama’ah Islamiyah atau para wakilnya di Majelis Rakyat suatu penentangan pun terhadap kesepakatan-kesepakatan keamanan itu bahkan sebaliknya semua anggota majelis masyarakat dan dengan ijma’ (aklamasi) bersama kesepakatan-kesepakatan keamanan], dan oleh karena itu ia adalah syar’iy menurut mereka !!
Dan ucapan mereka: [Sesungguhnya perbuatan-perbuatan macam ini mencerminkan pendapat-pendapat yang ganjil, terselubung dan tersembunyi yang wajib dibongkar]. Adapun keinginan-keinginan thaghut (thaghut-thaghut) mereka yang kufur dan ganjil sera keinginan-keinginan mereka bangsa Amerika maka wajib ditambal dan ditutupi. Dan siapa yang berkomentar tentang keinginan-keinginan mereka yang ganjil lagi terang-terangan yang mencolok maka ia adalah khowarij, takfiri katakan minimal dia itu orang yang dengki terhadap negeri dan kekayaannya!! Yang tak punya keinginan kecuali mengghibah Wulaatul Umuur (para ulil amri) !!!
Dan ucapan mereka [Dan perbuatan ini akan menyulitkan pemerintahan Kuwait], perhatikan pernyataan yang tegas akan keberatan mereka dari jihad, maka di mana letak orang-orang dungu itu dari firman Allah Ta’ala:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa: 65).
Dan ucapan mereka: [Dan ia mengajak agar ta’aamul (bersikap) dengan penganiayaan ini terjadi sejalan dan kaidah-kaidah undang-undang dan agar reaksi balik tidak keluar dari relnya yang sudah di gariskan], perhatikan keseriusan mereka terhadap batasan undang-undang, adapun batasan Allah maka tidak ada yang menangisinya!!
Dan ini sebagaimana yang mereka katakana: [Demi menjaga kepentingan-kepentingan nasional yang tertinggi, kesatuan barisannya dan kekuatan keamanannya], dan serupa dengannya ucapan mereka [Dan pada masa sekarang yang genting ini menuntut bersatu padu dan berkumpul di satu parit], ini adalah TAUHID KAUM NASIONALIS dan bukan tauhid kaum muslimin, dan telah saya jelaskan keborokannya dalam risalah saya Al Farqul Mubin Baina Tauhidin Wathoniyyin Wa Tauhidil Muslimiin.”
Dan ucapan mereka [Sesungguhnya perbuatan ini berbenturan dengan kepentingan Kuwait dan penduduknya serta bahwa ia adalah ifti’at (kelancangan) terhadap pemerintahnya dan wulatul umur!!! (di sana], Perhatikanlah bagaimana mereka menjinakkan lafadz-lafadz syar’iy untuk kepentingan para thawaghit dan menghujamkannya di muka kaum mujahidin. Dan demi Allah seandainya engkau bertanya kepada kambing-kambing Alu Shobah atau yang lainnya dari kalangan thaghut hukum di negeri kita: “Apakah mereka pernah mendengar sesuatu yang namanya ifti’at terhadap mereka??, tentulah mereka tidak paham dari kamu hal itu, dan tentu mereka mengiramu berbicara dengan bahasa bukan arab akan tetapi para ruhban (pendeta) itu mengambil dari ucapan fuqoha syari’at ini tentang Wulatul Umur Asy Syar’iyyin (pemimpin yang sah); suatu yang dengannya mereka mentarqi status pemimpin mereka yang berlandaskan qanun lagi musyrik…. Semoga Allah memberikan apa yang setimpal bagi mereka.
Dan seperti itu pula kandungan orang yang berdalil dengan hak-hak ahludz dzimmah!! Dan dengan ancaman terhadap orang yang membunuh seseorang dari ahludz dzimmah!! Dan orang yang memuthlaqkan di antara mereka ‘ishmah ahlul kitab secara umum!!! Maka semua ini adalah kedungguan dan jahl murokkab. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah: 29).
Memerangi ahlul kitab adalah disyari’atkan bahkan diperintahkan dan tidak ada dzimmah bagi mereka kecuali bila hal itu diberikan kepada mereka oleh imam yang muslim yang berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan setelah mereka tunduk di bawah hukum Allah, membayar jizyah dan komitmen dengan ketundukan!!! Sekarang apakah penguasa kalian wahai para pendeta seperti itu??? dan apakah pasukan Amerika tunduk di bawah hukum Allah, membayar jizyah, dan komitmen dengan ketundukan…. Atau justru mereka mengharuskan penguasa kalian dan Negara-negara kalian untuk tunduk? Dan mereka mengambil jizyah dari pemerintah kalian serta mengharuskannya? Dan mengharuskan kalian untuk tunduk untuk mengikuti aturan-aturan mereka ?? maka ENYAHLAH dan ENYAHLAH….!!!
Dan karena itu kalian katakan: [Kuwait adalah Negara yang memiliki undang-undang yang mengaturnya!], ia adalah undang-undang yang mana orang-orang kafir membawa kalian untuk memberlakukannya dan untuk meninggalkan pemberlakuan syari’at Allah!! Dan telah saya jelaskan keadaan UU ini, asalnya, perkembangannya, dan sumber-sumbernya, serta apa yang dikandungnya berupa kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas secara rinci dalam kitab saya: Kasyfun Niqab ‘an Syari’atil Ghab.”
Dan mereka berkata: [dan sewajibnya atas orang yang hidup di negeri ini untuk menghormati Qawaninnya, perjanjian-perjanjiannya dan piagam-piagamnya] Perhatikanlah orang-orang yang intisab (mengaku/mengklaim diri) kepada dien ini bagaimana mereka berbicara tentang Wajibat Qanuuniyyah dan membaurkannya dengan wajibat syar’iyyah!!
Dan hal serupa (dan ia mengungkapan tentang berbagai perasaan pilu dan sakit karena terjadinya penganiayaan terhadap pasukan AS, dan ia mengutarakan kecamannya, karena penganiayaan ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap dasar-dasar hukum dan undang-undang Kuwait, serta ancaman terhadap keamanan dan ketenteraman negeri. Dan ia mengajak seluruh elemen kekuatan masyarakat untuk bersatu padu dalam upaya yang serius dan bertanggung jawab demi menjaga persatuan nasional dan menganggap kemanan tanah air sebagai tujuan paling penting dan mashlahat paling tinggi) (dan melakukan perbaikan lewat jalur-jalur politik dan undang-undang!! Adalah Manhaj Harakah Islamiyah dengan beraneka ragam arah pemikirannya).
Pembauran yang panjang ini tidaklah cukup lembaran ini untuk merinci bantahan terhadapnya, dan ia bukanlah materi pembicaraan kita di sini, karena para pelontar ucapan-ucapan tadi butuh untuk kembali mempelajari makna “Laa Ilaaha Illallah”, dan mereka memahami konsekuensi-konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya, sedang hal itu telah kami jelaskan dan kami rinci di tempat lain, maka silakan rujuk ke sana. Orang yang ingin betul memperbaiki diennya di antara mereka.
Tapi saya di sini akan berbicara tentang syubuhat mereka yang satu dan yang inti yang mereka utarakan seputar operasi (jihad) ini, yaitu tentang: Keberadaan orang-orang AS itu sebagai Mu’ahidin yang telah masuk negeri kaum muslimin dengan (jaminan) keamanan, oleh sebab itu sesungguhnya darah dan harta mereka haram lagi ma’shum lagi tidak halal disentuh. Dan setelah itu mereka menuturkan ayat-ayat yang mendorong untuk menunaikan janji serta ayat-ayat dan hadits-hadits ancaman terhadap pelanggaran dzimmah dan jaminan keamanan serta pelanggaran perjanjian dan jaminan, mereka mengutarakannya dengan pengutaraan yang tidak sesuai dengan realita yang ada, sehingga mereka keluar dengan hasil kesimpulan yang buruk rupa lagi korengan yang intinya: Bahwa para penjahat bangsa Amerika yang memerangi (Islam) itu adalah aman di negeri kita, terjaga darah dan hartanya lagi dilindungi oleh tentara negeri ini dan undang-undangnya. Adapun kaum mujahidin maka mereka itu mujrimun muharibun mufsidun yang menebar kerusakan di muka bumi yang wajib dikejar oleh tentara negeri dan diseret kepada undang-undangnya!!
Dan fatwa bisa saja keluar –sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya- untuk memberlakukan had hirabah kepada para mujahidin itu, sehingga wajiblah!! Mereka dibunuh atau tangan dan kaki mereka dipotong secara silang!!
Syubuhat ini selalu didengung-dengungkan ulama-ulama sesat pembawa pondasi yang rusak yang membuahkan pemahaman yang menyimpang ini, karena kerusakan furu’ adalah hasil pasti dari kerusakan ushul sebagaimana yang sering kami jelaskan.
Oleh sebab itu mesti memberikan muqaddimah yang penting untuk mengetahui al haq dalam kejadian apapun pada realita kita ini:
Pertama     :  Meluruskan ushul yang dihancurkan pada mereka itu agar terbangun setelahnya bangunan yang baik bagi orang yang ingin membangun…, sebagaimana pepatah (tetapkan dulu yang akan diukir, kemudian silakan mengukir, kalau tidak maka ukiranmu keluar dengan cacat)
Kedua       :   Bahwa untuk keabsahan fatwa tidaklah cukup sekedar mengetahui nash syar’iy, karena ini adalah separuh ilmu yang dengannya si mufti bisa tepat dalam fatwanya, sedangkan separuh lainnya adalah mengetahui waqi’ (realita) dan hakikat kejadian yang mana dalil-dalil syar’iy akan diterapkan padanya.
Ibnul Qoyyim rahimahullah, berkata dalam I’lamul Muwaqi’in 1/49: (Mufti dan hakim tidak memungkinkan mengeluarkan fatwa dan putusan dengan al haq kecuali dengan dua macam pemahaman :
Pertama:  Mengerti akan waqi’ dan paham tentangnya serta istinbath ilmu hakekat apa yang terjadi dengan qarinah-qarinah, tanda-tanda dan ciri-ciri sehingga pengetahuan tentangnya menyeluruh.
Kedua:     Mengerti hukum syar’i yang wajib bagi waqi’ itu, yaitu memahami hukum Allah yang mana dia memutuskan dengannya dalam kitabnya atau lewat lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waqi’ ini,
terus menerapkan salah satunya kepada yang lainnya).
Inilah cara fatwa yang benar. Ilmu itu ada dua : Ilmu akan waqi’ dan ilmu akan dalil syar’iy, sedangkan orang-orang itu telah menuturkan dalil-dalil syar’iy yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya, dan mereka membuat banyak cabang yang di bangun di atas cabang yang rusak besar lagi menyesatkan.
Karena sesungguhnya perjanjian (kesepakatan) menyeluruh terhadap negara-negara yang mengharuskan orang muslim (untuk memegangnya) dan tidak boleh baginya mencorengnya atau melanggarnya, serta tepat mengena terhadapnya ancaman ayat-ayat dan hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai dalil tidaklah dilangsungkan kecuali dari pihak imam kaum muslimin yang syar’iy, sedangkan mereka itu telah menjadikan dari kalangan thaghut murtaddin dan para penguasa kafir lagi musyrik sebagai wulatul umur yang syar’iy yang kepadanya mereka memberikan hak-hak dan kewenangan-kewenangan para imam yang syar’iy, sehingga dengannya mereka sesat dan menyesatkan.
Para ulama muhaqqiqin kita telah menuturkan bahwa pemerintahan-pemerintahan yang bercokol di atas kekuasaan di negeri kaum muslimin dan para penguasanya pada hari ini adalah tidak ragu akan kekafiran mereka kecuali orang yang Allah telah hapus bashirohnya dan Allah telah butakan dari cahaya wahyu, seperti mereka itu.
Karena sesungguhnya kekafiran mereka itu beraneka ragam dari berbagai pintu:
  • Mereka kafir dari pintu tasyri’ (pembuatan hukum) di sisi Allah suatu yang tidak Allah izinkan, dimana UUD local mereka dan piagam-piagam internasional mereka baik tingkat regional atau PBB atau Liga Arab dan yang lainnya menegaskan bahwa milik merekalah hak tasyri’ (pembuatan hukum) secara muthlaq, yaitu mereka dan wakil-wakil mereka atau dewan (lembaga) legislative mereka dan DPR mereka. Ini adalah hal  yang baku lagi terkenal dalam materi-materi dan teks-teks Undang-Undang serta UUD mereka yang kafir, tidak ada ang mendebat di dalamnya kecuali orang jahil yang tidak mengetahuinya atau orang yang pura-pura tidak tahu yang tidak ingin mengetahuinya, sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman: “Apakah tuhan-tuhan yang cerai-berai itu lebih baik atau Allah Yang maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Yusuf : 39)
  • Mereka kafir dari pintu ketaatannya terhadap para pembuat hukum –baik yang regional, internasional maupun yang lainnya- dan sikap mereka iitiba’ terhadap hukum-hukum/ UU mereka yang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan Telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu Karena Sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu Berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka.” (QS. Muhammad: 25-26)
  • Ini tentang orang yang berbicara kepada orang-orang kafir: “kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan,” maka bagaimana halnya dengan orang yang patuh dan menyerahkan kendalinya kepada mereka, kepada perintah-perintah mereka, metode-metode mereka, qawanin mereka da hukum-hukum mereka serta berkata : “kami akan mentaati kamu dalam banyak urusan, atau kami akan mentaati kamu dalam semua urusan”, dan mereka menyerahkan pengendalian mereka kepada para pembuat hukum dan kepada para thaghut serta menerima hukum-hukumnya dengan sepenuh hati??
  • Mereka kafir dari pintu tawalli mereka kepada Nashara, kaum musyrikin, dan murtaddin, melindunginya dan membelanya dengan tentara, senjata, harta dan ekonomi, bahkan mereka telah mengadakan bersama mereka kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian nushrah (pembelaan dan pertolongan) dengan jiwa, harta, lisan dan senjata melawan mujahidin muslimin, kemudian mereka tawalli kepadanya dengan tawalli yang sebenarnya, padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” (QS. Al Maidah: 51)
  • Dan mereka kafir dari sisi persaudaraan mereka dengan kaum kafir timur dan barat, menjalin kasih sayang dengannya dan mencintainya, sedangkan Allah Ta’ala berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al Mujadilah: 22).
Dan ini bukan termasuk takfir dengan hal-hal bathin dan ‘amalan-amalan hati, akan tetapi dengan ‘amalan-‘amalan dan ucapan yang dhahir lagi shorih, karena sesungguhnya mereka berbangga-bangga dengan persaudaraan dan jalinan kasih sayang ini, mereka menegaskannya dan menampakkannya dalam setiap kesempatan sedangkan media pemberitaan mereka sangat sarat dengan hal itu.
  • Mereka kafir dari pintu sikap mereka memerangi Auliyaa Allah serta membela dan membantu kaum musyrikin terhadap mereka. Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang munafiq, yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu,’ dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al Hasyr: 11).
Perhatikanlah bagaimana Allah mengkafirkan (mencap kafir) terhadap orang yang menjanjikan kepada kaum musyrikin –walaupun janji dusta- untuk membantu mereka terhadap kaum muslimin, dan DIA menjadikannya sebagai bagian ikhwanul musyrikin. Maka bagaimana dengan orang yang menjalin bersama mereka kesepakatan-kesepakatan nushroh dan mudhoharoh atas kaum muwahhidin, serta memang dia membantu mereka terhadapnya dengan informasi keamanan, harta, pelatihan senjata, pengejaran, pembunuhan atau penjara, memejahijaukan dan menyerahkan?? Mereka kafir dari pintu imtina’ (penolakan) dari ajaran Islam ini, seperti penolakan terhadap Al Hukmu bi maa Anzalallah, penelantaran terhadap  faraidh (fardhu-fardhu/kewajiban-kewjiban) dan pengharaman wajibat syar’iyyah (pelarangan terhadap kewajiban-kewajiban syari’at) seperti pelarangan melarang jihadul kuffar dan istihlal yang harom dengan pemberian izin untuknya, melindunginya, menjaganya, bermufakat serta bersepakat atasnya, seperti lembaga-lembaga dan gedung-gedung riba, kebejatan dan zina dan muharromat lainnya. Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan harom itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syetan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At Taubah: 37)
  • Mereka kafir dari sisi perolok-olokan terhadap dienullah serta pemberian izin bagi orang-orang yang memperolok-olok, melindungi mereka dan membuatkan undang-undang yang memberi izin (ruang) bagi mereka  dan memudahkan  hal itu  bagi mereka, baik lewat Koran atau televisi dan radio atau yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”  Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. Jika kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At Taubah : 65-66)
Dan pintu-pintu kekafiran yang nyata lainnya yang mereka terjatuh ke lembahnya dan masuk di dalamnya baik secara bergerombol-gerombol maupun sendiri-sendiri. Dan sertiap pintu dari pintu-pintu ini di dasarkan pada ratusan bahkan ribuan dalil dari ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan pernyataan-pernyataan mereka.
Adapun dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa ia adalah pintu-pintu yang mengkafirkan maka ia lebih masyhur dari sekedar didebat oleh para pendebat, dan ini bukan tempat pemaparannya, namun yang dimaksud dari hal itu adalah isyarat yang cukup bagi orang yang berakal dan memberinya tahu bahwa pemerintahan-pemerintahan yang ada ini adalah thaghut yang diikuti dan ditaati selain Allah Ta’ala.
Dan bila tidak diketahui bahwa penguasa negeri kaum muslimin pada hari ini bukanlah penguasa yang muslim dan bukan wulatul umur yang syar’iy (sah), maka diketahuilah bahwa kekuasaan mereka yang dipaksakan atas kaum muslimin ini tidaklah sah sama sekali dan batil, dan tidak boleh bagi mereka memiliki jalan (untuk) menguasai kaum muslimin serta tidak halal bagi mereka menggunakan dzimmah kaum muslimin di antara bangsa-bangsa dan negara-negara, dan bila mereka melakukannya maka dzimmah (jaminan) mereka itu bukan dzimmzh kaum muslimin dan perjanjian-perjanjian mereka tidak berlaku kaum mujahidin.
Mereka itu di samping sebagai para penguasa pengkhianat yang tidak memiliki keinginan kecuali kepentingan-kepentingan tahta mereka, perut mereka dan kekayaan mereka serta mereka tidak bisa dipercaya atas kepentingan rakyat sehingga mereka bisa mewakili kaum muslimin dan menggunakan dzimmah mereka; maka hakekat mereka juga adalah sebagai para penguasa Kafarroh Musyrikin dan Thaghut Musyarri’in yang wajib atas setiap muslim untuk menentang mereka dan mencopot mereka saat mampu melakukan itu dan saat tidak mampu dia wajib untuk kafir terhadap mereka serta berlepas diri dari undang-undang mereka, aturan-aturan mereka dan perjanjian-perjanjian mereka, semua ini termasuk konsekuensi-konsekuensi tauhid dan wajibat Millah Ibrahim. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya saat mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahannah: 4).
Firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah”.
Yaitu dari kalian dan dari berhala-berhala kalian, falsafah-falsafah kalian dan aturan-aturan kalian yang batil lagi menyelisihi dienul Islam..Baroa’ah yang menjadi konsekuensi millah Ibrohim bukan terbatas pada sikap baro’ah dari kaum musyrikin saja, namun di antara hal itu juga baro’ah dari ajaran-ajaran mereka, undang-undang kafir mereka, perjanjian-perjanjian mereka, dan aturan-aturan mereka yang mempersaudarakan antara kaum muslimin dengan kuffar dan menggugurkan jihad serta mencap kaum mujahidin sebagai para penjahat dan kaum teroris:
“Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukku lah agamaku.” (QS. Al Kafiruun).
Kami sebagaimana kafir terhadap para thaghut itu dan kami taqorub kepada Allah serta mencari ridho-Nya dengan membenci mereka, memusuhinya, dan menjihadinya, maka begitu juga kami berlepas diri dari ajaran-ajaran mereka yang syirik, undang-undang buatan mereka dan piagam-piagam  mereka yang batil lagi bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam,dengan  bentuk pengharamannya akan jihad, mempersudarakannya bahkan menjadi boneka, dan mau tunduk di bawah perwalian orang-orang kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Maka ia adalah thaghut dan syaroo’iy (ajaran-ajaran) yang bertentangan dengan ajaran Islam lagi berdiri di atas dasar-dasar persaudaraan di antara mereka, bahkan ia bersandarkan pada hubungan loyalitas, umalaa (sebagai boneka), khianat, dan taba’iyyah (ikut-ikutan) yang menyatukan antara para budak dengan tuan-tuannya.
Oleh sebab itu, perjanjian-perjanjian dan piagam-piagam ini tidak berarti bagi orang muslim kecuali hal itu, dan tidak boleh baginya untuk tunduk kepadanya atau menghormatinya atau mengakuinya tanpa dipaksa.
Sungguh saya telah lemparkan kepada mereka perjanjian yang telah mereka ikat sebagai pengkhianatan dan penelantaran. Dan menunjukkan atas hal itu juga dengan jelas hadits yang diriwayatkan Al Imam Ahmad, An Nasaai, dan Abu Dawud: “Orang-orang mukmin itu setara darah-darahnya dan mereka itu satu tangan atas selain mereka, serta bisa mengupayakan dzimmah (jaminan) mereka orang yang paling rendah di antara mereka.”
Sedangkan para thaghut itu bukanlah tergolong kaum muslimin sebagaimana yang telah diketahui; bukan tergolong kalangan khusus kaum muslimin dan bukan pula tergolong orang yang paling rendah di antara mereka secuilpun, akan tetapi mereka tergolong bagian kaum yang mereka tawalli terhadapnya dari kalangan kuffar muharibin, sebagaimana yang telah Allah kabarkan dalam firman-Nya:
“Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maidah: 51)
Ya, sesungguhnya dia itu tergolong mereka dan bukan tergolong kaum muslimin!! Dan atas dasar ini maka kita tidak terikat dengan perjanjian-perjanjian, piagam-piagam dan jaminan keamanan mereka buat orang-orang kafir.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughniy 8/398: [Dan tidak sah jaminan keamanan yang diberikan orang kafir meskipun dia itu dzimmiy karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dzimmah (jaminan) kaum muslimin itu satu, ia diupayakan oleh orang paling rendah di antara mereka.” Nabi menjadikan dzimmah bagi kaum muslimin, maka tidak bisa terbukti bagi selain mereka, karena dia itu tertuduh atas Islam dan pemeluknya sehingga dia menyerupai harbi.”
Perhatikanlah, sesungguhnya ucapan ini tentang kafir dzimmiy yang bukan harbi, maka apalagi kafir harbi. Sedangkan engkau telah mengetahui bahwa para thaghut yang berkuasa di negeri kaum muslimin itu adalah kuffar muharibun yang dengan kekuatan menolak syari’at dan dari memberlakukannya. Dan telah kami rinci hal ini, dan kami menjelaskannya sebagai tambahan serta kami utarakan dalil-dalil atas hal itu di tempat lain. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan (menguasai) orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 141).
Pemimpin yang kafir tidak memiliki hak untuk menguasai kaum muslimin dan muwahhidin, dan tidak boleh kekuasan diserahkan kepada mereka (kafirin), dan andaikata orang kafir memegang kekuasaan itu dengan paksa, maka hal itu tidak menjadikan keputusan-keputusannya, perintah-perintahnya, kesepakatan-kesepakatannya serta perjanjian-perjanjiannya sebagai hal yang syar’iy (sah) yang harus dipegang kaum muslimin. Dan tidaklah akan berpendapat selain hal ini orang yang mengetahui dienul Islam.
Dan di antara konsekuensi kufur terhadap thaghut adalah bara’ah dari aturan-aturannya, kesepakatan-kesepakatannya dan perjanjian-perjanjiannya. Sedangkan orang kafir tidak berhak mengharuskan kaum muslimin untuk terikat dengan perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatannya. Dan seandainya hal itu mengikat kaum muslimin, tentulah kaum mujahidin harus terikat dengan perjanjian-perjanjian Karzai bersama auliyaa dia yang kuffar, dan tentulah kaum muslimin harus terikat di Rusia dengan perjanjian-perjanjian dan piagam-piagam kesepakatan kaum komunis bersama musuh-musuh kaum muslimin, serta tentu pula kaum muslimin terikat dengan perjanjian-perjanjian, piagam-piagam dan kesepakatan-kesepakatan para penjajah terhadap negeri mereka, di masa penjajahan bangsa Barat, sedangkan setiap orang mengetahui bahwa kaum mujahidin tidak pernah komitmen dengannya, sebagaimana kaum muslimin hari ini di Palestina tidak terikat dengan perjanjian-perjanjian Yahudi yang berkuasa secara paksa, dan begitu pula halnya dengan perjanjian-perjanjian, piagam-piagam dan Qawanin para penguasa murtad yang memerangi dien ini yang diakui oleh majelis-majelis dan parlemen-parlemen mereka yang syirik. Maka sesungguhnya ia tidak mengikat kaum muslimin yang kafir terhadap mereka, dan terhadap parlemen-parlemen dan qowanin mereka yang kafir.
Bahka penguasa muslim yang berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan dan yang memiliki penguasaan atas kaum muslimin, dia tidak bias memaksakan kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjiannya terhadap orang-orang yang tidak berada di wilayah kekuasaan politiknya dari kalangan kaum muslimin, maka apa gerangan dengan para penguasa kafir dan kesepakatan-kesepakatan mereka??
Dan ini ditunjukkan secara jelas oleh apa yang diriwayatkan Al Bukhori dalam Kitab Asy Syuruth dari Shahihnya pada bab: (Asy Syuruth fil Jihad wal Muhsolahah Ma’a Ahlil Harbi). Dan intinya, kisah Abu Bashir r.a. dan apa yang ia lakukan tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengembalikan dia bersama dua utusan Quraisy karena landasan butir perjanjian beliau dengan Quraisy dalam shulhul hudaibiyah, terus Abu Bashir malah membunuh salah seorang dari dua utusan itu, kemudian dia mendatangi daerah Saiful Bahri (dan tinggal di sana). Kemudian tidak keluar dari Quraisy seseorang yang telah masuk Islam melainkan bergabung dengan Abu Bashir, sehingga terkumpulah satu komplotan dari mereka itu, setiap kali mereka mendengar kafilah dagang Quraisy keluar menuju Syam maka mereka membegalnya, mereka membunuhnya dan merampas hartanya.
Dan sisi pengambilan dalil darinya adalah bahwa Abu Bashir tidak terikat dengan perjanjian yang terjadi antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  dengan Quraisy dan ia tidak diikat dengan jaminan keamanan yang diberikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap mereka dan utusannya. Dan andaikata ia terikat dengan sesuatu dari hal itu tentulah Quraisy menuntut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diyat laki-laki ‘amiriy yang dibunuh Abu Bashir, dan terus mereka minta ganti rugi kepada Nabi apa yang diambil Abu Bashir dari perniagaan dan kafilah mereka setelah itu, akan tetapi mereka tidak melakukan apapun dari hal itu, karena Abu Bashir tidak berada dalam wilayah politik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saat beliau mengikat perjanjian dengan Quraisy.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 5/351: [Dan dalam kisah ini terdapat banyak faidah, (di antaranya) kebolehan membunuh orang musyrik yang menganiaya secara ghilah (dengan tipu mushlihat/penculikan/mencari kelengahan) dan apa yang terjadi pada Abu Bashir tidaklah dianggap pengkhianatan, karena ia tidak tergolong orang yang telah masuk dalam perjanjian yang terjadi antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Quraisy, karena saat itu dia tertahan di Mekkah…]. Berkata: [dan faidah lain bahwa orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan Abu Bashir maka tidak ada qishosh dan tidak ada diyat atasnya….]. dan [dan darinya sebagian muta’akhirin mengambil istimbath bahwa sebagian raja-raja kaum muslimin umpamanya kalau mengikat perdamaian dengan sebagian raja-raja syirik, terus kaum musyrikin itu diserang raja lain dari kaum muslimin, dia membunuhi mereka dan merampas harta mereka maka hal itu boleh bagi dia karena perjanjian raja (muslim) yang dilakukan dengan mereka tidak mengikat orang yang tidak mengadakan perjanjian dengan mereka….].
Dan yang kalian katakan ini telah dituturkan Ibnul Qayyim dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dimana beliau berkata dalam Fawaidh Fiqhiyyah dari Shulhul Hudhaibiyah dalam Zaadul Ma’ad : [dan di antaranya bahwa orang yang mengajak damai bila mereka telah mengajak damai imam terus sekelompok orang dari mereka keluar kemudian memerangi mereka dan merampas harta mereka dan tidak bergabung kepada imam, maka tidak wajib atas imam menahan mereka darinya dan menghalang-halanginya dari (menyerang) mereka, dan sama saja mereka itu telah masuk dalam akad imam, perjanjiannya dan diennya ataupun belum masuk. Sedangkan perjanjian yang terjadi antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Quraisy adalah bukanlah perjanjian antara Abu Bashir dan para sahabatnya dengan mereka. Dan atas dasar ini, bila sebagian raja kaum muslimin memiliki perjanjian dengan sebagian ahludz dzimmah dari kalangan Nashara dan yang lainnya maka bolehlah bagi raja lain dari raja-raja kaum muslimin untuk memerangi mereka dan merampas harta mereka bila tidak ada perjanjian antara dia dengan mereka, sebagaimana yang difatwakan syaikhul Islam Taqiyyuddien Ibnu Taimiyyah –semoga Allah sucikan ruhnya- tentang Nashara Malthiyyah dan menawan mereka seraya berdalil dengan kisah Abu Bashir terhadap kaum musyrikin] selesai 3/309.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni 8/464: [kita hanya bias menjamin keamanan mereka dari (gangguan) orang yang ada di darul Islam yang di bawah kekuasaan Imam. Adapun orang yang ada di negeri mereka dan orang yang tidak berada dalam kekuasaan imam maka ia tidak dihalangi darinya…. Oleh sebab itu tatkala Abu Bashir membunuh orang yang datang untuk mengembalikannya (ke Mekkah) maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya dan tidak menyuruhnya membayar ganti rugi, dan tatkala ia , Abu Jandal dan teman-temannya memisahkan diri dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shulhul Hudaibiyyah, terus mereka membegal Quraisy, membunuh orang-orang mereka dan mengambil hartanya, maka Nabi tidak mengingkari hal itu dan tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan apa yang telah mereka ambil dan tidak pula (menyuruh) ganti rugi atas apa yang mereka lenyapkan. Selesai.
Maka kaum muslimin yang tinggal di bawah kekuasaan politik para thaghut yang dipaksakan dan Negara-negara kafir mereka, terutama para mujahidin yang selalu dikejar-kejar dan diperangi para thaghut dan auliyaa mereka bangsa Amerika, tidak ada antara mereka dengan para thaghut itu perwalian, justru peranglah yang terjadi di antara mereka dan (genderangnya) selalu ditabuh para thaghut atas mereka. Oleh sebab itu mereka tidak terikat dengan perjanjian-perjanjian dan piagam-piagam para thaghut itu selama kekuasaan mereka itu kafir lagi dipaksakan dan tidak sah dan tidak ikhtiyary, dan selama mereka (para) mujahidin tidak merasa aman di dalamnya terhadap keselamatan jiwanya, darahnya, hartanya dan diennya,  maka mereka juga tidak mendapat jaminan keamanan dari para thaghut dan auliyaa mereka, dan dari itu bagaimana mereka memberikan jaminan keamanan kepada musuh-musuh mereka dengan jaminan keamanan musuh-musuh mereka ?? Bahkan mereka menjadi sasaran penggerebekan rumahnya oleh para thaghut dan anshornya, penggeledahan, penteroran orang-orang yang ada di dalamnya, pencidukan dan penjeblosannya ke penjara atau bahan sasaran tuduhan-tuduhan dusta, hukuman mati atau penyerahannya kepada kaum salibis di setiap saat malam dan siang. Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin” (An Nisa: 141) adalah ucapan pemutus dalam hal itu.
Adapun wilayah dieniyah (kepemimpinan agama) mereka maka termasuk pembatal keislaman bila seorang muslim masuk secara sukarela di bawah kepemimpinan agama orang kafir… Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (QS. Ali Imran: 28).
Dan atas dasar ini, maka sudah pasti bahwa setiap orang yang mengumumkan baro’ahnya dari kekuasaan para thaghut dan dari kepemimpinan politik dan agama mereka, serta memusuhi mereka sehinga ia berada di pihak selain pihak mereka dan di blok selain blok mereka; adalah dia itu baro’ dari piagam-piagam, perjanjian-perjanjian dan undang-undang mereka, seperti keadaan para mujahidin yang kafir terhadap thaghut di setiap tempat yang mana mereka baro’ dari para thaghut dan para thaghut pun baro’ dari mereka dan menyatakan perang terhadapnya serta mereka membantu kuffar atas para mujahidin itu dan atas setiap muwahid yang menempuh jalan jihad yang mereka sebut terror karena ikut-ikutan terhadap penyebutan ikhwan mereka yang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
Dan dari itu maka sungguh telah nampaklah dan dengan jelas bahwa termasuk sikap ngawur yang nyata dan talbis yang jelas serta kejahilan yang terbuka klaim bahwa kaum salibis Amerika itu mu’ahidin (orang kafir yang mengikat perjanjian dan bahwa apa yang dilakukan kaum  mujahidin berupa sikap menjihadi mereka dan para koalisinya adalah pelanggaran dan pengkhianatan akan perjanjian, dan bahwa penuturan hadits-hadits ancaman terhadap orang yang membunuh seorang mu’ahid untuk melarang sikap menjihadi mereka atau untuk mengharamkan sikap menghadang mereka di belahan bumi mana saja sebagaimana yang dilakukan para pendeta pemerintah (ulama pemerintah), ia pada hakekatnya adalah tergolong dusta terhadap dienullah dan talbis terhadap hamba-hamba Allah.
Dan tidak ada halangan dalam rangka menambah pengetahuan kaum muslimin (saya) dalam kesempatan ini memperkenalkan definisi tentang darul harbi dan hakekat daulah muharibah (negara yang memerangi) serta membedakan antara kafir muharib dengan ghoiru muharib, serta di mana posisi Amerika dalam hal itu semua.
Ketahuilah bahwa darul harbi atau daulah harbiyah adalah setiap darul kufri (negeri kafir) yang tidak ada antara ia dan daulah islamiyyah (Negara Islam) perjanjian/dzimmah/aman (jaminan keamanan). “perhatikanlah ucapan kami “Islamiyyah”, bukan yang mengaku Islam secara palsu, karena kerusakan furu’ adalah hasil pasti dari kerusakan ushul…
Ini adalah definisi darul harbi dan daulah muharibah, maka daulah kafiroh itu tidak mesti dia itu terjun langsung memerangi kaum muslimin atau membantu musuh kaum muslimin atas mereka agar dikatakan darul harbi atau daulah muharibah. Maka bagaimana bila memang terjun langsung memerangi kaum muslimin seperti Amerika hari ini??. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita/rahasia-rahasia) Muhammad, karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (QS. Al Mumtahannah: 1).
Dan firmanNya Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahannah: 9).
Dan setiap orang yang memiliki pengetahuan akan dienullah dan sedikit dari realita Amerika, kebijakan politiknya, sokongannya terhadap Israel, dukungannya bagi Yahudi atas kaum Muslimin, bantuannya bagi para thaghut Arab dan yang lainnya atas kaum Mujahidin dengan penculikan, pembunuhan, dan penyerahan, permusuhannya dan genderang perangnya terhadap Islam dan kaum Muslimin, memenjarakan ulama kaum muslimin dan mujahidin serta dukungan mayoritas rakyatnya terhadap kebijakan-kebijakan politik ini.; di mana pemilihan presiden tidak dilakukan kecuali dengan nampak dan jelasnya permusuhan si presiden terhadap kaum muslimin dan genderang perangnya terhadap mereka. Maka ia mengetahui secara meyakinkan bahwa ia adalah Negara kafir harbi yang terjun langsung dan bahwa rakyatnya adalah rakyat yang muharib (kafir harbi).
Bagaimana (tidak) sedangkan Bush si musuh Allah telah mengumumkannya kepada dunia seluruhnya, dan menegaskan bahwa apa yang dia lakukan hari ini terhadap kaum muslimin di Afghanistan bahkan terhadap kaum mujahidin di seluruh dunia dengan sokongan dan bantuan kaki tangannya dari kalangan thaghut bumi ini; adalah PERANG SALIB YANG NYATA!! Dan rakyat Bush bertepuk tangan dan dukungan rakyatnya pun meningkat terhadapnya sebagaimana yang dituturkan media-media massa mereka. Silakan lihat sebagaimana contoh Koran New Weika edisi 68 tanggal 25 September 2001 M dan koran-koran lainnya.
Dan mereka menegaskan sebelum memulai penyerangannya bahwa diantara tujuan terpenting penyerangan mereka di afganistan adalah mengikis habis mujahidin yang mereka sebut para teroris dan menjatuhkan dan menjatuhkan pemerintahan thaliban serta menempatkan pemerintahan lain pengganti yang terdiri dari koalisi yang bias diterima oleh orang-orang kafir, yang penting bagi mereka adalah menggulingkan pemerintahan Islam dan menempatkan pemerintahan sekuler sebagai pengganti darinya yang loyal terhadap Amerika dan yang lainnya dari kalangan kaum salib dan kuffar. Dan inilah yang memang telah mereka realisasikan, dimana mereka datang dengan membawa Karzai Al Amrikiy (yang keamerikaan) hati dan prilakunya setelah mereka menghujani afganistan dengan 72 bom dan rudal, dan membunuh 25 ribu orang afganistan dari akibat penyerangan amerika ini !! kemudian orang-orang dungu dari kalangan pendeta penguasa berkata: “Bangsa Amerika itu mu’ahidin!! dan mereka mengancam para pemuda mujahid bahwa siapa yang membunuh seorang mu’ahid maka dia tidak mendapat harum surga.!! Enyahlah bagi akal-akal itu, karena sesungguhnya ia demi Allah telah mencoreng badan.
Angkatan perang amerika berada di negeri kita sebagai pasukan penjajah dan bukan sebagai individi-individu yang masuk kenegeri kita dengan jaminan keamanan. Sedangkan orang yang masuk negeri kaum muslimin dengan perjanjian atau jaminan keamanan adalah wajib menghormati hukum-hukum mereka dan mau mengikuti hukum mereka serta tidak mencela dien mereka, sedangkan bangsa amerika siang malam mencela dien kita dan Rasul kita yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum kafir mu’ahid:
“Jika mereka merusak sumpah (janjinya) sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (Qs. At-Taubah : 12).
Ini tentang kaum mu’ahidin, maka bagaimana dengan selain mereka dari kalangan muharibin??. Dan Dia Ta’ala berfirman:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah: 4).
Perhatikan firman-Nya Ta’ala: “Dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu”. Para ulama telah menuturkan bahwa mudhaharah yang membatalkan perjanjian terbukti bila muncul dari kaum mu’ahidin terhadap orang yang memerangi kaum muslimin walau dengan saran dan nasehat, maka bagaimana bila ia telah menjadi perang yang diumumkan diseluruh belahan bumi dan dengan seluruh cara dan senjata??? “dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) mud an tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu.”
Ini adalah syarat-syarat yang tidak dilirik dan tidak disebutkan serta tidak dianggap oleh para pendeta penguasa yang mengatakan bahwa diantara kita dengan amerika itu ada perjanjian dan piagam, dan seolah perjanjian-perjanjian yang diklaim itu bersifat abadi yang tidak bisa terputus dan tidak bisa batal sama sekali !! termasuk andaikata mereka mencela dien kita dan membantu yahudi atau yang lainnya untuk memerangi kita dan memerangi dien kita dengan harta dan senjata, dan termasuk andaikata mereka menjajah kita dan menjadi pemimpin kita!!.
Ibnul ‘Arabiy berkata dalam Ahkamul Qur’an dalam tafsir firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji itu.” (Dia memerintahkan memenuhi janji terhadap orang yang masih memegang perjanjian sampai batas waktunya) 2/888. Ini tentang kaum mu’ahidin yang syar’iy … maka bagaimana bila perjanjian itu tidak syar’iy dan tidak muncul dari pemimpin yang sah??.
Pasukan AS dinegeri kaum muslimin tidak melakukan kegiatan kecuali dengan perintah-perintah para komandan mereka dan mereka berbuat sebagai pasukan pendudukan dan sebagai para tuan yang berkuasa; - tidak seperti apa yang di klaim oleh orang-orang yang terlena lagi merasa kalah – sebagai tamu-tamu yang diberi jaminan keamanan. Dan bukti terkuat atas hal ini adalah apa yang diberitakan oleh harian Ar Ro-yul ‘Aam Kuwait setelah kejadian itu langsung tanggal 11/10/2002 m, dimana teks beritanya : (kejadian terjadi jam 11:30 pagi, akan tetapi orang-orang AS tidak membolehkan pasukan keamanan Kuwait atau termasuk para penanggung jawab keamanan di kedubes AS atau kepada pihak-pihak berwenang di pangkalan AS di dauhah untuk masuk ke TKP (tempat kejadian perkara) dan ikut serta dalam penelitian sebelum jam 3:30 setelah dhuhur. Dan jawaban-jawaban para pihak berwenang pasukan AS di jazirah adalah bahwa mereka mendapatkan perintah-perintahnya dari pusat komando mereka di Bahrain dan bukan dari pihak lain!!  Bahkan masalahnya sampai pada sikap ancaman mereka terhadap satu kelompok pasukan militer Kuwait yang unggin membantu dan ikut serta (mengamankan) setelah kejadian, dengan (ancaman) tembakan kepadanya bila tidak menyerah).!!
Orang-orang miskin itu menurut para pendeta busuk adalah mu’ahidin lagi mendapat jaminan keamanan, dan siapa yang membunuh seorang dari mereka maka tidak akan mendapat aromanya surga !!
Hai kaum, armada perang AS bertebaran dan membuat pangkalan-pangkalannya di setiap tempat dari bumi-bumi dan negeri-negeri kaum muslimin walaupun diluar keingginan pemerintah-pemerintah murtad dan yang membuka amerika serta yahudi dinegeri kaum muslimin. Mereka menyebar di negara-negara teluk seluruhnya dan di jazirah  Arab, di Yordania, di Bahraim, di laut merah, di laut tengah, di Samudra Hindia, di Utara Irak, di Turki, di Afganistan, Kawasan Asia Tenggah, Filipina, dekat pantai-pantai Yaman dan Somalia, sedangkan mereka itu menopang yahudi, membela dan membantunya dengan ketegasan dan terang-terangan dan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, berupa hak veto, senjata, harta, dan pelengkapan perang, serta mengumumkan di hadapan dunia internasional Quds adalah Ibukota, mereka menangkap kaum mujahidin di setiap belahan bumi ini, mereka mengkhususkan tempat untuk memenjarakan dan menyiksa mereka suatu pulau di Guantanamo, mereka menyertakan FBI dan CIA-nya dalam penyelidikan kaum mujahidin termasuk di negeri mereka, mereka kerahkan armada perangnya siang malam untuk menginvasi Irak dan menghancurkan rakyatnya!! Kemudian kaum munhazimun (yang kalah karena takut) dan para pendeta mereka menyatakan: Sesungguhnya itu bukan perang terhadap Islam!! Orang-orang amerika itu datang untuk menjaga kita dan mereka itu adalah tamu-tamu yang seyogyanya kita jamu serta mereka itu adalah orang-orang yang memiliki perjanjian dan jaminan keamanan, dari itu siapa yang membunuh seorang tentara AS maka ia tidak mencium bau surga!!!
Sungguh Bush telah menyatakan terang-terangan di hadapan dunia seluruhnya bahwa perang ini adalah perang salib.
Dia berkata dalam pidatonya tentang keadaan koalisi pada tanggal 29 Januari 2002 m dan yang terjemahannya diterbitkan dalam Koran Al Khalij edisi 8300 tanggal 25 Dzul Qa’dah 1422 H yang bertepatan dengan 8  Februari 2002 M : Setelah dia memberikan kabar gembira dengan jatuhnya Thaliban di Afghanistan dan terbebasnya wanita-wanita Afghon –sebagaimana yang dia klaim- dari purdah-purdahnya, dia berkata : “Sesungguhnya di hadapan kita adalah jalan yang panjang yang mesti kita tempuh di banyak negara-negara Arab dan Islam, dan kita tidak akan berhenti sampai setiap orang Arab dan muslim dilucuti dari senjata!!, klimis wajahnya!!, tidak taat beragama!!, berdamai dan mencintai Amerika!! wajah isterinya tidak ditutupi cadar !!, dan saya berniat mempergunakan seluruh sumber daya kita untuk merealisasikan hal itu sebelum pemilihan saya untuk masa kepresidenan yang kedua kali. Selesai.”
Sebagaimana “Condoleeza Rice” penasehat keamanan nasional yang mengumumkan bahwa Washington menginginkan untuk “menjadi kekuatan pembebas yang mengupayakan dirinya untuk membebaskan dunia Islam”
Jadi peperangan pada hakekatnya adalah peperangan antara Islam dengan kekafiran, serta genderang perang terhadap setiap mujahid yang berupaya membawa kejayaan ummat dan diennya.
Namun demikian berkata orang yang seperti binatang ternak atau lebih sesat: “Bangsa Amerika itu mu’ahidin, dan siapa yang membunuh orang AS maka ia tidak mendapat aroma surga!!!”. Enyahlah dan mampuslah….!
Ini semuanya kami sebutkan sebagai tambahan dalam pembuktian atas sikap mereka memerangi Islam dan kaum muslimin dan untuk memberitahu orang-orang dungu dari kalangan manusia tentang kebusukan fatwa-fatwa dan penjelasan-penjelasan kaum munhazimin dan para pendeta penguasa. Dan kalau bukan untuk itu sesungguhnya kami tidak perlu terhadap hal itu, dan cukuplah bagi kami secara syari’at sebagaimana yang telah lalu bahwa setiap negara yang tidak ada antara dia dengan kaum muslimin perjanjian atau dzimmah, maka ia termasuk dalam cakupan penamaan darul harbi atau daulah muharibah sebagaimana ia dalam definisi orang-orang yang kokoh dalam ilmu, maka bagaimana bila hal itu ditambah dengan apa yang telah kami tuturkan dan yang lainnya yang tidak cukup lembaran-lembaran ini untuk menjelaskannya??
Dan saya memandang bahwa termasuk hal penting adalah mengingatkan setiap muslim dan mujahid di penghujung ucapan saya ini kepada dua hal penting yang membukakan baginya lapangan-lapangan yang banyak dan luas dalam menjihadi musuh-musuh Allah:
Pertama: Bahwa medan jihad dan perang melawan musuh yang muharib itu TIDAKLAH TERBATAS PADA BELAHAN BUMI YANG DIINVASI ATAU DIDUDUKINYA DARI NEGERI-NEGERI KAUM MUSLIMIN, akan tetapi kafir muharib ini diperangi, dihalalkan darah dan hartanya di setiap belahan bumi dan kapan pun di dapatkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menjumpai mereka!” (QS. Al Baqarah: 191).
“Apabila sudah habis bulan-bulan harom itu maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu menjumpai mereka dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian!” (QS. At Taubah: 5).
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir di sekitar kamu itu dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 123).
“Dan perangilah orang-orang musyrik itu semuanya, sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 36)
Kedua: Bahwa sekutu / koalisi orang harbi adalah diperlakukan sama seperti perlakuan terhadap kafir harbi itu.
Dan siapa yang membatasi jihad di wilayah tertentu yang diduduki musuh atau membatasinya kepada negara harbi tertentu dan ia mengecualikan selain mereka dari kalangan kafir harbi atau orang-orang yang membantu mereka; maka dia telah mempersempit sesuatu yang luas dan dia TIDAK PAHAM syari’at jihad yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, serta dia tidak mengetahui perlakuan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya terhadap kaum kafir harbi dan sekutu-sekutu / koalisi / aliansi mereka.
Kitab-kitab fiqih telah merinci masalah ini dan menjelaskannya dengan gambling dan ia adalah hal yang ma’ruf lagi ma’lum dalam dienul muslimin, bahkan dalam kamus kaum kuffar sekalipun. Thaliban tidak menginvasi Amerika, namun demikian Amerika bersikukuh untuk menyerang mereka dan menjatuhkan pemerintahannya serta menggantinya dengan pemerintahan yang loyal terhadapnya. Dan timbul darinya pembunuhan terhadap ribuan kaum muslimin yang sipil di sana, dari kalangan anak-anak, wanita, lansia, dan yang lainnya dengan tuduhan memberi tempat bagi Thaliban dan mendukung mereka terhadap orang-orang yang mereka namakan sebagai kaum teroris dari kalangan mujahidin muslimin !!
Bahkan mereka telah melampaui batas itu, di mana si musuh Allah “Bush” bahwa masalah dalam perang ini tidak bisa dipalingkan (dibancikan); “orang yang tidak bersama Amerika dan koalisinya maka ia berarti bersama teroris!!” maka serta merta para penguasa murtad seluruhnya di negeri kita menyatakan keberpihakan mereka di barisan Amerika, pasrah dan tunduk kepadanya dan kepada politik-politikya serta menyatakan perang terhadap segala apa yang memiliki kaitan –walau dalam khayalan- terhadap jihad dan mujahidin.
Masalahnya jelas lagi nyata, hatta menurut musuh-musuh kita sendiri, akan tetapi dien kaum munhazimin dari kalangan ulama fitnah tidak mau kecuali betah kepada dunia dan terpecundang, mengecam dan menutup setiap jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat dan ketinggian diennya. Ini padahal sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukka bahwa  anggota koalisi itu memiliki hukum dengan koalisinya. Dan bahwa medan perang melawan kaum muharibin itu tidak terbatas di wilayah yang mereka duduki, adalah sangat banyak dan tidak cukup tempat ini untuk memuatnya. Dan saya telah menyebarkan dua masalah ini dan perjanjian para thaghut serta ketidakmengikatannya hal itu terhadap kaum muslimin, dan saya merincinya dalam risalah saya “Ar Ramhiyyah” dan di sini saya cukupkan dengan dua hadits darinya.
Pertama: Dari Umran Ibnu Hushain berkata: Tsaqif adalah koalisi Banu ‘Uqail, kemudian Tsaqif menawan dua orang dari sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menawan seorang laki-laki dari bani ‘Uqail dan mereka mendapatkan “’adlba” (unta) bersamanya, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya sedangkan dia diikat, dia berkata : “ada apa?” Dia berkata : “dengan sebab apa kamu menawan saya, dan dengan sebab apa sabiqotul hajj (kendaraan haji) diambil?” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata sebagai penganggapan besar terhadap hal itu : “Saya menawanmu dengan sebab pelanggaran koalisi kamu Tsaqif.” Kemudian beliau pergi darinya, maka orang itu memanggilnya : “Hai Muhammad, Hai Muhammad.” Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah orang yang penyayang lagi lembut. Maka beliau kembali kepadanya terus berkata : “ada apa?’ Ia menjawab: “Sungguh saya muslim (masuk Islam)”. Beliau berkata : “andaikata kamu mengucapkannya saat kamu masih memiliki dirimu (bebas tidak ditawan) tentulah kamu beruntung sekali.” …. Akhirnya dia ditebus dengan dua orang (sahabat yang ditawan)… (HR. Muslim)
Faidah di dalamnya: bahwa halif (koalisi/sekutu) kafir muharib hukumannya sama dengan kafir muharib itu. Faidah lain di dalamnya, bahwa kafir muharib dan sekutu-sekutunya ditangkap dan dijihadi di mana saja. Dan faidah lain juga bahwa kafir muharib atau sekutunya bila mengaku Islam setelah ditangkap tidaklah hal itu merubah sedikitpun dari urusannya, berbeda halnya seandainya dia masuk Islam dan menjauhi pembatal-pembatal dien ini sebelum ditangkap.
Kedua: Maka diriwayatkan Muslim juga dalam kabar perang Dzi Qird dari Iyas Ibnu Salimah dari ayahnya, dan inti cerita yang diambil darinya: …Tatkala kami berdamai dengan penduduk Mekkah, dan sebagian kami berbaur dengan sebagian yang lain, saya mendatangi suatu pohon terus saya membersihkan duri-durinya, kemudian saya berbaring di pangkalnya. Ia berkata: tiba-tiba mendatangi saya empat orang dari kaum musyrikin dari penduduk Mekkah, terus mereka mencerca Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka saya benci terhadap mereka, kemudian saya pindah ke pohon lain dan mereka menggantungkan senjatanya terus berbaring.  Saat mereka dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada yang berteriak di bawah lembah: “Wahai kaum muhajirin! Ibnu zanim dibunuh…!.”  Ia berkata:  “Maka saya menghunus pedang saya, terus saya arahkan ke empat orang itu, sedang mereka masih tidur, kemudian saya ambil senjata mereka dan saya jadikan seperti ikatan lidi di tangan saya.” Ia berkata: “Kemudian saya berkata: Demi Dzat Yang memuliakan wajah Muhammad, tidak seorang pun dari kalian mengangkat kepalanya kecuali saya penggal kepalanya.” Ia berkata: “Kemudian saya datang menggiring mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Ia berkata: “Dan pamanku ‘Amir datang membawa seorang laki-laki dari ‘Abalat yang dikenal dengan sebutan Mikraz, beliau menggiringnya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kuda mujaffaf bersama tujuh puluh kaum musyrikin, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memandangi mereka terus beliau berkata: “biarkan mereka, biar permulaan kejahatan terjadi bagi mereka, dan beliau memujinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memaafkan mereka dan Allah menurunkan firmanNya : “Dan DIA-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Faidah di dalamnya: bahwa kaum kafir muharibin, bila sebagian mereka melanggar perjanjian maka mereka dihabisi seluruhnya dengan sebab itu di mana saja mereka berada, dan di mana saja mereka ditemui, di negeri kita atau di negeri mereka dan di medan perang atau di tempat lainnya.
Maka ucapan orang yang mengatakan [sungguh kami berangan-angan andaikata kedua pemuda ini mendapatkan mati syahid di bumi Afghanistan atau Sarajevo, di mana predikat syahid di sana tidak ada kesamaran….]
Adalah ucapan yang hina yang ingin menjauhkan jihad dan pengaruh-pengaruhnya yang terpuji menurut kita dan dibenci oleh mereka dari negerinya, kepentingan-kepentingannya dan dunianya. Dan tidak ada seorang pun yang ‘alim akan dienul islam dan mengerti hukum-hukum jihad, yang mengatakan pembatasan bahwa medan perang dengan kaum harbiyyin dan para penjajah di negeri kita itu hanya di tempat tertentu saja dan tidak di tempat lainnya, namun al haq adalah bolehnya bahkan wajibnya memerangi Yahudi dan orang-orang AS  yang muharib dan sekutu-sekutunya di seluruh belahan bumi hatta walaupun di tanah harom (tanah suci), karena menjihadi mereka adalah jihad deffensif dank arena mereka itu muharibun mu’tadun (yang menganiaya kelewatan) lagi menduduki negeri kaum muslimi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqarah: 191).
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menjumpai kekerasan darimu, dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 123)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu seluruhnya sebagaimana mereka pun memerangi kamu seluruhnya, dan ketahuilah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 36).
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.’ (QS. At Taubah: 14).
Saya memohon kepada Allah Ta’ala untuk menolong hamba-hambaNya yang bertauhid dan memberikan kelapangan bagi tentaraNya yang berjihad serta menghancurkan musuh-musuhNya yang musyrik dan murtad.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi-Nya Muhammad, keluarganya dan para sahabat seluruhnya.
Dan cukuplah Allah bagi kami,
Dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.
Abu Muhammad Al Maqdisi
Sya’ban 1423 H
Penerjemah berkata: Selesai hari Sabtu Sya’ban 1426 H
LP Karawang Blok B III Kamar 6