Sabtu, 04 Juni 2011

IMAN DAN KUFUR 04

Kajian Ketiga: 

Qoo’idatut Takfiir (Kaidah-Kaidah Dalam
Mengkafirkan Orang)


Yang dimaksud di sini adalah  takfiirul mu’ayyan
(Mengkafirkan orang). Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyyah
menyebut istilah  qo’idatut takfiir  (kaidah dalam
mengkafirkan) pada lebih dari satu tempat dalam
Majmuu’ Fataawaa . Dan sejak lama saya telah berusaha
untuk mendapatkan teks kaidah tersebut dalam berbagai
tulisan beliau namun sampai sekarang saya belum
mendapatkannya padahal telah saya teliti berulang kali.
Saya perkirakan bahwa yang beliau maksud dengan
kaidah  takfiir  tersebut adalah apa yang telah dibuktikan
oleh para ulama’, yaitu dengan memperhatikan
dlowaabithut takfiir  (patokan-patokan dalam
mengkafirkan) dalam menjatuhkan hukum kafir dalam
sidang pengadilan yang dikenal dikalangan mereka. Dan
mungkin --- karena alasan itu --- tidak dibutuhkan untuk
menulis kaidah tersebut pada masa mereka sebab
mereka telah melaksanakannya dalam praktek hukum
pada waktu itu. Inti dari apa yang disebutkan oleh Ibnu
Taimiyyah --- yang beliau ulang-ulang dibeberapa
tempat --- adalah bahwa  takfiir mu’ayyan itu tergantung
pada terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapatnya
hal-hal yang menjadi penghalang vonis kafir pada
seseorang yang melakukan kekafiran tersebut. Sebagai
contoh lihat Majmuu’ Fataawaa  XII / 484, 487, 489 dan
498. Namun pada hari ini, bersamaan dengan
terputusnya hukum  syar’iy disebagian besar negara
ditambah lagi dengan langkanya ilmu dan tersebarnya
kebodohan, maka (dalam keadaan seperti ini)
dibutuhkan untuk menulis kaidah ini.
Oleh karena itu saya membuat sebuah teks kaidah
takfiir mu’ayyan, saya berharap dapat mencakup apa yang
dimaksudkan, yaitu sebagai berikut :
“Pada hukum di dunia yang berlandaskan dzoohir
(yang nampak), seseorang divonis kafir berdasarkan
perkataan atau perbuatan mukaffir (yang menyebabkan
kekafiran), yang dibuktikan dengan cara pembuktian
yang sesai dengan syar’iy, jika telah memenuhi syarat-syarat
untuk dikafirkan pada orang tersebut, dan tidak
terdapat mawaani’nya (hal-hal yang menghalangi vonis
kafir), dan yang memvonis adalah orang yang layak
untuk memvonis, lalu dilihat :
Jika dia maqduur ‘alaih di daarul Islam (negara
Islam) maka wajib dilakukan istitaabah  sebelum
dilaksanakan hukuman oleh penguasa. Dan jika ia
mumtani’ (mempertahankan diri) dengan kekuatan atau
berlindung kepada daarul harbi (negara musuh), maka
diperbolehkan kepada setiap orang untuk membunuhnya
dan mengambil hartanya tanpa dilakukan istitaabah 
terlebih dahulu, dalam keadaan seperti ini dilihat  pada
kemaslahatan dan kerusakan yang akan ditimbulkan,
dan jika kemaslahatan dan kerusakannya bercampur
jadi satu maka lebih dikedepankan yang paling kuat”.
Berikut saya jelaskan kaidah ini dengan singkat,
maka dengan memohon petunjuk dari Alloh saya
katakan :
1. Perkataanku yang berbunyi  [Pada hukum di
dunia yang berlandaskan dzoohir] merupakan
pendahuluan untuk perkataanku yang berbunyi
[berdasarkan perkataan atau perbuatan] karena kedua
hal tersebut yang nampak pada manusia dan yang dapat
di hukum di dunia, adapun kekafiran yang dilakukan
dengan hati (seperti berkeyakinan dengan keyakinan
kafir atau ragu-ragu terhadap rukun iman dan cabang-cabangnya)
yang demikian ini pelakunya tidak dapat di
hukum di dunia akan tetapi urusannya dipasrahkan
kepada Alloh (pada hari terungkapanya semua rahasia)
dan Alloh tidak akan mengampuni seseorang yang mati
dalam keadaan kafir. Dan telah saya jelaskan hal itu
dalam catatan yang saya sebutkan setelah pembahasan
definisi murtad.
2. Perkataanku yang berbunyi  [berdasarkan
perkataan atau perbuatan] ini adalah penyebab
seseorang itu divonis kafir di dunia. Dengan demikian
maka penyebab kekafiran pada hukum yang berlaku di
dunia adalah perkataan atau perbuatan. Contoh
perkataan adalah menghina Alloh atau menghina Rosul
atau menghina diin. Sedangkan perbuatan contohnya
adalah melemparkan  mush-haf  (al Qur’an) ke dalam
kotoran, dan juga masuk dalam kategori perbuatan
adalah meninggalkan dan menolak terhadap perintah,
seperti meningalkan sholat dan tidak berhukum dengan
hukum Alloh. Karena sesungguhnya setelah diteliti
meninggalkan perintah itu disebut juga perbuatan,
berdasarkan firman Alloh :
ﻛﹶﺎﻧﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﻳﺘﻨﺎﻫﻮﻥﹶ ﻋﻦ ﻣﻨﻜﹶﺮٍ ﻓﹶﻌﻠﹸﻮﻩ ﻟﹶﺒِﺌﹾﺲ ﻣﺎ ﻛﹶﺎﻧﻮﺍ ﻳﻔﹾﻌﻠﹸﻮﻥﹶ
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maa-idah : 79)
Alloh menamakan tidak saling melarang kemungkaran
itu sebagai perbuatan, dan dalam hal ini ada dalil-dalil
lain yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Al Amiin
Asy Syinqiithiy dalam kitab  Mudzakkirotu Ushuulil
Fiqhi cet. Maktabah Ibni Taimiyyah, th. 1409 H, hal. 460
dan  Ibnu Hajar juga mengatakan: ”Meninggalkan
perbuatan itu yang benar adalah termasuk perbuatan.”
(Fat-hul Baariy XII / 315)
3. Perkataanku yang berbunyi  [Mukaffir  (yang
menyebabkan kafir)] adalah sifat untuk perkataan dan
perbuatan. Dan sifat kekafiran itu terwujud pada
keduanya dengan dua syarat :
A. Telah dinyatakan dalam dalil  syar’iy bahwa
orang yang melakukan atau mengatakannya kafir (dan
inilah yang dinamakan dengan  takfiirul mutlaq). Yaitu
dengan mengatakan : barangsiapa yang berkata begini
maka ia kafir dan barangsiapa yang melakukan begini
maka ia kafir. Begitulah, menyatakan kufur secara mutlak
(lepas) tanpa menjatuhkan hukum kafir kepada orang
tertentu. Dengan demikian maka  takfiirul mutlaq adalah
menghukumi sesuatu sebagai penyebab kekafiran dan
bukan menghukumi kafir terhadap orang yang
melakukan penyebab tersebut.
Dan syaratnya dalil  syar’iy yang dijadikan
landasan haruslah dalil yang  qhoth’iyyud dalaalah  (jelas
penunjukannya) bahwa kekafiran yang dimaksud adalah
kufur akbar.  Karena ada beberapa bentuk kalimat yang
muhtamilud dalaalah  (penunjukannya mengandung
kemungkinan) bahwa kafir yang dimaksud adalah kufur
ashghor  atau faasiq. Dan untuk mengetahui maksud dari
nash yang  muhtamilud dalaalah  dengan melihat kepada
qariinah  (keadaan yang menyertainya) yang terdapat
dalam kalimat tersebut atau dalam nas-nas yang lain.
Contohnya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam
Shohiih Al Bukhoory,  Kitaabul Iimaan, Bab “Kufur
terhadap keluarga dan  kufrun duna kufrin”.  Pada bab
tersebut beliau meriwayatkan dari  Ibnu ‘Abbaas bahwa
Nabi SAW bersabda :
ﺃﺭﻳﺖ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻓﺈﺫﺍ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻳﻜﻔﺮﻥ
Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya
adalah wanita, mereka kufur.
Beliau ditanya : “Apakah mereka kafir kepada Alloh?”
Beliau menjawab :
ﻳﻜﻔﺮﻥ ﺍﻟﻌﺸﲑ ﻭﻳﻜﻔﺮﻥ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ
Mereka kafir terhadap keluarga (suaminya) dan mereka kafir
terhadap kebaikan. Hadits no. 29
Dan beliau meriwayatkan dalam  Kitaabul Haidl dari
Abu Sa’iid bahwa Nabi SAW, melewati beberapa wanita
maka beliau bersabda :
ﻳﺎﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺗﺼﺪﻗﻦ ﻓﺈﱏ ﺃﺭﻳﺘﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Wahai kaum wanita bersedakahlah karena sesungguhnya aku
melihat kalian yang paling banyak menghuni neraka.
Mereka bertanya :”Kenapa wahai Rosululloh?”,  beliau
menjawab :
ﺗﻜﺜﺮﻥ ﺍﻟﻠﻌﻦ ﻭ ﺗﻜﻔﺮﻥ ﺍﻟﻌﺸﲑ
Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap keluarga.
Hadits no. 3040
Dalam hadits tersebut Rosululloh menyebut wanita yang
tidak memberikan hak suaminya (keluarga) dan tidak
mensyukuri kebaikan suaminya kepadanya, beliau
menyebutnya dengan kekafiran. Namun  qariinah  yang
menyertai hadits menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah  kufur ashghor,  bukan  kufur akbar  yang
menyebabkan keluar dari Islam. Qariinah yang menyertai
hadits itu adalah ketika mereka bertanya “Apakah
mereka  kufur kepada Alloh?”, Beliau mengingkarinya
dan beliau menyuruh mereka bersedekah untuk
menghapus kemaksiatan-kemaksiatan tersebut,
sedangkan sedekah itu hanyalah berguna bagi orang
yang beriman berdasarkan sabda Rosululloh:
ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺗﻄﻔﺊ ﺍﳋﻄﻴﺌﺔ ﻛﻤﺎ ﻳﻄﻔﺊ ﺍﳌﺎﺀ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Dan sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air
memadamkan api.  Hadits ini diriwayatkan At Tirmimiidziy
dan beliau mengatakan “ Hadits ini hasan shohiih.”
Sedangkan sedekah orang kafir itu tidak diterima dan
tidak pula dapat menghapuskan dosanya berdasarkan
firman Alloh 
ﺇﻥ ﺍﷲ ﻻﻳﻐﻔﺮ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﻙ ﺑﻪ
Sesungguhnya Alloh tidaklah mengampuni dosa orang yang
menyekutukannya.
Maka hal itu menunjukan bahwa mereka itu beriman
meskipun kemaksiatan mereka disebut sebagai kekufuran,
dan penyebutan ini adalah penyebutan kufur ashghor.
Contoh yang lain adalah: Sabda rosululloh SAW,
ﺳﺒﺎﺏ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻓﺴﻮﻕ ﻭﻗﺘﺎﻟﻪ ﻛﻔﺮ
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya
adalah kekafiran.
Dan juga sabda rosululloh SAW, 
ﻻﺗﺮﺟﻌﻮﺍ ﺑﻌﺪﻱ ﻛﻔﺎﺭﺍ ﻳﻀﺮﺏ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺭﻗﺎﺏ ﺑﻌﺾ
Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalanku, yaitu dengan
saling membunuh.!
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhooriy.
Beliau menamakan membunuh orang muslim itu dengan
kekafiran dan begitu pula saling berperang. Sedangkan
nas-nas yang lain menyatakan bahwa orang yang
membunuh dengan sengaja tidaklah kafir berdasarkan
firman Alloh:
ﻳﺎﺃﹶﻳﻬﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ﺀَﺍﻣﻨﻮﺍ ﻛﹸﺘِﺐ ﻋﻠﹶﻴﻜﹸﻢ ﺍﻟﹾﻘِﺼﺎﺹ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻘﹶﺘﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﺤﺮ ﺑِﺎﻟﹾﺤﺮ
ﻭﺍﻟﹾﻌﺒﺪ ﺑِﺎﻟﹾﻌﺒﺪِ ﻭﺍﻟﹾﺄﹸﻧﺜﹶﻰ ﺑِﺎﻟﹾﺄﹸﻧﺜﹶﻰ ﻓﹶﻤﻦ ﻋﻔِﻲ ﻟﹶﻪ ﻣِﻦ ﺃﹶﺧِﻴﻪِ ﺷﻲﺀٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula) . (Al Baqoroh: 178)
Demikianlah Alloh menetapkan persaudaraan iman
antara orang yang membunuh dan antara wali orang
yang terbunuh. Dan begitu pula saling berperang,
sebagaimana firman Alloh:
ﻭﺇِﻥﹾ ﻃﹶﺎﺋِﻔﹶﺘﺎﻥِ ﻣِﻦ َ ﺍﻟﹾﻤﺆﻣِﻨِﲔ ﺍﻗﹾﺘﺘﻠﹸﻮﺍ
Dan jika dua kelompok orang berimansaling membunuh,
(al Hujuroot: 9)
Demikian Alloh menamakan mereka kelompok beriman
meskipun saling berperang. Ini semua menunjukan
bahwa kekafiran yang disebutkan dalam hadits-hadits di
atas tidaklah menghapuskan keimanan sehingga
kekufuran yang di maksud adalah  kufur ashghor  atau
kufrun duna kfurin.
Tujuan saya di sini adalah menunjukan bukan
menjelaskan secara terperinci karena permasalahan ini
telah saya jelaskan secara detail dalam bukuku yang
berjudul  Al Hujjah Fii Ahkaamil Millah Al
Islaamiyyah.  Dan diantara bentuk kalimat yang
muhtamilud dalaalah,  yang mengandung kemungkinan
kufur akabar dan kufur ashghor adalah kata kekafiran yang
di ungkapkan dengan bentuk  fi’il  (kata kerja)  maadliy
(lampau) atau  mudloori’ (sedang, yang akan datang),
seperti;
ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ، ﻳﻜﻔﺮ
Ia telah kafir, ia kafir.
Dan isim nakiroh (kata benda yang belum jelas) baik
bentuk tunggal maupun jama’, seperti;
ﻛﺎﻓﺮ، ﻛﻔﺎﺭﺍ
Orang kafir, orang-orang kafir
Dan  shiighutu nafyil iimaan  (bentuk penafian keimanan),
seperti;
ﻻﻳﺆﻣﻦ
 tidak beriman
Dan bentuk kalimat yang berbunyi ;
ﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ
bukan dari golongan kami
Dan bentuk kalimat yang berbunyi;
ﻓﻬﻮ ﰲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
 maka ia penghuni naar (neraka)
Dan bentuk kalimat;
ﺣﺮ ﻡ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﳉﻨﺔ
Alloh mengharamkan jannah (syurga) baginya
Dan bentuk kalimat yang berbunyi;
ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺋﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺬﻣﺔ
ia telah lepas dari tanggungan
Atau;
ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﻣﻨﻪ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Alloh dan Rosulnya berlepas diri darinya
Dan kalimat-kalimat semacam itu. Contoh-contoh dari
semua  ini lengkap dengan penjelasan maksudmaksudnya tercantum dalam bukuku yang berjudul  Al
Hujjah Fii Ahkaamil Millah Al Islaamiyyah. Dan Imam
Abu ‘Ubaid Al Qoosim bin Salam menyebutkan
beberapa bentuk kalimat  muhtamilud dalaalah  dalam
kitabnya Al Iman. 
Adapun dalil-dalil  syar’iy yang qoth’iyud
dalaalah(menunjukan secara jelas) atas  kufur akbar,
contohnya dalam firman Alloh:
ﻭﻟﹶﺌِﻦ ﺳﺄﹶﻟﹾﺘﻬﻢ ﻟﹶﻴﻘﹸﻮﻟﹸﻦ ﺇِﻧﻤﺎ ﻛﹸﻨﺎ ﻧﺨﻮﺽ ﻭﻧﻠﹾﻌﺐ ﻗﹸﻞﹾ ﺃﹶﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭﺀَﺍﻳﺎﺗِﻪِ
ﻭﺭﺳﻮﻟِﻪِ ﻛﹸﻨﺘﻢ ﺗﺴﺘﻬﺰِﺋﹸﻮﻥﹶ ﻟﹶﺎ ﺗﻌﺘﺬِﺭﻭﺍ ﻗﹶﺪ ﻛﹶﻔﹶﺮﺗﻢ ﺑﻌﺪ ﺇِﳝﺎﻧِﻜﹸﻢ ﺇِﻥﹾ ﻧﻌﻒ
ﻋﻦ ﻃﹶﺎﺋِﻔﹶﺔٍ ﻣِﻨﻜﹸﻢ ﻧﻌﺬﱢﺏ ﻃﹶﺎﺋِﻔﹶﺔﹰ ﺑِﺄﹶﻧﻬﻢ ﻛﹶﺎﻧﻮﺍ ﻣﺠﺮِﻣِﲔ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
"Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermainmain saja". Katakanlah: "Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya
dan Rosul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu
minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka
taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat
dosa.(QS. 9:65-66)
Nash ini menyatakan kekafiran mereka setelah beriman,
dan semacam ini adalah kufur akbar. Contoh yang lainnya
adalah firman Alloh:
ﻭﺩﺧﻞﹶ ﺟﻨﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﻇﹶﺎﻟِﻢ ﻟِﻨﻔﹾﺴِﻪِ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣﺎ ﺃﹶﻇﹸﻦ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺒِﻴﺪ ﻫﺬِﻩِ ﺃﹶﺑﺪﺍ ﻭﻣﺎ
ﺃﹶﻇﹸﻦ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔﹶ ﻗﹶﺎﺋِﻤﺔﹰ ﻭﻟﹶﺌِﻦ ﺭﺩِﺩﺕ ﺇِﻟﹶﻰ ﺭﺑﻲ ﻟﹶﺄﹶﺟِﺪﻥﱠ ﺧﻴﺮﺍ ﻣِﻨﻬﺎ ﻣﻨﻘﹶﻠﹶﺒﺎ
ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ ﺻﺎﺣِﺒﻪ ﻭﻫﻮ ﻳﺤﺎﻭِﺭﻩ ﺃﹶﻛﹶﻔﹶﺮﺕ ﺑِﺎﻟﱠﺬِﻱ ﺧﻠﹶﻘﹶﻚ
Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap
dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu
akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada
Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik daripada kebun-kebun itu".Kawannya (yang mu'min)
berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya:
"Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu 
(QS.18:35-37). 
Nas ini menyatakan bahwa ia kafir kepada Alloh dan
yang semacam ini adalah  kufur akbar. Contoh yang lain
adalah firman Alloh :
ﻳﻮﻟِﺞ ﺍﻟﻠﱠﻴﻞﹶ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭِ ﻭﻳﻮﻟِﺞ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻴﻞِ ﻭﺳﺨﺮ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﹾﻘﹶﻤﺮ
ﻛﹸﻞﱞ ﻳﺠﺮِﻱ ﻟِﺄﹶﺟﻞٍ ﻣﺴﻤﻰ ﺫﹶﻟِﻜﹸﻢ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺭﺑﻜﹸﻢ ﻟﹶﻪ ﺍﻟﹾﻤﻠﹾﻚ ﻭﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ﺗﺪﻋﻮﻥﹶ
ﻣِﻦ ﺩﻭﻧِﻪِ ﻣﺎ ﻳﻤﻠِﻜﹸﻮﻥﹶ ﻣِﻦ ﻗِﻄﹾﻤِﲑٍ ﺇِﻥﹾ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ ﻟﹶﺎ ﻳﺴﻤﻌﻮﺍ ﺩﻋﺎﺀَﻛﹸﻢ
ﻭﻟﹶﻮ ﺳﻤِﻌﻮﺍ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻭﻳﻮﻡ ﺍﻟﹾﻘِﻴﺎﻣﺔِ ﻳﻜﹾﻔﹸﺮﻭﻥﹶ ﺑِﺸِﺮﻛِﻜﹸﻢ
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan
matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu
yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Alloh Tuhanmu,
kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu
seru (sembah) selain Alloh tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka
tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di
hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu.
(QS.35:13-14).
Dan juga firman Alloh :
ﻟﹶﻪ ﺩﻋﻮﺓﹸ ﺍﻟﹾﺤﻖ ﻭﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ﻳﺪﻋﻮﻥﹶ ﻣِﻦ ﺩﻭﻧِﻪِ ﻟﹶﺎ ﻳﺴﺘﺠِﻴﺒﻮﻥﹶ ﻟﹶﻬﻢ ﺑِﺸﻲﺀٍ ﺇِﻟﱠﺎ
ﻛﹶﺒﺎﺳِﻂِ ﻛﹶﻔﱠﻴﻪِ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤﺎﺀِ ﻟِﻴﺒﻠﹸﻎﹶ ﻓﹶﺎﻩ ﻭﻣﺎ ﻫﻮ ﺑِﺒﺎﻟِﻐِﻪِ ﻭﻣﺎ ﺩﻋﺎﺀُ ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﻓِﺮِﻳﻦ
ﺇِﻟﱠﺎ ﻓِﻲ ﺿﻠﹶﺎﻝٍ
Hanya bagi Alloh-lah (hak mengabulkan) do`a yang benar.
Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Alloh tidak
dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan
seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke
dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak
dapat sampai ke mulutnya. Dan do`a (ibadat) orang-orang
kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS. 13:14).
Pedoman Umum:
1-Sesungguhnya semua kata kafir yang di
ungkapkan dengan isim yang ber lam ta’rif  baik dalam
Al Qur’an atau sunnah maka maksudnya adalah akbar,
seperti (al kufru,al kaafir, al kuffaar, al kaafiruun, al kawaafir)
karena  alif dan  lam  itu menunjukan bahwa kata benda
tersebut mengandung arti yang sempurna. Dan semacam
ini tidak ada perselisihan antara para ulama’ dan ahli
bahasa.
2. semua kata kafir yang diungkapakan dalam Al
Qur’an maksudnya adalah kufur akbar, sama saja apakah
dalam bentuk isim atau fi’il atau mashdar (kata kerja yang
dibendakan). Karena lafadz-lafadz dalam Al Qur’an itu
sempurna. Dan hal ini dapat disimpulkan setelah
meneliti kosakata dalam Al Qur’an . Sampai kekafiran
yang berbicara tentang kufur nikmat, adalah  kufur akbar
sebagaimana yang tersebut dalam surat Ibrohim: 28 dan
an-Nahl: 112. Dan sampai meskipun seolah-olah kufur
secara  lughowiy  (bahasa) sesungguhnya yang dimaksud
dalam tafsirnya adalah  kufur akbar secara  syar’iy
sebagaimana dalam surat al-Hadid: 20.
3. Tinggalah lafadz-lafadz kufur yang terdapat
dalam sunnah, maka setiap lafadz yang diungkapkan
dengan bentuk  isim yang ber  laam ta’riif, maka
,maksudnya adalah  kufur akbar, sebagaimana dalam
hadits yang berbunyi: 
ﺑﲔ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺑﲔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ
(Batas) antara seseorang dan antara kekafiran adalah
meninggalkan sholat. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Namun jika tidak diungkapkan dengan bentuk seperti
ini maka pada asalnya pengertiannya adalah kufur akbar
sampai  ada qoriinah (keterangan lain) yang memalingkan
dari maksud asalnya (kufur akabar) ke  kufur ashghor.
Dalilnya adalah hadits tentang kufur terhadap keluarga
yang tersebut di atas. Bukankah anda melihat bahwa
ketika Rosululloh SAW, bersabda (tentang wanita)
“…mereka kafir” para sahabat bertanya: ”Apakah
mereka kafir kepada Alloh?” pertanyaan ini menunjukan
bahwa kekafiran itu jika diungkapkan secara lepas maka
yang dimaksud adalah  kufur akbar sampai ada  qoriinah
yang memalingkannya kepada makna  kufur ashghor
sebagaimana yang terdapat dalam contoh-contoh di atas.           
  Syaikh ‘Abdul Lathiif bin ‘Abdur Rohmaan bin
Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab berkata:
”Dan lafadz  kedloliman, maksiat, fusuq, fujur, muwalah
(loyalitas),  mu’aadah (permusuhan),  rukun
(kecendrungan),  syirik,dan lafadz-lafadz yang semacam
dengan itu yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah
kadang yang dimaksud adalah hakekatnya secara
sempurna dan kadang yang dimaksud adalah mutlaqul
haqiiqoh (hakekatnya yang paling minim). Dan menurut
para  ushuliyyun (ahli ushul fiqih) pengertian asalannya
adalah yang pertama, dan tidak dibawa kepada
pengertian yang kedua, kecuali jika ada  qoriinah
(keterangan yang menyertainya) baik berupa lafadz atau
maka.  Dan seperti ini dapat diketahui dari keterangan
Nabi dan penafsiran dalam sunnah. Alloh berfirman:
ﻭﻣﺎ ﺃﹶﺭﺳﻠﹾﻨﺎ ﻣِﻦ ﺭﺳﻮﻝٍ ﺇِﻟﱠﺎ ﺑِﻠِﺴﺎﻥِ ﻗﹶﻮﻣِﻪِ ﻟِﻴﺒﻴﻦ ﻟﹶﻬﻢ
Kami tidak mengutus seorang Rosulpun, melainkan dengan
bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. (QS. 14:4)
Ar Rosaa-il Al Mufiidah, tulisan Syaikh ‘Abdul Lathiif
yang dikumpulkan oleh  Sulaimaan bin Samhaan, hal.
21-22.
Catatan Penting:  Tidak disyaratkan untuk
menetapkan sesuatu sebagai sebuah kekafiran harus ada
nash yang menyatakan secara langsung bahwa sesuatu
tersebut merupakan kekafiran.  Syaikh Hamad bin
Naashir Ma’mar yang wafat pada 1660 H sebagai salah
satu imam dakwah Nejd dan salah satu murid  Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, beliau berkata: ”Dan
juga sesungguhnya banyak permasalahan kekafiran dan
kemurtadan, yang telah disepakati para ulama’ yang
terdapat nash jelas yang menamakannya sebagai
kekafiran, akan tetapi disimpulkan para ulama’ dari
keumuman nash. Hal ini sebagaimana jika seorang
muslim menyembelih untuk mendekatkan diri dan
beribadah kepada selaian Alloh. Perbuatan ini adalah
kekufuran secara ijma’ sebagaimana yang dinyatakan
oleh  An Nawawiy dan yang lainnya, begitu juga sujud
kepada selain Alloh.” (Ad Duror As Sanniyah Fil
Ajwiban An Najdiyah, IX/9) Saya katakan: diantara
contoh yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan
oleh  Syaikh Hamad bin Ma’mar adalah kafirnya orang
orang yang mengatakan Al Qur’an itu mahkluq.
Permasalahan ini termasuk permaslahan yang paling
masyhur dalam kitab-kitab salaf, mereka
mengatakan:.”Al Qur’an adalah kalamulloh,bukan
mahkluq, dan barang siapa mengatakan Al Qur’an itu
mahkluq ia telah kafir.” Lihat kitab  As Sunnah tulisan
‘Abdullohbin Ahmad,  As Sunnah tulisan  Al Kholaal
dan bukunya Al Lalika’iy, kitab Al Ghuluw tulisan Adz
Dzahabiy dan masih banyak yang lainnya. Dan tidak
ada nash dalam Qur’an maupun Sunnah yang
menyatakan bahwa orang yang mengatakan Al Qur’an
mahkluq itu kafir sebagaimana nash yang menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan sholat itu kafir. Selain
itu juga tidak ada atsar dari sahabat mengenai
permaslahan al Qur’an mahkluq, akan teapi para ulama’
menyimpulkan hukum kafirnya orang yang mengatakan
Al Qur’an itu mahkluq dari nash-nash yang menunjukan
bahwa Al Qur’an itu kalam dan ilmu Alloh. Sedangkan
kalam dan ilmu Alloh itu adalah bagian dari sifat-sifatNya
yang agung dan sifat Alloh itu bukanlah
mahkluq dan barang siapa yang mengingkarinya maka
ia kafir, sehingga permaslahan ini menjadi ijma’  Ahlus
Sunnah. Diantara yang menjelaskan kepadamu
samarnya hukum permaslahan (kafirnya orang yang
mengatakan Al Qur’an itu mahkluq) adalah riwayat Adz
Dzahabiy  dari  Al Qoodliy Abu Yusuf, beliau berkata:
“Setelah aku berdiskusi dengan Abu Haniifah selama 6
bulan, kami bersepakat bahwa orang yang mengatakan
Al Qur’an itu mahkluq, ia telah kafir.”  Mukhtashorul
Ghuluw Lil ’Aliyyil Ghoffaar, tulisan  Adz Dzahabiy
terbitan Al Maktab Al Islamiy th.1401 H. hal100.
Beliau berdiskusi dalam waktu yang lama itu
disebabkan karena tidak ada nash yang jelas dari Al
Qur’an dan sunnah atau atsar dari sahabat tentang
permaslahan ini. Ini semua menunjukan bahwa tidak ada
syarat harus ada dalil  syar’iy secara jelas yang
menyatakan kafirnya sebuah permasalahan, akan tetapi
bisa jadi hukumannya disimpulkan dari nash.
Dan pada permasalahan ini --- yaitu menetapkan
kafir terhadap sebuah perkataan atau perbuatan dengan
dalil  qoth’iy --- terjadi perselisihan berbagai firqoh.
Adapun  Khowaarij mereka menganggap kafir sesuatu
yang bukan kekafiran, seperti dosa besar yang tidak
sampai tingkatan kekafiran. Adapun  Murji-ah, mereka
tidak mengkafirkan perbuatan apapun (baik perkataan
maupun amalan), mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah
atas kafirnya orang yang melakukan perbuatan kufur,
akan tetapi (menurut mereka ia kafir) bukan karena
perbuatan tersebut namun karena perbuatan yang
dinyatakan kafir oleh dalil  syar’iy tersebut merupakan
pertanda bahwa dia kafir dengan hatinya. Mereka
sepakat dengan  Ahlus Sunnah pada hukumnya akan
tetapi mereka berselisih dengan Ahlus Sunnah terhadap
penapsirannya.  Murji-ah yang saya maksudkan dalam
pembicaraan saya tersebut adalah  Asyaa’iroh dan
Fuqohaa-ul Murji-ah.
Adapun para  Ghulaatul Murji-ah  (ekstrimis
Murji-ah) yang telah jauh tersesat, mereka tidak
mengkafirkan seseorang dengan dalil  syar’iy yang
qoth’iyud dalaalah  sekalipun pada  kufur akbar, namun
mereka mensyaratkan untuk mengkafirkan orang yang
melakukan kekafiran, ia harus menyatakan dengan jelas
atas  takdziib (pendustaan) atau  juhuud (penolakan) atau
istihlaal (penghalalan), dan inilah yang banyak tersebar di
kalangan mu’asirin (orang-orang pada zaman sekarang).
Dan telah kusebutkan kepada anda bahwa para salaf
mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.
Inilah pembahasan yang berkaitan dengan syarat
pertama, yaitu hendaknya dalil yang di jadikan landasan
jelas menunjukan kufur akabar.
B.   Syarat yang kedua untuk menetapkan
kekafiran pada perkataan dan perbuatan adalah
hendaknya perkataan atau perbuatan itu sendiri jelas
menunjukan kekafiran. Artinya di dalamnya memang
terdapat unsur sebab yang mengkafirkan sebagaimana
yang terdapat dalam nash  syar’iy yang di jadikan
landasan untuk mengkafirkan perbuatan tersebut.
Contohnya adalah orang yang mengatakan; wahai
tuanku  Al Badawiy! Tolonglah aku! Atau kabulkan
kebutuhanku,  atau  lapangkanlah rejekiku, atau
selamatkan aku dari musuhku. 
Perkataan-perkataan semacam ini adalah
kekafiran karena jelas- jelas menunjukkan berdo’a
kepada selain Alloh dan karena ada dalil  syar’iy yang
menunjukan atas kafirnya orang yang berdo’a kepada
selain Alloh. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang
jelas-jelas menunjukan kekakafiran adalah melemparkan
mushaf  ke dalam kotoran. Perbuatan ini tidak
mengandung kemungkinan lain  kecuali penghinaan
terhadap mushaf dan ada dalil qoth’i yang menunjukan
kafirnya orang yang mengolok-olok ayat-ayat Alloh.
Adapun melempar mushaf kedalam api, perbuatan ini
tidak jelas penunjukannya terhadap kekafiran,
sebagaimana akan kami terangkan pada pembahasan
tentang hal-hal yang mengandung kemungkinan.
Kebalikan dari perbuatan yang jelas
penunjukannya adalah perbuatan yang penunujukannya
mengandung kemungkinan. Yaitu perbuatan (baik
ucapan maupun kelakuan) yang tidak jelas-jelas
menunujukan kekafiran, akan tetapi kadang menunjukan
kekafiran dan kadang tidak menunjukan kekafiran.
Inilah yang di sebut dengan  at takfiir bil muhtamalaat
(pengkafiran dengan perbuatan yang mengandung
kemungkinan). Dan termasuk katagori ini juga 
perkataan yang sebenarnya bukan perkataan kufur akan
tetapi mengandung konsekuensi kekufuran. Dan inilah
yang disebut dengan  at takfiir bil ma-aal  (pengkafiran
lantaran akibat) atau at takfiir bi laazimil qoul (pengkafiran
lantaran konsekuensi perkataan).
Pada perbuatan yang mengandung beberapa
kemungkinan ini harus di lihat beberapa hal untuk
menentukan maksudnya, apakah menunjukan kufur
secara jelas atau tidak dianggap. Dalam masalah ini Al
Qoodliy Syihaabud Diin Al Qurofiy berkata: “Segala
yang nampak dinilai seperti apa yang nampak kecuali
jika ada hal-hal yang menunjukan bahwa yang dimaksud
bukanlah sebagai mana yang nampak atau kemungkinan
yang lebih kuat bukanlah yang nampak. Dan segala
kemungkinannya yang tidak nampak tidak dianggap
lebih kuat  kecuali ada penguat  syar’iy.”Al Furuuq
tulisan  Al Qurofiy  II/195. terbitan daruul ma’rifah.
Penguat  syar’iy  yang menentukan maksud dari
perbuatan yang  muhtamilud dalaalah  (mengandung
beberapa kemungkinan adalah dengan melihat 3 macam,
yaitu tabayyun  (minta klarifikasi) terhadap maksud
pelaku, memperhatikan kepada  qoroo-in (hal-hal) yang
menyertai perbuatannya, dan memahami  ‘urf 
(kebiasaan) pelaku dan penduduk negrinya.
Adapun  tabayyun  terhadap niat pelaku adalah
dengan cara bertanya kepadanya tentang maksud dari
perkataan atau perbuatannya. Seperti seseorang yang
berdo’a di kuburan yang tidak terdengar suaranya dan
tidak pula terdengar dia berdo’a kepada siapa dan ia
berdo’a untuk apa. Maka ia ditanya, jika dia menjawab;
aku berdo’a kepada Alloh untuk mengampuni mayit ini,
maka orang tersebut adalah orang baik. Dan jika dia
menjawab; aku berdo’a kepada Alloh di kuburan ini
supaya Alloh mengabulkan do’aku, maka perbutannya
ini adalah bid’ah dan tidak sampai kafir. Dan jika  dia
menjawab bahwa dia berdo’a kepada penghuni kubur
tersebut untuk memenuhi kebutuhannya, maka orang
tersebut kafir. Maka dengan  tabayyun  terhadap maksud
pelaku dapat membantu untuk mengetahui maksud dari
perbuatan yang mengandung beberapa kemungkinan.
Oleh karena itu  An Nawawiy menukil perkataan  Ash
Shoimiriy dan Al Khootib: “Jika seorang mufti ditanya
tentang orang yang berkata begini dan begini, yang
mengandung beberapa kemungkinan yang sebagian
kemungkinannya kekafiran dan sebagian kemungkinan
lainnya bukan kekafiran, maka hendaknya mufti itu
menjawab; tanyakan tentang maksud perkataannya, jika
dia menjawab begini maka jawabannya begini.”  Al
Majmuu’ tulisan An Nawawiy I/49.
Dan pada masalah ini  Imam Asy Syaafi’iy  juga
mengatakan: ”Pada masalah yang mengandung
kemungkinan yang tidak jelas, perkataan yang dijadikan
pegangan adalah perkataan pelakunya.” Al Umm tulisan
Asy Syaafi’iy VII/297. Di sini ada catatan penting yang
keterangannya akan menyusul tentang kesalahan dalam
mengkafirkan. Yaitu bahwa yang ditanyatakan dan yang
berpengaruh pada hukum adalah maksud  perbuatan
pelaku dan bukan maksud untuk kafir dengan
perbuatanya itu. Dalam contoh di atas jika dia menjawab;
bahwa dia berdoa kepada mayit untuk menyingkirkan 
kesusahaannya, maka inilah yang harus di tanyakan dan
yang  berdampak pada hukum, dan tidak harus
bertanya; apakah kamu bermaksud untuk kafir dengan
perbuatanmu itu?, bahkan meskipun dia mengatakan,
bahwa dia tidak bermaksud kafir dengan perbuatannya
itu, perkataan itu tidak akan berpengaruh untuk
menolak hukum. Masalah ini akan di jabarkan nanti
Insya Alloh.
Tentang melihat kepada  qoroo-inul ahwaal
(keadaan yang menyertai perbuataannya), maka barang
siapa yang mengucapkan perkataan yang mengandung
kemungkinan kekafiran namun pelakunya mengingkari
maksud untuk kafir akan tetapi setelah di teliti ternyata
perbuatannya itu mengandung unsur kezindikan dan dia
sendiri tertuduh sebagai orang  zindiq, maka keadaan
yang menyertai perbuatannya ini menunjukan kuat
maksud kekafirannya. Contoh yang lainnya adalah; jika
ada seseorang melemparkan mushaf ke dalam api.
Orang ini ada kemungkinan meremehkan mushaf
sehingga dia kafir sebagaimana orang yang
melemparkanya kedalam kotoran, dan ada kemungkinan
ia ingin memusnahkannya karena mushaf itu sudah
lama dengan cara membakarnya. Sebagaimana yang
dilakukan oleh  ‘Ustman bin Affaan, beliau membakar
mushaf yang lebih, maka semacam ini ialah Sunnah
Kholifah sehngga dia tidak kafir. Apabila kita bertanya
kepadanya lalu dia mengatakan bahwa dia ingin
menghilangkannya (karena mushaf itu sudah lama),
namun setlah di teliti keadaannya ternyata mushaf yang
dia bakar masih baru dan ternyata orang itu tertuduh
sebagai orang zindiq. Maka bukti-bukti ini menunjukan
bahwa dia dusta, dia bilang ingin menghilangkan
mushaf itu namun sebenarnya dia meremehkannya.
Ibnu Rojab Al Hambaliy  berkata: ”Bukti yang berupa
keadaan, berbeda dengan bukti yang berupa perkataan
dalam menerima pengakuan yang sesuai dan menolak
yang tidak sesuai. Bukti keadaan saja (tanpa bukti yang
berupa perkataan) dapat mengakibatkan hukum.”  Al
Qowaa’id tulisan Ibnu Rojab, Kaidah ke- 151 hal. 322.
Adapun melihat kepada ‘urf  (kebiasaan) 
sebagaimana kata  Ibnu Qoyyim  --- dalam  Ahkaamul
Muftiy ---: “Dia (mufti) tidak bolah berfatwa pada
pengakuan, sumpah, wasyiat dan yang lainnya yang
berkaitan dengan lafadz dengan berlandasan yang biasa
dia gunakan,  untuk memahami lafad-lafadz  tersebut
tanpa mengetahui kebiasaan pemilik dan pengguna
lafadz-lafadz tersebut. Sehingga dia memahami lafadz
tersebut sebagaimana apa yang mereka pahami dalam
kebiasaan mereka meskipun tidak sesuai dengan
hakkekat asalnya. Namun jika mufti tidak melakukannya
ia akan asesat dan menyesatkan.”    A’laamul
Muwaqqi’iin   IV/297.
Inilah tiga penguat  syar’iy yang membantu untuk
menentukan maksud dari hal-hal yang mengandung
beberapa kemungkinan. Namun Asy Asy Syaafi’iy tidak
menerima kecuali  tabayyun  terhadap maksudnya saja.
Lihat  Al Umm VII/297. Untuk pendekatan masalah,
kami sebutkan beberapa fatwa ulama’ pada masalah-masalah
yang mengandung beberapa kemungkinan
menunujukan kekafiran:
Al Qoodliy ’lyaadl berkata: ”.. dan kami
menyaksikan  Syaikh kami  Abu ‘Abdulloh bin ‘Isa
ketika beliau memegang jabatan  Qoodliy (hakim).
Dihadapkan seseorang yang mennghina orang lain. Ia
mendatangi seekor anjing dan menendang dengan
kakinya, lalu ia mengatakan kepada anjing tersebut,
‘berdirilah wahai Muhammad !’ Namun ia mengingkari
perbuatan tersebut, akan tetapi banyak orang bersaksi
atas perbuatannyaitu. Maka ia pun di penjara, dan
diteliti tentang keadaannya dan apakah berteman
dengan orang yang di ragukan diinnya? Ketika dia tidak
dapatkan keraguan terhadap keyakinannya maka ia di
cambuk dan di lepas.” Pensyarah buku tersebut
mengatakan:  “Sesungguhnya lawan orang tersebut
adalah Muhammad.” Dan  Al Qoodliy ‘lyaadl juga
berkata: “Pernah terjadi juga masalah yang di mintakan
fatwa oleh beberapa hakim Andalusia kepada Syaikh
kami  Al Qoodliy Abu Muhammad bin Manshuur
tentang orang yang dihina oleh orang lain dengan
sesuatu. Maka beliau mengatakan kepadanya: “Kau
hanya ingin kami memutuskan perkara berlandaskan
perkataanmu, sedangkan aku adalah manusia dan semua
manusia itu mempunyai kekurangan meskipun Nabi
Muhammad SAW, senndiri. Maka beliau menfatwakan
untuk memnjarakannya dengan waktu yang lama dan
menyakitinya, karena ia tidak bermaksud menghina.
Dan sebagian ulama’ Andalusia (Spanyol) menfatwakan
untuk membunuhnya.”  Asy Syifaa  tulisan  Al Qoodliy
‘lyaadl terbitan Isa Al Halabiy II/984 dan 996.
Dan  Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang
orang yang mencela orang mulia dari  ahlul bait.  Orang
tersebut mengatakan kepada ahlul bait tersebut: “Semoga
Alloh melaknatnya  dan melaknat orang yang
memuliakannya.” Maka  Ibnu Taimiyyah menjawab:
“Perkataannya ini saja bukanlah termasuk penghinaan
yang menyebabkan pelakunya dibunuh,  akan tetapi
harus ditanyakan siapa yang dimaksusd dengan orang
yang memuliakannya itu. Jika dari penjelasannya  atau
qoriinah  (yang menyertainya) baik berupa keadaan atau
perkataan menunjukan  ternyata yang dia maksud
adalah Nabi Muhammad SAW, maka dia wajib dibunuh.
Dan jika hal itu tdak tidak   terbukti --- sampai beliau
berkata --- maka hal itu tidak mengharuskan dia dibunuh
atas kesepakatan ulama’.”  Majmuu’ Fataawaa XXX /
197-198, yang semacam itu juga terdapat dalam
Majmuu’ Fataawaa  XXIV / 135-136. Ini tentang
perkataan-perkataan yang muhtamilud dalaalah. 
Adapun perbuatan-perbuatan yang  muhtamilud
dalaalah  (mengandung kemungkian) misalnya adalah
seseorang yang sholat menghadap kiblat sedangkan di
depannya ada api atau kuburan. Perbuatan semacam ini
mengandung kemungkinan ia sholat untuk Alloh atau ia
adalah penyembah api yang menampakan Islam karena
takut,atau lainnya yang semacam dengan itu.  Al
Bukhooriy membuat satu bab tersendiri masalah ini
dalam kitab  Shohiihnya pada bab “Orang Yang Sholat
Sedangkan Di Depannya Ada Tungku Atau Api Atau
Sesembahan Lainnya Sedangkan Yang Dia Maksud
Adalah Sholat Untuk Alloh” Fat-hul Baariy I / 527.
Inilah yang harus ditempuh untuk menentukan
maksud dari perbuatan (perkataan atau amalan) yang
mengandung kemungkinan. Perbuata-perbuatan
semacam ini hukumnya sama dengan lafadz-lafadz
sindiran dalam talak (perceraian)  qodzaf (tuduhan zina),
membebaskan budak dan hal-hal lainnya yang tidak bisa
dibedakan kecuali dengan mengetahui niat orang yang
mengatakannya dan melihat dalam kepada keadaan-keadaan
yang menyertainya dan kebiasaan orangyang
mengucapkannya. Adapun pada masalah-masalah yang
sudah jelas, tidak dibutuhkan lagi melihat kepada niat
dan maksud pelakunya. Namun hanya melihat kepada
kesengajaan berbuat sebagaimana yang akan kami
terangkan pada pembahan tentang kesalahan-kesalahan
dalam mengkafirkan. Insya Alloh.
Dan yang dijadikan  pedoman dalam menentukan
maksud dari hal-hal yang mengandung kemungkinan ---
pada hukum di dunia --- adalah ijtihad hakim yang
melihat kepada tuduhan, sebagaimana contoh-contoh
yang di nukil dari Al Qoodliy ‘Iyaadl tadi. Dan seorang
hakim boleh menghukum orang yang tertuduh dengan
hukuman yang keras meskipun ia tidak dapat
membuktikan hal-halyang mengandung kemungkinan
kepada hal yang jelas maksudnya jika tuduhannya kuat. 
Dan di sini terdapat perselisihan hukum orang zindiq
yang banyak melakukan perbuatan yang mengandung
kemungkinan kafir, dan beginilah kebanyakan orang-orang
munafiq pada zaman Nabi SAW, sebagaimana
yang Alloh firmankan:
ﻭﻟﹶﻮ ﻧﺸﺎﺀُ ﻟﹶﺄﹶﺭﻳﻨﺎﻛﹶﻬﻢ ﻓﹶﻠﹶﻌﺮﻓﹾﺘﻬﻢ ﺑِﺴِﻴﻤﺎﻫﻢ ﻭﻟﹶﺘﻌﺮِﻓﹶﻨﻬﻢ ﻓِﻲ ﻟﹶﺤﻦِ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮﻝ
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan
mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal
mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan
mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS.
Muhammad:30).
Dan diantara orang-orang munafiq itu ada yang
menngucapkan kata-kata yang jelas-jelas kekafiran akan
tetapi tidak tertetapkan dengan ketetapan  syar’iy karena
tidak lengkapnya bukti, sebagaimana yang Alloh
firmankan:
ﻳﺤﻠِﻔﹸﻮﻥﹶ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻣﺎ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻭﻟﹶﻘﹶﺪ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻛﹶﻠِﻤﺔﹶ ﺍﻟﹾﻜﹸﻔﹾﺮِ ﻭﻛﹶﻔﹶﺮﻭﺍ ﺑﻌﺪ
ﺇِﺳﻠﹶﺎﻣِﻬِﻢ
Mereka (orang-orang munafiq itu) bersumpah dengan (nama)
Alloh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang
menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam,”
(QS. At Taubah: 74).
Adpun orang zindiq, yaitu orang yang murtad berkalikali atau
orang yang banyak melakukan perbuatan yang
mengandung kemungkinan kafir dan banyak sindiran-sindirannya
yang (mengandung kekafiran), maka dalam
madzhab Malik ia tidak diterima taubatnya dan dalam
madzhab  Asy Syaafi’iy  selamanya akan diterima
taubatnya. Dan hal ini juga dikembalikan kepada
ijtihadnya hakim yang mempertimbangkan
perkembangan kejahatan dan pelecehan terhadap din
dikalangan manusia. Apabila hal ini terjadi haruslah
dipertegas dan lebih di perkuat dengan mengikuti
madzhab Malik. Lihat pembahasan taubatnya zindiq
dalam Al Mughniy Ma’asyi Syarhil Kabiir X / 170-171,
Fat-hul Baariy XXI / 269-273, Al Umm VI / 156-167 dan
A’lamul Muwaqqi’iin III / 112-115, 140-145.
Adapun hukumnya diakhirat, orang yang
melakukan hal-hal yang mengandung kemungkinan,
keputusannya di akherat diserahkan kepada Alloh sesuai
dengan niatnya. Alloh maha tahu dengan niatnya dan
Alloh akan membalasnya sesuai dengan niatnya,
meskipun di dunia dia tidak dibuktikan hukuman
apapun. Rosululloh SAW, bersabda :
ﺇﳕﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭﺇﳕﺎ ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺎ ﻧﻮﻯ
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat,
dan seseorang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan
niatnya. Hadits ini muttafaq ‘alaih.
Dan Alloh berfirman:
ﻳﻮﻡ ﺗﺒﻠﹶﻰ ﺍﻟﺴﺮﺍﺋِﺮ ﻓﹶﻤﺎ ﻟﹶﻪ ﻣِﻦ ﻗﹸﻮﺓٍ ﻭﻟﹶﺎ ﻧﺎﺻِﺮٍ
Pada hari dinampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak
ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula)
seorang penolong. (QS. 86: 9-10).
Untuk penjelasan lebih lanjut masalah ini silahkan
kaji:
- Shohiih Al Bukhooriy,  Kitaabu Istitaabatil
Murtaddiin --- bab “Jika seorang dzimmi
mengucapkan kata-kata kiasan yang menunjukan
penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW, namun
tidak menyatakan terus terang”,  Fat-hul Baariy XII /
280.
- Asy Syifaa  tulisan  Al Qoodliy ‘Iyaadl pasal
“Perkataan-perkataan yang mengandung
kemungkinan penghinaan kepada Nabi SAW” II /
978-999 dan pasal “Meneliti perkataan dalam
mengkafirkan orang yang mentakwilkan” dan pasal
setelahnya II / 1056-1076,terbitan Isa Al-Halabi.
- Majmuu’ Fataawaa  Ibni Taimiyah, masalah “Apakah
konsekuensi dari madzhab itu termasuk madzhab” XX
/ 217-219, V / 306-307.
- Perkataan  Ibnul Qoyyim pada masalah “Apakah
kosekuensi dari madzhab itu termasuk madzhab”
dalam syair an-nuniyah beliau beserta penjelasannya
oleh Syaikh Muhammad Kholiil Harroos II / 252-25,
terbitan maktabah Ibni Taimiyyah 1407 H.
- Al Asybaah Wan Nadzoo-ir Fii Qowaa’id Wa Furuu’
Fiqhisy Syaafi’iy, tulisan As Suyuuthiy bab “Masalah
perkataan yang jelas, kinayah dan sindiran” hal. 488
dan setelahnya cetakan darul kitab al-‘arobi 1407 H.
- A’laamul Muwaqqi’iin   tulisan  Ibnul Qoyyim II / 5,
masalah peran bukti keadaan dalam memalingkan
kinayah kepada hal yang jelas.
Kesimpulannya: bahwa perbuatan (yang
kumaksud di sini adalah perkataan dan amalan) dapat
menyebabkan kekafiran dengan dua syarat: 
Satu syarat pada dalil  syar’iy yaitu hendaknya
dalil  shoriihud dalaalah(jelas menunjukan bahwa orang
yang melakukan perbuatan tersebut kafir kufur akbar.
Satu syarat lagi pada perbuatan seorang  mukallaf
tersebut, yaitu perbuatan yang di lakukan oleh orang
tersebut  shoriihud dalaalah  (jelas menunjukan) kekafiran
yang di sebutkan dalam dalil  syar’iy tersebut. Dan
perbuatan itu bisa dinyatakan  shoriihud dalaalah  sejak
awal atau setelah  tabayyun  terhadap maksud pelakunya
dan melihat kepada keadaan yang menyertainya dan
kebiasaan pelakunya jika perbuatan tersebut muhtamilud
dalaalah.
Dua syarat ini terdapat dalam kandungan sabda
Nabi SAW,
ﺇﻻ ﺃﻥ ﺗﺮﻭﺍ ﻛﻔﺮﺍ ﺑﻮﺍﺣﺎ ﻋﻨﺪﻛﻢ ﻣﻦ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ ﺑﺮﻫﺎﻥ
kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, kalian
mempunyai dalil dari Alloh. Hadits ini muttafaq ‘alaih. 
Maka kalimat:  ﺒﻭﺍﺤﺎ ﻜﻔﺭﺍ (Kekafiran yang nyata)
maksudnya adalah jelas menunjukan kekafiran dan ini
adalah syarat pada perbuatan, sedangkan kalimat : ﻋﻨﺩﻜﻡ
ﺒﺭﻫﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺍﷲ ﻤﻥ (Kalian mempunyai dalil dari Alloh)
Maksudnya adalah dalil Syar’iy yang jelas dan ini adalah
syarat pada dalil yang mengkafirkan.  Asy Syaukaaniy
mengatakan; “Sabda beliau yang berbunyi; ﺍﷲ ﻤﻥ ﻋﻨﺩﻜﻡ
ﺒﺭﻫﺎﻥ ﻓﻴﻪ(Kalian mempunyai dalil dari Alloh) maksudnya
adalah nash ayat atau hadits yang jelas penunujukannya
dan tidak mengandung takwil. Konsekuensinya tidak
boleh memberontak mereka (para pemimpin) selama
perbuatan mereka masih mengandung kemungkinan
untuk ditakwilkan.”Nailul Authoor VII / 361.
Begitulah, dan sebagian besar perselisihan para
ulama’ tentang hal-hal yang menyebabkan seseorang
kafir atau tidak, kembali kepada syarat yang kedua  di
atas yaitu perbuatannya dengan jelas menunjukan
kekafiran atau masih mengandung kemungkinan, jika
perbuatannya jelas mereka tidak berselisih pendapat dan
jika masih mengandung kemungkinan, maka ada
perselisihan karena ini masalah ijtihad.
Di antaranya  adalah yang disebutkan Abu Bak-r
Al Hishniy Asy Syaafi’iy  dalam contoh-contoh murtad
dengan ucapan, ia berkata: “Sebagaimana jika seorang
mengatakan kepada musuhnya; seandainya dia tuhanku
aku tidak akan menyembahnya, ia kafir. Dan begitu pula
jika ia mengatakan; seandainya dia Nabi aku tidak akan
beriman kepadanya. Atau dia mengatakan mengaenai
anaknya dan istrinya; ia lebih aku cintaidari pada Alloh
atau pada RosulNya. Dan begitu pula jika seseorang
yang sakit setelah sembuh mengatakan;aku rasakan
sakitku ini yang seandainya aku membunuh Abu Bakar
atau ‘Umar, itu belum setara bagiku, ia kafir. Dan
sekelompok ulama’ berpendapat bahwa orang semacam
ini harus di bunuh karena perkataannya itu terdapat
unsur  menuduh Alloh berbuat zdolim. Masalah 
penentuan alasan seperti berlaku untuk kasus-kasus
yang serupa jika mengandung unsur tuduhan terhadap
Alloh berbuat dzolim, semoga Alloh menjauhkan kita
dari hal tersebut. Begitu pula jika seseorang mengaku
telah mendapatkan wahyu meskipun dia tidak mengaku
sebagiai Nabi. Atau dia mengaku masuk jannah dan
memakan buah-buahannya serta memeluk bidadari,
orang ini kafir secara ijma’. Hal semacam ini dan yang
lainnya adalah sebagaimana yang dikatakan orang-orang
zindiq dari kalangan ahli tasawuf, semoga Alloh
memerangi mereka. Alangkah bodohnya mereka,
alangkah kafirnya mereka dan alangkah bodohnya orang
yang berkeyakinan seperti keyakinan mereka. Dan
seandainya ia mencela salah seorang Nabi atau mereka
meremehkannya maka ia kafir cara ijma’. Dan diantara
bentuk penghinaan adalah apa yang dikatakan orang-orang
dzolim ketika mereka memukul orang lalu orang
yang dipukul tersebut meminta tolong kepada Nabi
Muhammad SAW, lalu orang dzolim tersebut
mengatakan; biarkan rosululloh SAW, membebaskanmu,
atau semacam itu. Seandainya seseorang mengatakan;
aku adalah Nabi, dan yang lain mengatakan; ia benar,
maka keduanya telah kafir. Dan jika ia mengatakan
kepada orang muslim; wahai orang kafir, tanpa ada
takwilan, maka ia kafir, karena ia telah menamakan
Islam sebagai kekafiran. Lafadz-lafadz ini banyak
dikatakan oleh orang  at Turk, maka renungkan hal itu.
Jika ia mengatakan; Apabila anaku mati aku akan masuk
yahudi atau nasrani, maka ketika itu juga ia kafir. Jika
dia dimintai tolong oleh orang kafir yang ingin masuk
Islam, untuk menuntuknya kalimat tauhid, lalu ia
menyarankan agar tetap kafir atau dia tidak mau
menuntutnya mengucapkan kalimat tauhid ia kafir.dan
jika ia menyarankan orang Islam untuk tetap kafir maka
ia kafir. Dan jika dikatakan kepadanya; potonglah
kukumu dan potonglah kumismu karena itu sunnah, lalu
ia menjawab; aku tidak mau meskipun sunnah, maka ia
kafir. Ini dikatakan oleh  Ar Roofi’iy  yang di nukil dari
sahabat-sahabat  Abu Haniifah dan ia mengikuti
pendapat mereka. Dan  An Nawawiy berkata: pendapat
yang terpilih bahwa orang tidak kafir kecuali ia
bermaksud mengolok-olok,  wallohu a’lam. Seandainya
ada dua orang saling bunuh, lalu salah satunya
mengucapkan;  laa haula wa laa quwwata illaa billaah, lalu
yang satunya lagi mengatakan: Ucapan “laa haula walaa
quwwata illaa billah” itu tidak bisa menghilangkan lapar,
maka ia kafir. Dan jika ia mengatakan; Aku tidak takut
pada hari kiyamat, ia kafir.
Dan jika ditimpa musibah lalu ia mengatakan; Ia
(Alloh) telah mengambil hartaku, anaku, ini dan itu, lalu
apa yang akan IA lakukan   lagi, maka ia akan kafir. Dan
jika ada seseorang mengatakan kepadanya; wahai orang
yahudi atau wahai orang nasrani, lalu ia menjawab; Ya,
maka ia kafir. Ini dinukil oleh  Ar Roofi’iy  dan ia tidak
mengomentarinya.  An Nawawiy berkata; Dalam
masalah ini tidak benar jika ia tidak berniat apa-apa,
wallohu a’lam. dan jika seorang pendidik anak
mengatakan; sesungguhnya  yahudi jauh  lebih baik dari
pada orang-orang Islam karena mereka  memberikan
hak-hak pendidik anak mereka, maka ia kafir, inilah
yang dinukil oleh Ar Roofi’iy dari sahabat-sahabat Abu
Haniifah rh., dan beliau tidak mengomentarinya begitu
pula An Nawawiy. Saya katakan; Kata-kata semacam ini
banyak terjadi pada pegawai-pegawai dan buruh-buruh,
sedangkan untuk mengkafirkannya tidak dibenarkan
karena mengeluarkan seorang muslim dari dinnya
lantaran mengucapkan kata-kata yang masih
mengandung kemungkinan yang bisa dibenarkan, apa
lagi jika terdapat  qoriinah  yang menyertainya yang
menunjukan bahwa yang dimaksud adalah perlakuan 
mereka lebih baik dari pada perlakuan orang-orang
Islam, terlebih lagi jika ia menyatakan bahwa inilah yang
ia maksudkan atau terdapat jelas pada kata-kata seperti
kasus di atas. wallohu a’lam. 
Inilah contoh-contoh murtad yang disebabkan
perkataan, dan sebagaimana kamu lihat pada perkataan-perkataan
yang masih mengandung kemungkinan, dan
sebagaimana kamu lihat pada perkataan-perkataan yang
masih mengandung kemungkinan, diperselisihan oleh
para ulama’ begitu pula perselisihan ini terjadi pada
perbuatan-perbuatan yang masih  muhtamilud dalaalah
(mengandung kemungkinan) di antaranya adalah apa
yang disebutkan oleh  Abu Bakar Al Hishniy  setelah
perkataannya di atas.
Beliau mengtakan: “Adapun kekafiran yang
dilakukan dengan perbuatan adalah seperti sujud
kepada patung, matahari dan bulan, dan melemparkan
mushaf pada kotoran dan sihir yang mengandung unsur
penyembahan kepada matahari, dan begitu pula
menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
patung, menghina salah satu dari nama Alloh atau salah
satu perintahNya atau ancamanNya atau membaca Al
Qur’an dengan di iringi  duff  (rebana), dan begitu pula
minum khomerdan berzina dengan membaca bismillah
sebelumnya sebagai penghinaan, sesungguhnya ia kafir.
Ar Roofi’iy  menukil dari sahabat-sahabat  Abu
Haniifah, jika ada seseorang yang memakai sabuk pada
tengah badannya ia kafir. Ia berkata: “Dan mereka
berselisih pendapat tentang orang yang memakai peci
orang majusi di atas kepalanya, namun yang benar ia
kafir. Dan jika seseorang mengikatkan tali pada tengah
badannya lalu ketika dia ditanya ia menjawab; ini sabuk,
maka kebanyakan berpendapat ia kafir dan Ar Roofi’iy
tidak mengomentari masalah itu.  An Nawawiy berkata
yang benar dia tidak kafir jika dia tidak punya niat.dan
apa yang dikatakan An Nawawiy dikatakan pula oleh Ar
Roofi’iy  pada awal kitab  Al Jinaayat pada masalah
keempat yang intinya ia sepakat dengan pendapat  An
Nawawiy dan bahwasanya hanya sekedar memakai
pakaian orang-orang kafir tidak menyebabkan murtad. 
Dan  Ar Roofi’iy  menukil dari sahabat-sahabat
Abu Haniifah bahwa apabila ada orang fasik
meminumkan khomer kepada anaknya lalu kerabat-kerabatnya
memberikan dirham dan dinar maka mereka
kafir, dan Ar Roofi’iy tidak berkomentar dalam masalah
ini. Dan An Nawawiy berkata; Yang benar mereka tidak
kafir. Dan jika ada seseorang melakukan perbuatan yang
disepakati oleh umat Islam bahwa perbuatan itu tidak
dilakukan kecuali oleh orang kafir, meskipun oarng yang
melakukan tersebut menyatakan bahwa dia Islam,
seperti sujud kepada salib, atau pergi ke gereja-gereja
bersama mereka dan menggunakan pakaian mereka
seperti dabuk dan yang lainnya, maka ia kafir.”
Kifaayatul Akhyaar II / 123-124. 
Jika kamu memperhatikan perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan kafir tersebut padahal ini
hanylah contoh dari sekian banyak yang terdapat pada
bab-bab murtad dalam buku-buku fikih, kamu akan
memahami banyak orang yang menganggap remeh
masalah-masalah yang membatalkan Islam, dan ini
semua disebabkan oleh tersebarnya kebodohan dan
diremehkannya diin. Anas bin Maalik ra, mengatakan:
ﺇﻧﻜﻢ ﻟﺘﻌﻤﻠﻮﻥ ﺃﻋﻤﺎﻻ ﻫﻲ ﺃﺩﻕ ﰲ ﺃﻋﻴﻨﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪﻫﺎ
ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﳌﻮﺑﻘﺎﺕ
“Sesungguhnya kalian menganggap perbuatan-perbuatan itu
lebih kecil daripada rambut, sedangkan kami menganggapnya
sebagai amalan-amalan yang menghancurkan pada masa
Rosululloh SAW” Hadits ini diriwayatkan oleh Al
Bukhooriy.
Inilah yang berkaitan dengan penjelasan
mengenai perkataanku --- dalam kaidah  takfiir  --- yang
berbunyi:  [berdasarkan  perkataan atau perbuatan
mukaffir].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar