Kamis, 16 Juni 2011

HUKUM TAKFIER MU’AYYAN DALAM SYIRIK AKBAR


HUKUM TAKFIER MU’AYYAN

PERBEDAAN ANTARA TEGAK HUJJAH DENGAN PAHAM HUJJAH

(HUKMU TAKFIERIL MU’AYYAN WAL FARQU BAINA QIYAMIL HUJJAH WA FAHMIL HUJJAH)

PENULIS:  AL ’ALLAMAH AL MUHADDITS AL USHULLY

ISHAQ IBU ABDIRRAHMAN IBNU HASAN IBNU
MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB
RAHIMAHULLAH
PENTAHQIQ DAN PENTA’LIQ

SYAIKH AHMAD HAMUD AL KAHLIDIY

ALIH BAHASA:

ABU SULAIMAN


PENGANTAR PENTERJEMAHAN


Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, keluarga dan para sahabatnya.
Orang sekarang atau bahkan semenjak munculnya berbagai macam syubhat, bila ada orang yang mengkafirkan orang-orang musyrikin secara ta’yin mereka langsung merinding dan bahkan langsung memvonis orang-orang yang mengkafirkan ta’yin orang-orang musyrik itu dengan label takfiriy, dan ini tidaklah aneh karena Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah saat melakukan ta’yin dalam takfir langsung mendapatkan tanggapan negatif dari orang-orang yang kurang paham akan tauhid. Mereka memvonis beliau dan kaum muslimin pengikut dakwah beliau dengan sebutan Khawarij. Mereka mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang tawaquf beliau dari mengkafirkan secara ta’yin, namun mereka memotong perkataan beliau atau tidak paham alur perkataan itu1, mereka jadikan perkataan itu sebagai bahan untuk membantah orang–orang yang mengkafirkan kaum musyrikin secara ta’yin, padahal perkataan beliau itu bukan tentang masalah yang nampak jelas, tetapi masalah-masalah khafiyyah, seperti takfir Ahlil Ahwa Wal Bida’, silahkan rujuk perkataan beliau langsung dan baca komentar Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, karena yang mencegah takfir secara ta’yin dalam masalah khafiyyah adalah ada unsur-unsur penghalang seperti jahil, talwil, keliru ijtihad dan yang lainnya. Adapun ta’yin ketika takfir orang yang menyekutukan Allah atau dalam kekafiran yang dhahirah adalah suatu keharusan, karena dalam syirik akbar ini tidak ada udzur karena jahil, taywil, taqlid, ijtihad dengan ijma para ulama, Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Intishar Lihizbillahil Muwahhidin:
“Orang yang mengklaim bahwa pelaku kufur (syirik akbar) karena ta’wil, ijtihad, keliru (memahami), taqlid, atau jahil dia itu diudzur maka ia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma tanpa ragu lagi” (Aqidatul Muwahhidin: 18 dalam risalatul Intishar).
Karena penghalang itu tidak ada, maka ta’yin itu adalah suatu keharusan, Syaikh Muhammad mengatakan: Dasar agama dan pondasinya itu ada dua,
Pertama:
  • Perintah untuk ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya.
  • Desakan akan hal itu.
  • Melakukan loyal di dalamnya.
  • Dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
Kemudian Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan:
“Orang itu tidak dikatakan muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya, dan mengkafirkan pelakunya.” (Syarh Ashli Dienil Islam)
Kemudian beliau (Syaikh Muhammad) berkata: Kedua
  • Menghati-hatikan dari syirik dalam ibadah kepada Allah.
  • Mengecam dengan keras atasnya.
  • Melakukan permusuhan di dalamnya.
  • Dan mengkafirkan pelakunya.
Kedudukan tauhid tidak bisa tegak kecuali dengan hal ini semua, dan ini adalah agama para Rasul. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata:
“Allah memberi cap kafir bagi orang-orang yang menyekutukannya dalam banyak ayat-ayat yang tidak terhitung, maka harus dikafirkan juga mereka itu (oleh kita), ini adalah konsekwensi Laa illaaha illallaah kalimah ikhlash, sehingga maknanya tidak tegak kecuali dengan mengkafirkan orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadahnya”
Al Imam Al Barbahariy berkata dalam Syarhus Sunnahnya:
“Dan seseorang dari ahli kiblat tidak dikeluarkan dari Islam sehingga dia menolak satu ayat dari Kitabullah atau menolak sebagian dari Atsar-atsar Rasulullah, atau shalat kepada selain Allah, atau menyembelih untuk selain Allah, dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkan dia dari lingkungan Islam.”2
Lihatlah seorang Arab Badui yang selama ini dia bersama kaumnya mengucapkan dua kalimah syahadat, namun perbuatan mereka itu bertentangan dengan tauhid, terus ada muthawwi (penyuluh/dai kalau di kita) yang tetap menamakan mereka sebagai orang Islam. Dia (orang badui) itu setelah mengetahui dakwah Syaikh Muhammad dan konsekwensinya dia langsung mempraktekan, Syaikh Muhammad menuturkan tentang dia dalam Syarah Sittati Mawadli Minas Sirah di akhir sekali:
“Sungguh indah sekali apa yang diucapkan oleh seorang Arab badui tatkala dia telah tiba kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam (maksudnya yang diajarkan oleh Syaikh yang berbeda dengan yang mereka pegang selama ini, pent), dia langsung berkata: Saya bersaksi bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang kafir – yaitu dia dan seluruh orang badui – dan saya bersaksi bahwa muthawi’ yang menamakan kami umat Islam sesungguhnya dia kafir juga”.
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata:
“Masalah yang ditunjukan oleh Al Kitab, Al Sunnah dan Ijma para ulama adalah bahwa (dosa) semisal penyekutuan terhadap Allah dengan yang lain-Nya adalah kekafiran, maka siapa melakukan sebagian dari macam ini atau menganggap bagus hal itu, maka ini tidak diragukan lagi kekafirannya, dan tidak apa-apa bagi orang yang telah bersumber darinya sebagian hal-hal itu engkau katakan si fulan kafir dengan perbuatan ini3
Beliau berkata lagi:
“Dan ungkapan para ulama dalam takfir mu’ayyan adalah sangat banyak, dan macam kemusyrikan yang paling besar adalah beribadah kepada selain Allah, ini jelas adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin, dan tidak apa-apa mengkafirkan orang yang melakukan hal itu, karena orang yang zina juga dikatakan si fulan pezina, dan orang yang memakan riba dikatakan si fulan muraabii, waallaahu ‘alam.4
Syaikh Muhammad setelah menuturkan dua pokok di atas beliau menyebutkan sembilan golongan yang berseberangan dengan tauhid, beliau menyebutkan:
  • Orang yang paling dahsyat mukhalafahnya adalah orang yang menyalahi dalam itu semua.
  • Dan di antara manusia ada yang beribadah kepada Allah saja, namun dia tidak mengingkari syirik dan tidak memusuhi pelakunya.
  • Di antara mereka ada yang memusuhinya namun tidak mengkafirkannya.
  • Dan di antara mereka ada yang tidak mencintai tauhid dan tidak membencinya.
  • Di antara mereka ada yang tidak membenci syirik dan tidak mencintainya.
  • Di antara mereka ada yang tidak mengenal syirik dan tidak mengingkarinya, tidak menafikan (dari dirinya),
  • Di antara mereka ada yang tidak mengetahui tauhid dan tidak mengingkarinya.
  • Dan di antara mereka – dan ini yang paling berbahaya – ada orang yang mengamalkan tauhid namun tidak mengetahui kedudukannya, dia tidak membenci orang yang meninggalkannya dan tidak mengkafirkannya.
  • Dan di antara mereka ada yang meninggalkan syirik, dia membencinya, namun tidak mengetahui kedudukannya.
Tentang status mereka ini Syaikh mengatakan setelah menyebutkan nomor pertama: Dan macam orang ini dan yang sesudahnya, mereka itu telah menyalahi apa yang ditunjukan oleh kalimatul ikhlash, tujuan yang dengannya kalimat ini ditegakkan, serta (menyalahi) makna yang dikandungnya, berupa agama yang di mana Allah tidak menerima agama selainnya.5
Setelah pembaca mengetahui ini terserah apa penilaian pembaca, namun saya memberikan nasehat kepada anda yang ingin mencari kebenaran agar membaca kitab-kitab para pelopor dakwah tauhid, di mana mereka langsung terjun ke medannya, langsung perang dengan para musuh tauhid dari kalangan orang yang mengaku orang Islam bahkan sebagiannya mengaku ulama, namun sebenarnya mereka itu adalah ulama kaum musyrikin sebagaimana yang sering Syaikh Muhammad katakan dalam kitab-kitab dan risalah-risalahnya. Ketahuilah bahwa orang muwahhid yang awam mampu mengalahkan seribu ulama, kaum musyrikin, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhanmad rahimahullah dalam kitab Kasyfusy Syubuhatnya.
Hendaklah orang yang mengatakan ketika ada orang berbuat syirik akbar sedang dia itu sudah mengucapkan dua kalimah syahadat bahwa perbuatannya syirik tapi orangnya tidak boleh dikatakan musyrik, hendaklah dia itu bertaubat kepada Allah karena itu adalah pernyataan bid’ah.
Di dalam kitab ini Syaikh Ishaq menanggapi syubhat dari orang-orang yang mereka itu mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad, tapi sebenarnya mereka itu tidak paham akan dakwah itu, mereka dikala melihat orang berbuat syirik hanya mengatakan perbuatannya syirik, tapi orangnya belum tentu musyrik, kemudian mereka mencari-cari dalih dari perkataan Syaikh Muhammad yang sepertinya sesuai dengan perkataan mereka. Syaikh Ishaq membantah syubhat mereka itu, dan bahkan beliau memperumpamakan mereka itu dengan apa yang dihikayatkan dari Syaikh Muhammad, beliau memperumpamakannya dengan dzubab alias lalat yang tidak mau hinggap kecuali pada kotoran, karena mereka berpaling dalil-dalil yang jelas dalam Al Kitab, As Sunnah, ijma serta perkataan-perkataan Syaikh dan ulama Sunnah yang lainnya yang sangat gamblang, namun mereka justru malah mencari perkataan yang global lagi samar.
Selain kitab Takfir Mu’ayyan kami ketengahkan pula Risalah Ashlu Dinil Islam, karya Syakh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berikut syarah cucunya yang sekaligus sebagai murid terdekatnya Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu syaikh Muhammad rahimahullah, juga Risalah Al Maurid Al ‘Adzbu Az Zallal dan risalah Arraddu ‘Alal Jahmiyy keduanya karya Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan, keempat kitab ini (Takfir Mu’ayyan, Ashlu Dinil Islam berikut syarahnya, Arraddu ‘Alal Jahmiyy dan Al Maurid Al ‘Adzbu Az Zallal) semuanya dimasukan dalam kitab Aqidatul Muwahhidin War Raddu ‘Alaa Adl Dlullal Wal Mubtadi’iin yang disusun oleh Syaikh Abdullah Ibnu Sa’diliy Al Ghamidiy Al ‘Abdaliy yang ditaqdim oleh Al Imam Abdul Aziz Ibnu Baz rahimahullah. Dan kami sertakan pula risalah Fi Makna Ath Thaghut karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah.
Silahkan anda baca sendiri dengan syarat anda harus membuang jauh hawa nafsu dan ta’ashshub, Insya Allah anda mendapatkan kebenaran, namun bila anda tidak paham, maka mintalah petunjuk kepada Allah dengan banyak berdoa dan merendahkan diri kepadaNya. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada panutan kita semua, keluarga dan para sahabatnya. Dan akhir seruan kita adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.
KATA PENGANTAR PENTAHQIQ
Amma Ba’du: Telah terbiasa ahlul khair berlomba-lomba untuk melakukan amal-amal shalih, dan di antara yang paling besar adalah menyebarkan ilmu dengan mencetak kitab-kitab dan risalah-risalah ilmiyyah demi membela agama ini dan sebagai pengamalan hadits Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam ”Orang yang menunjukan kepada kebaikan maka dia itu sama seperti pelakunya”.
Saudara Abdullah Ibnu Shalih Ad Da’jaaniy telah menceritakan kepada saya tentang keinginannya untuk mencetak ulang risalah Al ‘Allamah Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh yang bernama Takfirul Mu’ayyan, maka kami meminta pertolongan kepada Allah dan kami berangkat menuju Fadlilatusy Syaikh Ismail Ibnu Sa’ad Ibnu ‘Atiq, lalu kami kabarkan kepada beliau keinginan kami ini, maka beliau sangat menyambutnya dan mendorong hal itu serta beliau membekali kami satu naskah tulisan tangan risalah tersebut yang disertai dua ijazah milik Syaikh Ishaq, salah satunya singkat dan yang lainnya panjang, serta beliau menyertakan ritsa (ungkapan syair bela sungkawa) tentang Syaikh Ishaq yang ditulis oleh Syaikh Fauzan Abdullah, terus kami lakukan perbandingan antara risalah yang ada dengan naskah tulisan tangan dan rujukan yang darinya Syaikh Ishaq menukil. Kami dapatkan sedikit perbedaan yang tidak merubah makna, kami tetapkan ungkapan yang sesuai dengan risalah itu karena sesuai dengan salah satu naskah asli yang banyak beredar, dan kami lakukan perbaikan kesalahan cetak yang kami temukan serta kami tetapkan ungkapan yang luput dalam cetakan pertama dan kami letakkan antara tanda kurung (  ), kami beri nomor ayat dan suratnya, kami nisbatkan hadits-hadits kepada tempatnya, serta kami berikan beberapa ta’liq bila perlu yang pada umumnya adalah nukilan dari para imam dakwah agar sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Syaikh Ishaq, sehingga pembaca mengetahui bahwa apa yang disebutkan dalam risalah ini adalah hikayat akan keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang tidak ada ragu lagi. Kami memohon kepada Allah taufiq dan pelurusan dalam ucapan dan perbuatan serta keyakinan, dan semoga Dia mengarahkan kami dan saudara-saudara kami ke atas jalan yang lurus serta menjauhkan kami dari jalan orang yang sesat lagi menyimpang, sesungguhnya Dia Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya.
AHMAD IBNU HAMUD AL KHALIDIY
AL AHSAA – AL HUFUUF 20/10/1422 H

BIOGRAFI PENULIS
Beliau adalah Al ‘Allamah Al Habru Al Fahhamah Al Muhaddits Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Al Imam Al Mujaddid Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dilahirkan di kota Riyadl tahun 1276 H. Mulai mencari ilmu dan mendulang ilmu dari saudaranya Syaikh Abdullathif dan Syaikh Hamd Ibnu ’Athiq dan kepada keponakannya Syaikh Abdullah Ibnu Abdillathif dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibnu Mahmud, Syaikh Abdullah Ibnu Husain Al Makhdlub, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Shalih Ibnu Mursyid.
Ketika terjadi fitnah di kota Riyadl yang akhirnya dikuasai oleh Alu Rasyid, dan Alu Su’ud pergi menuju Kuwait beliau pergi menuju India tahun 1309 H, dan terus melanjutkan mencari ilmu di sana. Di sana belajar kepada Al Muhaddits Al Kabir Syaikh Nadzir Husain dan beliau diberi ijazah, darinya beliau mengambil hadits secara bersambung kepada para guru-gurunya, kemudia rihlah ke kota Bahubal di India, belajar kepada Syaikh Husain Ibnu Muhsin Al Anshariy, Syaikh Salamatullah dan keduanya memberikan ijazah dalam marwiyyatnya, sebagaimana beliau mengambil ilmu dari Syaikh Muhammad Basyir, sehingga beliau menjadi tokoh ulama pada masanya dalam masalah ushul, furu dan ilmu adab lainnya. Kemudian beliau pulang ke Riyadl yang berada di kekuasaan Alu Rasyid, beliau mengajar, memberikan fatwa, dan di antara murid-muridnya adalah Syaikh Ibrahim Ibnu Abdillathif Alu Asy Syaikh, Syaikh Abdullah Al ‘Anqariy, Syaikh Abdullah Ibnu Faishal, Syaikh Falih Ibnu Shaghir, Syaikh Salim Al Hanakiy, Syaikh Abdullah As Sayariy, Syaikh Abdul Aziz Ibnu ‘Atiq, Syaikh Abdurrahman Ibnu Dawud, dan Syaikh Fauzan (penukil tulisannya ini).
Beliau memiliki banyak karangan dan risalah yang sangat bermanfaat yang menunjukan akan ilmu,  keluasan, dan tahqiq beliau, sebagiannya ada dalam Ad Durar Assaniyyah dan yang lainnya masih berbentuk manuskrip.
Beliau wafat tanggal 29 Rajab 1319 H, rahimahullah, banyak sekali yang mengungkapkan bela sungkawa dengan syair tulisan6. Di antaranya bela sungkawa Syaikh Abdullah Fauzan, beliau berkata: Segala puji hanya bagi Allah, shalawat semoga dilimpahkan kepada Nabi yang tidak ada lagi nabi sesudahnya. Amma Ba’du Ini adalah bela sungkawa terhadap meninggalnya Syaikh Imam panutan orang-orang Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman rahimahullah semoga Allah melimpahkan karunia-karunia-Nya terhadap beliau
MUQADDIMAH CETAKAN PERTAMA
Segala puji hanya bagi Allah Yang selalu memberikan pertolongan, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi yang terpercaya, kepada keluarganya, para sahabatnya dan para tabi’in , wa ba’du:
Sesungguhnya masalah takfir, tadllil dan tafsiq adalah masalah yang memiliki akar yang kuat dalam sejarah kelompok-kelompok Islam, dan itu adalah ciri yang nampak dan tanda yang jelas bagi firqah Khawarij dan firqoh yang sejalan dengannya, kemudian pada akhirnya hal itu dijadikan sebagai celaan, hinaan yang digunakan dan dijadikan senjata oleh banyak orang untuk mencaci orang-orang yang telah merealisasikan tauhid dan mutaba’ah, agar dengannya mereka itu mencapai tujuan mereka yaitu memperluas ruang lingkup Islam meskipun berbagai macam perbuatan yang membuat kafir dilakukan. Gerak dakwah tajdid dan ishlah pada abad kedua belas telah berusaha menutupi masalah ini dengan cara berbaik sangka kepada kaum muslimin dan menilai mereka atas apa yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka dan nampak pada dhahir mereka.
Dan cabang masalah yang umum adalah takfir mu’ayyan, apakah cukup tegaknya hujah saja atau harus adanya paham akan hujjah. Masalah ini dijelaskan dengan gamblang dan lantang oleh Al ‘Allamah Al Muhaddist Asy Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh yang wafat 1319 H, beliau telah menjabarkan keyakinan para pendahulunya dengan menuturkan bukti dan dalil-dalil syar’iyyah yang sesuai maslahat yang selalu diperhatikan. Mudah-mudahan pembaca yang budiman mendapatkan apa yang dicari dalam risalah yang ringkas ini.
Penulis adalah orang yang hidup di berbagai daerah dan menjelajah ke berbagai  negeri, dan melihat berbagai fenomena kekufuran dan kebid’ahan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang intisab kepada Islam. Dan dikarenakan risalah ini materinya selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat maka kami berkeinginan untuk memberikan andil dalam penerangan. Namun  yang kami sayangkan adalah bahwa kami tidak mendapatkan kecuali satu naskah saja dengan tulisan Abdul Aziz Ibnu Fauzan yang beliau tulis pada zaman penulis tahun 1312 H, beliau sebutkan bahwa menukilnya langsung dari tulisan tangan Syaikh dan sesuai kemampuan dilakukan perbaikan sebagian kesalahan imla (penulisan) dan sedikit kekeliruan penulisan dari sisi lafadz nahwu. Saya mohon pahala dari Allah dan baiknya balasan.
Wallahu ‘Alam, semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad.
Ismail Ibnu Sa’ad Ibnu ‘Atiq, Riyadh 19/11/1408 H
SYAIKH ISHAQ BERKATA:
Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam, tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang dzalim dan kemenangan akhir itu hanyalah bagi orang-orang yang bertaqwa. Saya bersaksi bahwa tidak illah yang berhak disembah kecuali Allah Yang Esa lagi tempat bergantung yang tidak diminta pertolongan dalam situasi genting dan tidak diseru kecuali Dia, siapa yang beribadah kepada selainnya maka dia itu adalah orang musyrik lagi kafir dengan penegasan Al Qur’an. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya serta kekasih-Nya, semoga shalawat dan salam tetap Allah curahkan kepada beliau, keluarga dan seluruh sahabatnya, yang dengannya hujjah telah tegak atas seluruh alam semesta, tidak ada  Nabi dan Rasul sesudahnya.
Amma ba’du:
Telah sampai kepada kami, dan kami telah mendengar dari sebagian orang yang mengklaim ahli ilmu dan agama dan dari kalangan yang mana dia itu mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, (orang itu mengatakan): “Bahwa orang yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala tidak boleh dihukumi kafir dan musyrik secara mu’ayyan,”. Dan ini dikarena bahwa sebagian orang yang memberitakan saya akan hal itu mendengar dari sebagain ikhwan, dia itu menghukumi musyrik dan kafir orang yang menyeru Nabi dan beristighatsah dengannya, maka orang itu (maksudnya orang yang mengklaim berilmu dan beragama serta mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad, pent ) mengatakan kepada orang itu: “Janganlah kamu vonis dia kafir sebelum memberinya penjelasan (ta’rif)”.
Sedangkan orang ini (maksudnya orang yang mengklaim berilmu dan beragama serta mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad, pent ) dan sejalan dengannya tidak merasa sungkan seiring bersama-sama dengan orang-orang musyrik di setiap perjalanan  dan di daerah-daerahnya, bahkan mereka itu menuntut ilmu dari orang yang paling kafir dari kalangan ulama musyrikin (sedang dia juga tergolong orang Jahmiyyah dari kalangan ulama Mekkah), dan mereka (ulama kaum musyrikin) itu telah mencarikan bagi mereka syubhat-syubhat atas klaimnya itu yang Insya Allah akan disebutkan sebagiannya di dalam risalah ini. Dan dengan syubhat-syubhat itu mereka telah memperdaya sebagian orang-orang bodoh dari kalangan pengikutnya dan orang yang tidak memiliki pengetahuan. Sedangkan orang yang tidak mengetahui keadaan mereka dan tidak bisa membedakan serta tidak bisa memahami. Mereka itu menjauhi para ikhwan secara fisik dan menjauhi para masyayikh dengan hatinya, mereka berbasa-basi terhadapnya, sehingga mereka merasa tidak akrab dan mereka juga tidak dirasakan dekat dengan sebab syubhat-syuhbat yang mereka tampakkan dan dengan sebab perasaan gelisah yang mereka akibat selalu seiring bersama berbaur dengan orang-orang fasiq dan orang-orang musyrik. Dan inti paham mereka adalah mereka itu tidak mau mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah  kecuali secara umum (takfir jenis atau nau’nya, pent) saja, sedangkan untuk praktek di antara mereka, sungguh mereka itu sangat enggan sekali akan hal itu (maksudnya untuk takfir mu’ayyan, pent). Kemudian bidah7 dan syubhat mereka itu terus menjalar sehingga laku di kalangan para ikhwan (yang dekat), dan itu Wallaahu Allam disebabkan mereka        meninggalkan kutubul ushul (kitab-kitab induk) dan tidak memperhatikannya serta merasa tidak khawatir dari kesesatan. Mereka berpaling dari risalah-risalah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab – semoga Allah mensucikan ruhnya- dan risalah-risalah anak cucunya, karena risalah-risalah itu bisa menjamin sekali untuk membongkar semua syubhat-syubhat itu sebagaimana yang akan datang (penjelasannya). Orang yang memiliki sedikit saja pengetahuan bila mengamati keadaan manusia sekarang ini8 dan dia melihat keyakinan para masyayikh tadi, maka dia merasa sangat terheran-heran, walaa haula walaa quwwata illa billah, dan itu dikarenakan bahwa sebagian orang yang kami isyaratkan tadi telah saya ajak dia diskusi tentang masalah ini, maka dia mengatakan: “ Kami mengatakan terhadap orang-orang yang meminta-minta kepada kubah-kubah kuburan yang di mana mereka ibadah kepadanya dan kepada orang yang ada di dalamnya,‘Perbuatan kamu ini adalah syirik dan dia belum tentu musyrik,’”9.
Lihatlah tentu engkau bisa melihatnya, dan panjatkanlah puji kepada Tuhanmu serta mintalah kepadaNya ‘afiyah. Sesungguhnya jawaban ini adalah sama persis dengan sebagian jawaban-jawaban Al Iraqiy10 yang telah dibantah oleh Syaikh Abdullathif. Orang yang memberitahu saya tentang orang ini telah menyebutkan bahwa pada suatu kesempatan dia ditanya tentang hal ini dan tentang acuan mereka, maka dia itu menjawab: “Kita hanya mengkafirkan nau’nya (jenis pelakunya) saja dan tidak menta’yin seseorang11 kecuali setelah ta’rif  (diberi penjelasan), sedangkan acuan kita adalah apa yang kita lihat di dalam sebagian risalah-risalah Syaikh Muhammad semoga Allah mensucikan ruhnya – bahwa beliau enggan mengkafirkan orang yang ibadah kepada kubbah Kawwaz dan Abdul Qadir dari kalangan orang~orang jahil karena tidak ada orang yang mengingatkan (mereka) “.
Lihatlah tentu engkau melihat sesuatu yang sangat aneh lagi mengherankan, kemudian mintalah ‘afiyah kepada Allah dan mintalah kepada-Nya agar menyelamatkan engkau (dari keterpurukan setelah adanya kemajuan). Alangkah persisnya mereka itu dengan cerita yang masyhur tentang Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, bahwa beliau pada suatu hari menerangkan masalah Ushuluddin dan menjelaskan. apa yang ada di dalamnya, sedangkan seorang laki-laki yang ikut duduk di majlis beliau tidak pernah bertanya, tidak tertarik dan tidak juga ikut aktif (di dalam pembahasan), sehingga muncullah beberapa ungkapan yang mengandung kesamaran (kekeliruan), maka laki-laki itu langsung bereaksi seraya berkata: “Apa ini, bagaimana itu”. Maka Syaikh berkata: “Qaatalakallah (semoga Allah membinasakan kamu) pembicaraan kami telah berlalu dari tadi, sedang kamu tidak paham dan tidak mau bertanya tentangnya, dan tatkala muncul kekeliruan ini kamu langsung mengenalinya, kamu ini bagaikan lalat yang tidak hinggap kecuali di atas kotoran,” atau ucapan yang seperti itu.
Kami mengatakan Alhamdulillah, bagi-Nya segala sanjungan, dan. kami meminta kepada-Nya bantuan dan pelurusan, dan kami tidak mengatakan kecuali seperti apa yang telah dikatakan oleh para masyayikh kami, Syaikh Muhammad dalam kitabnya Ifadatul Mustafid12 , cucunya dalam bantahannya terhadap Al Iraqi (maksudnya, Dawud Ibnu Jirjis,pent ), dan begitu juga perkataan para Imam agama ini sebelumnya. Dan di antara sesuatu yang sudah diketahui semua dari agama ini adalah bahwa rujukan dalam masalah-masalah Ushuluddin adalah Kitabullah, Sunnah dan Ijma umat yang mu’tabar, yaitu yang disepakati oleh para sahabat, dan bukanlah rujukan itu kepada perkataan orang alim tertentu dalam masalah itu. Maka siapa yang sudah meyakini landasan ini dengan keyakinan yang tidak tersingkir dengan syubhat dan dia memegangnya dengan penuh keyakinan hatinya, maka ringanlah atasnya apa yang terkadang dia lihat berupa. perkataan yang samar (musytabah) di sebagian karangan-karangan para imamnya, karena tidak ada yang ma’shum kecuali Nabi. Dan masalah kita ini yaitu masalah ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan berlepas diri dari ibadah kepada selain-Nya, dan barangsiapa beribadah kepada yang lain disamping dia beribadah kepada Allah maka dia itu telah menyekutukan Allah dengan syirik akbar yang mengeluarkan dia dari agama ini, (masalah ini) adalah ashlul ushul (pokok segala pokok), dengannya Allah mengutus para Rasul dan dengannya Dia menurunkan banyak kitab, serta hujjah itu telah tegak atas manusia dengan Rasulullah dan dengan Al Qur’an. Begitulah anda bisa dapatkan jawaban seperti itu dari para Imam agama ini dalam pokok agama ini tatkala mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhnya dia (orang yang menyekutukan Allah) itu langsung disuruh taubat, bila dia bertaubat (maka dia dilepas), namun bila dia tidak bertaubat, maka dia dibunuh, mereka (semua para Imam) tidak menyebutkan (keharusan) ta’rif (pemberian penjelasan) dalam masalah-masalah ushuul. Mereka hanya menyebutkan ta’rif dalam masalah-masalah khafiyyah (yang samar) yang terkadang dalilnya samar atas sebagian kaum muslimin, seperti masalah yang diperselisihkan oleh sebagian Ahlul bid’ah, seperti Qadariyyah, Murji’ah atau dalam masalah yang samar seperti sharf dan ‘athaf. Bagaimana mungkin para pengagung/penyembah kuburan itu dita’rif (diberi penjelasan) sedangkan mereka itu bukan kaum muslimin dan mereka itu tidak masuk dalam lingkungan Islam,13 apakah masih tersisa amalan bila disertai syirik (akbar)? sedangkan Allah  mengatakan:
Ÿwur tbqè=äzô‰tƒ sp¨Yyfø9$# 4Ó®Lym ykÎ=tƒ ã@yJpgø:$# ’Îû ÉdOy™ ÅÞ$u‹Ïƒø:$# 4
“ dan tidak (pula) dan mereka masuk surga hingga unta masuk ke lobang jarum,“ (Al Araf: 40)
4 `tBur õ8ÎŽô³ç„ «!$$Î/ $yJ¯Rr(s3sù §yz šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# çmàÿsÜ÷‚tFsù çŽö©Ü9$# ÷rr& “Èqôgs? ÏmÎ/ ßw†Ìh9$# ’Îû 5b%s3tB 9,‹Åsy™ ÇÌÊÈ
“Barangsiapa menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh,“ (Al Hajj: 31)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,” (An Nisa: 48)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’ala:
“Dan barangsiapa yang menyekutukan Allah maka hapuslah amalannya,”(Al Maidah: 5)
Dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi keyakinan ini (maksudnya keyakinan tidak bolehnya mengkafirkan orang yang berbuat syirik akbar secara langsung ta’yin, kecuali setelah diberi penjelasan terlebih dahulu, Pent) mengharuskan, darinya timbul keyakinan yang sangat busuk, yaitu bahwa hujjah itu belum tegak dengan Rasulullah dan Al Qur’an atas umat ini, naudzubillah dari busuknya pemahaman yang memastikan mereka melupakan Kitabullah dan Rasulullah, bahkan (ketahuilah) bahwa Ahlul fatrah yang di mana belum sampai risalah dan Al Qur’an kepada mereka dan mereka itu mati di atas jahiliyahnya, mereka itu tidak dinamai kaum muslimin dengan ijma’ 14 dan tidak boleh dimintakan ampunan. sedangkan yang menjadi perdebatan di antara para ulama adalah apakah mereka itu diadzab tidak di akhirat kelak ?15.
Syubhat yang kami sebutkan tadi itu telah pernah terjadi hal serupa atau lebih kecil darinya terhadap orang-orang zaman Syaikh Muhammad rahimahullah, namun orang yang mendapatkan syubhat pada zaman syaikh ini dia memandangnya sebagai syubhat dan dia mencari penyelesaian masalahnya, dan adapun orang yang kami sebutkan di atas, sesungguhnya mereka menjadikan syubhat ini sebagai ashl (landasan pokok/manhaj) dan mereka memperlakukan seluruh orang-orang musyrik dengan ta’rif (diberi penjelasan sebelum dikafirkan), serta mereka menganggap bodoh orang-orang yang tidak sepakat dengan mereka16, sehingga mereka itu tidak mendapatkan taufiq akan kebenaran, karena mereka memiliki kepentingan dalam hal ini, yaitu hidup bergandengan dengan orang-orang musyrik. Ya Tuhan kami janganlah Engkau sesatkan kami setelah Engkau memberi kami petunjuk. Allahu Akbar sesungguhnya banyak sekali orang-orang yang menyimpang sedangkan mereka tidak merasakannya.
Kami menyebutkan muqaddimah ini agar lebih mudah untuk memahami hujjah-hujjah yang akan datang dalam masalah ini.
Risalah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dalam masalah ini
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhhab semoga Allah mensucikan ruhnya berkata17 dalam risalahnya yang beliau kirim kepada Ahmad Abdil Karim tokoh di daerah Al Ahsa yang dimana dia dahulunya tergolong orang shaleh sebelum terkena syubhat masalah ini, kami menyebutkan sebagian isi risalah itu karena adanya kesamaan antara orang yang telah kami bantah dengan diri Ahmad Ibnu Abdil Karim (yang dikirimi surat itu), dan inilah teks risalah tersebut18: Dari Muhammad Ibnu Abdil Wahhab kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim, salamun ‘alal mursalin wal hamdulillahi rabbil ‘aalamin, Amma Ba’du telah sampai tulisanmu, kamu menjelaskan masalah yang telah kamu sebutkan dan kamu sebutkan bahwa kamu menemukan isykal (kesulitan) yang dimana kami mencari pencerahannya, kemudian telah datang dari kamu satu surat lagi yang di dalamnya kamu sebutkan bahwa telah menemukan suatu perkataan Syaikhul Islam yang menghilangkan isykal darimu. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kamu hidayah terhadap agama Islam, perkataan Ibnu Taimiyah itu menunjukkan bahwa orang yang beribadah kepada berhala seperti ibadah terhadap Latta dan Uzza, dan mencaci agama Rasullaah setelah dia bersaksi terhadapnya, seperti cacian yang dilakukan oleh Abu Jahal, bahwa dia itu tidak dihukumi kafir secara ta’yin ?19 bahkan justru ungkapan beliau itu sangat jelas dan gamblang seperti Ibnu Fairuz,, Shalih Ibnu Abdillah dan yang lainnya dengan kekafiran yang jelas lagi mengeluarkan dari agama Islam ini, apalagi (pengkafiran langsung) orang-orang selain dua orang itu. Ini sangat jelas sekali lagi gamblang dalam penyataan Ibnu Qoyyim dan dalam pernyataan Syaikh (Ibnu Taimiyah) yang telah kamu sebutkan bahwa itu bisa menghilangkan isykal dari kamu dalam hal kafirnya orang yang menyembah berhala yang berada diatas kuburan Yusuf dan yang lainnya, dia meminta terhadap berhala-hala itu dalam situasi sempit dan tenang, mencaci agama Rasulullah setelah dia mengakui dan bersaksi terhadapnya, serta beragama dengan penyembahan berhala setelah dia mengakui risalah tersebut. Perkataan saya ini bukanlah mengada-ada, bahkan kamu juga bisa menjadi saksi atas (perbuatan) mereka, namun bila hati sudah dibutakan oleh Allah maka tidak ada jalan keluar, namun yang saya khawatirkan terhadap kamu adalah firman Allah,
“Yang  demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci karena itu mereka tidak dapat mengerti” (Al munafiqin: 3),,
dan syubhat yang merasuki diri kamu adalah karena demi segenggam harta yang ada di tangan kamu, kamu beserta keluargamu khawatir melarat bila kamu meninggalkan negeri kaum musyrikin, kamu ragu akan rizki Allah, dan juga teman-teman yang buruk (ikut menyesatkanmu). Kamu wal ‘iyadzu billah sekarang mulai terpuruk untuk pertama kalinya dalam keragu-raguan, (tinggal) di negeri syirik20 loyal kepada orang-orang musyrik, dan shalat di belakang mereka. “…selesai perkataan Syaikh Muhammad rahimahullah.
Perhatikanlah perkataan beliau rahimahullah dalam hal takfir (pengkafiran) terhadap para ulama itu dan dalam hal kafirnya orang yang beribadah kepada berhala yang ada di atas kuburan Yusuf,21 dan sesungguhnya pengkafiran itu sungguh sangat jelas dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah dan dalam penghikayatan beliau (Syaikh Muhammad) tentang Ahmad Ibnu Abdil Karim (yang dikirimi         surat itu), serta vonis beliau terhadapnya dengan ayat dalam surat Al Munafiqun, dan sesungguhnya ini adalah hukum yang mencakup luas.
Begitu juga perhatikanlah pada masa sekarang keadaan banyak orang yang katanya ahli agama dan ilmu dari kalangan penduduk Nejed, dia pergi menuju negeri kaum musyrikin, muqim di sana untuk mencari ilmu dari mereka (ulama-ulama kaum musyrikin) dan dia duduk-duduk bersama mereka, sehingga di kala dia sudah pulang ke negeri kaum muslimin dan dikatakan kepadanya: Takutlah kamu kepada Allah dan bertaubatlah kepada Tuhanmu dari itu semua” maka dia memperolok-olokan orang yang mengatakan hal itu kepadanya seraya berkata: Apakah saya harus taubat dari mencari ilmu ? kemudian dia menampakan dari perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapannya yang mengungkapkan buruk dan palsunya keyakinan dia, dan ini tidaklah aneh, karena dia telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dengan perlakuan mereka bergandeng tangan bersama orang-orang musyrik, sehingga dia mendapatkan sangsinya itu. Namun yang sangat mengherankan adalah perlakuan ahli agama dan tauhid yang berlaku ramah terhadap manusia jenis ini yang ingin menyamakan antara kaum musyrikin dengan ahli tauhid padahal Allah telah membedakan antara mereka di dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya.
Kemudian Syaikh Muhammad rahimahullah berkata dalam suratnya itu setelah menyebutkan banyaknya orang yang murtad dari Islam setelah (wafat) Nabi, seperti orang-orang yang murtad pada zaman Abu Bakar, mereka (para sahabat) menvonis mereka murtad dengan sebab menolak bayar zakat22 dan seperti orang-orang yang mengkultuskan Ali, jamalah mesjid di kota Kufah23 Banu Ubaid Al Qadaah.24 Mereka semua yang tadi disebut dihukumi langsung oleh (para ulama) sebagai orang-orang murtad (dengan ta’yin orang-orangnya), setelah itu Syaikh Muhammad berkata:  Adapun pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dijadikan oleh mereka (teman-teman kamu) sebagai alat untuk mengkaburkan pemahamanmu, maka itu justru lebih pedas/keras dari ini semua, dan seandainya kami mengatakan perkatan itu, tentu kami mengkafirkan banyak orang-orang dari kalangan orang-orang yang terkenal bi alyaanihim (dengan tunjuk langsung orangnya), karena sesungguhnya beliau (Ibnu Taimiyyah) menegaskan di dalam pernyataannya bahwa orang mu’aayan itu tidak dikafirkan kecuali bila hujjah telah tegak atasnya. Dan apabila orang mu’ayyan (tertentu) dikafirkan bila hujjah telah tegak atasnya, maka termasuk sesuatu yang sudah maklum (diketahui umum) bahwa tegaknya hujjah itu bukanlah maknanya bahwa dia itu memahami25 firman Allah dan sabda Rasul-Nya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, akan tetapi bila firman Allah dan Sabda Rasul-Nya telah sampai kepada dia sedang dia itu kosong dari hal-hal yang bisa diudzur,26 maka dia itu, kafir sebagaimana orang-orang kafir itu seluruhnya telah tegak hujjah atas mereka padahal Allah mengatakan:
“Sesungguhnya Kami telah meletakan tutup di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya,” (Al Kahfi: 57)
Dan firman-Nya
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk adalah di sisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa,“ (Al Anfal: 22)
Bila pernyataan Syaikh (Ibnu Taimiyyah rahimahullah) ini ternyata bukan dalam masalah riddah dan syirik (akbar) namun dalam masalah-masalah juz’iyyah, kemudian beliau berkata: itu bisa dijelaskan dengan penegasan bahwa orang-orang munafik bila menampakan kemunafikannya maka mereka itu dihukumi sebagai orang-orang murtad, jadi mana bukti omongan kamu yang mengatakan bahwa beliau (Syaikh Ibnu Taimiyyah) tidak mengkafirkan seseorang dengan Ta’yin (tunjuk nama). Dan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata juga ketika mengomentari orang-orang ahli kalam dan yang sejalan dengan mereka takkala beliau menyebutkan sebagian kemurtadan dan kekufuran yang bersumber dari pada iman mereka, beliau rahimahullah berkata27: Hal ini bila terjadi dalam maqallat khafiyyah (pendapat-pendapat keyakinan yang samar), maka bisa dikatakan sesungguhnya orangnya itu adalah mukhthi’ dhaal (salah lagi sesat) yang belum tegak atasnya hujjah yang dimana orang yang meninggalkanya bisa dikafirkan, akan tetapi hal itu terjadi pada kelompok-kelompok dari mereka dalam hal-hal dhahirah (nampak) yang dimana orang-orang musyrikin, Yahudi, Nasrani mengetahui bahwa Muhammad diutus dengannya dan mengkafirkan orang-orang yang menyalahinya, seperti perintah beliau agar orang-orang yang beribadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan larangan beliau dari beribadah kepada selain Allah, baik itu para Nabi, Malaikat dan yang lainnya, sesungguhnya itu semua adalah syi‘ar-syi’ar Islam yang paling nampak, kemudian anda mendapatkan banyak dari tokoh-tokoh mereka yang terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan semacam ini, sehingga jadilah mereka orang-orang murtad dari Islam dengan kemurtaddan yang sangat jelas sampai beliau (Ibnu Taimiyyah) mengatakan: Dan lebih dasyat dari itu adalah bahwa sebagian mereka mengarang buku kemurtadan sebagaimana Ar Razi mengarang tentang tata cara ibadah kepada bintang-bintang28 dan ini adalah kemurtaddan dari Islam dengan kesepakatan kaum muslimin.
Inilah bentuk perkataan beliau (Ibnu Taimiyyah), perhatikan perkataannya dalam membedakan antara maqaalaat khafiyyah (masalah pendapat yang samar/pelik) dengan masalah yang sedang kita bicarakan dalam hal kekafiran orang tertentu (mu’ayyan), dan amatilah takfir beliau (pengkafiran yang beliau lakukan) terhadap para tokoh mereka, si fulan dan si fulan dengan ditunjuk namanya langsung (ta’yin), serta kemurtadan mereka itu dengan kemurtadan yang sangat jelas, teruslah amati penegasan beliau dengan penghikayatan ijma akan murtadnya Al Fakhrur Raziy dari Islam padahal dia itu adalah diantara tokoh besar di kalangan Syafi’iyyah. Apakah setelah ini pantas di katakan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah orang tertentu (mu’ayyan) itu tidak bisa dikafirkan meskipun dia itu beribadah kepada Abdul Qodir di waktu senang dan sulit, meskipun dia mencintai Abdullah Ibnu Auf dan mengklaim bahwa keyakinannya adalah yang lebih baik dengan disertai ibadah kepada Abu Hadidah.
Syaikhul Islam berkata lagi: “Bahkan semua kemusyrikan yang terjadi di alam ini hanyalah muncul dari pendapat orang-orang seperti mereka, merekalah yang memerintahkan akan syirik sekaligus melakukannya, ada orang yang tidak melakukan syirik ini namun dia tidak melarang dari melakukannya, bahkan dia itu mengakui / merestui mereka. Dan mereka itu bila membela orang-orang muwahhidin, maka yang lainnya lebih condong kepada orang-orang musyrik, dan terkadang dia itu berpaling dari kedua-duanya, perhatikanlah hal ini karena ini sangat bermanfaat. Dan begitu juga orang-orang yang dahulunya mereka itu berada di dalam agama Islam, mereka tidak melarang perbuatan syirik dan tidak mengharuskan tauhid, bahkan mereka membolehkan syirik dan memerintahkan untuk melakukannya, dan mereka itu bila mengklaim tauhid, maka tauhid mereka itu hanya sekadar ucapan tanpa pengamalan.” Selesai perkataan beliau rahimahullah.
Perhatikanlah perkataan beliau ini dan bandingkan dengan pemahaman rusak yang dengannya kamu diperdaya oleh syaitan, yang dengan (pemahaman rusak) itu kamu mendustakan Allah, Rasul-Nya dan ijma umat ini, serta dengannya kamu cenderung kepada peribadatan terhadap thaghut, bila kamu paham akan hal ini, (maka ini yang kami harapkan), dan kalau tidak, maka saya memberikan saran kepada kamu agar banyak memohon dan berdoa kepada Dzat yang memiliki hidayah, karena bahaya sangat besar sekali, dan kekal di neraka adalah adalah balasan atas kemurtadan yang terang-terangan, itu semua tidak sebanding dengan harta yang membawa keuntungan satu Tuman29 atau setengahnya, di antara kami banyak orang yang datang dengan membawa keluarganya dan mereka itu tidak meminta-minta, dan Allah telah berfirman:
y“ÏŠ$t7Ïè»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) ÓÅÌö‘r& ×pyèÅ™ºur }‘»­ƒÎ*sù Èbr߉ç7ôã$$sù ÇÎÏÈ
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,” (Al Ankabut 56)
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah Yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha mengetahui,” (Al Ankabut: 60)
Selesai perkataan Syaikh Muhammad dari risalah itu dengan teksnya bersama sedikit ikhtisar, coba rujuk dalam Tarikh (Nejed)30 karena itu sangat bermanfaat sekali. Dan yang dimaksud adalah bahwa hujjah itu telah tegak dengan diutusnya Rasulullah dan dengan diturunkannya Al Qur’an, sehingga semua orang yang telah mendengar diutusnya Rasulullah dan Al Qur’an sampai kepadanya, maka hujjah itu telah tegak atasnya,31 dan ini sangat nampak sekali dalam perkataan Syaikhul Islam saat mengatakan: ”Maka termasuk sesuatu yang sudah maklum (diketahui umum) bahwa tegaknya hujjah itu bukanlah maknanya bahwa dia itu memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, akan tetapi bila firman Allah dan Sabda Rasul-Nya telah sampai kepada dia sedang dia itu kosong dari hal-hal yang bisa diudzur, maka dia itu kafir sebagaimana orang-orang kafir itu seluruhnya telah tegak hujjah atas mereka padahal Allah mengatakan:
“Sesungguhnya Kami telah meletakan tutup di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya,” (Al Kahfi: 57)
Perhatikanlah perkataan beliau ini dan renungilah serta mintalah hidayah kepada Allah.
Inilah tiga tempat di mana di dalamnya disebutkan bahwa hujjah itu sudah tegak dengan Al Qur’an atas orang yang telah sampai kepadanya dan telah mendengarnya meskipun dia itu tidak memahaminya32. Dan ini alhamdulillaah diimani oleh setiap orang muslim yang telah mendengar Al Qur’an, namun syaitan-syaitan telah menjauhkan mayoritas manusia dari fithrah yang dimana Allah telah memfithrahkan manusia di atasnya. Kemudian amati perkataan Syaikhul Islam dalam vonis kafir yang beliau kenakan kepada mereka, apakah beliau mengatakan bahwa mereka itu tidak boleh dikafirkan dahulu sebelum diberi penjelasan ? atau apakah mereka itu tidak divonis sebagai orang-orang musyrik33 namun hanya dikatakan bahwa perbuatannya yang syirik sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang kami isyaratkan tadi ? Kemudian amatilah penghikayatan Syaikh Muhammad dari Syaikhul Islam saat mengomentari para ahli kalam dan yang sejalan dengan mereka : Hal ini bila terjadi dalam maqalaat khafiyyah (pendapat-pendapat keyakinan yang samar), maka bila dikatakan sesungguhnya orangnya itu adalah mukhthi’ dlaal (salah lagi sesat) yang belum tegak atasnya hujjah yang di mana orang yang meninggalkannya bisa dikafirkan, akan tetapi hal itu terjadi pada kelompok-kelompok dari mereka  dalam hal-hal yang dhahirah (nampak) yang di mana orang-orang musyrikin, Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Muhammad diutus dengannya dan mengkafirkan orang-orang yang menyalahinya, seperti perintah beliau agar orang-orang beribadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan larangan beliau dari beribadah kepada selain Allah, baik itu para Nabi, Malaikat dan yang lainnya, sesungguhnya itu semua adalah syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak, kemudian anda dapatkan banyak dari tokoh-tokoh mereka terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan macam ini, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang murtad dari Islam sampai akhirnya Syaikh Muhammad mengatakan: Maka perhatikanlah perkataannya dalam membedakan antara maqaalaat khafiyyah (masalah pendapat yang samar/pelik) dengan masalah yang sedang kita bicarakan dalam hal kekafiran orang tertentu (mu’ayyan), dan amatilah takfir beliau (pengkafiran yang beliau lakukan) terhadap para tokoh mereka. Dan amatilah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh: Dan sekedar ini sudah cukup untuk membantah syubhat ini. dan Syaikhul Islam semoga Allah mensucikan ruhnya telah menjadikanya bagian dari hal-hal yang dhahirah (nampak), hingga orang Yahudi dan Nasrani mengetahui hal itu dari bagian ajaran Islam, sedangkan orang yang telah kami sebutkan tadi kepada anda, dia itu buta dari hal itu, dan mungkin saja dia itu membacanya dan mengakuinya, namun dia terhalangi dari menerapkannya kepada kenyataan manusia yang ada di sekitarnya. Dan hal ini tentu ada sebabnya, yang di antaranya adalah tidak adanya kekhawatiran atas dirinya dari terjerumus ke dalam kesesatan dan keterpurukan, padahal orang-orang salaf sangat khawatir akan hal itu. Dan bisa jadi orang itu memiliki hawa (keinginan) nafsu yang mencegahnya dari mengetahui kebenaran dan memahaminya dari nash-nash yang ada, sebagaimana yang telah dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam sebagian risalah-risalah beliau yang disebutkan oleh penyusun Tarikh Nejed 34 bahwa beliau berkata: (Dan di antaranya bahwa mempelajari masalah ini adalah kebiasaan yang sempurna atas sebagian para pencari ilmu, sehingga dia mengetahuinya dan memiliki gambarannya, namun kemudian bila masalah itu terjadi dia tidak memahaminya), berhentilah di sini dan amatilah. Dan di antara hal itu adalah bahwa beliau menyebutkan bahwa sebagian Ulama Al Wasym menjelaskan tauhid dalam sebagian surat mereka kepada Syaikh Muhammad, dan bertanya apakah yang mereka jelaskan itu benar atau tidak ? maka Syaikh berkata kepadanya: Penjelasan kamu akan tauhid itu adalah benar dan kamu tepat sasaran, namun permasalahannya adalah dalam pengamalan setelah kamu mengetahuinya, karena sesungguhnya kamu di kala datang sebagian risalah-risalah musuh-musuh agama ini ke daerah kamu tentang makian akan agama ini dan pemeluknya, kamu berjalan bersama mereka, kamu tidak menjauhi dan tidak meninggalkan mereka,”atau kalimat yang seperti itu. Perhatikanlah hal itu, (karena bila kamu selamat darinya berarti kamu bisa selamat dari masalah yang lebih dasyat )35. Perhatikanlah pernyataan Syaikh rahimahullah saat beliau memposisikan Ahmad Ibnu Abdil Karim (shahibur risalah) atas hal itu, dan bahwa dia itu tergolong orang-orang munafik dan cenderung kepada peribadatan terhadap thaghut, kemudian beliau memvonis dia murtad. Dan di antara hal yang paling besar yang Syaikh hikayatkan tentang Ahmad Ibnu Abdil Karim adalah bahwa dia itu (Ahmad Ibnu Abdil Karim) tawaqquf (enggan sementara waktu) mengkafirkan mu’ayyan (orang tertentu) dan bahwa yang menghalangi dia dari hijrah dengan keluarganya adalah harta niaga yang ada di tangannya dan kekhawatiran akan kefakiran.
Kemudian perhatikanlah keadaan orang-orang yang telah kami sebutkan beserta orang-orang yang sejalan dengan mereka, mereka rihlah untuk menemui orang-orang musyrik, membaca kitab di hadapan mereka, dan mencari ilmu – dengan klaim mereka ini – dari mereka (ulama kaum musyrikin). Mereka mengakui hal ini, dan memang ini adalah apa yang diketahui dari mereka, paling tidak mereka itu tertuduh melakukan muwalah (loyal) dan kecenderungan terhadap mereka. Dan di antara bencana yang besar adalah bahwa macam orang ini bila mereka datang kepada kaum muslimin, mereka (kaum muslimin) memperlakukan mereka seperti perlakuan yang mereka berikan terhadap mereka sebelum pergi ke negeri kaum musyrikin, berupa penghormatan dan ucapan salam, padahal terkadang muncul dari lisan mereka itu cerita dan pujian terhadap negeri kaum musyrikin36 dan melecehkan kaum muslimin dan negeri mereka, ini memberikan indikasi bahwa dia itu tidak menampakan hal itu kecuali karena bersumber dari buruknya keyakinan, sedang mereka itu selalu terus di atas hal yang seperti itu, dan sedikit sekali orang yang mengingkari apa yang bersumber dari mereka itu. Adapun keberadaan seseorang yang mengkhawatirkan kemurtadan dan kesesatan atas mereka dengan sebab perlakuan mereka itu, maka saya kira tidak ada seorangpun yang terbersit akan hal itu, seolah-olah hukum-hukum syari’at yang seharusnya ditegakkan terhadap orang yang timbul darinya hal-hal yang berlawanan dengannya37 sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad dan Syaikhul Islam sebelumnya adalah hanya untuk orang yang sudah lalu lagi tiada, sebagaimana yang disebutkan oleh tokoh panutan dari orang-orang yang masyhur yang sudah tadi dituturkan. Lihatlah keadaan kamu dan berpikirlah tentang aqidah kamu, karena bila kamu selamat darinya, maka kamu bisa selamat dari hal yang lebih besar. Dan kalau tidak maka tidak heran walaa haula walaa quwwata illaa billaah.
Dan di antara dalil atas masalah kita ini adalah apa yang ditulis oleh Syaikh Muhammad rahimahullah kepada Isa Ibnu Qosim dan Ahmad Ibnu Suwailim, tatkala keduanya bertanya kepada beliau tentang ungkapan Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah – semoga Allah mensucikan ruhnya -: Orang yang mengingkari apa yang dibawa oleh Rasulullah dan hujjah telah tegak atasnya, maka dia itu kafir,” maka Syaikh Muhammad menjawab38 dengan perkataannya kepada Isa Ibnu Qasim dan Ahmad Ibnu Suwailim,” Semoga salam, rahmat dan berkat Allah dilimpahkan kepada kalian, wa ba’du:
Apa yang kalian sebutkan berupa perkataan Syaikh (Ibnu Taimiyyah) bahwa setiap orang yang mengingkari ini dan itu dan bahwa kalian menanyakan tentang status para thaghut itu dan paral pengikutnya, apakah hujjah telah tegak atas mereka atau belum ? ini (pertanyaan) adalah sesuatu yang sangat mengherankan sekali, bagaimana kalian bisa ragu akan hal ini, telah saya jelaskan kepada kalian dengan berulang-ulang bahwa orang yang belum tegak hujjah atas mereka adalah orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup dipelosok pedalaman, atau ini dalam masalah-masalah yang khafiyyah (samar dalilnya) seperti Sharf dan ‘Athf, maka yang tiga macam orang ini jangan terlebih dahulu dikafirkan sehingga diberi penjelasan.39 Adapun ushuluddin yang telah Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya, maka sesungguhnya hujjah Allah adalah Al Qur’an, siapa yang telah sampai Al Qur’an kepadanya, maka berarti hujjah Allah telah sampai kepadanya, namun sumber isykal kalian adalah bahwa kalian tidak membedakan antara qiyamul hujjah (tegaknya hujjah) dengan fahmul hujjah (paham akan hujjah), karena sesungguhnya mayoritas orang-orang munafiq dan orang-orang kafir mereka itu tidak memahami hujjah Allah padahal hujjah itu sudah tegak atas mereka, sebagaimana firman Allah:
÷Pr& Ü=|¡øtrB ¨br& öNèduŽsYò2r& šcqãèyJó¡o„ ÷rr& šcqè=É)÷ètƒ 4 ÷bÎ) öNèd žwÎ) ÄN»yè÷RF{$%x. ( ö@t/ öNèd ‘@|Êr& ¸x‹Î6y™ ÇÍÍÈ
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang bernak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al Furqan: 44)
Qiyamul hujjah (tegaknya hujjah) dan sampainya (bulughul hujjah) adalah suatu hal, sedangkan pahamnya mereka akan hujjah (fahmul hujjah) adalah hal lain.40
Perhatikanlah perkataan Syaikh rahimahullah dan kami memohon kepada Allah agar Dia memberi kamu pemahaman yang benar dan menyelamatkanmu dari ta’ashshub).
Dan amatilah perkataan Syaikh rahimahullah bahwa orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya maka berarti hujjah sudah tegak atasnya meskipun dia tidak paham akan hal itu,41 dan beliau jadikan hal ini (maksudnya tidak bisa orang membedakan antara qiyam dan bulughul hujjah dengan fahmul hujjah) sebagai penyebab kelirunya orang yang telah keliru, serta beliau menjadikan ta’rif (pemberian penjelasan sebelum divonis kafir) adalah dalam masaa’il khafiyyah (masalah-masalah yang samar). Sedangkan orang yang tadi kami sebutkan tentangnya, dia menjadikan ta’rif ini dalam ushuluddin. Apakah setelah Al Qur’an dan Rasulullah ada ta’rif (yang lebih utama) ? Kemudian orang itu (beraninya) mengatakan: Inilah yang kami yakini juga diyakini oleh para masyayikh kami,” Kita berlindung kepada Allah dari keterpurukan setelah ada kemajuan. Masalah ini sebenarnya banyak sekali dalam tulisan Syaikh Rahimahullah, karena ulama pada zaman beliau dari kalangan kaum musyrikin42 selalu mempersoalkan beliau dalam hal takfir mu’ayyan, ini di antaranya yang beliau tulis saat mensyarah hadits Amr Ibnu ‘Absah dari awal sampai akhir semuanya tentang takfir mu’ayyan43 sampai-sampai beliau menukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah bahwa orangnya yang menyeru Ali maka dia itu kafir, dan siapa yang tidak mengkafirkannya maka dia itu kafir. Pikirkanlah petunjuk-petunjuk syar’iyyah yang ada di dalamnya yang bila ditadabburi oleh orang yang berakal lagi obyektif apalagi oleh orang mukmin tentu dia mengetahui dengan pasti bahwa masalah ini adalah masalah wifaqiyyah (ijma’iyyah/ yang sudah disepakati)44, tidak dianggap sulit kecuali oleh orang yang aqidahnya masih diragukan (terkena syubhat), Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah (Ibnu Muhammad Ibni Abdil Wahhab) rahimahullah berkata dalam syarah kitab Tauhid45 di banyak tempat (Bahwa orang yang telah mengucapkan kalimah tauhid, shalat, dan zakat, namun dia menyalahi itu dengan perbuatan dan perkataannya, seperti dengan menyeru orang-orang shalih, istighatsah kepada mereka. dan menyembelih untuk mereka, maka sesungguhnya dia itu sama seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam hal pengucapan mereka akan kalimah tauhid dan menyalahinya). Dengan dasar ini maka orang yang mengatakan harus adanya penjelasan (ta’rif) di kala mau mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, maka wajib atas orang itu mengatakan seharusnya ta’rlf di kala mau mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani, tidak beleh mengkafirkan mereka (yahudi dan Nasrani) kecuali setelah adanya ta’rif. Ini sangat jelas sekali dengan qiyas.
Adapun perkataan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman (Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdul Wahhab) rahimahullah dalam masalah ini (masalah takfir mu’ayyan) adalah sangat banyak sekali, kita sebutkan sebagiannya saja karena masalahnya adalah sudah disepakati (wifaqiyyah/ijma’iyyah) sedangkan tempat ini adalah tempat yang ringkas (bukan untuk menjabarkan semuanya). Mari kita sebutkan sebagian perkataan beliau yang bisa mengingatkan anda akan syubhat yang dijadikan dalih oleh  orang yang telah kami sebutkan di awal tentang orang yang menyembah kubbah Al Kawwaz (dan bahwa Syaikh Muhammad tawaqquf dari mengakfirkannya. Kita sebutkan terlebih dahulu konteks jawaban itu dan untuk dalam rangka apa Jawaban beliau itu dikeluarkan, yaitu bahwa Syaikh Muhammad dan orang yang meriwayatkan kisah ini darinya menyebutkan jawaban ini dalam rangka pemberian alasan bagi beliau (pengkliran masalah) dari apa yang dituduhkan oleh musuh-musuh beliau terhadapnya, di mana mereka menuduh beliau mengkafirkan seluruh kaum muslimin, sedangkan hal itu sendiri adalah sekedar klaim yang tidak layak dijadikan sebagai hujjah, bahkan sangat membutuhkan akan dalil dan bukti dari AI Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan orang yang bashirahnya telah dibuka oleh Allah dan diselamatkan dari penyakit ta’ashub serta dia tergolong orang yang mau membaca risalah-risalah Syaikh dan karangan-karangannya maka dia pasti mengetahui dengan pasti bahwa Syaikh telah menjelaskan masalah ini dengan penjelasan yang gamblang dan beliau memastikan akan kafirnya mu’ayyan (orang tertentu) dalam semua karya-karya tulis beliau serta tidak pernah beliau bertawaqquf sedikitpun darinya. Mari kita kembali ke konteks jawaban beliau yang telah kami isyaratkan kepadanya.
Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata mengomentari Perkataan (Dawud Ibnu Jirjis) Al ‘’Iraqiy46: (kalian telah mengkafirkan AI Haramain dan penduduknya….) beliau menjawabnya hingga akhirnya beliau mengatakan AI ‘Iraqi berkata: (…Dan termasuk hal yang sudah maklum bahwa yang menghalangi untuk mengkafirkan kaum muslimin yang berbicara dalam masalah ini meskipun mereka itu keliru adalah adanya hal yang merupakan bagian dari tujuan syar’iyyah, yaitu bahwa bila seseorang berijtihad maka baginya dua pahala bila benar, dan bila dia salah maka dia dapat satu pahala….) selesai perkataan AI ‘Iraqiy.
Jawabannya47 adalah dikatakan: bahwa  perkataan ini merupakan bagian dari tahrif dia (perubahan terhadap perkataan orang lain). Dan di dalamnya ada dua tahrif yang kami dapatkan, pertama: Sesungguhnya dia membuang pertanyaan, padahal jawaban ini berkenaan dengan takfir dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan Khawarij dan Rafidhah, sesungguhnya mereka (Khawarij dan Rafidhah) itu mengkafirkan kaum muslim dan Ahlus Sunnah karena berbeda dengan bid’ah-bid’ah yang mereka ada-adakan, mereka tetapkan dan mereka yakini. Al ‘Iraqi itu tidak membuang hal ini kecuali karena ada kekhawatiran bila dikatakan bahwa menyeru ahli kubur, meminta serta beristighatsah kepada mereka bukanlah termasuk dalam pembahasan (yang ada di dalam jawaban) itu, sedangkan kaum muslimin tidak berbeda pendapat di dalamnya bahkan semua berijma’ bahwa (menyeru ahli kubur / memohon / istighatsah kepada mereka) itu adalah termasuk syirik yang membuat kafir sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan beliau menjadikannya dalam bagian yang tidak ada perbedaan dalam takfir (pelakunya) dengan sebab hal itu, sehingga tidak boleh membawa perkataan di atas itu terhadap apa yang beliau pastikan bahwa itu kekafiran yang diijmakan. Dan seandainya penukilan Al ‘Iraqi ini benar pada tempatnya tentu perkataan beliau (Syaikh) ini satu sama lain saling bertentangan, sedangkan Allah telah melindungi dan menjaganya dari hal ini, bahkan ucapan beliau ini sejalan saling mendukung satu sama lain. Bila engkau telah mengetahui ini tentu engkau mengetahui tahrif yang dilakukan Al “Iraqi dalam membuang dan menggugurkan sebagai perkataan. Dan juga sesungguhnya membuang awal perkataan membuat ungkapan itu keluar dari makna yang sebenarnya dan dari arti yang diinginkan.
Tahrif    yang kedua Sesungguhnya Syaikh rahimahullah berkata Ashluttakfir Lilmuslimin (pokok pengkafiran kaum muslimin).” Sedangkan ungkapan-ungkapan Syaikh yang sangat banyak mengeluarkan para pengagung kuburan (‘ubbadul qubuur) dari nama kaum muslimin sebagaimana yang akan kami nukil sebagian ucapan beliau  ketika menghukumi mereka bahwa mereka itu tidak masuk dalam jajaran kaum muslimin dalam hal pembahaskan ini, kemudian beliau menyebutkan ungkapan yang berkenaan dengan sebagian kaum muslimin yang terjerumus dalam kekeliruan pada sebagian masalah furu’, sampai akhirnya beliau mengatakan: Siapa orangnya yang meyakini ketuhanan seseorang atau dia menyeru mayit dan meminta darinya rizki, pertolongan, dan hidayah, dia bertawakkal kepadanya dan sujud terhadapnya, maka sesungguhnya dia itu diperintahkan untuk taubat, bila dia taubat (maka dilepas) dan bila tidak maka dipenggal lehernya… (selesai ucapan beliau) maka bathillah (gugurlah) pengambilan dalil yang dilakukan oleh A1 ‘Iraqi itu dan robohlah dari pangkalnya, bagaimana mungkin larangan mengkafirkan (takfir) kaum muslimin itu mencakup orang yang menyeru orang-orang shalih, beristighatsah kepadanya dan memalingkan ibadah-ibadah yang tidak layak kecuali bagi Allah kepada mereka itu, ini (anggapan) sungguh sangat bathil dengan Nushushul Kitab Was Sunnah dan Ijma ulama umat ini. Dan di antara keanehan kejahilan Al ‘Iraqi ini, dia berhujjah atas lawannya dengan klaim itu juga, sedangkan klaim itu tidak layak dijadikan dalil, karena klaim Al ‘Iraqi akan Islamnya para pengagung kuburan itu sangat memerlukan dalil yang pasti akan keislaman mereka, dan bila keislaman mereka itu terbukti dengan dalil maka terlaranglah mengkafirkan mereka itu. Memperluas masalah ini adalah tidak susah, dan termasuk hal yang ma’lum adalah bahwa orang-orang yang mengkafirkan kaum muslimin dengan hawa nafsunya seperti Khawarij dan Rafidhah48 atau mengkafirkan orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyyah baik dalam ushul atau furu’ maka orang ini dan yang serupa dengannya adalah mubtadi’ dhaal (ahli bidah yang sesat) yang menyalahi ijma para imam petunjuk dan para masyayikh agama ini, sedangkan orang seperti Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab  tidak pernah mengkafirkan seorangpun dari orang jenis dan macam ini, dan beliau hanya mengkafirkan          orang yang telah dikafirkan oleh Al Kitab Al Aziz, dikafirkan oleh As Sunnah Ash Shahihah, dan umat ijma49 akan pengkafirannya, seperti orang yang mengganti agamanya (murtad), dan melakukan amalan orang-orang jahiliyyah yang menyembah para Nabi, para Malaikat dan orang-orang shalih, dan mereka memohon/menyeru kepada mereka itu. Sesungguhnya Allah telah mengkafirkan mereka, menghalalkan darahnya, hartanya dan anak-anaknya (untuk dijadikan budak) dengan sebab mereka beribadah kepada selainNya, baik itu Nabi, wali, atau patung, dan tidak ada perbedaan di dalam vonis kekafiran di antara mereka sebagaimana itu ditunjukan oleh Al Kitab Al Aziz dan As Sunnah yang masyhur. Penjelasan lebar hal ini akan datang nanti, sedangkan sebagiannya sudah lewat. Beliau berkata saat ditanya tentang status orang-orang jahil itu, maka beliau menetapkan bahwa orang yang telah tegak hujjah atasnya dan memiliki ahliyyah50 untuk mengetahuinya maka dia itu dikafirkan dengan sebab dia beribadah ke kuburan, dan adapun orang yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya maka saya tidak tahu bagaimana keadaannya. Dan sebagian perkataan beliau ini sudah lewat dan di anggap sudah cukup jelas, sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah dengan tegas memastikan kafirnya orang-orang yang taqlid kepada syaikh-syaikhnya dalam masalah-masalah yang mukaffirah (yang membatalkan keislaman) bila mereka itu memiliki kemungkinan untuk mencari dan mengetahui kebenaran dan mereka memiliki ahliyyah akan hal itu namun mereka malah berpaling darinya dan tidak menghiraukannya. Adapun orang yang tidak ada kemungkinan baginya untuk mencari kebenaran dan tidak memiliki ahliyyah untuk mengetahui apa yang dibawa oleh para Rasul, maka dia menurut Ibnul Qayyim statusnya sama dengan Ahlul fatrah dari kalangan yang tidak sampai kepada mereka dakwah seorang Rasul-pun, dan kedua macam orang ini sama-sama tidak dihukumi sebagai orang-orang Islam dan tidak masuk dalam jajaran kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagian mereka,51 dan nanti perkataan beliau (Ibnul Qayyim) itu akan datang, dan adapun syirik itu sudah mengenai mereka dan namanya meliputi mereka52,53 Islam apa yang tersisa padanya bila landasannya yang paling besar yaitu kesaksian laa ilaaha illallaah – dihancurkan, dan apakah nama Islam itu masih melekat dikala dia beribadah dan menyeru orang-orang shalih, sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha dalam bab hukum orang murtad, namun Al ‘Iraqiy lari dari menamai hal itu sebagai ibadah dan doa, dan dia justru mengklaim bahwa hal itu adalah tawassul dan nidaa (memanggil) serta dia memandangnya sebagai hal yang dianjurkan. Mana mungkin, sungguh jauh sekali penyimpangannya, kemana tempat berlari sedangkan Allah pasti mencari. Kebenaran itu pasti nampak dengan sebab Allah telah mengaruniakan Kitabnya yang Mulia yang tidak datang kepadanya kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji dan dengan apa apa yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad hamba dan Rasul-Nya berupa hikmah, petunjuk, penjelasan akan batasan-batasan apa yang Allah turunkan kepadanya. Dan Allah senantiasa terus mengokohkan bagi agama ini tanaman yang dengannya hujjah tegak atas hambanya, mereka untuk menjelaskan agama dan syari’at-Nya itu berjihad melawan orang-orang yang melakukan penyelewengan terhadap Kitab dan agama-Nya dan memalingkannya dari masalah yang sebenarnya, sampai akhir apa yang beliau sebutkan.
Perhatikanlah ucapan beliau rahimahullah: menyeru ahli kubur, meminta serta beristighatsah kepada mereka bukanlah termasuk dalam pembahasan (yang ada di dalam jawaban) itu, dan kaum muslimin tidak ada perselisihan di dalamnya bahkan semua berijma’ bahwa (menyeru ahli kubur/memohon/istighatsah kepada mereka) itu adalah termasuk syirik yang membuat kafir sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan beliau menjadikannya dalam bagian yang tidak ada perbedaan dalam takfir (pelakunya) dengan sebab hal itu, sehingga tidak boleh membawa perkataan di atas itu terhadap apa yang beliau pastikan bahwa itu kekafiran yang diijmakan.
Saya berkata: Dan ini dibuktikan dengan perkataan beliau yang lalu bahwa orang yang menyeru Ali maka dia kafir.
Kemudian beliau berkata : Tahrif yang kedua Sesungguhnya Syaikh rahimahullah berkata : “Ashluttakfir Lilmuslimin,” sedangkan ungkapan-ungkapan Syaikh yang sangat banyak mengeluarkan para pengagung kuburan (‘ubbadul qubuur) dari nama kaum muslimin. Perhatikan perkataannya yang pertama dan yang kedua bahwa ini adalah hal yang sudah diijmakan hukumnya dan bahwa para pengagung kuburan itu bukan kaum muslimin dan tidak masuk dalam jajaran nama Islam, serta sesungguhnya ini adalah justru perkataan Asy Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sampai beliau mengatakan: Dia disuruh taubat, bila taubat (dilepas) dan bila tidak maka harus dipenggal lehernya, dan beliau tidak mengatakan “harus diberi penjelasan”  dan tidak pula mengatakan”’tidak boleh dikafirkan sebelum diberi penjelasan (tarif),54 sebagaimana yang diduga oleh orang yang tidak memiliki ilmu dan orang yang akidah agamanya terkena syubhat. Kemudian perhatikan perkataan beliau saat membantah Al ‘Iraqiy dengan ucapan beliau: maka bathillah (gugurlah) pengambilan dalil yang dilakukan oleh Al ‘Iraqi itu dan robohlah dari pangkalnya, bagaimana mungkin larangan mengkafirkan (takfir) kaum muslimin itu mencakup orang yang menyeru orang-orang shalih, beristighatsah kepadanya, kemudian berkata ini (anggapan) sungguh sangat bathil dengan Nushushul Kitab Was Sunnah dan Ijma ulama umat ini, sampai beliau mengatakan: dan beliau hanya mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Kitab Al Aziz, dikafirkan oleh As Sunnah Ash Shahihah, dan umat ijma akan pengkafirannya, seperti orang yang mengganti agamanya (murtad), dan melakukan amalan orang-orang jahiliyyah yang menyembah para Nabi, para Malaikat dan orang-orang shalih, dan mereka memohon/menyeru kepada mereka itu. Sesungguhnya Allah telah mengkafirkan mereka, menghalalkan darahnya, hartanya dan anak-anaknya (untuk dijadikan budak) dengan sebab mereka beribadah kepada selain-Nya, baik itu Nabi, wali, atau patung, dan tidak ada perbedaan di dalam vonis kekafiran di antara mereka sebagaimana itu ditunjukan oleh Kitab Al Aziz dan As Sunnah yang masyhur…(selesai perkataan Syaikh).
Saya berkata Dan ini merupakan di antara hal terbesar yang bisa menjelaskan jawaban tentang perkataan Syaikh dalam status orang jahil yang beribadah kepada kubbah Al Kawwaz55 karena beliau (dalam penjelasan – penjelasan yang tadi dan yang lainnya) tidak mengecualikan orang yang jahil atau yang lainnya dalam hal itu, dan inilah thariqah (cara/metode) Al Qur’an dalam takfir (mengkafirkan) orang yang melakukan syirik secara muthlaq, sedangkan tawaqquf  beliau rahimahullah dalam sebagian jawabannya bisa ditafsirkan karena ada sesuatu hal (yang memaksa beliau untuk itu). Dan juga sesungguhnya beliau sebagaimana yang anda lihat pernah tawaqquf suatu kali, sebagaimana dalam perkataannya:
Adapun orang yang cenderung kepada dunia ini maka saya tidak tahu keadaannya. “Oh sungguh mengherankan bagaimana dia itu meninggalkan perkataan Syaikh Muhammad dalam semua tempat (dalam kitab-kitab dan rasailnya) beserta dalil Al Kitab dan As Sunnah dan perkataan-perkataan Syaikhul Islam juga Ibnul Qayyim, sebagaimana dalam perkataannya: “Siapa yang sudah sampai Al Qur’an kepadanya maka berarti hujjah sudah tegak atasnya, “namun justru dia malah menerima perkataannya dalam satu tempat saja, dan itu juga masih bersifat mujmal (global). Dan hendaklah tetap ingat apa yang dinukil oleh Syaikh Abdullathif dari Ibnul Qayyim, yaitu bahwa paling minimal keadaan mereka itu adalah sama dengan keadaan Ahlul Fatrah yang binasa sebelum ada kenabian dan orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah satu Nabi-pun….sampai beliau mengatakan: Dan kedua macam orang ini tidak dihukumi sebagai orang Islam56 dan mereka itu tidak masuk dalam jajaran nama kaum muslimin, termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagian mereka. Dan adapun syirik itu sudah mengenai mereka dan namanya meliputi mereka, Islam apa yang tersisa padanya bila pondasi dan landasannya yang paling besar yaitu kesaksian laailaaha illallaah – dihancurkan.
Sekarang kami ketengahkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang beliau sebutkan dalam Thabaqatul Mukallafin yang telah dinukil oleh Syaikh Abdullathif 57 dalam bantahannya atas Al ‘Iraqiy, seperti penjelasan yang telah kami jelaskan kepada anda. Dan dengan dituturkan perkataannya ini tentu sisa-sisa syubhat yang masih menempel pada dirimu bisa hilang, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Thabaqatul Mukallafin tatkala menyebutkan tokoh-tokoh orang-orang kafir58 yang menghalang-halangi orang dari jalan Allah dan bahwa adzab mereka itu berlipat ganda kemudian beliau berkata: Tahabaqah yang ketujuh belas: Thabaqatul Muqallidin (orang-orang yang taqlid), orang-orang kuffar yang jahil, pengikut mereka dan keledai mereka yang dimana mereka itu ikut bersama mereka, yang mengatakan: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan kami hanya mencontoh kepada mereka, dan namun demikian mereka itu bersikap damai kepada orang-orang Islam, tidak memeranginya, seperti wanita-wanita kafir harbi, pelayan mereka dan para pengikutnya yang tidak mengobarkan permusuhan sebagaimana yang dikobarkan oleh para laki-aki mereka, berupa usaha untuk memadamkan cahaya Allah, menghancurkan agama-Nya dan memadamkan kalimat-kalimat-Nya, bahkan mereka itu justru berstatus seperti hewan, maka mereka (kelompok thabaqah) ini sudah disepakati bahwa mereka itu adalah kuffar (orang-orang kafir) meskipun mereka itu jahil lagi taklid kepada tokoh-tokoh dan para imam mereka, kecuali apa yang dihikayatkan dari sebagian ahlu bid’ah59 bahwa mereka itu tidak dihukumi sebagai (calon penghuni) neraka dan justru dijadikan seperti status orang yang belum sampai dakwah kepada mereka, dan ini adalah pendapat yang tidak pernah diucapkan oleh seorangpun dari para imam kaum muslimin, tidak pula oleh para sahabat, para tabi’in, dan tidak pula diucapkan oleh orang-orang sesudah mereka, bahkan justru pendapat ini hanya dikenal dari sebagian ahli kalam yang bid’ah di dalam Islam ini. Telah diriwayatkan di dalam hadits shahih dari Nabi: Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dia dilahirkan diatas fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi,60 beliau memberitahukan bahwa kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu dari fithrah kepada agama Yahudi, Nasrani atau Majusi, beliau tidak menganggap dalam, hal ini kecuali murabbinya dan tempat dia dibimbing yang sesuai dengan keyakinan kedua orang tuanya. Dan di dalam hadits shahih dari beliau: “Sesungguhnya surga itu tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslimah. “61Sedang orang yang taqlid ini bukanlah orang muslim, dan dia itu sudah berakal lagi mukallaf, sedangkan orang yang berakal itu tidak keluar dari dua keadaan, Islam atau kafir. Dan adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka dia itu bukanlah mukallaf dalam keadaan ini, dan dia itu berstatus sama dengan anak-anak kecil dan orang-orang gila dan pembahasan tentang mereka itu sudah lewat….saya berkata (Syaikh Ishak) Dan macam orang ini – yaitu orang yang belum sampai dakwah kepada mereka – adalah orang-orang yang dikecualikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam apa yang telah dinukil oleh Al ‘Iraqiy, dan dikecualikan pula oleh guru kami Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah. Kemudian Ibnu Qoyyim berkata: (Syaikhul Islam menyusun risalah tentang penjelasan tidak menjadi lazim (keharusan) kecuali setelah  tegak hujiah)62
Islam adalah mentauhidkan Allah, ibadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Rasul-Nya dan mengikuti apa yang beliau bawa. Dan bila seorang hamba tidak mendatangkan ini semua maka dia itu bukanlah orang Islam, dan bila dia itu bukan orang kafir mu’anid (yang membangkang) maka dia itu adalah kafir jahil. Maka paling tidak thabaqah ini statusnya adalah orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid (membangkang), sedangkan ketidak membangkangannya itu tidak mengeluarkan mereka dari statusnya sebagai orang-orang kafir, karena orang kafir itu adalah orang yang mengingkari tauhid Allah dan mendustakan Rasul-Nya baik dengan kejahilan ataupun taqlid (ikut-ikutan) kepada orang-orang kafir yang mu’anid. Dia itu meskipun tidak mu’anid tapi paling tidak dia itu mengikuti orang yang mu’anid, sedangkan Allah telah mengabarkan di dalam banyak tempat di dalam Al Qur’an bahwa Dia mengadzab orang-orang yang taqlid kepada para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang kafir, dan Dia juga (mengabarkan) bahwa para pengikut itu digabungkan bersama orang-orang yang diikutinya, serta (Dia juga mengabarkan) bahwa mereka itu saling menghujat  di dalam api neraka … kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat dan beberapa hadits dalam masalah ini terus beliau berkata Dan ini menunjukan bahwa kekufuran orang yang mengikuti mereka itu hanyalah karena sebab ittiba’ dan taqlid kepada mereka itu. Ya.. dalam masalah ini harus ada rincian yang dengan (rincian) ini semua isykal pasti hilang, yaitu adanya perbedaan63 antara
  • Muqallid yang memiliki (tamakkun) kemungkinan untuk tahu dan mengetahui kebenaran terus dia berpaling darinya.
  • Dengan muqallid yang sama sekali tidak memiliki kemungkinan untuk itu.
Kedua macam muqallid ini ada pada kenyataan kehidupan:
  • § Orang yang memiliki kemungkinan untuk mencari namun dia berpaling,maka dia itu mufarrith (melakukan kelalaian) lagi meninggalkan kewajibannya, sehingga tidak ada udzur baginya di dihadapan Allah.64
  • Adapun orang yang tidak mampu untuk bertanya dan untuk mengetahui yang dimana, sama sekali dia itu tidak memiliki kemungkinan untuk mengetahui dengan cara apapun, maka ini ada dua golongan:
    • Pertama: orang yang menginginkan petunjuk, sangat mementingkan dan mencintainya sekali, namun dia tidak mampu atas itu dan tidak kuasa untuk mencarinya karena tidak ada orang yang memberikan arahan kepadanya. Maka hukum orang ini adalah sama dengan ahlul fitrah dan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya.
    • Kedua: orang yang berpaling, tidak memiliki keinginan, tidak pernah membisikan dirinya kecuali dengan apa yang dia yakini sekarang saja.
Orang yang merupakan kelompok pertama mengatakan: Ya Tuhanku seandainya saya mengetahui bahwa Engkau memiliki agama yang lebih baik dari apa yang saya pegang sekarang, tentu saya telah menganutnya dan telah saya tinggalkan apa yang saya pegang sekarang ini, namun saya tidak mengetahui kecuali apa yang saya pegang sekarang dan saya tidak mampu mencari yang lainnya, inilah ujung usaha saya dan puncak pengetahuan saya.
Adapun orang yang kedua, dia itu betah/rela dengan apa yang dia pegang, tidak pernah menginginkan/mementingkan yang lain atasnya, dan jiwanya tidak pernah mencari ajaran yang lain, tidak ada perbedaan bagi dia baik saat dia itu tidak mampu atau saat dia mampu untuk mencari.
Kedua orang ini sama-sama tidak mampu tidak ada perbedaan bagi dia baik saat dia itu tidak mampu atau saat dia mampu untuk mencari.
Kedua orang ini sama-sama tidak mampu, dan kelompok kedua ini tidak wajib diikutkan/disamakan statusnya dengan kelompok pertama, karena adanya perbedaan di antara keduanya. Kelompok pertama statusnya sama seperti orang yang mencari agama pada masa fatrah, terus dia tidak mendapatkannya, sehingga dia berpaling darinya dengan keadaan tidak mampu dan jahil setelah mengerahkan segenap kekuatannya dalam mencarinya. Sedangkan kelopok kedua dia itu seperti orang yang tidak mencari, bahkan dia mati atas syiriknya, dan seandainya dia mencarinya tentu dia (tetap) tidak mampu. Harus dibedakan antara ketidakmampuan orang yang sudah berusaha untuk mencari dengan ketidakmampuan orang yang berpaling (tidak mau mencari).
Allah memutuskan di antara hamba-hamba-Nya dengan keadilan dan hikmah-Nya, dan Dia tidak akan mengadzab kecuali orang yang telah tegak hujjah atasnya dengan para Rasul, ini adalah sesuatu yang sudah maqthu’ (dipastikan) secara umum, adapun status si Zaid atau si Amr sudah tegak hujjah atasnya atau belum, maka ini adalah sesuatu yang tidak mungkin kita ikut campur antara Allah dan hamba-hamba-Nya di dalamnya, akan tetapi yang menjadi wajib atas semua hamba adalah meyakini bahwa semua orang yang memeluk selain agama Islam65 maka dia itu kafir, dan bahwa Allah itu tidak akan mengadzab seorangpun kecuali setelah tegak hujjah atasnya dengan (diutusnya) Rasul, ini adalah secara umum, adapun si Fulan tertentu66 maka itu terserah ilmu dan hukum Allah, ini adalah berhubungan dengan hukum-hukum pahala dan siksa, adapun hukum-hukum dunia maka ini berjalan di atas dhahirnya saja, sehingga anak-anak orang-orang kafir dan orang gilanya adalah kafir juga dalam status hukum-hukum dunianya, mereka memiliki hukum yang sama dengan para pengasuhnya. Maka dengan rincian ini hilanglah isykal dalam masalah ini. Dan ini dibangun di atas empat dasar pokok:
  • Pertama: Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab seorang-pun kecuali setelah tegak hujjah atasnya sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami tidak   akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul,” (Al Isra: 15) dan firman-Nya,
”(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul itu” (An Nisa 165) dan beliau menyebutkan ayat yang banyak, terus berkata, dan Allah  berfirman:
“Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan betapi merekalah yang salalu menganiaya diri mereka sendiri,” (An Nahl 33) sedangkan orang yang dhalim (aniaya) adalah orang yang,telah mengetahui apa yang dibawa Rasul atau yang memiliki kemungkinan untuk mengetahuinya, kemudian dia menyalahinya dan berpaling darinya. Adapun orang yang tidak memiliki sedikitpun ilmu dari apa yang dibawa Rasul dan tidak memiliki kemungkinan sedikitpun untuk mengetahui dan dia tidak mampu akan hal itu, maka bagaimana mungkin dia dikatakan dhalim.
  • Kedua: Sesungguhnya adzab didapatkan karena dua hal:
    • Pertama: Berpaling (I’raadl) dari hujjah dan tidak menginginkan hujjah tersebut bersama keharusannya.
    • Kedua: Membangkang (‘inaad) terhadap hujjah setelah hujjah itu tegak serta meninggalkan keharusan hujjah itu.
Jadi yang pertama adalah kufur I’raadl (kufur berpaling) dan yang kedua adalah kufur ‘inaad. Dan adapun kufur jahl (kafir kebodohan) bila disertai belum tegaknya hujjah dan ketidakmungkinan untuk mengetahui hujjah itu, maka inilah yang Allah nafikan adzab atasnya sampai hujjah tegak dengan diutusnya para Rasul.
  • Ketiga: Sesungguhnya tegaknya hujjah itu berbeda-beda tergantung waktu, tempat, dan orangnya, bisa jadi hujjah Allah tegak atas orang-orang kafir di satu zaman tidak pada zaman yang lainnya, di satu tempat tidak pada tempat yang lainnya, dan di satu kawasan tidak pada kawasan lainnya, sebagaimana hujjah itu tegak atas seseorang tidak atas yang lainnya, baik karena tidak ada akal dan tamyiz seperti anak kecil dan orang gila, atau karena tidak ada kemampuan untuk paham dengan sebab keberadaan dia itu tidak paham dan tidak adanya penerjemah yang menerjemahkan baginya, maka orang ini statusnya seperti orang yang tuli tidak bisa mendengar67 sedikitpun dan tidak ada kemungkinan untuk paham, dan dia itu adalah salah satu dari empat orang yang mengadukan alasan kepada Allah di hari kiamat, sebagaimana yang telah lalu penjelasannya dalam hadits Al Aswad dan Abu Hurairah serta yang lainnya….hingga selesai perkataan beliau (Ibnul Qayyim) … kemudian Syaikh rahimahullah berkata: Berhentilah di sini dari perhatikanlah rincian yang sangat hebat ini, karena sesungguhnya beliau rahimahullah tidak mengecualikan kecuali orang yang tidak mampu menemukan kebenaran padahal dia sudah berusaha maksimal untuk mencari dan sangat berkeinginan terhadapnya, maka macam orang ini adalah orang yang dimaksud dalam, perkataan Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim dan ulama ahli tahqiq lainnya. Adapun Al “Iraqiy dan teman-temannya yang  sesat, mereka malah mengaburkan masalah (dengan menyatakan) bahwa Syaikh (Muhammad) tidak mengkafirkan orang jahil dan bahwa beliau mengatakan: Dia (orang jahil) itu ma’dzur (diudzur),” sedang mereka (Al ‘Iraqi dan teman-temannya yang sesat) itu mengglobalkan pembahasan dan tidak mau merincinya, serta mereka menjadikan syubhat ini sebagai perisai yang dengannya mereka menghadang68 ayat-ayat qur’aniyyah dan hadits-hadits nabawiyyah seraya meneriaki hamba-hamba Allah Al Muwahhidin      (yang bertauhid) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka dari kalangan  ‘ubbadul          qubur dan kaum musyrikin, kepada Allah-lah tempat kembali, Dialah yang akan mengadili di antara hamba-hambanya dalam apa yang mereka  perselisihkan … sampai akhir apa yang disebutkan oleh Syaikh rahimahullah. Perhatikanlah dengan teliti bila kamu termasuk orang yang mencari kebenaran dengan dalilnya, namun bila kamu berniat terus ada di atas kebathilan, namun bila dan ingin mendalilinya dengan perkataan-perkataan yang mujmal (global) para ulama, maka ini tidaklah aneh. Semoga shalawat Allah limpahkan kepada Muhammad Nabi yang ummi, kepada keluarganya dan kepada semua para sahabatnya.
Dzulhijjah tahun 1312 H, dinukil dari tulisan tangan mushannif rahimahullah, semoga Allah membalas beliau atas kebaikannya kepada Islam dan kaum muslimin.
Dengan pena Al Faqir kepada Allah hamba-Nya, anak hamba-Nya (yang laki-laki) dan anak hamba-Nya (yang perempuan) Abdul Aziz Al Fauzan, semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, guru-gurunya dan seluruh kaum muslimin serta para imam mereka yang dengannya Allah telah menjaga agama ini, dengannya Allah membinasakan tokoh-tokoh kesesatan di setiap waktu dan kesempatan. Dan semoga shalawat dan salam yang banyak Allah limpahkan kepada penghulu para Rasul, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat seluruhnya hingga hari pembalasan.

1 Lihat penjelasan hal ini dalam kitab Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidiin karya Al Imam Mufti Ad Diyar An Najjiyah Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain, risalah ini khusus menanggapi orang yang berdalih dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah namun bukan pada tempatnya, juga silahkan lihat Kitab Syaikhul Islam Muhammad Ibu Abdil Wahhab khusus tentang takfir mu’ayyan dan pelurusan Ibnu Taimiyah yang ditempatkan bukan pada tempatnya oleh musuh-musuh dakwah beliau, yaitu dalam risalah Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit tauhid. Pent.
2 Lihat Syarhus Sunnah.
3 Lihat Kitab AI Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: 384 dan Majmu’atur Rasaail Wal MasaaiI 1/658, lihat Al Mutammimah: 26
4 AI Jawabut Mufid Fi Hukmilahilit Tauffid: 384. Lihat Aqidatul Muwahhidin.
5 Silahkan rujuk Ashlu Dinil Islam Wa Qaa’ idatihi.
6 Diambil dari kitab Ulama Nejed 205-206 dan digabung dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Hamud AI Kahlidiy. (pent)
7 Karena pendapat itu tidak muncul kecuali pada zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah dan Insya Allah akan disebutkan. Pendapat ini masa sekarang dijadikan sebagai pokok (manhaj) yang dijadikan sandaran, dan orang yang bersebrangan dengannya dianggap sesat, serta diberi laqab-laqab (cap) yang sangat keji. Kenyataan ini adalah seperti peribahasa: Dia melempar penyakit dan langsung pergi, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ishaq alangkah serupanya malam malam ini dengan tadi malam, setiap kaum memiliki pewaris, namun di pojok sana ada yang tersembunyi, dan bagi para tokoh itu masih ada penerusnya, dan di belakang tempat persembunyain itu ada yang tersembunyi….
8 Orang-orang yang ada di Jazirah yang di mana semuanya mengaku Islam, maka apa gerangan dengan dengan orang-orang di kita. (pent)
9 Inilah kata-kata yang selalu didengung-dengungkan oleh orang-orang jahil dan sebagian lagi adalah Ahlul Ahwa yang ngotot yang dikala melihat orang melakukan syirik akbar, mereka mengatakan perbuatannya syirik dan orangnya belum tentu musyrik, jadi tidak boleh dikafirkan terlebih dahulu sebelum dikasih penjelasan. Sungguh sama sekali antara hari ini dengan kemarin. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. (Pent)
10 Dia adalah Dawud lbnu Jirjiis yang telah dibantah oleh Syaikh Abdullathif dalam kitabnya Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfu Subuhat Dawud Ibni Jirjiis.
11 Syaikh Muhammad rahimahullah berkata saat membantah orang yang enggan mengkafirkan orang yang beribadah kepada selain Allah secara ta’yin: (Apakah ada seorang yang berkata dari semenjak sahabat hingga zaman Manshur – AI Bahuutiy – bahwa mereka (yang beribadah kepada selain Allah) itu hanya dikafirkan nau’’ya saja tidak orang-orang mu’ayyannya) Ad Durar Assaniyyah 10/69.
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: (kami katakan (bahwa) dalam masalah takfir mu’ayyan adalah (bahwa) dhahir ayat-ayat, hadits-hadits,’ dan perkataan jumhur ulama semuanya menunjukan akan kafirnya orang yang menyekutukan Allah, dia beribadah kepadanya bersama ibadah dia kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dengan yang lainnya, Allah berfirman”Sesunggunya Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadapNya dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala, “Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian dapatkan mereka,” ini umum mencakup satuan orang-orang musyrikin) Ad Durar Assaniyyah 10/401,402,
12 Yaitu Mufidul Mustarid Fi Kufri Tarikit Tauhid, ada dalam Aqidatul Muwabbidin, Risalah kedua.  (pent)
13 Ini dikarenakan Islam dan syirik akbar itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak mungkin kumpul pada diri seseorang, tidak mungkin ada orang Islam tapi ada kemusyrikan akbar pada dirinya, namun orang seperti itu namanya adalah musyrik, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wabbab dalam Syarah Ashli Dinil Islam juga Syaih Abdullathif dalam Minhajut Ta’sis Wat Taqdis 12 berkata: “Siapa yang melakukan syirik (akbar)maka dia itu sudah meninggalkan tauhid, karena sesungguhnya syirik dan tauhid adalah dliddani (dua hal yang kontradiksi) yang tidak mungkin bersatu, dan merupakan naqiidlaani (dua hal yang saling berlawanan) yang tidak mungkin kumpul dan tidak mungkin hilang kedua-duanya. (pent)
14 Kedua putra Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, yaitu Syaikh Abdullah dan Syaikh Husen rahimahumullah ditanya tentang hukum orang yang meninggal dunia sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad, maka mereka menjawab: (Orang pelaku syirik yang meninggal dunia sebelum sampainya dakwah ini, maka yang kami hukumi adalah bahwa bila dia itu terkenal suka melakukan kemusyrikan dan manjadikannya sebagai keyakinan, serta dia mati di atasnya, maka ini dhahirnya dia itu mati di atas kekafiran, dia jangan didoakan jangan berkurban atas nama dia, dan jangan bersedekah atas namanya, dan adapun hakikat sebenarnya (hukum akhiratnya) maka ini kembali ke tangan Allah subbaanahu wa ta’’aala, bila ternyata hujjah telah tegak atasnya saat dia hidup dan terus ngotot, maka dia itu kafir dalam hukum dunia dan hukum akhirat, dan apabila hujjah belum tegak atasnya di saat dia hidup maka urusannya (akhiratnya) kembali kepada Allah) Ad Durar Assaniyyah 10/142, dan Ar Raddu ‘Ala jaridatil Qiblah karya Syaikh Sulaiman Ibm Sahman hal 20-21.
15 Mereka itu tidak dinamai Muslimin dengan ijma’, bahkan dinamai musyrikin. Rasulullah pernah meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan buat ibunya, namun Allah rnelarangnya dan Dia menggolongkan ibunya dalam jajaran kaum musyrikin, padahal ibunya ini hidup pada zaman fatrah. Bahkan orang yang berada pada zaman fatrah bila mati betah di atas kemusyrikan maka mereka masuk neraka sebagaimana penjelasan Rasulullah tentang ayah beliau dan ayah seorang sahabat, bahwa keduanya di neraka di dalam hadits shahih, juga kisah Bani Al Muntafiq di dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad di mana mereka bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang mati di atas syirik dari kalangan ahlul Fatrah, maka beliau memerintahkan mereka agar bila melewati kuburan orang-orang Quraisy, Daus dan Banu Amir yang mati di atas syirik agar mengabarkan kepada mereka bahwa kalian digusur dineraka silahkan baca Al Jawabul Mufid Fi Hukmi jahilit Tauhid dan Az Zinad Syarh Lu’atul I’tiqad. (pent)
16 Dan inilah memang yang terjadi, mereka memvonis orang-orang yang berseberangan dengan mereka dengan label Takfiriy (pent)
17 Risalah ini ada pada juz kesepuluh dalam hukum orang murtad pada Ad Durar Assaniyyah 64 cetakan ke lima dalam Muallafat Asy Syaikh 3/119 cetakan pertama Darul Qosim.
18 Lihat di dalam Tarikh nejed, Al Imam Husain Ibnu Gunnam hal: 342. (pent)
19 Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah ditanya tentang orang yang melakukan satu dari hal-hal yang membuat dia kafir, apakah boleh mengkafirkan dia secara ta’yin? Beliau menjawab: apa yang kamu tanyakan tentangnya, yaitu apakah boleh menta’yin seseorang dengan vonis kafir secara ta’’yin bila dia melakukan satu hal dari mukaffirah (hal-hal yang membuat kafir/nawaqidlul Islam), maka jawabannya adalah bahwa hal yang sesuai petunjuk Al Kitab, Assunnah, dan ijma para ulama bahwa itu adalah kekafiran seperti syirik dengan cara beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala, maka siapa orangnya yang melakukan hal macam ini dan yang sejenis dengannya maka tidak lagi diragukan akan kekafirannya, dan tidak apa-apa engkau mengatakan berkenaan dengan orang yang benar-benar melakukan sebagian dari hal-hal itu, engkau katakan: Si fulan kafir dengan sebab perbuatan ini….) Ad Durar Assaniyyah 10/416-417,
20 Ahsa saat itu dihukumi negeri kaum musyrikin padahal orang-orang di sana mengaku Islam, bagaimana kalau Syaikh melihat negeri-negeri yang di mana kemusyrikan hampir di tiap daerah. (pent)
21 Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata. Dan sesungguhnya kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya dari kalangan kaum musyrikin para penyembah berhala, seperti orang-orang yang menyembah berhala yang ada di atas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang ada di atas kuburan Ahmad Al Badawiy dan yang lainnya) Munhajut Ta-sis 89.
22 Ini karena bila satu kelompok masyarakat menolak membayar zakat, atau menolak melaksanakan kewajiban yang sudah ma’lum dalam agama ini, maka dihukumi kafir. Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam Mufidul Mustafid dalam Aqidatul Muwahhidin 63: Abul Abbas berkata lagi tentang kafirnya orang-orang yang menolak membayar zakat, dan para sahabat tidak mengatakan apakah kamu mengakui akan wajibnya zakat atau tidak ? ini (pertanyaan) tidak pernah ada dilakukan oleh para khalifah dan para sahabat, namun Ash Shiddiq berkata kepada Umar: Demi Allah seandainya mereka menolak memberikan anak unta kepadaku yang di mana mereka dahulu menunaikannya kepada Rasulullah, tentu saya perangi mereka atas penolakan itu” beliau menjadikan pemboleh untuk memerangi mereka adalah penolakan mereka saja bukan pengingkaran akan kewajibannya. Dan telah diriwayatkan bahwa segolongan dari mereka itu mengakui wajibnya zakat, namun mereka bakhil dengannya, namun demikian sesungguhnya tindakan para khalifah terhadap mereka adalah satu, yaitu orang-orang yang ikut perang dibunuh, anak-anaknya dijadikan sabaayaa, hartanya dijadikan ghanimah, serta kesaksian masuk neraka bagi orang yang mati diantara mereka, serta semuanya mereka namakan sebagai orang-orang murtad.(pent)
23 Mereka adalah jama’ah mesjid yang mengucapkan kalimat tentang kenabian Musailamah, padahal mereka itu tidak mengikutinya. Mereka divonis kafir oleh ljma para sahabat zaman Usman … Mufidul Mustafid: 69. (pent)
24 Mereka adalah para penguasa di daulah Fathimiyyah di Mesir dan sekitarnya, Syaikh Muhammad berkata: Dan mereka itu mengklaim sebagai bagian dari Ahlul Bait, mereka shalat jum’at, shalat berjam’’ah, mereka mengangkat para qadli dan para mufti, namun para ulama ijma akan kekafiran, kemurtaddan, dan (keharusan) memerangi mereka, dan bahwa negeri mereka adalah bilad harb (negeri kafir harbiy) meskipun mereka (rakyatnya) terpaksa dan membenci mereka. (Tarikh Nejed: 346). Pent
25 Yaitu bukan termasuk syarat tegaknya hujah orang mengetahui bahwa ini benar kemudian dia berpaling padanya karena suatu sebab.
26 Seperti gila, belum baligh, atau tidak mampu mencari atau dia itu tergolong orang yang tidak paham akan makna pembicaraan dan tidak ada penerjemah yang menterjemahkan baginya, ini adalah yang dimaksud dengan ungkapan Ibnul Qayyim (dan muqallid yang tidak memiliki tamakkun untuk tahu) dan nanti akan disebutkan di tempatnya Insya Allah, dan itu pula yang dimaksud dengan perkataan Syaikh Abdullathif: (Bila mereka memiliki tamakkun dari mencari kebenaran dan dari mengetahuinya, serta telah memiliki ahliyyah akan hal itu) dan ini akan ada Insya Allah.
27 Majmu Al Fatawaa 4/54 – 18/54
28 Kitabnya Assirrul Maktum Fis Sihri Wa Mukhathabatinnujum. Lihat kitab Arrijal Alladzina takallama ‘alaihim Ibnu Taimiyah hal: 34. Ar Razi meninggal 604 H sedangkan Ibnu Taimiyyah lahir tahun 661 H dan meninggal 728, beliau mengatakan kemurtaddan Ar Razi sedangkan beliau belum lahir saat Ar Razi ada, apakah mungkin Ibnu Taimiyyah menyampaikan penjelasan kepada Ar Razi ? (pent)
29 Mata uang yang berlaku zaman Syaikh rahimahullah.
30 Tarikh Nejed karya Husen Ibnu Ghunnam (Raudlatul Afkar Wal Afham) dan mukhtasharnya oleh Nashir Al Asad 343.
31 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Hujjah Allah dengan rasul-rasul-Nya itu telah tegak dengan adanya tamakkun dari mengetahui, maka tahunya orang yang didakwahi akan hujjah tidak termasuk syarat (tegaknya) hujjah Allah, oleh sebab itu berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan Al Qur’’an dan dari mentadabburinya tidak menjadi penghalang tegaknya hujjah Allah atas mereka, karena kesempatan (muknah) itu sudah ada. Kitab Ar Raddu Alal Mantiqiyyin 99.
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata: Para ulama telah berijma bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam maka sesunguhnya hujjah Allah itu telah tegak atasnya. Durar Assaniyyah 11/72.
32 Yaitu tidak mengetahui benarnya kenyataan di luar, baik berupa ‘ain (dzat), perbuatan, dan sifat-sifat yang dimaksud dengan perintah dan berita dengan cara dia melihatnya namun dia tidak mengetahui bahwa itu yang dimaksud dengan khithab, seperti orang yang mengetahui sifat tercela sedangkan dia itu tersifati dengan sifat buruk itu atau bagian dari jenis sifat itu namun dia tidak mengetahui bahwa dia terjerumus di dalamnya, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman: Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak lagi bisu yang lidak mengerti apa-apa, “Majmu A] Fataawaa 16/90.
33 Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ishaq dan Syaikh Abdullathif. (Jenis orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami menghukumi bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik dan kami memandang kafirnya mereka bila hujjah risaliyyahnya telah tegak atas mereka, dan adapun dosa-dosa di bawah (syirik) itu dari sisi tingkatan dan kerusakannya, maka kami tidak mengkafirkan pelakunya dengan sebabnya. Ad Durar Assaniyyah 1/515, 522, dan Minhajut Tasis 60.
34 Maksudnya Ibnu Ghunnam. (pen)
35 Potongan bait syair yang ujungnya: namun saya. menduga kamu tidak akan selamat.
36 Anda harus mengetahui bahwa yang dimaksud dengan kaum musyrikin dan negeri mereka oleh Syaikh adalah orang-orang yang mengaku Islam namun melakukan kemusyrikan terhadap orang-orang yang sudah mati, bukan orang yang tidak mengaku Islam, karena di jazirah Arab yang hidup di sana adalah orang-orang yang intisab kepada Islam. Coba apa gerangan dengan kemusyrikan yang ada di sekitar kita. (pent)
37 Di dalam cetakan pertama ada tambahan yang tidak ada pada naskah asli setelah ucapan Syaikh hal-hal yang berlawanan (hukum orang yang mengingkari apa yang datang dari Rasuluilah sallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang hujjah telah tegak atasnya) dan ini adalah salah cetak.
38 Muallafat Asy Syaikh 2/7 dalam juz 10/93 dalarn Ad Durar Assaniyyah
39 Orang yang hidup ditengah kaum muslimin, kemudian sarana ta’’allum banyak, dunia terbuka, kemudian melakukan kemusyrikan apakah harus dita’rif terlebih dahulu sebelurn dikafirkan? bahkan jangankan mengkafirkannya mengatakan dia musyrik saja sebagian orang (ahlu bid’ah) tidak mau, padahal vonis musyrik itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan adanya risalah berbeda dengan vonis kafir, perhatikanlah !  (pent)
40 Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: (Hujjah Allah itu telah tegak atas hamba-hamba-Nya dengan sampainya hujjah itu bukan dengan pahamnya, sampainya hujjah adalah satu hal sedangkan paham akan hujjah adalah hal lain, oleh sebab itu Allah tidak mengudzur orang-orang kafir dengan ketidak pahaman mereka setelah sampainya hujjah dan penjelasan Allah terhadap Allah) Ad Durar Assaniyyah 10/359 dan rujukiah perkataan putra-putra Syaikh Abdullathif, Abdullah dan Ibrahim, dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman dalarn juz yang sama hal: 433.
41 Yang disyaratkan dalam tegaknya hujjah adalah pahamnya akan apa yang dikatakan, bukan mengerti akan kebenaran. Yaitu dengan cara mengajak bicara setiap kaum dengan bahasanya, orang ajam dengan bahasa ajam, dan, orang arab dengan bahasa arab, Allah subhaanahu wa ta`aala berfirman,”kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang terhadap mereka Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petujuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan maha Bijaksana, “Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata dalam hal itu: (Bila sampai kepada orang nasrani apa yang dibawa Rasulullah sallallaahu’alaihi wa sallam dan dia tidak tunduk kepadanya dengan dugaan bahwa beliau adalah Rasul buat orang-orang arab saja, maka dia itu adalah kafir meskipun dia itu tidak mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Begitu juga orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah dengan keadaan yang memungkinkan dia mengetahui maksud dan tujuan dakwah itu, terus dia menolaknya dengan sebab ada syubhat atau yang lainnya maka dia itu kafir meskipun masalahnya tidak jelas bagi dia, hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya). Mishbahudh Dhalaam 326.
42 Maksud ulama kaum musyrikin adalah mereka itu dalam bidang tertentu mahir namun dia itu musyrik dalarn keyakinannya, mereka mahir dalam fiqh, atau nahwu, atau, hadits, atau ushul fiqh, atau yang lainnya, namun mereka itu para pendukung dan penyokong ibadah kepada para wali. (pent)
43 Yaitu dalam kitab beliau Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauffid, dari awal sampai tentang takfir mu’ayyan, bahkan beliau membantah dan membongkar dusta yang dilakukan oleh para musuh tauhid, di mana mereka menisbahkan secara dusta kepada Ibnu Taimiyyah rahimahullah bahwa beliau tidak melakukan takfir mu’ayyan, mereka menukili perkataan Ibnu Taimiyyah hanya sepotong kemudian mereka pergunakan untuk kepentingan mereka, maka Syaikh Muhammad membongkar dusta dan kebohongan mereka itu. Dan yang mengherankan adalah bahwa yang telah mereka lakukan itu dilakukan juga oleh orang-orang sekarang mereka menukil perkataan Ibnu Tairmiyyah yang pernah dinukil oleh musuh-musuh agama ini. Silahkan rujuk Kitab Mufidul Mustafid ada dalam kumpulan Aqidatul Muwahhidin risalah kedua(pent)
44 Asy Syaikh Al Allamah Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: (Para ularna telah ijma bahwa orang yang memalingkan satu dari macam dua doa (doa ibadah dan doa mas’alah) kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, meskipun dia itu mengucapkan Laa ilaaha Illallaah Muhammadan Rasulullah, shalat, shaum dan mengaku sebagai muslim). lbthaluttandiid Syarhi Kitabit tauhid bab minasysyirki an yatstaghitsa bighairillah.
45 Hal: 64-68-70 bab Fadiluttauhid wa maa yukaffiru minadzdzunub cetakan At Turats At tslamiy.
46 Minhajut Ta’sis 87
47 Minhajut Ta’sis 96
48 yaitu Rafidha yang bukan ekstrim, Syaikh Muhammad lbnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: (Ghulatul Jahmiyyah, Qadariyyah, Rafidhah dan yang lainnya dari kalangan yang dikafirkan oleh salaf, maka kami tidak keluar sedikitpun tentang masalah mereka dari pernyataan para imam petunjuk dan taqwa dari generasi salaf ini) Ad Durar Assaniyyah 1/522.
49 Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: (Para ulama ijma baik dari kalangan salaf dan khalaf dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam, dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa orang itu tidak dikatakan muslim kecuali dengan menafikan dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka dan memusuhinya …. ) Ad Durar Assaniyyah 11/545-546.
50 Dia telah memiliki ahliyyah untuk dapat taklif (baligh dan berakal, pent). Lihat Al Minhaj 99.
51 Yaitu mereka itu tidak dihukumi dengan hukum-hukum yang dikenakan kepada orang-orang kafir yang telah tegak hujjah atas mereka berupa Adzab di akhirat, kekal di neraka, dan yang lainnya.
52 Yaitu mereka itu dinamakan musyrikin, dan mereka tidak disiksa kecuali setelah tegak hujjah atas mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Nama musyrik telah tetap sebelum risalah, karena dia itu menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya, menjadikan tuhan-tuhan lain bersama-Nya, serta menjadikan bandingan bagi-Nya sebelum (ada) Rasul – hingga beliau berkata -: dan adapun siksa maka tidak) Majmu Al Fataawaa 20/38.
Beliau rahimahullah berkata lagi: (Kelalaian yang murni tidak terjadi kecuali bagi orang yang belum sampai risalah kepadanya, sedangkan kekafiran yang berhak mendapatkan adzab tidak ada kecuali setelah risalah) Majmu AI Fataawaa 2/78.
53 Mereka bukan kaum muslimin, mereka juga bukan orang kafir, tapi mereka adalah orang-orang musyrik. Kalau orang tidak paham istilah ini maka hendaklah kembali membaca kitab-kitab tauhid para ulama terdahulu. (pent)
54 Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata: (Dan ungkapan Syaikh kami rahimahullah dalam jawabannya terhadap Syarif (Mekkah): Dan kami mengkafirkannya setelah kami beri tahu (ta’rif), bila kami memberi tahunya dan terus dia mengingkari” adalah ucapan yang benar, para ulama rahimahumullah menyebutkan bahwa orang murtad itu disuruh taubat dan diberi tahu, bila dia terus bersikeras dan mengingkari, maka dikafirkan dengan hal itu.) Mishabaahudh Dhalaarn 118.
Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata: (Semua para ulama dalam kitab-kitab fiqh mereka menyebutkan hukum orang murtad, dan sesuatu yang paling awal mereka sebutkan dari macam kekafiran dan kemurtaddan adalah syirik, mereka berkata: Sesungguhnya syirik terhadap Allah adalah kekafiran dan mereka tidak mengecualikan orang yang jahil – hingga beliau berkata – dan mereka menyebutkan macam-macam yang dijmakan akan kekafiran pelakunya dan mereka tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, kemudian mereka mengatakan: Siapa orang yang murtad dari Islam maka dia itu dibunuh setelah istitabah (disuruh taubat), mereka menghukumi murtadnya dia sebelum menghukumi dengan istitabah, sedangkan istitabah itu setelah divonis murtad, clan istitabah itu tidak terjadi kecuali kepada orang mu’ayyan.) Ad Durar Assaniyyah 10/401-402.
55 Putra Syaikh Abdullathif, Syaikh Abdullah dan Syaikh Ibrahim, juga Syaikh Sulaiman Ibn Sahman ditanya bahwa Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab tidak mengkafirkan orang yang berada di atas kubah Kawwaz dan yang lainnya dan tidak mengkafirkan penyembah berhala hingga beliau mendakwahinya dan sampai hujjah kepadanya ?
Mereka menjawab: Dikatakan: Ya, sesungguhnya Syaikh rahimahullah tidak mengkafirkan manusia langsung kecuali setelah tegaknya hujjah dan dakwah, karena mereka saat itu berada pada zaman fatrah dan tidak adanya pengetahuan akan atsar-atsar risalah….Ad Durar Assaniyah 10/434-435.
56 Syaikh Abdullathif berkata di sela-sela bantahan beliau terhadap Al ‘lraqiy: (Orang ini tidak faham karena kakunya pemahaman dan tidak adanya ilmu yang dia miliki, bahkan justru dia meyakini bahwa perkataan para ulama dan taqyid (batasan) mereka dengan tegaknya hujjah dan sampainya dakwah itu menafikan nama syirik dan fujur dan yang serupa dengannya berupa perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan yang telah dinamakan oleh syari’at dengan nama-nama itu sampai beliau berkata dan ini adalah bagian dari keanehan yang ditertawakan oleh orang yang berakal, karena tidak tegaknya hujjah itu tidak merubah nama-nama syar’’yyakhakan tetapi justru apa yang dinamakan oleh syari’at sebagai kekufuran, kemusyrikan, atau kefasikan maka tetap dinamakan dengan nama-nama syar’inya itu dan tidak dinafikan darinya meskipun pelakunya tidak disiksa bila hujjah belum tegak atasnya dan belum sampai dakwah kepadanya. Miinhaj At Ta’sis 316-316.
57 AI Minhaj: 223.
58 Thariq AJ Hijratain Wa Baabus Sa’aadatain.
59 Yaitu dia itu menamakan mereka sebagai musyrikin namun tidak memvonis neraka bagi mereka karena kejahilarinya, ini adalah makna perkataan Syaikh Abdullathif yang lalu: (Termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan mereka).
60 Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah dalam kitab Al qadar, bab makna Kullumauluudin yuuladu ‘alal fithrah juz 16/207 no: 2658, dan dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Kitabul Janaaiz bab Idza Aslama Ash Shabiyyu famaata hal yushalla ‘alaih. Lihat fathul bariy 3/260 no: 1359.
61 Al Bukhari dalam Kitabur raqaaiq 1358 bab kaifa al haddu dari hadits Ibnu Masud, juga Muslim dalam Kitabul Iman bab Bayani Ghildhi tahrimi qatlil Insan nafsahu, lihat Syarah An Nawawiy 2/122 no. 178.
62 AI Minhaj.. 224
63 Minhajut Tasis 225.
64 Ini seperti oerang-orang sekarang yang dimana dunia sangat terbuka, dakwah dimana-mana, sarana untuk itu bertebaran, namun mereka tidak peduli dengannya. (pent)
65 Maksudnya keyakinan yang bertentang dengan inti Islam.
66 Maksudnya orang yang tadi dirinci.
67 Adapun bila memiliki tamakkun untuk memahami dengan cara isyarat sehingga dia mengetahui apa yang diisyaratkan itu berupa perintah, larangan, janji, dan ancaman maka dia itu mukallaf dan status hukumnya adalah layaknya hukum orang yang bisa berbicara lagi mendengar. Pada masa sekarang ini telah ada orang yang memahami dengan isyarat, belajar baca tulis, dan kami telah melihat hal itu dengan mata kami langsung, mereka menghadiri ceramah-ceramah, kajian-kajian dan diterjemahkan kepada mereka dengan isyarat yang sudah mereka kenal di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang menangis bila diterjemahkan kepada mereka nasehat-nasehat, serta dia terpengaruh dengan pengaruh yang kuat.
68 Minhajutut Tasis 227.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar