Sabtu, 04 Juni 2011

IMAN DAN KUFUR 01

Tema iman dan kufur merupakan tema yang
paling penting dalam aqidah, karena ini merupakan
buah dari mempelajarinya, dan ia juga merupakan
praktek nyata dari aqidah. Dan kami akhirkan
pembahasan mengenai masalah ini karena pentingnya
permasalahan ini. Meskipun tujuan pokok kami di sini
adalah menunjukkan buku-buku yang mudah untuk
dijadikan referensi, namun kami akan menyampaikan
beberapa permasalahan penting yang dapat membantu
thoolibul ‘ilmi (seorang pelajar) untuk memahami tema ini
dari buku-buku yang akan kami sarankan untuk
dipelajari, insya Alloh. Atas dasar ini kami akan membagi
pembahasan ini dalam 4 masalah, yaitu:  Urgensi tema
ini, kemudian tema-tema yang terkandung dalam materi
iman, kemudian  dlowaabithut takfiir  (patokan-patokan
dalam mengkafirkan orang) kemudian referensi-referensi
terpenting dalam tema ini.                                       ……………………………….                3
Iman dan Kufur 


MASALAH PERTAMA: 
Urgensi Tema Iman dan Kufur

Tidak berlebihan jika kami katakan bahwa tema
iman dan kufur itu merupakan tema yang paling penting
yang terdapat dalam seluruh diin, karena banyaknya
hukum-hukum yang ditimbulkannya baik di dunia
maupun di akherat. Alloh Ta’aalaa berfirman:
ﺃﻡ ﺣﺴﺐ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺟﺘﺮﺣﻮﺍ ﺍﻟﺴﻴﺌﺎﺕ ﺃﻥ ﳒﻌﻠﻬﻢ ﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ
ﻭﻋﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼﺎﳊﺎﺕ ﺳﻮﺍﺀ ﳏﻴﺎﻫﻢ ﻭﳑﺎﻢ ﺳﺎﺀ ﻣﺎ ﳛﻜﻤﻮﻥ
Apakah orang-orang yang berbuat buruk itu menyangka
bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang
beriman dan beramal sholih sama saja baik waktu hidup dan
pada waktu mati. Sungguh jelek apa yang mereka tetapkan.
(QS. Al Jaatsiyah: 21).
Adapun dampaknya di akherat: sesungguhnya
manusia itu masuk  jannah (syurga) atau  naar (neraka)
ditentukan oleh iman dan kufur.
Dan adapun dampaknya di dunia: hukum-hukum
yang ditimbulkan banyak sekali diantaranya adalah:
1. Dalam permasalahan  siyaasah syar’iyah, yaitu
permasalahan yang berkaitan dengan para penguasa dan
pemerintahan di suatu negeri. Sesungguhnya hukumhukum iman dan kufur
yang berkaitan dengan
permasalahan ini sangatlah urgen, karena ia mempunyai
dampak kepada seluruh kaum muslimin, dan bukan
hanya kepada sebagian umat Islam. Karena
sesungguhnya Alloh telah mewajibkan kaum muslimin
untuk mentaati dan membela penguasa muslim,
sebagaimana Alloh telah mengharamkan mereka
mentaati dan membantu penguasa kafir. Dan Alloh
memerintahkan untuk memecat penguasa muslim
apabila dia melakukan kekafiran. Oleh karena itu para
ulama’ mengatakan; wajib bagi setiap muslim untuk
mengetahui keadaan penguasanya. (Lihat  Al
Mustashfaa, karangan  Abu Haamid Al Ghozaaliy II /
390). Urgensi ini dapat kita pahami kalau kita memahami
bahwa negara-negara yang diperintah berdasarkan
undang-undang buatan manusia –-- sebagaimana
keadaan berbagai negeri kaum muslimin pada hari ini –--
mempunyai  dampak hukum yang sangat berbahaya
yang harus diketahui oleh setiap muslim, supaya orang
yang binasa ia binasa berdasarkan ilmu dan orang yang
hidup ia hidup berdasarkan ilmu. Hukum-hukum
tersebut diantaranya:

A. Bahwa sesungguhnya para penguasa negara-negara
tersebut kafir,  kufur akbar yang berarti telah keluar
dari Islam.


B. Para  qoodliy  (hakim) di negeri tersebut adalah orang
kafir  kufur akbar, yang dengan demikian haram
hukumnya bekerja menjadi hakim.
Dan dalil atas
kafirnya para penguasa dan hakim tersebut adalah
firman Alloh Ta’aalaa:
ﻭﻣﻦ ﱂ ﳛﻜﻢ ﲟﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﷲ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻫﻢ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻭﻥ
Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan
hukum yang diturunkan Alloh, maka mereka adalah orangorang kafir. (QS. Al Maa-idah: 44).
Dan masalah ini akan kami singgung kembali ketika
membahas tentang kesalahan-kesalahan dalam
mengkafirkan di akhir pembahasan ini. Juga dalam
pasal ini, pembahasan ke 8 tema ke 4, yang khusus
membahas tema  “memutuskan perkara dengan selain
hukum yang diturunkan Alloh”. Di sana kami
cantumkan bantahan-bantahan singkat terhadap
beberapa syubhat yang muncul mengenai
menjadikan ayat ini sebagai dalil dalam masalah ini,
insya Alloh, maka kajilah tema tersebut.

C. Bahwa sesungguhnya tidak boleh berhukum
(menyelesaikan perkara) kepada pengadilanpengadilan di negara-negara tersebut dan tidak boleh
juga melaksanakan keputusan-keputusannya, dan
barang siapa yang berhukum kepada undang-undang
mereka dengan sukarela maka dia juga kafir.


D. Bahwa sesungguhnya anggota lembaga perundangundangan (dewan legislatif) di negara-negara
tersebut –-- seperti parlemen, dewan perwakilan
rakyat dan yang serupa dengan itu --– mereka kafir
kufur akbar.
Karena merekalah yang mengijinkan
(mengesahkan) berlakunya undang-undang kafir ini.
Dan merekalah yang membuat undang-undang yang
baru.

E. Bahwa sesungguhnya orang-orang yang ikut memilih
anggota parlemen tersebut, mereka kafir secara kufur
akbar.
Karena dengan memilih anggota parlemen
tersebut mereka telah menjadikan para anggota
parlemen tersebut sebagai Robb-Robb (tuhan-tuhan)
yang membuat undang-undang selain Alloh, karena
yang dijadikan patokan itu adalah hakekat sesuatu,
bukan namanya. Dan semua orang yang mengajak
atau memberi motivasi untuk mengikuti pemilihan
itu juga kafir.
Dan dalil atas kafirnya para wakil rakyat (parlemen)
adalah firman Alloh Ta’aalaa:
ﺃﻡ ﳍﻢ ﺷﺮﻛﺎﺀ ﺷﺮﻋﻮﺍ ﳍﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎﱂ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻪ ﺍﷲ
Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat
syariat diin yang tidak diijinkan oleh Alloh. (QS.  Asy
Syu’aroo’: 21).
Dan firman Alloh Ta’aalaa:
ﺍﲣﺬﻭﺍ ﺃﺣﺒﺎﺭﻫﻢ ﻭﺭﻫﺒﺎﻢ ﺃﺭﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﷲ
Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib
mereka sebagai robb-robb (tuhan-tuhan) selain Alloh. (QS.
At Taubah: 31).
Dan tidak ada perbedaan di kalangan  mufassiriin
(para ahli tafsir) bahwa  rubuubiyah (ketuhanan) yang
dimaksud dalam ayat ini adalah  tasyrii’ (pembutatan
syari’at) selain Alloh. Maka para wakil-wakil rakyat
(anggota parlemen) itu adalah robb-robb yang
merebut hak  tasyrii’ (pembuatan syariat) dari Alloh,
sedangkan orang-orang yang memilih mereka
sebagai anggota parlemen, mereka telah menjadikan
anggota-anggota parlemen itu sebagai robb-robb
selain Alloh. Dan telah berlalu pembahasan masalah
ini dalam buku ini pada awal bab IV dalam
pembahasan niat. Yaitu  dalam bantahan terhadap
fatwa  Syaikh Bin Baaz. Dan masalah ini akan kami
bahas secara detail dalam pembahasan ke-8, tema ke–
1 yaitu sebuah pembahasan khusus masalah  siyaasah
syar’iyyah, insya Alloh ta’aalaa.

F. Bahwa sesungguhnya haram hukumnya membai’at
para penguasa tersebut untuk menjadi penguasa di
negeri tersebut atau untuk tetap menjadi penguasa
sebagaimana yang terjadi pada polling pendapat
yang dilakukan khusus untuk itu.
Karena bai’at ini
bertujuan untuk melanggengkan kekafiran, dan
barang siapa yang bermaksud untuk itu maka dia
telah kafir. (Lihat Kitab Al Furuuq, karangan  Al
Quroofiy IV/118).

G. Bahwa sesungguhnya para tentara yang menjadi
pembela negara kafir tersebut adalah orang-orang
kafir kufur akbar, karena mereka itu berperang di jalan
thoghut.
Alloh Ta’aalaa berfirman:
ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻳﻘﺎﺗﻠﻮﻥ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ
Dan orang-orang kafir berperang di jalan thoghut. (QS.
An Nisaa’: 76).                                       ……………………………….                8
Iman dan Kufur 
Dan thoghut yang dia berperang dijalannya di sini
adalah thoghut dalam bidang hukum, yaitu yang
berupa undang-undang dan hukum buatan manusia,
dan berupa pemerintah yang menjalankan undangundang tersebut. Alloh Ta’aalaa berfirman:
ﻳﺮﻳﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﺤﺎﻛﻤﻮﺍ ﺇﱃ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ
Mereka hendak berhukum kepada thoghut.
Maka setiap orang yang dijadikan hakim selain Alloh
adalah thoghut. Dan juga yang termasuk terkena
vonis hukum kafir ini adalah setiap orang yang
membela negara kafir ini dengan cara berperang
seperti para tentara, atau yang membelanya dengan
ucapan seperti yang dilakukan oleh sebagian
wartawan, penyiar berita dan ulama’. Oleh karena itu
haram hukumnya untuk mengabdi menjadi tentara di
negara-negara kafir tersebut. Dan masalah ini akan
kami singgung di akhir pembahasan ini  insya Alloh,
dalam kritikan terhadap buku  Ar Risaalah Al
Liimaaniyah Fil Muwaalaah.

H. Bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi
seorang muslim untuk mentaati para penguasa
tersebut. Dan juga tidak wajib baginya untuk
mematuhi undang-undang negara tersebut.
Akan
tetapi ia bebas untuk melanggarnya semau dia asal
memenuhi 2 syarat: pertama, dia tidak melakukan
perbuatan yang dilarang secara  syar’iy, dan yang
kedua dia tidak mengganggu atau mendholimi orang
Islam.

I. Bahwa sesungguhnya negara yang menggunakan
undang-undang kafir adalah  Daaru Kufrin (negara
kafir), dan jika sebelumnya negara tersebut
menggunakan hukum syari’ah kemudian berganti
dengan undang-undang kafir sedangkan
penduduknya masih Islam, maka negara tersebut
adalah  Daaru Kufrin Thoori’ (negara kafir yang tidak
asli).
Dan kami akan menyinggung pembahasan
ahkaamud diyaar (hukum-hukum negara) pada akhir
pembahasaan ini insya Alloh.
Demikianlah, dan saya di sini bukan bermaksud
untuk membahas masalah ini secara detail, akan tetapi
saya hanya ingin mengingatkan urgensi memahami
hukum-hukum yang berkaitan dengan iman dan kufur
bagi setiap muslim. Dan yang saya sebutkan di sini
adalah yang berkaitan dengan Siyaasah Syar’iyah.
Kemudain kita lanjutkan pembicaraan tentang
hukum-hukum di dunia yang ditimbulkan oleh iman
dan kufur.
2. Dari sisi  ahkaamul walaayah (hukum-hukum
kekuasaan): kekuasaan orang kafir terhadap orang
muslim batal dalam berbagai bentuk: sehingga orang
kafir tidak boleh menjadi wali atau penguasa atau hakim
bagi kaum muslimin. Dan sholatnya batal sehingga tidak
boleh menjadai imam sholat. Dan barang siapa sholat di
belakangnya (sebagai makmum) sedangkan dia
mengetahui kekafiran orang tersebut maka sholatnya
batal. Dan orang kafir juga tidak boleh menjadi wali
nikah bagi seorang wanita muslimah, dan juga tidak 
menjadi  mahrom baginya meskipun dia adalah
kerabatnya yang asalnya bisa menjadi  mahrom secara
tetap. Dan orang kafir juga tidak boleh dipercaya untuk
mengurus harta orang Islam sehingga dia tidak bisa
menjadi penerima wasiyat. Dan orang kafir tidak boleh
diberi kesempatan untuk mengambil barang temuan di
dalam  Daarul Islaam (Negara Islam). Dan juga bentukbentuk kekuasaan yang  lainnya yang bermacam-macam.
3. Dari sisi hukum pernikahan orang kafir, dan
termasuk juga orang murtad, seperti  orang yang
meninggalkan sholat atau orang yang menghina Islam,
haram dinikahkan dengan seorang wanita muslimah. Ia
juga tidak bisa dijadikan wali nikah untuk wanita
muslimah. Dan apabila ketika menikah dia muslim
kemudian murtad maka nikahnya batal. Sehingga
apabila dia tetap menggauli istrinya berarti dia berzina.
Dan apabila anda perhatikan hal ini, niscaya anda
melihat bahwa mayoritas pernikahan yang terjadi
sekarang ini batal dan rusak sehingga tidak bisa
menimbulkan konsekuensi pernikahan apapun karena si
suami atau istri murtad sebelum menikah atau setelah
menikah. Maka masalah ini adalah sangat bahaya.
4. Dari sisi hukum warisan: perbedaan diin
merupakan penghalang untuk saling mewarisi. Dalam
hal ini  Ibnu Taimiyyah tidak sepandapat yang
kemudian diikuti oleh  Ibnul Qoyyim, menurut mereka
berdua orang Islam boleh mewarisi kerabatnya yang
kafir. Hal ini sebagaimana yang diuraikan secara panjang
lebar untuk mempertahankan pendapat ini oleh  Ibnul Qoyyim
dalam bukunya yang berjudul  Ahkaamu
Ahlidz Dzimmah II/462 dan hal. setelahnya, cetakan
Daarul ‘Ilmi Lil Malaayiin th. 1983. Dan pendapat
mereka berdua ini salah karena bertentangan dengan
nash-nash shohih yang jelas-jelas bertentangan dengan
pendapat keduanya. Mereka berdua berhujjah dengan
perkataan beberapa sahabat namun perkataan siapapun
tidak dianggap jika ada perkataan Rosululloh SAW
5. Dari sisi  ahkaamul ‘ishmah (hukum
perlindungan): sesungguhnya darah dan harta seseorang
itu tidak dilindungi kecuali dengan iman atau  aamaan
(jaminan keamanan). Yang dimaksud dengan iman
adalah: Islam secara hukum dhohir. Adapun amaan ada 2
macam: Pertama: yang bersifat sementara, yaitu jaminan
keamanan yang diberikan kepada orang yang meminta
jaminan keamanan untuk diperbolehkan masuk ke
Daarul Islam (negara Islam) namun tidak untuk menetap
di sana. Kedua: jaminan keamanan yang bersifat abadi
yaitu jaminan keamanan yang diberikan kepada orang
kafir  dzimmiy yang tinggal menetap di  Daarul Islam
dengan syarat dia harus memenuhi syarat-syarat untuk
mendapatkan jaminan keamanan.
Kedua macam jaminan keamanan ini diberikan
kepada orang kafir yang asli, adapun orang murtad tidak
ada jaminan keamanan baginya. Dan orang yang tidak
mendapatkan jaminan keamanan, baik orang kafir asli
maupun orang murtad, darah dan hartanya boleh
dirampas. Sehingga apabila kamu membunuh orang
yang tidak diketahui diinnya lalu diyakini setelah  itu
bahwa orang tersebut adalah orang kafir yang tidak
ma’shuum (mendapat jaminan perlindungan) atau orang
murtad, maka kamu tidak terkena hukum  qishoosh atau
diyat dari sisi hukum pengadilan (Al Hukmu Al
Qodhoo-iy). Adapun mengenai dosanya masih
diperselisihkan, hal ini desebabkan karena membunuh
orang yang tidak diketahui statusnya secara sengaja
padahal orang yang membunuh tersebut tidak
mengetahui status orang yang dibunuhnya, sehingga
masih mengandung kemungkinan bahwa yang
dibunuhnya adalah orang Islam. Namun jika kamu
membunuhnya dengan tidak sengaja maka kamu tidak
wajib membayar diyat atau kafaroh.
6. Dari sisi  ahkaamul janaa-iz (hukum-hukum
jenazah): orang kafir tidak dimandikan, tidak
disholatkan dan tidak dikuburkan di kuburan kaum
muslimin. Dan orang Islam tidak boleh berdiri di atas
kuburannya ketika ia ditimbun, atau memintakan
ampunan kepadanya meskipun dia boleh mengiringi
jenazahnya. Ini termasuk kesempurnaan baroo’ terhadap
orang-orang kafir ketika mereka masih hidup dan ketika
mereka sudah mati. Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻭﻻ ﺗﺼﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺎﺕ ﺃﺑﺪﺍ ﻭﻻ ﺗﻘﻢ ﻋﻠﻰ ﻗﱪﻩ ﺇﻢ
ﻛﻔﺮﻭﺍ ﺑﺎﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
Janganlah kamu menyolatkan seorangpun dari mereka yang
mati dan jangan pula kamu berdiri di atas kuburnya, karena
sesungguhnya mereka kafir kepada Alloh dan RosulNya.
(QS.At Taubah: 84).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻣﺎﻛﺎﻥ ﻟﻠﻨﱯ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﻐﻔﺮﻭﺍ ﻟﻠﻤﺸﺮﻛﲔ ﻭﻟﻮ
ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭﱄ ﻗﺮﰉ
Tidak sepatutnya seorang Nabi dan orang-orang beriman
memintakan ampun untuk orang-orang musyrik walaupun
mereka itu kerabat mereka. (QS. At Taubah: 113).
7. Hukum  Al Walaa’ (loyalitas) dan  Al Baroo’
(permusuhan): orang yang beriman wajib diberikan
walaa’ kepadanya sesuai dengan kadar keimanannya dan
haram berwalaa’ kepada orang kafir. Dan wajib  baroo’
kepada orang kafir. Dan bagi orang beriman wajib
membencinya karena Alloh dan menampakkan
permusuhan kepadanya sesuai dengan kemampuannya.
Dan tidak boleh membantunya sedikitpun pada hal-hal
yang membahayakan orang-orang Islam. Bahkan wajib
mempersempit orang kafir dengan tanpa
mendholiminya jika dia mu’aahad (orang yang mengikat
perjanjian damai dengan kaum muslimin-pentj.) atau
dzimmiy (orang kafir yang diberi jaminan keamanan
untuk hidup di negara Islam dengan syarat membayar
jizyah dan tunduk dengan hukum Islam-pentj.).
8. Ahkaamul hijroh: dibangun berdasarkan iman
dan kufur. Orang beriman wajib untuk hijroh dari
lingkungan orang-orang kafir semampu dia supaya dia
elamatkan diin dia dari fitnah mereka dan supaya dia
tidak memperbanyak jumlah mereka dan tidak
membantu mereka untuk memusuhi orang Islam.
9. Ahkaamul jihaad: dan hukum-hukum yang
menjadi konsekuensinya seperti memperlakukan
tawanan,  ghoniimah (harta rampasan perang-pentj.),  fai’
(harta rampasan yang diperoleh tanpa perang-pentj.),
jizyah (pajak orang kafir yang dilindungi di Daarul Islampentj.)
dan  khorooj (pajak tanah yang digarap orangorang kafir-pentj.). Semua ini dibuktikan berdasarkan
iman dan kekafiran.
10. Ahkaamud Diyaar (Hukum kenegaraan):
dibuktikan berdasarkan iman dan kekafiran. Seorang
muslim tidak boleh pergi ke  Daarul kufri (negara kafir)
kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh menetap di sana
kecuali ada  dloruuroh (kebutuhan yang mendesak).
Begitu pula orang kafir tidak boleh masuk  Daarul Islam
(negara Islam) kecuali dengan perjanjian dan tidak boleh
menetap di sana kecuali dengan membayar  jizyah. Dan
ada beberapa tempat yang mana orang kafir tidak boleh
menetap di sana yaitu  jazirah Arab. Dan ada beberapa
tempat yang mana orang kafir tidak boleh masuk yaitu
Al Harom.
11. Dan dari sisi  ahkaamul qodloo’ (hukum
pengadilan): kesaksian orang kafir terhadap orang Islam
tidak diterima sama sekali. Lebih dari itu orang kafir
tidak boleh menjadi  qoodliy (hakim) yang memutuskan
hukum terhadap kaum muslimin sebagaimana yang
telah kami sebutkan pada  ahkaamul wilaayah  (hukum
kekuasaan).
Kalau kita mau meneliti hukum-hukum yang
dibuktikan berdasarkan iman dan kekafiran ini dalam
buku-buku fiqih yang bermacam-macam tentu kita akan
dapatkan banyak sekali. Karena bejana orang-orang kafir
ada hukumnya, sembelihan mereka ada hukumnya dan
transaksi-transaksi keuangan seperti jual beli dan ijaaroh
(memberi upah untuk suatu pekerjaan) dengan orangorang
kafir ada hukumnya. Ini adalah pembahasan yang
sangat luas dan kita cukupkan dengan beberapa contoh
di atas. Sesungguhnya Alloh menjadikan makhluqnya
menjadi 2 golongan; Alloh Ta’aalaa berfirman:
ﻫﻮﺍﻟﺬﻱ ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻓﻤﻨﻜﻢ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻣﻨﻜﻢ ﻣﺆﻣﻦ
Dialah yang menciptakan kalian lalu diantara kalian ada yang
kafir dan ada yang mu’min. (QS. At Taghoobun: 2)
Dan Alloh  ta’aalaa tidak menyamakan antara dua
golongan tersebut, baik di dunia maupun di akherat.
Alloh Ta’aalaa berfiman:
ﺃﻓﻨﺠﻌﻞ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻛﺎﺮﻣﲔ ﻣﺎﻟﻜﻢ ﻛﻴﻒ ﲢﻜﻤﻮﻥ
Apakah Kami jadikan orang-orang Islam itu seperti orangorang jahat, bagaimana kalian membuat ketetapan? (QS. Al
Qolam: 35-36).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:                                       ……………………………….                 16
Iman dan Kufur 
ﺃﻓﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻛﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻓﺎﺳﻘﺎ ﻻﻳﺴﺘﻮﻭﻥ
Apakah orang yang beriman itu seperti orang yang faasiq,
mereka tidaklah sama. (QS. As Sajdah: 18).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻻﻳﺴﺘﻮﻱ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﳉﻨﺔ
Tidak sama penghuni naar (neraka) dan penghuni jannah
(surga). (QS. Al Hasyr: 20).
Berdasarkan ini, maka menyamakan antara dua
golongan tersebut adalah penentangan terhadap syariat
Alloh. Dan inilah dosa besar yang dilakukan oleh
undang-undang buatan manusia jahiliyah yang
mengatakan bahwa semua warga negara itu sama
kedudukannya di hadapan hukum, dan bahwa tidak ada
perbedaan antara mereka pada hak dan kewajiban
meskipun aqidah mereka berbeda, dan ketetapan-ketetapan
lain yang serupa. Dan melalaikan perbedaan
ini akan mengakibatkan kerusakan besar pada diin dan
dunia kaum muslimin. Dan tidak ada yang mendapat
untung darinya kecuali orang-orang kafir. Dan inilah
yang terjadi di dunia pada hari ini, yaitu berupa
rusaknya diin kaum muslimin, hancurnya dunia mereka
dan berkuasanya orang-orang kafir. Dan ketika hukum-hukum
yang ditentukan berdasarkan iman dan kekafiran
ini dipraktekkan akan terjadi pemisahan antara manusia
menjadi 2 kelompok. Kelompok orang beriman dan
kelompok orang kafir. Dan pemisahan ini merupakan
kunci dan permulaan jihad fii sabiilillah. Dan pada jihad
terletak kehidupan dan kemuliaan umat Islam
sebagaimana juga dengan jihad, orang-orang kafir akan
tunduk dan hina. Dan pemisahan manusia seperti ini
dicintai oleh Alloh  Ta’aalaa sebagaimana Alloh
berfirman:
ﻣﺎﻛﺎﻥ ﺍﷲ ﻟﻴﺬﺭ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﻧﺘﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﱴ ﳝﻴﺰ ﺍﳋﺒﻴﺚ ﻣﻦ
ﺍﻟﻄﻴﺐ
Sekali-kali Alloh tidak akan membiarkan orang-orang beriman
seperti keadaan kalian sekarang sampai Alloh memisahkan
yang buruk dari yang baik. (QS. Ali ‘Imroon: 179).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ﻟﻴﻤﻴﺰ ﺍﷲ ﺍﳋﺒﻴﺚ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻭﳚﻌﻞ ﺍﳋﺒﻴﺚ ﺑﻌﻀﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ
ﻓﲑﻛﻤﻪ ﲨﻴﻌﺎ ﻓﻴﺠﻌﻠﻪ ﰲ ﻟﺌﻚ ﻫﻢ ﺍﳋﺎﺳﺮﻭﻥ ﺟﻬﻨﻢ ﺃﻭ
Supaya Alloh memisahkan yang baik dari yang buruk dan
menjadikan yang buruk sebagaiannya di atas sebagian yang
lain maka Alloh menumpuknya dan memasukkannya semua ke
jahannam. Mereka itu adalah orang-orang yang rugi. (QS. Al
Anfaal: 37).
Dan begitu pula sesungguhnya sarana untuk pemisahan
ini, yaitu mempraktekkan hukum-hukum yang
didasarkan iman dan kufur, serta memberi kesaksian
kepada manusia, merupakan hal yang dicintai Alloh
ta’aalaa, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa:
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺃﻣﺔ ﻭﺳﻄﺎ ﻟﺘﻜﻮﻧﻮﺍ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ
Dan begitulah Kami jadikan kalian umat pertengahan (adil
dan pilihan) supaya kalian jadi saksi atas perbuatan manusia.
(QS. Al Baqoroh: 143).
Dan melalaikan semua ini berarti melalaikan diin Alloh
dan melalaikan apa yang dicintai dan diridloiNya. Lalu
bagaimana dengan orang yang menghalangi kaum
muslimin untuk membicarakan masalah iman dan kufur
dengan dalih bahwa kita akan selamat dari
ketergelinciran kalau kita menghindari pembicaraan
masalah ini? Lalu bagaimana kalau yang ikut-ikutan
menghalangi ini adalah dari kalangan aktifis dakwah
Islam? Bukankah ini merupakan bentuk kebodohan
terhadap diin Alloh dan bentuk kelemahan iman?
Sesungguhnya di antara aktifis dakwah Islam dan
memimpin jama’ah-jama’ah Islam pada hari ini, mereka
itu adalah sebagaimana yang disabdakan Rosululloh
SAW:
ﺍﲣﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺀﻭﺳﺎ ﺟﻬﺎﻻ ﻓﺴﺌﻠﻮﺍ ﻓﺄﻓﺘﻮﺍ ﺑﻐﲑ ﻋﻠﻢ ﻓﻀﻠﻮﺍ ﻭﺃﺿﻠﻮﺍ
Manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh lalu
pemimpin-pemimpin itu ditanya sehingga mereka menjawab
tanpa dasar ilmu maka mereka sesat dan menyesatkan.
(Muttafaqun ‘alaihi).
Orang yang tidak membedakan antara orang beriman
dan orang kafir, atau orang yang menghalangi untuk
melakukan hal itu, mustahil dia akan membela diin
Alloh atau mendakwahkannya berdasarkan kebenaran.
Sesungguhnya mebedakan antara orang beriman
dan orang kafir, masing-masing sesuai dengan ketentuan
syariat, tidak hanya berdampak pada individu-individu
saja akan tetapi dampaknya terhadap bangsa dan negara
lebih berbahaya lagi. Apakah yang menghalangi kaum
muslimin untuk menjalankan syariat islam di negara
mereka? Selain para penguasa kafir yang dikatakan oleh
antek-antek mereka dari kalangan ulama’-ulama’ sesat,
bahwa para penguasa tersebut adalah para penguasa
muslim. Dan para penguasa itu dibela oleh tentara-tentara
mereka yang kafir yang menyangka bahwa diri
mereka dan penguasa mereka adalah orang-orang
muslim. Apakah yang menyebabkan ini semua terjadi?
selain pembodohan yang disengaja dan penyesatan yang
terencana sejak puluhan tahun yang mengakibatkan
mayoritas kaum muslimin tidak mau memikirkan
masalah ini –-- yaitu masalah iman dan kufur, dan
membedakan antara orang beriman dan orang kafir –--
bahkan ini mengakibatkan mereka  jaahil murokkab
(kebodohan yang berlipat ganda) terhadap masalah ini,
yaitu mereka mempunyai keyakinan tentang masalah ini
dengan keyakinan yang bertolak belakang dengan yang
sebenarnya. Mereka memandang bahwa penguasa
mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa
dan mereka memandang orang-orang muslim yang
berjihad sebagai orang  Khowaarij yang sesat. Oleh
karena itulah dakwah mengalami kemunduran dan para
da’i (juru dakwah) menjadi orang-orang yang asing dan
tertindas. Dan inilah kenyataan yang terjadi di berbagai
negeri kaum muslimin pada hari ini. Oleh karena itu
tidak aneh kalau para ulama’ mengatakan bahwa setiap
muslim wajib mengetahui keadaan pemerintahnya
karena banyaknya hukum yang ditimbulkannya. (Lihat
Al Mustashfaa, karangan  Abu Haamid Al Ghozaaliy
II/390). Sesungguhnya kelalaian yang disengaja
terhadap permasalahan ini –-- yaitu permasalahan
membedakan antara orang Islam dan orang kafir –-- dan
memalingkan kaum muslimin dari masalah ini, tujuanya
adalah supaya kaum muslimin tidak mengerti musuh
mereka yang sebenarnya, yaitu para penguasa kafir yang
berada di dalam negeri mereka dan kekuatan kafir
internasional yang berada di luar negeri mereka, supaya
kaum muslimin tidak berjihad melawan musuh-musuh
mereka yang berada di dalam dan di luar negeri mereka.
Padahal tidak ada kehidupan dan kemuliaan bagi umat
Islam kecuali dengan jihad. Maka apabila jihad
ditinggalkan akan rusak diin dan dunia kaum muslimin,
dan orang-orang kafir akan berkuasa dan menebar
kerusakan di muka bumi. Dan inilah yang terjadi sejak
lama. Rosululloh SAW bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺗﺒﺎﻳﻌﺘﻢ ﺑﺎﻟﻌﻴﻨﺔ ﻭﺗﺒﻌﺘﻢ ﺃﺫﻧﺎﺏ ﺍﻟﺒﻘﺮ ﻭﺭﺿﻴﺘﻢ ﺑﺎﻟﺰﺭﻉ ﻭﺗﺮﻛﺘﻢ
ﺍﳉﻬﺎﺩ ﺳﻠﻂ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺫﻻ ﻻﻳﱰﻋﻪ ﺣﱴ ﺗﺮﺟﻌﻮﺍ ﺇﱃ ﺩﻳﻨﻜﻢ
Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘iinah (salah satu
bentuk riba), mengikuti ekor-ekor lembu, senang dengan
perkebunan dan meninggalkan jihad, pasti Alloh akan
timpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut
sampai kalian kembali kepada diin kalian. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad
hasan dari Ibnu ‘Umar).
‘Iinah adalah salah satu bentuk riba. Dan mengikuti ekor-ekor
lembu dan senang dengan perkebunan adalah
menunjukkan kecenderungan kepada dunia yang
diantara konsekuensinya adalah meninggalkan jihad. Ini
semuanya akan mengakibatkan kehinaan yang tidak
akan tercabut kecuali jika hal-hal yang menjadi
penyebabnya hilang.
Ini semua adalah penjelasan mengenai urgensi
materi iman dan kufur. Dan di dalam menerangkan
materi ini  Ibnu Taimiyyah rh berkata: “Apabila itu
semua sudah jelas, maka ketahuilah bahwa “Masaailut
Takfiir Wat Tafsiiq” (masalah mengkafirkan dan
menfaasiqkan orang) adalah “Masaailul asmaa’ Wal
Ahkaam” (masalah penamaan dan hukum) yang
berkaitan dengan al wa’du (pahala) dan al wa’iid (siksa) di
akherat, dan berkaitan dengan al muwaalah (loyalitas),
almu’aadaah (permusuhan), pembunuhan,  al-‘ishmah
(jaminan keamanan/perlindungan) dan lain-lain di
dunia. Sesungguhnya Alloh telah mengharuskan orangorang
beriman untuk masuk  jannah (surga) dan
mengharamkan orang-orang kafir untuk memasukinya.
Ini merupakan hukum-hukum yang bersifat umum yang
berlaku di setiap waktu dan tempat.” (Majmuu’
Fataawaa XII/468)  Ibnu Taimiyyah juga mengatakan:
“Sesungguhnya kesalahan dalam penamaan
(penyebutan) iman tidak sebagaimana kesalahan dalam
penamaan masalah-masalah baru atau kesalahan dalam
penamaan-penamaan lainnya, karena hukum-hukum
yang berlaku di dunia dan akherat tergantung pada
penamaan iman, islam, kufur dan nifaq (munafiq).”
(Majmuu’ Fataawaa  VII/395). Dia juga mengatakan:
“Dan di dalam pembicaraan masalah ini tidak ada
penamaan yang menentukan kebahagian, kesengsaraan,
pujian, celaan, pahala dan siksaan yang lebih besar
daripada penamaan iman dan kafir, oleh karena itu
kaidah ini disebut dengan Masaailul Asmaa’ Wal Ahkaam
(masalah penamaan dan hukum).” (Majmuu’ Fataawaa 
XIII/58). Dan Ibnu Rojab Al Hambaliy rh berkata: “Dan
permasalahan-permasalah ini: yaitu permasalahanpermasalahan
Islam, Iman, Kufur dan Nifaq (munafiq)
adalah permasalahan-permasalahan yang sangat besar
sekali. Karena sesungguhnya Alloh  ‘Azza wa Jalla
menentukan kebahagiaan, kesengsaraan, masuk  jannah
(surga) dan  naar (neraka) tergantung pada nama-nama
tersebut. Dan perselisihan yang pertama kali terjadi di
kalangan umat ini adalah pada pendefinisian namanama tersebut”.
(Jaami’ul Uluum Wal Hikam, hal. 27).
Dan  Ibnul Qoyyim rh berkata –-- ketika membahas
adanya  Saddudz Dzaro-i’ (mencegah sarana-sarana)
kejelekan dan kerusakan dalam syariat Islam, beliau
menyebutkan diantara contohnya --- : “Sesungguhnya
syarat-syarat yang dibebankan kepada  ahludz dzimmah
mengandung unsure membedakan antara mereka
dengan kaum muslimin pada pakaian, rambut,
kendaraan, dll, supaya kemiripan mereka tidak
mengakibatkan orang kafir diperlakukan sebagaimana
orang Islam. Maka sarana ini dicegah dengan
mewajibkan mereka untuk berpenampilan beda dengan
kaum muslimin.” (A’laamu Muwaqqi’iin III/157).
Kesimpulan dari permasalahan ini adalah: bahwa
buah dari pembahasan ini –-- yaitu pembahasan iman
dan kufur –-- adalah membedakan antara orang beriman
dan orang kafir supaya masing-masing dapat
diperlakukan dengan semestinya sesuai dengan syariat
Alloh  ta’aalaa, dan ini adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Kemudian, sesungguhnya keuntungan bagi
orang-orang kafir atau murtad jika dia mengetahui
bahwa dirinya kafir mungkin dia akan segera bertaubat
atau memperbaharui Islamnya. Sehingga hal ini lebih
baik baginya di dunia dan di akherat. Namun kalau kita
menyembunyikan hukumnya dan tidak
memberitahukan kekakafirannya atau kemurtadaannya
dengan alasan bahwa menjelaskan permasalah ini
akibatnya masih mengkhawatirkan. Lebih dari itu hal ini
berarti menyembunyikan dan menghancurkan rukunrukun Islam. Dengan demikian ini adalah kedholiman
terhadap orang kafir tersebut dan penipuan terhadapnya
dengan cara menghilangkan kesempatan baginya untuk
bertaubat apabila dia mengetahuinya. Karena
kebanyakan orang-orang kafir itu adalah:
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺿﻞ ﺳﻌﻴﻬﻢ ﰲ ﺍﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻫﻢ ﳛﺴﺒﻮﻥ ﺃﻢ ﳛﺴﻨﻮﻥ ﺻﻨﻌﺎ
Orang-orang yang sia-sia perbuatan mereka di dunia
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat baik.
(QS.Al Kahfi: 104).
Dan pada pembahasan tingkatan pertama yang
membahas ilmu khusus untuk orang awam, telah saya
katakan bahwa saya tidak menyuruh orang-orang awam
untuk berfatwa dalam masalah hukum-hukum yang
berdasarkan iman dan kufur, bahkan dia tidak boleh
melakukannya. Akan tetapi permasalahan ini wajib
menjadi pertimbangannya dalam berbagai muamalahnya
supaya dia meminta fatwa ketika membutuhkannya, atas
dasar wajibnya berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Adapun bagi  thoolibu ‘ilmi (pelajar) tingkat ketiga
yaitu tingkat spesialisasi dan dalam rangka proses untuk
menjadi mujtahid maka hendaknya perhatian dia
terhadap permasalahan ini harus lebih banyak lagi
dengan cara mempelajarinya secara memadai supaya
dirinya menjadi orang yang layak untuk berfatwa dalam
masalah ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar