Rabu, 08 Juni 2011

MILLAH IBRAHIM

MILLAH IBRAHIM
DAKWAH PARA NABI DAN RASUL
SERTA BERBAGAI METODE PARA THAGHUT DALAM MEMANDULKAN DAN MEMALINGKAN PARA DA’I DARINYA

 
PENULIS: ABU MUHAMMAD ‘ASHIM AL MAQDISIY


ALIH BAHASA: ABU SULAIMAN


BARA’AH


Kepada para thaghut di setiap masa dan tempat,
Kepada para thaghut, baik presiden, amir, kaisar, kisra, fir’aun dan raja,
Kepada para tameng mereka dan ulama-ulamanya yang menyesatkan,
Kepada wali-wali mereka, para tentara mereka, aparat kepolisiannya, dinas inteljennya dan pasukan-pasukan pengawalnya… kepada mereka semuanya… kami katakan:
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah.”
Kami…..
Berlepas diri dari hukum-hukum kalian, pedoman-pedoman kalian, undang-undang dasar kalian dan falsafah-falsafah kalian yang busuk….
Kami ….
Berlepas diri pemerintah-pemerintah kalian, mahkamah-mahkamah kalian, lambang-lambang kalian dan bendera-bendera kalian yang najis…
“Kami ingkari (kekafiran) kalian, dan tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kaliam beriman kepada Allah saja.”
Sungguh kan ku perangi selain Mu dan selama Engkau beri aku umur …
Dan sungguh kan kujadikan perang terhadap mereka terus menerus …
Kan ku permalukan di hadapan manusia …
Dan kan ku cabik-cabik kulit mereka dengan lisan ini …
Matilah kalian dengan kegeraman kalian, karena Rabbku tahu …
Akan rahasia kalian dan kebusukan hati …
Allahlah Sang Penolong dien dan kitab-Nya …
Serta (penolong) Rasul-Nya dengan ilmu dan kekuatan …
Sedang kebenaran adalah dinding yang tidak mampu menghancurkannya…
Seorangpun walau kau kumpulkan jin dan manusia untuknya …
(Ibnul Qayyim/Qasidah Nunniyyah)
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Penolong orang-orang yang bertaqwa, dan Yang menghinakan musuh-musuh dien ini…
Shalawat yang paling indah dan salam yang paling sempurna semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Tauladan kita yang mengatakan:

إن الله اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan ku sebagai Khalil (kekasih-Nya) sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim (sebagai khalil)”(1)
Wa Ba’du:
Ini kitab saya “Millah Ibrahim” saya hadirkan kepada para pembaca yang mulia dengan bajunya yang baru ini, setelah ia tersebar dan tercetak serta dicopy berulang-ulang dan dibaca oleh para pemuda di seluruh belahan bumi sebelum saya persiapkan untuk dicetak. Sedang itu sebabnya adalah saya pernah menghadiahkan satu buah darinya dengan tulisan tangan saya kepada sebagian ikhwan kami dari Aljazair dan Pakistan. Dan saat itu ia adalah satu pasal dari kitab yang saya susun tentang “Metode Para Thaghut Dalam Membungkam Dakwah dan Para Du’at” yang mana kondisi waktu dan keadaan berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain menghalanginya dari menyelesaikannya. Maka para ikhwan itu mencetak pasal itu dengan cetakan sederhana yang mereka mampu, namun itulah awal sebab munculnya dan tersebarnya buku ini.
Kemudian tatkala Allah subhaanahu wa ta’ala membebaskan saya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Maka saya langsung mempersiapkan buku ini untuk dicetak terutama setelah saya melihat sepanjang masa penahanan dan keberadaan saya di penjara begitu dahsyatnya kegeraman musuh-musuh Allah terhadap buku ini. Mereka itu setiap kali menangkap seorang ikhwan, pertanyaan yang pertama kali mereka lontarkan terhadapnya adalah tentang kitab ini, apakah ia pernah membacanya? dan apakah ia mengetahui penulisnya?.
Sebagian mereka menyatakan kepada ikhwan yang menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban “Ya”, “Ini cukup untuk menjadikan fikrah kamu jihadi dan kamu memiliki senjata. Setiap kali kami menangkap organisasi bersenjata, maka pasti kami dapatkan buku ini padanya.”
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan buku ini sebagai bagian duri di tenggorokan mereka, ghushshah (sandungan) dalam dada mereka, serta koreng yang berbahaya di hati mereka. Dan saya meminta kepada Allah agar buku ini selalu menjadi kebahagiaan bagi kami, serta selalu menjadi sa’dan (duri) (2) bagi para thaghut.
Semenjak dicetaknya buku ini untuk pertama kali hingga penulisan muqaddimah ini, saya menunggu datangnya nasihat atau tanbih, dan saya juga selalu mencari-cari koreksi atau kritikan dari banyak orang yang selalu menyerang kami, dakwah kami dan kitab kami ini dan apa yang mana mereka itu telah menuduh dan memfitnah kami dengan sesuatu yang tidak pernah muncul dari kami sama sekali… sampai akhirnya salah seorang dari mereka menyampaikan khutbah jum’at di salah satu masjid di Kuwait, dia mengklaim bahwa saya menyatakan bahwa hanya sayalah sendiri pada zaman ini yang berada di atas Millah Ibrahim. Dan dia mengklaim bahwa kami mengkafirkan manusia seluruhnya dia mencap kami sebagai KGB (Khawarij Gaya Baru) serta tuduhan-tuduhan dusta lainnya yang tadi mungkin berpengaruh kecuali atas para pengekor mereka yang buta.
Adapun pencari kebenaran yang mana bashirah mereka bersinarkan cahaya wahyu sesungguhnya mereka ini mengetahui bahwa keadaan kami dengan mereka adalah sepeti apa yang dikatakan oleh seorang penyair
وإذا أراد الله شر فضيلة    طويت أتاح لها لسا ن حسود
“Dan bila Allah ingin menebarkan keutamaan yang tertutup …”
“Maka Dia memberikan kesempatan lisan orang-orang yang hasud untuknya.”
Meskipun panjangnya tenggang waktu semenjak penyebaran buku ini dan meskipun banyaknya lawan dan orang-orang yang dengki serta banyaknya orang-orang yang sering mencela dan mengecam, namun tidak ada yang sampai kepada saya pada tenggang waktu ini satupun bantahan atau kritikan atau catatan-catatan yang serius seputar buku ini. Dan yang sampai kepada saya hanyalah ocehan-ocehan umum dari sebagian orang-orang yang menyelesihi yang mana mereka menukilnya secara lisan dari syaikh-syaikh mereka. Dan inilah inti ocehan itu:
-           Mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah mensifati Ibrahim bahwa ia adalah orang yang pengiba (awwaah) lagi penyantun (halim) karena dia pernah membela-bela kaum Luth yang kafir. Sedangkan ini menafikan permusuhan terhadap mereka yang telah kalian sebutkan bahwa hal itu tergolong hal-hal yang baku dalam millah ini.
-           Dan mereka berkata (sungguh aneh apa yang mereka katakan): Sesungguhnya kita diperintahkan untuk mengikuti jalan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan millahnya. Adapun Millah Ibrahim maka itu adalah tergolong syari’at orang-orang sebelum kita, sedangkan syari’at orang sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita.
-           Dan mereka berkata: Sesungguhnya ayat Al Mumtahanah yang disebutkan di dalamya Millah Ibrahim adalah Madaniyyah. Ia turun di fase di mana kaum muslimin memiliki daulah (negara), terus mereka menyimpulkan bahwa Millah Ibrahim yang agung ini hanya ditampakkan dan diikuti saat adanya daulah.
-           Mereka berkata juga: Sesungguhnya hadits tentang penghancuran patung-patung di Mekkah adalah hadits dhaif, dan mereka mencari celah dengan hal itu seraya bertujuan menolak apa yang paling penting di dalam kitab ini dengan cara melemahkan hadits itu.
Mungkin pembaca yang cerdik akan mengritik kami dengan sebab kami mau meluangkan waktu buat mereka dalam rangka membantah lontaran-lontaran yang hakekatnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
شبهة تهافت كالزجاج تخالها                 حقا وكل كاسر مكسور
“Syubhat yang rapuh bagaikan kaca, engkau mengiranya benar,
padahal semuanya adalah memecahkan lagi dipecahkan.”
Namun saya melihat tidak ada halangannya untuk membantah hal itu, karena khawatir hal itu mempengaruhi sebagaian orang atau ditelan mentah-mentah oleh sebagian orang bodoh, terutama karena tidak ada yang sampai kepada saya selain hal itu, maka saya katakan dengan ringkas:
Pertama: Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’ala  tentang Ibrahim:
فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَآءَتْهُ الْبُشْرَى يُجَادِلُنَا فِي قَوْمِ لُوطٍ. إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ.
Artinya: “Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Hud, 11: 74-75)
Sungguh di dalamnya tidak ada dilalah yang bisa digunakan oleh mujadilun (orang-orang yang mendebat) untuk menutupi kebatilan mereka, para ahli tafsir telah meriwayatkan bahwa jidal (pembelaan) Ibrahim terhadap kaum Luth hanyalah demi (keselamatan) Luth dan bukan untuk mereka, para ahli tafsir menuturkan bahwa tatkala Ibrahim mendengar ucapan malaikat, “Sesungguhnya kami akan membinasakan penduduk desa ini.”
إِنَّا مُهْلِكُوا أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ
Artinya: “…Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini…” (QS. Al Ankabut, 29: 31)
Ibrahim berkata:
“Coba bagaimana seandainya di antara mereka ada 50 orang muslim, apakah kalian akan membinasakan mereka?
Mereka (Malaikat) berkata: “Tidak”
Dia berkata: “kalau 40 orang?”
Mereka berkata: “Tidak”
Dia berkata: “Kalau 20 orang?”
Mereka berkata: “Tidak”
Dia berkata: “Kalau 10 atau 5 orang?”
Mereka berkata: “Tidak”
Dia berkata: “Satu orang?”
Mereka berkata: “Tidak”
قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا قَالُوا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَن فِيهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ.
Artinya: Berkata Ibrahim: “Sesungguhnya di kota itu ada Luth”. Para malaikat berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS. Al Ankabut, 29: 32)
Dan yang di tuturkan oleh para ahli tafsir ini sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayat Al Qur’an. Sedangkan penafsiran yang paling utama adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al Qur’an… dan ayat yang ada dalam surat Hud itu ditafsirkan oleh ayat yang ada dalam surat Al Ankabut tadi, jadi ia adalah penjelas lagi penafsir baginya.
Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
وَلَمَّا جَآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُوا أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ. قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا قَالُوا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَن فِيهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ.
Artinya: “Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim”. Berkata Ibrahim: “Sesungguhnya di kota itu ada Luth”. Para malaikat berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang di kota itu.Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS. Al Ankabut, 29: 31-32)
Taruhlah bahwa jidal Ibrahim itu adalah tentang kaum Luth itu sendiri, bukankah pengetahuan akan hakikat dakwah para Nabi itu dan bahwa mereka adalah orang yang paling sayang terhadap umat-umatnya, mengharuskan kita untuk menafsirkan jidal itu pada keinginan kuat agar mereka mendapatkan hidayah sebelum membinasakannya?
Bukankah pemahaman yang bersih menuntut penafsiran jidal itu dan memahaminya di atas dasar pancaran sinar sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tatkala Allah mengutus Malaikat Gunung untuk menerima perintah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang apa yang beliau kehendaki dalam mensikapi kaumnya tatkala mereka menolak dakwahnya, maka beliau berkata:

بل أرجو أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله وحده ولا يشرك به

Artinya: “Namun aku mengharapkan Allah mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang yang beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Bukankah etika terhadap para Nabi dan husnudhan terhadap mereka menuntut pemahaman ini, dan menuntut mensucikan mereka dari pemahaman-pemahaman yang kotor itu yang mempertentangkan ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain dan yang mencoreng dakwah para Nabi serta mengotori mereka, karena kamu jadikan para Nabi itu, tergolong orang-orang yang menutup-nutupi kebatilan lagi membela-bela orang-orang yang menghianati dirinya sendiri?? padahal mereka itu tidak diutus kecuali untuk bara’ dari syirik dan para pelakunya.
Namun mereka tatkala di dalam dalil-dalil yang sharih tidak mendapatkan apa yang bisa digunakan untuk menutupi kebatilan mereka, maka mereka mengais-ngais apa yang disukai oleh hawa nafsu mereka berupa nash-nash yang masih samar (dhani atau dilalah) dan terus mentakwilkannya dengan pemahaman-pemahaman mereka yang kotor untuk menentang dengannya nash-nash yang muhkam lagi jelas nan pasti (Qath’iy) seperti firman-Nya subhaanahu wa ta’ala  dalam surat Al Mumtahanah dengan begitu jelasnya.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ.
Artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”. (QS. Al Mumtahanah, 60: 4)
Coba perhatikan, bagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala  memulainya dengan pernyataan bahwa itu adalah suri tauladan yang baik bagi kita… terus diiringinya dengan penguatan atas hal itu, Dia subhaanahu wa ta’ala  berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ.
Artinya: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha terpuji. (QS. Al Mumtahanah, 60: 6)
Coba lihat bagaimana mereka itu berpaling dari nash-nash yang paten, jelas lagi tegas dan justeru mereka berpegang pada ayat yang ada pada surat Hud yang lalu yang mana di ujungnya Allah mengatakan: “Wahai Ibrahim, berpalinglah kamu dari hal ini.”
Amatilah keadaan orang-orang itu bagaimana para syaitan mempermainkan mereka, dan pujilah Tuhanmu karena Dia telah memberikan kamu petunjuk pada jalan kebenaran yang nyata.
(“Dan jadikan bagi hatimu dua mata yang kedua-duanya…menangis karena takut kepada Yang Maha Penyayang ….
Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah kamu juga seperti mereka sungguh hati ini ada di antara jari-jari Dzat Yang Maha Penyayang…”)
Kedua: Adapun ucapan mereka bahwa Millah Ibrahim adalah tergolong syari’at orang sebelum kita, sedangkan syari’at orang-orang sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita. Sungguh ini adalah tergolong keanehan yang paling mengherankan, mau dibuang kemana oleh mereka firman Allah subhaanahu wa ta’ala yang jelas lagi nyata:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. رَبَّنَا لاَتَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَآ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ.
Artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, ”Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha terpuji.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4-6)
Mau mereka buang ke mana Firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)
Juga firman-Nya:
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (QS. An Nahl, 16: 123)
Berapa banyak hadits shahih dalam As Sunnah yang mana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mewasiatkan dengannya agar mengikuti Al Hanifiyyah As Samhah millah ayah kita Ibrahim. Nash-nash banyak dan jelas menerangkan bahwa jalan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan inti dakwahnya adalah bara’ah dari orang-orang kafir dan apa-apa yang mereka ibadati yang palsu serta hukum-hukumnya yang batil. Dan itu adalah jalan Ibrahim dan millahnya.
Di dalam hadits muttafaq alaih:

الأنبياء أولاد علات

“Para Nabi adalah anak-anak dari berbagai ibu”
Yaitu bahwa sumber mereka satu meskipun berbeda cabang-cabangnya. Dan hal paling besar yang kami jelaskan dalam kitab ini hanyalah tentang pokok tauhid dan lawazim (keharusan)nya berupa bara’ah dari syirik dan kecaman keras para pengusungnya. Dan maklum bahwa masalah ini tidak ada nasakh di dalamnya dan tidak boleh dikatakan bahwa itu adalah syari’at orang-orang sebelum kita, karena ajaran para Nabi seluruhnya dalam hal pokok tauhid dan bara’ah dari syirik dan para pelakunya adalah satu.
Allah subhaanahu wa ta’ala  berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An Nahl, 16: 36)
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya, 21: 25)
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ.
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syura, 42: 13)
Ketiga: Adapun ucapan mereka sesungguhnya ayat Al Mumtahanah adalah Madaniyyah yang turun tatkala kaum muslimin memiliki negara.
Maka kami katakan: Allah subhaanahu wa ta’ala telah menyempurnakan dien ini bagi kita dan Dia menyempurnakan karunia-Nya dengan hal itu atas kata, siapa orangnya pada hari ini ingin memilah-milah diantara apa yang telah Allah turunkan dengan dalih bahwa ini Madany dan itu Makky, maka hendaklah ia mendatangkan dalil dari syariat atau apa yang diinginkan, dan kalau tidak bisa berarti dia tergolong orang-orang yang dusta, Allah berfirman: “Katakanlah: Datangkanlah bukti kalian bila kalian memang benar.”
Sedangkan membuka pintu ini tanpa batasan dari syariat atau tanpa dalil yang menunjukkan atas hal itu, sungguh ia pada hakikatnya adalah membuka pintu yang besar dari keburukan atas dinullah. Juga di dalamnya terkandung pengguguran akan banyak dalil-dalil syari’at.
Bila orang itu berkata: Sesungguhnya penampakan millah yang agung ini serta pengi’lanannya (pengucapan) adalah dikaitkannya dengan kemampuan, tentulah kami tidak membantahnya, namun mereka itu mematikannya dengan dalih bahwa itu adalah Madaniyyah yang turun saat kaum muslimin memiliki negara, padahal sesungguhnya Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakannya dan mendakwahkannya, mereka itu adalah orang-orang yang tertindas dan tidak memiliki negara, namun demikian Allah  subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa bagi kita pada diri mereka ada suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir. Dan sudah maklum bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berjalan di atas thariqahnya, sehingga tugas paling penting dakwah beliau sepanjang hidupnya baik di Makkah atau Madinah adalah menampakkan tauhid dan bara’ah dari syirik dan tandid serta apa yang berkaitan dengan hal itu dan yang menjadi keharusannya berupa ikatan-ikatan iman yang sangat kokoh. Dan sirah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bukti buat hal itu, dan telah kami telah menuturkan kepadamu contoh-contoh darinya dalam buku ini.
Kemudian, katakanlah kita terima bahwa apa yang mereka katakan tentang ayat Al Mumtahanah yang Madaniyyah ini benar, namun apakah surat bara’ah dari syirik juga seperti itu??
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لآَأَعْبُدُ مَاتَعْبُدُونَ. وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ. وَلآَأَنَا عَابِدُُ مَّاعَبَدتُّمْ. وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ.
Artinya: “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir!” Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al Kaafiruun, 109: 1-6)
Dan apakah firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ. مَآأَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَاكَسَبَ. سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فيِ جِيدِهَا حَبْلُُ مِّن مَّسَدٍ.
Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. Al Masad)
Seperti itu? Dan juga firman-Nya subhaanahu wa ta’ala:
أَفَرَءَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. إِنْ هِيَ إِلآ أَسْمَآءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآأَنزَلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَاتَهْوَى اْلأَنفُسُ وَلَقَد جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَى.
Artinya: “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza dan Manan yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan: Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS. ِAn-Najm, 53: 19-23)
Dan juga sepertinya juga firman-Nya subhaanahu wa ta’ala:
إِنَّكُمْ وَمَاتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمْ لَهَا وَارِدُونَ. لَوْكَانَ هَآؤُلآءِ ءَالِهَةً مَّاوَرَدُوهَا وَكُلٌّ فِيهَا خَالِدُونَ.
Artinya: “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya. Andaikata berhala-berhala itu ilah-ilah, tentulah mereka tidak masuk neraka. Dan semuanya akan kekal di dalamnya.” (QS. Al Anbiya, 21: 98-99)
Dan ayat-ayat Al Qur’an Al Makkiyah lainnya, dan itu banyak dan telah kami tuturkan dalam buku ini firman Allah yang mensifati Nabi-Nya:
وَإِذَا رَءَاكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَتَّخِذُونَكَ إِلاَّ هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ وَهُم بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ
Artinya: “Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): “Apakah ini orang yang mencela ilah-ilah”, padahal mereka adalah orang-orang yang inkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.” (QS. ِِAl Anbiya, 21: 36)
Firman-Nya: “dia menyebut tuhan-tuhan kalian”, Yaitu dia bara’ darinya dan dari orang-orang yang mengibadatinya, dia kafir terhadapnya dan menjelek-jelekkannya, apakah ini semua tidak terjadi kecuali di Madinah saja? Bagaimana sedangkan ayat-ayat itu adalah Makiyyah?? Dan yang semisal dengannya adalah banyak.
Keempat: Sebagian mereka mengklaim bahwa hadits tentang penghancuran patung oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Makkah adalah lemah. Dan mereka dengan hal itu mengira bahwa mereka bisa merobohkan hal terpenting dalam buku ini berupa pilar-pilar millah yang agung ini.
Maka kami katakan:
Pertama: Hadits itu adalah tsabit dengan isnad yang hasan, dan ia diriwayatkan dalam musnad Imam Ahmad 1/84. Abdullah berkata, ayahku telah memberitahukan kepada kami, Asbath Ibnu Muhammad telah memberitahukan kepada kami, Nu’aim Ibnu Hakim Al Madainiy telah memberitahukan kepada kami dari Abu Maryam dari Ali radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata: Saya berangkat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sampai kami tiba di Ka’bah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepadaku: Duduklah, dan beliau naik ke atas dua pundakku terus saya berupaya untuk mengangkatnya, dan beliau melihat saya tidak kuat, maka beliau turun dan duduk buat saya, beliau berkata naiklah kamu ke atas pundakku.” Ali berkata: maka saya naik ke atas dua pundaknya, terus beliau bangkit mengangkat saya,” Ali berkata: sesungguhnya di khayalkan kepadaku bahwa aku seandainya mau tentu aku mencapai ufuq langit sampai akhirnya saya manjat ke atas Baitullah dan diatasnya ada patung dari kuningan atau tembaga, terus saya berupaya mengonggat-onggatnya ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang hingga saat saya telah berhasil menguasainya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata: lemparkan! Maka saya melemparkannya, sehingga pecah berantakan seperti terpecahnya botol, kemudian saya turun, dan kemudian saya dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berlarian hingga kami terhalangi oleh rumah-rumah karena khawatir dipergoki oleh orang.”
Saya berkata: Asbath Ibnu Muhammad adalah tsiqah. Dia didlaifkan hanya bila dari jalur Ats Tsauri, sedangkan di sini ia tidak meriwayatkan darinya.
Nu’aim Ibnu Hakim Al Madainiy dinilai tsiqah oleh Yahya Ibnu Nu’aim dan Al ‘Ajaliy sebagaimana dalam Tarikh Bagdad 13/303.
Dari Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hanbal berkata juga dalam Al Musnad 1/151: Nash Ibnu Ali telah memberitahu saya, Abdullah Ibnu Dawud telah memberitahukan kami dari Nu’aim Ibnu Hakim dari Ali radliyallaahu ‘anhu, berkata: Di atas Ka’bah ada patung-patung, maka saya pergi untuk mengangkat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke arahnya, namun saya tidak kuat, kemudian beliau yang mengangkat saya, sayapun terus memotong-motongnya, dan seandainya saya mau tentu saya bisa mencapai langit.”
Al Haitsami menuturkan hadits ini dalam Majma Az Zawaid 6/23 Bab Penghancuran beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap patung, Uqbah berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, puteranya, Abu Ya’laa dan Al Bazzar beliau menambah setelah ucapannya sehingga kami bersembunyi di balik rumah-rumah, maka setelah itu tidak diletakkan lagi, yaitu sedikitpun dari patung-patung itu.” Berkata: “Para perawi semuanya tsiqat.”
Al Khatib Al Baghdadi berkata dalam Tarikh Baghdad 3/302-303: Abu Nu’am Al Hafidz telah memberitahukan kami secara dikte, Abu Bakar Ahmad Ibnu Yusuf Ibnu Khallad telah memberitahukan kepada kami, Muhammad Ibnu Yusuf telah memberitahu kami, Abdullah Ibnu Dawud Al Khuraiby telah memberitahukan kepada kami dari Nu’aim Ibnu Hakim Al Mada’iniy, berkata telah memberitahukan kepada saya Abu Nu’aim dari Ali Ibnu Abi Thalib, berkata: Rasulullah pergi bersama saya ke patung-patung itu, terus beliau berkata: “duduklah”, terus saya duduk di samping Ka’bah kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam naik ke atas pundak saya, kemudian beliau berkata: angkatlah saya ke arah patung itu. Maka sayapun bangkit, namun tatkala beliau melihat saya kepayahan di bawahnya, beliau turun: “duduklah”. Saya pun duduk dan menurunkan beliau dari saya. Kemudian beliau duduk untuk memikul saya, terus beliau berkata kepada saya, wahai Ali naiklah kamu ke pundak saya, maka sayapun naik ke atas pundaknya, terus beliau bangkit memikul saya, dan tatkala beliau bangkit maka dikhayalkan kepada saya bahwa seandainya saya mau tentu saya bisa menggapai langit, dan sayapun naik ke atas Ka’bah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mundur. Terus saya melemparkan patung terbesar milik Quraisy, sedang ia terbuat dari tembaga yang dipaku dengan paku besi, ke bawah, terus Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada saya: “Goyang-goyang”, saya menggoyang-goyangnya dan terus menggoyangnya sedang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata ya…, ya…, ya…, saya terus menggoyangnya sehingga saya mampu menguasainya, beliau berkata: “pukullah”, sayapun memukulnya dan memecahkannya dan terus turun.
Saya berkata: Abu Maryam adalah Qais Ats Tsaqafy Al Madainiy, meriwayatkan dari Ali dan darinya Nu’aim Ibnu Hakim, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, ditsiqatkan oleh An-Nasaiy, namun dia sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar: Dia keliru dalam ucapannya bahwa Abu Maryam Al Hanafiy dinamakan Qais. Dan yang benar bahwa yang dinamai Qais adalah Abu Maryam As Saqafiy … hingga beliau berkata: namun dalam nuskhah yang saya dapatkan dari kitab At Tamyiz karya An Nasaiy yang ada hanyalah Abu Maryam Qais Ats Tsaqafiy, yang ia sebutkan dalam At Tamyiz… dan adapun Abu Maryam Al Hanafiy tidaklah disebutkan oleh An Nasaiy karena beliau tidak menyebutkan kecuali orang yang diketahuinya.”
Dan orang-orang yang membicarakan tentang hadits ini mencampuradukkan antara dua orang itu… ingatlah akan hal ini… dan ia telah ditsiqahkan oleh Al Hafidh Adz Dzahabiy dalam Al Kasyif 3/3376 dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Jarh Wat Ta’dl dan Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir seraya beliau tidak menyebutkan jarh kufriy juga. Silakan rujuk Mizanul I’tidal 4/573.
Hadits ini dishahihkan oleh Al ‘Allamah Ahmad Syakir, beliau berkata dalam catatan pinggir pengtahqikan beliau atas Al Musnad 2/58: isnadnya shahih, Nu’aim Ibnu Hakim telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan yang lainnya serta Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam At Tarikh Al Kabir 4/2/99 dan tidak menyebutkan jarh di dalamnya. Abu Maryam adalah Ats Tsaqafah Al Madainiy dan dia tsiqah dan Al Bukhari menyebutkan biografinya juga 4/1/151 dan tidak menyebutkan jarh di dalamnya… beliau berkata: dan termasuk hal yang jelas bahwa kisah ini terjadi sebelum hijrah.”
Saya katakan: namun demikian, telah kami katakan dalam kitab ini setelah kami tuturkan hadits ini. Kami katakan sendainya kami menerima bahwa tidak ada khabar yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau menghancurkan patung-patung di Mekkah pada masa ketertindasan (istidl’aaf), maka sesungguhnya beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengikuti dengan sangat terhadap Millah Ibrahim seraya memegangnya dengan kuat, beliau tidak pernah mudlarah (basa-basi) terhadap orang-orang kafir meskipun sekali dan beliau tidak pernah diam membicarakan kebatilan mereka atau dari (mengomentari) tuhan-tuhan mereka, justeru kesibukan yang paling utama dalam tenggang 13 tahun itu dan bahkan yang lainnya adalah menyerukan: “Ibadahlah kalian kepada Allah dan tinggalkan thaghut.” (An-Nahl: 36).
Dalam tenggang 13 tahun keberadaan beliau di sana tidak berarti beliau memujinya, atau menyanjungnya, atau bersumpah untuk menghormatinya… hingga ucapan kami: (bahkan beliau terang-terangan menyatakan bara’ahnya dari kaum musyrikin dan perbuatan-perbuatan mereka, serta beliau menampakkan kekafiran terhadap tuhan-tuhan mereka padahal beliau dan para sahabatnya dalam kondisi tertindas. Dan kami telah merinci hal ini kepadamu dalam uraian yang lalu, dan seandainya engkau mengamati Al-Qur’an al Makkiy tentulah jelas bagi kamu hal yang banyak dari hal itu….)
Jadi masalahnya tidak seperti yang di duga oleh orang-orang itu tergantung pada satu hadits yang bisa dihabisi dengan cara didlaifkannya, namun ia memiliki bukti-bukti yang agung, dalil-dalil yang jelas, pokok-pokok yang kokoh dan kaidah-kaidah yang kuat dari dalil-dalil syari’at, yang tidak mampu menolaknya kecuali orang yang keras kepala lagi mengingkari.
Kebenaran adalah pilar yang tidak mampu menghancurkannya…
Seorangpun meski jin dan manusia berkumpul untuknya…
Dan dalam penjelasan ini kiranya cukup bagi orang yang menginginkan hidayah…
Dan sebelum saya tutup muqaddimah ini saya ingin menambahkan padanya, bahwa saya pernah mendebat di dalam penjara sebagian anggota partai politik yang berpikiran Irja’ (Murji’ah) seputar masalah Al Iman dan hal-hal yang bekaitan dengannya.
Dan di antara mereka ada salah seorang tokoh pimpinan mereka, ternyata di antara dalih yang dia gunakan dalam rangka melindungi/membela-bela pasukan syirik dan undang-undang adalah kisah Hathib Ibnu Balta’ah dan kisah Abu Lubabah Al-Anshariy. Dia mengklaim bahwa Hathib mencari informasi (jadi mata-mata) buat orang-orang kafir dan loyalitas kepada mereka serta bahwa Abu Lubabah telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya namun demikian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkan keduannya(3) dan dari sinilah dia mengqiyaskan sikap pemerangan pasukan syirik dan undang-undang terhadap syari’at ini serta permusuhan mereka terhadap orang-orangnya dengan perbuatan dua sahabat yang mulia ini. Dan dia mengambil kesempatan dari hal itu bahwa para pembela thaghut serta para aparat keamanannya yang menghabiskan umur mereka dalam melindungi syirik dan undang-undang juga dalam menjaga tahta para thaghut dan dalam memerangi syari’at dan orang-orangnya, mereka itu tidak boleh dikafirkan, karena dosa-dosa mereka itu tidak melebihi apa yang dilakukan oleh Hathib atau Abu Lubabah…!!! Bahkan orang itu melebihi hal itu dimana dia marah besar tatkala kami menukil darinya bahwa dia tidak mengkafirkan ‘asaakir (pasukan) syirik dan qanun (undang-undang), justeru dia mencap mereka itu sebagai orang-orang dzalim dan bejat, kemudian orang itu protes atas hal tersebut dan menuduh kami telah merubah konteks ucapannya. Memang dia benar seperti apa yang dia katakan bahwa ia tidak mencap mereka sebagai orang-orang dzalim dan bejat, begitu ucapannya secara muthlaq, namun dia hanya mengatakan dalam konteks membela-bela mereka agar tidak di kafirkan: “bisa jadi sebagian mereka itu dzalim atau fajir (bejat),” yaitu tergantung keadaan individu mereka itu, bukan dengan sebab status pekerjaan mereka dan pembelaannya terhadap para thaghut serta sikap perang mereka terhadap syari’at dan ahlinya…
Maka saya katakan kepada mereka: sungguh aneh kalian ini, kalian sangat merasa berat dari mencap tentara para thaghut dan aparat syirik dan tandid dengan cap dzalim dan fujur, namun kalian tidak segan-segan mengatakan tentang Hathib: dia telah loyal pada orang-orang kafir dan cari informasi buat mereka. serta tentang Abu Lubabah: dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya…!!! dan inilai perpisahan antara kami dengan mereka.
Dan tatkala sebagian Islamiyyin di penjara berupaya untuk mengumpulkan dan mengishlahkan di antara kami, maka berlangsunglah diantara kami dan mereka beberapa diskusi, dan ternyata kami dapatkan mereka tetap bersikukuh pada pendapatnya itu, maka saya katakan kepada mereka, “Kalian tidak sungkan-sungkan mengomentari negatif sebagian sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mencap mereka sebagai pengkhianat, padahal kalian sangat keberatan untuk mencap musuh-musuh Allah dan aparat thaghut dengan dhalim dan fujur… oleh karenanya kami demi Allah tidak ingin berteman dengan kalian, dan kami hanya mudaarah (bersikap pasif) dengan kalian dan menjauhi dari menyibukkan diri dengan kalian, karena kami ada di penjara dan ada di tengah-tengah musuh-musuh Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala.”(4) Nah dari sinilah salah seorang di antara mereka berang dan mengeluarkan apa yang dipendam di dadanya: (“Kamu ini pada dasarnya orang yang mengajak kepada Millah Ibrahim, sedangkan orang yang menyeru kepada Millah Ibrahim adalah orang yang tercoreng secara politik, lagi menyeru kepada perdamaian dengan Yahudi dan Nasrani yang mana mereka itu adalah tergolong anak-anak Ibrahim). Saya tidak menuturkan kisah ini di sini melainkan untuk tujuan ini, dan inilah inti bukti dari kisah tersebut.
Saya tidak tahu apa yang mesti saya katakan dalam hal ini…???
Dengan apa saya harus membantah orang-orang yang ingin menegakkan khilafah, sedangkan mereka tidak bisa membedakan antara ungkapan (anak-anak Ibrahim) yang di promosikan oleh para thaghut hari ini untuk bersaudara dan berdamai dengan Yahudi, sedang ini adalah ungkapan yang dimaksudkan dengannya perobohan ikatan-ikatan Al Iman, pembancian pokok-pokok dien ini, serta penghancuran tembok-tembok Al Wala dan Al Bara’ dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah membantah mereka dengan firman-Nya:
مَاكَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلَكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik”. (QS. Ali Imran, 3: 67)
Mereka tidak bisa membedakan antara ungkapan tadi dengan ungkapan (Millah Ibrahim) yang telah memisahkan antara anak dengan bapak, karena ia adalah pemisah antara wali-wali Ar-Rahman dengan wali-wali Syaitan, yang mana Allah telah berfirman tentangnya:
وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)
Dan kami telah menjabarkannya buatmu dalam kitab ini… silakan teliti dan jangan hiraukan celotehan orang-orang yang menyelisihi.
Begitulah wahai akhat tauhid… sungguh sayang sekali sesungguhnya saya sepanjang masa-masa yang lalu dari pencetakan buku ini tidak ada yang sampai kepada saya dari kalangan orang-orang yang menyelisihi lagi membela-bela (aparat thaghut) yang selalu mencela kami dan dakwah kami kecuali seperti celotehan-celotehan yang selayaknya kami tidak menanggapinya… seandainya kami tidak mengetahui keadaan manusia zaman kita ini dan lenyapnya ciri dan tanda-tanda millah yang agung ini di antara mereka, serta seandainya diantara mereka tidak ada orang-orang yang suka mendengarkan ucapan orang-orang sesat yang Allah sifati dalam awal surat Ali Imran…
Saya memohon kepada Allah subhaanahu wa ta’alaagar memenangkan dien-Nya dan membungkam musuh-musuh-Nya.
Dan menjadikan kita sepanjang hidup kita sebagai pembela millah ini dan menjadikan kita bagian dari tentaranya dan pasukannya. Dan Dia menerimanya dari kita dan menutup bagi kita dengan syahadah di jalan-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi-Nya, keluarganya dan para sahabat semuanya.
Abu Muhammad
BISMILLAH
Dialah Yang Mencukupkan Saya Dan Sebaik-baiknya Penolong
PASAL
Penjelasan Millah Ibrahim
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman tentang Millah Ibrahim.
وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)
dan Dia subhaanahu wa ta’ala berfirman juga seraya mengkhithabi Nabi-Nya Muhammad,
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (QS. An Nahl, 16: 123)
Dengan ungkapan yang terang dan jelas ini, Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala menjelaskan kepada kita minhaj dan jalan. Jalan yang benar serta minhaj yang lurus adalah Millah Ibrahim, tidak ada kesamaran dan kejanggalan dalam hal itu. Dan siapa yang tidak menyukai jalan ini dengan dalih maslahat dakwah atau bahwa meniti jalan tersebut bisa mendatangkan berbagai macam fitnah dan bencana atas kaum muslimin atau alasan-alasan kosong lainnya yang dibisikkan oleh syaithan pada jiwa-jiwa yang lemah imannya, maka dia itu dungu, terperdaya lagi menduga bahwa dirinya lebih mengetahui akan metode dakwah daripada Ibrahim ‘Alaihis Salam yang telah disucikan Allah dengan firman-Nya:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.” (QS. Al Anbiya, 21: 51)
Dan firman-Nya  subhanahu wa ta’ala:
وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)
Allah subhaanahu wa ta’ala telah mensucikan dakwahnya di hadapan kita dan memerintahkan penutup para Nabi dan rasul agar mengikutinya, serta Dia menjadikan safaahah (dungu/bodoh sekali) sebagai sifat bagi setiap orang yang tidak suka terhadap jalan dan manhajnya. Sedangkan Millah Ibrahim adalah:
●        Memurnikan ibadah kepada Allah saja dengan segala makna yang di kandung oleh kata ibadah.(5)
●        Berlepas diri dari syirik dan para pelakunya.
Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Pokok dien Al Islam dan kaidahnya ada dua:
Pertama: -   Perintah ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya
-       Dorongan kuat atas hal itu
-       Melakukan loyalitas di dalamnya
-       Dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya
Kedua :    -   Peringatan dari penyekutuan dalam ibadah kepada Allah
-       Kecaman keras terhadap hal itu
-       Melakukan permusuhan di dalamnya
-       Dan mengkafirkan orang yang melakukannya
Dan inilah tauhid yang didakwahkan oleh para rasul ‘alaihimus salam seluruhnya … dan inilah makna laa ilaaha illallah. Yaitu pemurnian, tauhid, dan pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah serta loyalitas terhadap dien dan para wali-wali-Nya, dan kufur serta bara’ah dari segala yang diibadahi selain-Nya dan juga memusuhi musuh-musuh-Nya.
Ini adalah tauhid i’tiqadiy dan amaliy dalam satu waktu. Surat Al Ikhlas adalah dalil akan tauhid I’tiqadiy sedangkan surat Al Kafirun dalil akan tauhid ‘amaliy. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sering membaca dua surat ini dan selalu kontinyu dalam sunat fajar dan yang lainnya karena sangat penting keduanya.
ADA YANG PERLU DIINGATKAN
PERINGATAN PERTAMA:
Ada yang mengira bahwa Millah Ibrahim ini terealisasi pada zaman kita ini dengan cara mempelajari tauhid, dan mengetahui bagian-bagian dan macam-macamnya yang tiga dengan sekedar ma’rifah nadhariyah (teoritis)…. Terus diam dari (mensikapi) ahlul bathil dan tidak menyatakan serta menampakkan bara’ah dari kebatilan mereka.
Maka terhadap macam orang seperti itu kami katakan: Seandainya Millah Ibrahim adalah seperti itu, tentulah kaumnya tidak melemparkan beliau ke dalam api karenanya, bahkan seandainya ia bermudahanah terhadap mereka, mendiamkan sebagian kebatilan mereka, tidak menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka, tidak menyatakan permusuhan terhadap mereka, dan mencukupkan dengan tauhid nadhariy yang ia kaji bersama pengikut-pengikutnya dengan pengkajian yang tidak keluar pada waqi’ ‘amali (realita praktek) yang menjelma dalam bentuk al wala, al bara’, cinta,  benci, memusuhi, dan menjauh karena Allah, bisa jadi bila beliau melakukan hal itu mereka membukakan baginya semua pintu, bahkan bisa saja mereka mendirikan baginya sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga seperti pada zaman kita yang di dalamnya dipelajari tauhid nadhariy ini… dan bahkan bisa saja mereka itu memasang di atasnya papan nama yang besar dan mereka menamakannya: Madrasah atau Ma’had tauhid, fakultas dakwah dan ushuluddien,…. dll. Ini semua tidak membahayakan mereka dan tidak mempengaruhi mereka selama hal itu tidak keluar pada realita dan praktek. Dan seandainya universitas-universitas, sekolah-sekolah, dan fakultas-fakultas ini mengeluarkan bagi mereka ribuan skripsi, karya ilmiah dan risalah Magister dan Doktoral tentang ikhlas, tauhid dan dakwah, tentulah mereka tidak mengingkari hal itu, bahkan justeru mereka memberikan ucapan selamat dan memberikan hadiah-hadiah, ijazah-ijazah dan gelar-gelar yang besar buat para peraihnya … selama hal itu tidak menyinggung kebatilan, keadaan dan realita mereka, serta selama tetap pada keadaannya yang terkaburkan.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata dalam Ad Durar As Saniyyah: “Tidak terbayang -bahwa seseorang- mengetahui tauhid dan mengamalkannya namun tidak memusuhi para pelaku syirik, sedangkan orang yang tidak memusuhi mereka maka tidak dikatakan kepadanya (bahwa) ia mengetahui tauhid dan mengamalkannya,”  (Juz Al Jihad hal: 167)
Dan begitu juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam seandainya saja beliau diam di permulaan dakwahnya dari menjelek-jelekkan pola pikir Quraisy, mencela tuhan-tuhan mereka dan memburuk-burukannya dan seandainya beliau –dan ini tidak mungkin- menyembunyikan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat celaan akan apa-apa yang mereka ibadati, seperti latta, uzza dan manat… dan (menyembunyikan) ayat-ayat yang menyinggung Abu Lahab, Al Walid dan yang lainnya. Dan begitu juga ayat-ayat tentang bara’ah dari mereka, dien mereka dan ma’budat mereka –dan ini alangkah banyaknya seperti surat Al Kafirun dan yang lainnya– seandainya beliau lakukan hal itu –dan tidak mungkin- tentulah mereka mau duduk di majelis beliau, memuliakannya serta mereka mendekatkan beliau dan tentu mereka tak akan meletakkan isi perut unta di atas kepala beliau saat sedang sujud serta tidak pernah terjadi apa yang telah terjadi menimpa beliau berupa penindasan mereka seperti apa yang dijabarkan dan dituturkan dalam khabar yang tsabit dari sirahnya. Dan tentu beliau tidak butuh terhadap hijrah, capek, lelah dan penderitaan serta tentu beliau dan para sahabatnya bisa menetap di rumah dan tanah air mereka dengan aman. Jadi masalah loyal pada dienullah dan pemeluknya serta memusuhi kebatilan dan para pengusungnya adalah telah difardlukan atas kaum muslimin di fajar dakwah sebelum difardlukannya shalat, zakat, shaum dan haji. Dan karena sebabnya bukan karena sebab lainnya terjadilah penyiksaan, penindasan dan cobaan.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq dalam risalahnya yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah berkata: “Hendaklah orang yang berakal mengamati dan hendaklah orang yang jujur pada diri sendiri mencari tentang sebab yang mendorong orang quraisy untuk mengusir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya dari Mekkah padahal ia adalah tempat yang paling mulia. Sesungguhnya sudah diketahui bahwa mereka tidak mengusirnya kecuali setelah kaum mukminin terang-terangan di hadapan mereka mencela dien mereka dan kesesatan nenek moyangnya. Kemudian mereka ingin agar beliau menghentikan hal itu serta mereka mengancam beliau dan para sahabatnya dengan pengusiran. Para sahabat mengadukan kepada beliau dahsyatnya penindasan orang-orang musyrik terhadap mereka, maka beliau memerintahkan mereka agar bersabar dan bercermin dengan orang-orang dahulu yang ditindas. Beliau tidak mengatakan kepada mereka: “Tinggalkan celaan terhadap dien kaum musyrikin dan hinaan terhadap ajaran mereka”, Beliau dan para sahabatnya memilih keluar dan meninggalkan tanah airnya padahal ia adalah tempat paling mulia di muka bumi ini”.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada bagi kalian pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik, yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir serta ia banyak mengingat Allah.” (QS. Al Ahzab, 33: 21) dari Juz Al Jihad hal 199.
Begitulah. Sesungguhnya para thaghut di setiap masa dan tempat, mereka tidak menampakkan sikap ridla terhadap Islam atau bersikap lembut damai padanya, dan mereka tidak mengadakan muktamar-muktamar tentang Islam dan menyebarkannya dalam buku-buku dan majalah-majalah, serta mereka tidak mendirikan lembaga-lembaga dan universitas-universitas Islam kecuali bila itu adalah dien yang picak, pincang, terputus kedua sayapnya lagi jauh dari realita mereka dan dari muwalatul mu’minin dan bara’ dari musuh-musuh dien ini, penampakkan permusuhan terhadap mereka, tuhan-tuhan mereka dan manhaj-manhaj mereka yang batil.
Dan kami saksikan hal ini sangat jelas di negara yang bernama Saudi. Sesungguhnya negara ini menipu manusia dengan cara mensponsori tauhid, buku-buku tauhid, dan dengan cara memberikan loyalitas bahkan dorongan terhadap para ulama untuk memeranginya (syirik) kuburan, shufiyyah, ajimat, pelet (asihan), pohon dan batu-batu, (yang dikeramatkan) serta yang lainnya dari hal-hal yang tidak dia khawatirkan dan tidak merugikannya atau mempengaruhi pada politik dalam dan luar negaranya. Dan selama tauhid yang terpilah-pilah lagi timpang ini jauh dari para sultan dan tahta-tahta mereka yang kafir itu maka tauhid semacam ini mendapatkan dukungan, bantuan dan sponsor dari mereka. karena kalau tidak demikian, maka mana tulisan-tulisan Juhaiman dan yang serupa dengannya rahimahullah yang penuh dan sarat dengan tauhid…??? Kenapa tulisan-tulisan itu tidak mendapatkan dukungan dan sponsor pemerintah…??? Padahal beliau itu tidak mengkafirkan pemerintah ini dalam tulisan-tulisannya itu… atau mungkin karena itu adalah tauhid yang menyelesihi selera dan keinginan para thaghut (Saudi), berbicara tentang politik serta menyinggung masalah Al Wala, Al Bara’, Bai’at dan Imarah. Silakan rujuk ucapannya dalam Mukhtashar Risalah Al Amru Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar dari hal 100 hingga 110 dari Ar Rasail As Sab’u. Sungguh beliau mengetahui benar masalah ini rahimahullah.
Asy Syaikh Al ‘Allamah Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata dalam kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtaddin wa Ahlil Isyrak: “Sesungguhnya banyak orang mengira bahwa bila ia mampu untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, melakukan shalat lima waktu dan tidak dihalangi dari mendatangi masjid, berarti ia telah menampakkan diennya meskipun ia hidup di tengah kaum musyrikin atau di tempat-tempat kaum murtaddien. Sungguh (orang yang mengira) itu telah keliru dalam hal itu dengan kekeliruan yang paling buruk. Dan ketahuilah sesungguhnya kekafiran itu bermacam-macam dan beraneka ragam dengan beragamnya mukaffirat (hal-hal yang membuat kafir). Setiap kelompok dari kelompok-kelompok kekafiran memiliki macam kekafiran yang masyhur darinya, dan orang muslim tidak dikatakan telah menampakkan diennya sehingga ia menyelisihi setiap kelompok itu dengan apa yang masyhur darinya dan terang-terangan menyatakan permusuhan terhadapnya serta bara’ darinya.”
Dan beliau berkata juga dalam Ad Durar As Saniyyah: “Sedangkan idhharud dien adalah mengkafirkan mereka, mencela ajaran mereka, menjelek-jelekkan mereka, bara’ dari mereka, berhati-hati dari mencintai mereka dan cenderung kepadanya, dan menjauhi mereka. Dan idhharud dien itu bukan hanya shalat.”  (Dari Juz Al Jihad: 196)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam Diwan Uqud Al Jawahir Al Mundladah Al Hisan hal 76-77:
Idhharud dien ini adalah terang-terangan mengkafirkan mereka…
Karena mereka adalah golongan orang-orang kafir…
Permusuhan yang nyata dan kebencian yang nampak…
Wahai orang-orang yang berakal, apa kalian punya pikiran…
Ini, dan hati tidak cukup kebenciannya…
Dan cinta darinya, serta apa tolak ukurnya…
Tolak ukurnya adalah engkau mengatakannya…
Terang-terangan dan tegas-tegas terhadap mereka lagi menampilkannya…
Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman berkata dalam Juz Al Jihad dari kitab Ad Durar As Saniyyah hal 141: “Dan klaim orang yang Allah butakan bashirahnya bahwa idhharud dien adalah mereka (musyrikin) tidak melarang orang untuk beribadah atau belajar, ini adalah klaim yang batil. Klaimnya tertolak secara akal dan syari’at karena kalau demikian maka hendaklah senang orang yang hidup di negeri Nashara, Majusi dan India dengan hukum yang bathil itu, karena shalat, adzan dan pengajian ada di negeri-negeri mereka…”
Dan semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
Mereka mengira bahwa dien itu adalah
(Ucapan) labbaika di padang pasir…
Shalat dan diam dari penguasa…
Berdamai dan berbaur dengan orang yang telah mencela dien ini…
Sedang dien ini tidak lain adalah cinta, benci dan loyalitas…
Begitu juga bara dari setiap orang sesat dan berdosa…
Abul Wafa Ibnu Uqaid rahimahullah berkata: “Bila engkau ingin melihat posisi Islam di tengah manusia zaman sekarang, maka jangan kau lihat berjubelnya mereka di pintu-pintu masjid dan gemuruh mereka dengan labbaika, namun lihatlah keselarasan mereka terhadap musuh-musuh syari’at. Maka berlindunglah… berlindunglah pada benteng dien ini dan berpeganglah pada tali Allah yang kokoh, serta cepatlah bergabung dengan wali-wali-Nya al mukminin, dan hati-hatilah dari musuh-musuh-Nya yang selalu menyelisihi. Sungguh sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala yang paling utama adalah membenci orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya dan menjihadinya dengan tangan, lisan dan hati sesuai kemampuan.” (Ad Durar, Juz Al Jihad, hal: 238)
PERINGATAN KEDUA:
Kebalikan dari bara’ah dari syirik dan para pelakunya… di sana juga ada (loyalitas pada dienullah dan para auliyanya, membela mereka, mendukungnya, memberikan nasehat buat mereka, menampakkan dan menyatakan terang-terangan akan hal itu) agar hati mereka selaras, dan barisan-barisan menjadi rapat. Meskipun kami menegur keras saudara-saudara kami al muwahiddin yang menyimpang dari kebenaran, dan bagaimanapun kami bersikap keras dalam menasehati mereka dan mengkritik jalan-jalan mereka yang menyelisihi jalan para Nabi. Maka orang muslim bagi muslim lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam adalah bagaikan dua tangan yang satu mencuci yang lainnya, dan bisa saja penyucian kotoran ini terkadang membutuhkan pada sikap sedikit keras yang berujung baik terpuji, karena yang dimaksud dibaliknya adalah keutuhan tangan dan kebersihannya. Dan kami tidak membolehkan sama sekali bersikap bara’ sepenuhnya dari mereka, karena orang muslim memiliki atas saudaranya hak loyalitas yang tidak bisa terlepas kecuali dengan kemurtadan dan keluar dari lingkungan Islam…. Dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah menilai besar status hak ini. Dia berfirman:
إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “Bila kamu tidak melakukannya maka terjadilah fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al Anfal, 8: 73)
Orang muslim yang menyimpang hanya di bara’ dari kebatilannya, bid’ahnya dan penyimpangannya saja dengan tetap menjaga pokok loyalitas. Tidaklah engkau lihat bahwa hukum memerangi para bughat (pembangkang) dan yang semisalnya berbeda dengan hukum-hukum memerangi murtaddin. Dan kami tidak akan membuat mata para thaghut berbinar-binar dan senang dengan sikap sebaliknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang-orang yang mengakui Islam dari kalangan yang sudah rusak pada mereka timbangan al wala dan al bara’ pada masa sekarang. Mereka sangat bara’ dan menjelek-jelekkan orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan muwahiddin, dan mentahdzir (menghati-hatikan orang) dari (mendekati) mereka, bahkan mentahdzir dari banyak kebenaran yang ada pada mereka, dan bahkan dilakukan lewat lembaran koran-koran yang busuk yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dan jangan tanya tindakan itu mendorong orang-orang dan para penguasa untuk menuduh mereka dari dakwahnya, sampai-sampai banyak para dai itu ikut serta dengan para penguasa dalam menghabisi mereka dan dakwahnya dengan cara melancarkan tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap mereka atau menghaturkan fatwa-fatwa kepada thaghut untuk menumpas mereka, seperti peringatan mengatakan tentang muwahidien: bughat atau khawarij atau (mereka itu) lebih berbahaya bagi Islam daripada Yahudi dan Nasrani, serta tuduhan lainnya, dan saya tahu banyak di antara kalangan yang gembira dengan tertangkapnya orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan muslimin ditangan para thaghut, dan mereka mengatakan: “Rasain kamu”, “Bagus biar mereka dihabisin” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang bisa jadi menjerumuskan orangnya ke dalam jahannam (melayang-layang) tujuh puluh tahun tanpa dia sadari dan ambil peduli saat melontarkannya .
Ketahuilah sesungguhnya diantara ciri khusus Millah Ibrahim dan diantara hal terpenting yang mana kami melihat keumuman para du’at zaman kita ini menyepelekannya, bahkan mayoritas mereka meninggalkan dan mematikannya:
-          Penampakan bara’ah dari para pelaku syirik dan ma’buudat mereka yang batil.
-          Menyatakan terang-terangan sikap kafir terhadap mereka, tuhan-tuhannya, falsafah-falsafahnya, undang-undangnya serta hukum-hukumnya yang syirik.
-          Dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap mereka yang kufur sampai mereka kembali kepada Allah, meninggalkan hal itu semuanya, berlepas diri darinya dan kafir terhadapnya.
Allah  Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,” (QS. Al Mumtahanah, 60: 4)
Al ’Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tatkala Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa  melarang kaum muslimin dari loyalitas terhadap orang-orang kafir, maka hal itu menuntut untuk memusuhi mereka, bara’ darinya dan terang-terangan memusuhi mereka disetiap keadaan.” (Badai-ul Fawaid 3/69)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Dan firman-Nya ”وبدا“ yaitu nampak dan jelas. Perhatikan penyebutan ‘adawah (permusuhan) mendahului baghdhaa’ (kebencian), karena yang pertama lebih penting dari yang kedua. Sesungguhnya orang terkadang membenci kaum musyrikin namun tidak memusuhinya, maka ia tidak mendatangkan apa yang menjadi kewajibannya sehingga ada darinya permusuhan dan kebencian. Dan juga permusuhan serta kebencian ini harus nampak jelas lagi terang. Dan ketahuilah meskipun sesungguhnya kebencian itu berkaitan dengan hati, maka sesungguhnya ini tidak bermanfaat sampai nampak pengaruhnya serta jelas tanda-tandanya. Sedangkan itu tidak menjadi seperti demikian sehingga disertai dengan permusuhan dan pemutusan. Maka dengan demikian permusuhan dan kebencian itu menjadi nampak“ (Dari kitab Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatul Murtaddin Wa Ahlil Isyrak)
Syaikh Ishak Ibnu Abdurrahman berkata: “Dan kebencian dengan hati ini tidak cukup, akan tetapi harus menampakkan permusuhan dan kebencian – dan beliau menuturkan ayat Al-Mumtahanah yang lalu, terus berkata: – coba lihatlah penjelasan yang tidak ada penjelasan sesudahnya, dimana Dia berkata: (nampak diantara kami) yaitu jelas ini adalah idhharud dien, maka wajib terang-terangan menyatakan permusuhan dan mengkafirkan mereka secara terang-terangan serta memisahkan diri dengan badan. Sedangkan makna ‘adawah (permusuhan) keberadaan kamu di suatu lembah dan lawan di lembah yang lain, sebagaimana bahwa asal bara’ah adalah pemutusan (hubungan) dengan hati, lisan dan badan. Hati orang mukmin tidak (mungkin) kosong dari (sikap) memusuhi orang kafir. Dan yang menjadi inti perselisihan adalah hanya dalam hal penampakan permusuhan…” (Ad Durar hal 141 juz Al-Jihad)
Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab (penulis kitab Fathul Majid) berkata seputar ayat Al-Mumtahanah yang lalu: “Orang yang mentadabburi ayat-ayat ini, maka ia mengetahui tauhid yang dengannya Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya, serta ia mengetahui keadaan orang-orang yang menyelisihi para rasul dan para pengikut mereka, dari kalangan orang-orang jahil yang terpedaya serta paling rugi. Syaikh kami Al Imam rahimahullah – yaitu kakeknya: Muhammad Ibnu Abdil Wahhab – berkata dalam konteks penuturan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap Quraisy untuk bertauhid, serta apa yang muncul dari mereka saat beliau menyebutkan ilah-ilah mereka bahwa itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudlarat bagi mereka, sesungguhnya mereka menjadikan hal itu sebagai celaan”. Bila engkau mengetahui ini maka engkau mengetahui bahwa orang tidak tegak Islamnya meskipun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan syirik kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik(6) dan terang-terangan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, sebagaimana firman-Nya:
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah,58:22)
Bila engkau memahami hal ini dengan pemahaman yang baik, maka engkau mengetahui bahwa banyak diantara orang yang mengaku Islam tidak mengetahuinya. Karena kalau bukan karena itu, maka apa yang mendorong kaum muslimin untuk sabar atas penindasan, ditawan dan hijrah ke Habsyah padahal  beliau adalah orang yang paling sayang dan seandainya beliau mendapatkan bagi mereka rukhshah (keringanan) tentulah beliau memberikan rukhshah kepada mereka, bagaimana itu bisa ada sedangkan Allah telah menurunkan kepadanya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ فَإِذَآ أُوذِيَ فِي اللهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللهِ وَلَئِن جَآءَ نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِمَافِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan diantara manusia ada yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menggaanggap fitnah manusia sebagai adzab Allah.Dan sungguh jika datang pertolongan dari Rabbmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada manusia?” (QS. Al Ankabut,29: 10)
“Bila saja ayat ini berkenaan dengan orang yang setuju dengan lisannya, maka bagaimana dengan selain itu, yaitu orang yang menyetujui mereka dengan ucapan dan perbuatan tanpa ada penindasan, terus ia mendukung mereka, membantu mereka, dan membela-membela mereka dan orang yang setuju dengan mereka, serta mengingkari orang yang menyelisihi mereka sebagaimana itu realita yang terjadi”. (Ad Durar Juz Al Jihad hal: 93)
Dan saya katakan kepada mereka, benar sekali engkau seolah engkau berbicara di zaman kami ini.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif rh dalam Ad Durar As Saniyyah: ketahuilah – semoga Allah menunjukkan kami dan engkau pada apa yang Dia ridlai dan Dia cintai – sesungguhnya tidak tegak bagi seorang hamba Islam dan diennya kecuali dengan memusuhi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya(7)­. Serta loyalitas kepada wali-wali Allah dan Rasul-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu,jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah, 9: 23)
(Juz Al jihad hal: 208)
Ini adalah dien semua para rasul, dan inilah dakwah dan jalan mereka sebagaimana  yang ditunjukan oleh keumuman ayat ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan begitu juga Firman-Nya  Subhanahu Wa Ta ‘Ala dalam ayat Al Mumtahanah ini والذين معه (dan orang-orang yang bersamanya) adalah para Rasul yang di atas dien dan millahnya. Ini dikatakan oleh banyak ahli tafsir.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdillathif Ibnu Abdurahman berkata: “Dan ini adalah idhharud dien, bukan sebagaimana yang diduga oleh orang-orang jahil yaitu bahwa bila ia dibiarkan oleh orang-orang kafir dan mereka tidak menghalanginya dari sholat, membaca Al-Qur’an serta sibuk melaksanakan hal-hal sunnat bahwa ia telah mengidharkan diennya. Ini adalah kesalahan yang fatal, karena sesungguhnya orang-orang yang terang-terangan mengatakan permusuhan terhadap kaum musyrikin dan bara’ah dari mereka, sungguh mereka (kaum musyrikin) tidak akan membiarkannya berada di tengah-tengah mereka, namun bisa jadi mereka itu membunuhnya dan mengusirnya bila mereka memiliki jalan ke arah sana, sebagaimana yang Allah sebutkan tentang orang-orang kafir, Dia berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُم مِّنْ أَرْضِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Rabb mewahyukan kepada mereka. “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu” (QS. Ibrahim, 14: 13)
Dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang kaum Nabi Syu’aib :
قَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِن قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَكَ مِن قَرْيَتِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ
Artinya: “Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”. Berkata Syu’aib: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya”. (QS. Al A’raf,7: 88)
Dan Dia menyebutkan tentang Ahlul Kahfi bahwa mereka berkata:
إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Artinya: “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”. (QS. Al Kahfi, 18: 20)
Dan dahsyatnya permusuhan antara para Rasul dengan kaumnya tidaklah terjadi kecuali setelah terang-terangan mencela dien mereka, membodoh-bodohkan ajaran mereka dan menghina tuhan-tuhan mereka.” (Ad Durar Juz  Al Jihad hal 207)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata juga saat menjelaskan ayat Al Mumtahanah: “Inilah Millah Ibrahim yang Allah Firmankan tentangnya:
وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh. (QS. Al Baqarah, 2:130)
Maka wajib atas orang-orang muslim untuk memusuhi musuh-musuh Allah, menampakkan permusuhan terhadap mereka, menjauh dari mereka, tidak loyal kepada mereka, tidak bermu’asyarah dengan mereka dan tidak berbaur dengan mereka.” (Juz Al Jihad 221 Ad Durar As Saniyyah)
Dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman mengabarkan tentang Ibrahim ‘Alaihis Salam dalam tempat lain:
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ
Artinya: “Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 75-76)
Dan ditempat ketiga Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:  ”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah tetapi (aku menyembah Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (QS. Az-Zukhruf, 43: 26-27)
Asy Syaikh Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad ‘Ibnu Abdil Wahhab berkata: Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah memfardlukan bara’ah dari syirik  dan kaum musyrikin, kafir terhadap mereka, memusuhi mereka, membenci mereka dan menjihadi mereka:
فَبَدَّلَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِىْ قِيْلَ لَهُمْ
“Namun orang-orang yang dholim merubah ucapan dengan selain apa yang dikatakan kepada mereka”.
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Artinya: “Lalu orang-orang yang mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik” (QS.Al Baqarah, 2: 59)
Mereka justeru loyal kepada orang-orang musyrik, membantunya, menopangnya, meminta bantuannya atas kaum mukminin, membenci kaum mukminin dan mencelanya karena sebab hal itu. Dan semua hal-hal ini membatalkan ke-Islaman sebagaimana yang ditujukan oleh Al-Kitab dan As Sunnah dalam banyak tempat.”
Ada syubhat yang dilontarkan oleh banyak orang-orang yang terlalu tergesa-gesa, yaitu ucapan mereka bahwa Millah Ibrahim ini adalah fase terakhir dari fase-fase dakwah yang didahului penyampaian dengan penuh hikmah dan jidal dengan cara yang lebih baik. Dan seorang dai kelak menerapkan Millah Ibrahim ini, yaitu berupa bara’ah dari musuh-musuh Allah dan ma’budat mereka, kufur terhadapnya serta menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, setelah kehabisan seluruh metode-metode dan hikmah.
Maka kami katakan dengan memohon taufiq Allah: Sesungguhnya ‘isykal ini hanyalah terjadi dengan sebab tidak jelasnya Millah Ibrahim pada diri orang-orang itu, dan dengan sebab percampuradukan antara metode mendakwahi orang-orang kafir di awal mula dakwah dengan metodenya terhadap orang-orang yang mu’anid (membangkang) di antara mereka, dan juga perbedaan antara hal itu semua dengan sikap orang muslim terhadap ma’budat, falsafah-falsafah dan undang-undang kuffar yang batil itu.
Millah Ibrahim yang mana ia adalah pemurnian ibadah kepada Allah saja dan kufur terhadap segala yang diibadahi selain-Nya tidak boleh diakhirkan atau ditangguhkan, akan tetapi seyogyanya tidak boleh dimulai kecuali dengannya, karena itu adalah yang dikandung oleh kalimat laa ilaaha illallah  berupa penafian dan itsbat (penerapan), dan ia adalah inti dien, pusat roda putaran dalam dakwah para Nabi dan rasul. Dan agar segala ‘isykal lenyap dari dirimu, maka ada dua hal yang meski diketahui:
Pertama  : Adalah bara’ah dari segala thaghut dari ilah-ilah yang diibadati selain Allah ‘Azza wa Jalla dan kufur terhadapnya. Maka hal ini tidak boleh diakhirkan dan ditangguhkan. Namun mesti ditampakkan dan dinyatakan terang-terangan di awal titik perjalanan (dakwah)
Kedua    : Bara’ah dari orang-orangnya yaitu kaum musyrikin bila mereka bersikeras di atas kebatilannya. Dan inilah rinciannya :
Masalah pertama: Yaitu kufur terhadap thaghut-thaghut  yang diibadati selain Allah ‘Azza wa Jalla…, sama saja baik thaghut-thaghut ini patung dari batu, matahari, bulan, kuburan, pohon atau hukum-hukum dan undang-undang buatan manusia, maka Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan rasul mengharuskan penampakkan sikap kufur terhadap ma’budat ini semuanya dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadapnya, meremehkan kedudukannya, menjatuhkan status dan keberadaannya, serta menampakkan kepalsuan, kekurangan dan cacat-cacatnya diawal titik perjalanan (dakwah) dan inilah keadaan para Nabi diawal dakwah terhadap kaumnya, di mana mereka mengatakan:
اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Artinya: “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhi “thaghut” (QS. An Nahl, 16: 36)
Dan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala tentang Al Hanif Ibrahim ‘alaihis salam:
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُون َ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ .
Artinya: “Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 75-76)
Dan firman-Nya dalam surat Al-An’am:
فَلَمَّا رَءَا الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌمِّمَّا تُشْرِكُونَ
Artinya: “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: “Inilah Rabbku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS. Al An’am, 6: 78)
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَآأُرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ. وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ
Artinya: “Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 25-27)
قَالُوا مَن فَعَلَ هَذَا بِئَالِهَتِنَآ إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ * قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
Artinya: “Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang prmuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al Anbiya’, 21: 59-60)
Para ahli tafsir berkata: (يذكرهم) yaitu menghinanya, memperolok-olokannya dan mencelanya, Al Kitab dan As Sunnah sarat dengan dalil-dalil atas hal itu. Dan cukuplah bagi kita tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di Mekkah, dan bagaiman beliau mencela tuhan-tuhan Quraisy dan menampakkan bara’ah darinya dan kufur terhadapnya sehingga mereka menggelarinya shabi’.
Dan bila engkau mau mengecek hal itu dan meyakinkan hal itu, maka silakan rujuk dan tadabburiy ayat-ayat Al Qur’an Al Makkiy yang baru saja turun beberapa ayat darinya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga langsung menyebar ke timur, barat, utara, dan selatan serta pindah dari mulut ke mulut di pasar-pasar, di majelis-majelis dan di tempat-tempat pertemuan. Ayat-ayat tersebut mengkhitabi orang-orang Arab dengan bahasa Arab yang mereka pahami…, dengan jelas dan lantang menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka dan yang terbesar adalah Latta, Uzza, dan Manat pada zaman itu. Ayat itu mengumumkan bara’ah darinya, keterputusan hubungan darinya atau keridlaan dengannya, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyembunyikan sedikitpun darinya. Beliau hanyalah pemberi peringatan.
Orang-orang yang memposisikan dirinya untuk dakwah pada masa sekarang sangat membutuhkan untuk mentadabburi hal ini baik-baik, dan mengintrospeksi diri mereka atas hal tersebut, karena dakwah yang berupaya membela dienullah kemudian ternyata melempar jauh-jauh inti yang paling mendasar ini adalah tidak mungkin sesuai dengan metode para Nabi dan Rasul. Sekarang kita pada zaman ini menyaksikan merebaknya syirik tahakum (perujukan hukum) pada UUD dan undang-undang buatan di tengah-tengah kita, sehingga dakwah-dakwah ini mau tidak mau harus mencontoh Nabi kita dalam mengikuti Millah Ibrahim dengan cara menjelek-jelekan kedudukan UUD dan undang-undang buatan, menyebut keburukannya pada manusia, menampakkan kekafiran terhadapnya, menampakan dan mengumumkan permusuhan terhadapnya dan menjelaskan penipuan para pemerintah, serta pengkaburannya dihadapan manusia. Kalau tidak demikian maka kapan lagi kebenaran ini ditampakkan dan bagaimana manusia mengetahui dien mereka dengan benar dan bisa memilah kebenaran dari kebatilan serta musuh dari kawan. Mungkin saja mayoritas mereka berdalih dengan maslahat dakwah dan fitnah. Coba fitnah apa yang lebih besar dari penyembunyian tauhid dan pengkaburan dien ini di hadapan mereka. Maslahat apa yang lebih besar dari penegakan Millah Ibrahim dan penampakkan loyalitas terhadap dienullah serta (penampakkan) permusuhan terhadap para thaghut yang diibadati dan ditaati selain Allah.
Dan bila kaum muslimin tidak diuji karena hal itu dan bila pengorbanan tidak dipersembahkan di jalannya, maka karena apa ujian itu. Kufur terhadap thaghut-thaghut seluruhnya adalah wajib atas setiap orang muslim sebagai separuh syahadatul Islam dan mengumumkan hal itu, menampakkan serta mengidharkannya adalah kewajiban yang agung juga yang mesti digemborkan oleh jama’ah-jama’ah kaum muslimin atau satu kelompok dari setiap jama’ah mereka itu paling minimal. Sehingga itu terkenal dan tersebar serta menjadi syiar dan ciri khusus bagi dakwah-dakwah ini, sebagaimana keadaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan pada zaman tamkin (jaya) saja namun pada masa istidlaf (ketertindasan) juga, sehingga menjadi buah bibir, ditahdzir dan dituduh memusuhi tuhan-tuhan itu dan yang lainnya.
Dan kami sangat heran, macam dakwah apa ini yang mana para du’atnya manangisi maslahatnya dan dien macam apa yang ingin mereka tegakkan serta tampakkan, sedangkan mayoritas mereka ini latah memuji undang-undang – ooh musibah besar – dan sebagian mereka memujinya, bersaksi atas kebersihannya, dan banyak dari mereka bersumpah untuk menghormatinya dan komitmen dengan poin-poin dan batasan-batasannya, kebalikan akan masalah yang seharusnya dan jalan sebenarnya. Seharusnya mereka itu menampakkan dan menyatakan permusuhan serta kufur terhadapnya, justeru mereka menampakkan loyalitas padanya dan ridla dengannya, maka apakah orang-orang seperti itu menebarkan tauhid atau menegakkan dien…?! Ilallahil Musytaka.
Menampakkan dan menyatakan terang-terangan hal ini tidak ada kaitannya dengan pengkafiran hakim dan pengototannya untuk tetap berhukum dengan selain hukum Allah yang Maha Pengasih, karena ini berkaitan dengan UUD, hukum atau undang-undang yang berlaku dan dihormati yang diterapkan dan diagungkan serta dijadikan rujukan diantara manusia.
Masalah kedua: Yaitu bara’ah dari kaum musyrikin, kufur terhadap mereka, dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka itu. Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Ighatsatul Lahafan: ”Dan tidak selamat dari kemusyrikan syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhidnya terhadap Allah, memusuhi kaum musyrikin karena Allah serta mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mencela mereka.” Dan beliau menisbatkannya kepada Syaikhul Islam. Dan masalah ini – yaitu bara’ah dari kaum musyrikin – lebih penting dari yang pertama, yaitu bara’ah dari ma’budat mereka.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah. Berkata dalam “Sabilun Najah Wal Fikak” saat menjelaskan Firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah.” (Al Mumtahanah : 4). “Dan disini ada faidah  yang sangat indah, yaitu bahwa Allah  Subhanahu Wa Ta ‘Ala mendahulukan bara’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah terhadap bara’ah dari berhala yang diibadati selain Allah, karena yang pertama lebih penting dari yang kedua. Sebab sesungguhnya dia bila Tabarra (berlepas diri) dari berhala dan tidak Tabarra dari yang mengibadatinya, maka dia tidak mendatangkan kewajiban dia. Adapun bila ia tabarra’ dari kaum musyrikin, maka ini memastikan bara’ah dari ma’budat mereka. Begitu juga Firman-Nya:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَاتَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ
Artinya: “Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah.” (QS. Maryam, 19: 48)
Dia mendahulukan sikap meninggalkan mereka terhadap sikap meninggalkan apa yang mereka seru selain Allah.
Dan juga Firman-Nya:
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَايَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ
Artinya: “Maka tatkala dia menjauhi mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah” (QS. Maryam, 19: 49)
Dan Firman-Nya:
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَايَعْبُدُونَ إِلاَّ اللهَ
Artinya: “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah.” (QS. Al Kahfi, 18: 16).
Pahamilah faidah (rahasiah) ini, karena sesungguhnya ia membukakan bagimu pintu untuk memusuhi musuh-musuh Allah. Berapa banyak yang tidak pernah muncul kemusyrikan darinya, akan tetapi dia tidak memusuhi para pelakunya, maka dia tidak menjadi muslim dengan itu karena ia telah meninggalkan dien semua para rasul.”(8)
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman berkata dalam risalahnya yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah: “Orang terkadang selamat dari syirik dan mencintai tauhid, tapi kekurangan muncul padanya dari sisi tidak bara’ah dari para pelaku syirik dan meninggalkan loyalitas pada ahli tauhid dan membela mereka, sehingga ia menjadi orang yang mengikuti hawa nafsu lagi masuk dalam syirik pada cabang-cabang yang merobohkan diennya dan (merobohkan) apa yang telah ia bangun, lagi meninggalkan dari tauhid ini inti-inti dari cabang-cabang yang mana tidak tegak bersamanya iman dia yang diridlainya, sehingga ia tidak mencintai dan tidak membenci karena Allah serta tidak memusuhi dan tidak loyalitas karena keagungan Dzat yng menciptakan dan menyempurnakannya. Dan semua ini di ambil dari syahadat Laa Ilaaha Illallah“. (Dari Juz Al Jihad: 681)
Beliau berkata lagi dalam risalah lain masih dalam kitab itu juga hal 842: “Dan bentuk taqarrub kepada Allah yang paling utama adalah mencela musuh-musuh-Nya yang musyrik, membenci mereka, memusuhi mereka dan menjihadinya. Dan dengan (sikap) ini si hamba selamat dari loyalitas terhadap mereka dengan meninggalkan kaum mukminin. Bila dia tidak melakukan hal itu, maka dia memiliki loyalitas terhadap mereka sesuai dengan kadar kewajiban yang dia tinggalkan itu, maka hati-hatilah dari apa yang bisa menghancurkan Islam dan mencabut akarnya”.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata:
Siapa yang tidak memusuhi kaum musyrikin dan tidak…
Loyalitas dan tidak membenci serta tidak menjauhi…
Maka ia tidak berada di atas minhaj sunnah Ahmad…
Dan tidak berada di atas jalan yang lurus lagi jelas…
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang muslim harus terang-terangan menyatakan bahwa ia adalah bagian dari thaifah mukminah ini sehingga ia mengokohkannya dan thaifah itu kokoh dengannya serta membuat kaget para thaghut yang mana mereka belum mencapai puncak pada permusuhannya sehingga ia terang-terangan menyatakan terhadap mereka bahwa ia adalah bagian dari thaifah yang memerangi mereka.“ (Majmu’ah At Tauhid)
Syaikh Husein dan Syaikh Abdullah putra Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ditanya tentang orang yang masuk dalam dien (tauhid) ini, dia mencintainya dan mencintai ahlinya, namun ia tidak memusuhi kaum musyrikin, atau ia itu memusuhinya namun tidak mengkafirkannya?, maka diantara jawaban mereka adalah:  “Siapa yang menyatakan saya tidak memusuhi para pelaku syirik, atau ia memusuhinya namun tidak mengkafirkannya, maka dia bukan orang muslim, dan ia tergolong orang-orang yang telah Allah Firmankan tentang mereka:
وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً * أُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
Artinya: “Dengan mengatakan:”kami bariman kepada sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain).” Serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.“ (QS. An Nisa, 4: 150-151). (Ad Durar)(9)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata:
Musuhilah orang yang memusuhi dien Muhammad…
Loyalilah orang yang loyal padanya dari setiap orang yang dapat hidayah…
Cintailah karena dasar cinta pada Allah orang yang beriman…
Bencilah karena dasar benci karena Allah orang-orang yang membangkang…
Sebab dien itu tidak lain adalah cinta, benci dan loyalitas…
Begitu juga bara’ dari setiap orang binasa dan melampaui batas…
Dan beliau berkata juga :
Ya, andai kau jujur pada Allah dalam apa yang engkau klaim…
Tentulah engkau musuhi orang yang kafir terhadap Allah…
Dan engkau loyali ahlul haq secara rahasia dan terang-terangan…
Dan tentu engkau tidak serang mereka seraya membela kekafiran…
Tidak setiap seorang yang mengatakan apa yang engkau ucapkan itu muslim…
Namun dengan syarat-syarat yang disebutkan di sana…
Menyelisihi orang-orang kafir disetiap tempat…
Dengan inilah telah datang kepada kita nash shahih yang menyatakannya…
Mengkafirkan mereka terang-terangan dan menghina pola pikir mereka…
Dan menyesat-nyesatkan mereka tentang apa yang mereka lakukan dan tampakkan…
Engkau menyatakan ketauhidan di tengah-tengah mereka…
Dan menyeru mereka padanya dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan…
Inilah dien hanif dan petunjuk…
Serta Millah Ibrahim andai engkau merasakan…
Tentunya kami tidak mengatakan bahwa penampakkan bara’ah dan permusuhan ini mencakup termasuk bagi al mu’allaf quluubuhum atau orang-orang yang menampakkan penerimaan (akan tauhid) dan tidak menampakkan permusuhan akan dienullah, meskipun yang wajib adalah keberadaannya di dalam hati bagi setiap orang musyrik, sehingga membersihkan diri dari syiriknya, namun pembicaraan di atas adalah tentang penampakkan, i’lan, mujaharah dan pernyataan terang-terangan. Mereka dan bahkan orang-orang yang diktator (pembangkang) dan orang-orang yang dhalim diajak untuk taat kepada Allah dengan cara bijaksana dan wejangan yang baik di awal mulanya dakwah, kemudian bila mereka menerima maka mereka adalah saudara-saudara kami, kami mencintainya sesuai kadar ketaatan mereka, hak mereka sama dengan hak kami dan kewajiban mereka sama dengan kewajiban kami. Dan bila mereka menolak padahal hujjah telah jelas, mereka keras hati dan bersikukuh di atas keyakinan mereka yang batil dan syirik serta berdiri di barisan yang memusuhi dienullah, maka tidak ada mujamalah (basa – basi) dan mudahanah (sikap lembut) terhadap mereka, akan tetapi saat itu wajib menampakkan dan menyatakan terang-terangan bara’ah dari mereka. Dan mesti membedakan di sini antara keinginan kuat agar kaum musyrikin dan kafirin mendapatkan hidayah serta upaya mendapatkan pendukung bagi dien ini juga lembut dalam menyampaikan, bijaksana dan wejangan yang baik, (wajib) membedakannya dengan masalah cinta, benci, loyalitas dan permusuhan dalam dienullah, karena banyak dari manusia masih ngawur dalam hal itu, sehingga mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami banyak nash, seperti: “Ya Allah beri petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui”. Dan yang lainnya.
Ibrahim ‘alaihis salam telah bara’ah dari keluarga terdekatnya tatkala jelas baginya bahwa ayahnya itu bersikukuh di atas syirik dan kekafirannya. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa  berfirman:
فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ للهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ
Artinya: “Kemudian tatkala jelas baginya bahwa ia adalah musuh Allah, maka ia bara’ah darinya.” (QS. At Taubah, 8: 114)
Ini setelah beliau mengajaknya dengan penuh bijaksana dan wejangan yang baik, maka engkau bisa mendapatkannya mengkhitabi ayahnya dengan perkataannya.
يَآأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَآءَنِي مِنَ الْعِلْمِ
Artinya: “Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu.” (QS. Maryam, 19: 43)
يَآأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَـنِ
Artinya: “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditempa adzab dari Tuhan yang maha pemurah.” (QS. Maryam, 19: 45)
Dan begitu juga Musa ‘alaihis salam kepada Fir’aun setelah Allah mengutusnya kepadanya dan berfirman:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَ
Artinya: “Maka katakan kepadanya ungkapan yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha, 20: 44)
Ia memulainya dengan ungkapan yang lemah lembut terhadapnya dalam rangka memenuhi perintah Allah, dia berkata:
هَل لَّكَ إِلىَ أَن تَزَكَّى.  وَأَهْدِيَكَ إِلىَ رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya: “Adakah keinginan bagi dirimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan ku pimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.” (QS. An Nazi’at, 79: 18-19).
Dan tatkala ia memperlihatkan kepadanya mukjizat-mukjizat yang besar dan tatkala Fir’aun menampakkan pendustaan, pembangkangan dan pengototan di atas kebatilan, maka Musa ‘alaihis salam berkata kepadanya sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala :
لَقَدْ عَلِمْتَ مَآأَنزَلَ هَآؤُلآءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَافِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
Artinya: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun seorang yang yang akan binasa.” (QS. Al Isra’ 17: 102).
Bahkan dia berdo’a untuk membinasakan mereka:
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَآ إِنَّكَ ءَاتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَن سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وْاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَيُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوْا الْعَذَابَ اْلأَلِيمَ
Artinya: Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau, Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS.Yunus, 10:88 )
Orang-orang yang selalu mengembar-gemborkan nash-nash tentang lemah lembut dan kemudahan secara mutlak serta menempatkannya bukan pada tempat dan posisinya, seyogyanya bagi mereka untuk diam lama mentadabburi masalah ini, mempelajarinya dan memahaminya baik-baik bila memang mereka itu ikhlas.
Dan setelah itu hendaklah mereka mengetahui baik-baik bahwa orang yang diajak bicara dengan berbagai metode dan umumnya adalah tergolong metode lembut dan halus, baik lewat jalan risalah-risalah, buku-buku dan langsung berhadapan lewat perantaraan banyak para du’at serta dijelaskan kepadanya bahwa al hukmu bighairi ma anzalallah adalah kekafiran… dan dia tahu bahwa tidak boleh baginya berhukum dengan selain syari’at Allah, namun demikian dia tetap ngotot dan bersikukuh… meskipun pada dhahirnya pada banyak kesempatan dia menertawakan dagu-dagu orang miskin dengan janji-janjinya yang kosong lagi dusta dan ucapan-ucapannya yang di reka-reka serta dalih-dalih yang lemah lagi palsu… sedangkan lisan realitanya mendustakan ucapannya. Dan itu dengan cara pengakuannya serta diamnya dari merebaknya kekafiran dan kerusakan di tengah-tengah negeri dan masyarakat hari demi hari… pengekangannya terhadap para du’at dan kaum mukminin, sikap mempersulit terhadap orang-orang yang melakukan perbaikan dan pengintaiannya terhadap mereka dengan dinas intelejen dan aparat kepolisiannya… dan dalam waktu bersamaan pelapangannya bagi setiap orang yang memerangi dien Allah, memberikan kemudahan bagi sarana-sarana kerusakan dan pengrusakan untuk dikelola musuh-musuh Allah, bahkan mempersilakan sarana-sarana informasi bagi mereka, kerusakan mereka dan kekafiran mereka… serta menggulirkan undang-undang dan aturan-aturan yang memberikan sangsi bagi setiap orang yang menyerang “Yasiqnya” (undang-undangnya) Al Wadl’iy yang syirik, atau menyatakan kufur dan bara’ah darinya, atau menghinanya atau menjelaskan kebatilannya pada manusia… dan sikap bersikukuhnya untuk menjadikan undang-undang buatan (yasiq modern)nya sebagai pemutus diantara manusia dalam hal darah, harta dan kemaluan, padahal undang-undang itu penuh dengan kekafiran yang nyata…. Dan tidak berserah dirinya pada syari’at Allah serta tidak mau menjadikan sebagai rujukan padahal dia mengetahui akan wajibnya hal itu serta tuntutan kaum muslihin terhadapnya… maka orang seperti ini tidak boleh mudahanah (basa-basi) terhadapnya, muhadanah (berdamai) dengannya, mujamalah terhadapnya, mengagungkannya dengan gelar-gelar, mengucapkan selamat terhadapnya saat hari-hari raya dan munasabat atau menampakkan loyalitas terhadapnya atau pemerintahannya… Namun tidak boleh dikatakan kepadanya kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, UUD kalian, undang-undang kalian yang syirik dan pemerintahan kalian yang kafir…. kami kafir terhadap kalian (kami kafirkan kalian)… dan tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala, menyerahkan diri dan tunduk kepada syari’at-Nya saja.”
Masuk dalam kategori ini juga pentahdziran (mengingatkan orang lain) untuk (tidak) loyal pada mereka, taat patuh kepada mereka, tentram dengan mereka, berjalan dalam alur mereka dan dari memperbanyak dari jumlah mereka dengan cara pekerjaan-pekerjaan yang membantu mereka untuk mengokohkan kebatilannya atau melanggengkan pemerintahannya dan menjaga atau menerapkan undang-undangnya yang batil seperti: tentara, polisi, intelejen dan yang lainnya.
Bila saja sikap-sikap salaf terhadap para penguasa zamannya – yang sama sekali tidak sah disamakan dengan ini dan yang semisal dengannya – adalah sikap-sikap yang tegas, jelas lagi bersih… mana hal itu bila dibandingkan dengan sikap-sikap banyak para tokoh dakwah pada zaman kita ini… padahal mereka itu masyhur dan disanjung oleh para pengikutnya… padahal para salaf itu tidak pernah alumni dari fakultas-fakultas ilmu-ilmu politik atau HAM, mereka tidak pernah membaca koran dan majalah-majalah yang kotor dengan dalih mempelajari tipu daya musuh…. Namun dengan demikian mereka itu lari dari penguasa dan pintu-pintunya sedangkan penguasa itu mencari mereka dan dengan harta dan yang lainnya. Adapun orang-orang yang mengaku salafiy sekarang dari kalangan yang mana dien mereka dipermainkan syaithan, mereka itu justeru mencari kebaikan dunia mereka dengan rusaknya dien mereka, mereka mendatangi dan mencari pintu-pintu penguasa sedangkan penguasa itu menghinakan mereka dan berpaling dari mereka.
Para salaf itu – semoga Allah meridlai mereka – melarang dari masuk pada penguasa yang dzalim, termasuk bagi orang yang ingin memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, karena khawatir terkena fitnah mereka sehingga ia bermudahanah atau bermujamalah terhadap mereka untuk memuliakan mereka atau diam membiarkan sebagian kebatilannya atau mengakuinya, dan para salaf memandang bahwa menjauh dari mereka dan meninggalkan mereka adalah bentuk bara’ah dan pengingkaran terbaik terhadap keadaan mereka…. Dan silakan dengarkan Sufyan Ats Tsauri saat ia menyurati ‘Abbad Ibnu ‘Abbad, beliau berkata dalam suratnya: “Hati-hatilah kamu mendekati penguasa atau bergaul dengan mereka dalam hal sekecil apapun, dan hati-hatilah dari dikatakan kepadamu jadilah perantara dan tolonglah orang-orang yang didhalimi atau permintaan hak dikembalikan, karena sesungguhnya hal itu adalah tipu daya iblis… dan itu hanyalah dijadikan tangga oleh para ahli baca Al-Qura’an (yang fajir)…“ (Dari Siyar A’lam An Nubalaa 13/586 dan Jami’ Bayan Al ‘Ilmi Wa Fadllihi 1/179)
Lihatlah Sufyan rahimahullah menamakan apa yang dinamakan maslahat dakwah oleh para du’at hari ini sebagai tipu daya (khadi’ah) Iblis… dan beliau tidak mengatakan pada pelakunya sebagaimana yang dilakukan oleh banyak du’at sekarang yang menyia-nyiakan umurnya dalam rangka mencari maslahat dakwah dan membela dien disamping musuh-musuh dien ini dan orang-orang yang memeranginya: ”Jangan (keluar) wahai akhi…!!! tetaplah keberadaanmu dan mendekatlah kepada mereka, siapa tahu kamu berhasil dapat jabatan atau kursi di kabinet atau DPR dan bisa jadi kamu memperkecil kedhaliman, atau engkau memberikan manfaat buat saudaramu, jangan biarkan jabatan ini buat orang-orang ahli maksiat dan orang-arang bejat nanti mereka memanfaatkannya… dan… dan…”, justeru Sufyan mensifati hal itu bahwa ia adalah tangga untuk dunia bagi para ahli baca AL-Qur’an yang bejat, bila ini di zaman beliau maka apa gerangan di zaman kita. Kita memohon ‘afiyah kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala, dan berlindung dari kejahatan orang-orang zaman sekarang dan kebusukan talbis-talbis mereka… dan semoga Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang berkata:
Orang-orang yang kamu lihat mereka bergegas memenuhi panggilan majelis…
Di dalamnya terdapat kebinasaan dan setiap kekafiran yang dekat…
Bahkan di dalamnya ada undang-undang nasara sebagai acuan…
Tanpa ada nash yang terdapat dalam Al Qur’an…
Enyahlah kalian karena sebab gerombolan orang-orang yang telah merusak padanya. Cinta penyelisihan dan sogokan penguasa…
Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah seringkali mengutip ucapan Sufyan Ats Tsauriy: “Siapa yang duduk pada ahli bid’ah maka ia tidak akan selamat dari salah satu yang tiga:”
●        Bisa jadi ia menjadi fitnah bagi yang lain dengan sebab duduk bersamanya, sedangkan telah ada dalam hadits:
من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها بعده من غير أن يفقص من أجورهم شىء. ومن سن فى الأسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء. رواه مسلم.
“Siapa yang memberikan contoh yang baik dalam Islam ini, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan siapa yang memberikan contoh yang buruk di dalam Islam ini, maka ia memikul dosanya dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR. Muslim.)
●        Bisa saja ada sedikit penganggapan baik di dalam hatinya, sehingga ia tergelicir dengannya kemudian Allah menjerumuskannya ke dalam api neraka dangan sebab itu.
●        Bisa saja dia berkata: “Demi Allah saya tidak peduli dengan apa yang mereka katakan, dan sesungguhnya saya percaya dengan diri saya.”
Siapa orang yang merasa aman dari Allah sekejap saja atas diennya maka Allah mencabutnya  dari dirinya.“ (Dari Ad Durar dan yang lainnya)
Bila saja ini adalah ungkapan mereka tentang majelis-majelis bid’ah padahal bid’ahnya tidak mukaffirah sebagaimana yang telah diketahui dalam banyak tempat dari ucapan mereka, maka apa gerangan dengan duduk-duduk bersama dengan kaum murtaddun dari kalangan budak-budak undang-undang dan kaum musyrikin lainnya.
Perhatikan ucapannya:”…sesungguhnya saya pecaya dengan diri saya…” dalam nomor ke tiga…!!!, berapa banyak orang yang jatuh dari kalangan du’at zaman kita dengan sebabnya dan dengan yang sepertinya… oleh sebab itu carilah selamat… carilah selamat.
Dan bagaimanapun sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah menggugurkan semua jalan-jalan yang bengkok ini yang mana para pelakunya menyampaikan pembelaan akan dien di baliknya, maka Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa tidak ada pembelaan yang diharapkan dan tidak ada maslahat diniyyah selama-lamanya dalam sikap taqarrub kepada manusia yang dholim, Allah subhanahu wa ta’alaAla berfirman dalam surat Hud yang membuat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beruban:
وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang dhalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud, 11: 113)
Maka di balik mudahanah-mudahanah dan jalan-jalan yang timpang ini tidak ada pembelaan buat dien Allah dan tidak ada maslahat meskipun hal itu diduga oleh orang-orang yang menduga… kecuali bila sentuhan api neraka itu adalah maslahat dakwah bagi mereka. Maka sadarlah kamu dari tidur kamu, dan janganlah kamu terpedaya oleh setiap orang yang berceloteh dan berbicara.
Para ahli tafsir berkata tentang firman-Nya subhanahu wa ta’ala. “ولاتركنوا” Ar Rukuun adalah kecenderungan yang sedikit.
Abul ‘Aaliyah berkata: “Janganlah kalian cenderung pada mereka dengan kecenderungan yang banyak dalam kecintaan dan perkataan yang lembut.”
Sufyan Ats Tsauriy berkata: “Atau mengambilkan kertas baginya, maka ia telah masuk dalam hal itu.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: “Maka Allah  subhanahu wa ta’ala mengancam dengan sentuhan api neraka orang yang cenderung kepada musuh-musuh-Nya dengan ucapan yang lemah lembut.”
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman – dan beliau tergolong Aimmah Dakwah Najdiyyah Salafiyyah – juga berkata setelah menuturkan sebagian perkataan al mufassirun yang lalu tentang makna cenderung. ”Itu dikarenakan dosa syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Allah didurhakai dengan beragam tingkatannya, maka apa gerangan bila hal itu ditambah dengan apa yang lebih buruk, yaitu perolok-olokan terhadap ayat-ayat Allah, menggeser hukum-hukum dan perintah-perintah-Nya, serta menamakan hukum yang menyelisihinya dengan keadilan, sedangkan Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin mengetahui bahwa itu adalah kekafiran, kejahilan dan kesesatan. Orang yang sedikit memiliki penjunjungan (pada dien) dan di hatinya ada sedikit kehidupan tentu dia cemburu terhadap Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya dan Dien-Nya, serta dahsyatlah pengingkaran dan bara’ahnya di setiap kesempatan dan majelis. Ini tergolong jihad yang mana menjihadi musuh tidak terealisasi kecuali dengannya. Maka pergunakanlah kesempatan idhhar dienullah, mudzakarah dengannya, mencela orang yang menyalahinya, bara’ah darinya dan dari para pelakunya. Perhatikanlah sarana-sarana yang menjerumuskan pada kerusakan terbesar ini dan perhatikanlah nash-nash syari’at yang menjelaskan sarana-sarana dan jalan-jalan (yang menghantarkannya), karena mayoritas manusia meskipun dia tabara’ darinya dan dari pelakunya namun ia adalah tentara bagi orang-orang yang loyal pada mereka, tenang dengan mereka dan tinggal dengan perlindungan mereka, Wallahul musta’an.“ (Ad Durar Juz Al Jihad hal 161). Sungguh  indah sekali, seolah beliau berbicara tentang zaman kita.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata; takutlah kepada Allah… takutlah kepada Allah… Wahai sudara-saudaraku, pegang teguhlah ashlu dien  kalian, yang paling awal dan pangkalnya serta kepalanya, yaitu syahadat Laa Ilaha Illallaah, ketahuilah maknanya dan cintailah ia dan cintailah orang-orangnya serta jadikanlah mereka itu sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka jauh dari kalian secara keturunan. Dan kufurlah kepada para thaghut, musuhilah mereka, bencilah mereka dan bencilah orang yang mencintai mereka atau membela-membela mereka atau tidak mengkafirkan mereka atau mengatakan,”apa urusan saya dengan mereka” atau mengatakan, “ Allah tidak membebani saya untuk mengomentari mereka”, Sungguh orang ini telah berdusta dan mengada-ada atas nama Allah dengan dosa yang nyata, sungguh Allah telah mewajibkan setiap muslim untuk membenci orang-orang kafir, dan memfardlukan atasnya untuk memusuhi mereka, mengkafirkan mereka dan bara’ah dari mereka, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka. Oleh sebab itu takutlah pada Allah… takutlah pada Allah… pegang teguhlah hal itu… mudah-mudahan kalian bertemu dengan Rabb kalian, seraya kalian tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Dari Majmu’ah At Tauhid).
TANBIH
Dan ketahuilah setelah itu semua bahwa tidak ada pertentengan perealisasian Millah Ibrahim degan sikap mengambil sebab-sebab sirriyyah (rahasia) dan kitman (penyembunyian) dalam gerakan yang serius untuk nushrah dien ini…. Perkataan kami ini semuanya tidak menolak sebab yang agung yang pernah dipakai oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalil-dalil atas hal itu dari sirahnya adalah sangat banyak sekali. Namun yang dikatakan semestinya adalah bahwa sirriyyah ini wajib diletakan di tempat yang sebenarnya, yaitu sirriyyah dalam perencanaan (takhthith) dan persiapan (i’dad). Adapun Millah Ibrahim dan kufur kepada para thaghut, falsafah-falsafah mereka dan ilah-ilah mereka yang batil, maka ini tidak masuk dalam sirriyyah, namun ia tergolong dakwah yang harus dijaharkan, sehingga mesti menampakkannya semenjak awal perjalanan sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan atas hal itulah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ini di tafsirkan:
لا تزال طا ئفة من أمتى ظا هرين على الحق
Artinya: “Akan senantiasa segolongan dari umatku menang (nampak) diatas kebenaran.” (HR Muslim dan yang lainnya).
Adapun menyembunyikan dan merahasiakannya dalam rangka mudahanah terhadap para thaghut, masuk dalam barisan mereka serta bertengger di atas jabatan-jabatan meraka, maka ini bukan termasuk jalan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun ia tergolong jalan sirriyyah para aktivis organisasi-organisasi bumi yang wajib dikatakan kepada mereka juga:
لكم دينكم ولي دين
“Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.”
Singkatnya yang mesti dipahami dalam hal ini adalah sirryyiah dalam ‘idad dan perencanaan lagi terang-terangan dalam dakwah dan penyampaian.
Dan kami katakan hal itu karena banyak manusia, baik dari kalangan penebar kabar bohong atau kalangan orang-orang yang tidak memahami dakwah Nabi-Nabi yang sebenarnya, mereka mengatakan karena kajahilan mereka bahwa jalan yang kalian seru (manusia) kepadanya adalah membongkar dan membuka rencana-rencana kita mempercepat upaya pembabatan akan dakwah dan hasil-hasilnya.
Maka dikatakan kepada mereka: Pertama; Sesungguhnya buah-buah hasil yang diklaim ini tidak akan matang tidak akan nampak kelayakannya sehingga penanamannya sesuai dengan minhaj an nubuwwah, sedangkan realita dakwah-dakwah gaya baru ini adalah dalil dan saksi terbesar atas hal itu setelah dalil-dalil syar’iy yang lalu dari Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan Rasul shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihim ajma’iin… dimana apa yang kita derita pada masa sekarang berupa kejahilan anak-anak kaum muslimim, terkaburnya al haq atas mereka dengan kebatilan, serta ketidak jelasan sikap-sikap al wala dan al bara’ adalah karena diamnya dan penyembunyian para ulama dan du’at terhadap kebenaran ini, seandainya mereka itu terang-terangan dan menyampaikan dengan lantang serta berani menanggung resiko sebagaimana keadaan para Nabi, tentulah jelas dan nampak di hadapan manusia seluruhnya, dan terujilah serta terpeliharalah dengan sebab itu ahlul haq dari ahlul batil, dan tentulah sampai risalah Allah serta lenyaplah talbis (pengkaburan) yang terjadi di hadapan manusia terutama dalam hal-hal penting dan paling berbahaya pada zaman ini, sebagai mana peribahasa: “Bila orang alim berbicara denga taqiyyah (penyembunyian) dan orang jahil dengan kejahilannya, maka kapan kebenaran itu ditampakkan.”
Bila dienullah dan tauhid-Nya yang bersifat ‘amaliy dan ‘itiqadiy tidak nampak dihadapan manusia, maka buah hasil macam apa yang ditunggu dan diharapkan para du’at itu?
Apakah ia (daulah Islamiyyah)? Sesungguhnya penampakan tauhidullah di hadapan manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan syirik kepada cahaya-cahaya tauhid adalah tujuan terbesar dan maksud paling penting meskipun dakwah itu diberangus dan para du’atnya disiksa.
Dien ini tidak bakal nampak kecuali dengan perhelatan dan ujian (pengorbanan):
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ اْلأَرْضُ
Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini…” (QS. Al Baqarah, 2: 251)
فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَآءُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ اْلأَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al Baqarah, 2: 152)
Dan dengan hal itu terealisasilah I’laa Dinillah, penyelamatan manusia dan penyelamatan mereka dari syirik dengan berbagai ragamnya. Inilah tujuan utama yang karenanya terjadi ujian dan pengorbanan-pengorbanan bergelimpangan di pintu-pintunya. Sedangkan Daulah Islamiyyah tidak lain adalah salah satu sarana dari sarana-sarana atas tujuan yang agung ini. Dan dalam kisah Ashhabul Ukhdud terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Sesungguhnya si Ghulam sang pandai yang jujur itu sama sekali tidak menegakkan daulah dan kekuatan, namun ia telah mengidhharkan tauhidullah dengan sebenarnya, membela dien yang haq dengan pembelaan yang kokoh serta meraih syahadat. Dan apa nilai kehidupan setelah ini dan apa harga kematian (pembunuhan), siksa dengan dibakar dan penyiksaan… bila sang da’i berhasil dengan kemenangan yang sangat (paling) besar… baik ada daulah atau tidak… dan meskipun kaum muslimim dibakar serta meski mereka dimasukan dalam parit, maka sesungguhnya mereka orang-orang yang menang, karena kalimat Allah adalah yang menang dan teratas di atas segalanya… ini di tambah bahwa syahadah adalah jalan mereka dan surga adalah tempat kembali mereka… sungguh bahagialah dengan hal itu.
Dengan hal ini engkau mengetahui bahwa ucapan orang-orang jahil itu: “…sesungguhnya cara seperti ini bisa menghabisi dakwah ini dan mempercepat kehancuran hasil-hasilnya…”, adalah kebodohan dan penyebaran kebohongan, karena dakwah ini adalah dienullah yang mana Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan untuk memenangkan atas semua dien meskipun orang-orang musyik tidak menyukainya. Dan itu pasti terjadi lagi tidak ada keraguan di dalamnya. Pembelaan terhadap dienullah dan meninggikannya tidaklah tergantung pada sosok-sosok penebar kebohongan itu, yang bisa lenyap dengan lenyapnya mereka atau binasa dengan kebinasaan mereka atau keberpalinganya. Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَيَكُونُوا أَمْثَالَكُم
Artinya: “Dan bila kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian (lagi),” (QS. Muhammad, 47: 38)
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, di berikan-Nya kepada siapa yang di kehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Maidah, 5: 54. )
Dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya: “Dan siapa-siapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al Hadid, 57: 24).
Dan inilah dakwah para Nabi dan Rasul serta para pengikutnya adalah saksi terbaik di setiap zaman. Mereka adalah manusia yang paling dahsyat ujian dan cobaannya. Cobaan ini tidak mempengaruhi cahaya dakwah mereka bahkan tidak menambah kecuali makin tampak, makin tersebar dan makin kokoh di hati manusia dan di tengah barisan mereka. Inilah buktinya hingga sekarang masih senantiasa menjadi cahaya yang menerangi orang-orang yang berada di jalan dakwah ilallah. Dan inilah kebenaran yang tidak diragukan lagi.
Kemudian bersama penjelasan ini semua… ada masalah lain yang mesti diketahui di sini… yaitu bahwa terang-terangan dengan penampakan permusuhan dan bara’ah dari orang-orang kafir mu’anid serta penampakan sikap kufur terhadap ma’budat mereka dan kebatilannya yang beraneka ragam di setiap zaman, Meskipun ini adalah hukum asal bagi keadaan dai yang muslim… dan ini adalah sifat para Nabi dan cara dakwah mereka yang lurus lagi jelas… dan dakwah-dakwah ini tidak akan berhasil dan tujuan serta keadaannya tidak akan layak, juga  dienullah tidak akan nampak dan manusia tidak akan mengetahui al haq kecuali dengan cara komitmen dan mengikuti hal itu. Bersama ini semua di katakan bahwa bila ada sekelompok ahlul haq telah menyatakannya dengan terang-terangan, maka kewajiban itu gugur dari yang lainnya… apalagi orang-orang yang tertindas diantara mereka. Dan itu adalah menjaharkan dien ini. Adapun hal itu sendiri adalah wajib atas setiap muslim di setiap zaman dan tempat, karena ia sebagaimana uraian kami yang lalu adalah termasuk laa ilaha ilallah yang mana keIslaman seseorang tidak sah kecuali dengannya. Adapun penjaharaan dienullah ini ditelantarkan dan digugurkan secara total dengan mengorbankan dakwah – padahal ia adalah pokok yang paling inti dalam dakwah para Nabi – maka ini adalah hal yang asing lagi muhdats (bid’ah) yang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Bahkan ini masuk pada para du’at yang berdakwah dengan selain tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan sebab taqlid mereka dan sikap membeo terhadap partai-partai bumi dan cara-caranya yang memegang taqiyyah dalam setiap keadaan dan tidak peduli dengan mudahanah atau tidak merasa sungkan dengan nifaq.
Pengecualian kami ini bukan bersumber dari hawa nafsu dan akal-akalan, namun (bersumber) dari nash-nash syar’iyyah naqliyyah yang banyak…. Dan orang yang mengamati sirah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada masa ketertindasan akan jelas nyata hal itu baginya…. Dan sebagai contoh saja silakan lihat: Kisah keIslaman ‘Amr Ibnu Abasah As Sulamiy dalam Shahih Muslim. Bukti dari hal itu atas masalah ini adalah ucapannya. Saya berkata: ”Sesungguhnya aku mengikutimu.” Rasulullah berkata: “Sesungguhnya kamu tidak mampu hal itu pada hari kamu ini, apa engkau tidak melihat kondisiku dan kondisi manusia, namun pulanglah kamu ke keluargamu kemudian bila kamu mendengar bahwa aku telah menang, maka datanglah kamu padaku…” hingga akhir hadits.
An Nawawiy berkata: ”Maknanya: saya berkata kepadanya: sesungguhnya saya mengikutimu untuk mengidhharkan Islam di sini dan saya tinggal bersamamu,” maka Rasulullah berkata : “Kamu tidak mampu akan hal itu karena lemahnya kekuatan kaum muslim dan kami khawatir atas dirimu dari penindasan orang-orang kafir Quraisy, akan tetapi pahalamu telah teraih, oleh sebab itu tetaplah di atas keIslamanmu dan pulanglah ke kaummu serta teruslah diatas Islam di tempatmu sampai kamu mengetahui saya telah menang, maka datanglah kepadaku….”
Ini adalah seseorang yang telah di izinkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk tidak menyatakan terang-terangan (I’lan) dan (tidak) menampakan diennya… karena dien Allah dan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah tersebar, terkenal lagi nampak pada saat itu, dan ini ditunjukan oleh ucapan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits itu: “Apakah kamu tidak melihat kondisiku dan kondisi manusia…”
Kisah keIslaman Abu Dzar dalam Al Bukhari juga. Dan yang menjadi bukti atas hal itu darinya adalah ucapan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Wahai Abu Dzar sembunyikan hal ini dan kembalilah ke negerimu, kemudian bila berita kemenanganku telah sampai kepadamu, maka datanglah…” hingga akhir hadits. Namun demikian Abu Dzar tetap saja menampakannya di tengah-tengah orang kafir sebagai bentuk mengikuti akan tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan jalannya dalam hal itu, dan oleh karenanya mereka memukulinya agar ia mati sebagaimana ada dalam hadits. Dan meskipun beliau melakukan penjaharan itu berulang-ulang namun Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sama sekali tidak mengingkari perbuatannya itu, beliau tidak mematahkan semangatnya, dan beliau tidak mengatakan kepadanya seperti apa yang dikatakan para da’i zaman kita, “…sesungguhnya kamu dengan perbuatan kamu ini akan membawa petaka pada dakwah, dan bisa menimbulkan reaksi fitnah serta membahayakan mashlahat dakwah atau membuat mundur dakwah 100 tahun ke belakang…“, tidak mungkin beliau mengatakan seperti itu…. Beliau adalah talaudan bagi manusia serta contoh buat mereka hingga hari kiamat dalam jalan ini…. Sikap bersembunyi-sembunyi sebagian kaum mustadl’afin dari kalangan pengikut dakwah adalah suatu hal, dan nampaknya dien serta pengi’lanannya adalah hal lain pula, sedangkan dakwah Nabi adalah nampak, terkenal lagi tersebar. Dan semua mengetahui bahwa intinya dan pusat roda putarnya adalah kufur kepada para thaghut zaman itu dan tauhidul ibadah dengan segala macamnya bagi Allah ‘Azza wa Jalla… sampai-sampai beliau ditahdzir dan diperangi dengan berbagai macam sarana. Dan kaum mustadl’afin dari kalangan para pengikutnya sama sekali tidak butuh sembunyi-sembunyi dan hijrah serta apa yang mereka alami berupa penyiksaan dan penganiayaan itu tidak terjadi kecuali karena sebab jelasnya dakwah ini dan tersebar intinya dan seandainya ada sedikit saja mudahanah dari mereka sebagaimana yang dilakukan orang sekarang, tentulah itu semua tidak terjadi pada diri mereka.
Dan dengan pemahaman engkau akan rahasia makna yang agung ini maka jelaslah di hadapanmu faidah lain yang sangat urgent: Yaitu bolehnya memperdaya orang-orang kafir dan menyusupnya sebagian kaum muslimin di tengah-tengah barisan mereka saat muwajahah (bersitegang/berperang berhadap-hadapan) dan situasi perang bila dien ini nampak jelas dan inti dakwah telah terkenal…. Maka dalam keadaan ini sah-lah berdalil dengan kisah pembunuhan Ka’ab Ibnu Asyraf serta yang semisalnya. Adapun banyak dari para du’at menyia-nyiakan umur mereka dalam barisan tentara para thaghut seraya loyalitas lagi mudahanah, mereka hidup dan mati sedang mereka dalam keadaan mengabdi kepada para thaghut dan kepada lembaga-lembaga mereka yang busuk dengan dalih dakwah dan nashruddien, maka mereka itu mengkaburkan dien manusia di hadapan khalayak serta mengubur tauhidnya. Jalan ini ada di barat sedangkan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tuntunannya ada di timur.
Ia berjalan ke arah timur sedang aku jalan ke barat…
Sungguh jauh antara timur dan barat…
Jadi Millah Ibrahim adalah cara dakwah yang benar… yang konsekuensi di dalamnya adalah meninggalkan para kekasih dan terpenggalnya leher-leher ini.
Adapun selainnya, berupa cara-cara dan metode-metode yang bengkok serta jalan-jalan yang timpang lagi menyimpang itu yang mana para pengusungnya ingin menegakan dienullah tanpa meninggalkan posisi-posisi dan jabatan-jabatannya, dan tanpa membuat geram para penguasa… atau tanpa kehilangan istana-istana, istri-istri dan kemesraan di tengah keluarga, rumah dan tanah air, maka itu sama sekali bukan termasuk Millah Ibrahim meskipun para pembawa dakwahnya mengklaim bahwa mereka berada diatas manhaj salaf serta diatas dakwah para Nabi dan Rasul. Demi Allah sungguh kami telah melihat mereka…. Kami melihat mereka bagaimana mereka berseri-seri di hadapan kaum munafiqin dan dhalimin bahkan di hadapan orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, bukan untuk mendakwahi mereka dan harapan mereka dapat hidayah… namun duduk bersama mereka dalam rangka mudahanah dan pengkuan akan kebathilan mereka, bertepuk tangan untuk mereka, berdiri dalam rangka memuliakan mereka seraya mengagungkannya dan memanggil dengan gelar-gelar mereka seperti: Shahibul Jalalah (Paduka Yang Mulia)… Sri Baginda Raja… Presiden yang terpercaya… Pangeran… bahkan Imamul Muslimin dan Amirul Mukminin… padahal mereka itu memerangi Islam dan kaum muslimin…(10) Ya demi Allah sungguh kami telah melihat mereka… orang diantara mereka pulang pergi menjual diennya dengan harga yang tidak senilai dengan sayap nyamuk… pada sore hari dia mukmin mempelajari tauhid dan bisa jadi mengajarkannya, serta pada pagi harinya dia bersumpah untuk menghormati UUD dengan hukum-hukumnya yang kafir, dia menyatakan kesucian undang-undang buatan, memperbanyak jumlah orang-orang dholim, dan menemui mereka dengan wajah berseri-seri dan lisan yang manis… padahal mereka itu siang malam selalu membaca ayat-ayat Allah yang melarang cenderung kepada orang-orang dhalim atau mentaati mereka dan ridla dengan bagian kebathilan mereka.
Mereka itu membaca ayat-ayat ini:
وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Artinya: “Dan janganlah kalian cenderung pada orang-orang yang dhalim yang menyebabkan kamu di sentuh api neraka.” (QS. Hud, 11: 113)
Dan firman-Nya:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ
Artinya: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olokan (oleh orang-orang kafir) maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka. (QS. An  Nisa, 4: 140)
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang makna firman Allah  subhaanahu wa ta’ala “…karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka…” “Ayat ini sesuai dengan dhahirnya, yaitu bahwa bila orang mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, terus dia duduk di sisi orang-orang kafir yang memperolok-olokan itu tanpa paksaan dan tanpa pengingkaran serta tanpa pergi dari mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, maka dia itu kafir seperti mereka meskipun tidak melakukan apa yang mereka  lakukan…” (Ad Durar juz Al Jihad: 79)
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Artinya: “Dan apabila kalian melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan yang lain.” (QS. Al An’am, 6: 68)
Al Hasan Al Bashri berkata: “Tidak boleh duduk bersama mereka, baik mereka memperolok-olokan atau tidak, berdasarkan firman-Nya:
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka jannganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu setelah teringat (akan larangan itu).” (QS. Al An’am, 6: 68)
Dan juga firman-Nya:
وَلَوْلآَ أَن ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً. إِذًا َّلأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَتَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
Artinya: “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu  (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan medapat seorang penolongpun terhadap Kami. (QS. Al Isra’, 17: 74-75)
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah berkata: “Bila saja khithab ini terhadap makhluk paling mulia shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka apa gerangan dengan yang lainnya” (Ad Durar Juz Al Jihad: 47)
Dan mereka itu membaca firman-Nya subhanahu wa ta’ala  yang mensifati kaum Mukminin:
وَالَّذِ يْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al Furqan, 25: 47)
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala :
وَالَّذِينَ لاَيَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
AArtinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksiaan palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon, 25: 72)
Mereka mengklaim bermanhaj salaf, padahal salaf itu selalu lari dari pintu-pintu penguasa dan jabatan-jabatannya di masa penguasa yang menegakkan syari’at dan kebenaran, bukan di masa-masa kezaliman dan kegelapan. Dan demi Allah pedang tidak diletakan di leher mereka, mereka tidak digantung dan mereka tidak dipaksa atas hal itu… justeru mereka melakukannya dengan sukarela, mereka mendapatkan gaji yang besar dan kekebalan diplomasi… kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan rabunnya bashirah… dan seandainya mereka mengumumkan dan mengatakan: “…kami lakukan ini karena demi dunia…”, tentulah masalahnya menjadi jelas tidak mengkaburkan… tapi mereka mengatakan: “…maslahat dakwah dan pembelaan dien ini…”. Siapa yang kalian permainkan wahai orang-orang miskin… apakah terhadap kami… kami ini orang-orang lemah? sesungguhnya kami dan yang seperti kami adalah tidak memiliki manfaat dan mudlorat bagi kalian… atau kalian ini mempermainkan Penguasa langit dan bumi yang tak ada yang samar bagi-Nya sedikitpun… dan Dia mengetahui rahasia dan pembicaraan rahasia kalian.
Dan sungguh kami telah mendengar mereka menuduh orang yang menyelisihi mereka atau yang mengingkari mereka dengan tuduhan bahwa mereka itu sempit pemikiran dan kurang pengalaman serta tuduhan bahwa mereka itu tidak memiliki hikmah dalam dakwah, tidak punya kesabaran dalam memetik buah (dakwah) atau tidak memiliki bashirah akan waqi’ (realita) dan sunnah kauniyyah, atau (tuduhan) bahwa mereka tidak memiliki cukup ilmu akan politik, dan bahwa mereka itu kurang ahli dalam memandang realita yang ada. Orang-orang miskin itu tidak mengetahui bahwa mereka dengan ucapan itu tidaklah menuduh sosok-sosok tertentu saja… namun dengan hal itu  mereka menuduh dien seluruh Rasul dan Millah Ibrahim yang di antara hal terpentingnya adalah penampakkan bara’ah dari musuh-musuh Allah, kufur terhadap mereka dan ajaran-ajarannya yang bengkok dan menampakkan permusuhan dan kebencian kepada falsafah-falsafah mereka yang kafir, mereka tidak mengetahui bahwa ucapan mereka ini mengandung konsekuensi tuduhan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan orang-orang yang bersamanya tidak memiliki hikmah dalam dakwah, tidak punya pengetahuan akan waqi’ dan bahwa mereka itu ekstrim lagi tergesa-gesa… padahal Allah  subhanahu wa ta’ala  telah mentazkiyah mereka dan memerintahkan kita untuk mencontoh mereka, Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Artinya: “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 4)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ للهِ وَهُوَ مُحْسِنُُ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik diennya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti Millah Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An  Nisa, 4: 125)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mensucikan Ibrahim dari Safah (memperbodoh diri sendiri), serta Dia mensifatinya dengan Rusyd (mendapat petunjuk kebaikan),
Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah kami mengetahui (keadaan)nya.” (QS. Al Anbiya, 21 : 51)
Kemudian Dia menuturkan dakwahnya, bahkan Dia subhanahu wa ta’ala  menjelaskan sebagaimana yang telah Kami ketengahkan bahwa Millah Ibrahim tidak ada orang yang benci kepadanya kecuali orang yang memperbodoh diri sendiri…. Dan bagaimana mungkin orang yang memperbodoh diri sendiri memiliki hikmah dakwah, jelasnya pandangan akan realita ke depan, benarnya manhaj serta lurusnya jalan yang diklaim…??
PASAL
Dan ketahuilah – semoga Allah meneguhkan kami dan engkau di atas jalan-Nya yang lurus – sesungguhnya bara’ah ini dan ‘adawah yang mana Millah Ibrahim menuntut pengi’lanan dan penampakkannya terhadap ahlul kufri dan ma’budat mereka, adalah menuntut banyak-banyak pengorbanan.
Janganlah orang mengira jalan ini dihiasi dengan mawar dan minyak wangi atau dipenuhi dengan istirahat dan santai, akan tetapi ia demi Allah dipenuhi dengan ujian dan cobaan, namun penutupnya adalah kasturi, ketenteraman dan nikmat surga serta Rabb yang tidak murka… Kami tidak mengangan-angankan cobaan pada diri kami juga kaum muslimin, akan tetapi cobaan adalah sunatullah ‘Azza wa Jalla di jalan ini supaya dengannya Dia memisah yang buruk dari yang baik. Ini adalah jalan yang tidak menyenangkan para pengikut hawa nafsu dan para penguasa, karena ia berbenturan sekali dengan realita mereka, serta bara’ah yang nyata dari ma’budat dan kemusyrikan-kemusyrikan mereka.
Adapun selain jalan ini, sesungguhnya pasti engkau dapatkan para pelakunya pada umumnya adalah bermewah-mewah dan cenderung pada dunia, tidak ada bekas ujian pada diri mereka, karena orang itu diuji sesuai dengan kadar diennya. Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi kemudian seterusnya… dan para pengikut Millah Ibrahim adalah tergolong orang-orang yang paling berat ujiannya karena mereka mengikuti manhaj para Nabi dalam dakwah ilallah, sebagaimana yang dikatakan Waraqah Ibnu Naufal kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Tidak seorangpun yang datang dengan apa yang kamu bawa melainkan pasti dimusuhi…(HR. Al Bukhari)
Bila engkau melihat pada zaman kita ini orang yang mengaku bahwa ia mendakwahkan apa yang didakwahkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan dengan cara seperti beliau, dan ia mengaku bahwa ia berada di atas manhajnya, sedang ia tidak dimusuhi oleh ahlul bathil dan penguasa, tapi justeru ia tenteram lagi hidup di tengah-tengah mereka, maka silakan lihat keadaannya! bisa jadi ia itu orang yang sesat dari jalan yang sebenarnya… tidak datang dengan apa yang dibawa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta menjadikan jalan-jalan tak lurus sebagai pijakan… atau bisa jadi dia adalah orang yang dusta dalam klaimnya yang bergaya dengan bukan pakaiannya… atau bisa saja karena hawa nafsu yang ditaati dan bangganya setiap orang dengan pendapatnya… atau untuk tujuan dunia yang ia dapatkan seperti menjadi intel dan mata-mata buat penguasa atas ahlud dien. Dan apa yang dikatakan Waraqah kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah pemahaman yang sudah terpancang di dalam jiwa-jiwa para sahabat saat mereka membai’at Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dimana As’ad Ibnu Zararah berdiri mengingatkan mereka dan berkata: “Tenang wahai penduduk Yatsrib, sesungguhnya pengusiran dia pada hari ini adalah perpisahan bagi bangsa Arab seluruhnya, atau pembunuhan tokoh-tokoh pilihan kalian dan kalian dimangsa dengan pedang, (kalian pilih saja) apakah kalian mau menjadi orang-orang yang bersabar atas hal itu, maka ambillah dia sedangkan pahala kalian adalah atas Allah, atau kalian adalah orang-orang yang khawatir atas diri kalian, maka tinggalkanlah ia kemudian jelaskan hal itu, karena dia adalah lebih menjadi alasan bagi kalian di sisi Allah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Baihaqi)
Amatilah baik-baik hal ini, karena sesungguhnya kita sangat membutuhkan akan hal itu pada hari-hari ini yang mana setiap orang yang ngawur dan sembarangan berpakaian dengan pakaian dakwah dan du’at. Kembali intropeksi diri kamu dan ukurlah ia serta tawarkan padanya jalan ini dan hisablah ia atas kekurangannya dalam hal itu. Kamu pilih apakah mau menjadi orang-orang yang sabar atas hal itu, (kalau mau) maka silakan ambillah dengan haknya dan memohonlah kepada Allah agar ia meneguhkanmu saat terjadi cobaan yang mengiringinya…, atau kamu tergolong orang-orang yang mencemaskan diri sendiri dan kamu merasa tidak mampu untuk menjaharkan millah ini, maka tinggalkan cara berpenampilan sebagai du’at yang kamu lakukan, tutuplah rapat rumahmu dan urusilah urusan dirimu serta tinggalkan urusan orang umum… atau ‘uzlahlah di lembah-lembah dengan kambing-kambingmu, karena sesungguhnya ia demi Allah – sebagaimana yang dikatakan As’ad Ibnu Zararah – adalah lebih beralasan disisi Allah. Ya, itu lebih beralasan bagimu di sisi Allah dari pada kamu mentertawakan dirimu dan orang-orang, karena kamu tidak mampu menegakkan Millah Ibrahim namun kamu malah tampil untuk dakwah dengan cara-cara yang timpang dan mengikuti selain tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya mujamalah lagi mudahanah (basa-basi) terhadap para thaghut. Juga menyembunyikan lagi tidak menampakkan permusuhan terhadap mereka dan kebatilannya. Demi Allah kemudian demi Allah, sesungguhnya orang yang uzlah (menyepi) di lembah gunung dengan kambing-kambingnya adalah lebih baik atau lebih lurus jalannya darimu saat ini. Dan benar orang yang mengatakan:
Diam lebih baik dari ucapan yang mudahanah…
Najis  hatinya namun indah ungkapannya…
Dia tahu kebenaran terus berpaling pada tindakan…
Yang menyenangkan dan mengagumkan setiap thaghut yang durjana…
Wahai manusia jangan heran dari orang-orang yang subur…
Pada masa-masa sekarang dengan banyak ungkapan….
Ceramah di atas mimbar dan menulis banyak di koran-koran…
Serta mereka tampil di depan dalam berbagai acara…
Demi Allah mereka tidak mengucapkan kebenaran dan petunjuk…
Sungguh tidak, dan tidak pula membongkar kehancuran-kehancuran…
Mana mungkin menunjukkan pada kebenaran orang yang suka…
Berbaur hubungan dengan orang-orang dhalim dan budak syahwat…
Atau ia mencari popularitas di massa…
Penghargaan buat yang terkenal dengan penyimpangan…
Maka nasihat saya wahai kaum, jangan kalian tamak…
Pada masa kita ini dengan pemenuhan segala keinginan…
Hiduplah buat dienullah bukan untuk peradaban…
Yang penuh diliputi dengan keraguan dan kesamaran…
Dan sungguh kami telah lihat sering mereka memperolok-olokan orang-orang yang telah jelas penyimpangan-penyimpangan mereka dan jalan-jalannya yang timpang. (Para thaghut) itu berpaling dari mereka dan dari dakwahnya yang tidak di atas manhaj Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam… kami lihat mereka memperolok-oloknya karena sebab mereka meninggalkannya… dan mengisyaratkan mereka agar duduk dan cenderung pada dunia serta berbuat taqshir dalam dakwah ilallah. Dan bila masalahnya seperti itu, maka dakwah macam apa yang mereka lakukan taqshir di dalamnya itu? Apakah dakwah kalian yang dengannya kalian masuk ke dalam tentara dan polisi, majelis syirik rakyat (MPR/DPR) dan pekerjaan-pekerjaan yang memperbanyak komplotan orang-orang dzalim, atau (dakwah) yang dengannya kalian masuk ke majelis-majelis kotor seperti universitas-universitas yang ikhtilath, lembaga-lembaga dan sekolahan-sekolahan yang rusak dan yang lainnya dengan dalih mashlahat dakwah, terus kalian tidak menampakkah dien kalian yang haq dan di dalamnya kalian berdakwah bukan dengan tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam… atau apakah mereka itu taqshir dalam dakwah yang haq yang mana kedua kelompok itu telah taqshir didalamnya, yaitu Millah Ibrahim, seraya mereka berdalih dengan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At Tirmidzi dan yang lainnya:
المؤمن الذي يخالط الناس ويصبر على اذاهم أفضل من المؤمن الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم
Artinya: “Orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan sabar terhadap penindasan mereka adalah lebih utama dari mukmin yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap penindasan mereka.”
Dan kami katakan: sesungguhnya hadits ini berada di timur sedangkan kalian ada di barat, karena sesungguhnya mukhalathah (berbaur dengan manusia) itu wajib berada di atas tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bukan sekedar pendapat, keinginan dan metode dakwah kalian yang bid’ah… karena kalau sesuai dengan tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka penindasan pasti terjadi dan begitu pula pahala secara bersamaan. Sebab kalau tidak demikian, pahala apa yang ditunggu oleh orang yang tidak berdakwah dengan tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedangkan dia telah menelantarkan salah satu syarat yang agung dari syarat-syarat diterimanya amalan, yaitu (ittiba’) dan penindasan apa yang akan didapatkan oleh orang yang tidak menampakkan permusuhan terhadap para pelaku penyimpangan, kebejatan dan maksiat serta dia tidak mengumumkan bara’ah dari kemusyrikan-kemusyrikan mereka dan ajaran-ajaran mereka yang timpang… bahkan justeru ia duduk bersama mereka dan membiarkan kebatilan mereka serta berseri-seri di hadapan mereka dan ia tidak berkerut atau marah sedikitpun karena Allah saat mereka melanggar aturan-aturan Allah, dengan dalih lemah lembut, hikmah, mauidhah hasanah, tidak membuat orang lari dari dien ini, mashlahat dakwah dan yang lainnya. Padahal ia itu menghancurkan diennya satu ikatan demi satu ikatan dengan balincong-balincong kelembutan dan hikmah mereka yang bid’ah.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata dalam risalahnya yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah saat membicarakan penjaharan dien ini serta al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar: “…sedangkan meninggalkan hal itu dalam rangka mudahanah dan mu’asyarah (bergaul leluasa) dan yang lainnya yang biasa dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil adalah lebih berbahaya dan lebih besar dosanya meninggalkannya karena sekedar ketidaktahuan. Karena macam orang ini memandang bahwa mendapatkan ma’isyah (penghidupan) tidak bisa tercapai kecuali dengan hal itu, sehingga mereka menyelisihi semua rasul dan para pengikutnya dan mereka keluar dari jalannya serta manhaj-manhajnya, karena mereka ini memandang bahwa yang baik itu adalah mencari ridla manusia dengan berbagai status sosialnya, berdamai dengan mereka serta berupaya menarik kasih sayang dan kecintaan mereka. Dan hal ini – padahal tidak mungkin tercapai – adalah sikap lebih mementingkan kepentingan jiwa, santai-santai, berdamai dengan manusia, meninggalkan permusuhan di jalan Allah serta tidak mau memikul ujian di jalan-Nya. Sedangkan hal ini pada hakikatnya adalah benar-benar kebinasaan di masa mendatang. Sungguh tidak akan merasakan rasanya iman orang yang tidak loyalitas di jalan Allah dan tidak memusuhi di jalan-Nya. Kebaikan dan seluruh kebaikan adalah yang menghantarkan pada ridla Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan ini hanya bisa diraih dengan cara bersitegang dengan musuh-musuh Allah dan lebih mengutamakan keridlaan-Nya juga marah bila aturan-aturan Allah dilanggar, sedangkan marah ini muncul dari hidupnya hati, ghirahnya dan ta’dhimnya. Dan bila lenyap kehidupan hatinya, ghirahnya, ta’dhimnya serta hilang rasa marah dan ketidaksukaan dan ia menyamakan antara yang buruk dengan yang baik dalam perlakuannya, loyalitasnya serta permusuhannya, maka kebaikan apa yang masih tersisa pada hati orang ini …” (Juz Al Jihad: 35)
Engkau dapatkan sebagian mereka menertawakan para pengikut mereka dari kalangan para pemuda, mereka memerangi ‘uzlah secara muthlaq dan menolak nash-nash yang shahih dalam hal itu… seraya bersenandung dengan syair Ibnul Mubarak rahimahullah saat beliau mengirim surat pada Al Fudlail seraya mengatakan:
Wahai ‘Abidal Haramain seandainya engkau melihat kami…
Tentu engkau tahu bahwa engkau main-main dengan ibadah itu…
Orang yang pipinya bersimbah air mata…
Namun leher-leher kami bersimbah darah kami…
Hingga akhir syairnya…
Seandainya ‘Abidal Haramain (Al Fudlail) melihat mereka dan melihat dakwah-dakwah mereka yang timpang, bisa saja beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkan saya dari apa yang menimpa kalian, dan yang melebihkan saya atas banyak makhluk-Nya…”
Dan saya katakan: Jauh sekali antara dakwah-dakwah kalian dan cara-cara kalian ini dengan Jihad Ibnul Mubarak dan orang-orang shalih itu sehingga dengannya kalian bisa mengalahkan ibadahnya orang-orang shalih… bahkan bisa saja andai Ibnul Mubarak melihat dakwah-dakwah mereka ini, tentu ia mengirim surat kepada Al Fudlail seraya berkata:
Wahai ‘Abidal Haramain seandainya engkau melihat mereka…
Tentu engkau bertahmid karena engkau sibuk dengan ibadah…
Orang yang tidak menyeru dengan tuntunan Nabinya…
Maka dialah orang yang bodoh lagi mempermainkan agamanya…
PASAL
Ya…. Memang sesungguhnya Millah Ibrahim menuntut banyak pengorbanan… Namun dengannyalah pertolongan Allah dan keberhasilan besar digantungkan… dengannyalah manusia terpilih menjadi dua barisan… barisan iman dan barisan kufur, fusuq dan ‘ishyan (maksiat)… dan dengannya nampak jelas auliyaur Rahman dan auliyausy syaithan… dan begitulah dakwah para Nabi dan para rasul. Tidak ada pada mereka kondisi-kondisi yang sakit yang kita alami masa kini berupa berbaurnya tukang kayu bakar dengan tukang panah, orang baik dengan orang buruk, mudahanah dan mujalasah (duduk-duduk) orang-orang berjenggot bersama ahlu fusuq dan fujur, penghormatan terhadap mereka, penghargaan terhadapnya serta pengedepanan mereka atas orang-orang yang bertaqwa dan shalihin… padahal mereka itu secara terang-terangan menampakkan kebencian terhadap dien ini dan memusuhinya dengan berbagai cara selalu menunggu-nunggu bencana yang menimpa ahluddien. Akan tetapi dakwah para Nabi itu adalah bara’ah yang jelas dari kaum-kaumnya yang berpaling dari syari’at Allah, serta permusuhan yang nampak terhadap ma’budat mereka yang bathil, tidak ada pertemuan di tengah jalan serta tidak ada mudahanah dan mujamalah dalam menyampaikan syari’at Allah.
Dengarkan ucapan Nuh as pada masa silam saat ia mengkhithabi kaumnya sendirian lagi tidak takut terhadap kekuasaan dan kezaliman mereka… Ia berkata:
يَاقَوْمِ إِن كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُم مَّقَامِي وَتَذْكِيرِي بِئَايَاتِ اللهِ فَعَلَى اللِه تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَكُمْ ثُمَّ لاَيَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَىَّ وَلاَتُنظِرُونِ
Artinya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepada kalian) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakan aku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus, 10: 71).
Apakah mengatakan seperti ini orang yang bermudahanah kepada kaumnya…? Itu sesungguhnya sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Quthub rahimahullah: “…adalah tantangan yang jelas lagi mengusik (emosi) yang tidak dikatakan oleh orang yang mengatakannya kecuali dia itu memenuhi dirinya dengan kekuatan lagi penuh percaya diri dengan persiapannya sampai-sampai ia memanas-manasi lawannya dengan dia sendiri dan memprovokasi mereka dengan ucapan-ucapan yang mendorong mereka untuk menyerangnya, kemudian kekuatan dan perlengkapan apa yang ada di belakang Nuh?”, yang ada bersamanya adalah Allah, dan cukuplah Allah sebagai pembimbing dan penolong. Dan Allah subhanahu wa ta’ala  telah memerintahkan Nabi-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam di awal ayat-ayat ini untuk membaca hal itu kepada kaumnya, dia berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ…
Artinya: “Dan bacakan kepada mereka (tentang) Nuh, tatkala ia berkata kepada kaumnya…” (QS.  Yunus, 10: 71)
Dan lihatlah Hud ‘alaihis salam  saat menghadapi kaumnya yang mana mereka itu orang yang paling kuat dan paling kokoh, beliau menghadapi mereka sendirian… namun dengan keteguhan layaknya keteguhan gunung atau bahkan lebih dahsyat… Dengarkanlah beliau saat mengumumkan bara’ahnya yang lantang nan jelas dari kemusyrikan mereka dan memperdengarkan kepada mereka ungkapan-ungkapannya yang abadi:
إِن نَّقُولُ إِلاَّ اعْتَرَاكَ بَعْضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. مِن دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لاَتُنظِرُونِ.
Artinya: “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksi ku dan saksikanlah oleh kalian sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutuan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (QS. Hud, 11: 54-55)
Bila beliau katakan hal itu sedang beliau sendirian… jalankanlah tipu daya kalian terhadapku dengan jumlah kalian, tentara kalian dan tuhan-tuhan kalian yang batil.“…Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud, 11: 56)
Ditujukan kepada orang-orang yang sering membanggakan diri dengan banyak perkataan Sayyid rahimahullah, dalam waktu yang mana mereka sangat berhasrat bahkan berlomba-lomba di dalamnya untuk memelas pada para thaghut yang berpaling dari syari’at Allah dalam rangka mereka menegakkan syari’at Allah dalam sebagian masalah, atau agar para thaghut itu memberikan mereka izin untuk berdakwah Ilallah atau dalam rangka mendapatkan kursi di majelis-majelis syirik, fusuq, dan maksiat… Kepada orang-orang itu kami tuturkan perkataan Sayyid seputar ayat-ayat ini… Dimana beliau berkata: “Sesungguhnya itu adalah reaksi bara’ah dari kaumnya, yang mana ia dulunya adalah bagian dari mereka dan ia adalah saudara mereka sebelumnya, dan reaksi rasa takut dari menetap bersama mereka sedangkan mereka telah menjadikan selain jalan Allah sebagai jalan, serta itu adalah reaksi saling melepas antara dua kubu yang tidak bisa bersatu… dan dia menjadikan Allah sebagai saksinya atas keberlepasan dirinya dari kaumnya yang sesat, sikap menjauhnya dari mereka dan keterlepasannya dari mereka… dan ia juga menjadikan mereka sebagai saksi atas bara’ahnya ini dari mereka di hadapan mereka sendiri agar tak tersisa dalam diri mereka sedikitpun syubhat dari kekhawatiran dan rasa takutnya bahwa ia bagian dari mereka”.
Dan setiap orang pasti tercengang dari orang yang menghadapi kaum yang sangat percaya terhadap tuhan-tuhan mereka yang diada-adakan, terus ia malah mencela keyakinan mereka dan mengagetkan mereka, kemudian memprovokasi emosi mereka dengan tantangan seraya tidak meminta kesempatan agar ia bisa bersiap-siap seperti kesiapan mereka, serta ia tidak membiarkan mereka menenangkan diri sehingga kemarahan mereka turun. Sesungguhnya para pengemban dakwah ilallah di setiap tempat dan masa sangat membutuhkan untuk diam sementara waktu dihadapan sikap yang dahsyat ini… satu sosok orang yang hanya disertai sedikit saja orang yang beriman, menghadapi penduduk bumi yang paling kuat, paling kaya lagi paling maju peradaban materinya di zaman itu… mereka itu adalah para durjana lagi bengis yang selalu menghantam tanpa ada kasih sayang, mereka adalah orang yang telah dibuat congkak oleh nikmat dan merekalah yang membangun pabrik-pabrik seraya mengharapkan tambahan kemakmuran dan hidup abadi di baliknya…
Sesungguhnya itu adalah iman, percaya tinggi dan ketegaran… iman kepada Allah, percaya benar akan janjinya serta tegar tentram pada pertolongan Allah… “…Sesungguhnya aku tawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud, 11: 56)
Dan orang-orang yang kasar lagi bengis dari kalangan kaumnya tidak lain mereka itu adalah binatang-binatang melata dari binatang-binatang melata yang ubun-ubunnya dipegang oleh Tuhannya dan dikendalikan secara paksa dengan kekuatan-Nya. Apa alasan rasa takut dia dari binatang-binatang ini dan apa alasan ia ihtifal dengannya? Sedangkan binatang-binatang itu tidak bisa menguasainya bila ia menguasai kecuali dengan izin Rabbnya? Dan apa alasan ia mau menetap di tengah-tengahnya sedangkan jalan binatang-binatang itu berbeda dengan jalannya?” (diringkas dari Adh Dhzilal)
Begitulah realita para Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersama kaum-kaumnya yang membangkang, dan begitulah dakwah-dakwah mereka, perhelatan yang selalu berlangsung bersama kebatilan, jelas dalam dakwah, serta pernyataan terang-terangan akan permusuhan dan bara’ah…. Dakwah mereka tidak mengenal mudahanah atau ridla terhadap sebagian kebatilan atau bersatu bersamanya di tengah jalan.
Permusuhan ahlul haq terhadap ahlul bathil dan kebatilannya serta sikap ahlul haq menjauhi mereka adalah masalah yang sudah lama sekali yang Allah fardlukan semenjak Dia menurunkan Adam ‘Alaihis Salam ke bumi ini… dan Allah menghendakinya secara taqdir dan syar’iy supaya wali-wali-Nya memisahkan diri dari musuh-musuh-Nya, juga golongan-Nya memisahkan diri lawan-Nya, dan yang buruk dari yang baik, serta dia menjadikan para syuhada dari kalangan kaum mukminin. Dia ‘‘Azza wa Jalla berfirman:
اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ
Artinya: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain.” (QS. Al A’raf, 7: 24).
Dan di atas hal ini kafilah para rasul berlalu dan berjalan seluruhnya, dan ini adalah dien mereka sebagaimana yang engkau ketahui. Allah  Subhanahu Wa Ta ‘Ala berkata:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ
Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis jin.)” (QS. Al An’am, 6: 112).
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
Artinya: “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa.” (QS. Al Furqan, 25: 31).
Di antara mereka ada Nabi-Nabi yang Allah ceritakan kisah bersama musuh-musuhnya kepada kita, dan ada yang tidak Dia ceritakan. Dan ini dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah yang muttafaq ‘alaih bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata:Para Nabi adalah anak-anak dari ibu-ibu yang berlainan.” Ullat adalah dlarrah, yang diambil dari ‘ulal yaitu tegukan yang kedua kalinya. Seolah si suami telah meneguk darinya setelah sebelumnya ia meneguk dari yang lainnya. Aulad ‘Ullat adalah anak dari isteri-isteri yang berlainan dari satu ayah…. Ini menguatkan bahwa para Nabi itu pokok dien mereka dan dakwahnya serta jalannya adalah satu namun cabang-cabangnya beraneka ragam.
Dan begitulah penutup para Nabi dan rasul  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan diantara sifat beliau yang ada dalam nash adalah bahwa beliau:
فرق بين الناس
Artinya: “Memecah belah di antara manusia.” (Al Bukhari)
dan dalam satu riwayat:
فرق بين الناس
Artinya: “Pemecah belah di antara manusia”
Beliau telah memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta’ala  untuk mengikuti Millah Ibrahim ‘Alaihis Salam sehingga tidak pernah diam dari syirik dan para pelakunya, atau bermudahanah atau bermujamalah terhadap mereka atau yang lainnya. Justeru beliau saat di Mekkah meskipun pengikutnya sedikit lagi tertindas, beliau menyatakan terang-terangan bara’ahnya dari kuffar dan ma’budat mereka yang bathil… Beliau menjelek-jelekkannya dan mengatakan sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala  perintahkan untuk mengatakannya seraya berlepas diri dari syirik dan terang-terangan mengkafirkan para pelakunya dan bara’ah mereka dari diennya serta bara’ah diennya dari mereka:
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لآَأَعْبُدُ مَاتَعْبُدُونَ. وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ. وَلآَأَنَا عَابِدُُ مَّاعَبَدتُّمْ. وَلآَأَنتُمْ عَابِدُونَ مَآأَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ.
Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir!” aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS.  Al Kafirun, 109: 1-6)
Beliau tegaskan bahwa ia tetap teguh di atas jalannya ini lagi berlepas diri dari orang yang menyelisihinya, dan bahwa beliau tergolong kaum mukminin yang mana mereka itu adalah musuh orang-orang kafir dan ajarannya:
قل ياأيها الناس إن كنتم في شك من ديني فلآأعبد الذين تعبدون من دون اله ولكن أعبد الله الذي يتوفاكم وأمرت أن أكون من المؤمنين
Artinya: “Katakanlah: “Hai, manusia, jika kalian masih dalam keraguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak beribadah pada apa yang kalian ibadahi selain Allah, tetapi aku beribadah kepada Allah yang akan mematikan kalian dan aku diperintahkan supaya termasuk orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus, 10: 104).
Dan Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman seraya mengkhithabi Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
وأن كذبوك فقل لي ولكم عملكم أنتم بريئون مما أعمل وأنا برئ مما تعملون
Artinya: “Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: Bagiku amalanku dan bagi kalian amalan kalian. Kalian  berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.” (QS. Yunus, 10: 41).
Dan Dia  subhanahu wa ta’ala  berfirman seraya mengajarkan kaum mukminin untuk mengatakan:
اللهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَآأَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
Artinya: “Allahlah Tuhan kami dan Tuhan-tuhan kalian, bagi kami amalan-amalan kami dan bagi kalian amalan-amalan kalian.” (QS. Asy-Syura, 42: 15).
Ada di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Baca Qul yaa ayyuhal kaafiruun” kemudian tidur setelah selesai membacanya, karena sesungguhnya ia adalah bara’ah dari syirik.”
Dan ada dalam risalah “Asbaabu Najatis Sa-Uul Minas Saiful Masluul” yang ringkasannya: “Sesungguhnya kalimat ikhlas (laa ilaaha illallah) telah dibatasi dengan batasan-batasan (syarat-syarat) yang sangat berat, sehingga Imamul Hunafa tidak merasa cukup dengan sekedar pengucapannya dan belum sempurna baginya kecintaan dan loyalitas padahal beliau adalah imamul muhibbin kecuali dengan mu’aadah (melakukan permusuhan), sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentangnya:
أَفَرَءَ يْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ. فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ.
Artinya: “Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu memperhatikan apa yang selalu kamu ibadati, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu,? Karena yang kamu ibadati itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.” (QS. Asy Syu’ara, 42: 75-77).
Dan inilah makna laa ilaaha ilallah sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ. وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian ibadati, tetapi (aku beribadah) pada Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf, 43: 26-28).
Maka Imamul Hunafa mewariskannya pada para pengikutnya yang selalu di wariskan para Nabi, sebagian dari sebagian yang lainnya.
Dan tatkala Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam diutus maka Allah memerintahkannya untuk mengucapkannya sebagaimana yang dikatakan oleh ayah kita Ibrahim terus Allah menurunkan satu surat penuh, yaitu surat Al Kafiruun.” (Dari Majmu’ah At Tauhid)
Dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menjaharkannya dan mengumumkannya serta tidak menyembunyikannya. Beliau dan para sahabatnya memikul apa yang menimpa mereka berupa penindasan atas hal itu dan beliau tidak bermudahanah karena hal itu, dan mana mungkin beliau bermudahanah pada mereka, justeru beliau meneguhkan kaum mukminin itu dan mengingatkan mereka dengan janji Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala dan surga-Nya serta sikap-sikap orang-orang yang teguh dari kalangan umat terdahulu, seperti ucapannya: “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya janji (buat) kalian adalah surga.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dan yang lainnya)
Dan perkataannya kepada Khabbab: “Sungguh pada umat sebelum kalian, seorang laki-laki ditangkap, terus digalikan lubang baginya di tanah kemudian ia dimasukkan kedalamnya. Terus di datangkan gergaji, diletakkan di atas kepalanya kemudian dibelah menjadi dua (kepalanya itu), dan antara daging dan tulangnya di sisir dengan sisir besi, namun itu tidak memalingkan dia dari diennya. Demi Allah sungguh Allah akan sempurnakan urusan (Islam) ini sehingga pengendara berjalan dari San’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali kepada Allah dan serigala (yang dikhawatirkan) menyerang kambing-kambingnya, namun kalian adalah orang-orang yang tergesa-gesa.”(11)
Beliau katakan itu kepada para sahabatnya… dan dalam waktu itu juga beliau katakan kepada orang-orang Quraisy sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ
Artinya: Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,” (QS. Fushilat, 41: 6).
Dan ayat-ayat ini adalah Makiyyah. Dan Dia berfirman:
قُلِ ادْعُوْا شُرَكَآءَكُمْ ثُمَّ كِيْدُوْنِ فَلاَتُنْظِرُوْنَ. إِنَّ وَلِيِّيَ اللهُ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ. وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دًونِهِ لاَيَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلآأَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ.
Artinya: “Panggilah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)ku tanpa memberi tangguh (kepadaku), Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri”. (QS. Al A’raf, 7: 195-197).
Dan ayat-ayat ini Makiyyah.
Oleh sebab itu semua dan dikarenakan dakwahnya adalah seperti itu maka sesungguhnya orang-orang yang dzalim tidak pernah suka kepadanya seharipun, jiwa mereka tidak mau menerimanya, atau mata mereka berbinar-binar dengan dakwahnya…, justeru emosi mereka naik dan amarahnya memuncak… sering sekali mereka melakukan tawar menawar terhadap beliau…, namun beliau berdiri tegar seraya melihat pada kebatilan mereka dan kerumunan mereka yang dengannya mereka siap memperdaya beliau…. Meskipun beliau sangat ingin mereka mendapatkan hidayah namun beliau sangat enggan bersatu bersama mereka di atas kebatilan di tengah jalan atau mengikuti sedikit dari sebagian apa yang mereka inginkan atau mereka sukai dari kebatilan mereka. Bahkan beliau mengatakan setelah itu dan selalu sebagaimana beliau diperintahkan Rabb-nya untuk mengatakan:
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: “Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imran, 3: 12.)
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hassan berkata setelah menuturkan sebagian sikap-sikap terang-terangan dan keteguhan para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Inilah keadaan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan apa yang mereka dapatkan dari kaum musyrikin berupa dahsyatnya penindasan. Maka mana ini bila dibandingkan dengan keadaan orang-orang yang sesat yang selalu bersegera kepada kebatilan, bergegas di dalamnya, maju, mundur, bermanis-manis muka, mudahanah, cenderung, mengagungkan dan memuji? mereka itu sungguh serupa dengan apa yang Allah  subhanahu wa ta’ala  firmankan:
وَلَوْ دُخِلَتْ عَلَيْهِم مِّنْ أَقْطَارِهَا ثُمَّ سُئِلُوا الْفِتْنَةَ لأَتَوْهَا وَمَاتَلَبَّثُوا بِهَآ إِلاَّ يَسِيرًا
Artinya: “Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat.” (QS. Al Ahzab, 33: 14).
Kita minta kepada Allah keteguhan di atas Islam, dan berlindung dari kesesatan fitnah, yang nampak dan yang tersembunyi darinya. Dan termasuk hal yang diketahui bahwa orang-orang yang masuk Islam dan beriman kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta kepada apa yang beliau bawa, seandainya mereka tidak bara’ah dari syirik dan para pelakunya serta mengejutkan kaum musyrikin dengan celaan terhadap ajaran mereka dan hinaan pada tuhan-tuhan mereka, tentulah kaum musyrikin tidak menampakan berbagai penindasan terhadap mereka.” (Ad Durar Juz Al Jihad 124)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata saat menjelaskan surat Al Bara’ah Minasy Syirki: “Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang kafir: dien kalian yang sedang kalian pegang, saya berlepas diri darinya. Dan dien saya yang saya pegang, kalian berlepas diri darinya. Dan yang dimaksud adalah pernyataan terang-terangan terhadap mereka bahwa mereka itu di atas kekafiran, dan bahwa beliau bara’ dari mereka dan dari dien mereka. Maka orang yang mengikuti Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam wajib mengatakan hal itu, dan ia tidak dikatakan telah menampakkan diennya kecuali dengan hal itu. Dan oleh sebab itu tatkala para sahabat dikenal dengan hal itu dan disakiti oleh orang-orang musyrik maka beliau memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, dan seandainya beliau mendapatkan rukhshah bagi mereka untuk diam dari (mengomentari) orang-orang musyrik, tentulah beliau tidak memerintahkan mereka hijrah ke negeri Ghurbah.” (Sabilun Najah wal Fikak: 67)
Ada syubhat yang selalu didengung-dengungkan oleh orang yang tidak memahami Millah Ibrahim ‘Alaihis Salam dan tidak mengetahui isinya, yaitu ucapan banyak orang-orang bodoh bahwa Millah Ibrahim itu telah dinasakh (dihapus) bagi kita, dan atas hal itu mereka berdalih dengan berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah yang mana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menghancurkannya menurut klaim mereka selama beliau tinggal di Mekkah pada masa istidl’af (ketertindasan)… sampai-sampai saya mendengar salah seorang dari mereka dan ia tergolong sebagai Syaikh yang terkenal yang mana buku-bukunya telah memenuhi pasaran, saya mendengar dia dalam ceramah yang direkam uring-uringan seraya berkata yang isinya: Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah orang yang pertama berpaling dari Millah Ibrahim yang kalian dengung-dengungkan ini, di mana beliau duduk tiga belas tahun di Mekkah diantara patung-patung itu dan beliau tidak menghancurkannya …”
Maka kami katakan kepadanya dan kepada orang-orang yang seperti dia: “Sesungguhnya yang menghalangi kalian dari memahami dan mengetahui Millah Ibrahim adalah berkerutnya pemahaman kalian serta sempitnya wawasan akal kalian, bahwa Millah Ibrahim yang kami maksud adalah hanya diambil dari perbuatan nya AS saat menghadapi berhala-berhala kaumnya seraya memukulnya dengan keras dengan tangan kanannya, sehingga beliau AS jadikan mereka berantakan kecuali yang paling besar dengan harapan mereka menuduh kepadanya… dan tatkala menurut kalian tidak shahih bahwa Rasulullah saw, melakukan hal itu terhadap patung-patung kaumnya…, maka millah ini dalam pandangan kalian telah dihapus semuanya bagi kita… dan kita sama sekali tidak dituntut untuk mengamalkan sedikit darinya. Jadi konsekuensi ucapan kalian ini bahwa semua ayat-ayat di atas yang memerintahkan kita untuk mengikuti Millah Ibrahim dan menghati-hatikan dari berpaling darinya, juga rincian dakwah Ibrahim AS dan orang-orang yang bersamanya dan sikap mereka terhadap kaumnya serta sikap para Nabi dan yang lainnya terhadap kaum mereka…, semua itu adalah sia-sia belaka dan tambahan yang tidak ada makna di dalamnya serta tidak ada faidah di baliknya di dalam Kitabullah. Maha Suci Engkau Ya Allah Tuhan kami, ini adalah kedustaan yang amat besar… dan semoga Allah merahmati Ibnul Qoyyim rahimahullah saat berkata:
“Siapa orang yang ini adalah kadar ilmunya…
Maka hendaklah  menutupi diri dengan diam dan sembunyi…”
Allah subhanahu wa ta’ala  Maha Suci dari berbuat sia-sia dan dari adanya sesuatu yang tidak berfaidah penyebutannya di dalam Kitab-Nya ‘Azza wa Jalla.
Celotehan murah ini sebenarnya bukanlah tergolong syubhat yang butuh bantahan yang panjang dan terperinci. Ini tidak lain hanyalah kontradiksi–kontradiksi di pikiran para pengusungnya yang menghalangi mereka dari memahami millah yang agung ini dengan berbagai rinciannya…, terutama engkau sudah mengetahui dalam uraian yang lalu tentang Millah Ibrahim dan engkau telah memahami kendungannya dan apa yang dituntut dengannya…, engkau mengetahui bahwa ia adalah Ashlul Islam, makna laa ilaaha illallaah dan bahwa di dalamnya terdapat apa yang dikandung oleh kalimat ini berupa penafian dan penetapan, yang mana keduanya itu adalah berlepas diri dari syirik dan para pelakunya serta menampakkan permusuhan terhadap mereka dan memurnikan ibadah kepada Allah saja serta loyal kepada wali-wali-Nya. Engkau juga mengetahui bahwa ini adalah ashlud dien sehingga ia adalah syariat yang muhkam (paten) yang seandainya berkumpul untuk menolaknya orang yang ada di muka bumi ini, baik orang ‘alim atau jahil, tentulah mereka tak kuasa sama sekali untuk menolaknya  dengan alasan apapun.
Dan telah kami jelaskan kepadamu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala  telah menyebutkan kepada kita keadaan Ibrahim ‘alaihis salam  dan orang-orang mukmin yang bersamanya terhadap kaum mereka. Bagaimana mereka itu bara’ah dari mereka dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka dan Dia Subhanuhu Wa Ta ’Ala berfirman sebelum menuturkan sikap mereka ini langsung:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Artinya: “Sungguh telah ada bagi kamu suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 4)
Dan Dia subhanahu wa ta’ala  berkata setelah itu juga:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
Artinya: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada tauladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian.” (Al Mumtahana, 60: 6)
Kemudian Dia subhanahu wa ta’ala Ala berfirman… dan perhatikan apa yang Dia firmankan:
وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya: “Dan barang siapa yang berpaling, maka sesunggunya Allah, Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Mumthanah, 60: 6)
Dan engkau telah mengetahui juga bahwa ini adalah inti Millah Ibrahim yang kami maksudkan dan kami dakwahkan, serta kami melihat mayoritas penduduk bumi melakukan taqshir di dalamnya… dan engkau telah mengetahui bahwa ia adalah satu-satunya jalan yang terdapat di dalamnya pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla, pengibaran (panji) dien-Nya serta penghancuran syirik dan para pelakunya…
Dan bila keadaannya seperti ini, maka penolakan akan jalan ini adalah dengan cara si Syaikh itu meluruskan terlebih ungkapannya tersebut terus dia mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tinggal 13 tahun di Mekkah di tengah-tengah patung-patung itu, beliau tidak bara’ darinya, dan tidak menampakkan sikap kufur terhadapnya serta permusuhan terhadapnya, supaya dikatakan kepada Syaikh itu setelahnya: Anggaplah dirimu Nasrani atau Yahudi atau Majusi, atau apa yang kamu kehendaki, adapun Millatul Islam maka katakan kepadanya “’Alaikis Salam…
Dan kami berkata: “Adapun penghancuran patung sebenarnya juga kongkritnya sebagaimana yang dilakukan Ibrahim, maka telah sah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau pernah melakukannya tatkala memiliki kesempatan dan mampu untuknya saat waktu lengahnya orang-orang kafir Quraisy, dan saya tidak maksudkan hal itu setelah Futuh Makkah, namun di Mekkah pada masa ketertindasan (Istidl’af), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Ya’la, dan Al Bazzar dengan isnad yang hasan dari Ali Ibnu Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu, berkata : “Saya dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berangkat sampai kami tiba di Ka’bah, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada saya: “Duduklah” dan beliau naik ke atas pundakku, terus saya berupaya untuk mengangkatnya, namun beliau melihat saya lemah, maka beliau turun dan duduk untuk saya naiki, beliau berkata: “Naiklah ke atas pundak saya.” Ali berkata: “Maka saya naik ke atas pundaknya. Terus beliau bangkit mengangkat saya”. Ali berkata: “Dikhayalkan pada saya  bahwa bila saya mau tentu saya bisa mencapai langit, sehingga akhirnya saya naik ke atas Al Bait yang mana di atasnya ada patung kuningan atau tembaga, terus saya berupaya menariknya dari arah kanan, kiri, depan dan belakang, sehingga setelah saya menguasainya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada saya: “lemparkanlah,” maka saya melemparkannya sehingga ia pecah layaknya botol pecah, kemudian saya turun, dan terus saya dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berlarian sampai kami bersembunyi di balik rumah-rumah karena khawatir ada orang menemui kami.” (Al Haitsami membuat bab dalam Majma’ Az Zawaid: Bab Zaksiirahu Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam al Ashnam) dan beliau menuturkan riwayat “Di atas Ka’bah ada patung-patung, terus saya berupaya memanggul Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, namun saya tidak kuat, terus beliaulah yang mamanggul saya, kemudian saya memotong-motongnya…” Dan dalam satu riwayat beliau tambahkan: “Maka setelahnya tidak ada yang dipasang di atasnya lagi, yaitu patung…” Beliau berkata: “Para perawi semuanya adalah tsiqat… Dan Abu Ja’far Ath Thabariy menuturkannya dalam Tahdzib Al Atsar, dan beliau berbicara tentang beberapa faidah fiqhiyyah di dalamnya. (Lihat hal 236 dari Musnad Ali didalamnya)
Oleh sebab itu kami sama sekali tidak berkeberatan untuk menyatakan bahwa hal itu dituntut dari kita juga saat mampu terhadapnya pada masa istidl’af dan yang lainnya… baik berhala itu patung (arca), atau kuburan atau thaghut atau aturan atau yang lainnya sesuai beragam dan bermacam-macamnya bentuk di setiap zaman dan tempat… Dan saya maksudkan dengannya jihad dan perang yang mana ia adalah tingkatan tertinggi pada idhhar (penampakkan) permusuhan dan kebencian terhadap musuh-musuh Allah….
Namun demikian seandainya kita menerima bahwa tidak sah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam penghancuran berhala di Mekkah pada istidl’af, kita katakan sesungguhnya beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sangat ittiba’ pada Millah Ibrahim seraya memegangnya dengan kuat… beliau tidak pernah mudahanah sekalipun terhadap orang-orang kafir dan tidak pernah diam dari kebatilan mereka atau tuhan-tuhannya… Justeru perhatian dan aktivitasnya yang menyibukkan beliau pada tenggang 13 tahun itu dan yang lainnya adalah “Ibadahlah kepada Allah dan tinggalkan thaghut.” (An-Nahl: 36).
Keberadaan beliau pada masa tenggang 13 tahun itu tidak berarti beliau memujinya atau menyanjungnya atau bersumpah untuk menghormatinya, sebagaimana yang dilakukan banyak orang-orang jahil yang intisab pada dakwah terhadap yasiq modern (UU/UUD) masa kini…. Namun beliau menyatakan bara’ahnya dari kaum musyrikin dan perbuatannya secara terang-terangan, serta menampakkan kekafirannya terhadap tuhan-tuhan mereka padahal beliau dan para sahabatnya tertindas… dan hal ini telah kami rinci terhadapmu dalam uraian yang lalu. Dan seandainya engkau mengamati ayat-ayat Makiyyah tentulah makin nampak jelas di hadapanmu hal seperti itu. Sebagai contoh saja darinya adalah firman Allah  subhanahu wa ta’ala yang mensifati Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di Makkah bersama orang-orang kafir:
وَإِذَا رَءَاكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَتَّخِذُونَكَ إِلاَّ هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ وَهُم بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ
Artinya: “Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan):”Apakah ini yang mencela ilah-ilahmu?”, padahal mereka adalah orang-orang yang inkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah”. (QS. Al Anbiya’, 21: 36)
Ibnu Katsir berkata: “Mereka maksudkan apakah orang ini yang mencela tuhan-tuhan kamu dan membodoh-bodohkan ajaran kamu…”
Dan ambil contoh juga apa yang ada dalam musnad Al Imam Ahmad dan yang lainnya dengan Isnad yang shahih tentang sifat dan keadaan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di Mekkah pada masa istidl’af… amatilah dan tadabburilah serta lihat bagaimana orang-orang kafir mensifati Nabi kita Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan sebab celaannya terhadap tuhan-tuhan mereka dan hinaan terhadap ajaran mereka dan sebagainya, dan lihatlah mereka saat mereka mengelilingi beliau sendirian seraya mengintrogasi beliau terhadap apa yang beliau ucapkan, dan mereka mengatakan kepadanya “Apakah kamu mengatakan ini dan itu?” maka beliau menjawab mereka tanpa mudahanah atau segan atau takut atau risih, namun dengan segala ketegaran, keteguhan dan kejelasan: “Ya, sayalah yang mengatakan hal itu.”
Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hanbal berkata: “Ayahku telah memberitahuku, Ya’qub berkata: telah memberitahukan kepada kami ayahku dari Ibnu Ishaq, berkata: dan telah memberitahukan kepadaku Yahya Ibnu Urwah Ibnu Az Zubair dari ayahnya Urwah dari Abdullah Ibnu ‘Amr Ibnul ‘Ash, berkata: Saya berkata kepadanya: “Tindakan apa yang kamu lihat sering dilakukan orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah saat beliau menampakkan permusuhannya?” Dia berkata: “Saya telah hadir di tengah mereka sedang para pembesarnya telah berkumpul suatu hari di Al Hijr, mereka menyebut-nyebut Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, mereka berkata: “Kita sudah terlalu bersabar dari (gangguan) laki-laki ini, dia menjelek-jelekkan ajaran kita, menghina ayah-ayah kita, mencela dien kita, memecah belah persatuan kita dan mencaci tuhan-tuhan kita. Kita telah banyak bersabar terhadapnya atas hal besar itu…” atau ucapan yang mendekati itu. Dia (Ibnu ‘Amr), berkata: “Tatkala mereka sedang demikian, tiba-tiba muncul Rasulullah mendekati mereka, beliau maju seraya berjalan sehingga beliau mengusap rukun (Yamani) terus melewati mereka seraya thawaf di Baitullah, dan tatkala beliau sudah melewati mereka, mereka mencelanya dengan isyarat dengan sebab sebagian apa yang beliau katakan, dia berkata: “Saya mengetahui hal itu di wajahnya, terus beliau lewat, dan tatkala telah melewati mereka yang kedua kalinya, mereka mencelanya dengan hal yang sama, sehingga saya mengetahui hal itu di wajahnya, terus beliau berlalu, kemudian melewati mereka yang ketiga kalinya, dan mereka mencelanya dengan hal serupa, maka beliau berkata:

تسمعون يا معشر قريش أما والذي نفس محمد بيده لقد جئتكم باالذبح

Artinya: “Kalian dengar wahai sekalian Quraisy, sungguh demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya aku telah datang kepada kalian dengan (tugas) menyembelih (kalian)”.
Maka ucapan itu menyentakkan mereka, sampai-sampai semua mereka diam seribu bahasa dan sehingga orang yang paling benci kepada beliau sebelumnya diantara mereka berupaya melunakan beliau dengan ucapan yang paling indah yang ia dapatkan, sampai ia mengatakan: “Pulanglah wahai Abal Qasim, pulanglah dengan penuh petunjuk, demi Allah engkau ini tidak samar lagi,” maka Rasulullah pun pulang sehingga keesokan harinya mereka berkumpul di Al Hijr dan saya ada bersama mereka, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain : “Kalian telah menyebut apa yang sampai dari kalian dan apa yang sampai kepada kalian darinya, sehingga tatkala dia menghantam kalian dengan apa yang tidak kalian sukai, kalian malah membiarkannya..!” Saat mereka sedang seperti itu, tiba-tiba muncul Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka langsung menyerbunya bersama-sama, terus mereka mengepungnya seraya mengatakan kepadanya : “Kamu yang mengatakan ini dan itu”. Ini tatkala telah sampai berita kepada mereka tentang beliau berupa celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan dien mereka.
Dia berkata: Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata: “Ya, sayalah yang mengatakannya.”
Dia berkata: Sungguh saya telah lihat seorang di antara mereka memegang leher bajunya.
Dia berkata: Dan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyaallahu ‘Anhu berusaha menghalanginya seraya berkata sambil menangis: “Apakah kalian akan membunuh orang karena mengatakan Rabb saya Allah? Kemudian mereka pergi meninggalkannya. Sesungguhnya itu adalah hal paling dahsyat yang dilakukan terhadap beliau”. (7036 dari Al Musnad) Tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata: “Isnadnya shahih.” Dan dalam satu riwayat dalam Al Musnad juga 2/204 bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam kedua kalinya saat shalat di pinggir Ka’bah, tiba-tiba muncul ‘Uqbah Ibnu Mu’aith dan terus menarik pundak Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan melilitkan baju beliau pada lehernya, terus dia mencekiknya dengan keras, kemudian muncullah Abu Bakar Radhiyaallahu ‘Anhu dan beliau menarik pundak ‘Uqbah dan terus menyingkirkannya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata: “Apakah kalian akan membunuh orang yang mengucapkan tuhanku adalah Allah sedang dia telah datang kepada kalian dengan bukti-bukti dari Rabb kalian.”
Perhatikanlah keadaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang di sifati oleh malaikat sebagaimana Shahih Al Bukhari:

أنه صلى الله عليه وسلم فرق بين الناس

Artinya: “Bahwa beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memecah belah diantara manusia.”
Perhatikan keadaan beliau bersama orang-orang kafir di zamannya. Dan bagaimana sesungguhnya keadaannya adalah permusuhan yang nampak terhadap setiap orang yang memusuhi dien ini, juga perpisahan jalan serta bara’ah yang nyata. Tidak seperti realita-realita keadaan orang-orang pada zaman kita ini berupa cenderungnya ahlul haq terhadap ahlul bathil, mereka bermudahanah dan bermujamalah terhadapnya, bahkan mereka mendukungnya dan membelanya. Masalah yang ada bukan lagi masalah permusuhan dan bara’ah, namun tolong menolong dan bahu membahu untuk kepentingan tanah air dan bangsa. Mereka duduk dipangkuan musuh-musuh Allah dan menetek dari air susunya…, Wallahul Musta’aan.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata tentang orang-orang seperti itu: “Mereka mencebur dalam lumpur-lumpur fitnah, hati mereka tentram dengan orang-orang dhalim dan aniaya, dan mereka sering mondar-mandir dan berjalan menuju mereka dengan suka rela dan kehendak sendiri, serta mereka berupaya mendapatkan bagian dunia yang ada pada tangan-tangan mereka baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, maka mana hati yang tentram dengan keimanan bila si pengklaimnya berjalan bersama hawa nafsu dan di setiap medan. Sungguh serupa sekali keadaan orang ini dan yang semisalnya dengan macam orang yang telah disebutkan oleh Al Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah, sedang mereka adalah orang-orang yang banyak mendapatkan bagian dari firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
لاتَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآأَتَواْ وَيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَالَمْ يَفْعَلُوا فَلاَتَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imron, 3: 188).
Mereka gembira dengan bid’ah dan kesesatan yang mereka lakukan, dan mereka suka supaya dipuji dengan (anggapan) mengikuti sunnah dan ikhlas. Dan ini banyak terjadi di kalangan yang menyimpang dari jajaran orang-orang yang dianggap ahli ilmu dan ibadah dari jalan yang lurus.” (Ad Durar Juz Al Jihad: 127)
Di sini ada satu masalah yang di anggap isykal oleh sebagian orang, yaitu bagaimana caranya menggabung antara celaan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap tuhan-tuhan mereka dan diennya sebagaimana dalam hadits ini dan yang lainnya dengan firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am, 6: 108).
Maka jawabannya kami katakan dengan Taufiq Allah: “Sesungguhnya semua yang kami utarakan dari uraian yang lalu dalam rincian Millah Ibrahim, berupa celaan terhadap tuhan-tuhan yang batil, hinaan terhadapnya serta penjatuhan martabatnya meskipun sebagian orang menamakannya sebagai makian… Namun sesunguhnya ia bukan makian murni, tapi pokok maksudnya adalah menjelaskan tauhid kepada manusia, dan itu dengan cara:
  • Menggugurkan ketuhanan (uluhiyyah) arbab (tuhan-tuhan) yang cerai berai lagi diada-adakan, kufur terhadapnya dan membongkar kepalsuannya di hadapan manusia, seperti firman-Nya  subhaanahu wa ta’ala :
إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ عِبَادٌ أَمْثَالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجِيبُوا لَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ. أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُوْنَ بِهَآ أَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُوْنَ بِهَآ أَمْ لَهُمْ أَعْيُنٌ يُبْصِرُوْنَ بِهَآ أَمْ لَهُمْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا قُلِ ادْعُوْا شُرَكَآءَكُمْ ثُمَّ كِيْدُوْنِ فَلاَتُنْظِرُوْنَ. إِنَّ وَلِيِّيَ اللهُ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ. وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دًونِهِ لاَيَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلآأَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kalian, maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala memiliki kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau memiliki tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau memiliki mata yang dengan itu dapat melihat, atau memiliki telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: “Panggilah berhala-berhala yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (mencelakakan)ku, tanpa memberi tangguh (kepadaku). Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.” (QS. Al A’raf, 7: 194-197).
Dan ucapan Ibrahim ‘Alaihis Salam:
يَآأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَالاَيَسْمَعُ وَلاَيُبْصِرُ وَلاَيُغْنِي عَنكَ شَيْئًا
Artinya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun”? (QS. Maryam, 19: 42).
Dan firman-Nya dalam surat An Najm:
أَفَرَءَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. إِنْ هِيَ إِلآ أَسْمَآءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآأَنزَلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَاتَهْوَى اْلأَنفُسُ وَلَقَد جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَى.
Aerinya: “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Latta dan Al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pambagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari tuhan mereka.” (QS. An Najm, 53: 19-22).
Dan begitu juga semua yang ada tentang sifat tuhan-tuhan ini seperti penjelasan bahwa tuhan-tuhan itu tidak berhak diibadahi atau penamaan tuhan-tuhan itu sebagai thaghut atau menjadikan peribadatan kepadanya sebagai bentuk taat terhadap syaitan dan bahwa sembahan-sembahan dan mereka itu sebagai umpan Jahannam… serta yang lainnya.
  • Dan begitu juga dengan menegakkan Tauhid ini secara ‘amaliy (praktek) dengan cara menampakkan permusuhan dan kebencian terhadapnya, bara’ah darinya serta kufur terhadapnya, seperti firman-Nya  subhaanahu wa ta’ala tentang Ibrahim:
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ. فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ.
Artinya: “Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam.” (QS. Asy Syu’ara, 25: 75-77).
Dan firman-Nya:
قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
Artinya: “Ibrahim berkata; “Wahai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian persekutukan.” (QS. Al An’am, 6: 78).
Dan makna-makna yang dikandung oleh surat Al Bara’ah minasy syirki, serta yang lainnya yang telah kami ketengahkan. Itu semuanya tidak masuk dalam celaan murni yang dilarang oleh ayat yang lalu, yang mana hasilnya hanya memancing emosi lawan, menghinakannya dan mempermalukannya saja tanpa ada faidah atau penjelasan, sehingga akibatnya dia menghina Allah ‘Azza wa Jalla dengan aniaya dan tanpa dasar ilmu dan bisa jadi tanpa disengaja, terutama orang yang meyakini Rububiyyah Allah seperti orang-orang kafir Quraisy dan begitu juga halnya dengan para hamba Yasiq (undang-undang buatan)…. Sesungguhnya Millah Ibrahim menuntut Yasiq mereka itu ditahdzir, dimusuhi, dibenci dan manusia diajak untuk kufur terhadapnya serta bara’ darinya dan dari para walinya serta para budaknya yang bersikeras untuk menjadikannya sebagai acuan, dengan cara menyebutkan kebobrokannya, dan membongkar kepalsuan dan kebatilan hukum-hukumnya serta pertentangannya yang sangat terhadap dienullah dengan berupa pelegalannya terhadap kemurtadan dan riba, sikap mempermudahnya terhadap perzinahan dan perbuatan bejat, penggugurannya akan hududullah seperti had zina, qadzaf (menuduh zina), pencurian, minum khamr, serta penempatan undang-undang bejat lagi kafir sebagai pengganti hudud yang agung ini… serta kekafiran lainnya yang sangat banyak…, semua ini tidak masuk dalam larangan ayat itu meskipun para hamba dan sadanah (ulama-ulama pemerintah) Yasiq menamakannya sebagai celaan atau sikap kurang ajar, justeru yang wajib sebagaimana yang engkau ketahui dari uraian yang lalu adalah para du’at menampakkannya dan menyatakannya secara terang-terangan. Adapun mencela mereka dan mencela pemerintahannya, para penguasanya serta undang-undangnya dengan sekedar celaan begitu saja dalam rangka sekedar memancing, maka itu adalah yang dilarang karena bisa berefek munculnya celaan orang-orang jahil itu terhadap si pencela itu, diennya dan metodenya meskipun mereka itu mengaku Islam secara dusta dan bohong dan mereka bersaksi akan Rububiyyah Allah dan bisa jadi mereka itu mentauhidkan-Nya dengan sebagian macam Uluhiyyah-Nya selain hukum dan tasyri’…, sebagaimana para ahli tafsir “nanti mereka memaki Allah” yaitu mereka memaki Dzat yang memerintahkan kalian untuk memakinya sehingga hal itu kembali terhadap Allah karena kejahilan dan aniaya tanpa dasar ilmu, sebagaimana seseorang terkadang memaki ayah orang lain terus orang itu mencaci ayahnya, dan bisa jadi keduanya adalah dua bersaudara seayah. Amarah, marah dan sekedar memancing bisa butakan lawan dari berpikir, dan mempertimbangkan serta mendorongnya untuk balas memaki….
Muhammad Rasyid Ridla berkata dalam tafsirnya: “Yang mendorong untuk melakuan di sini adalah keinginan memaki yang dimaksudkan dengannya penghinaan terhadap orang yang dimaki, karena orang yang memaki ini tidak memiliki maksud lain kecuali penghinaan terhadap orang yang dia maki itu. Berbeda dengan perintah menggunakan akal, mengajak untuk memakainya, mengkhitabinya dan memalingkan perhatiannya pada kepalsuan tuhan-tuhan ini dan statusnya yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat, tidak mendatangkan madlarrat dan manfa’at, tidak bisa mendekatkan, tidak bisa memberikan syafa’at, tidak bisa menolong dirinya dan diri para pengikutnya sedikitpun.”
Dan amatilah kisah Ibrahim dan kaumnya, dan bagaimana dia memalingkan perhatian mereka pada kepalsuan tuhan-tuhan palsu yang di ada-adakan itu dan mengipasi emosi mereka bukan untuk sekedar membuat emosi atau menghinakan, namun supaya mereka berpikir dan saling berbenturan dengan akal mereka dalam hal itu.
Dan amatilah bagaimana urusan mereka itu terbongkar dengan hal itu, mereka tersungkur, bertolak belakang dan kelabakan, maka saat itu dia mengatakan kepada mereka seraya mengancam:
أُفٍّ لَّكُمْ وَلِما تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya: “Ah (celakalah) kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah, maka apakah kalian tidak memahami.” (QS. Al Anbiya, 21: 67).
Dan seandainya engkau mengamati perkataan Abdullah Ibnu ‘Amr perawi hadits yang lalu saat menyebutkan ucapan orang-orang Quraisy kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Kamu yang mengatakan ini dan itu.” Dia mengatakan seraya menafsirkan hal itu: “Tatkala sampai kepada mereka berita dari beliau tentang celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan diennya.” Al ‘aib (celaan) menurut orang-orang Arab adalah sabb (makian) atau seperti sabb, dan Ibnu Taimiyyah menganggapnya juga seperti itu dalam kitabnya: Ash Sharim Al Maslul ‘ala Syatimir Rasul dalam penjelasan macam-macam sabb hal 528 dan yang lainnya. Namun dalam tempat ini bukan sekedar makian sebagaimana yang telah engkau ketahui. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam selalu menegakkan dakwah Tauhid yang dengannya Allah telah mengutus beliau dan menegakkan Millah Ibrahim yang Allah subhaanahu wa ta’ala memerintahkan untuk mengikutinya. Dan semua itu menurut kaum musyrikin adalah makian, karena ia adalah pengguguran terhadap dien mereka dan hinaan terhadap tuhan-tuhan mereka yang diada-adakan dengan cara menelanjanginya dari sifat-sifat uluhiyyah yang mereka sandangkan padanya…, sedangkan ini adalah hinaan yang mereka sebutkan terhadap tuhan-tuhan mereka. Begitu juga tuduhan sesat terhadap nenek moyang mereka bukan sekedar memanas-manasi mereka, tetapi untuk membuat mereka jera dari mengikuti mereka dan untuk melarangnya dari mutaba’ah kepada mereka di atas kesesatannya.
Al Qosimi menukil dalam tafsirnya dari Ar Raziy ucapannya: “Dan di dalam ayat ini ada pelajaran bagi orang yang menyeru kepada dien ini, (yaitu) agar dia tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak berfaidah baginya dalam apa yang dituntut, karena pensifatan bahwa berhala-berhala itu adalah benda mati yang tidak mendatangkan manfaat dan madlarrat, ini adalah cukup dalam menggugurkan ketuhanannya, sehingga tidak butuh bersama itu pada mencercanya.”
Namun hal itu juga tidak disukai oleh orang-orang kafir dan tidak menakjubkan mereka meskipun bukan sekedar makian, namun itu adalah hantaman buat tuhan-tuhan mereka dan kufur terhadapnya… oleh sebab itu mereka menamakannya sebagai makian, sebagaimana mereka mengatakan orang yang mengatakan seputar nenek moyang mereka dengan tuduhan sesat sebagai hinaan… yang mana mereka berkata: “Dia telah membodoh-bodohkan pikiran-pikiran kita, menghina nenek moyang kita, mencela agama kita, memecah belah persatuan kita dan memaki tuhan-tuhan kita”.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Rahimahullah berkata dalam point ke dua dari kitab Syarah Sittati Mawodli’ Minas Sirah an Nabawiyyah  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam Sesungguhnya tatkala beliau terang-terangan memaki dien mereka dan membodoh-bodohkan ulama mereka, maka saat itu mulailah mereka menyingsingkan lengan permusuhan terhadap beliau dan para sahabatnya seraya berkata: “Dia telah membodoh-bodohkan pikiran kita, mencela dien kita dan menghina tuhan-tuhan kita”, padahal sudah maklum bahwa beliau tidak pernah menghina Isa, Ibunya, Malaikat dan orang-orang shalih, namun tatkala beliau menyebutkan bahwa mereka itu tidak boleh di seru, tidak bisa mendatangkan manfaat dan madlarrat, maka mereka jadikan itu sebagai hinaan.”
Dan kesimpulannya adalah bahwa itu semuanya tidak masuk dalan makian murni yang dilarang Allah dalam ayat itu, dan juga itu bukan yang dimaksud, meskipun hal itu menimbulkan efek si orang kafir itu berbalik memaki Allah atau dien ini secara aniaya. Tidak boleh orang muslim meninggalkan karenanya apa yang di wajibkan Allah atasnya, berupa terang-terangan dengan Tauhid dan menampakkan dien, sehingga makian di sini tidak lain adalah aniaya dengan dasar ilmu karena adanya hujjah dan bayan. Karena kalau kiranya kita memperhitungkan perhitungan untuk hal seperti itu maka tentulah kita meninggalkan dien kita semuanya dan kita banyak mengorbankan dari dien ini demi kesenangan orang-orang kafir… karena ia semuanya berdiri di atas inti Al Iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut seluruhnya… Perhatikanlah… dan kiaskanlah atas hal itu apa yang dikatakan tentang para Thaghut modern… berupa UUD, falsafah-falsafah, undang-undang para penguasa dan yang lainnya… Dan jangan kamu terpaku pada berhala-berhala batu, sehingga karenanya kamu batasi makna yang luas.
Jadi kaidah ini hanya benar bila diterapkan pada hal-hal yang mubah dan yang mustahabb (sunnah), bukan pada hal-hal yang wajib. Sehingga yang wajib tidak boleh ditinggalkan seperti menjelaskan tauhid dan menggugurkan dien kaum musyrikin karena ingin menutup jalan yang tadi sebagaimana yang terkadang dipahami sebagian orang…. Dan seandainya kita terlalu memperluas dalam memakai kaidah itu tentulah kita telah menyia nyiakan dien kita seluruhnya… oleh sebab itu Abu Bakar Ibnul ‘Arabiy berkata dalam Ahkamul Qur’an hal. 473. (masalah yang kedua): “Ini menunjukkan bahwa orang yang benar wajib menahan diri dari (mengambil) hak dia bila itu bisa mendatangkan bahaya pada dien ini dan ini terdapat kajian yang panjang didalamnya yang ringkasnya bahwa bila hak dia itu adalah kewajiban, maka mesti diambil bagaimanapun keadaannya, dan bila ia adalah hal yang boleh (mubah) maka kaidah tadi diterapkan padanya wallallahu ‘Alam.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridla: “Dan diantara apa yang dinukil dari Abu Manshur, berkata: Bagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala melarang kita dari memaki orang yang berhak dimaki supaya ia tidak memaki orang yang tidak berhak dimaki, dan dia juga memerintahkan kita untuk memerangi mereka dan bila kita memerangi mereka maka mereka memerangi kita, sedangkan membunuh orang mukmin tanpa hak adalah kemungkaran? Dan begitu juga Nabi diperintahkan untuk menyampaikan dan membaca kepada mereka meskipun mereka itu mendustakan beliau… dan beliau menjawab atasnya: Sesungguhnya memaki tuhan-tuhan adalah mubah tidak wajib (fardlu), sedangkan memerangi mereka adalah fardlu dan begitu juga menyampaikan. Dan yang mubah jadi dilarang karena sebab apa yang terlahir dan muncul darinya, sedangkan yang fardlu tidak dilarang karena sebab apa yang terlahir darinya. “Dan dengan (jawaban) seperti itulah dibantah orang yang berdalih untuk menggugurkan apa yang telah kami utarakan berupa wajibnya idhharud dien dengan apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya, bahwa firmannya subhaanahu wa ta’ala : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya.” (Al Isra: 110) diturunkan sedangkan Rasulullah bersembunyi-sembunyi di Mekkah. Bila beliau mengangkat suaranya, maka orang-orang musyrik mendengarnya, terus mereka memaki Al Qur’an, Allah yang menurunkannya dan Rasulullah yang datang membawanya, dan Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya.” (Al Isra 110). Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu sehingga kedengaran oleh orang-orang musyrik, dan jangan pula merendahkannya dari sahabatmu sehingga kamu tidak memperdengarkannya kepada mereka dan carilah pertengahan diantara itu.
Dakwah ilallah tegak dan dienul muslimin nampak jelas. Ajakan mereka untuk meninggalkan berhala sudah dikenal bagi setiap orang di Mekkah serta bara’ mereka darinya jelas lagi terang. Dan bila keadaannya seperti itu maka meninggalkan jahr saat membaca Al Qur’an dalam rangka menghindari mafsadah ini maka tidak mematikan cahaya dakwah dan tidak berpengaruh di dalamnya dengan pengaruh negatif selama-lamanya…. Al Qur’an tersebar di setiap tempat padahal orang-orang musyrik geram dengannya… Millah Ibrahim ditampakkan terang-terangan sampai-sampai orang yang menyatakan keIslamannya dinamakan Shabi: yaitu kafir terhadap agama mereka dan berhala-berhalanya. Tauhid sangat nampak tidak ada kesamaran di dalamnya dan tidak ada isykal… ini disamping bahwa mengangkat suara saat membaca Al Qur’an di dalam shalat untuk memperdengarkannya kepada orang yang diluar shalat adalah bukan termasuk kewajiban shalat, sehingga boleh meninggalkannya demi menghindari mafsadah sesuai dengan kaidah yang lalu yang khusus berkenaan dengan meninggalkan mubahat dan mustahabbat bukan yang wajib. Ini bukan meninggalkan kewajiban, akan tetapi cukup dalam hal itu si imam memperdengarkan makmum yang ada di belakangnya, dan ia adalah apa yang Allah subhaanahu wa ta’ala  perintahkan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya: “Dan jangan pula kamu merendahkannya” yaitu dari sahabat-sahabat kamu.
Ada Syubhat lain yang dijadikan dalil oleh sebagian orang, yaitu perlindungan Abu Tholib terhadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mana dengannya Allah memberikan karunia kepadanya, Dia berfirman:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَئَاوَى
Artinya: “Bukankah Dia mendapatkanmu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” (QS. Adl Dluha, 94: 6).
Dan begitu juga kisah jaminan (jiwar) dan (pemberian) keamanan orang kafir bagi orang muslim. Sedangkan contoh-contohnya adalah banyak sekali diantaranya:
-          Apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya tentang jaminan (jiwar) Ibnu Ad Dughnah buat Abu Bakar di Mekkah.
-          Begitu juga An Najasyiy dan perlindungannya bagi kaum muslimin sedang ia masih Nasrani belum Muslim.
-          Dan yang serupa itu.
Dan ringkasan syubhat ini: “Bagaimana orang muslim dalam keadaan seperti ini ridla dengan jaminan, perlindungan dan penjagaan orang kafir yang menyelisihinya dalam aqidah dan jalan hidup? Maka apakah ini tidak bertentangan dengan Millah Ibrahim dalam hal bara’ah dari kaum musyrikin?
Maka kami katakan dengan Taufiq dari Allah: Tidak ada kontradiksi dalam contoh-contoh yang lalu ini dengan Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan Rasul. Dan itu dikarenakan sesungguhnya masalahnya sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepadamu sebelumnya ada dua macam:
Pertama  : Bara’ah dari tuhan-tuhan mereka yang batil serta kufur terhadap                          Thaghut-thaghut mereka yang di ibadati selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Kedua    : Memaki kaum musyrikin yang mu’anid lagi bersikukuh diatas kebatilannya.
Dan telah kami ketengahkan kepadamu juga bahwa yang pertama dituntut dari muslim semenjak awal langkahnya di jalan ini tanpa lalai atau penangguhan, namun wajib dinyatakan terang-terangan, ditampakkan dan ditampilkan oleh sekelompok dari kaum muslimin agar dengannya orang-orang mengetahui inti dakwah dan terkenal sehingga menjadi hal spontan yang dengannya setiap orang yang masuk dalam dien ini dicap.
Adapun hal kedua, maka tidak ditampakkan dan tidak di nyatakan terang-terangan kecuali setelah adanya sikap bersikukuh di atas kebatilan dan memusuhi al haq dan orang-orangnya. Sedangkan Abu Tholib umpamanya… meskipun dia betah diatas kekafiran namun dia tidak menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap al haq dan orang-orangnya, akan tetapi sebaliknya dari hal itu, justeru dia perisai yang selalu membela pembawa kebenaran dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Al Abbas Radliyaallahu ‘Anhu dalam hadits Al Bukhari dimana ia berkata kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Apa yang engkau bisa lakukan buat pamanmu, karena sesungguhnya dia melindungimu, membelamu dan marah (dalam rangka) menolongmu…..” Meskipun itu dilakukan karena fanatisme dan hubungan-hubungan kekeluargaan. Dan silakan rujuk dalam hal ini apa yang telah di tuturkan oleh Al ‘Alamah Asy Syinqithiy dalam Adlwaul Bayan jilid 3 hal 41, 43, 406, 407 tentang pembelaan terhadap dien ini oleh orang fajir dengan ikatan-ikatan kabilah dan hubungan-hubungan nasab meskipun ikatan-ikatan ini batil dan (meskipun) kasih sayang di atasnya saja adalah batil pula.
Dan bukti dari kisah ini adalah bahwa pelindung dan penjamin ini masih ada pengharapan dia mendapat hidayah dan mengikuti kebenaran hingga titik terakhir hidupnya selama ia tidak bergabung di barisan yang memusuhi lagi memeranginya, namun berdiri sebagai pembela akan sebagian pengikutnya… maka apa gerangan bila ia itu adalah keluarga terdekat si da’i itu dan kerabatnya yang mana mereka memiliki kaitan dengannya… oleh sebab itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah putus asa dari mendakwahi pamannya yang pernah berkata:
Demi Allah mereka tak akan sampai kepadamu dengan perkumpulannya…
Sampai aku di kubur berbantalkan tanah…
Sampai terang-terangan urusanmu itu, tak apa-apa atas engkau…
Bahagialah dengan hal itu dan berbinarlah mata dengannya…
Dan sebelum itu semuanya, disana ada masalah lain,… yaitu titik paling pertama dan yang sangat penting dalam materi ini,……sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam meskipun sikap pamannya yang selalu melindunginya, sama sekali beliau tidak pernah bermudahanah (basa-basi) terhadapnya dengan mengorbankan dakwah dan diennya, namun justeru pamannya mengetahui benar dakwahnya Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mendengar sikap permusuhannya dan celaannya terhadap tuhan-tuhan mereka yang batil. Dan pernah Quraisy bersama Abu Thalib berupaya menekan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar menghentikan dakwahnya, celaannya terhadap tuhan-tuhan mereka dan penghinaan terhadap pola pikir mereka. Dan tatkala Abu Thalib berupaya melakukan hal seperti ini, beliau tidak bermudahanah terhadapnya dan tidak mengorbankan sedikitpun dari urusan diennya dalam rangka menyenangkan perasaan pamannya yang selalu menjaganya, membelanya dan melindunginya, namun justeru beliau malah mengungkapkan ungkapannya yang masyhur: “Demi Allah aku tidak lebih mampu meninggalkan apa yang aku diutus dengannya dari pada seseorang menyalakan nyala api dari matahari-matahari ini” sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dan yang lainnya. Dan begitulah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di awal dan di akhir, sama sekali tidak ada ikatan cinta dan kasih sayang antara beliau dengan pamannya yang kafir, beliaulah contoh kita dan tauladan tertinggi bagi kita dalam firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ
Artinya: “Tidak mungkin engkau memdapatkan kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka …” (QS. Al Mujadilah, 58:22).
Padahal beliau sangat menginginkan pamannya itu mendapat hidayah. Keinginan ini adalah lain, sedangkan cinta dan kasih sayang adalah hal lain pula.
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam meskipun pamannya itu melindunginya, membelanya dan menjamin keamanannya, sama sekali beliau tidak menshalatkannya saat dia meninggal… justeru Allah subhaanahu wa ta’ala melarang beliau dari sekedar memintakan ampunan baginya di saat Dia menurunkan kepadanya:

مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik…” (QS. At Taubah, 9: 113).
Dan saat Ali Radliyaallahu ‘Anhu datang mengatakan kepada beliau: “Sesungguhnya pamanmu orang tua yang sesat telah mati, siapa yang menguburkannya?“, Beliau hanya mengatakan kepadanya: ”…pergilah dan kuburkan dia.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan yang lainnya)
Dan seperti itu juga dikatakan tentang keluarga Syu’aib as yang mereka itu melindunginya dari orang-orang kafir, Allah subhaanahu wa ta’ala  berkata seraya mengabarkan tentang musuh-musuh Nabi-Nya:
وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ
Artinya: “Dan seandainya tidak ada keluargamu tentulah kami merajam kamu.” (QS. Hud, 11: 91).
Padahal keluarganya adalah orang-orang kafir.
Dan begitu juga Nabiyyullah Shalih ‘alaihis salam dan ahli warisnya yang ditakuti oleh orang-orang kafir:
قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَاشَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya: “Bersumpahlah kalian dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang benar.” (QS. An Naml, 27: 49).
Disamping itu ada perbuatan yang nyata yang wajib diperhatikan dan ditinjau antara keberadaan orang kafir menolong orang muslim atau melindunginya, membelanya, menjaganya dan menjamin keamanannya dengan inisiatif sendiri tanpa orang muslim itu mencari perlindungan kepadanya atau menghinakan dirinya kepadanya atau mencari hatinya, namun si kafir melakukan hal itu atas inisiatif sendiri atas dorongan ras kesukuan atau kebangsaan atau kekerabatan dan yang lainnya… dan antara keberadaan orang muslim meminta hal itu darinya serta dalam permintaannya itu ada macam perendahan diri, penghinaan diri dan mudahanah atau pengakuan dan mendiamkan kebatilannya atau ridla dengan kemusyrikannya… tidak ragu lagi bahwa perbedaan antar dua keadaan itu sangat nampak jelas yang tidak samar atas orang yang bisa melihat. Dan seandainya engkau melihat/mengamati contoh-contoh tadi tentulah engkau mendapati tergolong jenis pertama. Abu Ja’far Ath Thahawi memiliki perkataan yang indah yang menyerupai hal ini dalam Musykilul Atsar 3/239 di dalamnya beliau membedakan antara Isti’anah (meminta pertolongan) dengan kaum musyrikin dalam perang dan keberadaan hal itu tergolong apa yang dilarang Allah  subhaanahu wa ta’ala  dalam firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkana) kemudlaratan bagimu.” (QS. Ali Imron, 3: 118).
Dengan sikap mereka memerangi musuh-musuh kaum muslimin atas inisiatif diri mereka sendiri tanpa permintaan dan permohonan pertolongan dari kaum muslimin sendiri, maka silakan merujuknya karena itu sangat berfaidah dalam hal ini… dan begitu juga jaminan Ibnu Ad Dughnah bagi Abu Bakar… semuanya termasuk dalam hal ini.
Dan diantara hal itu berbuat baik pada kedua orang tua yang musyrik dan mempergaulinya dengan baik serta melunakan hati keduanya, karena harapan terpengaruh oleh anaknya dan mengikuti kebenaran yang ia dakwahkan adalah masih tetap ada selama keduanya terkait dengan si anak… termasuk meskipun keduanya memaksanya untuk mempersekutukan Allah… selama keduanya tidak berdiri di barisan yang memerangi, memusuhi lagi mengahalang-halangi dari jalan Allah… kemudian bila keduanya melakukan hal itu maka harus berlepas diri dari keduanya secara terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim AS terhadap ayahnya tatkala telah jelas baginya bahwa ia adalah musuh Allah…, bahkan ia harus memusuhi kedua orang tuanya dan memeranginya sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan para sahabat lainnya di Badr… Ibrahim ‘Alaihis Salam –sebagaimana yang telah kami ketengahkan– dahulu berupaya melunakkan hati ayahnya dan mendakwahinya dengan cara terbaik dan lembut, menampakkan keinginan kuat agar ayahnya mendapat hidayah dan kekhawatirannya atasnya dari adzab Allah terhadap wali-wali syaithan… akan tetapi beliau bara’ darinya dan meninggalkannya tatkala telah jelas baginya permusuhan ayahnya yang nyata terhadap Allah… dan Dia SWT mengecualikan dari apa yang kita perintahkan untuk mentauladani Ibrahim orang-orang yang bersamanya dalam surat Al Mumtahanah, permintaan ampunan buat ayahnya yang dilakukan oleh Ibrahim, dan Dia  subhaanahu wa ta’ala melarang orang-orang mukmin dalam surat Al Taubah dari memintakan ampunan buat kaum musyrikin meskipun mereka adalah kerabat terdekat, kemudian Dia berfirman tentang Ibrahim :

فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ للهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأَوَّاهٌ حَلِيم

Artinya: “Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka ia berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut lagi penyantun.” (QS. At Taubah, 9:114).
Dan diantara firman –Nya subhaanahu wa ta’ala:

وَلاَتُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut, 29: 46)
Terus Allah subhaanahu wa ta’ala mengecualikan:

إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

Artinya: “Kecuali dengan orang-orang yang zalim diantara mereka.” (QS. Al Ankabut, 29: 46)
Dan begitu juga perlindungan An Najasyi terhadap kaum muhajirin…. Dan silakan rujuk kisah Ja’far Radliyaallahu ‘Anhu dan sikapnya dalam terang-terangan dengan diennya dan keyakinannya berkenaan dengan Isa ‘Alaihis Salam yang  menyelisihi di dalamnya agama orang-orang yang ada yang di sekelilingnya padahal beliau dan para sahabatnya adalah tertindas dan padahal mereka itu berada dalam jaminan keamanan mereka… bahkan sesungguhnya An Najasyi sendiri menangis tatkala mendengar firman Allah dibacakan, dan dia menampakkan dukungan dan penerimaan, dan dia memberikan mereka jaminan keamanan, kemudian mereka menampakkan dien dan keyakinan mereka kepada setiap orang. Sehingga keIslaman ‘An Najasyi dan kalangan penduduk Habasyah adalah dengan taufiq Allah subhaanahu wa ta’ala  dan kemudian dengan sebab penampakan mereka Radliyaallahu ‘Anhum akan diennya.
Dan silakan rujuk dalam hal bantahan akan Syubhat ini dan penggugurannya dalam risalah Al Muurid Al ‘Adzb Az Zallal karya Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Ad Durar As Saniyyah Juz Mukhtashar Ar Rudud: 124 juga hal: 197 dalam juz yang sama, karena ia sangat penting dalam membantah syubhat ini, dan syubhat yang lain adalah dalih mereka dengan kisah orang mukmin dari keluarga Firaun, dan juga hal: 212
Dan ringkasan ucapan dalam hal itu semuanya…, adalah bahwa memusuhi ahlul bathil dan menampakkan bara’ah dari mereka dan dari tuhan-tuhan mereka yang palsu, dien-diennya yang bathil serta undang-undang buatannya yang busuk adalah inti yang sangat agung dan pilar yang sangat kokoh dalam dakwah para Nabi dan Rasul…. Dan ini adalah syariat yang muhkam (jelas) yang bermuara pada Ashlu Dien Islam wa Qa’idatuhu sebagaimana yang telah engkau ketahui…. Seandainya seluruh penduduk bumi berkumpul untuk menolak dan menggugurkannya tentulah mereka tidak bakal mampu melakukannya…. Dan orang-orang yang menyelisihi di dalamnya seperti yang engkau lihat sendiri tidak berdalil kecuali dengan kasus-kasus individu yang khusus yang tidak bermakna umum menurut Jumhur Ahli Ushul dan (para ulama) pengkaji, bahkan ia sendiri terikat dengan batasan dan pengkhususan. Dan bila telah pasti bahwa jalan ini inti yang agung lagi muhkam, maka berarti dalil-dalil Juziyyah dan yang lainnya yang diduga menentangnya oleh orang-orang yang menduga-duga adalah menjadi dalil mutasyabih (yang samar) yang wajib dikembalikan kepada yang muhkam, bukan malah Kitabullah satu sama lain dibenturkan dan juga Sunnah Al Mushthafa. Perhatikanlah hal ini dan janganlah kamu terperdaya dengan syubhat-syubhat para Mulabbisun….
“Dan begitulah para pengibar dakwah ini harus bersikap memisahkan diri secara total dari kaumnya…. Dan di hari terealisasinya pemisahan (Mufashalah) ini maka terbuktilah janji Allah dengan bentuk pertolongan bagi wali-wali-Nya dan kehancuran atas musuh-musuh-Nya. Dan di dalam sejarah ilallah sepanjang sejarah, Allah tidak memisahkan antara wali-wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya kecuali setelah wali-wali-Nya memisahkan diri dari musuh-musuh-Nya atas dasar aqidah, kemudian mereka memilih Allah saja. Sedangkan para pengibar dakwah ini memiliki suri tauladan yang baik pada rasul-rasul Allah… Dan sesungguhnya hati mereka harus penuh dengan rasa percaya (akan janji Allah) sampai meluap dan mereka harus tawakal kepada Allah saja dihadapan Thaghut siapa saja. Thaghut itu tidak akan memudlaratkan mereka kecuali sedikit saja… sebagai ujian dari Allah bukan sebagai kelemahan dari-Nya subhaanahu wa ta’ala dari menolong wali-wali-Nya dan bukan sikap membiarkan mereka untuk diserahkan kepada musuh-musuh-Nya, akan tetapi itu ujian yang membersihkan hati dan barisan…, kemudian bagian kembali lagi bagi kaum mukminin… Dan Allah pasti merealisasikan janji-Nya dengan kemenangan dan tamkin…” (dari Adh Dhilal dengan perubahan)
Dan perlu engkau ketahui di akhir ini bahwa manusia sikapnya terhadap kebenaran ini ada beberapa macam:
  1. Orang yang teguh lagi terang-terangan dengan Millah Ibrahim dan dengan dien seluruh rasul sesuai dengan apa yang lalu, dia tidak takut dijalan Allah celaan orang yang mencela, maka ia termasuk thaifah dhahirah yang mendapat pertolongan, yaitu penyeru pada kebenaran yang berbaur dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, dialah yang mendapatkan kemenangan dengan kemuliaan di dunia dan akhirat, yang mana Allah berfirman tentangnya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Dan siapa yang lebih baik ucapannya dari orang yang menyeru kepada Allah, dan beramal shalih, serta dia berkata. “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fushshilat, 4: 33).
Dan ia adalah yang dimasukkan dengan hadits:

المؤمن الذي يخالط الناس ويصبر على أذاهم خير

Artinya: “Orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka adalah lebih baik…”
Dan gangguan hanya terjadi padanya karena dia mendatangkan apa yang dibawa oleh para rasul… dia tidak mudahanah terhadap ahlul bathil, tidak cenderung pada mereka atau ridla dengan kebatilan mereka, namun ia bara’ dari mereka, menampakkan permusuhan terhadap mereka, dan meninggalkan/menjauhi setiap apa yang bisa membantu mereka atas kebathilannya, baik berupa jabatan, profesi, pekerjaan atau jalan. Dan orang yang keadaannya seperti ini tidak ada dosa baginya dengan tinggalnya dia di tengah masyarakat mereka, dan negeri-negeri mereka, dan tidak wajib atasnya hijrah dari negeri mana saja.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata saat menjelaskan firman Allah subhaanahu wa ta’ala: “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”… Hingga akhir Al Mumtahanah: 4. Dan makna  (بدا) adalah nampak dan jelas. Sedangkan yang dimaksud adalah penegasan terang-terangan akan terus berlangsungnya permusuhan dan kebencian bagi orang yang mentauhidkan Rabbnya dengan kaum musyrikin. Siapa yang merealisasikan hal itu secara ilmu dan amal, dan ia menyatakannya terang-terangan sehingga penduduk negerinya mengetahui hal itu darinya maka hijrah tidak wajib atasnya dari negeri mana saja. Dan adapun orang yang tidak seperti itu, namun dia justeru mengira bahwa bila ia dibiarkan shalat, shaum dan haji maka hijrah gugur darinya, maka sungguh ini tergolong kebodohan akan dien ini dan sikap lalai dari intisari risalah para rasul…” (Ad Durar Juz Al Jihad hal: 199)
Dan orang macam ini bila terang-terangan menyatakan al haq dan dia diancam akan dibunuh dan disiksa sedangkan tidak ada di sana negeri tempat hijrah maka baginya tauladan yang baik pada diri Ashhabul Kahfi yang ingin menyelamatkan diennya dan mereka lari ke gunung…, dan baginya juga tauladan yang baik pada Ashhabul Ukhdud yang dibakar hidup-hidup dalam rangka mempertahankan aqidah dan tauhid mereka…. Mereka tidak lemah dan tidak menyerah (pada musuh)… dan baginya juga tauladan yang baik pada diri sahabat-sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang hijrah, jihad, berperang dan terbunuh. Dan cukuplah Tuhannu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.
Dan andai tak ada mereka hampir (bumi) oleng dengan penghuninya…
Namun pasak-pasak dan paku-pakunya adalah mereka…
Dan andai tak ada mereka tentu (bumi) gelap dengan penghuninya…
Namun mereka di dalamnya adalah purnama dan bintang-bintang…
  1. Orang yang lebih rendah kedudukannya dari yang pertama, yang tidak mampu meniti jalan ini yang dipenuhi dengan resiko, dia mengkhawatirkan diennya dan dia tidak mampu menampakkan hal itu dengan terang-terangan. Dia mengasingkan diri dengan kambing-kambingnya yang digiring ke daerah hutan dan lereng-lereng gunung, dia beribadah kepada Allah seraya lari dengan diennya dari fitnah.
  2. Orang yang tertindas yang menutup pintu rumahnya lagi mengkonsentrasikan diri pada urusan keluarganya saja, dia berusaha untuk keselamatan keluarganya dan menjaga mereka dari syirik, para pelakunya dan dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu… dia menjauhi orang-orang kafir dan berpaling dari mereka, dia tidak menampakkan sikap ridla terhadap kebatilan mereka dan tidak membantunya dengan bentuk bantuan apapun… Dan mesti untuk hal ini dalam rangka keselamatan tauhidnya keberadaan hatinya teguh tentram dengan permusuhan dan kebencian terhadap syirik dan kaum musyirkin seraya menunggu hilangnya penghalang… dan menunggu-nunggu kesempatan untuk kabur membawa diennya dan untuk hijrah ke negeri yang lebih minimal keburukannya yang di sana dia bisa menampakkan diennya, seperti hijrah para Muhajirin ke Habasyah.
  3. Orang yang menampakkan ridla terhadap ahlul bathil lagi mudahannah (basa-basi) terhadap kerusakan dan kesesatan mereka. Maka ini ada tiga keadaan yang telah disebutkan oleh Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq dalam Sabilun Najah wal Fikak hal: 62.
Keadaan pertama: Setuju terhadap mereka dalam dhahir dan bathin, maka ini kafir di luar Islam, sama saja baik dipaksa atau tidak. Dan dia tergolong orang yang Allah firmankan:
وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ
Artinya: “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. An Nahl, 16: 106)
Keadaan kedua: Setuju terhadap mereka dan cenderung terhadap mereka di dalam bathin, padahal di dhahirnya dia menyelisihi mereka, ini kafir juga, dan merekalah orang-orang munafiq.
Keadaan ketiga: Setuju terhadap mereka secara dhahir padahal di bathin menyelisihi mereka. Dan ini ada dua macam:
Pertama: Dia melakukan hal itu karena sebab dia berada dalam genggaman mereka dengan disertai pukulan, diikat dan diancam dibunuh, maka bila keadaannya seperti ini boleh baginya menampakkan sikap setuju terhadap mereka secara dhahir dengan disertai hati tuma’ninah dengan keimanan, sebagaimana yang terjadi pada Ammar. Allah subhaanahu wa ta’ala:
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
Artinya: “Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman.” (QS. An Nahl, 16: 106).
Saya berkata. Dan seyogyanya bagi orang seperti ini sebagaimana yang telah kami sampaikan agar selalu berupaya seperti orang-orang tertindas dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk lari membawa diennya dan selalu berdo’a:
رَبَّنَآأَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيًرا
Artinya: “Ya tuhan kami keluarkahlah kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami pertolongan dari sisi Engkau.” (QS. An Nisa, 4: 75)
Kedua: Menyetujui mereka secara dhahir namun bathin menyelisihinya sedangkan ia tidak ada dalam genggaman mereka. Namun dia lakukan itu bisa jadi karena ingin kedudukan, atau harta, atau berat dengan tanah air, atau keluarga, atau takut terjadi sesuatu pada hartanya, sesungguhnya orang dengan keadaan ini adalah murtad dan kebencian terhadap orang-orang kafir di dalam bathin adalah tidak berguna baginya, dan ia itu tergolong orang yang Allah Firmankan:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى اْلأَخِرَةِ وَأَنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Artinya: “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. An  Nahl, 16: 107).
Allah subhaanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa yang mendorong mereka untuk berbuat kekafiran bukanlah kejahilan atau kebenciannya dan juga bukan kecintaan kepada kebathilan, namun ia hanyalah bagian dunia yang lebih mereka utamakan atas dien ini… beliau berkata: “Dan ini adalah makna perkataan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah”.
Saya berkata: Makna perkataan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab yang di isyaratkan oleh Syaikh Ibnu ‘Atiq ada dalam banyak tempat di kitab-kitab dan risalah-risalah beliau. Sebagai contoh diantaranya perkataan beliau hal: 42 dalam Majmu’ah Ar Rasail An Najdiyyah: “Ketahuilah bahwa dalil-dalil atas pengkafiran muslim yang shalih bila dia menyekutukan Allah atau ia bergabung bersama kaum musyrikin atas kaum muwahiddin meskipun ia tidak berbuat syirik adalah sangat banyak tidak terhitung dari firman Allah, sabda Rasul-nya serta perkataan para ulama. Dan saya akan menyebutkan satu ayat buat engkau dari firman Allah yang telah diijmakan penafsirannya oleh para ulama dan itu berkenaan dengan kaum muslimin, serta bahwa orang bila mengatakan hal itu maka dia kafir di zaman kapan saja. Dia subhaanahu wa ta’ala  berfirman:

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ

Artinya: “Siapa yang kafir kepada Allah setelah keimanannya kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tuma’ninah dengan keimanan.” (QS. An Nahl, 16: 106).
Dan di dalam (ayat selanjut) nya di sebutkan bahwa mereka itu mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat, dan bila para ulama menyebutkan bahwa ia turun berkenaan dengan para sahabat tatkala penduduk Mekkah menindas mereka, serta mereka menyebutkan bahwa bila seorang sahabat mengucapkan kalimat kemusyrikan dengan lisannya padahal ia membenci hal itu dan memusuhi para pelakunya, namun ia lakukan hal itu karena takut dari mereka, maka dia kafir setelah ia beriman.”
Dan ia bersesuaian dengan perkataan Syaikh Ibnu ‘Atiq yang lalu juga dengan perkataan Syaikh Sulaiman yang akan datang sesudahnya, dan dia adalah perkataan yang mengerikan, saya mengetahui seyakin-yakinnya bahwa andai ia adalah berasal dari perkataan kami dan bukan berasal dari perkataan para imam yang hebat itu, tentulah sudah dikatakan: Khawarij dan Takfiriy…, padahal sesungguhnya ayat tadi adalah nash yang jelas atasnya…. Dan kasus ini jauh berbeda dengan kasus ikrah (paksaan) untuk mengucapkan kalimat kekafiran yang mana pelakunya di udzur. Kami disini membicarakan orang-orang yang tidak dipaksa, tidak dipukuli dan tidak disiksa, namun yang mendorong mereka untuk menampakkan setuju dan loyaltas terhadap kaum musyrikin adalah hanya kecintaan akan dunia dan kekhawatiran atasnya, tamak akan harta serta akan tempat tinggal (dan tanah juga piutang sebagaimana yang mereka katakan), maka ini adalah kecintaan akan kehidupan dunia lebih dari pada akhirat, dan lebih memilih perbendaharaan dunia yang fana dengan mengorbankan dien, tauhid dan aqidah… dan bisa jadi mereka bersembunyi bersama itu semua dibalik (alasan) ikrah serta mengklaim dlarurat padahal mereka itu bukan tergolong orang-orang yang alasannya bisa diterima, oleh sebab itu Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat Ali Imron setelah melarang loyalitas kepada musuh-musuhnya dan setelah membolehkan taqiyyah bagi orang yang betul-betul dipaksa, Dia berfirman seraya menghati-hatikan:
وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ. قُلْ إِن تُخْفُوا مَافِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ
Artinya: “Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri-Nya dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali. Katakan: “Bila kalian menyembunyikan apa yang ada di dada kalian atau menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron, 3: 28-29).
Dan Dia berfirman langsung dalam ayat berikutnya:
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا وَمَاعَمِلَتْ مِن سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
Artinya: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa jauh; dan Allah memperingatkan diri kamu terhadap (siksa)-Nya.” (QS. Ali Imron, 3: 30).
Dan ini tergolong ancaman yang paling besar bagi orang yang mentadabburi dan memahami kitabullah… namun siapa orangnya yang Allah inginkan kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari pada Allah. Itu dikarenakan banyak dari kalangan orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat kelak) beralasan dengan ikrah padahal ia bukan tergolong orang yang di paksa. Dan para ulama telah menyebutkan syarat-syarat untuk keabsahan ikrah, diantaranya:
-          Orang yang memaksa itu kuasa untuk menjatuhkan perbuatan yang di ancamkannya, sedangkan orang yang diperintah lagi dipaksa itu tidak kuasa menolaknya walau dengan lari.
-          Kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa bila dia menolak, maka ancaman itu di realisasikan.
-          Apa yang diancamkannya itu langsung setelahnya. Andai berkata: Bila kamu tidak melakukan hal ini, maka saya pukul kamu besok”, tentulah ini tidak dianggap dia dipaksa.
-          Tidak nampak dari diri orang yang dipaksa itu apa yang menunjukkan pada sikap terus menerus (di atas kekufuran itu) dengan berupa dia melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang mungkin dengannya siksaan itu hilang darinya.
Sebagaimana para ulama membedakan dalam apa yang diancamkan pada orang mukrah dan apa yang ditakut-takuti dengannya antara ikrah atas perbuatan maksiat dengan ikrah atas ucapan kekafiran atau loyalitas pada orang-orang kafir dan yang lainnya. Mereka tidak membolehkan yang kedua kecuali bagi orang yang diadzab dengan siksaan yang tidak kuat dia menanggungnya, diantara mereka menyebutkan: dibunuh, dibakar dengan api, dipotong anggota badan, dijebloskan di penjara dalam waktu yang lama sekali dan yang lainnya.
Dan Ammar Radhiyaallahu ‘Anhu yang dengan sebabnya turun ayat-ayat taqiyyah itu, dan sudah diketahui bahwa beliau tidak mengucapkan apa yang diucapkannya kecuali setelah dia melihat pembunuhan ibu dan ayahnya serta setelah ia merasakan berbagai macam siksaan, tulang-tulang rusuknya patah dan beliau di sakiti dengan siksaan yang berat di jalan Allah. Sedangkan mayoritas orang-orang yang beralasan dengan taqiyyah dari kalangan yang menyelam di dalam kesesatan dan tenggelam di dalam kebathilan dan kemusyrikan, mereka itu tidak tersentuh oleh sepersepuluh apa yang menimpa ‘Ammar namun sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya; siapa orang yang Allah kehendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak sedikitpun (apa yang datang) dari Allah.
Disamping itu sesungguhnya para ulama menyebutkan di dalam bahasan ikrah atas kalimat kekufuran bahwa mengambil ‘azimah dan sabar atas penyiksaan serta mengharapkan pahala di sisi Allah subhaanahu wa ta’ala  adalah lebih besar dan lebih utama. Dan ini adalah sikap para sahabat, para tabi’in dan para imam sebagai saksi atas hal itu. Dengan semacam sikap-sikap ini maka terealisasi idhharud dien dan pembelaannya. Dan silakan lihat shahih Al Bukhari bab (orang yang memilih dipukul, di bunuh dan dihinakan atas kekafiran), dan bukti-bukti atas hal itu banyak sekali, dan begitu juga sikap-sikap para imam adalah sangat banyak sekali, seperti sikap Imam Ahmad dalam fitnah khalqul Qur’an dan yang lainnya masih banyak.
Dan mereka menuturkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ فَإِذَآ أُوذِيَ فِي اللهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللهِ
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah’. Kemudian bila ia disakiti karena (sebab iman) kepada Allah, maka ia menjadikan fitnah manusia seperti adzab Allah.” (QS. Al Ankabut, 29: 10).
Sebagaimana mereka menyebutkan bahwa pemberian pilihan itu menafikan ikrah. Dan itu seperti keadaan Syu’aib ‘alaihis salam bersama kaumnya, saat mereka memberikan pilihan kepadanya antara kembali pada kekafiran atau keluar dari kampung mereka. Dan mereka tidak membolehkan karenanya memenuhi (permintaan mereka) dan menampakkan kekafiran dalam keadaan ini. Kami tuturkan ini semuanya hanyalah supaya orang yang diberi karunia nikmat akal dan tauhid oleh Allah mengetahui keterasingan dien ini pada zaman kita ini dan keterasingan para du’atnya dan para ahlinya yang mengetahui dengan sebenar-benarnya, dan bahwa mayoritas manusia pada hari ini telah masuk dalam dien pemerintah dan dien para thaghut dengan suka rela tanpa dipaksa yang sebenarnya, namun hanya karena kecintaan akan dunia, tempat-tempat tinggalnya, hartanya, materinya dan jabatannya lebih dari kecintaan terhadap dienullah. Mereka menyerahkan diennya dan menjualnya dengan harga termurah. Hati-hatilah jangan sampai kamu tergolong mereka itu, sehingga nanti kamu termasuk orang-orang yang menyesal.
Dan dengan ini dan yang semisal dengannya hilanglah yang terkadang dianggap aneh dan asing oleh banyak orang dari perkataan Syaikh Ibnu ‘Atiq ini berkenaan dengan orang yang setuju terhadap kaum musyrikin secara dhahir padahal di bathin dia menyelisihi mereka, sedang dia itu bukan di dalam kekuasaan mereka, namun yang mendorong dia melakukan hal itu hanyalah apa yang telah disebutkan berupa kepentingan dunia dan bukan ikrah…, dan ucapannya “…padahal dia menyelisihi mereka di bathinnya…” dimaksudkan dengannya Wallahu ‘alam: (sesuai dengan klaimnya) karena kalau bukan demikian bagaimana mungkin kita mengetahui dan melihat hakikat bathinnya dalam keadaannya itu, kecuali lewat jalan wahyu sebagaimana dalam kisah Hathib Ibnu Abi Balta’ah. Sedangkan Allah ‘alaihis salam tidak membebani kita akan hal bathin namun kita menghukumi dengan dhahir…, sebagaimana kita menahan pedang kita dari orang yang menyembunyikan nifaq dan menampakkan loyalitas pada Islam dan menampakkan syiar-syiarnya. Maka begitu juga kita menghayunkan pedang pada leher orang yang menampakkan loyalitas pada orang-orang kafir, bergandeng tangan dengan mereka dan bergabung dalam barisan mereka meskipun dia mengklaim Islam dibathinnya…. Allah ‘alaihis salam menegaskan menilai berdasarkan dhahir pada hukum-hukum dunia bagi kita…, dan Dialah subhaanahu wa ta’ala yang menangani masalah bathin dan Dia yang mengetahui orang jujur dari yang dusta. Dia menghisab manusia atas amalannya dan membangkitkan mereka berdasarkan niat-niat mereka sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin yang muttafaq ‘alaih tentang pasukan yang dibenamkan padahal di tengah mereka ada musafir dan yang dipaksa, namun Allah  subhaanahu wa ta’ala membinasakan mereka semuanya di dunia ini dan membangkitkan mereka atas dasar niat mereka masing-masing di hari kiamat… dan ini adalah makna perkataan Umar Ibnul Khathab Radhiyaallahu ‘Anhu  sebagaimana dalam shahih Al Bukhari:
ان اناسا كانوا يؤخدون بالوحي فى عهد رسول الله صلى ا لله عليه وسلم فمن أظهر لنا خيرا امناه وقربناه وليس الينا من سريرته شيئ الله يحاسب سريته ومن اظهر لفاصوء الم نأمنه ولم نصدقه إن قال إن سريرته حنة
Artinya: “Sesungguhnya manusia dahulu dinilai berdasarkan wahyu pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. (Sekarang) siapa yang menampakkan kebaikan kepada kami maka kami mempercayainya dan mendekatkannya, sedangkan kita sama sekali tidak bertanggung jawab akan rahasia hatinya. Allah yang akan menghisab rahasia hatinya. Dan siapa yang menampakkan keburukan di hadapan kami maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya meskipun dia berkata sesungguhnya hatinya baik.”
Begitulah alur perjalanan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam perlakuannya terhadap manusia dalam peperangan dan yang lainnya. Inilah Al Abbas Ibnu Abdul Muthallib yang mana ia itu mengaku Islam dan menisbatkan diri kepadanya, sebagai contoh silakan lihat Majmu’ Az Zawa-id 6/88, 89, 91 juga Masykilal Atsar 4/242-246 dan yang lainnya. Namun dia itu tetap tinggal di Mekkah padahal saat itu adalah negeri kufur, dan ia tidak hijrah ke darul Islam, terus ia keluar bersama pasukan kaum musyrikin pada perang Badar, kemudian ia ditawan kaum muslimin dan mereka memperlakukannya berdasarkan dhahirnya bukan dengan apa yang dia klaim dan dia akui berupa penyembunyian Islam, karena dia keluar dari barisan kaum musyrikin seraya memperbanyak jumlah mereka. Dan diriwayatkan bahwa dia mengaku dipaksa untuk keluar (bergabung) bersama mereka sebagaimana dalam sebagian atsar-atsar yang di isyaratkan tadi, dan dalam sebagiannya bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepadanya saat dia beralasan dengan ikrah dan mengaku Islam.
الله أعلم بشأنك إن يك تدعي حقا فالله يجزيك بذلك فأما ظاهر امرك فقد كان علينا فاقد تفك
“Allah Maha Tahu akan keadaanmu, bila ternyata apa yang kamu klaim itu benar maka Allah pasti memberikan balasan buatmu karenanya, adapun dhahir urusanmu adalah melawan kami, maka tebuslah dirimu.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para perawinya tsiqat, akan tetapi di dalamnya ada perawi yang tidak disebutkan. Bagaimanapun cukuplah bagi kita dalam hal ini apa yang tsabit dalam shahih Al Bukhari dan yang lainnya, yaitu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memperlakukannya berdasarkan dhahir keadaannya dan beliau tidak melepaskannya kecuali setelah menebus dirinya sendiri seperti tawanan kaum musyrikin lainnya.
Dan bisa jadi termasuk masalah ini juga apa yang ada dalam shahih muslim dari hadits ‘Umran Ibnu Hushain dalam kisah laki-laki dari Banu ‘Uqail yang mana ia adalah sekutu (koalisi) Bani Tsaqif, dia ditawan namun Nabi tidak melepaskannya padahal dia itu mengaku Islam, silakan lihat Mukhtasar Al Mundziri dibawah nomor 1008.
Maka diketahuilah dari ini semuanya bahwa kita ditugaskan dalam mu’amalah-mu’amalah kita dan putusan-putusan kita di dunia berdasarkan dhahir bukan dengan bathin. Dan ini termasuk karunia Allah ‘Azza wa Jalla atas kita, karena kalau tidak (demikian) tentulah Islam dan pemeluknya menjadi bahan mainan dan bahan ketawaan bagi setiap intel, orang busuk dan zindiq.
Dan termasuk masalah ini pula kisah Hathib dan apa yang beliau perbuat pada tahun penaklukan (Mekkah). Maka hukum asal adalah dihukumi berdasarkan dhahir orang yang melakukan seperti perbuatannya dengan (vonis) kafir dan kaum muslimin memberlakukan atasnya apa yang dituntut berdasarkan dhahirnya berupa hukum-hukum di dunia seperti dibunuh dan ditawan.
Orang yang mengamati keadaan orang-orang murtad dan macam-macam mereka dan sebagian dalih-dalih dan pentakwilan-pentakwilan mereka, serta hujjah-hujjah orang yang tertipu dari mereka dengan adanya saksi laki-laki yang banyak akan kenabian Musailamah dan kisah Tsumamah dan Al Yasykuriy dan yang lainnya. Dan bagaimana bahwa Ash Shiddiq memperlakukan mereka semuanya berdasarkan dhahir, beliau menerapkan pada mereka hukum bunuh atau tawanan… dan ini termasuk keutamaan dan kebaikannya yang paling agung… tentulah ia mengetahui kebenaran apa yang kami maksudkan dan kami tuju. Dan silakan ia merujuk perkataan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah dalam hal ini, dan itu sangat banyak sekali dalam masalah ini, sebagai contoh saja silakan rujuk Syarh Sittati Muwadli Minas Sirah dan yang lainnya…, dan itu banyak sekali. Dan itu adalah yang betul-betul dipahami Umar Radhiyaallahu ‘Anhu dalam kisah Hathib dan beliau tegaskan dihadapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sedangkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sama sekali tidak mengingkari atas pemahaman ini dan beliau pada kejadian itu tidak mengatakan kepadanya: Bila seorang laki-laki berkata kepada saudaranya hai kafir, maka salah satunya telah kembali dengannya”
Justeru beliau mengakui putusannya dan beliau tidak mengingkarinya (diterapkan) pada orang yang tidak ada penghalang seperti penghalang Hathib, dan beliau menyaksikan di hadapan kita kebersihan bathin Hathib dengan ucapannya:
وما يدريك لعل الله قد اظلع على اهل بدر …
Artinya: “Dan tahukah kamu (wahai Umar), boleh jadi Allah telah meninjau ahli Badar.”
Dan Hathib Radhiyaallahu ‘Anhu sendiri telah mengatakan sebagaimana dalam shahih Al Bukhari dan yang lainnya:

ما فعلت ذلك كفرا ولا رتدادا ولا رض بالكفر بعد الإسلام

Artinya: “Saya tidak melakukan hal itu sebagai kekafiran, kemurtaddan, dan ridla akan kekafiran setelah Islam.”
Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata membenarkannya:

قد صدقكم

“Dia telah jujur pada kalian.”
Dan sikap Umar Radhiyaallahu ‘Anhu secara cepat mengucapkan kalimat ini, merupakan di antara dalil paling nyata bahwa sesuatu yang terpancang di hati para sahabat adalah bahwa hukum asal pada dhahir perbuatan ini adalah riddah dan kufur…
Dan di dalam riwayat Abu Ya’la dan Ahmad, Hathib berkata:
أما انى لم افعله غشا لرسول الله صلى الله عليه وسلم ولا نفاقا, قد علمت ان الله مزهر رسوله ومتم له نوره
Artinya: “Sesungguhnya aku tidak melakukannya sebagai bentuk penipuan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bukan karena nifaq, sungguh aku telah mengetahui bahwa Allah pasti memenangkan Rasul-Nya dan menyempurnakan cahaya-Nya bagi beliau.”
Dan dalam riwayat yang lain dari Abu Ya’la dan Ahmad juga:

أما والله يا رسول ا لله واتغير الإيمان في قلبى

Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya iman tidak berubah di hati saya.”
Lihat Majmu’ Az Zawaid 9/306, dan perhatikan ucapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam riwayat Al Bukhari. “Sungguh dia telah jujur pada kalian.” Sungguh Ash Shahabiy Al Badriy ini telah dikecualikan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan diberikan Tazkiyah, serta diberikan kesaksian akan kejujuran jiwa dan bathinnya dan bahwa ia tidak melakukan hal itu sebagai bentuk riddah dan kuffur, akan tetapi itu dosa besar darinya yang diampuni karena statusnya sebagai sahabat yang ikut perang Badar…. Maka apakah diantara orang-orang yang meremehkan keberadaan muwalaatul kuffar lagi berupaya berdalih dengan kisah Hathib, apakah diantara mereka pada hari ini di muka bumi ini ada orang yang ikut perang Badar yang mana Allah telah meninjau hatinya, supaya mereka menjadikan perbuatan ini sebagai dosa besar secara muthlaq begitu saja, mereka mengenteng-enteng di dalamnya dan berjatuhan…?
Dan kami tidak melontarkan pertanyaan ini kecuali setelah kami mengetahui kejujuran hati mereka dan (mengetahui) bahwa mereka tidak melakukan hal itu sebagai riddah dan kufur. Dan tanpa batasan-batasan ini maka masalahnya menjadi ngawur…, dari mana kita mengetahui setelah putusnya wahyu kejujuran hati mereka dan bathinnya, dan siapa yang memberikan tazikyah buat mereka dan menjadi saksi di hadapan kita setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan hal itu. Ini adalah penghalang dari penghalang-penghalang (mawani’) kufur yang bathin (tersembunyi) lagi tidak nampak, dan setelah putusnya wahyu kita tidak di bebani dengannya, oleh karena dasar itu maka hukum asal bagi orang yang menampakkan kecenderungan pada orang-orang kafir, sikap setuju pada mereka dan loyalitas padanya adalah kita memvonis dia berdasarkan dhahirnya sebagaimana yang lalu, sedangkan masalah bathin itu di tangani Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala bila ternyata tidak seperti itu, dan dia dibangkitkan berdasarkan niatnya bila dibunuh oleh orang-orang muslim di barisan kuffar. Dan bila ditawan maka diberlakukan atasnya hukum orang–orang kafir sebagaimana yang lalu, sedangkan kaum muslimin diudzur saat membunuh orang yang menampakkan seperti hal ini meskipun dia mengaku dan mengklaim bahwa dia menyembunyikan Islam dan loyalitas pada pemeluknya. Dan dalam hal ini silakan lihat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah seputar pasukan yang menginvasi Ka’bah terus Allah benamkan mereka, dan kisah penawanan Al Abbas pada perang Badar dan klaim Islamnya…, dalam Majmu Al Fatawa 28/537 dan juga perkataan muridnya Al Allamah Ibnul Qayyim dalam Az Zaad 3/432 dan ulama Muhaqqiqin lainnya… serta amati juga sebab Nuzul Firman-nya subhaanahu wa ta’ala :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan mereka dhalim pada diri mereka sendiri.” (QS. An  Nisa, 4: 97).
Silakan rujuk ia dalam Shahih Al Bukhari dan yang lainnya, karena ia sangat berfaidah juga dalam bab ini… ayo giatlah dan amati itu semua serta jauhkan rasa kantuk dari matamu… janganlah berjalan bersama para pemalas yang hanya ikut-ikutan.
Dan terakhir Al Hafidh telah menuturkan dalan Al Fath 7/521 dari sebagian Ahlul Maghaziy, berkata dan ia ada dalam (tafsir Yahya Ibnu Salam) bahwa lafadh surat Hathib adalah: “…‘Amma Ba’du, wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah datang pada kalian dengan tentara-tentara yang bagaikan malam yang mengalir bagai banjir. Sungguh demi Allah seandainya beliau datang kepada kalian sendirian tentulah Allah memenangkannya atas kalian dan dia merealisasikan janji-Nya bagi beliau. Maka pertimbangkanlah buat diri kalian. Wassalam”. Dan begitu juga As Suhailiy menghikayatkannya.
Saya berkata: “Andai orang yang berakal mengamati surat Hathib ini dan apa yang terkandung di dalamnya berupa percayanya yang kuat akan pertolongan Allah buat Nabi-Nya dan ta’dhimnya terhadap beliau, namun demikian Allah subhaanahu wa ta’ala telah menurunkan dengan sebab perbuatannya ini ayat-ayat yang agung yang membuat merinding kulit orang-orang yang beriman, Dia berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَآءَكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَن تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَآءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَآأَخْفَيْتُمْ وَمَآأَعْلَنتُمْ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ السَّبِيلِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuh-mu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa diantara kamu yang (melakukannya), maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)
Seandainya engkau – semoga Allah memberimu hidayah – mengamati ini, dan bagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala bersikap keras di dalamnya dan menjadikan hal itu sebagai bagian dari loyalitas dan rasa kasih sayang terhadap musuh-musuh-Nya…, kemudian melihat realita keadaan-keadaan banyak orang yang intisab pada dakwah dan Islam pada masa sekarang dan apa yang muncul dari mereka berupa ucapan selamat dan mudahanah, bahkan saling membela dan mendukung para budak undang-undang, kaki tangan bangsa barat dan musuh-musuh syariat dan tauhid, serta apa yang mereka tampakkan berupa loyalitas pada dustur (UUD) mereka dan pemerintahannya serta sumpah untuk menghormati undang-undang mereka, tentulah engkau mengetahui ghurbah (keterasingan) dien ini yang sebenarnya, ghurbah para pemeluk yang mengetahui sebenar-benarnya, dan langkanya orang-orang seperti mereka. Oleh sebab itu hati-hatilah… hati-hatilah kamu… dan hati-hatilah kamu dari tafrith (sikap teledor) akan dien ini.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Dan adapun apa yang diyakini banyak orang sebagai udzur (alasan), maka sesungguhnya itu adalah tergolong penghiasan syetan dan pengulurannya untuk berbuat dosa. Itu dikarenakan sesungguhnya sebagian orang bila ditakut-takuti oleh wali-wali syaitan dengan rasa takut yang tidak ada hakikatnya, maka dia menduga bahwa boleh baginya menampakkan sikap setuju pada kaum musyrikin dan tunduk pada mereka…”, kemudian beliau menuturkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang sifat ikrah atas kalimat kekafiran, dan bahwa itu tidak terjadi kecuali dengan pukulan, siksaan, dan pembunuhan, bukan dengan sekedar ucapan dan ancaman akan dijauhkan dari istrinya atau hartanya atau keluarganya…, kemudian beliau rahimahullah berkata: “Bila engkau telah mengetahui hal itu dan mengetahui apa yang terjadi dari banyak manusia, maka jelaslah bagimu sabda Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam:

بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدا

Artinya: “Islam muncul awal dianggap asing dan akan kembali asing seperti semula.”
Dan memang telah kembali asing dan lebih asing darinya adalah orang yang mengetahui sesuai dengan hakikatnya, wa billahit taufiq”. (Dari Sabilun Najah dalam tempat yang sama.)
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahab (penulis kitab Tafsir Al Aziz Al Hamid) berkata dalam muqoddimah risalah Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu sesungguhnya orang bila menampakkan terhadap kaum musyrikin sikap setuju atas ajaran mereka karena rasa takut dari mereka, sebagai sikap lunak terhadap mereka dan basa-basi (mudahanah) untuk menghindari keburukan mereka, maka sesungguhnya dia itu kafir seperti mereka meskipun dia itu membenci ajaran mereka dan tidak menyukai mereka serta mencintai Islam dan kaum muslimin….”
Kemudian beliau menyebutkan apa yang lebih dahsyat dari itu, berupa membela-bela kaum musyrikin dengan harta, loyalitas kepada mereka, dan memutus loyalitas dengan kaum muslimin…, hingga ucapannya: “Dan tidak dikecualikan dari itu orang yang dipaksa, yaitu orang yang dikuasai oleh orang-orang musyrik, terus mereka mengatakan kepadanya: “Kafirlah kamu atau lakukan ini, dan kalau tidak kami akan perlakukan kamu dan membunuh kamu”, atau mereka menangkapnya terus menyiksanya sampai dia setuju dengan mereka, maka boleh baginya setuju dengan lisan dengan syarat hati tentram dengan iman. Dan para ulama telah ijma bahwa orang yang mengucapkan kekufuran seraya main-main (bercanda) maka sesungguhnya dia itu kafir, maka apa gerangan dengan orang yang menampakkan kekafiran karena takut dan ingin dunia?!”, kemudian dia menuturkan lebih dari 20 dalil atas itu. Oleh sebab itu kitabnya terkenal dengan nama Ad Dalaa-il.
Maka hendaklah itu semuanya diamati benar oleh orang-orang yang mengaku sebagai aktivis dakwah dari kalangan yang menampakkan loyalitas pada hamba-hamba Yasiq (UU buatan) dan sikap setuju pada mereka, serta membela-bela mereka dan undang-undangnya, pemerintahannya serta tentaranya. Dan hendaklah mereka mentadabburinya… karena itu sangat penting bagi mereka… terutama bila mereka mengetahui bahwa ucapan beliau semuanya tertuju pada pasukan Negara Mesir tatkala mereka masuk ke Nejed pada zaman Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq dan Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah rahimahullah dimana keduanya menulis kitab Sabilun Najah Wal Fikak dan kitab Ad Dala-il pada saat itu untuk memperingatkan manusia dari loyalitas pada pasukan yang berlumuran bid’ah, khurafat dan syirik kuburan…, silakan lihat hal 309 dan yang lainnya dari juz Al Jihad dalam kitab Ad Durar As Saniyyah. Dan sudah dikenal dari kalangan ulama Nejed yang terkenal dari kalangan anak cucu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan para pengikutnya pada saat itu, sesungguhnya mereka mengkafirkan negara Mesir dan tentara-tentaranya yang menginduk kepada negara Turki (Utsmaniy) sebagaimana itu masyhur dalam banyak risalah-risalah mereka, bahkan mereka mengkafirkan setiap orang yang loyalitas pada mereka itu atau yang masuk dalam keta’atan pada mereka, ridla dengan mereka, serta menjadikan mereka sebagai teman setia selain orang-orang mukmin.
Dan pertanyaan yang spontan terlontarkan sekarang adalah: Bila ini adalah vonis para imam ulama itu terhadap pasukan yang menginduk pada negara yang ditangisi dan disayangkan kehancurannya oleh mayoritas kaum muslimin pada masa ini… dan bila ini adalah tulisan-tulisan mereka tentang orang yang loyal padanya, mencintainya dan mencintai kemenangannya… maka apa yang engkau bayangkan dari ucapan mereka tentang para budak Yasiq modern (Yasiq ‘ashriy)…???
Dengan vonis apa yang akan mereka berikan pada orang yang menampakkan wala (loyalitas) pada mereka, tentaranya dan polisi-polisinya karena alasan takut tidak dapat tempat tinggal, gaji, atau pekerjaan atau yang lainnya berupa materi dunia dan perbendaharaannya…???
Dan dengan vonis apa yang akan mereka berikan pada orang-orang yang bersumpah untuk setia pada mereka atau untuk menghormati undang-undangnya…, seandainya mereka mendapatkan zaman ini…???
“Awas hati-hatilah wahai orang-orang yang berakal…, cepat bertaubatlah wahai orang-orang yang lalai, sesungguhnya fitnah itu terjadi pada ashlud dien bukan pada cabang-cabangnya dan juga pada dunia. Maka wajiblah kaum keluarga, istri, harta, perniagaan, dan rumah-rumah tinggal menjadi penjaga dien ini dan tebusannya… dan jangan dijadikan dien ini sebagai tebusan hal-hal itu dan penjaga buatnya… Allah  subhaanahu wa ta’ala  berfirman:
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya: Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At Taubah, 9: 24).
Maka jelilah akan hal ini dan amatilah, karena sesungguhnya Allah  Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah mewajibkan agar Allah, Rasul-Nya dan Jihad adalah lebih dicintai dari yang delapan itu semuanya, apalagi salah satunya atau mayoritasnya atau sesuatu yang lebih hina darinya… maka hendaklah dien ini bagimu adalah sesuatu yang paling mahal dan paling tinggi….” (Ad Durar Juz Al Jihad 127)
PASAL
Di Antara Metode Para Thaghut Untuk Membancikan Millah Ibrahim
Dan Membunuhnya Di Jiwa Para Du’at
Wa ba’du…. Bila engkau telah memahami Millah Ibrahim dengan pemahaman yang baik… dan engkau mengetahui bahwa ia adalah manhaj rasul-rasul dan para pengikutnya… dan bahwa ia adalah jalan kemenangan, keberhasilan serta kebahagiaan di dunia dan akhirat…. maka setelah itu hendaklah engkau mengetahui dengan ilmu, yakin bahwa para thaghut di setiap zaman tidak akan ridla terhadapnya, bahkan mereka itu takut dan khawatir terhadap millah yang agung ini…, serta mereka berupaya keras untuk mematikannya dan mencabutnya dari jiwa para du’at dengan beraneka ragam cara dan metode…
Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala mengabarkan hal itu dari mereka semenjak dulu. Dia berfirman dalam surat Al Qalam dan ia adalah Makiyyah:

ودوا لوتدهن فيدهنون

Artinya: “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam, 68: 9).
Mereka mengharapkan para du’at itu meniti jalan lainnya yang bengkok dan mereka berpaling dari dakwah para Nabi yang kokoh lagi lurus… dan mereka selalu membuat strategi dalam rangka memalingkan para du’at dari jalan yang lurus… ke jalan-jalan yang isinya mendiamkan banyak dari kebatilan mereka… yang menyenangkan perasaan mereka… atau bertemu dengan mereka di sebagian urusan mereka…, begitulah dakwah mati, masalahnya membanci dan para du’atnya melenceng dari jalannya yang nampak jelas lagi lurus. Para thaghut tahu benar bahwa awal langkah mundur adalah langkah menuju ke belakang… kemudian langkah ini disusul langkah-langkah lain… yang bersamanya para du’at lupa akan manhaj dakwah yang pokok… dan secara meyakinkan pasti terjadi dari penyimpangan ini titik temu dengan ahlul batil dalam banyak atau sebagian kebatilan mereka… dan itulah tujuan apa yang mereka angan-angankan di awal mula (jalan), oleh karena itu sesungguhnya mereka bila melihat dari para du’at itu tanazul (sikap mengalah) atau taqahqur (sikap mundur)… maka mereka (thaghut) itu menampakkan di hadapan mereka sikap ridla terhadap mereka dan dakwah-dakwahnya, mendekatkan mereka, memuji atas upaya-upayanya dan menampakkan kasih sayang dan cinta pada mereka… Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman :
وَإِن كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لاَتَّخَذُوكَ خَلِيلاً
Artinya: “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.” (QS. Al Isra, 17: 73)
Sayyid Quthub rahimahullah berkata saat menjelaskan ayat ini setelah beliau menyebutkan upaya-upaya kaum musyrikin untuk tawar menawar dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam atas banyak hal dari urusan dien dan dakwahnya, yang diantaranya: meninggalkan celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan apa yang dipegang nenek moyang mereka serta yang lainnya…, beliau berkata: “Upaya-upaya (percobaan) ini yang mana Allah melindungi Rasul-Nya darinya, yaitu upaya-upaya (muhawalat) para penguasa yang selalu dilakukan pada para pengibar dakwah, adalah muhawalah menggiurkan mereka agar menyimpang meskipun sedikit dari istiqamah dakwah dan shalabah (keteguhan)nya…. dan mereka mau rela dengan solusi jalan tengah yang ditawarkan kepada mereka dengan imbalan materi yang sangat banyak. Dan diantara para aktivis dakwah ada orang yang terpalingkan dengan hal ini dari dakwahnya, karena ia memandang masalah ini hanya sepele. Dan para penguasa tidak menuntut dia meninggalkan dakwahnya secara total, akan tetapi mereka menuntut sedikit perubahan agar kedua pihak bisa bertemu di tengah jalan. Sedangkan syaitan terkadang masuk (menjerumuskan) pembawa dakwah dari celah ini, sehingga dia berpikir bahwa kebaikan dakwah adalah ada dalam sikap menarik (simpati) para penguasa kepadanya meskipun dengan cara tanazul (mengorbankan sedikit dakwah) dari salah satu sisinya…!!!. Akan tetapi penyimpangan sedikit di awal jalan adalah akan sampai pada penyimpangan total di akhir jalan. Dan pembawa dakwah yang mau menerima penyerahan dalam satu bagian darinya meskipun sedikit dan dia mau membuka tutupnya meskipun kecil, maka ia tidak kuasa berdiri saat itu selamat dengannya di awal mula… karena persiapannya untuk berserah diri makin bertambah setiap kali ia mundur satu langkah ke belakang! Sedangkan para penguasa (thaghut) terus mengulur para aktivis dakwah. Bila para aktivis itu menyerahkan pada satu bagian saja, maka mereka telah kehilangan wibawa dan perlindungan dirinya, dan para pihak pemeran pun mengetahui bahwa keberlangsungan tawar-menawar dan naiknya harga keduanya akan berakhir untuk kemenangan pihak penguasa (dalam merekrut) kepada barisannya. Ia adalah kekalahan ruhiyyah (jiwa) dengan cara bertolak pada penguasa dalam nusrah dien. Sedangkan Allah sajalah yang dijadikan pegangan oleh kaum mukminin dalam dakwahnya… dan kapan saja merebak kekalahan dalam sanubari, maka kekalahan ini tidak akan menjadi kemenangan…!!!”
Ya. Sesungguhnya kami melihat banyak dari para du’at masa sekarang telah dijadikan kawan setia oleh para thaghut… mereka tidak mempersulit para du’at itu dan tidak pula memusuhinya… karena para du’at itu telah menampakkan sikap ridla terhadap banyak kebatilan mereka, sehingga mereka bertemu bersama para thaghut itu di tengah jalan… mereka duduk bersama di acara-acara seminar, haflah-haflah (pertemuan acara bahagia) dan halakat (tempat-tempat/acara-acara yang menghantarkan pada kebinasaan).
Dan di antara contoh metode-metode mereka pada zaman kita sekarang ini diantaranya:
●        Apa yang telah kami isyaratkan kepadanya, yaitu lembaga-lembaga yang didirikan oleh para thaghut, seperti parlemen (MPR/DPR/DPRD. Pent) majelis-majelis umat (MPR) dan yang serupa dengannya. Supaya di dalamnya mereka mengumpulkan lawan-lawan mereka dari kalangan para du’at dan yang lainnya… mereka duduk bersama-sama, berdampingan serta berbaur dengannya sehingga mereka membancikan (mengaburkan/memandulkan) permasalahan itu diantara mereka… akhirnya masalah itu tidak lagi menjadi masalah baru dari mereka atau kufur terhadap UU dan UUD mereka atau mencabut diri dari kebatilan mereka seluruhnya, namun yang terjadi adalah ta’awun, saling bergandeng tangan, saling menasihati, duduk di meja rembukan dalam rangka kepentingan negeri, ekonominya, keamanannya, dan… dan… dan… demi kepentingan tanah air yang dikendalikan oleh thaghut dan diatur berdasarkan keinginan-keinginannya dan kekafiran-kekafirannya. Ini adalah penyimpangan fatal yang mana kami mengetahui orang-orangnya dan kami melihat mayoritas mereka itu dari kalangan yang mengaku bermanhaj salaf atau orang-orang yang sering merujuk perkataan Sayyid Quthub dan yang semisalnya. Namun demikian setelah mereka itu jatuh dalam penyimpangan ini, mereka sekarang bertepuk tangan untuk para thaghut, berdiri untuk mereka sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan, mengkhithabi mereka dengan gelar-gelarnya, menyerukan untuk loyal pada pemerintahnya, tentaranya dan aparat keamananya, dan bersumpah untuk menghormati undang-undang dasar mereka, dan undang-undangnya… serta yang lainnya… maka apa yang mereka sisakan buat dakwah mereka…??? Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan.
●        Dan diantara itu juga apa yang digunakan sebagai cara oleh banyak thaghut, berupa memperalat para ulama dan menyibukkan waktu-waktu mereka untuk kepentingan para thaghut dalam memerangi lawan-lawan mereka dan orang-orang yang dikhawatirkan terhadap sistem dan pemerintahan mereka, seperti komunis, syiah atau yang lainnya dari kalangan yang mengancam mereka dan mengancam pemerintahan mereka, maka si thaghut itu sengaja memanfaatkan sebagian ulama yang sangat semangat lagi membenci aliran-aliran sesat itu…. dan si thaghut membantu para ulama itu untuk memerangi musuh mereka bersama itu, serta si thaghut itu menipu para ulama tersebut dengan penampakkan (adanya) keseriusan benar dia akan dien ini, dan para pemeluknya serta kekhawatirannya akan bahaya mereka itu terhadap hurumat kaum muslimin. Dia membantu para ulama itu dengan bantuan dan dukungan materi serta dukungan moril untuk memerangi mereka sehingga jatuhlah orang-orang miskin itu (para ulama maksudnya) pada perangkap-perangkap dia, dan mereka menyia-nyiakan umurnya, waktunya dan dakwahnya dalam membantu musuh untuk menghajar “musuh”… bahkan keadaannya telah menghantarkan banyak dari mereka itu pada suatu sikap dimana mereka menggugurkan permusuhannya terhadap si thaghut yang dekat dan justeru mereka menjadikannya sebagai teman, bahkan bisa jadi di suatu hari kelak mereka itu telah  menjadi tentara dan pembela yang setia terhadapnya dan terhadap pemerintahannya…. Mereka menyerahkan hidupnya dalam khidmat para thaghut itu dan dalam mengokohkan tahtanya, pemerintahannya dan negaranya… baik mereka itu merasakan atau tidak…, oh andainya mereka memahami perkataan sang hamba yang shalih (Musa ‘alaihis salam):
رَبِّ بِمَآ أَنعَمْتَ عَلَىَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang mujrim (kafir).” (QS. Al-Qashash, 28: 17).
Al Qurthubi telah menukil dalam penjelasan ayat ini dari sebagian riwayat bahwa seorang Israily (dari bani Israil) yang meminta pertolongan Musa adalah orang kafir, dan hanyasannya dikatakan baginya dari golongannya adalah karena dia adalah dari bangsa Israil dan bukan dimaksudkan sama dalam agamanya… maka karena ini beliau menyesal disebabkan telah menolong orang kafir atas orang kafir, terus beliau mengatakan: “Sesudah kejadian ini saya tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang kafir…”
Dan andainya mereka itu paham akan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir yang disekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu…” (QS. At-Taubah, 9: 123.)
Jadi tatkala mereka terjatuh dalam keadaan yang mana mereka telah terjatuh di dalamnya… maka sesungguhnya orang-orang komunis dan yang lainnya meskipun mereka itu adalah musuh Islam dan pemeluknya… memusuhi mereka, bara’ dari mereka, dan kufur terhadap kebatilannya dituntut juga … namun sesungguhnya memulai dengan yang paling penting terlebih dahulu dan yang paling dekat adalah  hukum yang sudah baku lagi di ketahui benar dari sirah Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan akal sehat sendiri menolak yang menyelisihinya. Hukum ini dikarenakan bahaya musuh yang paling dekat lagi bergesekan, pengaruhnya, kerusakannya dan fitnahnya adalah lebih besar dan lebih dahsyat dari pada yang jauh atau yang dekat yang tidak bergesekan. Oleh sebab itu memerangi hawa nafsu dan syaitan dilakukan sebelum memerangi musuh secara umum. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sama sekali tidak pernah memulai di awal permulaannya dengan memerangi Persia, Romawi, atau Yahudi, dan melupakan musuh-musuh yang ada disekitarnya.
●        Bahkan bisa saja kalangan para thaghut itu memanfaatkan sikap sesat yang berbahaya ini… dan mereka mengendalikan banyak dari kalangan ulama yang jahil itu untuk menghalang-halangi (manusia) dari para du’at dan membuat (orang) takut dari kelompok-kelompok Islam mereka yang mana (para du’at) itu adalah lawan bagi para ulama itu dalam dakwah ilallah atau dalam madzhab atau manhaj atau yang lainnya… bahkan sering kali para thaghut itu meminta fatwa-fatwa dari mereka untuk menangkap para du’at itu, menghabisi mereka dan dakwah-dakwah mereka dengan dalih bahwa mereka itu termasuk khawarij atau bughat yang menentang lagi menebar kerusakan di muka bumi… (ketahuilah sesungguhnya merekalah para perusak itu) sedangkan mereka mengetahuinya dan merasakannya…. Dan sungguh telah kami saksikan penyimpangan fatal ini banyak sekali pada orang-orang zaman kita ini… hanya kepada Allahlah tempat mengadu…
Dan para ulama yang miskin ini tidak mengetahui bahwa para ikhwan mereka dari kalangan para du’at meskipun jauh menyimpang… maka sesungguhnya itu adalah penyimpangan karena kejahilan atau takwil… bahkan kalau seandainya itu (penyimpangan) atas dasar ilmu dan ngotot, maka tidak akan sampai pada tingkatan penyimpangan para thaghut dan penentangan mereka terhadap Allah dan dien-Nya.
●        Dan diantaranya juga mengiming-iming kaum mukminin dan para du’at dengan jabatan, posisi penting, pekerjaan dan gelar-gelar… memberikan kepada mereka fasilitas-fasilitas khusus, harta dan tempat tinggal, dan mengucurkan materi kepada mereka dan yang lainnya… sehingga dengannya mereka mampu membatasinya, membebaninya dan menutup mulutnya… serta mereka bisa merealisasikan bersamanya sebuah peribahasa: “Payudara yang menyusuimu tidak akan kamu gigit.” Begitulah hingga akhirnya para du’at atau para ulama itu tersesatkan oleh para thaghut dan pemerintahannya… sampai-sampai mereka itu menutupi kebatilan para thaghutnya dengan fatwa-fatwa mereka yang beraneka ragam dan dengan menuturkan keutamaan dan kebaikan-kebaikannya serta memuji mereka siang malam.
Ibnu Al Jauziy berkata dalam Talbis Iblis hal 121: “Dan diantara tipu daya Iblis terhadap para Fuqaha adalah berbaurnya mereka dengan para amir dan penguasa, bermudaharah terhadap mereka, dan meninggalkan pengingkaran terhadap mereka padahal ada kemampuan atas hal itu.”
Dan berkata pada hal 122: “Dan secara umum, sesungguhnya masuk menemui para penguasa adalah bahaya yang sangat besar karena niat terkadang baik di awal masuk kemudian berubah dengan sebab perbuatan baik mereka, pelayanannya, atau karena ingin apa yang ada pada tangan mereka, dan dia tidak tahan untuk mudahanah pada mereka dan meninggalkan pengingkaran atas mereka. Dan sungguh Sufyan Ats Tsauriy Radliyaallahu ‘Anhu berkata: “Saya tidak takut dari penghinaan mereka terhadap saya, hanya saja saya takut dari penghormatan mereka, sehingga hati saya cenderung kepada mereka.”
Seandainya orang yang berakal berfikir tentang orang-orang yang mana Sufyan menghawatirkan hatinya cenderung kepada mereka, tentulah dia mendapatkan perbedaan yang jauh antara mereka dengan para thaghut masa kita ini… Fallallahul Musta’an… Dan semoga Allah merahmati orang yang berkata:
Tidak ada sesuatu yang lebih rugi bagiannya dari para orang alim…
Yang dipermainkan oleh dunia bersama orang-orang jahil…
Dia berupaya membelah agamanya…
Dan menghilangkannya karena ingin mengumpulkan harta…
Orang yang tidak merasa diawasi Rabbnya dan tidak mencintainya…
Maka binasalah dirinya, hartanya dan keluarganya…
●        Diantaranya juga penampakkan sebagian para thaghut akan sikap perhatian mereka terhadap sisi-sisi dan cabang-cabang dari dien ini dan dakwah terhadapnya supaya dengannya mereka bisa merekrut banyak para du’at dan para ulama yang mereka khawatirkan ketulusannya, dan kecintaan masyarakat terhadap mereka. Maka merekapun mendirikan buat para du’at dan ulama itu lembaga-lembaga, pesantren-pesantren, dan siaran-siaran. Dan mereka menyibukannya dengan departemen-departemen wakaf, proyek-proyeknya, rencana-rencananya dan yang lainnya yang tidak menyentuh kezaliman dan kerusakan para thaghut itu.
Dan tergolong ini adalah Rabithah-rabithah, yayasan-yayasan dlirar yang didirikan oleh para thaghut itu seperti RAI (Rabithah ‘Alam Islami) yang dengannya banyak ulama-ulama kita yang miskin terperdaya padahal garisnya yang terbuka lagi hitam juga mudahanah terhadap banyak pemerintah-pemerintah yang rusak secara umum dan pemerintah Saudi serta para thaghutnya secara khusus (sangat nyata)… sampai-sampai setiap buletin atau kitab cetakan-cetakan mereka tidak kosong dari sikap menjilat dan nifaq terhadap negara (Saudi) itu… jangan tanya lagi tentang kaitannya dan kaitan para pengurusnya yang kotor dengan para thaghut negara-negara yang beraneka ragam lainnya…. Dan adapun penyelisihannya dan kritikannya terhadap sebagian negara-negara itu hanyalah mengikuti keinginan negara ibunya (Saudi)…. Bila urusan di antara para thaghut sesuai dengan yang diinginkan maka urusan itu begitu juga menyenangkan (thaghut Saudi). Dan bila satu thaghut umpamanya Khadafi menyerang negaranya atau thaghut-thaghutnya dan politik-politiknya maka sesungguhnya fatwa-fatwa dan kecaman-kecaman datang beriringan dan bertubi-tubi. Kemudian bila urusannya telah kembali pada kondisi semula diantaranya para thaghut maka fatwa-fatwa itu tenang dan bungkam, serta kita tidak merasakan adanya bisikan… padahal sesungguhnya thaghut adalah itu itu juga… tidak berubah dan berganti, bahkan bisa saja kondisinya menjadi lebih parah dan lebih dahsyat dari sebelumnya…. Seandainya para ulama itu melihat si thaghut thawaf di Baitullah dengan najis dan kebengisannya tentulah mereka itu tidak mengusik yang diam… fa illallahil musytakaa… yang jelas sesungguhnya yayasan (RAI) ini dan yang lainnya tidak lebih adalah yayasan pemerintah… dan kami sudah biasa untuk tidak percaya dengan apa yang muncul dari pemerintah… dan sungguh kebiasaan yang baik sekali.
●        Dan di antaranya juga apa yang diberikan kepada banyak du’at berupa izin dan kelayakan untuk dakwah dan khutbah serta apa yang mereka dirikan berupa Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar (di Saudi) yang berupaya untuk merekrut para du’at yang bersemangat tinggi dan menghalangi mereka dari kemungkaran-kemungkaran pemerintah, politiknya, kebatilannya dan kerusakan besar para thaghutnya… dengan cara menyibukkan mereka dengan sebagian kemungkaran-kemungkaran orang awam… terutama kemungkaran-kemungkaran mereka yang bisa mengancam keamanan negara dan kestabilan kekuasaan para thaghut…. Dan mereka tidak akan melampauinya pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dan lebih besar selama mereka telah mengikat diri mereka dengan lembaga itu atau surat izin itu yang mengendalikan mereka dan dakwahnya serta mengekangnya…
●        Dan diantara hal itu juga adalah penghancuran, pembabatan dan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap millah ini di jiwa-jiwa anak didik dari kalangan anak-anak kaum mukminin lewat sekolahan-sekolahan mereka, lembaga-lembaga mereka, sarana-sarana informasi mereka dan yayasan-yayasan thaghut mereka yang beraneka ragam. Sungguh para thaghut itu lebih busuk dan lebih hebat makarnya daripada Fir’aun. Mereka tidak mau menggunakan cara Fir’aun dalam membunuhi anak-anak kecuali di akhir keadaan saat semua metode mereka yang busuk lainnya tidak mampu. Sebelumnya mereka berupaya keras untuk membunuh millah ini dalam jiwa mereka. Mereka tidak membunuh generasi secara fisik sebagaimana yang dilakukan Fir’aun, namun mereka membunuh millah ini, pada jiwa mereka, sehingga dengannya mereka membinasakan generasi ini dengan sebenar-benarnya. Dan itu dengan cara mendidik mereka untuk loyal pada thaghut-thaghut itu, terhadap undang-undangnya dan pemerintahannya lewat sekolah-sekolah yang bejat ini dan sarana-sarana informasi mereka lainnya yang dimasukkan dan dibawa oleh banyak orang jahil dari kalangan kaum muslimin ke rumah-rumah mereka. Daripada para thaghut itu mengusik manusia dengan cara mempercepat pembunuhan dengan sebenarnya… maka mereka mengikuti politik yang busuk ini agar orang-orang bertasbih memuji mereka dan menyebutkan keutamaannya dengan dasar bahwa mereka telah memberantas buta huruf, menyebarkan ilmu dan kemajuan… Dan di atas itu semua dan di bawah kedok ini mereka mendidik anak-anak kaum muslimin sebagai para pengikut yang setia dan abdi yang tulus terhadap pemerintahan mereka, undang-undang mereka dan keluarga-keluarga mereka yang berkuasa… atau minimal mereka itu mendidik generasi yang miring, bodoh, menyimpang, tidak menyukai dakwah yang kokoh dan millah yang lurus ini, lagi mudahanah terhadap ahlul bathil… yang tidak kuat bahkan tidak pantas untuk menghadapi mereka atau berfikir tentangnya.
Dan kami telah menjabarkan hal ini dan kami bongkar metode mereka yang busuk ini dalam risalah kami yang bernama : “I’dadul Qaadat Al Fawaris Bi Hajri Fasadil Madaris/ Menyiapkan Para Panglima Yang Siap Tanding Dengan Meninggalkan Kerusakan Sekolahan.”
Seringkali sang dai jatuh terpuruk bila dia tergelincir dalam salah satu perangkap ini. Realita yang kita alami sekarang, berupa hilangnya kepercayaan manusia terhadap tokoh-tokoh Islam dan para ulama tidak lain adalah salah satu dari buah-buah perangkap ini. Dan dia itu menjadi kerdil di hadapan para thaghut itu sendiri, wibawanya jatuh di hati mereka… sehingga mereka tidak takut kepadanya dan tidak mengkhawatirkan dakwahnya… serta tidak menganggapnya sebagai batu sandungan.
Adapun bila mereka melihatnya kokoh dan teguh seteguh gunung, bara’ah, penolakan, dan berprinsip enggan bertemu dengan mereka di titik manapun dari titik-titik jalan mereka yang menyelisihi manhaj dakwah yang lurus, maka saat itulah mereka memperhitungkannya dengan seribu perhitungan dan Allah menebar rasa takut dan segan di hati para thaghut… sebagaimana wibawa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di jiwa-jiwa kaum kuffar… sebagaimana beliau diberi pertolongan dengan rasa takut dari perjalanan sebulan, oleh sebab itu hati-hatilah dari perangkap-perangkap ini… dan hati-hatilah engkau jatuh dalam permainan para thaghut…
Akhirnya… sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan kepada kita strategi-strategi (mereka) ini, dan Dia membongkar permainan itu dihadapan kita, Dia menghati-hatikan kita darinya, telah memberikan kepada kita solusi dan obat… dan membimbing kita kepada jalan yang benar. Dia berfirman langsung sebelum Firman-Nya:
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ
Artinya: “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam, 68: 9).
فَلاَتُطِعِ الْمُكَذِّبِيْنَ
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).” (QS. Al-Qalam, 68: 8).
Janganlah taati mereka… janganlah kamu cenderung kepada mereka… dan janganlah kamu terima tawaran solusi mereka… karena sesungguhnya Tuhanmu telah memberikan kepadamu ad dien al haq… dan Dia menunjukkanmu kepada jalan yang lurus, serta memberimu hidayah pada Millah Ibrahim.
Dan persis seperti itu adalah Firman-Nya subhanahu wa ta’ala dalam surat Al Insan dan ia adalah Makiyyah pula:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنْزِيلاً. فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلاَتُطِعْ مِنْهُمْ ءَاثِمًا أَوْ كَفُورًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS. Al Insan, 76: 23-24).
Dan dalam penyebutan Al Qur’an dan karunia Allah ‘‘Azza wa Jalla atas Nabi-Nya dengan diturunkannya kepadanya sebelum larangan dari mentaati orang-orang kafir yang banyak dosa, di dalamnya terdapat penjelasan akan jalan dakwah yang shahih… Sesungguhnya jalan ini tidaklah dipilih oleh para du’at dari diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki hak untuk menggariskannya atau menentukan batasan-batasannya sesuai keinginan atau pilihan mereka… namun itu adalah Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan Rasul yang disebutkan dengan terperinci dalam Al Qur’an ini.
Dan seperti itu juga firman-Nya  subhanahu wa ta’ala dalam surat Al Furqan, dan adalah Makiyyah juga:
فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” (QS. Al Furqan, 25: 52).
Janganlah kamu berpaling dari manhaj, metode dan jalan untuk berdakwah selain jalan yang kamu diperintahkan dengannya dalam Al Qur’an, dan berilah mereka peringatan dengan Al Qur’an ini dan jangan kamu ikuti selainnya berupa jalan-jalan yang timpang lagi bengkok yang di dalamnya terkandung ketaatan pada kaum kuffar atau mendiamkan sebagian kebatilan mereka…
Dan seperti itu pula firman-Nya kepada Nabi-Nya tidak jauh setelah memerintahkan Nabi-Nya untuk membaca kitab-Nya(12):
وَلاَتُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا. وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “…dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. Dan katakanlah:’Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barang siapa menginginkan (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (Al Kahfi, 18: 28-29)
Dan seperti itu pula Firman-Nya subhanahu wa ta’ala  dalam surat Asy Syuraa dan ia Makkiyah pula setelah Dia menuturkan apa yang Dia syari’atkan bagi kita dan bagi Nabi-Nabi sebelumnya, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa:
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Asy-Syuraa, 26: 15)
Dan tidak jauh setelah itu Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum kafirin:
لَنَآأَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
Artinya: “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.” (QS. Asy-Syura, 26: 15).
Bara’ah yang jelas dari mereka, hawa nafsu mereka, manhaj-manhaj mereka dan jalan-jalan mereka yang menyimpang.
Dan seperti itu pula firman-Nya kepada Nabi-Nya dalam surat Al Jatsiyah, dan ia Makkiyah pula:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ. إِنَّهُمْ لَن يُغْنُوا عَنكَ مِنَّ اللهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَاللهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kemu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Jatsiyah, 45: 18-19).
Dan begitulah seandainya kita mengamati ayat-ayat Al Qur’an tentulah kita mendapatkan puluhan bahkan ratusan ayat-ayat yang menunjukkan terhadap makna-makna yang penting ini… Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan hamba-hamba-Nya sia-sia… dan tidaklah meninggalkan mereka menganggur (tanpa tugas). Apakah tidak cukup bagi para du’at jelas dan kokohnya manhaj ini…??? Apakah tidaklah lapang bagi mereka apa yang telah lapang bagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para Nabi sebelumnya…??? Apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk bangun dari kelalaiannya…??? dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan itu…??? Atau apakah belum cukup bagi mereka (hal itu) sebagai keterjatuhan di ajang permainan para thaghut… penyembunyian akan kebenaran… talbis terhadap manusia… dan penyia-nyiaan akan usaha dan umur…??? Sesungguhnya demi Allah hanya ada satu pilihan… syari’at Allah atau hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui…??? Di sana tidak ada kemungkinan ketiga… dan tidak ada jalan tengah antara syari’at yang lurus dengan hawa nafsu yang berubah-ubah…
Dan sesungguhnya ayat-ayat ini menentukan jalan aktivis dakwah dan membatasinya, serta di dalamnya sudah mencukupi lagi tidak membutuhkan ucapan, komentar atau tafshil (perincian)… sesungguhnya ia adalah syari’at yang satu, ia adalah yang berhak mendapatkan sifat ini. Dan yang selainnya adalah hawa nafsu yang bersumber dari kejahilan. Wajib atas pembawa panji dakwah untuk mengikuti syari’at saja dan meninggalkan hawa nafsu seluruhnya. Dia wajib untuk tidak berpaling dari sesuatu yang merupakan ajaran syari’at kepada sesuatu yang  merupakan ajaran hawa nafsu. Para pengusung hawa nafsu satu sama lain saling menopang untuk menghadang pembawa syari’at… sehingga tidak boleh dia mengharapkan pada sebagian mereka pembelaan baginya… mereka itu bersekongkol atas dirinya… yang sebahagian penolong bagi sebahagian yang lain… akan tetapi mereka meskipun demikian adalah lebih lemah dari (mampu) membahayakannya… Dan mereka tidak akan membahayakannya kecuali gangguan-gangguan celaan saja. Allah-lah Penolong dan Pelindungnya, dan mana perwalian di samping perwalian (Allah)? Dan mana orang-orang lemah yang bodoh lagi tak berdaya yang mana sebagian mereka penolong bagi sebahagian yang lain di samping pembawa syari’at yang penolongnya adalah Allah… (Diambil dari Adh Dhilal dengan perubahan)
Dan Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang bertaqwa…
Ini adalah jalannya… maka apakah ada orang-orangnya…???
Abu Muhammad
Tahun 1405 Hijrah Nabawiyyah

(1) Bagian dari hadits riwayat Muslim dari Jundub Ibnu Abdillah secara marfu’
(2) Sa’dan adalah duri yang terkenal, dinyatakan di dalam banyak hadits bahwa kalaaliib (bandringan-bandringan) jahanam seperti duri ini.
(3) Dan saya telah menulis bantahan terhadap ucapan mereka ini dalam satu risalah dari Risalah As-Sijn yang diberi nama  “As Syibah Ats Tsaqib fi Raddi ‘Ala Maniftaraa ‘Alash Shahabiy Hathib”
(4) Perlu diketahui sesungguhnya mereka itu di dalam penjara selalu damai kepada musuh-musuh Allah lagi perang terhadap dakwah tauhid, bahkan mereka itu shalat di belakang aparat syirik dan undang-undang tanpa dipaksa, kalau kami mendirikan shalat Jum’at dan jama’ah diantara kami dan para penghuni penjara lainnya ikut bersama kami. Adapun mereka itu ikut shalat di belakang ahlu syirik dan tandid, mereka mengucapkan salam kepada mereka dan memuliakannya dan sebagian mereka menciumnya dan mengucapkan selamat dengan adanya munasabat dan hari-hari raya, bahkan kami lihat sebagian orang yang mengaku sebagai penyeru kepada Islam mengucapkan selamat kepada mereka atas jabatan-jabatan thaghutiyyah kufriyyah mereka.
(5) Seorang hamba tidak akan mampu menghadapi syirik dan para pelakunya, dan tidak akan kuat untuk bara’ dari mereka serta menampakkan permusuhan terhadap kebatilan mereka kecuali dengan ibadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ibadah. Sungguh Allah  subhaanahu wa ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam  untuk membaca Al-Qur’an dan qiyamullail di Mekkah dan Dia memberitahukan kepadanya bahwa hal itu adalah bekal yang membantunya untuk memikul beban dakwah yang amat berat, dan perintah itu sebelum firman-Nya:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. Al Muzammil,73:5)
dimana Dia berfirman :
يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً. نِّصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً. أَوْزِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلاً.
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (QS. Al Muzammil, 73: 1-4)
Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya melakukan qiyamullail sampai kaki-kaki mereka bengkak… hingga Allah  subhaanahu wa ta’ala menurunkan keringanan di akhir ayat (surat ini). Sesungguhnya qiyamullail dengan membaca ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla dan mentadabburi Firman-Nya adalah bekal terbaik dan yang membantu si da’i, ia meneguhkan dan membantunya untuk menghadapi tantangan dan liku-liku dakwah. Dan sesungguhnya orang-orang yang mengira bahwa dirinya mampu memikul dakwah yang agung ini dengan beban-bebannya yang berat tanpa memurnikan seluruh ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tanpa memanjangkan dzikir dan tasbih-Nya mereka sungguh sangat keliru dan terlalu mengkhayal… meskipun mereka telah berjalan beberapa langkah ke depan, namun mereka tak akan mampu melanjutkan perjalanan yang benar lagi lurus tanpa bekal… sedangkan sebaik-baiknya bekal adalah taqwa. Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah mensifati para pembawa dakwah ini dan yang mana Dia telah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk mensabarkan diri bersama  mereka, bahwa mereka itu selalu menyeru Rab-nya di waktu pagi dan petang seraya mengharapkan wajah-Nya, dan bahwa mereka itu sedikit tidur di malam hari, badan mereka jauh dari tempat pembaringan seraya menyeru Rab-nya dengan penuh rasa takut dan pengharapan, dan mereka merasa takut terhadap Rab-nya di suatu hari yang kelam nan mencekam, serta sifat-sifat lainnya yang mana tidak layak untuk mengemban dakwah ini dan  memikul berbagai bebannya kecuali orang yang memiliki sifat-sifat ini. Semoga Allah  subhaanahu wa ta’ala menjadikan kami dan engkau bagian dari mereka. Perhatikanlah hal itu…!!!
(6) Lihat catatan kaki sesudahnya
(7) Bila yang dimaksud adalah inti permusuhan, maka ucapan itu sesuai ithlaqnya. Dan bila yang dimaksud adalah umumnya permusuhan, menampakannya dan segala rinciannya serta terang-terangan dengannya, maka ucapan itu adalah tentang istiqomah Islam bukan tentang hilang intinya. Syaikh Abdullathif dalam kitabnya “MISHBAH ADH-DHALAM” memiliki rincian seputar masalah ini, maka silakan orang yang mau merujuknya dan di dalamnya ada ucapan: “Orang yang memahami pengkafiran orang yang tidak terang-terangan dengan permusuhannya dari perkataan Syaikh, maka pemahamannya batil dan pendapatnya sesat”. Dan nanti dalam lembaran ini akan datang rincian perkataannya. Sedangkan kami hanya menuturkan ucapan-ucapan mereka dalam pasal ini dalam rangka menjelaskan pentingnya inti ini yang ciri-cirinya telah hilang pada mayoritas du’at zaman ini. Kemudian kami cantumkan penjelasan-penjelasan ini – padahal ungkapan itu sangat jelas – untuk menutup jalan di hadapan orang-orang yang berupaya memancing di air yang keruh, terus mereka mencari-cari perkataan-perkataan umum dan hal-hal yang menopang mereka untuk menuduh kami beraqidah Khawarij.
(8) Yang dimaksud Syaikh disini wallahu a’lam adalah dia itu tidak memusuhi mereka dan tidak membencinya sama sekali termasuk di hatinya, bahkan justeru dia menyimpan di hatinya terhadap mereka itu sikap sebaliknya, yaitu cinta dan kasih sayang. Maka tidak diragukan lagi dia itu telah membatalkan keimanannya dan telah meninggalkan dien seluruh para rasul. Allah  Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:
لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من هدا الله ورسوله
“Engkau tidak dapatkan orang-orang yang beriman kepada Alllah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.”
(9) Lihat catatan kaki yang lalu
(10) Faidah penting yang membongkar (kesesatan) ulama-ulama pemerintah: ketahuilah semoga Allah menjaga kami dan engkau dari talbis kaum mulabbisin (para pembuat pengkaburan dien) – sesungguhnya apa yang dilakukan oleh banyak orang-orang jahil – meskipun mereka itu digelari dengan gelar Syaikh dan mengaku sebagai pengikut salafiyyah – berupa penyebutan banyak dari thaghut-thaghut zaman ini dengan sebutan amirul mukminin atau imamul muslimin… dengan cara seperti ini mereka hanya mengikuti manhaj Khawarij dan Mu’tazilah dalam hal tidak memperhatikan syarat Quraisy untuk Al Imam … silakan rujuk hal itu dalam shohih Al Bukhari kitab Al Ahkam Bab Al Umara min Quraisy, dan yang lainnya dari kitab As Sunnah, Al Fiqh, dan Al Ahkam As Sulthaniyyah, karena hal itu adalah terkenal dan tak akan susah payah dalam merujuknya. Al Hafid Ibnu Hajar dalam Al Fath menukil perkataan Al Qadli ‘Iyadl: “Pensyaratan status imam dari Quraisy adalah madzhab para ulama seluruhnya dan mereka menilainya sebagai masalah-masalah yang telah di ijmakan, dan beliau tidak menukil penyelisihan dari seorang salaf pun dalam hal ini dan begitu pula orang-orang yang setelah mereka di seluruh negeri, Beliau berkata: “Dan tidak usah dianggap ungkapan Khawarij dan orang-orang yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu’tazilah.” (31/91)
Kemudian saya melihat Syaikh Abdullah Aba Buthain – sedang beliau adalah tergolong ulama dakwah najdiyyah – membantah terhadap sebagian orang-orang yang komplein lagi mengingkari penggelaran Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab – dan Abdul Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud dengan gelar (laqab) Al Imam, sedangkan keduanya bukan dari Quraisy… Beliau berkata: “Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tidak pernah mengklaim sebagai imam umat ini, namun beliau adalah hanya alim (orang berilmu) yang mengajak pada petunjuk dan berperang di atasnya, dan beliau pada masa hidupnya tidak pernah diberi gelar dengan sebutan Al Imam, begitu juga Abdul Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Suud. Tidak seorangpun diantara mereka selama hidupnya dinamakan Al Imam, dan hanya terjadi penamaan orang yang menjabat sebagai Al Imam setelah kematian mereka berdua“. (Lihat Ad Durar juz Al Jihad hal :240)
Coba lihat al ‘alim ar rabbaniy ini bagaimana beliau berlepas diri dari hal itu dan mengingkarinya padahal keduanya tergolong para penyeru kepada petunjuk dan beliau tidak keras kepala seperti keras kepalanya banyak dari para Syaikh pemerintah pada massa sekarang yang bersikeras tetap menamakan para thaghut mereka sebagai Imam dan Amirul Mukminin…
Bahagialah mereka dengan sikap mereka berjalan di atas manhaj Khawarij… itulah cap yang selalu mereka tudingkan pada thalabul ‘ilmi dan para du’atul haq yang menentang thaghut mereka. Dan mereka menuduhnya dengan tuduhan yang mana si penuduhnya… lebih layak untuk menjauhkan darinya perbuatan si pelaku… dia tuduh orang bebas dengan apa yang ia lakukan seraya membungkamnya… dan oleh karenanya keduanya serupa menurut orang yang belang mukanya…
Ini berkaitan dengan syarat Quraisyiyyah, maka apa halnya bila di tambah dengan tidak adanya sifat adil, ilmu, bijaksana dan syarat-syarat pemimpin lainnya? Dan apa gerangan bila Islam dan Iman tidak ada ? Bagaimana…? Bagaimana…?
(11) Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan yang lainnya. Begitulah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam meneguhkan para sahabatnya dan mengingatkan mereka selalu dengan berita-berita orang-orang yang kokoh…. Sehingga bila salah seorang diantara mereka mendapatkan ujian di jalan Allah dengan ujian yang sangat berat yang tidak bisa dia tahan dan mengalami apa yang telah menimpa ‘Ammar radliyallaahu ‘anhu, maka beliau menuturkan padanya ampunan Allah tentang hal itu dan keringanan-Nya dalam hal itu…. Tidak seperti keadaan banyak para du’at masa kita ini yang selalu mendengung-dengungkan hadits-hadits rukhshah, ikrah dan dlarurat sepanjang umurnya dan setiap hari-harinya bukan pada tempatnya, mereka masuk ke dalam setiap kebatilan dengan dalilnya itu, dan mereka memperbanyak aparat pemerintah-pemerintah kufur dan syirik, tanpa paksaan atau dlarurat yang sebenarnya…, maka kapan mereka menampakkan dien ini…???
(12) Diantara makna tilawah adalah mengikuti, diambil dari kalimat talaa asy syaia yaitu tabi’ahu (mengikutinya)… Dan tidak diragukan lagi bahwa tilawah kitabullah ‘Azza wa Jalla dengan membacanya, mempelajarinya, berpegang teguh dengannya, dan mengikuti perintah-perintahnya adalah tergolong sebab-sebab keteguhan yang paling agung di atas jalan ini sebagaimana yang telah lalu. Dan sama seperti itu membiasakan selalu ingat Allah ‘Azza wa Jalla, muraqabah dengan-Nya dan qiyamullail… sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala setelah ayat yang lalu dari sirat Al Insan langsung: ”Dan sebutlah nama Tuhanmu, pada (waktu) pagi dan petang, Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (Al Insan, 7: 25-26)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar