Sabtu, 04 Juni 2011

IMAN DAN KUFUR 03

MASALAH KETIGA: 
Dlowaabithut Takfiir (Patokanpatokan dalam Mengkafirkan
Orang)

Masalah ini akan kami terangkan dalam empat
kajian, yaitu pertama: referensi-referensi kajian  takfiir
(mengkafirkan orang), kedua: definisi murtad, ketiga:
kaidah  takfiir  (menkafirkan orang) dan yang keempat:
kesalahan dalam masalah ini yang telah menyebar.

Kajian Pertama: 
Sumber Kajian Masalah Takfiir (Mengkafirkan
Orang)

Pembahasan kita masalah  takfiir  di sini hanya
terbatas pada orang yang telah dibuktikan sebagai orang
Islam baik karana dia masuk Islam dengan sendirinya
atau dilahirkan di atas fitroh karena kedua orang tuanya
Islam, bukan kafir asli. Meskipun kekafiran itu tetap
kekafiran tanpa melihat siapa orangnya, akan tetapi
pembahasan tentang orang yang kafir asli tidak ada
kerumitan dan tempatnya adalah pada bab-bab Jihad.
Maka kami katakan bahwa sesungguhnya
permasalahan  takfiir  (yaitu menjatuhkan vonis kafir
terhadap seseorang, yaitu yang dikenal dengan masalah
takfiirul mu’ayyan) itu ada dua sisi yang dapat dikaji dari
beberapa buku, yaitu:
1. Sisi  I’tiqoodiy (keyakinan): berkaitan dengan hakekat
dan macam-macam kekafiran, dan tempat
pembahasannya adalah pada bab-bab iman dan
pembatal-pembatalnya dalam buku aqidah.
2. Sisi  Qodloo’iy (hukum pengadilan) dan tempat
pembahasannya adalah ada dua macam:
A. Pertama:  Al Umuur Al Mukaffiroh –-- yaitu hal-hal
yang menjadi penyebab kekafiran –-- dan hukuman
bagi orang kafir, dan tempat pembahasannya
adalah pada bab-bab  riddah (murtad) dalam bukubuku fiqih.
B. Kedua: cara menetapkan adanya hal-hal yang
mukaffir –-- yaitu penyebab kekafiran –-- pada
seseorang dan melihat tidak adanya mawaani’ (halhal yang menjadi penghalang) untuk menjatuhkan
hukum, yang bisa diterima secara  syar’iy. Hal ini
untuk menjatuhkan hukum apakah dia kafir atau
tidak. Dan tempat pembahasannya adalah pada
bab-bab  al qodloo’ (pengadilan),  ad da’aawaat
(pengaduan) dan  al bayyinaat (pembuktian) dalam
buku-buku fiqih.
Tujuan kami di sini adalah mengingatkan
bahwasanya tidak boleh berfatwa tentang  takfiirul
mu’ayyan hanya dengan mengkaji buku-buku aqidah saja
tanpa mengkaji proses pengadilan dalam hal ini. Hal ini
akan sedikit kami perinci ketika membahas tentang
kaidah takfiir

Kajian Kedua: 
Definisi Riddah (murtad)

Riddah (murtad) adalah: kembali dari diin Islam
kepada kekafiran atau memutuskan Islam dengan
kekafiran. Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻭﻣﻦ ﻳﺮﺗﺪﺩ ﻣﻨﻜﻢ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻪ ﻓﻴﻤﺖ ﻭﻫﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﺣﺒﻄﺖ
ﺃﻋﻤﺎﳍﻢ ﰲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻵﺧﺮﺓ ﻭﺃﻭﻟﺌﻚ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪﻭﻥ
Dan barangsiapa diantara kalian yang murtad dari diinnya
lalu diamati dalam keadaan kafir maka amalan-amalan mereka
sia-sia di dunia dan akherat. Dan mereka adalah penghuni
naar (neraka) mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqoroh:
217).
Sedangkan  al murtad adalah orang yang kafir
setelah dia Islam baik dengan ucapan atau dengan
perbuatan atau dengan keyakinan atau dengan
keraguan.
Dan definisi-definisi dari empat madzhab dan
lainnya tentang  riddah dan murtad semuanya berkisar
pada arti di atas. Hal ini karena kekafiran itu kadang
terjadi karena perbuatan lisan (yaitu ucapan) atau karena
perbuatan anggota badan (yaitu perbuatan) atau
perbuatan hati (yaitu keyakinan atau keraguan). (Lihat
Kasysyaaful Qonnaa’,  karangan Syaikh Manshuur Al
Bahuutiy VI/167-168). Dan Abu Bakar Al Hishniy Asy
Syaafi’iy dalam buku  Kifaayatul Akhyaar berkata:
“Definisi  riddah menurut  syar’iy adalah kembali dari
Islam kepada kekafiran dan memutuskan Islam. Hal itu
terjadi kadang dengan lisan kadang dengan perbuatan
dan kadang dengan keyakinan.
Dan 3 macam tersebut masing-masing terdapat
permasalahan yang hampir-hampir tidak terbatas.”
(Kifaayatul Akhyaar II/123). Dan  Syaikh Hamad bin
‘Atiiq An Najdiy rh (wafat th. 1301) mengatakan:
“Bahwa sesungguhnya para ulama sunnah dan hadits
mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Al Murtad itu
adalah orang yang kafir setelah dia Islam baik dengan
ucapan atau perbuatan atau keyakinan. Mereka
menetapkan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata
kekafiran dia kafir meskipun dia tidak meyakini kata-kata
tersebut dan tidak pula melakukannya apabila dia
tidak  mukroh (dipaksa). Dan begitu pula apabila dia
melakukan perbuatan kufur dia kafir meskipun dia tidak
meyakininya dan tidak pula mengucapkannya. Dan
demikian pula apabila dadanya lapang terhadap
kekafiran artinya dia membuka dan melebarkan
dadanya, meskipun dia tidak mengucapkannya dan
tidak pula melakukannya. Dan ini dikenal secara jelas
dari buku-buku mereka. Dan barangsiapa bergelut
dengan ilmu pasti dia telah mendengar sebagiannya.“
(Ad Difaa’ ‘An Ahlis Sunnah Wal Ittibaa’ karangan
Syaikh Hamad bin ‘Atiiq cet. Daarul Qur-aanul kariim
1400 H hal. 30).
Lalu para ‘ulama membatasi penyebab kekafiran
pada 3 hal (ucapan atau perbuatan atau keyakinan) dan
sebagian menambahnya (atau keraguan) hal ini untuk
membedakan antara keraguan dan keyakinan padahal
keduanya termasuk perbuatan hati akan tetapi
keyakinan adalah sesuatu yang menancap kuat
sedangkan keraguan adalah sesuatu yang tidak
menancap dengan kuat. Karena sesuatu yang diragukan
itu sama posisinya dengan kebalikannya. Maka
barangsiapa kedustaannya terhadap Rosul menancap
kuat dalam hatinya berarti  kufru i’tiqood (kafir karena
keyakinan) dan barangsiapa yang ragu antara
mempercayai dan mendustakan Rosul maka ini berarti
kufru syakk (kafir karena keraguan). Alloh  Ta’aalaa
berfirman :
ﻭﺍﺭﺗﺎﺑﺖ ﻗﻠﻮﻢ ﻓﻬﻢ ﰲ ﺭﻳﺒﻬﻢ ﻳﺘﺮﺩﺩﻭﻥ
Dan hati mereka ragu maka mereka terombang-ambing dalam
keraguan mereka. (QS. At Taubah: 45).
Dan Di Sini Ada Sebuah Peringatan Penting:
yaitu bahwasanya definisi murtad di atas adalah definisi
murtad yang sebenarnya. Adapun hukum di dunia yang
ditetapikan berdasarkan yang dhohir, seseorang tidak
divonis kafir kecuali mengucapkan ucapan kufur atau
melakukan perbuatan kufur. Karena ucapan dan
perbuatan itulah  yang nampak pada manusia. Adapun
keyakinan atau keraguan tempatnya adalah hati
sehingga tidak bisa menjatuhkan hukum di dunia
berdasarkan keduanya, selama apa yang di dalam hati
tersebut tidak dinampakkan dalam ucapan atau
perbuatannya. Karena Rosul SAW bersabda – dalam
hadits shohih:
ﺇﱐ ﱂ ﺃﻭﻣﺮ ﺃﻥ ﺃﻧﻘﺐ ﻋﻦ ﻗﻠﻮﺏ ﺍﻟﻨﺎﺱ
Sesungguhnya aku tidak disuruh untuk membelah hati
manusia. (Hadits).
Dan di dalam hadits shohih juga disebutkan bahwa Nabi
SAW bersabda kepada Usaamah:
ﺃﻓﻼ ﺷﻘﻘﺖ ﻋﻦ ﻗﻠﺒﻪ
Kenapa tidak kamu belah saja hatinya. (Hadits).
Maka barang siapa melakukan kekafiran dengan hatinya
(dengan keyakinan atau keraguan) dan tidak dia
nampakkan dengan ucapan atau perbuatannya, maka ia
muslim menurut hukum di dunia akan tetapi pada
hakekatnya dia kafir di sisi Alloh dan dia adalah orang
munafiq dengan nifaq akbar (kemunafiqan besar) yang
menyembunyikan kekafirannya.  Ibnul Qoyyim berkata:
“Dan hukum-hukum tersebut tidak dibuktikan hanya
berdasarkan apa yang berada dalam hati tanpa ada dasar
dari perbuatan atau perkataan…” (A’laamul Muwaqqi’iin III/117).
Dalam hal ini tidak ada
perselisihan tentang hukum di dunia yang dibuktikan
berdasarkan yang dhohir. 
Dalam hal ini  Imam Ath Thohaawiy rh
mengatakan dalam  Al Aqidah Ath Thohaawiyyah
tentang  ahlul qiblah (orang Islam): “Kami tidak
memberikan kesaksian tentang mereka dengan kekafiran
atau kesyirikan atau kemunafiqan selama mereka tidak
menampakkannya, dan kami menyerahkan hati mereka
kepada Alloh.” Pensyarahnya mengatakan: “Karena kita
diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan
yang dhohir, dan kita dilarang untuk mengikuti
prasangka dan apa-apa yang kita tidak mengetahui
ilmunya” (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah hal 427
cetakan Al Maktab Al Islaamiy 1403 H ).
Kesimpulannya : sesungguhnya menetapkan
hukum murtad --- di dunia --- itu hanyalah berdasakan
ucapan  mukaffir (orang yang menyebabkan kafir) atau
perbuatan mukaffir.
Ibnu Taimiyyah rh berkata: “Orang murtad itu
adalah orang yang membatalkan Islam yang berupa
perkataan atau perbuatan yang tidak mungkin
berkumpul dengan Islam” (Ash Shoorimul Masluul hal.
459)  Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Intinya orang yang
mengucapkan atau melakukan kekafiran ia telah kafir,
meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tak
ada yang bermaksud untuk kafir kecuali orang
dikehendaki Alloh saja.” (Ash Shoorimul Masluul hal.
177-178).
Peringatan Tentang Kemungkinan Terjadinya
Kemurtadan Cepatnya Hal Itu Terjadi
Banyak dari kalangan mu’aashiriin (ulama
kontemporer) yang berlebihan dalam memperingatkan
takfiir  (mengkafirkan) manusia meskipun mereka
melakukan apa saja. Dan mereka mengatakan bahwa ini
adalah madzhab  Khowaarij. Bahkan sebagian
berpendapat bahwa kemurtadan itu tidak mungkin
terjadi, dan sesungguhnya seorang muslim yang
mengikrarkan dua kalimat syahadat itu selamanya tidak
akan kafir, dan mereka beralasan dengan sebuah
ungkapan yang berbunyi:
ﻻﻧﻜﻔﺮ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﺑﺬﻧﺐ
Kami tidak mengkafirkan orang Islam karena dosa yang dia
lakukan.
Dan ini merupakan kebodohan terhadap diinul
Islam. Sesungguhnya orang-orang  Khowaarij
mengkafirkan orang berdasarkan dosa-dosa yang ghoiru
mukaffir (tidak menyebabkan kafir). Sedangkan  Ahlus
Sunnah mengkafirkan berdasarkan dosa-dosa  mukaffir.
Adapun tentang ungkapan:
ﻻﻧﻜﻔﺮ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﺑﺬﻧﺐ
Kami tidak mengkafirkan orang Islam karena dosa yang dia
lakukan,
telah kami jelaskan maksudnya dalam catatanku
terhadap Al ‘Aqiidah Ath Thohaawiyah.
Dan beberapa orang telah murtad pada masa
hidup Nabi SAW, dan setelah beliau wafat seluruh orang
Arab yang Islam telah murtad kecuali penduduk Mekah,
Madinah dan Bahroin. Dan  Abu Bakar memerangi
mereka karena mereka murtad.
Alloh Ta’aalaa berfirman:
ﻻﺗﻌﺘﺬﺭﻭﺍ ﻗﺪ ﻛﻔﺮﰎ ﺑﻌﺪ ﺇﳝﺎﻧﻜﻢ
Janganlah kalian beralasan, kalian telah kafir setelah kalian
beriman. (QS.At Taubah: 66).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻭﻟﻘﺪ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻭﻛﻔﺮﻭﺍ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻬﻢ ﻭﳘﻮﺍ ﲟﺎ ﱂ ﻳﻨﺎﻟﻮﺍ
Dan mereka telah mengucapkan kata-kata kekafiran dan
mereka kafir setelah mereka Islam. (QS. At Taubah: 74).
Orang-orang yang diturunkan ayat-ayat ini kepada
mereka. Mereka kafir karena kata-kata yang mereka
ucapkan pada waktu Nabi SAW masih hidup. Dan
Rosululloh SAW bersabda:
ﺑﺎﺩﺭﻭﺍ ﺑﺎﻷﻋﻤﺎﻝ ﻓﺘﻨﺎ ﻛﻘﻄﻊ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﺍﳌﻈﻠﻢ ﻳﺼﺒﺢ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻭﳝﺴﻲ
ﻛﺎﻓﺮﺍ ﺃﻭﳝﺴﻲ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻭﻳﺼﺒﺢ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻳﺒﻴﻊ ﺩﻳﻨﻪ ﺑﻌﺮﺽ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
Bersegeralah beramal sebelum datang fitnah (bencana) seperti
malam yang gelap gulita. Seseorang pada waktu pagi beriman
dan pada waktu sore kafir, dan pada waktu sore beriman dan
pada waktu pagi kafir. Ia menjual diinnya dengan harta dunia.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).
Seseorang bisa kafir lantaran kata-kata yang diucapkan
dengan main-main. Oleh karena itu pensyarah Aqidah
Thohaawiyah berkata: “Diin Islam adalah apa yang
disyariatkan oleh Alloh SWT kepada hamba-hambaNya
melalui lidah para RosulNya. Pokok ajaran diin ini  dan
cabang-cabangnya adalah apa yang diriwayatkan dari
para Rosul. Dan ajaran tersebut sangatlah jelas, dan
setiap  mumayyiz (orang yang dapat membedakan) ---
baik kecil maupun besar, orang Arab fasih maupun
orang  ‘ajam (orang diluar Arab), orang bodoh maupun
orang pandai --- dapat masuk ke dalammnya dalam
waktu yang sangat singkat dan dia bisa keluar darinya
dengan lebih cepat lagi daripada masuknya.” (Syarhul
‘Aqiidah Ath Thohaawiyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy
1403 H, hal 585). Perhatikanlah perkataannya yang
berbunyi: “Dia bisa keluar darinya dengan lebih cepat
lagi daripada masuknya”. Oleh karena itu para ulama
menyebutkan kemurtadan ini termasuk pembatal wudlu,
adzan, sholat, shoum, dll. Artinya kadang seseorang
berwudlu mau sholat lalu dia melakukan hal-hal mukaffir
(yang menyebabkan kafir) --- baik berupa ucapan atau
perbuatan atau keyakinan atau keraguan --- maka
diapun murtad. Jika dia bertaubat dia wajib mengulang
wudlunya yang telah rusak karena dia murtad.
Perhatikanlah cepatnya terjadinya kemurtadan niscaya
kamu melihat rusaknya pendapat orang-orang yang
menganggapnya sebagai permasalahan yang mustahil
terjadi.
Diantaranya adalah perkataan Ibnu Qudaamah rh
: “Sesungguhnya kemurtadan itu membatalkan wudlu
dan tayammum”. Ini adalah pendapat Al Auzaa’iy  dan
Abu Tsaur. Dan murtad adalah melakukan hal-hal yang
mengeluarkan dari Islam, baik berupa ucapan atau
keyakinan atau keraguan yang dapat mengeluarkan dari
Islam. Maka jika dia kembali masuk islam lagi dia tidak
boleh sholat sampai dia berwudlu meskipun sebelum
murtad dia telah berwudlu” (Al Mughniy Ma’asy
Syarhil Kabiir I/168)  Ibnu Qudaamah juga berkata:
“Kemurtadan membatalkan adzan jika dilakukan karena
mengumandangkan adzan.” (Ibid I/438). Ia juga
mengatakan: “Kami tidak melihat adanya perbedaan di
kalangan ahlul ilmi (ulama) bahwa orang yang murtad
ketika dia melakukan shoum maka shoumnya batal, dan
jika kembali masuk Islam dia harus mengqodlonya baik
masuk Islamnya pada hari itu juga atau setelah hari itu
berlalu”. (Ibid III/52) Ibnu Qudaamah mengatakan lagi:
“Apabila seorang perempuan mengatakan kepada
suaminya; talaklah aku dengan satu dinar, lalu suaminya
mentalaknya kemudian perempuan itu murtad maka
perempuan itu berhak untuk mendapatkan satu dinar
tersebut dan jatuh talak  baa-in dan kemurtadannya itu
tidak berpengaruh karena dia murtad setelah talak  baain.
Namun apabila suaminya mentalaknya setelah ia
murtad dan sebelum digauli maka secara otomatis ia
tertalak karena kemurtadannya dan talak yang
dilakukan suaminya tidak dianggap karena didahului
oleh tertalaknya dia secara  baa-in.” (Ibid VIII/186). Dan
Abul Qoosim Al Khuroqiy berkata: “Seandainya suami
istri menikah dalam keadaan muslim, lalu si istri murtad
sebelum digauli, maka pernikahannya batal dan
perempuan tersebut tidak berhak mendapat mahar. Dan
kalau si suami murtad sebelum si istri murtad, dan
sebelum menggaulinya maka pernikahannya juga batal,
namun si suami harus membayar setengah mahar.” Dia
juga mengatakan: “Dan jika si istri murtad setelah
digauli maka si istri tersebut tidak berhak mendapat
nafkah. Dan jika dia tidak masuk Islam kembali sampai
habis masa ‘iddahnya maka batallah pernikahannya. Dan
jika yang murtad si suami, dan ia tidak masuk Islam
kembali sampai habis masa iddahnya, maka
pernikahannya batal sejak keduanya berbeda diin.” (Ibid
IX/564-565).
Inilah sekelumit pembahasan yang menerangkan
tentang kemungkinannya terjadi kemurtadan bahkan
terjadinya sangat cepat, lain halnya dengan apa yang
disangka sebagian orang. Sampai orang yang berwudlu
bisa murtad antara wudlu dan sholatnya. Dan sampai
seorang muadzin bisa murtad ketika mengumandangkan
adzan untuk sholat, karena kata-kata  mukaffir yang dia
ucapkan atau karena keyakinan mukaffir yang menancap
dalam hatinya atau  mukaffir-mukaffir lainnya. Maka
renungkanlah ini niscaya kamu memahami kebodohan
nyata yang ada pada banyak dari kalangan Mu’aashiriin
(ulama kontemporer).
Syaikh Muhammad Haamid Al Fiqiy berkata:
“Sampai-sampai banyak ulama’ pada jaman sekarang ini
yang sangat mengingkari orang yang mengingkari syirik
akbar. Sehingga mereka dan para sahabat ra. Masingmasing berada di puncak ekstrim yang berlawanan.
Adapun para sahabat mengingkari kesyirikan yang
sedikit sedangkan para ulama tersebut mengingkari
orang yang mengingkari syirik akbar. Dan mereka
menganggap melarang kesyirikan semacam ini
merupakan bid’ah dan kesesatan. Dan begitulah keadaan
seluruh umat dengan para Nabi dan Rosul yang diutus
menyampaikan tauhid kepada Alloh dan mengikhlaskan
ibadah hanya kepada Alloh saja serta melarang berbuat
syirik (menyekutukan Alloh)”.  Al Fiqiy juga berkata:
“Banyak orang yang mengaku berilmu yang tidak
mengerti “laa ilaaha illallaah”. Mereka menganggap
semua orang yang mengucapkannya sebagai orang Islam
meskipun ia melakukan kekafiran nyata dengan terangterangan,
seperti beribadah kepada kuburan, orangorang yang sudah mati,
dan berhala, dan menghalalkan
hal-hal yang telah nyata-nyata diharamkan, berhukum
dengan selain hukum yang diturunkan Alloh dan
menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai
robb selain Alloh.” (Catatan kaki hal. 128 dan 221 dalam
buku Fat-hul Majiid Syarh Kitaabut Tauhiid cet. Daarul
Fikri 1399 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar