Rabu, 08 Juni 2011

MEMBONGKAR SYUBHAT NEO MURJIAH YANG BERKEDOK SALAFI


(IMTAA’UN NADHR FI KASYFI SYUBUHAT MURJI’ATIL ‘ASHR)
 
PENULIS:

Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy

ALIH BAHASA:

Abu Sulaiman

Allah Ta’ala berfirman: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan kerjakan).” (Al An’aam: 112 – 113)
Sungguh di hadapanmu adalah ayat-ayat yang haq
~andai mendapat petunjuk orang yang menginginkan al haq dengannya~
Jadilah engkau penunjuk jalan
Namun, di hati-hati itu ada penutup yang banyak…
sehingga ia tak penuhi panggilan meskipun memperhatikan

Muqaddimah


Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, Kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan-kejelekan amal kami. Siapa orangnya yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.
Wa ba’du.
Ini adalah lembaran-lembaran yang aslinya telah saya tulis pada bulan Muharram tahun 1408 H seputar materi yang diisyaratkan dalam judul, dan saat itu saya hanya membatasi pada masalah itu dan saya namakan “Raddul Hudaati ‘Ala Man Za’ama An Laisa Fil A’maali Wal Aqwaali Kufrun Man Lam Yartabith Bi’tiqad Illashsholat” sebagai bantahan terhadap sebagian orang yang berpendapat seperti itu. Saya tidak begitu perhatian untuk menyebarkan dan menerbitkannya saat ini meskipun sebagian ikhwan kami di Pakistan telah mengetiknya, mengcopynya dan menyebarkannya di kalangan mereka, serta sebagian mereka menyertakan beberapa tambahan.
Kemudian sesungguhnya tatkala hari ini saya melihat keberadaan Murji-ah di negeri ini telah menjadi-jadi dan fitnah mereka makin mengakar dan menjalar serta menyebar di kalangan para pengekor, maka saya berpandangan untuk menyebarkannya supaya ikhwan kami para pencari Al Haq memanfaatkannya dalam membungkam segala syubhat Ahlut Tajahhum wal Irja (baca : salafiy maz’um, pent), maka saya kembali mengambil aslinya , lalu saya koreksi dan menambahkan terhadapnya bantahan-bantahan atas syubhat-syubhat lain yang berkaitan dengan materi ini dan tidak jauh dari aslinya. Dan tidak ada penghalang bagi kami di masa mendatang bila mereka menciptakan syubhat-syubhat baru yang lain dan ia menyebar, kami menggugurkannya dalam juz lain yang akan datang serta kami merontokkannya bila masih ada sisa umur dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya.
Bila kalajengking itu kembali datang
maka kami kembali menghadang
Sedang sandal selalu siap untuk menghajarnya.
Engkau akan melihat bahwa kami dalam pekerjaan ini tidaklah berbicara tentang suatu cabang dari cabang-cabang (ajaran Islam), namun ia adalah ashluddiin dan qaidahnya yang dengannya kami menghadang panah mereka yang telah sesat dan menyesatkan (manusia) dari jalan yang lurus. Kami meminta kepada Allah ta’ala agar memberikan keikhlasan kepada kami serta menjadikan kami dari hamba-hamba dan tentara-Nya al muwahhidiin…
Demikianlah … segala puji di awal dan di akhir hanyalah milik Allah, shalawat (dan salam) semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau seluruhnya.
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy, 1412 H
Pasal
Siapakah Murji-ah
Murji-ah ada tiga macam:
- Macam pertama mengatakan Al Irja dalam Al Iman dan Al Qadar sesuai aliran-aliran Qadariyyah dan Mu’tazilah.
- Macam lain berpaham Al Irja dalam Al Iman dan (berpaham) Jabriyyah dalam Al ‘Amal sesuai madzhab Jahmiyyah.
- Dan macam lain yang ke tiga keluar dari Jabriyyah dan Qadariyyah, dan mereka adalah berbagai firqah: Yunusiyyah, Ghassaniyyah, Tsaubaniyyah, Tumaniyyah, dan Mirrisiyyah.
Sebab mereka dinamakan Murji-ah adalah karena mereka mengakhirkan ‘amal dari Al Iman, karena irja’ maknanya adalah ta’khir (mengakhirkan), dikatakan: Arjaituhu wa arja-tuhu idza akhkhartuhu (bila saya mengakhirkannya).
Murji-ah dalam bab Al Iman ada dua macam:
Pertama: Ghulatul Murji-ah (Murji-ah Ahli Kalam)
Ke dua: Murji-ah Fuqaha’
Adapun Murji-ah Ahli Kalam, maka sungguh Jahm Ibnu Shofwan dan yang mengikutinya telah mengatakan: “Al Iman itu adalah sekedar tashdiq (pembenaran) dengan hati dan mengetahuinya”. Mereka tidak menjadikan amalan hati sebagai bagian dari Al Iman, serta mereka mengira bahwa seseorang bisa jadi dia itu mu’min kamilul iman dengan hatinya, sedangkan dia itu menghina Allah dan Rasul-Nya, memusuhi auliya Allah dan terhadap musuh-musuh Allah, dia menghancurkan mesjid dan menghinakan mushhaf dan mu’munin dengan puncak penghinaan serta memuliakan orang-orang kafir dengan puncak pemuliaan. Mereka berkata: “Ini semua adalah maksiat yang tidak menafikan keimanan yang ada di hatinya, akan tetapi ia melakukan hal ini sedangkan ia secara bathin di sisi Allah adalah mu’min”.
Mereka berkata: “Sebab diberlakukan baginya Ahkamul Kuffar di dunia ini adalah karena ucapan-ucapan ini adalah tanda terhadap kekafiran”.
Bila dinyatakan terhadap mereka bahasa Al Kitab, As Sunnah dan Ijma telah menyatakan bahwa seorang tertentu dari mereka itu kafir pada hakekat sebenarnya lagi di ‘adzab di akhirat. Maka mereka berkata ini adalah dalil yang menunjukkan lenyapnya tashdiq dan ‘ilmu dari hatinya. Kekafiran menurut mereka adalah hanya satu hal, yaitu kejahilan, dan iman juga adalah hanya satu hal, yaitu pengetahuan atau pendustaan hati dan pembenarannya. Sesungguhnya mereka berselisih apakah tashdiqul qalbi itu hal lain di luar al ‘ilmu atau ia itu suatu yang sama. Pendapat ini walaupun pendapat yang paling rusak yang dikatakan dalam hal al iman, namun ia telah dianut oleh banyak kalangan dari Ahlul Kalam yang Murji-ah. Dan salaf sendiri seperti Waki Ibnul Jarrah, Ahmad Ibnu Hambal, Abu ‘Ubaid dan yang lainnya telah mengkafirkan orang yang mengatakan pendapat ini, dan mereka berkata: Iblis kafir dengan nash Al Qur’an sedang dia hanya dikafirkan dengan sebab istikbarnya serta sikap penolakan untuk sujud (menghormati) kepada Adam bukan karena ia mendustakan berita, begitu juga Fir’aun dan kaumnya. Allah ta’ala berfirman:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal mereka meyakini (kebenaran)nya.” [An-Naml: 14].
Musa ‘as berkata kepada Fir’aun:
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” [Al Isra: 102]
Inilah Musa Ash Shadiq Al Mashduq mengatakan itu kepadanya, maka ini menunjukkan bahwa Fir’aun itu telah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat-ayat itu, sedangkan dia itu tergolong makhluk Allah yang paling besar pembangkangan dan sikap aniayanya karena sebab keburukan keinginan dan maksudnya, bukan karena ketidaktahuannya, Allah Subhaanahu wata’ala berfirman:
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” [Al Qashash: 4]
Begitu juga orang Yahudi yang telah Allah firmankan tentang mereka:
“Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” [Al Baqarah: 146]
Dan begitu pula kaum musyrikin yang telah Allah firmankan tentang mereka:
“Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” [Al An’am: 33]
Adapun Murji-ah Fuqaha’, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa Al Iman itu tashdiqul qalbi dan ucapan lisan, sedang amal itu bukan bagian dari darinya, dan diantara mereka segolongan dari ahli fiqih Kufah dan ahli ibadahnya, serta pendapat mereka itu tidaklah seperti pendapat Jahm, maka mereka itu mengetahui bahwa orang itu tidak menjadi mu’min bila tidak menyatakan keimanannya padahal dia mampu melakukannya, dan mereka mengetahui bahwa iblis, Fir’aun, dan yang lainnya adalah kafir meskipun hati mereka membenarkannya, akan tetapi mereka bila tidak memasukkan amalan-amalan hati dalam al iman maka lazim atas mereka pendapat Jahm, mereka juga tidak berpendapat akan bertambah dan berkurangnya keimanan dengan sebab amal, namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya al iman itu terjadi sebelum sempurnanya tasyri’, dengan arti bahwa setiap kali Allah menurunkan ayat maka wajib membenarkannya, sehingga tashdiq (pembenaran) ini tergabung dengan tashdiq yang sebelumnya, akan tetapi setelah sempurnanya apa yang Allah turunkan mereka tidaklah lagi iman yang bertingkat-tingkat menurut mereka, namun iman manusia seluruhnya sama, iman assabiqin al awwalin seperti Abu Bakar, dan ‘Umar adalah sama dengan iman manusia yang paling durjana seperti Al Hajjaj, Abu Muslim Al Khurasaniy dan yang lainnya.
Sedangkan irja pada masa kita ini adalah banyak, baik di kalangan orang-orang awam ataupun di kalangan orang-orang yang tergolong beragama :
• Di antara irja orang-orang awam adalah ucapan mereka yang masyhur: Iman itu di hati dan tidak memperhatikan amalan-amalan namun menerbengkalaikannya atau menyepelekannya serta meninggalkannya dengan dalih merasa cukup dengan baiknya hati dan kebersihan niat.
• Adapun irja orang-orang yang ber-intisab kepada dien atau dakwah yang kita munaqasyahi dalam kitab ini. Ia pada umumnya bukan dalam definisi al iman, karena mereka mendefinisikannya dengan definisi yang benar, mereka mengatakan: Al Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan amalan dengan jawarih dan arkan… atau mengatakan: Ia adalah ucapan dan amalan, dan ia adalah pendapat Ahlus Sunnah dalam Al Iman.
Namun saat mereka menerapkan hal itu terhadap waqi’ (realita) dan dalam sisi praktek terutama terhadap nawaqidlul iman, (maka) nampak di hadapan anda bahwa rukun ‘amal yang mereka tetapkan dalam definisi Al Iman adalah diterlantarkan pada mereka bahkan ia hampir gugur dan disia-siakan.
Ya memang mereka mengatakan – atau mayoritas mereka – bahwa Al Iman itu bertambah dengan amal shalih dan berkurang dengan maksiat, sebagaimana yang dikatakan Ahlus Sunnah, akan tetapi dosa-dosa seluruhnya menurut mereka adalah hal yang menguranginya kesempurnaan iman saja dan tidak ada pada dosa-dosa itu satupun yang menggugurkan ashlul iman, kecuali pada satu keadaan saja yaitu bila perbuatan dosa itu disertai juhud (pengingkaran) atau istihlal atau keyakinan, begitulah secara muthlaq apapun bentuk dosanya atau amalannya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sabdanya: “Iman itu tujuh puluh sekian cabang (dan dalam riwayat At Tirmidzi: Pintu) sedang yang paling tinggi (Dan dalam riwayat At Tirmidzi: yang paling tinggi) adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran dari jalan, sedangkan malu itu satu cabang dari Al Iman.” Hadist Riwayat Muslim dan Ashhabus Sunan dari hadist Abu Hurairah.
Seluruh cabang-cabang Al Iman dan pintu-pintunya adalah tidak sama, maka cabang (Laa Ilaaha Illallaah) itu tidaklah seperti cabang (rasa malu) atau (menyingkirkan kotoran dari jalan).
Akan tetapi di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia, maka iman berkurang saja seperti rasa malu.
Di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia, maka imanpun menjadi gugur seperti cabang laa ilaaha illallaah.
Khawarij dan orang yang sejalan dan mengikuti mereka dari kalangan Ghulatul Mukaffirah menjadikan lenyapnya cabang mana saja dari cabang-cabang Al Iman sebagai hal yang menggugurkan dan menghilangkan ashlul iman.
Kemudian datang Murji-atul ‘Ashr ( Neo Murji-ah atau Murji-ah Gaya Baru/MGB) – sebagai reaksi balik terhadap Khawarij dan madzhab mereka – terus mereka menjadikan lenyapnya cabang-cabang al iman seluruhnya hanya sekedar mengurangi al iman, dan tidak satupun darinya bisa menghilangkan atau menggugurkan ashlul iman, kecuali bila hal itu berkaitan dengan juhud atau keyakinan.
Dan kedua kelompok itu adalah sesat.
Adapun Ahlul haq dan Ashhabul Firqah An Najiyah Wath Tha-ifatul Manshurah, maka mereka itu pertengahan dalam abwabul iman wal kufr. Menurut mereka syu’abul iman (cabang-cabang keimanan) di antaranya ada yang mempengaruhi saja pada kamalul iman (kesempurnaan iman) dan tidak menghilangkannya, dan macam ini terbagi menjadi dua bagian, pertama: cabang yang tergolong kamalul iman al mustahabb dan ke dua : kamalul iman al wajib.
Dan di antara syu’abul iman ada yang menghilangkan ashlul iman dan menggugurkannya.
Sehingga menurut mereka Al Iman itu menjadi tiga macam:
• Cabang yang termasuk kamalul iman al mustahabb, yaitu hal yang dianjurkan oleh Allah dan tidak ada ancaman atas sikap tafrith di dalamnya.
• Cabang yang termasuk kamalul iman al wajib, yaitu yang ada ancaman dari Allah atas sikap tafrith di dalamnya dengan ancaman yang tidak sampai pada ancaman kekafiran.
• Dan cabang yang termasuk ashlul iman, yaitu yang tersusun dari setiap syu’bah (cabang) yang mana al iman lenyap dan gugur dengan lenyapnya.
Dan Ahlul Haq tidak membuat-buat di dalamnya, kemudian menjadikan suatu cabang termasuk dari macam ini atau itu kecuali dengan dalil syar’iy dan nash dari Allah ta’ala atau Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam:
“Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami.” [Al Baqarah: 32]
Dan firqah irja yang paling mirip dengan Murji-atul ‘Ashr dalam abwabul iman wal kufr itu adalah Murji-ah Mirrisiyyah : Murji-ah Baghdad pengikut Bisyir Ibnu Ghiyats Al Mirrisiy yang berpendapat dalam masalah Al Iman: “Sesungguhnya ia adalah tashdiq dengan hati dan lisan seluruhnya, dan bahwa sujud kepada berhala itu bukanlah kekafiran akan tetapi ia adalah dilalah terhadap kekafiran.”
Dan itu dikarenakan Murji-ah masa kita ini tidak memandang bahwa di sana ada kufur ‘amaliy yang mengeluarkan dari millah kecuali bila itu disertai dengan keyakinan, atau juhud atau istihlal, maka itu barulah kekafiran menurut mereka.
Sama saja baik itu termasuk masalah hinaan terhadap Allah ta’ala atau sujud kepada berhala atau tasyri’ (membuat hukum/UU) di samping Allah, atau memperolok-olok agama Allah, semua itu bukanlah kekafiran dengan sendirinya, namun ia adalah dalil yang menunjukkan bahwa pelakunya meyakini kekafiran, jadi kekafiran itu adalah keyakinannya atau pengingkarannya atau istihlalnya, sehingga dengan hal itu mereka telah membuka pintu keburukan lebar-lebar untuk merugikan ahlul Islam yang masuk darinya setiap mulhid, zindiq dan orang yang mencela dienullah dengan aman tentram. Kaum Murji-atul ‘Ashri itu menambalkan buat para thaghut murtaddin dan membela-bela mereka dengan syubhat-syubhat yang sama sekali tidak pernah terbesit di benak para thaghut itu, dan mereka sama sekali tidak pernah mendengarnya, serta mereka tidak mungkin mendapatkan tentara yang tulus yang mau membela-bela mereka dan menjadi benteng kebatilan mereka seperti kaum Murji-atul ‘Ashri itu, oleh sebab itu sebagian salaf berkata tentang irja: “Ia adalah dien yang menyenangkan para raja!!!”
Sebagian yang lain berkata tentang fitnah Murji-ah, bahwa ia: “lebih ditakutkan atas umat ini dari fitnah Khawarij.”
Dan mereka berkata: “Khawarij lebih kami udzur daripada Murji-ah.”
Dan ini bukan ucapan yang asal-asalan, akan tetapi ia adalah haq dan benar, Khawarij di antara dorongan sikap ghuluw dan penyimpangan mereka adalah bermula karena sikap marah saat larangan-larangan Allah dan batasan-Nya dilanggar – menurut klaim mereka – adapun Murji-ah, maka madzhab mereka itu menghantarkan pada pelanggaran batasan-batasan syar’iyyat, pelepasan diri dari ikatan dan dlawabith dieniyyah, serta membuka pintu-pintu riddah dalam rangka mempermudah orang-orang kafir dan memuluskan jalan bagi kaum zanadiqah.
Sungguh (pada) masa kita ini telah menyaksikan bantahan yang sangat banyak terhadap Khawarij Mu’ashirin dan terhadap ahlul ghuluw fittakfier sampai pasaran penuh sesak dengan buku-buku dan desertasi-desertasi seputar itu, dan pada mayoritasnya sangat kuat sikap aniayanya dan sangat lemah keobjektifannya.
Di sisi lain jarang sekali kita menemukan orang yang menulis rincian yang baik tentang irja, terutama irja masa kini dan para pelakunya, serta menghati-hatikan dari syubhat-syubhat mereka sebagaimana menghati-hatikan dari syubhat-syubhat Khawarij…
Mudah-mudahan kitab kami ini menutupi suatu dari kekurangan dalam bab ini, atau memberikan contoh yang baik sehingga memberikan motivasi terhadap ahlul ilmu untuk menulis dalam hal ini sebagai bentuk penjelasan akan al haq dan pembongkaran akan kepalsuan al bathil dan syubhat-syubhat al mubtadi’ah yang mencoreng al haqqul mubin. Dan saya memohon kepada Allah agar dengannya Dia membuka telinga-telinga yang dungu, mata-mata yang buta dan hati yang tertutup, serta Dia menjadikannya sebagai perbuatan yang tulus untuk wajah-Nya yang mulia. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Khatamul Anbiya wal Mursalin, wa ba’du :
Ketahuilah – semoga Allah ta’ala merahmati kami dan engkau – bahwa telah sampai kepada kami ungkapan-ungkapan dari banyak kalangan yang mengaku berilmu dan berdakwah ilallah, yang intinya bahwa tidak ada satu ucapan atau amalan yang mana pelakunya dikafirkan dengan sebabnya kecuali bila hal itu berkaitan dengan keyakinan dan kalau tidak maka tidak (dikafirkan), dan mereka mengecualikan shalat, dan bisa saja sebagian mereka berhujjah dengan hadits Abdullah ibnu Syaqiq Al ‘Uqail ra: “Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatupun dari amalan yang meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat.” Diriwayatkan oleh At Tirmidzi.
Dan berhujjah pula dengan ucapan yang masyhur: “Dan kami tidak mengkafirkan orang muslim dengan sebab dosa selama ia tidak menghalalkannya”. Dan bisa jadi sebagian mereka menjadikannya marfu’ dan menjadikannya sebagai hadits.
Dan telah terjadi hiwar (diskusi) antara kami dengan sebagian mereka, dan kami utarakan sebagian contoh-contoh yang menyelisihi dan menggugurkan apa yang mereka tetapkan sebagai kaidah, seperti menghina (Allah), memperolok-olok (ajaran Islam), sujud terhadap berhala dan lain-lain.
Maka mereka berkata: “Sesungguhnya ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan semacam ini tidaklah muncul kecuali dari keyakinan. Maka orang yang menghina Allah atau yang memperolok-olok ajaran-Nya atau yang sujud terhadap berhala mesti ia itu menyembunyikan dari kerusakan keyakinan serta pelecehan akan dien dan ajaran-ajarannya hal yang mendorong dia untuk menghina atau memperolok-olokan dan perbuatan-perbuatan yang serupa dengan keduanya, jadi inilah kekafirannya bukan perbuatan-perbuatan itu, sehingga suatu amalan-amalan itu tidak dihukumi sebagai kekafiran kecuali dengan batasan ini.”
Dan ketahuilah bahwa asal masalahnya adalah hanyalah dihembuskan seputar permasalahan tahakum kepada thaghut dan bahwa pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila melakukannya sebagai bentuk juhud terhadap hukum Allah atau bentuk istihlal – mereka maksudkan para thaghut masa kini yang membuat hukum di samping Allah – terus mereka menjadikan kekafiran – atau batasan kekafiran – dalam perbuatan-perbuatan kekafiran ini adalah juhud dan istihlal, bukan perbuatan kekafirannya itu sendiri berupa tahakum kepada thaghut atau pembuatan hukum di samping Allah atau perolok-olokan terhadap dienullah atau celaan terhadap syariat Allah atau sujud terhadap selain Allah dan hal serupa lainnya.
Dan asalnya saya mengira bahwa pendapat yang buruk lagi kosong dari dalil ini hanya terbatas di kalangan kaum pengekor hingga saya melihat di antara kalangan yang intisab kepada ilmu dan aktif berdakwah serta terkenal lagi tersohor di kalangan awam dan orang-orang bodoh, ada orang yang melontarkan pemahaman yang cacat itu dan menyebarkannya serta mempromosikannya dalam rangka membela-bela para thaghut dan musuh-musuh dien ini dari kalangan para penguasa murtad. Maka saya cepat-cepat menulis lembaran-lembaran ini dalam rangka membungkam dan menggugurkan syubhat ini seraya saya memohon kepada Al Maula ‘Azza Wa Jalla untuk menjadikannya bermanfaat serta tulus karena Wajah-Nya, sesungguhnya Dia sebaik-baik pelindung dan penolong.
Pasal
Penjelasan Bahwa Di Antara Perbuatan Dan Ucapan
Ada Yang Merupakan Kekafiran Dengan
Sendirinya
Ketahuilah, bahwa syubhat ini bukanlah syubhat yang baru, namun ia adalah hal kuno yang diwarisi oleh para muqallid yang jahil itu dari guru-guru mereka dari kalangan orang-orang yang menyimpang dan sesat, semacam Jahm Ibnu Sofwan, Bisyr Ibnu Ghiyats Al Mirrisiy dan yang lainnya, baik lewat jalur al wijadah atau bisikan syaitan.
Di antara ucapan yang dinisbatkan kepada Bisyr Al Mirrisiy adalah ucapannya yang sangat keji: “Bahwa sujud kepada matahari dan bulan bukanlah kekafiran tapi ia adalah ciri atas kekafiran.” Jadi ia adalah ‘aqidah Jahm dan para pengikutnya.
Oleh sebab itu Al Imam Ibnu Hazm rh dalam Al Muhalla 13/498 pada konteks bahasan beliau tentang hinaan terhadap Allah Ta’ala: “Dan adapun hinaan terhadap Allah Ta’ala maka tidak ada di atas bumi ini seorang muslim pun yang menyelisihi bahwa ia adalah kekafiran dengan sendirinya (kufrun mujarrad), namun Jahmiyyah dan Asy’ariyyah yang mana keduanya adalah dua kelompok yang tidak dianggap, mereka menegaskan bahwa hinaan terhadap Allah Ta’ala dan menyatakan kekafiran, bukanlah kekafiran, sebagian mereka berkata: akan tetapi ia adalah dalil bahwa dia mengakui kekafiran, bukan bahwa dia itu kafir secara meyakinkan dengan sebab hinaan terhadap Allah Ta’ala.”
Saya berkata: “Amati hal ini dan keselarasannya dengan ucapan para du’at yang telah kami sebutkan tadi itu…”
Ibnu Hazm berkata: “Dan dasar mereka dalam hal ini adalah dasar yang buruk yang keluar dari ijma Ahlul Islam, yaitu bahwa mereka mengatakan: Al Iman itu adalah tashdiq dengan hati saja meskipun ia menyatakan kekafiran.”
Berkata juga di halaman 499: Kemudian dikatakan kepada mereka, dikarenakan mencela Allah Ta’ala itu bukan kekafiran menurut kalian, maka dari mana kalian mendapatkan alasan bahwa ia adalah dalil terhadap kekafiran?
Bila mereka berkata: “Karena orang yang mengucapkannya divonis dengan vonis kafir.”
Maka dikatakan kepada mereka: Dia divonis itu dengan ucapannya itu bukan dengan apa yang ada di dalam hatinya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala. Maka dia itu hanya divonis kafir dengan sebab ucapannya saja, jadi ucapannyalah yang merupakan kekafiran. Sungguh Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka suatu yang tidak ada di hati mereka, terus mereka menjadi kafir dengan sebab itu, seperti kaum Yahudi yang mengetahui kebenaran nubuwwah Muhammad saw seperti mereka mengetahui anak-anak mereka, namun demikian mereka itu kafir terhadap Allah Ta’ala secara pasti lagi meyakinkan karena mereka melontarkan kalimat kekafiran.
Dalam tempat yang sama beliau rahimahullah berkata: “Dan mereka (Ahlus Sunnah) tidak berselisih bahwa di dalamnya – yaitu Kitabullah – ada penamaan kekafiran dan pemastian vonis kafir terhadap orang yang melontarkan ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal, seperti firman-Nya Ta’ala: “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu Al Masih Ibnu Maryam.” [Al Maidah: 17], dan firman-Nya Ta’ala: “Dan sungguh mereka telah mengucapkan kalimat kekafiran itu dan mereka telah kafir setelah keislaman mereka.” [At Taubah: 74], maka terbukti secara sah bahwa kekafiran di sini adalah ucapan.”
Dan beliau berkata dalam Al Fashl : “Dan adapun Asy’ariyyah maka mereka berkata: Sesungguhnya hinaan orang yang menampakkan keIslaman terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dengan bentuk celaan yang paling busuk dan pernyataan pendustaan terhadap keduanya dengan lisan tanpa alasan taqiyyah dan tidak pula hikayah , serta pengakuan bahwa dia itu menganut hal itu, maka satupun dari hal itu bukanlah kekafiran. Kemudian mereka khawatir akan bantahan seluruh ahlul Islam terhadap mereka, maka mereka segera mengatakan: “Namun itu adalah dalil bahwa di dalam hatinya ada kekafiran.”
Bahkan beliau dalam tempat yang sama menukil dari Asy’ariyyah bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya iblis tidak menjadi kafir dengan sebab ia durhaka kepada Allah Ta’ala dengan bentuk tidak sujud kepada Adam dan tidak pula dengan sebab ucapannya (saya lebih baik darinya), namun ia kafir hanya dengan pengingkaran terhadap Allah Ta’ala yang ada di dalam hatinya.
Kemudian beliau berkata: “Dan ini menyelisihi Al Qur’an, dan menerka-nerka yang tidak diketahui kebenarannya kecuali orang yang diberitahu oleh iblis itu sendiri, namun si syaikh (iblis) itu tidak tsiqah (tidak bisa dipercaya) dalam apa yang dia kabarkan…”
Dan berkata halaman 76: “Dan telah kami berikan bantahan habis terhadap penganut pendapat yang terlaknat ini dalam kitab kami yang berjudul “Al Yaqin Fin Naqdli ‘Alal Mulhidin Al Muhtajjin ‘An Iblis Al La’iin wa Saa-iril Kaafirin.”
Saya berkata: Dan saya belum menemukan kitab ini, namun beliau mengatakan dalam kitabnya “Al Fashlu Fil Milal wal Ahwa wan Nahl” dalam bantahannya terhadap Al Jahmiyyah dan Al Murji-ah suatu yang mencukupkan dan memuaskan orang yang dahaga. (lihat Al Juz ke tiga hal 239 dan seterusnya…)
Dan di antara hal itu adalah ucapannya: “Dan adapun ucapan mereka bahwa hinaan terhadap Allah Ta’ala bukanlah kekafiran dan begitu juga hinaan terhadap Rasulullah saw, namun ia adalah dalil bahwa di dalam hatinya ada kekafiran,” beliau berkata: Maka ia adalah sekedar klaim, karena Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bersumpah dengan (Nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah kafir sesudah Islam.” [At Taubah: 74]
Allah – Ta’ala – menegaskan bahwa di antara ucapan itu ada yang merupakan kekafiran.
Dan Dia Ta’ala berfirman: “Apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” [An Nisaa: 140]
Allah Ta’ala menegaskan bahwa di antara pembicaraan akan ayat-ayat Allah – Ta’ala – ada yang merupakan kekafiran dengan sendirinya yang bisa didengar.
Dia Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu sekalian berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu, maka Kami akan mengazab golongan yang lain.” [At Taubah: 66]
Dia – Ta’ala – menegaskan bahwa memperolok-olok Allah – Ta’ala – atau ayat-ayat-Nya atau seorang dari rasul-rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Al Iman, dan Allah – Ta’ala – tidak mengatakan dalam hal itu bahwa Aku telah mengetahui bahwa di dalam hatinya ada kekafiran, akan tetapi Dia Memvonis kafir mereka dengan perolok-olokan itu sendiri.
Dan siapa mengklaim selain ini maka dia telah menisbatkan ucapan kepada Allah apa yang tidak pernah Dia katakan serta berdusta atas nama Allah ta’ala.” Selesai 3/244.
Beliau berkata juga dalam Al Fashl 3/253 dalam bantahannya terhadap Ahlul Irja: (Seandainya seseorang berkata: Sesungguhnya Muhammad – ‘alaihishshalatu wassalam – adalah kafir dan semua yang mengikutinya adalah kafir, dan terus dia diam sedangkan dia bermaksud bahwa mereka itu kafir terhadap thaghut, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Siapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak mungkin putus.” [Al Baqarah: 256], tentu tidak seorangpun dari Ahlul Islam berselisih bahwa orang yang mengatakan hal ini divonis kafir.
Begitu juga seandainya ia berkata bahwa iblis, Fir’aun dan Abu Jahal adalah mu’minin, tentu seorangpun dari Ahlul Islam tidak menyelisihi bahwa orang yang mengatakannya divonis kafir, padahal dia memaksudkan bahwa itu mu’minin terhadap ajaran kafir…” Selesai.
Saya berkata: “Maka absahlah bahwa kita mengkafirkannya dengan sekedar ucapan dan perkataan kafirnya, dan kita tidak memiliki urusan dengan rahasia keyakinannya. Begitulah setiap orang menampakkan ucapan atau amalan kafir, maka kami mengkafirkannya dengan sekedar ucapan atau perbuatan itu, karena keyakinan yang disimpannya tidak diketahui, kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk mengorek isi hati manusia” sehingga orang yang mengklaim selain ini adalah orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, sedangkan orang yang mengklaim mengetahui yang ghaib tidak ragu adalah dusta.
Dan Allah Ta’ala bersaksi bahwa Ahlul Kitab mengetahui al haq dan menyembunyikannya, mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala haq dan bahwa Muhammad saw Rasulullah adalah haq, dan mereka menampakkan dengan lisan mereka hal yang menyelisihinya, sedangkan Allah Ta’ala sama sekali tidak menamakan mereka kafir, kecuali dengan apa yang nampak dari mereka dengan lisan dan perbuatan mereka.”
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” [An Naml:13-14]
Ibnu Hazm berkata: “Dan ini juga nash yang jelas yang tidak mengundang pentakwilan bahwa orang-orang kafir mengingkari dengan lisan mereka ayat-ayat (mu’jizat-mu’jizat) yang dibawa oleh para nabi – ‘alaihimushshalatu wassalam – dan mereka meyakini dengan hati mereka bahwa ia adalah haq.”
Dan beliau rh berkata: Sebagian mereka berhujjah pada tempat ini dengan ucapan Al Akhthal An Nashraniy semoga Allah melaknatnya, di mana dia berkata :
Sesungguhnya ucapan itu adanya di hati dan hanyasanya
Dijadikan lisan sebagai dalil atas apa yang ada di hati
Beliau berkata: Maka jawaban kami terhadap ihtijaj ini adalah kami mengatakan : Terlaknat, terlaknat orang yang melontarkan bait syair ini, dan terlaknat pula orang yang menjadikan ucapan Nashraniy ini sebagai hujjah dalam dienullah ‘azza wa jalla. Dan ini bukan tergolong bab lughah (bahasa) yang mana bisa dijadikan hujjah di dalamnya dengan ucapan orang arab meskipun dia kafir, akan tetapi ia adalah masalah ‘aqliyyah, di mana akal dan hissiy (hal yang kongkrit bisa diraba indra) mendustakan baik ini, dan masalah syar’iyyah, di mana Allah ‘Azza wa Jalla lebih benar dari orang nasrani terlaknat ini di mana Dia ‘Azza wa Jalla berfirman:
“mereka mengatakan dengan mulut mereka apa yang tidak ada di hati mereka.” [Ali Imran: 167]
Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara manusia ada orang yang mengatakan dengan lisannya suatu yang tidak ada di dalam hatinya, berbeda dengan ucapan Al Akhthal la’anahullah.
Adapun kami akan membenarkan Allah ‘Azza wa Jalla dan mendustakan Al Akhthal, dan semoga Allah melaknat orang yang menjadikan Al Akhthal sebagai hujjah dalam dien-Nya, dan cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” Selesai 3/261.
Dan berkata 3/262: “Dan Dia ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan. Sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridlaanNYA, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 25-28]
Beliau berkata: Allah Ta’ala menjadikan mereka murtad kafir setelah mereka mengetahui al haq dan setelah jelas petunjuk bagi mereka dengan sebab ucapan mereka terhadap orang-orang kafir apa yang telah mereka ucapkan saja. Dan Dia Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia mengetahui rahasia mereka, serta Dia Ta’ala tidak mengatakan bahwa itu adalah juhud atau tashdiq, bahkan telah sah bahwa dalam rahasia mereka itu ada tashdiq, karena petunjuk telah jelas di hadapan mereka, sedangkan orang yang telah jelas baginya sesuatu maka sama sekali tidak mungkin mengingkarinya dengan hati.
Dan beliau rh berkata tentang firman-Nya Ta’ala:
“Mereka bersumpah dengan (Nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (ucapan yang menyakitimu), padahal sungguh mereka telah mengatakan kalimat kekafiran dan mereka telah kafir setelah mereka Islam.” [At Taubah: 74] : “Maka sahlah dengan nash Al Qur’an bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekafiran tanpa taqiyyah, maka dia telah kafir setelah keIslamannya, kemudian sah pula bahwa orang yang meyakini keimanan dan dia mengucapkan kekafiran, maka dia itu di sisi Allah Ta’ala adalah kafir dengan nash Al Qur’an.” Hal 339 dari kitab Ad Durrah Fiima Yajibu I’tiqadu.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu kepada sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” [Al Hujurat: 2]
Ini adalah nash yang jelas dan khithab terhadap kaum mu’minin bahwa iman mereka gugur secara keseluruhan dan amalan mereka hapus dengan sebab meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi saw tanpa ada pengingkaran sama sekali dari mereka, dan seandainya ada pengingkaran dari mereka tentulah mereka menyadarinya, sedangkan Allah Ta’ala mengabarkan kita bahwa hal itu terjadi sedang mereka tidak menyadari. Sehingga sahlah bahwa di antara amalan badan ada yang merupakan kekafiran yang menggugurkan keimanan pelakunya secara total.
Di antara amal badan ada yang bukan kekafiran, namun itu harus sesuai dengan apa yang Allah tetapkan dalam itu semua dan tidak boleh ditambahi.
Saya berkata: “Dan ini adalah al haq yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
Dan tidak seperti apa yang dikatakan oleh kaum Khawarij yang sesat bahwa seluruh dosa dari amalan badan adalah kekafiran yang membatalkan keIslaman.
Dan tidak juga seperti apa yang dikatakan Murji-atul ‘Ashr yang sesat bahwa seluruh amalan dan dosa di pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan i’tiqad.
Namun al haq adalah bahwa di antara sekedar amalan ada yang membatalkan dan merobohkan al iman sebagaimana telah nampak dan jelas di hadapan anda. Dan diantaranya ada yang menafikan kamalul iman saja, sehingga ia menguranginya dan tidak menggugurkannya kecuali dengan istihlal atau juhud.
Rincian ini telah disia-siakan dan ditinggalkan Khawarij dengan sebab sikap ifrath mereka dan Murji-ah dengan sebab tafrith mereka. Sedang keduanya adalah dua kelompok yang sesat, bahkan ada ungkapan yang dinisbatkan kepada Ibrahim An–Nakhai: Sungguh fitnah Murji-ah lebih ditakutkan terhadap umat ini dari fitnah Azariqah.”
Dan ucapannya: Khawarij lebih saya udzur daripada Murjiah.”
Dan Al Auza’iy berkata: Yahya dan Qatadah mengatakan: “Tidak ada satupun dari ahwa yang lebih mereka takutkan atas umat ini daripada Irja.”
Dan tidak ragu lagi bahwa Irja adalah reaksi balik atas fitnah khuruj (penentangan) terhadap pemerintah yang aniaya dan akibat yang ditimbulkan karenanya berupa pemenjaraan, pembunuhan dan berbagai penindasan, karena irja itu awal muncul dan penyebarannya adalah setelah kekalahan Abdurrahman Ibnul Asy’ats , akan tetapi ia adalah reaksi balik yang tidak terkekang dengan batasan-batasan syai’at, seperti keadaan Murji-atul ‘Ashr dalam kerancuan-kerancuan mereka yang pada umumnya adalah reaksi balik atas sikap ghulatul mukafffirah di zaman ini, bahkan atas ahlul haq yang mengkafirkan orang yang telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya saw dengan dalil, persis seperti sikap mudahanah dan kecenderungan mereka terhadap para pemerintah thaghut, maka ia pada umumnya adalah reaksi balik terhadap penganiayaan para thaghut terhadap ahluttauhid, pemenjaraan dan penyiksaan mereka.
Sedangkan pencari al haq tidak terkendali oleh reaksi balik ini, akan tetapi ia menyandarkan patokannya terhadap hadits Rasulullah saw tentang sifat Ath Thaifah Adh Dhahirah Al Manshurah: “Mereka tidak dirugikan oleh orang yang menyelisihi mereka dan orang yang menggembosi mereka.” Sehingga ia tidak terganggu atau menyimpang atau terpengaruh oleh ahlul ifrath maupun ahlut tafrith, namum ia tetap tegak di atas jalan yang putih yang diwariskan Nabi saw sampai ia berjumpa dengan Allah.
Dan setelah kami uraikan kepada Anda mayoritas ucapan Al Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, maka kami akan beranjak kepada ucapan Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seraya meminta fatwanya dalam masalah ini. Dan tidak ada maksud kami di balik itu selain memutus kerongkongan kaum sesat Murji-atul ‘Ashr yang sering mengutip sebagian ucapan beliau rh, karena hujjah itu bukanlah ucapan Ibnu Hazm atau ucapan Ibnu Taimiyyah atau yang lainnya, akan tetapi hujjah adalah firman Allah dan sabda Rasulullah saw. Dan siapa orangnya yang tidak merasa puas dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya, maka tidak perlu kami menyibukkan diri dengan orang-orang itu. Allah Ta’ala berfirman:
“Dengan perkataan mana lagi mereka akan beriman sesudah (firman) Allah dan keterangan-keterangan-Nya.” [Al Jaatsiyah: 6]
Siapa yang tidak merasa cukup dengan dua hal itu
Maka semoga Allah tidak melindungi dia dari keburukan kejadian zaman
Siapa yang tidak merasa puas dengan keduanya
Maka Tuhan Pemilik Arsy melemparnya dengan pengurangan dan keterhalangan
Sesungguhnya pembicaraan ini adalah bersama orang-orang besar
Dan bukan dengan orang-orang hina lagi rendah
Beliau rh berkata dalam kitabnya Ash Sharimul Maslul:
“Sesungguhnya menghina Allah atau menghina Rasul-Nya adalah kekafiran lahir dan batin, baik orang yang menghina itu meyakini bahwa itu diharamkan ataupun ia menghalalkannya atau lalai dari keyakinannya. Ini adalah madzhab para fuqaha dan seluruh Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa Al Iman itu ucapan, dan amalan … “ sampai ucapannya: “Dan begitu juga ulama madzhab kami dan yang lainnya mengatakan: Siapa yang menghina Allah maka dia kafir baik bercanda maupun main-main…” Beliau berkata: “Dan inilah yang benar lagi dipastikan … Dan berkata Al Qadli Abu Ya’la dalam Al Mu’tamad: Siapa yang menghina Allah atau menghina Rasul-Nya maka dia itu kafir baik ia menganggap halal hinaannya ataupun tidak menghalalkannya, terus bila ia berkata: saya tidak menghalalkan itu.” Maka ucapan itu tidak diterima darinya ….”
Dan berkata juga (515): “Dan wajib diketahui bahwa pendapat yang menyatakan bahwa kekafiran orang yang menghina (Allah dan Rasul-Nya) itu padahal yang sebenarnya hanyalah karena dia menganggap halal hinaannya itu, adalah kesalahan keji dan kekeliruan yang besar ….”
Dan sebab keterjerumusan orang yang terjerumus dalam kekeliruan ini hanyalah dengan sebab apa yang mereka cerna dari ucapan sekelompok muta’akhkhiril mutakallimin, yaitu Jahmiyyah wanita yang menganut madzhab Jahmiyyah pertama yang mengatakan bahasa Al Iman itu sekedar tashdiq yang ada di dalam hati ….”
Dan berkata hal (517): “Sesungguhnya hikayat yang disebutkan dari fuqaha bahwa bila ia menganggap halal, maka ia kafir dan bila tidak maka tidak kafir, adalah tidak memiliki dasar, namun hanyalah dinukil dari Al Qadli dari kitab sebagian mutakallimin.”
Dan berkata hal (516): “Sesungguhnya meyakini halalnya hinaan (terhadap Allah atau Rasul-Nya) adalah kekafiran baik itu disertai adanya hinaan atau tidak.”
Dan berkata pula: “Sesungguhnya bila yang menjadikan kafir itu adalah i’tiqad kehalalan, maka dalam hinaan tersebut tidak ada yang menunjukkan bahwa orang yang menghina itu menganggap halal, sehingga wajib untuk tidak dikafirkan apalagi bila ia berkata saya meyakini bahwa ini haram dan saya mengatakan hanya karena dongkol, kedunguan, iseng, atau main-main sebagaimana yang dikatakan oleh kaum munafiqun:
“Kami hanyalah senda gurau dan main-main.” [At Taubah: 65]
Bila dikatakan: “Mereka itu tidak menjadi kafir,” maka ini menyelisihi nash Al Qur’an.
Dan bila dikatakan: “Mereka itu menjadi kafir.” Maka itu takfir tanpa sebab yang memestikan (takfir). Bila ia tidak menjadikan hinaan itu sebagai hal yang mengkafirkan.
Dan ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak membenarkannya dalam hal ini”, adalah tidak lurus, karena takfir tidak boleh dengan hal yang muhtamal. Dan bila ia telah berkata: (Saya meyakini bahwa itu dosa dan maksiat dan saya melakukannya), maka bagaimana ia kafir bila hal itu bukan kekafiran?
Oleh karena itu Allah swt berfirman: “(Jangan kamu mencari alasan, sungguh kamu telah kafir setelah kamu beriman)” [At Taubah: 66], dan Dia tidak mengatakan: “kalian telah dusta dalam ucapan kalian.” “Kami hanyalah sendau gurau dan main-main” Allah tidak mendustakan mereka dalam alasan ini sebagaimana Dia mendustakan mereka dalam sekalian apa yang mereka tampakkan berupa alasan yang memestikan bersihnya mereka dari kekafiran seandainya mereka itu benar.
Bahkan dia menjelaskan bahwa mereka kafir setelah beriman dengan sebab canda dan main-main ini, dan bila telah jelas bahwa madzhab salaful ummah dan kalangan khalaf yang mengikuti mereka bahwa ucapan ini adalah kekafiran dengan sendirinya, baik si pelaku menghalalkannya ataupun tidak, maka dalil atas hal itu adalah semua yang telah kami ketengahkan.” Selesai dari Ash Sharimul Maslul hal 517.
Dan beliau rh berkata dalam tafsir firman-Nya Ta’ala:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran”. [An Nahl: 106]
Beliau berkata: “Seandainya mengucapkan kekafiran itu bukan kekafiran kecuali bila ia melapangkan dada dengannya, maka tentulah orang yang dipaksa tidak akan dikecualikan. Namun tatkala Allah mengecualikan yang dipaksa maka diketahuilah bahwa siapa orang yang mengucapkan kekafiran seraya tidak dipaksa maka ia telah melapangkan dadanya dengan kekafiran itu, dan ia adalah hukum dan bukan batasan buat hukum tersebut.”
Perhatikanlah ucapan terakhir …”ia adalah hukum dan bukan batasan buat hukum tersebut.” Karena ia sangat penting. Maka orang yang melontarkan kalimat kekafiran tanpa udzur syar’i maka ia itu kafir yang telah melapangkan dadanya dengan kekafiran itu, dan tidak dikatakan kita mesti melihat sampai mengetahui apa yang ada di dadanya, apakah dia meyakini atau menghalalkan atau tidak?
Dan begitu juga orang yang menghina Allah, Rasul-Nya dan dien-Nya adalah melapangkan dadanya terhadap kekafiran dengan hinaannya ini walaupun dia tidak memberitahukan hal itu kepada kita. Begitu juga orang yang sujud kepada berhala dengan kemauan sendiri maka dia telah melapangkan dadanya terhadap kekafiran dengan perbuatannya ini, dan tidak boleh dikatakan kita menunggu dulu apakah dia menghalalkan atau tidak, karena perbuatan-perbuatan ini adalah perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan dengan sendirinya. Dan begitu juga orang yang membuat hukum/undang-undang di samping Allah (musyarri’) atau orang yang mengikuti dan yang mencari penentu hukum (hakam), musyarri’, dan ma’bud selain Allah, maka dia itu telah melapangkan dadanya untuk kekafiran dengan sebab menjadikan dirinya sebagai thaghut yang diibadati dalam hal itu atau dengan sebab dia mengikuti thaghut, komitmen terhadapnya dan tahakum kepada aturannya, dan kita tidak boleh mengatakan kita melihat dulu apakah dia menghalalkan pembuatan hukum/UU/UUD bersama Allah dan meyakini atau tidak meyakininya.
Dan begitu juga orang yang memperolok-olok sesuatu dari ajaran Allah maka dia kafir dengan sebab perolok-olokannya itu sendiri lagi dia melapangkan dadanya untuk kekafiran meskipun dia tidak memberitahukan hal itu kepada kita, sehingga kita mengkafirkan dia dengan sebab sekedar istihzanya itu dan kita tidak tawaqquf sampai menanyakan kepada dia tentang keyakinannya dan istihlalnya, bahkan andaikata dia menegaskan bahwa dia tidak meyakini dan tidak istihlal maka tetap saja kami kafirkan dia dan kami katakan kepadanya sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan:
“Jangan kalian cari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” [At Taubah: 66].
Itu adalah vonis kafir sebagaimana yang dituturkan Syaikhul Islam dan bukan qaid (batasan) bagi kekafiran sebagaimana yang dijadikan oleh Murji-atul ‘Ashr. Dan seandainya hal yang ghaib lagi tersembunyi ini dianggap sebagai qaid bagi kekafiran dalam ’amal mukaffirah (perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan) tentulah Dienullah ini akan menjadi bahan mainan di tangan setiap zindiq.
Karena tidak ada seorang kafir pun ataupun musyrik melainkan dia mengklaim bahwa ia menyembunyikan ihsan, taufiq, iman, dan sikap lurus.
Dan Allah Sang Pembuat Hukum Yang Maha Bijaksana hanyalah mengkaitkan hukum-hukum syari’at – yang diantaranya takfier – di dunia ini dengan alasan-alasan dan sebab-sebab yang nyata lagi mudlabith, dan Dia tidak mengaitkan dengan sebab-sebab yang samar atau ghaib atau bathin, karena ini semua mengiringi hukum-hukum akhirat.
Kemudian kufur takdzib dan juhud itu tidak lain adalah salah satu macam dari macam-macam kekafiran dan ia bukan satu-satunya macam sebagaimana yang ma’lum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata juga dalam Al Fatawa 7/560: “Orang-orang yang berpaham dengan paham Jahm dan Ash Shalihiy telah menegaskan bahwa menghina Allah dan Rasul-Nya, dan melontarkan tatslits (trinitas) serta setiap kalimat dari kalimat-kalimat kekafiran bukanlah kekafiran secara hukum bathin (di hadapan Allah swt) namun ia adalah dalil dalam hukum dhahir terhadap kekafiran, dan bersama ini bisa saja orang yang menghina lagi mencela (Allah dan Rasul-Nya) ini dalam hukum bathin adalah orang yang mengenal Allah lagi bertauhid dan beriman kepada-Nya.
Dan bila ditegakkan atas mereka hujjah dengan bentuk nash atau ijma bahwa orang ini kafir lahir bathin.
Maka mereka berkata: Ini menuntut bahwa hal itu mengharuskan adanya takdzib yang tersembunyi. Maka dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya kami mengetahui bahwa menghina Allah dan Rasul-Nya secara sukarela tanpa paksaan, bahkan siapa yang melontarkan kalimat-kalimat kekafiran secara sukarela lagi tidak dipaksa, serta siapa yang memperolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya maka dia itu kafir lahir bathin. Dan bahwa orang yang mengatakan: Bahwa orang seperti ini bisa saja secara bathin adalah mu’min kepada Allah dan ia hanya kafir secara dhahir, maka ia telah mengatakan hal yang telah ma’lum kerusakannya secara pasti dari dien ini. Allah telah menyebutkan kalimat-kalimat kuffar dalam Al Qur’an dan Dia vonis kafir mereka dan menyatakan keberkahan mereka akan ancaman-Nya dengan sebab itu.
Seperti firman-Nya:
“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: “Bahwa Allah itu salah satu dari yang tiga.” [Al Maidah: 73]
Juga firman-Nya:
“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: “Bahwa Allah itu adalah Al Masih putera Maryam.” [Al Maidah: 72]
Dan yang serupa itu.” Selesai secara ikhtisar.
Dan berkata juga tentang ayat Surat An Nahl itu sendiri: “Dan sudah ma’lum bahwa Dia tidak memaksudkan dengan kekafiran di sini sekedar keyakinan hati, karena hal itu tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, sedangkan Dia telah mengecualikan orang yang dipaksa, dan Dia tidak memaksudkan orang yang mengucapkan dan meyakini, karena Dia telah mengecualikan orang yang dipaksa, sedangkan orang tidak bisa dipaksa untuk meyakini dan mengucapkan, namun hanya bisa dipaksa untuk mengucapkan saja, sehingga diketahuilah bahwa Dia memaksudkan orang yang melontarkan kalimat kekafiran, maka atasnya murka dari Allah dan baginya ‘adzab yang pedih, serta bahwa dia kafir dengan hal itu kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tentram dengan keimanan, namun orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dari kalangan orang-orang yang dipaksa maka dia kafir juga.
Sehingga orang yang mengucapkan kekafiran itu menjadi kafir kecuali orang yang dipaksa, yaitu (dia dipaksa) terus mengucapkan dengan lisannya kalimat kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.
Dan Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan:
“Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman.” [At Taubah: 66]. Dia menjelaskan bahwa mereka itu kafir dengan sebab ucapan itu padahal mereka itu tidak meyakini kebenarannya, dan ini adalah bab yang luas.” Dari Ash Sharimul Maslul hal 524.
Dan beliau rh telah menegaskan dalam Ash Sharimul Maslul juga hal: 222 bahwa meyakiti Nabi saw dan mendoakan pada saat beliau masih hidup agar mati seandainya muncul dari orang muslim, tentulah dia menjadi murtad dengannya.
Dan hal 453 beliau menyebutkan bahwa membunuh Nabi adalah tergolong macam kekafiran terbesar meskipun si pembunuh mengklaim bahwa ia tidak membunuhnya sambil menghalalkan, dan beliau menyebutkan dari Ishaq Ibnu Rahwiyah bahwa ini ijma dari kaum muslimin.
Dan berkata juga dalam kitab yang sama hal (178): Dan secara umum siapa yang mengucapkan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran, maka ia kafir dengan hal itu, meskipun tidak bermaksud untuk menjadi kafir, karena tidak bermaksud kafir seorang pun kecuali apa yang Allah kehendaki.”
Dan tentunya dikecualikan dari ithlaq ini – sebagaimana yang telah kami nukilkan di hadapan anda sebelumnya dari ucapan Ibnu Hazm – orang yang melontarkan kekafiran atau mengucapkannya dalam rangka taqiyyah atau hikayat atau hal lain yang dikecualikan syariat.
Bila Murji-atul ‘Ashr berceloteh dan berkata: Tunggu, apa pengecualian ini dan apa yang menjadikan orang yang mengucapkan kekafiran di sini keluar dari apa yang telah kalian tetapkan sebelumnya, yaitu bahwa orang yang mengucapkan kekafiran dan yang melakukannya adalah kafir walaupun dia tidak meyakini.
Maka kami katakan: Ia dikecualikan dalam tempat-tempat ini dengan nash firman Allah Ta’ala, sedangkan Allah ‘Azza Wa Jalla Dialah yang menamai dan mensifati apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Dzat yang melabelkan nama kafir terhadap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan atau yang mengucapkan ucapan-ucapan mukaffirah adalah Dia swt sendiri yang mengecualikan kondisi-kondisi ini. Dan perhatikanlah bantahan manjaniqul maghrib (bomber kawasan barat) Ibnu Hazm terhadap para syaikh dan para pendahulu kalian dari kalangan Murji-ah terdahulu seputar syubhat ini.
Beliau rh berkata rh dalam Al Fashl 3/250: Sungguh telah kami katakan bahwa penamaan itu bukan hak kita namun ia haq Allah Ta’ala..
Tatkala Dia Ta’ala memerintahkan kita untuk membaca Al Qur’an, sedangkan di dalamnya Dia Ta’ala telah menghikayatkan kepada kita ucapan orang-orang kafir dan Dia telah mengabarkan kita bahwa Dia tidak ridla akan kekafiran bagi hamba-hamba-Nya, maka keluarlah dengan hal itu si pembaca Al Qur’an dari kekafiran kepada ridla Allah ‘Azza Wa Jalla dan keimanan dengan penghikayatan dia terhadap apa yang Allah Ta’ala tegaskan.
Dan tatkala Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menunaikan kesaksian dengan al haq, di mana Dia berfirman:
“kecuali orang yang bersaksi dengan al haq sedang mereka mengatahuinya.” [Az Zukhruf: 86], maka saksi yang mengabarkan tentang orang kafir akan kekafirannya keluar dari menjadi kafir dengannya kepada ridla Allah ‘Azza Wa Jalla dan al iman.
Dan tatkala Allah Ta’ala berfirman:
“kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tentram dengan keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran.” [An Nahl: 106] maka orang yang tsabit paksaannya keluar dengan sebab penampakan kekafirannya dari status kufur kepada rukhshah Allah Ta’ala dan keteguhan di atas al iman.
Dan tinggal tersisalah orang yang menampakkan kekafiran bukan dalam rangka membaca, saksi, penghikayatan, dan ikrar, atas kemestian hukum kafir baginya dengan ijma umat, yaitu penetapan vonis kafir baginya, dan dengan vonis Rasulullah saw dengan hal itu serta dengan nash Al Qur’an bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekafiran adalah kafir.
Dan firman-Nya Ta’ala: “akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekufuran.” Tidaklah seperti apa yang mereka duga berupa meyakini kekafiran saja, namun setiap orang yang melontarkan ucapan yang mana orangnya divonis kafir oleh Ahlul Islam bukan dalam rangka membaca, saksi, penghikayatan, dan paksaan, maka dia itu telah melapangkan dadanya untuk kekafiran yang diharamkan atas Ahlul Islam dan atas ahlul kufri untuk mengucapkannya, baik mereka meyakininya atau tidak ….” Selesai.
Dan tidak ada salahnya bila saya mengutarakan di sini untuk tambahan ucapan-ucapan lain yang tersebar milik para imam lainnya selain Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah seputar materi ini.
Ibnul Qayyim rh berkata dalam Kitabush Sholah hal 53. Syu’abul Iman itu ada dua macam: qauliyyah (ucapan) dan fi’liyyah (perbuatan), dan begitu juga syu’abul kufri ada dua macam: qauliyyah dan fi’liyyah.
Di antara syu’abul iman al qauliyyah adalah syu’bah (satu cabang) yang kelenyapannya mengharuskan kelenyapan al iman, dan begitu juga syu’abul iman al fi’liyyah adalah sesuatu yang kelenyapannya mengharuskan kelenyapan al iman.
Begitu juga syu’abul kufri al qauliyyah, sebagaimana orang menjadi kafir dengan sebab mendatangkan kalimat kekafiran tanpa dipaksa, yaitu satu cabang dari syu’abul kufri, maka begitu juga dia menjadi kafir dengan sebab melakukan satu syu’bah dari syu’abul kufri seperti sujud kepada berhala dan menghinakan mushhaf.” Selesai.
Dan darinya engkau mengetahui bahwa al kufru al ‘amaliy tidak semuanya ashghar menurut ahlul ‘ilmi, akan tetapi di antaranya ada yang merupakan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, berbeda dengan apa yang selalu didengung-dengungkan oleh Murji-ah masa kini.
Ibnul Wazir berkata dalam kitabnya (Litsaarul Haq ‘Alal Khalqi Fi Raddil Khilaafaat Ilal Madzhabil Haq) hal: 395: Sungguh telah berlebihan Syaikh Abu Hasyim dan ashhabnya juga yang lainnya di mana mereka mengatakan: Ayat ini – maksudnya “akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran” [An Nahl: 106] – menunjukkan bahwa orang yang tidak meyakini kekafiran dan ia mengucapkan kekafiran yang nyata, menghina para rasul seluruhnya, berlepas diri dari mereka semua serta mendustakan mereka tanpa ada ikrah sedang dia mengetahui bahwa itu kekafiran, maka sesungguhnya ia itu tidak kafir. Dan ini adalah zhahir pilihan Az Zamakh Syariy dalam Al Kasysyaf, di mana dia menafsirkan melapangkan dada dengan enaknya jiwa dengan kekafiran dan dengan meyakininya secara bersama-sama. Dan ini semua tertolak karena dua hal:
Pertama: ucapan mereka ini menyelisihi firman-Nya Ta’ala: “Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah satu dari yang tiga.” [Al Maidah: 73]. Allah memvonis kafir orang yang mengatakan hal itu tanpa syarat, lalu yang dipaksa keluar dengan nash dan ijma dan tinggallah yang lainnya. Seandainya seorang mukallaf mengatakan tanpa dipaksa ucapan Nashara yang dinashkan Al Qur’an bahwa itu kekafiran dan ia tidak meyakini kebenaran apa yang dia ucapkan dan mereka tidak mengkafirkannya, padahal sesungguhnya dia itu ~karena sebab pengetahuannya akan keburukan ucapannya~ wajib menjadi lebih besar dosanya daripada sebagian keadaan, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: “Sedang mereka mengetahuinya.” [Az Zukhruf: 86], maka mereka justru membalikannya, di mana mereka menjadikan orang yang jahil akan dosanya sebagai orang kafir, sedangkan orang alim yang mengingkari dengan lisannya padahal dia mengetahui (dijadikan) sebagai orang muslim !!
Ke dua: Bahwa hujjah mereka itu berkisar antara dua dilalah zhanniyyah yang telah diperselisihkan di dalamnya dalam furu’ zhanniyyah, salah satunya: Pengkiyasan orang yang sengaja terhadap yang dipaksa dan pemastian bahwa ikrah itu adalah sifat yang mulgha seperti keberadaan orang yang menyatakan trinitas adalah Nashrani, dan ini adalah rendah sekali, serta seperti ini tidak diterima dalam furu’ zhanniyyah. Ke duanya: keumuman mafhum “akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran.” [An Nahl: 106] sesungguhnya tidak ada hujjah bagi mereka dalam mantuqnya secara pasti lagi disepakati, dan dalam mafhum ada perselisihan yang masyhur apa ia hujjah zhanniyyah, disertai kesepakatan bahwa ia bukan hujjah qath’iyyah, kemudian dalam itsbat keumuman baginya ada khilaf, sedangkan hujjah mereka di sini adalah dari keumumannya juga dan ia lebih lemah darinya.” Selesai.
Ibnu Qudamah Al Maqdisy rh berkata dalam Al Mughniy 8/151: “Mempelajari dan mengajarkan sihir adalah haram, kami tidak mengetahui di dalamnya perselisihan di antara ahlul ilmi.”
Ashhab kami berkata: “Dan tukang sihir kafir dengan sebab mempelajari dan mempraktekannya, baik dia meyakini keharamannya ataupun kebolehannya”. Selesai.
Dalam Al Hawi lil Fatawa : “Siapa yang kafir dengan lisan seraya dengan kemauan sendiri sedang hatinya tetap tenang dengan keimanan, maka dia itu kafir dan bukan mu’min di sisi Allah.” Dan ini selaras dengan ucapan Syaikhul Islam dalam ayat ikrah di surat An Nahl.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam Kasyfusy Syubuhat hal 22 setelah beliau mengingkari terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan takdzib, atau ingkar atau juhud: “Kalau begitu apa artinya bab yang dituturkan para fuqaha di setiap madzhab? (bab hukum orang murtad), yaitu orang muslim yang menjadi kafir setelah keIslamannya, terus mereka menuturkan macam-macamnya yang banyak, masing-masing darinya membuat (orangnya/pelakunya) kafir dan darah serta hartanya halal, bahkan mereka itu menyebutkan banyak hal sepele menurut orang yang melakukannya, seperti ucapan yang dia lontarkan dengan lisannya tanpa hatinya, atau ucapan yang dia lontarkan dalam rangka bercanda atau bermain-main.
Dan dikatakan juga : Orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka
“Mereka bersumpah dengan (Nama) Allah (bahwa) mereka tidak mengucapkan (ungkapan yang menyakitimu), dan sungguh mereka telah mengucapkan kalimat kekafiran serta mereka kafir setelah keimanan mereka.” [At Taubah: 74], apa kamu tidak mendengar Allah mengkafirkan mereka dengan suatu kalimat, padahal mereka itu berada pada zaman Rasulullah saw, mereka berjihad bersamanya, shalat bersamanya, mereka zakat, haji, dan bertauhid?
Begitu juga orang-orang yang telah Allah firmankan tentang mereka:
“Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian meperolok-olok? Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” [At Taubah: 65-66]. Orang-orang yang Allah tegaskan bahwa mereka telah kafir setelah mereka beriman, mereka itu bersama Rasulullah saw dalam perang Tabuk, mereka melontarkan ungkapan yang mereka sebutkan bahwa mereka mengucapkannya dalam bentuk canda. Selesai.
Dan beliau berkata pula dalam Kasyfusy Syubuhat hal 29: Engkau harus memahami dua ayat dari Kitabullah, pertama: Apa yang lalu dari firman-Nya, “Jangan kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman.” [At Taubah: 66]. Bila engkau telah mengetahui benar bahwa sebagian sahabat yang memerangi Romawi bersama Rasulullah saw telah kafir dengan sebab kalimat yang mereka lontarkan dalam bentuk canda dan main-main, maka jelaslah bagimu bahwa orang yang mengucapkan kekafiran atau melakukannya karena takut akan kekurangan harta atau kedudukan, atau karena mudarah (berlembut-lembut) kepada seseorang adalah lebih dahsyat daripada orang yang mengucapkan kalimat itu dalam rangka bercanda dengannya.
Dan ayat ke dua adalah firman-Nya Ta’ala: “Siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (maka dia mendapatkan kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dengan iman.” [An Nahl: 106], Allah tidak mengudzur dari kalangan mereka, kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dengan al iman. Adapun selain ini maka ia telah kafir setelah ia beriman, baik ia melakukannya karena takut atau mudarah atau karena berat dengan tanah airnya atau keluarganya atau bangsanya atau hartanya, atau melakukannya dalam bentuk canda atau motif-motif lainnya kecuali yang dipaksa, sedangkan ayat ini menunjukkan atas hal ini dari dua sisi :
Pertama: Firman-Nya “kecuali orang yang dipaksa” [An Nahl : 106] tidak dikecualikan kecuali yang dipaksa, sedang sudah ma’lum bahwa orang tidak bisa dipaksa kecuali terhadap perbuatan atau ucapan, dan adapun keyakinan hati maka tidak seorangpun bisa dipaksa terhadapnya.
Ke dua: Firman-Nya Ta’ala “yang demikian itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat.” [An Nahl:107]. Allah menyatakan dengan tegas bahwa kekafiran dan ‘adzab ini bukan karena sebab keyakinan atau khayalan, atau karena sebab benci kepada dien atau karena cinta terhadap kekafiran, akan tetapi: sebabnya adalah bahwa ia memiliki kepentingan dunia dalam hal itu, terus dia mengutamakannya daripada dien.” Selesai.
Cucu beliau Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah berkata dalam kitabnya At Taudlih ‘An Tauhidil Khallaq Fi Jawabi Ahlil Iraq hal (42): Orang murtad secara syar’iy adalah orang yang kafir setelah dia Islam baik berupa ucapan atau keyakinan atau perbuatan.”
Dan berkata hal 101: Dan sebagaimana kekafiran itu dengan sebab keyakinan maka ia terjadi juga dengan sebab ucapan, seperti menghina Allah atau Rasul-Nya atau dien-Nya atau istihza’ dengannya, Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu memperolok-olok? Jangan cari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah kalian beriman.” [At Taubah: 65-66]
Dan juga dengan perbuatan, seperti melempar mushhaf ke kotoran, sujud kepada selain Allah dan yang lainnya.
Dan dua hal ini meskipun ada keyakinan di dalamnya, namun ucapan dan perbuatan dimenangkan terhadapnya karena nampaknya kedua hal itu.” Selesai.
Beliau berkata juga dalam kitabnya “Ad Dala-il” : Dan para ulama telah ijma bahwa orang yang mengucapkan kekafiran seraya bercanda bahwa ia kafir.” Selesai.
Syaikh Hamd Ibnu Ali Ibnu ‘Atiq rh berkata sebagai bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa orang yang mengucapkan kekafiran itu tidak menjadi kafir kecuali bila dia meyakininya dan melapangkan dadanya untuknya serta jiwanya tentram dengannya: “Semoga Allah membinasakanmu hai hewan, bila kamu mengklaim bahwa tidak menjadi kafir kecuali orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka apakah ada orang yang mampu memaksa seseorang untuk merubah keyakinannya dan melapangkan dadanya untuk kekafiran – beliau mengisyaratkan kepada ayat paksaan di surat An Nahl – dan akan kami jelaskan Insya Allah bahwa ayat itu menunjukkan kepada kekafiran orang yang mengucapkan kekafiran dan melakukannya meskipun dia membencinya di dalam batin selama ia tidak dipaksa. Dan adapun bila dadanya lapang dengan kekafiran dan tentram jiwanya dengannya maka itu kafir secara muthlaq baik dipaksa maupun tidak.”
Dan beliau pun berkata dalam rangka menggugurkan pendapat itu juga: “Dan pendapat ini bertentangan dengan sharihul ma’qul dan shahihul manqul serta itu menapaki jalan selain jalan kaum mu’minin, karena Kitabullah, sunnah Rasul-Nya saw dan ijma-ul ummah telah sepakat bahwa orang yang mengucapkan kekafiran dan tidak dikecualikan dari hal itu kecuali orang yang dipaksa. Dan adapun orang yang melapangkan dadanya dengan kekafiran yaitu ia membukanya, melapangkannya, jiwa tentram dengannya serta ridla maka ini kafir lagi musuh Allah dan Rasul-Nya, meskipun tidak mengucapkan dengan lisan dan tidak pula melakukannya dengan anggota badannya.” Selesai hal 59
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam Ad Duror As Saniyyah juz Mukhtasharat Ar Rudud hal 214: “Dan juga para fuqaha telah memutuskan dalam hukum murtad bahwa orang bisa kafir dengan ucapan atau perbuatan yang dia lakukan meskipun dia bersyahadat laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah, dia shalat, shaum, dan bersedekah, sehingga ia menjadi murtad yang mana apa yang dia ucapkan atau lakukan itu menghapuskan amalan, terutama bila ia mati di atas hal itu, sehingga hapusnya amalan dia itu diijmakan.” Selesai.
Al Qonna’iy berkata dalam Haqiqatul Iman hal (90): “Kemudian mereka itu telah berkata – tanpa dalil yang mu’tabar – bahwa orang muslim bagaimanapun perbuatan yang dia lakukan maka ia tidak kafir dengan hal itu selama keyakinan dia masih benar di dalamnya. Dan mereka memberlakukan hal itu dalam semua amalan, dan mereka tidak membedakan antara perbuatan-perbuatan kekafiran dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Mereka menjadikan rusaknya keyakinan sebagai syarat dalam kekafiran orang yang melakukan semua perbuatan dari ‘amal jawarih apapun bentuknya. Sedangkan yang benar bahwa masalah ini memiliki rincian, di mana kita wajib membedakan antara perbuatan-perbuatan yang mana pelakunya dikafirkan dengan perbuatan-perbuatan maksiat pada umumnya. Sesungguhnya melakukan suatu amalan dari amalan-amalan kekafiran yang nyata yang mengeluarkan dari millah – dalam kondisi kepastian tidak adanya penghalang apapun – adalah berarti secara pasti merupakan kerusakan keyakinan hati tanpa ragu lagi, termasuk seandainya ia tidak menyatakan akan hal itu atau juga termasuk andai ia tidak bermaksud akan hal itu. Dan inilah tuntunan apa yang nampak dari penganggapan syari’at akan talazum antara zhahir dengan bathin …” Selesai.
Ingatlah bahwa perbedaan antara ini dengan ucapan Murji-ah, bahwa ia di sini adalah hukum, sedangkan Murji-ah maka mereka menjadikannya sebagai batasan dan syarat untuk kekafiran.
Dan sesungguhnya disebutkan di sini (hal) rusaknya keyakinan, dan para ulama memasukkan dalam hal itu amalan hati di samping dengan tashdiq. Adapun Murji-ah maka mereka membatasinya pada kerusakan tashdiq yang mana ia adalah juhud atau takdzib.
Ini adalah pintu yang luas sekali, seandainya kami menelusurinya tentulah pembahasan kita akan panjang dan lembaran-lembaran seperti ini akan sempit. Ia adalah hal yang ma’ruf lagi masyhur dalam kitab-kitab Ahlul ‘Ilmi, dan saya tidak mengira hal ini samar terhadap para pemula, namun ta’ashshub dan hawa nafsulah yang membuat buta dan tuli.
Kalangan madzhab Hanafi – padahal mereka itu menyelisihi jumhur dalam masalah amal dan dalam status masuknya dalam penamaan iman – namun demikian mereka mengkafirkan dalam banyak hal yang diucapkan oleh seseorang dengan lisannya atau melakukannya dengan anggota badannya, seperti memasang ikat pinggang Nashara di pinggangnya atau menghadiahkan sebutir telur kepada orang Majusi di hari raya mereka (Nairuz) atau orang yang menggunakan firman Allah sebagai pengganti ucapannya, seperti orang yang mengatakan saat sesak padat manusia “lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.” [Al Kahfi: 99], atau berseteru dalam hal harta terus dikatakan kepadanya: “laa haula wa laa quwwata illaa billaah” kemudian dia malah berkata: Apa yang bisa saya lakukan dengan la haula, (la haula) tak bisa memberi roti untuk dimakan, atau mengatakan: senampan dendeng lebih baik dari thalabul ‘ilmi, atau mengatakan: “labbaik”, sebagai jawaban terhadap orang yang mengatakan: Hai kafir atau hai Nashraniy” atau berkata kepada anaknya: Hai anak Majusi atau hai anak Yahudi,” atau mengatakan: Kaum Nashara itu lebih baik dari kaum muslimin,” atau berkata: pemerintah zaman kita ini adil,” dimana dia menamakan kezhaliman yang diharamkan sebagai keadilan, atau berkata: “Seandainya si fulan masuk surga, maka saya tidak mau masuk …” dan contoh lainnya yang banyak dalam kitab-kitab mereka, karena merekalah yang paling banyak berbicara dalam bab ini, dan banyak dari ucapan mereka ini telah dikumpulkan oleh Muhammad Ibnu Ismail Ar Rasyid Al Hanafi dalam kitabnya “Al Badr Ar Rasyid Fil Alfadh Al Mukaffirat” silakan rujuk bila engkau mau.
Seperti hal itu pula banyak pada kalangan Asy Syafi’iyyah: Taqiyuddin Abu Bakar Ibnu Muhammad Al Husainiy Asy Syafi’iy dalam kitabnya “Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar” berkata dalam definisi Riddah: “Ia adalah kembali dari Islam kepada kekafiran dan memutus keIslaman, dan itu bisa terjadi terkadang dengan ucapan dan terkadang dengan perbuatan dan terkadang dengan keyakinan. Dan masing-masing dari tiga macam ini di dalamnya terdapat banyak masalah yang hampir tidak terhitung…”
Kemudian beliau menuturkan hal yang banyak dari perbuatan dan ucapan yang mengkafirkan seperti apa yang kami paparkan dari ucapan para ulama madzhab Hanafi. Di antaranya ucapan 2/431: “Dan seandainya ia melakukan perbuatan yang diijmakan oleh kaum muslimin bahwa itu tidak muncul kecuali dari orang kafir, meskipun dia itu mengaku Islam bersama perbuatannya itu, seperti sujud kepada salib atau berjalan menuju gereja bersama ahli gereja dengan busana mereka berupa sabuk (tertentu) dan yang lainnya maka ia itu kafir.” Selesai.
Ibnu Hajar Al Haitamy Asy Syafi’i dalam hal mukaffirat telah menyusun satu kitab yang beliau namakan “Al I’lam Biqawathi’il Islam” di dalamnya beliau sebutkan dari bab ini hal yang banyak dari madzhab Asy Syafi’i dan beliau menuturkan ucapan-ucapan Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, dan Al Hanabilah.
Begitu juga Al Malikiyyah, Al Qadli ‘Iyadl telah menuturkan di akhir kitabnya “Asy Syifa Bita’rif Huquqil Mushthafa” sejumlah dari lafazh-lafazh mukaffirah dan beliau tegaskan akan penukilan ijma terhadapnya.
Begitu juga halnya dengan Al Hanabilah, sungguh mereka dalam bab-bab hukum murtad telah menuturkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mana pelakunya divonis kafir. Dan dalam hal itu silakan rujuk Al Iq dan syarahnya dalam bahasan Nawaqidlul Islam dan hukum orang murtad, di mana mereka menyebutkan lebih dari 400 pembatal keIslaman …. Banyak di antaranya tergolong bab ini.

Syubhat Pertama:
Dalih Mereka Buat Para Thaghut Musyarri’in Dengan
Ungkapan Kufrun Duna Kufrin

Bila engkau telah memahami apa yang telah lalu semuanya dan engkau memahami bahwa kekafiran itu bisa jadi berupa ucapan atau amalan yang mengeluarkan pelakunya dari millah Islam, maka ketahuilah bahwa mereka itu – maksudnya Murji-atul ‘Ashri – hanyalah melakukan kamuflase dalam kebatilan ini semuanya, mereka mencampuradukkan dan melakukan pengkaburan dalam rangka menutupi (kekafiran) para thaghut masa kini dari kalangan para penguasa yang membuat undang-undang yang tidak Allah izinkan, dan untuk meringankan dari kedurjanaan mereka yang keji ini, terus mereka menjadikannya dari bagian dosa-dosa dan amalan yang tidak membatalkan dan tidak menghancurkan keimanan, dan kemudian mereka menghukumi Islam para thaghut itu dan membangun konsekuensi di atasnya berupa muwalah, wilayah, dan tawalliy serta apa yang menjadi cabang dari hal itu berupa keharaman harta, darah, dan kehormatan mereka serta keharusan membela, mendukung dan membantunya, kemudian menamakan orang yang mengkafirkan mereka dan yang mengajak untuk melawan, memberontak dan dari mereka dan dari tentara, anshar dan kroni-kroninya sebagai orang Khawarij. Dan mereka berdalil terhadap mereka dengan apa yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ra tentang bantahan beliau terhadap Khawarij: “Sesungguhnya bukanlah kekafiran yang kalian yakini.” “Sesungguhnya itu bukan kekafiran yang mengeluarkan dari millah:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir. [Al Maidah: 44] Kufrun duna kufrin.
Selama kita dalam konteks membantah syubhat-syubhat mereka, maka tidak ada halangan bila kami di sini menuturkan ringkasan ungkapan ulama di dalamnya dari sisi ilmu hadist, kemudian sesudahnya saya iringi dengan ringkasan ungkapan ulama di dalamnya dari sisi kandungan fiqhnya sebagai bentuk penjelasan akan al haq dan pembongkaran terhadap talbis.
• Penjelasan ungkapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dari sisi isnad
Atsar ini diriwayatkan dari jalur Sufyan Ibnu Uyainah dari Hisyam Ibnu Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas, bahwa beliau berkata: Sesungguhnya bukan kekafiran yang kalian yakini, sesungguhnya ia bukan kekafiran yang mengeluarkan dari millah:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir.” [Al Maidah: 44] kufrun duna kufrin.” HR. Al Hakim dan yang lainnya dari jalur Hisyam Ibnu Hujair Al Makkiy.
Sedangkan Hisyam Ibnu Hujair ini dinilai dlaif oleh para imam terpercaya, dan dia atas riwayatnya ini tidak seorang pun yang me-mutaba’ah-nya.
Ahmad Ibnu Hanbal berkata tentang (Hisyam) “Ia tidak kuat” dan berkata: “Makkiy adalah dlaiful hadits” sedang ini adalah celaan dari sisi riwayah.
Dan didlaifkan pula oleh Yahya Ibnu Sa’id Al Qaththan dan beliau membuang haditsnya, serta didlaifkan pula oleh Ali Ibnu Al Madiniy, Al Uqailiy menuturkannya dalam Adl Dluafa dan begitu juga dengan Ibnu ‘Addly.
Dan Hisyam itu shalih dalam diennya, oleh sebab itu Ibnu Syubramah berkata: “Di Mekkah tidak ada yang seperti dia.”
Dan Ibnu Ma’in berkata: “shalih” Ini adalah dalam dien atau ibadah, dengan dalil bahwa Ibnu Ma-in sendiri telah berkata tentangnya : Dlaif sekali.
Al Hafidl Ibnu Hajar berkata: Shaduq lahuu auhaam.
Saya berkata: Bisa jadi ini termasuk auham-nya, karena ungkapan semacam ini diriwayatkan lagi tsabit dari Ibnu Thawus, maka bisa saja dia keliru terus menisbatkannya kepada Ibnu Abbas.
Ali Ibnu Al Madiniy berkata: “Sufyan mengklaim, berkata: Hisyam Ibnu Hujair adalah telah menulis kitab-kitabnya tidak sesuai kebiasaan orang-orang, yaitu perkiraan terhadapnya, sehingga terjadi kekaburan atasnya.” Dari Ma’rifatir Rijal 2/203.
“Hisyam itu tergolong ahli Mekkah sedangkan Sufyan adalah orang yang tahu dan kenal akan ahli Mekkah” Al Uqailiy meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Uyainah bahwa ia berkata: Kami tidak mengambil darinya kecuali apa yang tidak kami dapatkan pada selainnya.
Maka sahlah bahwa atsar ini tergolong riwayat yang mana Hisyam menyendiri dengannya, karena ia termasuk riwayat Ibnu Uyainah darinya.
Abu Hatim berkata: “Haditsnya ditulis” dan ini juga tergolong shighat Tamridl dan Tadl’if, karena ini berarti bahwa haditsnya tidak diterima secara menyendiri akan tetapi hanya diambil dalam mutaba’at saja.
Oleh sebab itu Al Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya kecuali mutaba’ah atau disertai dengan yang lainnya, sedangkan hadits-haditsnya tergolong hadits-hadits yang dikritik terhadap Ash Shahihain.
Adapun Al Bukhari maka ia tidak meriwayatkan baginya kecuali satu hadits saja, yaitu hadits Sulaiman Ibnu Dawud as : “Sungguh saya akan menggilir 90 istri malam ini … hingga akhir hadits” beliau tuturkan dalam kaffarat sumpah dari jalan Hisyam, dan dimutaba’ahi dalam kitab An Nikah dengan riwayat Abdullah Ibnu Thawus. Dan sudah ma’lum bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar termasuk adatnya dalam muqaddimah Fathul Bari adalah membela orang yang dikomentari tanpa haq dan beliau membelanya dengan segenap ilmu yang beliau miliki. Adapun orang yang nampak kelemahannya menurut beliau dan bahwa Al Bukhari tidak berpatokan kepada mereka saja namun hanya memutuskan mereka dalam mutaba’at atau dibarengkan, maka macam mereka itu beliau tidak bersusah payah membela mereka namun beliau menyebutkan mutaba’at yang ada bagi mereka dalam Ash Shahih dan cukup. Dan begitu juga beliau lakukan terhadap Hisyam Ibnu Hujair (rujuk Al Muqaddimah).
Adapun Muslim maka begitu juga tidak ada padanya kecuali lewat jalur dia kecuali dua hadits, dan beliau tidak meriwayatkan riwayatnya kecuali dibarengi. Dan dalam hal ini silakan rujuk apa yang dikatakan Syaikh Al Harawi dalam kitabnya “Khulashatul Qaul Al Mufhim ‘Ala Tarajim Rijalil Imam Muslim.”
Dan khulashahnya bahwa diketahui dari apa yang telah lalu bahwa tidak ada hujjah bagi orang yang berupaya menguatkan Hisyam dengan berdalih dengan periwayatan Al Bukhari dan Muslim lewat jalurnya, karena keduanya tidak meriwayatkan lewat jalurnya secara menyendiri namun mutaba’ah, sedangkan ini tergolong dalil yang menunjukkan terhadap penilaian lemahnya bila menyendiri.
Oleh sebab ini semuanya tidak ada yang menilai tsiqah Hisyam Ibnu Hujair kecuali kaum mutasahilun, seperti Ibnu Hibban, karena sesungguhnya ia sangat masyhur dengan sikap tasahul dalam hal tautsiq, dan begitu juga Al ‘Ajaly, Al Mu’allim Al Yamaniy berkata: Tautsiq Al ‘Azali telah saya dapatkan dengan istiqra (pengkajian) seperti tautsiq Ibni Hibban ; persis atau lebih luas.” Al Anwar Al Kasyifah hal: 68.
Al Albany berkata: Al ‘Ajaly terkenal dengan sikap tasahul dalam tautsiq, persis seperti Ibnu Hibban, maka tautsiqnya tertolak bila menyelisihi ucapan para imam yang terpercaya kritik dan jarh mereka.” Lihat As Silsilah Ash Shahihah hal 7/633.
Dan begitu juga tautsiq Ibnu Sa’ad, dimana mayoritas pengambilannya adalah dari Al Waqidiy Al Matruk sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hajar dalam Muqaddimah Al Fath pada biografi Abdurrahman Ibnu Syuraih.
Bila ini adalah keadaan orang yang mereka tautsiq, maka riwayat-riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah dengan tautsiq mereka ini.
Maka bagaimana sedangkan mereka itu telah ditentang oleh para imam yang kokoh serta dia telah didlaifkannya, seperti Ahmad, Ibnu Main, Yahya Ibnu Sa’id Al Qaththan, Ali Ibnu Al Madiniy dan yang lainnya.
Khulashah pendapat: Bahwa Hisyam Ibni Hujair itu lemah yang mana hujjah tidak bisa tegak dengannya secara menyendiri saja, ya memang ia layak dalam mutaba’at sebagaimana yang telah engkau ketahui, sedangkan orang-orang yang berhujjah dengannya tidak menuturkan baginya mutabi’ atas riwayat Ibni Abbas ini, sehingga nyata kuatlah kedlaifannya dan ketidaksahan memastikan penisbatannya kepada Ibnu Abbas.
Bahkan justru Ibnu Jarir Ath Thabary telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan isnad yang shahih dalam tafsir ayat ini selain itu, berkata: Al Hasan Ibnu Yahya telah mengabarkan, ia berkata: Abdurrazzaq telah mengabarkan kami, ia berkata: Mu’ammar telah mengabarkan kami dari Ibnu Thawus dari ayahnya, berkata: Ibnu Abbas ditanya tentang firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” [Al Maidah: 44], berkata: Ia dengannya adalah kekafiran. Ibnu Thawus berkata: “Dan ia tidak seperti orang yang kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya dan rasul-rasul-Nya.” Selesai
• Penjelasan titik penerapan ungkapan itu dan yang semisalnya
Ini dari sisi riwayah, adapun dari sisi dirayah, maka kami katakan: Bahwa ucapan Ibnu Abbas ini bila memang shahih – karena memang telah sah yang dekat dengan maknanya dari selain beliau – maka ia adalah bantahan terhadap Khawarij yang ingin mengkafirkan al hakamain, Ali, Mu’awiyah dan kaum muslimin yang bersama mereka sebab perseteruan dan putusan yang terjadi di antara mereka tentang status khilafah, shuluh dan apa yang terjadi di antara al hakamain ‘Amr Ibnul ‘Ash dan Abu Musa Al Asy’ari, karena kejadian itu adalah awal kemunculan mereka – sebagaimana yang sudah ma’lum – terus mereka berkata: “Kalian telah mengangkat orang-orang itu sebagai pemutus.”:
(Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir)” Al Maidah: 44” Dan tidak ragu bahwa mereka dalam hal itu adalah keliru lagi sesat, karena yang terjadi di antara sahabat itu walaupun sebagian mereka aniaya terhadap sebagian yang lain bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari millah sama sekali. Dan Ali ra telah mengutus Abdullah Ibnu Abbas kepada Khawarij dalam rangka ber- munadharah dengan mereka dalam hal itu, maka beliau menuju mereka dan mereka pun berbicara dengannya, beliau berkata: “Kalian dendam terhadap al hakamain, sedangkan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Maka utuslah juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarganya (istri).” (An Nisa: 35).. maka bagaimana dengan ummat Muhammad saw… Mereka berkata kepadanya: Apa yang Allah serahkan putusannya kepada manusia dan Dia perintahkan mereka untuk meninjaunya maka itu terserah mereka, sedang yang Dia putuskan dan sudah berlaku maka hamba tidak punya hak meninjau di dalamnya. Maka Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
“menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu.” (Al Maidah: 95) Mereka berkata: Kamu jadikan putusan dalam buruan dan tanaman dan (putusan) antara wanita dengan suaminya seperti putusan dalam darah kaum muslimin? Dan mereka berkata kepadanya: Apakah menurut kamu Amr Ibnu ‘Ash itu adil sedangkan kemarin dia itu memerangi kita? Bila ia adil berarti kami tidak adil, dan kalian dalam urusan Allah telah mengangkat orang sebagai pemutus.”
Dan inti bukti adalah setelah terjadi munadharah ini maka jumlah banyak dari mereka kembali kepada kebenaran sedang yang lain bersikukuh di atas kesesatannya dan memisahkan diri dari pasukan Ali setelah kejadian al hakamain ini, dan mereka itulah asal Khawarij.
Kemudian Murjia-tul ‘Ashr sengaja mengambil ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan yang serupa dengannya dari ucapan-ucapan lain yang bersumber dari sebagian tabi’in seperti Thawus, anaknya dan Abu Mijlaz, yang mana semuanya tentang Khawarij, dan mereka berlari girang dengannya, untuk mereka tempatkan secara dusta dan mengada-ada pada tempat yang bukan tempatnya, realita yang bukan realitanya dan kondisi yang yang bukan kondisinya, dengan dalil bahwa lafazh yang dijadikan hujjah oleh mereka ini di dalamnya ada ucapan Ibnu Abbas sembari sambil mengkhithabi orang-orang tertentu tentang kejadian tertentu: “Sesungguhnya ia bukan kekafiran yang kalian yakini” maka kalimat “Yang kalian yakini” adalah khithab terhadap Khawarij dan orang-orang yang mengikuti mereka pada zamannya dalam kasus yang ma’lum lagi ma’ruf, jadi ucapannya bukan dalam penafsiran ayat, namun dalam manath yang keliru yang dikomentari oleh Khawarij sembari keliru di dalamnya, dengan dalil bahwa ayat ini pada dasarnya berbicara tentang kufur yang mengganti aturan Allah, baik mereka itu Yahudi atau yang lainnya, dan akan datang rincian ini. Maka apakah masuk akal bila Ibnu Abbas atau yang lainnya dari kalangan ahlul Islam berkata tentang penggantian orang-orang Yahudi atau yang lainnya terhadap hukum atau had dari hududullah – seperti diyat atau had zina – adalah pada manath yang bathil yang mana Khawarij ingin menempatkannya di dalamnya, dan ia bukan dalam penjelasan dan penafsiran ayat itu … maka perhatikanlah dan janganlah kamu terperdaya dengan talbis-talbis kaum sesat.
Al ‘Allamah As Salafiy Ahmad Muhammad Syakir berkata dalam catatan kakinya terhadap Umdatut Tafsir tentang atsar ini: “dan atsar-atsar – dari Ibnu Abbas dan yang lainnya – ini tergolong apa yang dipermainkan oleh orang-orang yang menyesatkan pada zaman kita ini dari kalangan yang intisab kepada ilmu dan kalangan lainnya yang telah berani terhadap dien ini : Mereka menjadikannya sebagai udzur atau pelegalan bagi undang-undang berhala jadi-jadian yang telah diterapkan secara aniaya di atas negeri Islam.” 4/156
Dan beliau rh dalam tempat itu juga menukil ta’liq saudaranya Mahmud Syakir terhadap atsat-atsar yang serupa, di dalamnya Abu Mijlaz sedang beliau adalah dari kalangan tabi’in mengkritisi sebagian kalangan Khawarij di zamannya, Ath Thabariy menuturkannya dalam tafsirnya 10/348, berkata: Ya Allah, saya berlepas diri di hadapan-Mu dari kesesatan, wa ba’du: Sesungguhnya kalangan penebar keraguan dan fitnah dari kalangan yang tampil berbicara di zaman kita ini, dia telah mencari-cari alasan pengudzur buat para penguasa dalam sikapnya meninggalkan al hukmu bimaa anzalallah dan dalam memberikan keputusan berkenaan dengan darah, kehormatan dan harta dengan syariat Allah yang telah Dia turunkan dalam kitab-Nya, serta dalam sikap mereka menjadikan qanun ahli kufri sebagai syariat (aturan yang berlaku) di negeri Islam. Dan tatkala dia mendapatkan dua atsar ini, maka dia menjadikannya sebagai pendapat yang dengannya dia memandang kebenaran putusan hukum dalam hal harta dan kehormatan juga darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan dan bahwa menyelisihi syariat Allah adalah dalam al qadla al ‘aam (putusan/hukum yang umum) adalah tidak membuat kafir orang yang ridla dengannya dan yang mengamalkan di atasnya..”
Dan beliau menuturkan munasabah atsar-atsar ini dan bahwa ia itu adalah munadharah bersama Khawarij yang ingin mengkafirkan para penguasa zaman mereka dengan maksiat yang tidak sampai pada kekafiran, kemudian ia berkata: Jadi pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan hujjah oleh ahli bid’ah zaman kita, berupa putusan hukum dalam hal harta, kehormatan, dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi ahlu Islam dan bukan pada dalam hal pengguliran qanun (UU) yang mesti diterapkan terhadap ahlul Islam dengan cara merujuk hukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya saw. Perbuatan ini adalah keberpalingan dari hukum Allah, bentuk kebencian akan dien-Nya, dan sikap lebih mengedepankan hukum-hukum orang kafir terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan ini adalah kekafiran yang tidak seorang pun dari ahlu kiblat dengan berbagai ragamnya ragu akan kekafiran orang yang mengatakannya dan yang mengajak kepadanya.” Selesai.
Bila orang obyektif yang diberikan taufiq untuk mencari al haq telah mengetahui ini semua serta paham penempatan ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan kalangan salaf lainnya itu , serta (paham) akan realita (waqi’) yang mana ucapan itu dilontarkan, juga (mengetahui) ciri orang-orang yang mana ucapan itu diarahkan terhadap mereka dan bentuk ucapan-ucapan mereka itu, terus dia melihat dengan mata bashirah terhadap realita yang kita ada di dalamnya berupa pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan dan menjadikan hukum-hukum yang rendah berupa sampah undang-undang buatan dan hawa nafsu manusia sebagai pengganti hukum-hukum Allah, aturan-aturan-Nya serta hudud-Nya yang suci, maka pasti mengetahui kebobrokan talbis yang besar dan penyesatan yang nyata itu yang dilakukan oleh Murji-atul ‘Ashr dengan menempatkan nushush itu pada realita-realita yang sangat berbeda dengan realita yang mana nushush itu dilontarkan, sebagai bentuk penutupan akan kebijakan yang dilakukan di zaman ini dan para pelakunya.
Apakah Muawiyah, Ali dan para sahabat yang bersama mereka di hari saat kaum khawarij menghadang mereka dengan hujjah-hujjahnya itu, mereka mengklaim memiliki wewenang membuat hukum di samping Allah? Atau apakah mereka itu membuat undang-undang dan UUD kafir yang menegaskan bahwa (kekuasaan legislatif/pembuatan hukum) itu berada dengan amir dan majelis rakyat (seperti MPR/Dewan Perwakilan Rakyat,ed) sesuai undang-undang dasar sebagaimana itu realita pada negara-negara yang disebut Islam pada hari ini?
Sungguh jauh sekali para sahabat dari berbuat ini, dan sangat-sangat-sangat tidak mungkin mereka melakukan itu, bahkan jauh sekali Murji-ah zaman mereka dari kekafiran yang nyata ini.
Dan kemudian apakah para sahabat membuat undang-undang menurut hukum rakyat dan keinginan mereka atau mengikuti keinginan mayoritas dan menjadikan hal itu sebagai pengganti hudud Allah Ta’ala yang tinggi lagi suci…?
Jauh sekali sahabat dari hal itu dan bahkan jauh sekali orang-orang dungu, orang-orang gila, para pengekor dan kalangan awam pada zaman itu dari kekafiran nyata macam ini. Mana mungkin hal seperti itu terbayang ada pada mereka, sedangkan mereka itulah orang-orang yang telah menyirami tanah dengan darah mereka yang suci dalam rangka kejayaan dan kemenangan syari’at dienullah.
Dan kami hannya mengatakan, seandainya seseorang melakukan hal seperti itu pada masa itu, tentulah Khawarij tidak menghujjahkannya dengan nash-nash yang tidak sharih dalam bab tasyri’, seperti firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir.” [Al Maidah: 44] Dan tatkala mereka meninggalkan nash-nash lain yang tegas dan qath’iy dilalahnya terhadap kekafiran para pembuat hukum/UU/UUD (musyarri’in) dan bahwa mereka itu thawaghit dan arbab yang diibadati selain Allah, seperti firman-Nya Ta’ala:
“Bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu orang-orang musyrik.” [Al An’am: 121] dan firman-Nya Ta’ala:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.” [Asy Syura: 21], dan firmannya Ta’ala:
“Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” [Al Kahfi: 26] dan ayat lain yang serupa yang tidak mungkin samar atas para sahabat yang mana para sahabat meremehkan bacaan Al Qur’annya bila dibandingkan dengan bacaan Khawarij itu, atau firman-Nya Ta’ala:
“Dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai arbab selain Allah.” [Ali Imran: 64], dan firman-Nya Ta’ala:
“mereka (Yahudi dan Nashrani) telah menjadikan alim ulama dan rahin-rahib mereka sebagai arbab selain Allah.” [At Taubah: 31] dan yang lainnya, namun ternyata mereka tidak menyebutkan satu pun dari itu, karena tidak satupun darinya yang bisa pas diterapkan kepada kasus mereka itu. Dan tidak mungkin hal seperti ini samar terhadap Ibnu Abbas seandainya kasus mereka berkisar seputar itu – bagaimana sedangkan beliau adalah Habrul Qur’an dan perawi sebab nuzul firman-Nya Ta’ala:
“ Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121)
Al Hakim telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari beliau ra, bahwa ia berkata: (Sesungguhnya sekelompok dari kaum musyrikin mendebat kaum muslimin dalam masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan dari (daging hewan) yang kalian bunuh dan kalian tidak makan dari (daging hewan) yang Allah bunuh? Maka Allah Ta’ala:
“Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah orang-orang musyrik.” [Al An’am: 121]. Maka ini menunjukkan bahwa pembuatan hukum/UU/UUD atau orang yang mengikuti hukum buatan selain Allah walaupun dalam satu masalah adalah musyrik kafir terhadap Allah, berbeda dengan hakim atau qadli yang aniaya yang tidak merujuk kepada aturan dan dien (hukum) selain dien (hukum) Allah dan tidak menjadikan bagi dirinya atau bagi yang lainnya wewenang pembuatan hukum, terus dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dengan makna zhalim, aniaya dan hawa nafsu bukan dengan makna tasyri’ (pembuatan hukum) dan penggantian hukum (istibdal), maka ini tidak lebih dari statusnya sebagai hakim yang zhalim lagi aniaya, dan tidak menjadi kafir walau memutuskan dengan gambaran seperti ini seratus kali selama tidak menghalalkannya…)
Seandainya kasus mereka ini seperti bencana kita ini, tentulah beliau ra dan para sahabat lainnya tidak akan pernah sungkan dalam takfier orang yang melakukannya. Karena mengetahui benar kalau tasyri’ (pembuatan/penetapan hukum) walau dalam satu kasus atau satu masalah pada hal yang tidak boleh kecuali bagi Allah adalah syirik akbar terhadap Allah, kufrun fauqa kufrin, zhulmun fauqa zhulmin, dan fisqun fauqa fisqin, bahkan sesungguhnya sekedar memalingkan haq tasyri’ atau mengklaimnya bagi seseorang dari makhluk ini (amir atau presiden atau raja atau rakyat atau MPR) adalah syirik dan kufur akbar, sama saja baik ia membuat hukum atau tidak, dan sama saja apakah orang yang memalingkan hal itu mengikuti hukum buatan mereka ataupun tidak … sehingga nampaklah bahwa realita mereka itu berbeda dengan realita kita dan fitnah mereka berbeda dengan fitnah yang menimpa kita, maka pahamilah perbedaan antara dua realita dan dua kasus, dan hati-hatilah dari pencampurbauran dan talbis yang menghantarkan kepada ridla thaghut dan iblis.
 Kehujjahan ucapan shahabiy
Ya taruhlah wahai saudara-saudara setauhid bahwa Ibnu Abbas – sedang ia adalah manusia yang tidak ma’shum, bisa benar dan bisa salah – memaksudkan dengan ucapan yang dinisbatkan kepadanya realita kita ini – dan itu adalah mustahil sebagaimana yang engkau ketahui karena saat itu tidak ada hal yang serupa dengannya – maka apakah kita benturkan perkataan Ibnu Abbas dengan firman Allah dan sabda Rasul serta dalam suatu masalah dari masalah-masalah tauhid yang mana para Rasul semuanya di atas dengannya, yaitu al kufru bitthaghut yang mana ia adalah separuh kalimah tauhid?
Tidak ragu bahwa jawaban atas hal ini dipahami oleh para penuntut ilmu yang masih dini apalagi orang yang intisab kepada ilmu, dakwah dan du’at, karena tidak ada hujjah dalam dien kita selain firman Allah dan sabda Rasul saw.
Bukankah Ibnu Abbas itu sendiri yang berkata sebagai bantahan terhadap orang yang menghujjatinya dalam masalah Mut’atul Hajji (haji tamattu’) dengan perbuatan Abu Bakar dan Umar, sedangkan mereka berdua adalah mereka ra : Hampir saja turun menimpa kalian batu dari langit, karena saya mengatakan Rasulullah telah mengatakannya, dan kalian malah berkata: Abu Bakar berkata dan Umar berkata.”
Dan kami katakan berulang-ulang: Tidak mungkin Ibnu Abbas ngawur atau rancu atau menyelisihi dalam hal inti dari inti-inti dien seperti ini, sedangkan ia adalah Turjumanul Qur’an, namun yang kami maksud adalah mengingatkan bahwa ucapan shahabiy itu bukan dien dan bukan hujjah dalam dienullah saat ada perselisihan, maka apa gerangan bila dikira-kirakan bahwa itu menyelisihi firman Allah atau sabda Rasulullah saw.
Namun yang mendesak kami untuk mengingatkan dengan hal-hal yang umum diketahui adalah apa yang sering sekali kami mendengarnya dari Murji-ah zaman kita yang membela-bela para thaghut, yaitu berupa sikap mendahulukan di hadapan Allah dan membenturkan firman-Nya yang nyata jelas tentang syiriknya menjadikan makhluk sebagai arbab dengan bentuk tasyri’, tahlil, dan tahlim dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas itu (kufrun duna kufrin).
Penjelasan Bahwa Al Hukmu Dengan Makna Tasyri Adalah
Kekafiran Dengan Sendirinya
Berbeda Dengan Al Hukmu Dengan Makna Al Jaur (Aniaya) Dalam Vonis
Maka Ada Rincian Di Dalamnya
Dan Bahwa Kekafiran ParaThaghut Dan Kaki Tangan Mereka Pada Hari Ini
Adalah Termasuk
Macam Pertama
Dan dalam rangka menghabisi semua syubhat Murji-atul ‘Ashr dan para penerus Jahm dan Bisyr Al Mirrisiy, tinggal kami mengingatkan al akh al muwahhid terhadap makna al hukmu bighairi maaanzalallah yang mana Allah Ta’ala vonis pelakunya dengan vonis syirik dan kufur yang mengeluarkan dari millah tanpa disebutkan bersamanya istihlal dan i’tiqad atau yang lainnya sebagai qa’id (batasan) untuk hal itu, dan bahwa itu adalah tasyri ‘aam dan mulzam (yang mesti diterima) yang dijadikan para thaghut masa kini sebagai hak mereka dan bagi para pengikut mereka dari kalangan rakyat dengan perantaraan parlemen kafir mereka, dan ia adalah suatu amalan dari amalan-amalan kekafiran murni yang pelakunya dikafirkan tanpa dikatakan padanya apakah ia menghalalkan atau tidak, dan apakah ia meyakini atau tidak, berbeda dengan al jaur dalam putusan dan vonis sedang ia komitmen dengan Islam dan ajarannya serta tidak mengganti suatu pun darinya, maka ini ada rincian yang masyhur lagi ma’lum di dalamnya antara orang yang meyakini lagi menghalalkan atau orang yang maksiat lagi mengikuti hawa nafsu atau syahwat dan yang lainnya. Dan rincian yang akhir ini dijadikan talbis oleh Murji-atul ‘Ashr dan para syaikhnya terhadap umat dan manusia dengan menempatkan rincian itu pada macam pertama yang kufur yang muncul dari para thaghut masa kini, di mana kaum Murji-atul ‘Ashr ini mengeluarkan kebejatan-kebejatan mereka yang keji ini di hadapan mereka bahwa itu adalah maksiat yang mana para pelakunya tidak kafir kecuali dengan istihlal dan juhud.
Maka engkau mesti mengetahui makna tasyri’ yang mana ia berkaitan dengan syirik dan tauhid, serta engkau memahami perbedaan antara hal itu dengan al hukmu yang berkaitan dengan al furu’ (cabang-cabang) supaya hilang darimu talbis Murji-atul ‘Ashr dan isykal yang bisa terjadi pada dirimu dalam ucapan sebagian salaf saat mereka menggabungkan antara al hukmu bighairi maa anzalallah dengan sebagian dosa-dosa yang tidak mengkafirkan yang mana Rasulullah telah menamainya sebagai kekafiran, dan mereka menggolongkan sebagian itu semuanya dalam al kufru ashghar yang pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal, maka sesungguhnya mereka memaksudkan dengan al hukmu di sini maknanya yang tidak mengeluarkan dari millah bukan makna tasyr’iy tabdiliy yang muncul dari para thaghut masa kini. Dan dari jenis ini adalah ucapan Ibnul Qoyyim hal (61) dan halaman lainnya dari Kitabushshalah: “Dan bila ia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, atau melakukan apa yang dinamakan kekafiran oleh Rasulullah saw, sedangkan ia komitmen dengan Islam dan ajaran-ajarannya, maka telah ada padanya kekafiran dan keIslaman.” Selesai. Perhatikan ucapannya “sedangkan ia komitmen dengan Islam dan ajaran-ajarannya”, tentu engkau mengetahui bahwa mereka tidak memaksudkan dalam ungkapan-ungkapan semacam ini al hukmu bighairi maa anzalallah dengan gambarannya yang bersifat tasyri’iy kufriy pada zaman kita ini … .
Kepada rincian dan pemilahan ini Syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab telah mengisyaratkan dalam kitabnya At Taudlih ‘An Tauhidil Khallaq Fi Jawabi Ahlil Iraq hal: 141, di mana beliau membagi Al Hukmu bighairi ma anzalallah kepada dua macam…
Satu macam syirky yang menohok tauhid dan satu macam lagi dalam al furu’…
Dan beliau menjelaskan bahwa macam pertama adalah kekafiran haqiqiy yang tidak ada iman di dalamnya. Dan adapun macam ke dua , maka beliau menyebutkan rincian yang ma’ruf di dalamnya ada dua bentuk :
- Bila lisan tidak mengakui dan hati tidak tunduk , maka ia juga kekafiran haqiqiy yang tidak ada keimanan karenanya.
- Dan adapun bila ia mengakui dengan hatinya dan menyatakan dengan lisannya terhadap hukum Allah namun ia melaksanakan kebalikannya secara zhahir dalam furu’ secara khusus, maka ia bukan kekafiran yang memindahkan dari millah, dan ia menuturkan dalam hal ini atsar-atsar yang di antaranya ucapan Thawus: “Al Hukmu (memutuskan) dalam furu’ dengan selain apa yang telah Allah turunkan disertai pengakuan akan hukum-Nya serta mencintainya bukanlah hal yang mengeluarkan dari millah.” Dan beliau menjelaskan macam ini di tempat lain dalam Kitabnya hal: 143 dengan ucapan: “Tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dalam Al Furu’ yang bukan tergolong ashluddin disertai pengakuan akan hukum Allah di dalam hatinya dan ucapannya, dan (disertai) mencintainya, memilihnya, dan tunduk kepadanya di dalam keduanya (hati dan lisannya).” Selesai.
Perhatikan pemilahan Murji-atul ‘Ashri mencampurkan antara keduanya karena kejahilan, atau talbis dan tadlis, terus mereka menerapkan macam yang terakhir terhadap para thaghut masa kini yang membuat hukum, maka begitu juga Khawarij telah mencampurkan dan bermaksud menjadikan macam terakhir seperti yang awal walaupun tidak disertai dengan istihlal atau juhud, oleh sebab itu Syaikh Sulaiman berkata dalam tempat yang pertama: “Dan Khawarij telah cenderung kepada umum berdasarkan zhahir ayat, dan mereka berkata sesungguhnya ia adalah nash bahwa setiap orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia kafir, sedangkan setiap orang yang telah berbuat dosa, maka ia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, sehingga wajib ia itu menjadi kafir. Dan telah terjalin ijma Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atas pernyataan yang menyelisihi mereka, sedang kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, berupa tauhid, justru dia malah memutuskan dengan lawannya, dia melakukan syirik, muwalah kepada para pelakunya dan membantu mereka atas kaum muwahhidin.” Selesai.
Saya katakan: Dan begitu juga kami sesungguhnya orang-orang yang kami kafirkan dengan sebab al hukmu bighairi maa anzalallah, kami tidak mengkafirkan mereka karena putusan mereka dengan furu’ dengan arti aniaya dalam vonis dan yang lainnya tanpa istihlal, sebagaimana ia thariiqah khawarij. Dan kami kafirkan mereka hanya karena putusan mereka dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu tergolong macam tasyri’iy syirkiy yang bertentangan dengan ashluttauhid, dan karena mereka mengikuti hakam (pemutus hukum) dan musyarri’ (pembuat hukum) selain Allah ‘Azza wa Jalla, serta mencari dien (hukum) dan syari’at (aturan) selain dien dan syari’at-Nya dan juga karena sikap tawalli mereka terhadap ahlisysyirki dan para thaghutnya dengan berbagai ragamnya, serta sikap dukungan terhadap mereka atas kaum muwahhidin.
Pahamilah ini dan janganlah engkau termasuk orang yang terpengaruh oleh talbis-talbis dan pengkaburan Murji-atul ‘Ashri dan bedakanlah antara apa yang para Rasul dan para pengikutnya melakukan takfier dengannya, dengan apa yang mana kaum Khawarij serta sebangsanya melakukan takfier dengannya.
Kemudian ketahuilah, bahwa tasyri’ dan istibdal adalah kekafiran murni yang tidak boleh dikatakan di dalamnya, apakah dia istihlal, atau meyakini atau juhud? Batasan-batasan ini hanyalah berlaku pada macam terakhir yang mana Khawarij ngawur di dalamnya.
Ahlul Kitab yang tentang mereka Allah turunkan firman-Nya Ta’ala:
“Mereka menjadikan alim ulama dan rahib-rahib mereka sebagai arbab selain Allah,” [At Taubah: 31] telah kafir dengan sebab tasyri’ taat kepada para pembuat hukum dalam hal itu serta mengikuti mereka terhadap aturan-aturan/hukum-hukum/UU/UUD yang mereka buat, dan tidak boleh dikatakan bahwa mereka kafir karena keyakinan mereka bahwa itu diharamkan secara sebenarnya atau dibolehkan secara sebenarnya atau bahwa mereka menghalalkan tasyri’ (istihlal qalbiy) atau bahwa mereka meyakini bahwa mereka memiliki hak dalam uluhiyyah atau rububiyyah.
Syaikh Abdul Majid Asy Syadzily berkata dalam Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman hal: 431: Sesungguhnya makna “mereka menghalalkannya” atau “mereka mengharamkannya” bukanlah maknanya (i’tiqad) dengan makna ilmu (mengetahui) akan kebenaran sesuatu dan mengabarkan tentangnya, akan tetapi mengamalkan sesuai dengan tuntunan pengharaman dan penghalalan mereka berupa memutuskan dan merujuk hukum kepadanya..”
Dan orang-orang Yahudi tatkala mengganti had zina, dan mereka bersepakat dan ber-ijtima terhadap hukum selain hukum Allah, mereka tidak meyakini kebolehan zina atau menghalalkannya, tetapi mereka tetap meyakini keharamannya dengan pengharaman Allah terhadapnya, dan mereka tidak juga mengklaim atau mengatakan bahwa hukum yang mereka buat itu dari sisi Allah atau lebih adil, serta mereka tidak pula mereka menegaskan sikap istihlal mereka terhadap tasyri’ atau bahwa mereka meyakini bahwa mereka memiliki wewenang membuat hukum/UU (haq tasyri’) atau hal serupa dengannya, namun justru mereka menjadi kafir dengan sekedar kesepakatan mereka dan kemufakatannya terhadap suatu hukum dan tasyri’ (aturan) selain hukum dan tasyri’ Allah, dan mereka itu menjadi arbab bagi orang yang mentaati dan mengikuti mereka serta bersepakat bersama mereka atas tasyri’ itu.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam Kitabuttauhid: “Siapa yang mentaati ulama dan umara dalam pengharaman apa yang Allah halalkan atau dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan, maka ia telah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah.” Selesai.
Orang yang mengikuti aturan para pembuat hukum yang bertentangan dengan syari’at Allah adalah orang musyrik yang telah menjadikan tuhan (rabb) selain Allah, sedangkan si pembuat hukum/UU/UUD itu sendiri adalah thaghut kafir yang menyekutukan dirinya bersama dengan Allah dalam uluhiyyah hukum dan tasyri’… Dia Ta’ala berfirman:
“Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” [Al Kahfi: 26] dan dalam qira’ah Ibnu ‘Amir sedang ia tergolong sab’ah: “Dan janganlah kamu menyebutkan seorang pun dalam hukum-Nya.” [Al Kahfi: 26] dengan shighat nahyi (bentuk karangan), sedangkan tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) bisa jadi penyekutuan atau isytirak (berserikat) bersama Allah dalam hukum, dan keduanya adalah kekafiran murni.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam risalahnya “Tis’iniyyah”: Penetapan wajib dan tahrim tidak lain adalah bagi Allah dan Rasul-Nya, siapa orangnya memberikan sanksi atas perbuatan atau (atas) meninggalkan tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya serta dia menjadikan hal itu sebagai dien (ajaran/pegangan/acuan), maka dia telah menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan bagi Allah serta sama dengan kaum murtaddin yang beriman kepada Musailamah Al Kadzdzab, dan ia tergolong orang yang dikatakan Allah “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.” [Asy-Syura: 21]. (Hal: 14 dalam Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyyah juz 5 cet. Darul Fikr)
Syaikh Asy Syinqithi rh berkata dalam Adlwaul Bayan juz 7 hal 169: Dan tatkala tasyri’ (aturan) dan seluruh hukum, baik itu syar’iyyah ataupun kauniyyah qadariyyah adalah termasuk wewenang khusus Rububiyyah maka setiap orang yang mengikuti aturan selain aturan Allah maka ia telah menjadikan si musyarri (pembuat hukum/UU/UUD/aturan) itu sebagai rabb (tuhan) dan mempersekutukan dia bersama Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 173: “Dan bagaimanapun keadaannya maka tidak ada keraguan bahwa setiap orang yang mentaati selain Allah dalam aturan yang menyelisihi dengan apa yang Allah syari’atkan maka ia telah mempersekutukan dia bersama Allah.”
Dan berkata di tempat lain: Dan dipahami dari ayat-ayat ini, seperti firman-Nya:
“Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” [Al Kahfi: 26] bahwa orang-orang yang mengikuti aturan/hukum/UU/UUD produk para musyari’in selain apa yang telah Allah tetapkan sesungguhnya mereka itu musyrikun billah. Dan mafhum ini ada dijelaskan dalam ayat-ayat lain, seperti firman-Nya tentang orang yang mengikuti aturan syaithan dalam pembolehan bangkai, dengan klaim bahwa ia adalah sembelihan Allah:
“Dan janganlah kalian makan dari hewan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, karena ia adalah fisq, dan sesungguhnya syaitan-syaitan membisikkan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian. Dan seandainya kalian menaati mereka maka sesungguhnya kalian adalah orang-orang musyrik.” [Al An’am: 121], dimana Dia tegaskan bahwa mereka itu musyrikin dengan sebab menuruti mereka…” Selesai.
Dan dalam firman-firman-Nya Ta’ala:
“Apa engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang diturunkan terhadapmu dan (kepada) apa yang diturunkan sebelummu, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya, dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh” [An Nisaa’: 60], beliau berkata juz 4 hal 83: Dan dengan nushush samawiyyah yang telah kami sebutkan ini nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah yang disyari’atkan syaithan lewat lisan wali-walinya seraya menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah ‘Azza wa Jalla lewat lisan Rasul-Nya saw adalah tidak ada yang meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan Dia butakan dari cahaya wahyu, seperti mereka.” Selesai.
Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam kitabnya (Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman) : “Dan tidak ada bedanya dalam tasyri’ (pembuatan hukum/UU) ini antara ibahah (pembolehan) dengan yang lainnya. Di mana si pembuat hukum/UU tidaklah memerintahkan untuk minum atau menghalalkan minum, namun itu kembali kepada dien (keyakinan/agama) setiap individu di masyarakat, sedangkan si pembuat hukum itu memisahkan antara dien dengan negara dan dia itu pembuat hukum negara, sedang agama (dien) dalam pandangan dia adalah hubungan antara hamba dengan Tuhannya, sehingga taat kepada dia dalam hal itu tidak ada urusannya dengan perbuatan dan tidak pula dengan istihlal namun dalam sikap si anggota masyarakat menghormati pembolehan ini serta mengakui akan haq dia dalam pelaksanaan tugasnya.
Dan tidak ada pula urusannya dengan keyakinan dengan arti mengetahui akan perintah, karena kaum Yahudi saat bersepakat atas sanksi dera dan pencorengan wajah sebaga ganti rajam, mereka itu tetap merasa berdosa dengan sebab itu sehingga mereka mencari jalan keluar fiqh baginya, dan karenanya mereka berkata: “Pergilah kepada Nabi ini, karena sesungguhnya dia telah diutus dengan membawa peringanan, kemudian bila dia memberi fatwa kalian dengan dera dan tahmim maka ia adalah hujjah bagi kalian di sisi Allah”,
“dan bila kalian tidak diberi hal itu maka hati-hatilah.” [Al Maidah: 41]
Ibnu Muhammad ibnu Ahmad Al Qanna’iy berkata dalam kitabnya “Haqiqatul Iman” hal. 95 seputar sebab turun firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir.” [Al Maidah: 44] sungguh tergolong yang maklum dalam sebab nuzul ayat ini adalah bahwa kaum Yahudi hanyalah merubah hukum yang ada dalam Taurat tanpa membuangnya darinya, dan tanpa meyakini bahwa di sana ada hukum baru yang turun dari sisi Allah, namun mereka hanya merubahnya dengan tetap membiarkan hukum yang asli ada, dan itu terjadi karena sekedar terasa berat hal itu atas mereka dan ketidakmampuan mereka untuk melaksanakannya karena sebab kefasikan mereka. Ath Thabari berkata dalam tafsir firman-Nya Ta’ala:
“Dan bagaimana mereka menjadikan kamu sebagai hakim, sedangkan di sisi mereka ada Taurat.” [Al Maidah: 43]: “Dan di sisi mereka ada Taurat yang telah Aku turunkan kepada Musa, dan yang mereka akui, dan bahwa apa yang ada di dalamnya berupa hukum maka ia tergolong hukum-Ku. Mereka mengetahui hal itu sembari tidak merasa asing dengannya dan tidak bisa mengingkarinya, dan mereka mengetahui bahwa hukum-Ku di dalamnya terhadap pezina muhshan adalah rajam. Dan mereka padahal mengetahui akan hal itu namun mereka berpaling.” Dia berkata: “Mereka meninggalkan memutuskan hukum dengannya setelah mengetahui akan hukum Aku di dalamnya sebagai bentuk kelancangan terhadap-Ku dan pembangkangan terhadap-Ku.”
Dan al haq bahwa pendapat ini dalam masalah tersebut tidak mengandung mukabarah, karena dalam manthuq ungkapan dan dalam mafhum-nya tidak ada sedikitpun isyarat terhadap apa yang mereka klaim bahwa ia adalah al haq al ilahiy yang sesuai tuntutannya sebagian Nashara dan Yahudi merubah hukum- hukum berdasarkan apa yang mereka yakini pada para alim ulama mereka bahwa wahyu masih senantiasa turun kepada mereka supaya mereka merubah apa yang ada pada mereka dengan keinginan Allah. Ini adalah suatu hal sedangkan apa yang datang tentang kekafiran orang yang merubah hukum-hukum ini disertai mengakuinya adalah hal lain.” Selesai.
Dan dekat darinya macam yang telah disebutkan Syaikhul Islam dalam Ash-Sharimul Maslul hal 521 saat beliau berbicara tentang macam-macam istihlal: Dan terkadang dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan dia mengetahui bahwa Rasul hanyalah mengharamkan apa yang telah Allah haramkan, kemudian dia menolak dari komitmen dengan tahrim ini dan dia i’nad (membangkang) terhadap yang mengharamkan, maka ini lebih dahsyat kekafirannya dari orang yang sebelumnya.” Selesai.
Dan begitu juga Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam Kasyfusy Syubuhat hal (28): “Tidak ada perselisihan bahwa tauhid itu mesti terbukti dengan hati, lisan, dan amal. Bila sesuatu darinya lenyap maka orang itu bukanlah muslim, kemudian bila dia mengenal tauhid dan tidak mengamalkannya maka dia itu kafir mu’anid seperti Fir’aun, iblis dan yang serupa dengannya. Dan ini banyak manusia keliru di dalamnya, mereka mengatakan: ini haq dan kami paham ini serta kami bersaksi bahwa inilah kebenaran, namun kami tidak kuasa melakukannya, dan tidak boleh – yaitu tidak diterima dan tidak bisa berjalan – pada penduduk negeri kami, kecuali orang yang sejalan dengan mereka serta alasan-alasan lainnya. Dan orang miskin ini tidak tahu bahwa keumuman tokoh-tokoh kekafiran mengetahui al haq dan mereka tidak meninggalkannya kecuali karena sesuatu dari alasan-alasam itu, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” (At Taubah: 9) dan ayat-ayat lainnya.” Selesai.
Dan serupa dengan ini atau bahkan lebih dahsyat apa yang diklaim oleh sebagian para thaghut masa kini bahwa mereka itu mengakui syari’at Allah dan dien-Nya dan bahwa ialah yang paling afdhal, paling sempurna, paling baik dan wajib diberlakukan serta yang lainnya, terus mereka menjadikan bagi mereka wewenang pembuatan hukum/UU/UUD sebagaimana yang telah lalu dari UUD-UUD mereka, dan mereka mengganti hududullah dan hukum-hukum-Nya dengan undang-undang dan aturan-aturan mereka yang busuk. Mereka itu mengklaim bahwa mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada apa yang diturunkan kepada beliau dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, terus mereka menempatkan diri mereka sebagai arbab yang membuat hukun dan thaghut-thaghut yang memperhamba manusia terhadap mereka dan mengharuskan mereka untuk mengikuti aturan-aturan mereka yang bersebrangan dengan syari’at Allah dan mentaatinya serta mereka menghalangi pemberlakukan syari’at Allah. Maka perbuatan mereka ini pada bentuknya adalah perbuatan dan amalan kekafiran yang mengeluarkan dari millatu Islam, dan kita tidak mencari di dalamnya tentang i’tiqad dan istihlal.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl 3/245 dalam penjelasan firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syetan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [At Taubah: 37]. Dan sesuai ketentuan bahasa yang mana Al Qur’an turun dengannya bahwa ziyadah (tambahan) dalam sesuatu itu tidak terjadi kecuali darinya bukan dari selainnya.
Sehingga sahlah bahwa penangguhan bulan itu adalah kekafiran, sedang ia adalah tergolong perbuatan, yaitu penghalalan apa yang Allah Ta’ala haramkan.
Siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan sedang dia mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengharamkannya, maka ia kafir dengan perbuatan itu sendiri….” Selesai.
Perhatikan ucapannya: “Sedangkan ia adalah tergolong perbuatan” dan ucapannya” siapa yang menghalalkan apa yang Allah haramkan sedang dia mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengharamkannya, maka ia kafir dengan perbuatan itu sendiri” dari mana merembes kepadanya syubhat i’tiqad.
Dan dalam hal ini ada faidah, yaitu bahwa istihlal sebagaimana ia terjadi dengan i’tiqad tanpa amalan sesekali dan dengan i’tiqad bersama amalan pada kali yang lain, maka sesungguhnya ia terjadi juga dengan sekedar amalan.
Jadi i’tiqad dalam hal istihlal atau tahlil bukanlah batasan dalam kekafiran, namun ia adalah tambahan di dalamnya. Tidak ragu bahwa minum khamr atau jatuh dalam zina atau makan riba, semua ini tidak sama dengan membuat hukum untuk hal itu dengan cara menetapkan UU, kepres, dan aturan-aturan yang menggantikan hududullah atau yang memperenteng lagi mempermudah khamr dan zina atau yang melegalkan lagi membolehkan riddah dan riba dengan disertai penjagaan hal itu, perlindungannya, kesepakatan, persekongkolan atasnya dan kemufakatannya sebagai sistem bagi pemerintahan. Yang pertama adalah hal yang dikatakan saat berbicara tentang takfir, apakah ia menganggap halal atau tidak, karena ia adalah dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Adapun yang ke dua, maka ia adalah kekafiran tasyri’, tahlil dan tahrim, dan di dalamnya tidak usah menghiraukan keyakinan walaupun pelakunya bersumpah sejuta kali bahwa ia tidak menganggap halal, kami katakan kepadanya:
“Jangan kalian mencari-cari alasan, sebab kalian telah kafir.” [At Taubah: 66] dan Allah telah mendustakan kalian dan menamakan iman kalian yang kalian klaim sebagai pengakuan.
Karena sungguh perbedaan yang sangat-sangat besar antara orang yang ber-mu’amalah riba seraya merasa berdosa sembari mengharap kenikmatan dunia dengan orang yang melegalkan riba bagi manusia, dia membuatkan UU untuknya, dia melindungi yayasan-yayasan dan bersepakat dan bermufakat terhadapnya.
Dan juga perbedaan yang besar antara orang yang minum khamr seraya merasa berdosa dengan orang yang melegalkan meminumnya bagi manusia, dia memberi izin bar-bar untuk menjualnya, melindunginya, serta mengganti had Allah dalam khamr dengan hukum-hukum dan UU yang rendah.
Dan perbedaan besar juga antara orang yang berzina seraya merasa berdosa karena lebih mementingkan kehinaan dengan orang yang mengganti had zina dan melegalkan pelacuran dengan UU yang menjadikan zina sebagai pidana saja pada haq suami dan ditanyanya dan bila suami ridla maka tidak ada pidana dan sanksi, namun ia boleh menurut mereka…
Tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) dan tahrimul halal atau tahlilul haram sebagaimana yang telah engkau pahami adalah perbuatan kekafiran murni dan bukan seperti dosa-dosa lain yang disyaratkan di dalamnya keyakinan penganggapan halal, dan terkadang ditambahkan kepadanya i’tiqad, sehingga menjadi kufur murakkab dan tambahan dalam kekafiran, dan ia itu bukan batasan atau syarat bagi kekufuran di sini, karena kaum musyrikin yang menghalalkan bulan-bulan haram dengan cara menukarnya dengan waktu-waktu lain, mereka itu mengetahui dan meyakini dalam benak jiwa mereka bahwa bulan-bulan haram di sisi Allah adalah bulan-bulan yang pertama itu bukan yang mereka ada-adakan dan bukan yang mereka tetapkan serta bukan yang mereka ganti. Dan begitu juga inilah keyakinan Yahudi saat mereka (mengganti) had zina atau (mereka sepakat) atau (mereka kompromi) atau (mereka bersekongkol) atas suatu hukum lain dari diri mereka sendiri, dan mereka itu tidak menghalalkan zina dan tidak menyatakan atas istihlal qalbiy mereka terhadap tasyri’ dan tabdil, jadi kekafiran atau sebabnya di sini adalah perbuatan tabdil atau tasyri’ atau ittifaq atau ijtima’ atau kompromi atau kemufakatan atas hukum bukan syari’at Allah Ta’ala. Sama saja baik mereka mengatakan kami mengakui dalam hati kami atau mengingkari bahwa bulan-bulan yang Allah haramkan adalah yang benar atau bahwa had zina yang telah Allah turunkan ialah yang benar, atau tidak mengatakan, maka keyakinan itu tidak ada guna untuk menyebutkannya di sini kecuali dalam rangka penambahan dalam kekafiran, karena perbuatan mereka itu dengan sendirinya adalah kekafiran dan penyekutuan bersama Allah dalam hukum-Nya, sedangkan siapa yang menyekutukan dirinya bersama Allah dalam tasyri’ (pembuatan hukum) maka ia telah merampas/menggugat Allah, sedangkan para pengikutnya, ansharnya dan para penyokongnya atas itu adalah orang-orang yang beribadah kepadanya.


Syubhat Atau Fitnah:
Bahwa ‘Umar (Tidak Memutuskan Dengan Apa Yang Telah Allah Turunkan) Dengan Menggugurkan Had Pencurian Dari Sebagian Orang-Orang Yang Terdesak Pada Tahun Ramadan

Inilah… sungguh saya telah melihat dari sebagian orang yang telah Allah kunci mati pendengaran dan penglihatannya dan Dia jadikan lebih sesat dari binatang ternak dengan sebab ia berpaling dan menyibukkan diri dari mempelajari ashli diennya dan tauhidnya dengan kehidupan dunia dan perhiasannya, fariyyah (tuduhan dusta/fitnah) dan ucapan yang saya tidak sudi berbicara panjang di dalamnya, yang intinya bahwa “Al Faruq ra tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan di hari beliau menelantarkan pengamalan had pencurian di tahun ramadah”
Maka saya katakan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi: sesungguhnya mengetahuinya orang mu’min yang mengenal dienullah akan kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan murakkab ini, di dalamnya terkandung pengingatan baginya akan nikmat Allah terhadapnya, serta dorongan untuk mensyukuri nikmat tauhid, Islam dan paham akan dienullah, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang diberi hikmah, maka telah diberi kebaikan yang banyak.” [Al Baqarah: 269], sebagian salaf berkata: Siapa yang telah diberi (pemahaman akan) Al Qur’an terus dia memandang bahwa ada seseorang di atasnya maka dia tidak mengetahui nikmat Allah atasnya.
Kemudian saya katakan dengan ringkas: Telah kami rinci di hadapan anda pada uraian yang lalu bahwa al hukmu bi ghairi maa anzalallah itu dilontarkan terhadap dua makna: yang pertama tasyri’iy istibdaliy kufriy, sedang yang satu lagu berupa aniaya dalam putusan dan vonis karena hawa nafsu dan syahwat tanpa istihlal.
Dan perbuatan Umar Al Faruq sama sekali tidak ada kaitannya dengan kedua macam itu, sedangkan berbicara dalam hal itu dan merincinya pada hakikatnya ia adalah penyia-nyiaan akan waktu, bahkan ia adalah pelecehan terhadap pembaca dan meremehkan akalnya dengan mengajak berbicara tentang penjelasan suatu yang jelas dan penjabaran suatu yang sudah gamblang, dan itu tidak dilakukan kecuali terhadap orang-orang dungu.
Adapun perbuatan beliau ra di tahun ramadah adalah ijtihad murni yang tepat sasaran lagi mendapatkan dua pahala di dalamnya insya Allah. Dan ia secara pasti lagi tidak ada keraguan tergolong al hukmu bimaa anzalallah serta sama sekali tidak keluar darinya, karena ia adalah penggunaan akan maqashidusysyari’at yang mana Rasul saw diutus dengannya dan Al Kitab diturunkan serta hudud syari’at ditetapkan dalam rangka merealisasikannya, yaitu menjaga kepentingan-kepentingan manusia yang inti lagi syar’i, meraih kepentingannya yang paling besar dan menolak kerusakan darinya.
Mashalih syar’iyyah itu diikat dan diketahui dengan istiqra nushush syari’at, dan ia bukan mengikuti hawa nafsu dan anggapan-anggapan baik sebagimana yang diduga oleh banyak Ruwaibidlah yang dungu.
Di antara mashalih (kepentingan-kepentingan) itu ada yang dlaruriy (penting sekali harus ada) dan diantaranya ada yang bersifat haajiy (sekunder) dan yang lainnya adalah tahsiniy takmiliy (pelengkap).
Adapun dlaruriyyat, maka ia itu ada enam: “Dien, jiwa, akal, nasab (keturunan), kehormatan dan harta”. Dan ia adalah kepentingan-kepentingan yang paling urgen secara muthlaq, sedang yang tinggi dan paling agung adalah dien (tauhid). Bila kepentingan-kepentingan dlaruriyyat bertentangan atau salah satunya dengan maslahat haajiyyah atau takmiliyyah maka dlaruriyyat didahulukan tanpa perbedaan.
Adapun bila dua mashlahat dlaruriyyah bersebrangan yang dikedepankan adalah yang paling penting dan paling besar dari keduanya, sebagai bentuk meraih mashlahat terbesar dari dua mashlahat yang berbenturan dengan menggugurkan yang paling rendah di antara keduanya atau menolak kerusakan terbesar dari dua kerusakan dengan melakukan yang paling rendah diantara keduanya.
Dan ini adalah pintu yang besar dari bab-bab fiqh, dan ia tergolong tujuan-tujuan syari’at Allah, hukumnya dan kaidah-kaidah yang paling agung. Dan siapa yang diberikan taufiq untuk memahaminya dan mengetahuinya maka ia telah diberi petunjuk untuk memahami banyak dari rahasia-rahasia syari’at dan hikmah-hikmahnya.
Memahami bab ini dan menerapkannya pada waqi’ (realita), ia adalah tidak ragu tergolong ushul syari’at dan tergolong al hukmu bi maa azalallah. Dan ijtihad Umar ra di tahun ramadah tidak lain adalah tergolong hal ini, di mana beliau mendahulukan mashlahat jiwa dan penjagaannya terhadap mashlahat harta dan penjagaannya saat keduanya bertentangan, sungguh orang-orang saat itu dalam kelaparan yang dahsyat, sedangkan dlarurat itu menghalalkan yang dilarang, sehingga memakan harta curian adalah seperti memakan bangkai dalam kondisi-kondisi itu dibolehkan, bahkan wajib menurut sebagian ulama bila yakin binasa, dan orang yang meninggalkannya dalam hal seperti itu maksiat kepada Allah lagi membunuh diri sendiri sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm dan beliau berdalil dengan firman-Nya Ta’ala:
“Dan jangan kalian membunuh diri kalian.” [An Nisaa: 29] dan ia adalah umum bagi setiap yang dituntut oleh lafazhnya.” Kata beliau
Beliau ra menolak sekuat kemampuan mafsadah yang paling besar dari dua mafsadah dengan memikul yang paling rendah dari keduanya, dan beliau menjaga mashlahat yang paling rendah dari keduanya (harta-harta mereka) karena keduanya bentrok dalam kondisi-kondisi seperti itu. Dan ini tergolong kefaqihan beliau ra dalam dienullah ini, yaitu merujuk pada maqashidusysyari’at dan menjaga mashlahat-mashlahat dan dlaruriyyatnya yang mana hudud pada dasarnya tidak ditetapkan kecuali untuk melindunginya dan meraihnya serta menjauhkan mafsadah darinya. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim berkata di dalamnya: “Dan ini adalah tuntutan kaidah-kaidah syari’at”
Jadi ia adalah pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan dan bukan seperti apa yang telah ditalbiskan oleh musuh-musuh Allah. Dan ini adalah jelas lagi gamblang, serta jauh sekali antara hal itu dengan al hukmu bighairi maa anzalallah dengan bentuk macamnya yang paling minimal keburukannya, maka bagaimana dengan yang paling dahsyat?
Demi Allah, keduanya tidak sama dan tidak akan bertemu
Sampai kepala gagak beruban
Dan tidak menisbatkan Al Faruq kepada selain hal ini atau menuduhnya dengan memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan kecuali orang kafir zindiq atau rafidlah yang buruk yang dongkol dengan keadilan dan kesalihan Al Faruq.

Syubhat:
Bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam Dan Sebagian Sahabatnya Telah Mengharamkan
Beberapa Hal Atas Diri Mereka Sendiri

Sebelum kami meninggalkan tempat ini ke syubhat yang lain dari syubhat-syubhat mereka, kami ingin mengingatkan akhat-tauhid kepada dua makna tahrim selain makna tasyri’iy yang lawannya adalah tahrim, salah satunya ‘urfi (makna adat yang biasa dipahami masyarakat) sedang yang lainnya adalah lughawiy (bahasa).
Sungguh Murji-atul ‘Ashri telah mempermainkan keduanya dan berupaya mengaburkan keduanya di hadapanmu dengan tasyri’ dan tabdil yang dilakoni dan dianut oleh para thaghut mereka .
‘Urfi: adalah kata “tahrim” yang dipergunakan manusia dan mereka memaksudkan dengannya al yamin (sumpah), maka tidak boleh dikatakan tentang orang yang menzhihar istrinya dan berkata: “Kamu haram atasku seperti punggung ibuku” umpamanya, bahwa ia itu musyarri atau telah mengganti hukum Allah, namun itu menurut para fuqaha adalah sumpah yang dilontarkan seorang laki-laki dan dia pastikan atas dirinya untuk menjauhi istrinya dan tidak menggaulinya, karena marah atau sanksi atau yang lainnya, dan Allah Ta’ala telah mencelanya serta menetapkan padanya kaffarat yang paling berat, yaitu memerdekakan budak, kemudian siapa yang tidak mendapatkannya maka ia shaum dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan, kemudian siapa yang tidak mampu maka ia memberi makan enam puluh orang miskin, maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahrim di sini adalah yamin (sumpah), karena tasyri’ itu tidak ada kaffarat yamin baginya wahai orang-orang yang berakal.
Kemudian di sana ada perbedaan yang membedakan macam tahrim ini dari tahrim tasyri’iy yang berlawanan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan) dan yang dilakukan kaum musyrikun menandingi Allah, yaitu apa yang dituturkan Asy Syathibiy dalam Al I’tisham bahwa orang yang mengharamkan dengan yamin, dia tidak memestikan dengan tahrim ini kecuali dirinya sendiri dan tahrim ini tidak merembet kepada orang lain. Sebagaimana keberadaan dalam tahrim kufriy yang disepakati oleh kaum musyrikin, mereka bersekongkol, bermufakat dan mengharuskan dengannya orang yang ada dalam kekuasaan mereka. Kemudian yamin tahrimiyyah (sumpah pengharaman) ini hanya berkaitan dengan pelarangan/pencegahan saja dan tidak memiliki hubungan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan), berbeda dengan tasyri’ yang mencakup tahlil dan ibahah sebagaimana ia mencakup tahrim, dan ini hal yang jelas lagi nyata.
Termasuk macam ini – yaitu tahrim dengan (makna,ed) yamin – adalah ucapan Nabi saw yang diriwayatkan dalam Shahihul Bukhari bahwa beliau berkata kepada sebagian istrinya: “Saya telah minum madu di sisi Zainab maka saya tidak akan mengulanginya dan saya telah bersumpah” ucapannnya saw “maka saya tidak akan mengulanginya” adalah makna yang dikenal manusia berupa (tahrim) dalam makna yamin pada ucapan mereka: “Ini haram atas diri saya” atau ucapan: “haram atas saya ini dan itu bila saya tidak melakukan itu”. Dalam ucapan macam ini dan dalam ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : saya tidak akan mengulanginya” tidaklah terkandung tasyri’, tabdil, dan taqnin (pengguliran UU/UUD), juga tidak ada kompromi, atau pemufakatan atau kesepakatan sebagaimana yang dituturkan oleh musuh-musuh Allah dalam ilzamat mereka, karena tentang ucapan ini turunlah firman Allah Ta’ala:
“Hai Nabi kenapa kamu mengharamkan apa yang Allah telah halalkan bagimu…” [At Tahrim: 1] hingga firman-Nya:
“Sungguh Allah telah mensyari’atkan bagi kamu untuk menghalalkan sumpah-sumpah kamu (dengan kaffarah),” [At Tahrim: 2]. Dan bila penghalalan hal seperti ini adalah kaffarah, maka diketahui bahwa tahrimnya itu adalah yamin bukan tasyri’ dan tabdil.
Dan setelah ini kita tidak usah menghiraukan talbisat Murji-atul ‘Ashri dan ilzamat mereka yang kufur lagi rusak saat engkau mendebat mereka tentang kekafiran para thaghut mereka yang membuat hukum, di mana mereka berdalih dengan semacam ayat-ayat ini dan berkata: Rasul telah mengharamkan, maka apakah beliau kafir???
(Sungguh besar sekali ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengucapkan kecuali kebohongan) “ [Al Kahfi: 5]” dan engkau telah mengetahui dari uraian yang lalu bahwa ini bukan tasyri’, serta tidak mungkin Nabi saw melakukan tasyri’ karena beliau bukanlah musyarri’ (pembuat hukum) dan tidaklah halal hal itu bagi beliau…. tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan, dan beliau tidak lain adalah pemberi peringatan dan yang menyampaikan dari Dzat Pembuat Hukum Yang Esa.
Dan maknanya yang lain: adalah (tahrim) yang datang dan dimaksudkan dengannya maknanya yang lughawi (bersifat bahasa) murni, bukan isthilahi syar’iy tasyri’iy, dan ia adalah imtina’ mujarrad (menolak yang bersifat sekedar), di antara model ini adalah ucapan Imruul Qais:
Ia berjaulah untuk mengalahkanku, maka aku berkata kepadanya: “Hentikanlah”
Sesungguhnya aku adalah orang orang yang haram atasmu mengalahkanku.”
(haram) yaitu tercegah, dan ucapan yang lain:
Haram atas kedua mataku mencicipi kesenangan
dan bergembira sampai aku menemuimu wahai Hindun
(Haram di sini) yaitu “terlarang atas dua mataku”….. Ini meskipun tidak dimaksudkan yamin dengannya, namun tergabung dengan makna ‘urfi yang pertama.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami menghalanginya dari menyusuimu sebelumnya” [Al Qashash: 12]
Yang dimaksud di sini bukanlah tahrim tasyri’iy, namun al man’u (menghalangi) saja. Al Qurthubiy berkata: “Yaitu Kami halangi/cegah dia dari menyusui” dan berkata: “Dan ini adalah tahrim man’i bukan tahrim syar’iy.” Selesai.
Dan serupa dengannya firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya ia diharamkan atas mereka empat puluh tahun.” [Al Maidah: 27] Al Qurthubiy berkata: Makna diharamkan: yaitu bahwa mereka dihalangi dari memasukinya” dan berkata juga di tempat ini juga: Maka ia adalah tahrim man’i bukan tahrim syar’iy.” Selesai
Maka perhatikanlah makna ini dan ketahuilah bahwa ia selain makna tasyri’ yang ditetapkan oleh para thaghut hari ini sebagai bagian dari wewenang, hak, dan kekuasaan mereka dan para pengikut serta parlemen mereka, terus mereka berkompromi, bermufakat dan bersepakat atasnya, kemudian bila datang kepadamu sebagian wali-wali mereka dari kalangan Murji-atul ‘Ashri yang membela-bela mereka dengan firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” [Al Maidah: 87] … dan mereka berkata: “Mereka telah membuat hukum namun demikian Allah mengkhithabi mereka dengan nida (panggilan iman)..!
Maka katakan kepada mereka: Yang dimaksud dengan ini hai musuh diri kalian sendiri… adalah tahrim dengan makna lughawi murninya bukan tasyri’iy yang dipraktekkan oleh para thaghut kalian, dan yang makna ia adalah sejawat tahlil dan saudaranya.
Yang dimaksud adalah mencegah diri dari sebagian thayyibat yang telah Allah halalkan kepada hamba-hamba-Nya, dalam rangka nadzar, atau upaya hidup susah atau kependetaan, dengan dalil bahwa ayat itu turun dengan sebab jama’ah dari sahabat Nabi saw ingin menjauhkan diri dari menikmati sebagian thayyibat sebagai bentuk zuhud di dunia dan hidup kasar, mereka itu tidak membuat hukum, tidak pula mengganti dan tidak juga menggulirkan undang-undang. Atau dibawa kepada makna yang lalu yaitu yamin sebagaimana disebutkan para mufassirin dalam ayat ini, dan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang ingin menjauhkan diri dari sebagian thayyibat itu mereka sungguh telah bersumpah atas hal itu, kemudian tatkala turun ayat ini maka mereka berkata: Apa yang harus kami perbuat dengan sumpah kamu? Maka Allah Ta’ala langsung menurunkan setelahnya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).” [Al Maidah: 89]
Dan dengannya Asy Syafi’iy rh berdalil atas ucapannya bahwa sumpah dan janji tidak berkaitan dengan tahrimul halal dan bahwa tahrimul halal adalah laghwun (sia-sia/tidak dianggap), sehingga menurut beliau dan Malik rh tidak ada kaffarat atas orang yang mengatakan hal seperti itu. Sama saja baik yang benar itu makna ini atau itu maka keduanya tetap bukan termasuk tasyri’ sama sekali.
Bisa saja tergolong nadzar, seperti orang yang mengharamkan atas dirinya duduk dan berbicara sementara waktu dengan cara dia nadzar shaum sambil berjemur di terik matahari sambil diam tidak berbicara, maka Nabi saw melarangnya dan menyuruh dia sempurnakan shaumnya. Dan tergolong hal ini Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tentang Nabiyullah Ya’qub:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum taurat diturunkan.” [Ali Imran: 93]
Sungguh telah ada dalam tafsirnya bahwa beliau sakit terus nadzar atas dirinya bila Allah telah menyembuhakannya ia tidak akan makan makanan paling enak menurutnya, maka ia pun mengharamkan daging unta atas dirinya, dan itu sebelum Taurat diturunkan, kemudian beliaupun tidak dilarang dari hal seperti itu, dan dahulu mereka bila mengharamkan sesuatu atas diri mereka dengan nadzar atau dengan sumpah, maka tidak boleh bagi mereka melakukan sesuatu itu, kemudian Allah menasakh (menghapus) hal itu dan kaffarah sumpahpun turun. Jadi ini juga termasuk jenis sumpah atau nadzar dan bukan tergolong tasyri’ sama sekali, oleh sebab itu Asy Syathibiy menukil dalam Al I’tisham ucapan Al Qadli Ismail : “Dan hal-hal ini dan yang serupa dengannya termasuk syari’at yang ada nasikh dan mansukh di dalamnya, sedangkan nash penghapus (nasikh) adalah firman-Nya Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan thayyibat yang telah Allah halalkan bagi kamu.” [Al Maidah: 87], kemudian tatkala ada larangan maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengatakan: “Makanan ini haram bagi saya,” dan ucapan serupa itu, kemudian bila seseorang mengatakan sesuatu dari hal itu maka ucapannya itu bathil, dan bila ia sumpah atas hal itu dengan nama Allah maka baginya melakukan suatu yang lebih baik dan dia mengkaffarati sumpahnya.” Selesai.
Maka janganlah Murji-atul ‘Ashri mentalbis kamu dengan ucapan mereka: “Ini Nabiyyullah telah membuat hukum dari dirinya dan tanpa ada perintah dari Allah, maka apakah dia kafir??? Sungguh ini bukan tahrim tasyri’, dan seandainya seperti itu tentulah penghapusnya tidak akan ayat ini yang tentang sumpah atau nadzar atau penghindaran murni dalam rangka zuhud dan taqasysyuf (menghindari yang enak-enak), kemudian dari uraian yang lalu engkau telah mengetahui bahwa pengesaan Allah dalam tasyri’ (pembuatan hukum) dan tidak menyekutukan seorangpun bersamanya dalam hal itu adalah tergolong ushuluttauhid yang disepakati oleh semua ajaran (para Nabi/Rasul), sedangkan pencorengan terhadap inti (al ashlu) ini adalah tergolong mukaffirat yang dengannya Allah kafirkan Yahudi dan Nashara sebagaimana yang telah engkau ketahui. Dan ashlu (inti) seperti ini sama sekali tidak masuk dalam bab-bab mansukh sebagaimana ia ma’lum dalam al ushul, sehingga sahlah bahwa hal seperti ini bukan tasyri’ dari Nabiyullah Ya’qub secara yaqin.
Serupa itu apa yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim tentang sekelompok orang yang bertanya kepada para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang ibadah beliau … terus sebagian mereka berkata: “Saya akan shaum tiap hari (dahri) dan tidak akan berbuka” yang lain berkata: “Saya akan jauhi wanita dan tidak akan nikah selamanya” hingga akhir ucapan mereka. Meskipun Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengingkari mereka atas hal itu dan berkata: “Siapa yang benci akan tuntunanku maka ia bukan termasuk (golongan)ku.”.. namun sesungguhnya semua ini tidak ada kaitannya dengan tasyri’ atau tabdil sebagaimana yang telah engkau ketahui. Mereka itu tidak membuat hukum dan tidak seorangpun di antara mereka mengklaim bahwa ia memiliki wewenang pembuatan hukum (sulthah tasyri’iyyah) sebagaimana ia adalah realita para thaghut masa kini, maka janganlah terpukau dengan syubhat-syubhat yang rendah seperti ini, karena sesungguhnya ini semuanya ada di suatu lembah dan realita para thaghut masa kini ada di lembah lain.
Ia berjalan menuju timur sedang aku berjalan menuju barat.
Sungguh jauh antara ke timur dengan yang ke arah barat
Sesungguhnya masalahnya hari ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Madjid Asy Syadziliy dalam kitabnya (Haddul Islam dan Haqiqatul Iman) hal: 376 tentang realita kita setelah beliau menuturkan teks-teks undang-undang buatan (qawanin wadl’iyyah) dan hakikat seputar UUD-nya serta teks-teksnya.
Beliau berkata : Dan sekarang … realita ini telah melampaui batasan tasyri’ muthlaq sampai pengakuan yang tegas terhadap wewenang tasyri’ bagi selain Allah. Di mana nushush syari’at tidak mendapat keabsahan sebagai undang-undang –menurut mereka– seandainya mereka ingin mengamalkannya kecuali bila muncul dari pihak yang memiliki wewenang penetapan hukum/UU –di tengah mereka– sebagai bentuk ungkapan dari keinginannya. Ini sajalah yang memberikan nushush syari’at sifat keabsahan qanun, dan status nushush syari’at dalam hal itu adalah seperti status yang lainnya berupa ‘urf (adat) atau undang-undang Prancis atau pendapat fuqaha al qanun (para pakar UU) atau apa yang telah diberlakukan oleh mahkamah-mahkamah.
Adapun munculnya dari Allah swt maka itu tidak memberikan sifat keabsahan qanun, karena Allah –bagi mereka– bukanlah sumber kedaulatan dan tasyri’ (pembuatan hukum) bukanlah termasuk hak Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 367: Realita ini telah melampaui tingkatan maksiat atau bid’ah bahkan telah melampaui tasyri’ muthlaq sampai ke belakang hal itu, bagaimana terkabur masalah maksiat dengan masalah tasyri’ padahal di antara keduanya ada perbedaan yang sangat jauh?
“Dan bila saja bid’ah terbedakan dari maksiat dengan banyak sekali pembedaan yang jelas, dan itu tidak lain karena penetapannya atas penyerupaan tasyri’, maka apa tidak jelas perbedaan antara maksiat dengan tasyri’ muthlaq?” Selesai.
Dan mungkin bagi kami untuk mengatakan dalam khulashah tempat ini bahwa kata “tahrim” adalah kata musytarak seperti lafazh-lafazh lainnya mengandung banyak makna, sebagian maknanya lughawiy atau ‘urfiy dan sebagian lainnya syar’iy, seperti lafazh iman sesungguhnya ia menurut bahasa adalah tashdiq, namun Allah Ta’ala memindahkannya kepada penamaan dan makna syar’iy selain makna lughawiy, di mana Dia menambahkannya ucapan lisan dan amal hati dan jawarih. Begitu juga kufur, sebagaimana al kufru itu memiliki makna lughawiy dan asalnya adalah penutupan sesuatu, sehingga masuk di dalamnya kufranul ‘asyir (mengingkari jasa suami), kufur nikmat dan yang lainnya berupa amalan-amalan yang mana Allah melabelkan padanya kata kufur namun tidak dimaksudkan dengannya kufur yang mengeluarkan dari millah, dan diantarnya – sebagaimana yang engkau ketahui – adalah suatu yang mengeluarkan dari millah.
Dan begitu juga keadaannya dengan kata tahrim ini, sesungguhnya ia digunakan untuk banyak makna –meskipun ia adalah tercela yang mana Allah Ta’ala telah melarangnya– namun ia tidak sampai kepada syirik dan kufur, seperti imtina’ dari sebagian thayyibat yang telah Allah Ta’ala halalkan, baik dengan sumpah atau dalam rangka zuhud, taqasysyuf (hidup susah) dan rahbaniyyah , dan begitu juga digunakan untuk makna tasyri’ yang mana bila dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala maka ia adalah syirik dan kufur akbar yang mengeluarkan dari millatul Islam.
Allah ‘Azza wa Jalla menamakan apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki, sedangkan kita tidak memiliki hak sedikitpun di dalamnya kecuali kita mengatakan: “Kami mendengar dan kami ta’at, ampunan-Mu (yang kami harapkan) Ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al Fashl 3/229: “Sesungguhnya kita dalam syari’at ini tidak menamakan suatu nama kecuali bila Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menamainya atau Allah membolehkan bagi kita dengan nash untuk menamainya, karena kita tidak mengetahui maksud Allah ‘Azza wa Jalla dari kita kecuali dengan wahyu yang datang dari sisi-Nya, oleh sebab itu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman seraya mengingkari orang yang menamakan dalam syari’at ini sesuatu tanpa izin-Nya ‘Azza wa Jalla:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)-Nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya” [An Najm: 23-24]
Maka sahlah bahwa tidak ada pemberian nama yang dibolehkan bagi malaikat dan Nabi tanpa (izin) Allah Ta’ala. Dan siapa yang menyelisihi ini maka ia telah mengada-ada kedustaan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan menyelisihi Al Quran…” Selesai.

Syubhat:
Bahkan (Dusta) Bahwa Al Hajjaj Itu Membuat Hukum Namun
Salaf Tidak Mengkafirkannya

Musibah Murji-atul ‘Ashri adalah bahwa mereka berpaling dari mengenal waqi’ mereka yang mana mereka hidup di dalamnya serta mereka berpaling dari mempelajarinya –bahkan mereka menganggap hal itu sebagai penyia-nyian waktu– sehingga mereka buta, tuli, dan sesat dan menyesatkan dengan sikap mereka menempatkan hukum-hukum bukan pada tempatnya dan (menempatkan) ucapan-ucapan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan waqi’ dan kondisi, sampai engkau melihat kami secara terpaksa berbicara dalam hal-hal yang sudah diterima di kalangan umum dan berbicara panjang dalam hal yang tidak butuh berbicara panjang di dalamnya, itu tidak lain adalah apa yang kami dapatkan dan kami dengar dari kebodohan akal mereka dan dalih-dalihnya.
Sampai-sampai sesungguhnya telah sampai berita kepada saya beberapa hari sebelum koreksi ulang lembaran-lembaran ini dari salah seorang di antara mereka –sedang dia itu tergolong tokoh yang suka membela-bela para thaghut dan menutupi kekafiran-kekafiran mereka, dan dia mengumpulkan di sekelilingnya di dalamnya sejumlah dari para pemuda pengekor supaya ia mengkaburkan atas mereka dien mereka dan tauhidnya dan menggembosi mereka dari para thaghut masa kini serta dari bara’ah dari mereka– bahwa ia berkata dalam rangka membantah orang yang berhujjah atas takfir mereka dengan sebab undang-undang kafir mereka: “Sesungguhnya Al Hajjaj Ibnu Yusuf telah mengirim satu surat kepada salah seorang panglimanya: “Bunuhlah si fulan – yang muslim – “ ini adalah tasyri’! Namun demikian tidak seorang salaf pun mengkafirkannya…!!!
Dan al haq dikatakan bahwa saya sebenarnya malu mencoret-coret lembaran-lembaran ini dengan bantahan terhadap macam lontaran-lontaran ini, akan tetapi orang yang mengetahui realita kita ini dan kejahilan manusia akan ushuluttauhid serta kadar keterasingan dien ini maka ia mengudzur kami di dalamnya.
Dan saya tidak mengatakan kecuali apa yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al Fashl saat me-munaqasyah ucapan para pendahulu mereka itu…….”Ini adalah ucapan-ucapan yang seandainya diucapkan oleh anak-anak kecil yang ingusnya keluar tentulah diputusasakan dari keselamatannya, dan demi Allah sungguh syaitan telah mempermainkan mereka sesukanya, fa innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’un….”
Kemudian saya katakan kepada orang buta itu dan yang taqlid kepadanya: Adapun ucapanmu tentang Al Hajjaj: “tidak satupun dari salaf mengkafirkannya” maka itu tertolak. Meskipun hal ini bisa tersamar di hadapan para pemuda bodoh yang kamu kumpulkan untuk kamu talbis di hadapan mereka dien mereka, namun ia tidak akan samar di hadapan orang yang mengetahui ucapan-ucapan salaf dalam hal itu. Inilah satu contoh saja yang cukup untuk melobangi pemuthlakan ucapanmu yang telah kamu klaim ini.
Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Iman hal 32 dengan sanad shahih dari Sya’biy bahwa ia berkata: “Saya bersaksi bahwa ia beriman kepada thaghut lagi kafir kepada Allah – yaitu Al Hajjaj.”
Dan dekat dengannya ucapan Thawus dalam tempat yang sama dengan isnad shahih juga:”Sungguh heran terhadap ikhwan kami dari penduduk Irak, mereka menamakan Al Hajjaj sebagai orang mu’min.”
Al Hafizh Ibnu Hajar telah menuturkannya dalam Tahdzib At Tahdzib 2/211, dan berkata: “Dan telah dikafirkan oleh banyak orang, diantaranya Sa’id Ibnu Juhair, An Nakha’iy, Mujahid, Ashim Ibnu Abin Najud, Asy Sya’bi dan yang lainnya”
Maksud kami bukanlah membahas tuntas hal itu atau menganutnya , namun hanyalah menggugurkan syubhat-syubhat kamu dan melobangi ithlaqat-mu.
Kemudian saya katakan: Adapun surat yang kamu nisbatkan kepada Al Hajjaj dan kamu bangun di atasnya syubhat-syubhat kamu yang hina, maka ia tidak lain adalah perintah yang bersifat tulisan yang tidak ada bedanya dengan perintah ucapan lisan untuk membunuh, sedangkan keduanya adalah sama saja, dan bahasan di dalamnya tidaklah sukar. Bila hal itu tertuju kepada orang yang berhak untuk dibunuh karena sebab riddah atau qishash, maka si pelaku dan yang memerintahkannya dengan tulisan atau lisan adalah mendapat pahala – bila menepati syarat-syarat diterimanya amal shalih – dan bila tertuju kepada orang yang tidak berhak untuk dibunuh, maka pelakunya dan yang memerintahkannya dengan tulisan atau lisan adalah telah melakukan suatu pidana dan dosa besar serta kezhaliman yang pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal, dan tidak ada yang mengkafirkan pelaku hal itu kecuali Khawarij yang sesat, berbeda halnya dengan orang-orang yang membuatkan bagi manusia hukum/UU dalam hal jiwa, darah, harta, kehormatan, dan nasab, yang mana Allah tidak menurunkan dalil akannya yang dengan hal itu mereka mengganti hududullah dan aturan-aturan-Nya yang tinggi lagi suci, dan mereka mengharuskan manusia untuk mengikutinya dan tunduk kepadanya, baik meyakini atau tidak meyakini dan baik menganggap halal ataupun tidak menganggap halal.
Dan telah kami jelaskan serta kami rinci kepadamu dan kepada selainmu dalam uraian yang lalu makna tasyri’ kufriy, silakan rujuk dan teliti bila engkau ingin petunjuk, dan telah kami tuturkan kepada teks-teks para thaghut dalam UUD mereka, yang mana kekuasaan legislatif (wewenang pembuatan hukum/UU) telah dijadikan sebagai haq muthlaq dari haq-haq mereka, dan bukan hak Allah Ta’ala saja, Maha Tinggi Allah dari apa yang diucapkan orang-orang zhalim. Bila kami ingin mengetahui contoh lebih banyak dari aturan-aturan mereka yang dengannya mereka menganggap halal darah, harta, dan kehormatan orang muslim yang ma’shum dengan suatu yang mana Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, maka silakan rujuk qawanin mereka agar supaya engkau melihat perbedaan yang jauh antara mereka dengan Al Hajjaj yang bertangan besi lagi zhalim itu….. ya demi Allah sesungguhnya penyesatan mereka dengannya adalah kezaliman yang besar.
Bagaimana sedangkan salaf telah berselisih akan kekafirannya, sedangkan mereka tidak mungkin berselisih akan kekafiran kaum musyrikin yang membuat hukum itu, dan kenapa kami pergi jauh untuk memberi contoh…..akan tetapi saya kembalikan kamu kepada sebagian anggota jama’ahmu yang mengklaim salafiyyah sedang salaf bara’ darinya, yaitu mereka yang khianat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mereka ikut serta dalam Majelis Umat (MPR/DPR) tasyri’iy syirkiy di hari saat mereka membuat –bersama anggota majelis berhalais lainnya– “undang-undang pengkhianatan terbesar” dan mereka menyodorkan/mengajukannya kepada pemerintah untuk meminta suara dukungan dan pengakuannya. Dan inilah kutipan-kutipan dari apa yang diterbitkan darinya dalam koran-koran di hari-hari sebelum Majelis Kafir itu dibubarkan dan engkau bisa merujuk kepadanya secara lengkap dalam dokumentasi Majelis dan usulan-usulannya tahun 1984: “Para wakil rakyat mengajukan…….diantara nama-nama yang disebutkan “Jasim Al A’un” yang termasuk tokoh Ad’iyaus Salafiyyah di Kuwait dan pada masa kemudian ia menjadi menteri, dan “Hamud Ar Rumiy” wakil dari Ikhwanul Muslimin; usulan rancangan undang-undang tentang muhakamah (memejahijaukan para menteri), dalam teks-teks berikut ini:
(Teks rancangan): Setelah meneilti UUD, terutama ayat-ayat 58, 65, 79, 81, 101, 109, 126, 131, dan 132 darinya
Dan terhadap undang-undang no. 16 tahun 1960 dengan menggulirkan undang-undang pidana serta undang-undang yang merevisinya.
Dan terhadap undang-undang no. 17 tahun 1960 dengan menggulirkan undang-undang penyidikan dan pengajuan-pengajuan tindak pidana dan undang-undang penggantinya.
Dan terhadap undang-undang no. 30 tahun 1964 dengan membentuk dewan pemeriksaan yang diganti dengan Keputusan no. 4 tahun 1977 M
Dan terhadap keputusan Amir no. 319 tahun 1959 tentang undang-undang pengaturan peradilan dan undang-undang penggantinya .
Majelis rakyat telah menyetujui undang-undang berikut ini dan kami telah mengesahkannya serta mengedarkannya.
(Ayat no. 1) Undang-undang ini diberlakukan dalam mengadukan para menteri ke hadapan hukum, dan setiap teks hukum yang menyelisihi hukum-hukumnya digugurkan!!
(BAB PERTAMA) tentang tanggung jawab para menteri :
1. Khianat terbesar, dan masuk di dalamnya tidak loyal terhadap negara atau terhadap Amir, dan setiap tindakan jahat yang membahayakan kemerdekaan negara atau kesatuannya, atau keselamatan buminya atau keamanan dalam atau luar negerinya atau sistem pemerintahan keamiran Kuwait dan keamiran yang bersifat turun temurun serta setiap kerjasama dengan musuh.
2. Penyimpangan secara sengaja terhadap peraturan-peraturan UUD:
Dan mereka menyebutkan dalam sanksi-sanksinya:
(Ayat 3) Atas tindakan khianat terbesar dikenakan sanksi dengan hukuman mati atau penjara selamanya atau penjara sementara yang masanya lebih dari 3 tahun dan dengan denda yang jumlahnya lebih dari lima ratus dinar.” Selesai.
Saya ingatkan ini untuk pelajaran dan sejarah, serta supaya para pencari al haq mengetahui kebusukan cara-cara dan jalan-jalan yang syirik yang dianut dan dilalui oleh para penyeru kepada pintu-pintu jahannam dengan dalih mashlahat dakwah, di mana akhirnya mereka sendiri menjadi thawaghit dan arbab musyari’in yang mengajak kepada jalan thaghut mereka terbesar dan mashlahatnya, dan bersama itu semua mereka tidak malu-malunya mengaku dakwah ilallah dan mashlahatnya secara dusta dan mengada-ada.
Saya katakan: Kecuali orang yang taubat dan menjauhi ibadah kepada thaghut serat bara’ darinya kemudian dapat petunjuk.

Syubhat:
“Kami Tidak Mengkafirkan Seorang Muslim Pun Dengan Dosa
Selama Dia Tidak Menghalalkannya”

Bila engkau telah memahami uraian yang lalu semuanya, maka mesti nampaklah di hadapan engkau bahwa ucapan mereka “Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa selama dia tidak menghalalkannya” tidaklah muthlaq akan tetapi harus diberi batasan dengan batasan, di mana kita katakan: “Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan dosa yang bukan mukaffir selama dia tidak menghalalkannya.
Dengan dalil bahwa istihza’ kepada Allah dan dien-Nya adalah dosa, mencela Allah dan Rasul-Nya adalah dosa, sujud kepada berhala adalah dosa, melempar mushhaf ke kotoran, membunuh para nabi adalah dosa dan membuat hukum di samping Allah adalah dosa, namun demikian sungguh engkau telah mengetahui bahwa pelaku itu semua adalah kafir baik menganggap halal ataupun tidak, karena di antara dosa ada yang membuat pelakunya kafir (mukaffirat) dan di antaranya ada yang bersifat maksiat murni yang tidak mengeluarkan dari lingkungan Islam, sehingga bagi yang pertama tidak boleh dikatakan saat takfier “Apakah dia menghalalkan atau tidak menghalalkan”, berbeda dengan yang ke dua, maka mesti ada hal itu karena pada dasarnya si pelaku adalah fasiq maliyy bukan kafir.
Kemudian sesungguhnya ungkapan ini bukanlah ayat Al Qur an yang dengannya firman Allah dan sabda Rasul dibenturkan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Juhhal Murjiatul ‘Ashri, namun yang haq adalah membatasinya dan mentaqyidnya dengan firman Allah dan sabda Rasul.
Meskipun sebagian mereka menganggap marfu’ dan menjadikannya dari sabda Nabi saw, maka sesungguhnya itu adalah tidak sah, dan ia adalah hadits palsu yang tidak ada dasarnya sebagimana dituturkan Ibnul Qayyim dalam Bada-i’ul Fawaid 4/42.
Dan termasuk macam ini apa yang diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi saw berkata: “Tiga tergolong dari inti al iman: Menahan diri dari orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan kami tidak mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari Islam dengan amalan………..”
Diriwayatkan Abu Dawud dan Abu Ya’la sedang ia adalah hadits shahih diriwayatkannya dari Anas Yazid Ar Raqaiy, Abu Hatim berkata: Mayoritas riwayat Anas dengan perlu peninjauan di dalamnya dan dalam haditsnya terdapat kelemahan, Ibnu Hibban berkata: Ia lalai dari menghafal hadits karena sibuk dengan ibadah, sehingga ia membalikkan ucapan Al Hasan terus ia menjadikannya dari Anas dari Nabi saw, maka tidak halal meriwayatkan darinya kecuali dalam bentuk ta’ajjub.
Dan hal serupa apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabariy dalam Al Kabir dari Ibnu Umar (secara) marfu’: Tahan diri kalian dari ahli laa ilaaha illallaah, dan janganlah mengkafirkan mereka, siapa yang mengkafirkan ahli laa ilaaha illallah, maka ia lebih dekat dengan kekafiran.”
Di dalam sanadnya ada Adl Dlahhak Ibnu Humrah dan Ali Ibnu Zaid Ibnu Jad’an, sedang keduanya adalah lemah…..inilah perbendaharaan mereka, semuanya adalah atsar-atsar yang lemah lagi diperbincangkan, dan termasuk seandainya tsabit sesuatu darinya atau yang semakna dengannya, sehingga seyogyanya dibawa kepada apa yang menjelaskannya dari Al Kitab dan As Sunnah, dipahaminya sebagimana apa yang dipahami As Salaf tidak seperti apa yang dipahami oleh hawa nafsu Murjiatul ‘Ashri dan selera mereka, di mana hal itu dibawa kepada orang yang merealisasikan tauhid dan menjauhi pembatal-pembatal, syirik dan tandid, sebagaimana apa yang datang dalam hadits-hadits yang menjelaskan hal ini, dan diantaranya sabda Nabi saw: “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dia kafir kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya atas Allah ‘Azza Wa Jalla.” HR. Muslim
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Ini tergolong hal terbesar yang menjelaskan kepadamu makna Laa ilaaha illallah, karena beliau tidak menjadikan sekedar pengucapan akannya sebagai hal yang menjaga darah dan harta, bahkan tidak pula pengetahuan akan maknanya disertai pengucapannya, bahkan tidak pula pengakuan akannya, dan tidak pula keberadaan dia tidak menyeru kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, bahkan darah dan hartanya tidak haram sehingga menyertakan dengan hal itu al kufru terhadap segala yang diibadati selain Allah.” Selesai.
Dan sudah ma’lum bahwa penafian dalam kalimat “laa ilaaha illallaah” mengandung banyak makna yang di antaranya makna yang dijabarkan hadits dengan sabdanya: “dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah” maka penguatan makna ini padahal (makna itu) bisa diambil dari lafazhnya secara langsung menunjukkan bahwa ia adalah maknanya yang paling agung dan paling penting, dan akan datang bahasan ini dalam syubhat “Sesungguhnya mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah dan shalat.”
Begitu juga keadaannya pada kalimat “Ahlul Kiblat” yang dituturkan salaf dalam urutan yang serupa dengan ungkapan ini. Dari Jabir ra bahwa dikatakan kepadanya: Apakah kalian memanggil (menamakan) seorang dari Ahlil Kiblat sebagai musyrik? Beliau berkata: Ma’adzallah,” ia terperanjat karena hal itu. Berkata: Apakah beliau menamakan seseorang dari mereka kafir? Berkata: Tidak” Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ath Thabrany dalam Al Kabir.
Hal serupa apa yang dikatakan dalam Al Aqidah Ath Thahawiyyah dan sering disebut-sebut oleh Afrakhul Murjiah tanpa mereka pahami maknanya “Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat karena sebab dosa mereka selama ia tidak menganggap halal.”
Yang dimaksud dengan Ahlul Kiblat bukanlah orang-orang yang shalat secara umum meskipun mereka murtad dari berbagai pintu, namun yang dimaksudkan adalah kaum muslimin muwahhidin yang menjauhi pembatal-pembatal keislaman, dengan dalil bahwa sahabat telah mengkafirkan orang yang meninggalkan shaum Ramadhan dan yang meninggalkan haji sebagaimana yang akan datang. Dan begitu juga bukan maksudnya bahwa sekedar shalat itu saja melindungi dari kekafiran, meskipun ia menyekutukan Allah dan beribadah kepada selain Allah, karena shalat tidak diterima tanpa ada tauhid yang merupakan ashlul iman dan syaratnya, dan rincian ini akan datang juga. Jadi Ahlul Kiblat adalah muwahhidin yang menjauhi pembatal keislaman. Dan yang dimaksud dari larangan mengkafirkannya adalah mereka tidak boleh dikafirkan dengan sekedar dosa-dosa yang pelakunya tidak dikafirkan, karena tidak ada yang mengkafirkan mereka dengannya kecuali Khawarij dan orang yang sejalan dengan mereka. Oleh sebab itu pensyarah Ath Thahawiyyah berkata (hal 316): “Syaikh rh dengan ucapan ini mengisyaratkan pada bantahan terhadap Khawarij yang melakukan takfier dengan setiap dosa.
Dan berkata hal (317): Oleh sebab itu banyak dari para imam menolak dari memuthlaqan ucapan bahwa kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan dosa, namun dikatakan: “Kami tidak mengkafirkan mereka dengan setiap dosa sebagimana yang dilakukan Khawarij. Dan dibedakan antara penafian yang umum dengan penafian keumuman, sedang yang mesti adalah penafian keumuman, dalam rangka menggugurkan ucapan Khawarij yang mengkafirkan dengan setiap dosa, oleh karena itu – wallahu a’lam – Syaikh rh memberikan batasan dengan ucapannya selama ia tidak menghalalkannya. Dan dalam ucapannya, “selama tidak menghalalkannya” ada isyarat pada maksud beliau dari penafian ini bagi setiap dosa dari dosa-dosa ‘amaliyyah bukan ‘ilmiyyah”. Selesai.
Saya berkata: Yang dimaksud dengan istilah dzunub ‘amaliyyah menurut mereka adalah dosa-dosa yang tidak mengkafirkan, sebagaimana ia nampak dari awal ucapannya. Adapun amalan secara muthlaq maka sungguh engkau telah tahu bahwa ada rincian di dalamnya, dan tambahan rincian akan datang.
Dan dari ini nampak di hadapanmu kebatilan ihtijaj mereka untuk (membela) para thaghut dengan ungkapan itu serta kebatilan klaim mereka akan ijma terhadap lafazhnya yang muthlaq ini dan juga pemahaman mereka yang rusak ini.
Dan inilah ucapan Imam Ahlis Sunnah Wal Jama’ah dalam hal itu:
Al Khallal berkata: Muhammad Ibnu Harun memberi kabar kami bahwa Ishaq Ibu Ibrahim memberitahu mereka, berkata: Saya menghadiri seorang yang bertanya kepada Abu Abdillah, dia berkata: Wahai Abu Abdillah, ijma kaum muslimin atas iman dengan qadar, baik dan buruknya? Beliau berkata: Ya.
Ia berkata: Dan kita tidak mengkafirkan seseorang dengan sebab dosa? Abu Abdillah berkata: Diam! Siapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir, dan siapa yang mengatakan Al Qur an makhluk maka ia kafir.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh berkata: Kaum muslimin telah sepakat bahwa orang yang tidak mendatangkan dua kalimah syahadat maka dia kafir, dan adapun amalan yang empat maka mereka berselisih dalam takfier orang yang meninggalkannya. Dan kami bila mengatakan bahwa Ahlus Sunnah sepakat bahwa sesungguhnya tidak mengkafirkan dengan sebab dosa, maka sesungguhnya kami memaksudkan dengannya maksiat-maksiat seperti zina dan minum khamr. Adapun hukum-hukum Islam yang lain ini maka dalam takfiernya ada perselisihan yang masyhur.” Selesai 7/302 Al Fatawa.
Saya berkata: Maka apa gerangan dengan ashlul ushul yang mana bangunan? (Islam) ini tidak diterima tanpanya..??
Maka ini semua menunjukkan atas kebatilan ijma yang disebutkan tadi dan atas wajibnya memahami ucapan ini dengan dasar dalil-dalil lain yang menjelaskan, persis seperti apa yang dipahami salaf,……dan membatasinya seperti yang mereka batasi.

Syubhat:
Mereka Berhujjah Dengan
Ucapan Abdullah Ibnu Syaqiq Al Uqailiy
Bahwa Sahabat Tidak Memandang Suatupun Dari Amalan
Yang Meninggalkannya Adalah Kekafiran Kecuali Shalat

Inilah sungguh sebagian Afrakhul Murjiah telah berdalih untuk menambal (kekafiran) para thaghut dengan ucapan Abdullah Ibnu Syaqiq Al ‘Uqailiy ra: “Adalah sahabat Muhammad saw tidak memandang sesuatupun dari amalan yang meninggalkannya adalah kekafiran selain shalat.:
Bila kita sedikit longgar bersama mereka dan menangguhkan pembicaraan dalam masalah status kehujjahan hal seperti ini serta perselisihan di dalamnya di kalangan ahlul ilmi tentang Al Ushul terutama bila ada yang menyelisihi dan yang menentangnya dari kalangan sahabat dan kita pindah untuk memahami apa yang dimaksud dari atsar ini, maka hal wajib secara pasti atas kita adalah mengetahui amalan-amalan yang diisyaratkan kepadanya di dalamnya. Apa kita memuthlaqkannya sehingga kita memasukkan di dalamnya setiap yang tercakup penamaan amal, sehingga masuk juga (tauhid) dan kufur terhadap thaghut serta yang lainnya, karena ia juga amal, dan ini adalah batil, karena meninggalkannya adalah kekafiran dengan ittifaq, atau kita mentaqyidnya dengan amalan-amalan yang di bawah itu, sehingga gugurlah ihtijaj (berhujjah) dengan atsar ini terhadap kemusyrikan zaman kita yang dahsyat – yang mana ia belum pernah ada saat atsar ini diucapkan – yaitu “meninggalkan pemberlakuan syari’at Allah dan pemberlakuan thaghut-thaghut (UU) lokal dan internasional” terutama sesungguhnya masalahnya sebagaimana yang engkau ketahui bukanlah sekedar meninggalkan pemutusan dengan sebagian syari’at Allah sesekali akan tetapi ia keberpalingan muthlaq dari hududullah, pembuatan hukum dan penggantian, yaitu masuk dalam dien (hukum/UU) para thaghut, peribadatan kepadanya dan menjadikannya sebagai arbab yang cerai berai dengan cara mentaatinya dalam tasyri’ serta tidak bara’ah darinya dan dari aturan-aturannya. Dan dalam hal ini bukan hanya meninggalkan tauhid dan berpaling darinya, namun merobohkan dan memeranginya. Dan sudah ma’lum bahwa hal inti yang mana perseteruan kita terjadi di dalamnya, yang dikafirkan itu bukan hanya yang memerangi dan menghancurkan serta menghalang-halangi darinya, namun juga orang yang sekedar meninggalkan lagi berpaling darinya, karena ini bukan meninggalkan amalan yang mustahab atau yang wajib yang sekedar dosa pelakunya, namun ia adalah meninggalkan dan berpaling dari inti ajaran Islam yang paling mendasar dan syarat (keislaman) yang mana amalan apapun tidak bisa diterima, maka bagaimana dengan yang menghancurkannya lagi memerangi juga menghalang-halangi darinya.
Bagaimanapun, tidak seyogyanya membawa atsar ini melebihi dari makna yang dikandungnya karena ia tidak berbicara tentang cabang-cabang kufur ‘amaliyyah dan qauliyyah yang mana engkau mengetahui banyak darinya dalam uraian yang lalu, namun ia berkata tentang cabang-cabang iman ‘amaliyyah. Tidak semua amal amal yang mana ia tergolong cabang cabang iman ‘amaliyyah meninggalkannya adalah kekafiran, seperti membuang kotoran dari jalan, sederhana, sifat malu, mencintai bagi saudaramu apa yang kamu cintai bagi dirimu, dan yang lainnya, karena suatu yang ma’lum bahwa lenyap sesuatu dari cabang-cabang ini maka iman tidak lenyap secara keseluruhan dan tidak gugur, akan tetapi ia berkurang sesuai kadarnya bila ia tergolong wajibatul iman. Adapun syu’abul iman yang mana ia tergolong ashl-nya maka sesungguhnya iman batal dengan lenyapnya hal itu atau dengan lenyapnya sebagian hal itu, seperti shalat yang disebutkan dalam atsar ini bahwa ia adalah satu-satunya syu’bah ‘amaliyyah yang mana meninggalkannya menggugurkan al iman, itu dikarenakan Ahlus Sunnah menganggap al iman itu i’tiqad, ucapan dan amalan, jadi di antara amalan menurut mereka ada yang tergolong kamalul iman (al mustahab), di antaranya ada yang tergolong al iman al wajib dan di antaranya ada yang merupakan syarat bagi keabsahan iman.
Ibnul Qayyim rh berkata dalam Kitab Ash Shalat hal 53: “Tatkala iman itu memiliki cabang-cabang yang banyak, dan setiap cabang darinya dinamakan iman, seperti sifat malu dan tawakkal……..sampai cabang-cabang ini berujung di menyingkirkan kotoran dari jalan, sesungguhnya ia adalah cabang dari cabang-cabang al iman.
Dan cabang-cabang ini di antaranya ada yang iman lenyap dengan lenyapnya hal itu seperti syu’bah syahadat, dan di antaranya ada yang iman tidak lenyap dengan lenyapnya hal itu seperti menyingkirkan kotoran.” Mukhtashar.
Ini menurut Ahlus Sunnah, adapun menurut Murjiah dan Jahmiyyah serta orang-orang yang mengikuti mereka, maka sesungguhnya mereka rancu dalam penamaan al iman dan hubungan amalan dengannya, oleh sebab itu tidak ada satupun amalan yang bila ia lenyap, maka iman menjadi lenyap menurut mereka. Dan perhatikanlah ucapan Ibnul Qayyim dalam syu’bah syahadat, karena sesungguhnya pembicaraan kita semuanya seputar hal itu.
Adapun keberadaan atsar ini menegaskan bahwa sahabat tidak memandang di antara syu’abul iman al ‘amaliyyah suatu yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya kecuali shalat, maka tidak seyogyanya memahaminya bahwa itu ijma dari mereka ra, namun paling tidak dikatakan tentangnya bahwa itu pendapat sekelompok dari mereka, dan beliau memuthlaqan ucapan di dalamnya sebagai bentuk ta’dhim akan statusnya, karena manthuqnya bertentangan lagi menyelisihi pendapat sejumlah dari sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, terutama dalam apa yang dinamakan “al-mabany/rukun-rukun Islam” oleh Ibnu Taimiyyah. Dan ini dijabarkan di tempatnya lagi telah dituturkan oleh ahlul ilmi dalam kitab-kitab al iman yang mereka susun, bahkan ia ditentang oleh ijma sahabat atas sikap memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat sebagai perang karena riddah. Ijma mereka telah terjalin setelah munadharah yang terjadi antara Abu Bakar dengan Umar atas sikap memerangi mereka. Dan ma’lum bahwa banyak dari mereka tidak mengingkarinya namun hanya menolak saja, namun demikian sahabat memerangi mereka seluruhnya, dan bentuk qital mereka adalah qital riddah, di mana mereka menganggap halal darah dan harta dan bahkan menjadikan wanita mereka sebagai budak. Dan (Muhammad Ibnu Hanafiyyah) putra Ali Ibnu Abi Thalib tidak lain adalah anak (seorang) wanita dari budak-budak itu. Dan sikap ini dianggap sebagai bagian keutamaan Ash Shiddiq ra. Maka bagaimana bila masalah kita ini adalah al kufru biththaghut yang tidak seperti cabang iman lainnya, namun ia adalah cabang yang paling tingi dan paling agung, dan ia adalah separuh ashlul iman dan kaidahnya.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh berkata dalam Mishbahudhdhalam: “Ashlul Islam dan mabani-nya memiliki posisi yang tidak dimiliki oleh yang lainnya dari sunnah-sunnah oleh sebab itu orang yang mengingkarinya dikafirkan dan diperangi karenanya, bahkan orang yang meninggalkannya dikafirkan oleh jumhur salaf dengan sekedar meninggalkan.” Selesai.
Syaikhul Islam telah menuturkan pendapat-pendapat mereka seputar hal itu dalam banyak tempat di Fatawanya 7/302, di mana beliau berkata: Dari Ahmad dalam hal itu ada pertentangan, dan salah satu riwayat darinya bahwa beliau mengkafirkan dengan sebab meninggalkan satu shalat saja, dan ini adalah pilihan oleh Abu Bakar dan sekelompok dari pengikut Malik seperti Ibnu Hubaib.
Darinya ada riwayat ke dua: Bahwa orang tidak dikafirkan kecuali dengan sebab meninggalkan shalat dan zakat saja.
Dan riwayat ke tiga: Tidak dikafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat, dan zakat bila dia memerangi iman karenanya.
Dan riwayat ke empat: Tidak dikafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat.
Dan ke lima: Tidak dikafirkan dengan meninggalkan sesuatu darinya….dan ini adalah pendapat yang ma’ruf pada salaf.” Selesai.
Begitu juga hal 7/259, di dalamnya ada ucapannya: Dan begitu juga darinya ada riwayat bahwa beliau mengkafirkan dengan sebab meninggalkan shaum dan haji, bila dia berazam untuk tidak haji selamanya.” Selesai.
Beliau menukil dari Al Hakam Ibnu Utbah 7/302 ucapannya: Siapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia telah kafir, siapa yang meninggalkan zakat dengan sengaja maka dia telah kafir, siapa yang meninggalkan haji dengan sengaja maka dia kafir, dan siapa yang meninggalkan shaum Ramadhan dengan sengaja maka dia telah kafir.” Dan dari Sa’id Ibnu Jubairi: Siapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia telah kafir kepada Allah. Siapa yang meninggalkan zakat dengan sengaja maka dia telah kafir kepada Allah, dan siapa yang meninggalkan shaum Ramadhan dengan sengaja maka dia telah kafir kepada Allah.” Selesai.
Dan beliau menukil dari Muhammad Ibnu Nashr Al Marwazi 7/333: Siapa yang dhahirnya amalan-amalan Islam dan itu tidak dikembalikan pada ‘Uqudul Iman terhadap ghaib maka ia munafiq nifaq yang memindahkan dari millah. Dan siapa yang ikatannya iman terhadap ghaib namun tidak mengamalkan ahkamul iman dan syara’ul Islam maka dia itu kafir yang tidak bisa tetap tauhid bersamanya.”
Abdullah Ibnu Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal berkata dalam Kitabus Sunnah 1/34): Suwaid Ibnu Sa’id Al Harawy berkata: Kami bertanya kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah tentang irja.” Maka beliau berkata: Mereka mengatakan iman itu ucapan, sedangkan kita mengatakan iman itu ucapan dan amalan, Murjiah menetapkan surga bagi orang yang bersaksi akan laa ilaaha illallah sedang dengan hatinya dia bersikukuh terus meninggalkan faraidl, dan mereka menanamkan peninggalan faraidl sebagai dosa seperti melanggar hal-hal yang haram, padahal itu tidak sama, karena melanggar hal-hal haram tanpa istihlal adalah maksiat, sedangkan meninggalkan faraidl secara sengaja tanpa kejahilan dan udzur adalah kekafiran.
Dan penjelasan itu adalah ada pada masalah yang menimpa Adam as, iblis, dan ulama Yahudi.
Adapun Adam, maka Allah ‘Azza wa Jalla telah melarangnya dari memakan (buah) pohon dan Dia mengharamkannya atas dia, terus dia memakan darinya secara sengaja agar menjadi malaikat atau termasuk golongan yang kekal, maka Dia menamakan Adam sebagai orang yang maksiat tanpa kufur.
Adapun Iblis la’anahullah, maka sesungguhnya Allah telah memfardlukan satu kali sujud, terus mengingkarinya secara sengaja, maka dia dinamakan kafir.
Adapun ulama Yahudi, maka sungguh mereka telah mengetahui ciri-ciri Nabi saw dan bahwa beliau adalah Nabi dan Rasul, sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka serta mereka mengakuinya dengan lisan namun mereka tidak mengikuti ajarannya, maka Allah ‘azza wa jalla namakan mereka kafir.
Melanggar yang diharamkan adalah seperti dosa Adam as dan para nabi lainnya. Dan adapun meninggalkan faraidl dengan juhud, maka ia kekafiran seperti kekafiran iblis la’anahullah.
Sedang meninggalkan faraidl dengan disertai pengetahuan tanpa juhud maka ia kekafiran seperti kekafiran ulama Yahudi. Wallahu A’lam.
Saya katakan: Bila ini ucapan-ucapan mereka seputar meninggalkan faraidl dan mabani yang mana ia termasuk syu’abul iman, maka bagaimana gerangan dengan meninggalkan bahkan menghancurkan suatu yang merupakan faraidl yang paling agung, paling pertama, kepalanya dan intinya, yaitu al kufru biththaghut dan tauhidullah dengan seluruh macam ibadah, dan kami maksudkan dari hal itu di sini adalah tha’at dalam tasyri’…….?

Syubhat:
Bahwa Para Thaghut Dan Budak-Budak Mereka Itu
Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah

Murjiatul ‘Ashri di sini memiliki syubhat lain yang berkaitan dengan yang sebelumnya, yang telah mereka warisi dari para guru mereka Murjiah pertama, yaitu ihitijaj mereka dengan sebagian hal-hal umum yang ada dalam khabar-khabar yang tsabit dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa siapa yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” maka dia masuk surga, atau haram darah dan hartanya, seperti hadits Usamah Ibnu Zaid “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan..?”, hadits bithaqah dan yang lainnya.
Sedangkan al haq adalah bahwa orang yang suka mentelaah kitab-kitab ahlul ilmi, maka ia mengetahui bahwa ahlul ilmi telah membahas tuntas masalah-masalah ini sebagai bentuk bantahan dan penjelasan. Dan dalam rangka penyempurnaan materi ini tidak ada salahnya saya memilihkan buat pencari al haq sekilas dari ungkapan-ungkapan mereka dalam bab ini, terutama sesungguhnya sangat disayangkan sekali saya telah mendapatkan dari kalangan yang kufur terhadap thaghut dan baro dari mereka serta tidak membela-bela mereka, sikap ngawur dan rancu di dalamnya. Dan saya menilai ini tidak lain adalah keterpengaruhan dan ketergangguan oleh orang yang menyelisihi mereka dan lontaran-lontarannya, berupa tuduhan Takfiriy, Khawarij dan bentuk teror pemikiran lainnya, juga penghalang-halangan dan pencorengan yang dilakukan Ahlut tajahhum wal irja yang mengklaim bermanhaj salaf (salafi maz’um, pent) secara dusta dan mengada-ada, dalam rangka membela-bela para thaghut, pemerintahan-pemerintahannya serta parlemen-parlemennya yang kafir.
Adapun pembicaraan atas syubhat ini dan penggugurannya maka itu ada pada ahlul ilmi dari banyak sisi, dan yang penting diantaranya adalah saudara muwahhid mesti selalu ingat bahwa syara’i itu turun dengan cara bertahap, dan ini hal yang ma’lum bagi setiap orang.
Al Imam Abu Ubaid Al Qasim Ibnu Salam berkata dalam Kitabul Iman setelah menyebutkan firman-Nya Ta’ala:
“Bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu adalah lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (An Nisaa’: 59), dan beliau berkata: Dan sesungguhnya kami kembalikan masalahnya kepada apa yang atasnya Allah telah mengutus Rasul-Nya saw dan yang dengannya Dia turunkan Kitab-Nya, maka ternyata kami mendapatkannya Dia telah menjadikan permulaan al iman adalah kesaksian akan laa ilaaha illallaah dan bahwa Muhammad Rasulullah saw, beliau menetap di Mekkah setelah kenabian sepuluh atau belasan tahun menyeru kepada syahadat ini secara khusus, dan tidak ada keimanan yang difardlukan atas hamba-hamba-Nya saat itu selainnya, siapa yang memenuhi panggilan kepadanya, maka dia itu mu’min yang tidak wajib atasnya nama dalam dien ini selainnya, tidak wajib atas mereka zakat, shaum dan ajaran Islam lainnya. Dia jadikan pengakuan dengan lisan saja adalah iman yang difadlukan atas manusia saat itu. Mereka di atas keadaan seperti itu selama menetap di Mekkah, dan beberapa belas bulan di Madinah setelah hijrah , kemudian tatkala manusia cenderung kepada Islam dan baik sekali kecintaan mereka kepadanya, maka Allah menambah mereka dalam keimanannya di mana Dia palingkan shalat ke Ka’bah setelah sebelumnya menghadap Baitul Maqdis.
Kemudian Dia mengkhithabi mereka saat mereka di Madinah dengan nama iman mereka yang lalu dalam setiap apa yang Dia perintahkan dan apa yang Dia larang. Dan Dia hanya menamai mereka dengan nama (iman) ini dengan sekedar pengakuan, karena saat itu tidak ada hal yang fardlu selainnya. Kemudian tatkala syari’at telah turun setelah ini, maka wajib atas mereka seperti wajibnya yang pertama saja tidak ada perbedaan di antara keduanya, karena keduanya dari sisi Allah dan dengan perintah-Nya serta dengan pewajiban-Nya. Seandainya mereka saat pemindahan kiblat ke Ka’bah menolak untuk shalat menghadap kepadanya, dan mereka berpegang dengan keimanan yang telah mereka sandang namanya dan kiblat yang dulu mereka menghadap kepadanya, maka itu sama sekali tidak bermanfaat bagi mereka, namun padanya terdapat pengguguran terhadap pengakuan mereka. Dan tatkala mereka memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk menerima shalat seperti pemenuhan mereka akan pengakuan, maka keduanya secara bersamaan saat itu menjadi Al Iman. Kemudian mereka berada dalam keadaan seperti itu sementara waktu, terus tatkala mereka selalu komitmen dengan shalat dan dada mereka lapang dengannya, maka Allah turunkan kefardluan zakat dalam iman mereka digabung dengan yang sebelumnya. Seandainya mereka menolak zakat pada saat pengakuan dan mereka memberikannya akan hal itu dengan lisan dan mereka mendirikan shalat namun mereka menolak dari zakat, maka hal itu melenyapkan apa yang ada sebelumnya, serta menggugurkan pengakuan dan shalat. Dan bukti kongkrit yang membenarkan hal ini adalah jihad Abu Bakar Radliyallaahu ‘anhu bersama kaum muhajirin dan anshar memerangi orang-orang yang menolak bayar zakat seperti jihad Rasulullah saw memerangi kaum musyrikin, sama saja tidak ada bedanya antara keduanya dalam hal penumpahan darah, perbudakan anak-anak dan wanita, dan perampasan, hartanya, padahal mereka itu hanya menolak bayar zakat saja bukan mengingkarinya, kemudian seperti itulah ajaran-ajaran Islam yang lain semuanya. Setiap kali turun syari’at maka ia menjadi digabungkan dengan yang sebelumnya lagi menyertainya, dan semuanya dicakup oleh nama al iman, sehingga dikatakan kepada pemeluknya mu’minun. Dan inilah tempat yang telah keliru di dalamnya orang yang berpendapat bahwa iman itu dengan ucapan.
Sebagaimana mereka telah keliru dalam pentakwilan hadits Nabi saw tatkala ditanya oleh orang yang memiliki kewajiban memerdekakan budak tentang memerdekakan budak ‘ajam (non arab), maka dia disuruh memerdekakannya dan Nabi menamakannya mu’minah. Dan ini hanyalah berdasarkan apa yang telah saya beritahukan kepadamu berupa masuknya mereka dalam al iman dan penerimaan serta pembenaran mereka terhadap apa yang telah turun darinya, sedangkan ia itu turun berpisah-pisah seperti turunnya Al Quran.” Selesai secara ikhtisar.
Dan atas dasar ini maka sesungguhnya orang yang masuk Islam setelah Allah menyempurnakan dien ini bagi kita, dan dia mengaku akan laa ilaaha illallah di mana dia bara dari itu, kemudian dia diperintahkan melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang wajib atas setiap muslim (al mabaniy), kemudian bila dia mengamalkannya dan komitmen dengannya, serta dia menjauhi segala pembatal laa ilaaha illalaah, maka terus berlangsunglah ‘ishmah (keterlindungan darah dan harta) yang telah dia masuki dengan sekedar pengakuan dan iltizam dengan kalimat tauhid. Dan bila terjatuh pada salah satu pembatal (laa ilaaha illallaah) atau menolak salah satu syaratnya dan mabani-nya, maka ‘ishmah itu terputus, sesuai rincian dalam perselisihan yang terkenal tentang mabani itu……….dengan memperhatikan syuruth dan mawani’ takfier.
Dipahami hal ini dari ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz tatkala beliau utus ke Yaman: “Kemudian bila mereka memenuhi panggilanmu kepadanya……..”yaitu kalimat tauhid yang mengharuskan sikap bara dari ajaran mereka yang batil,” maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu….”
Dan oleh sebab itu seandainya orang yang mengakui kalimat tauhid dan bara dari syirik dan para pelakunya meninggal dunia langsung setelah pengakuannya, dan sama sekali belum pernah melakukan satupun dari amal-amal Islam yang difardlukan karena belum wajib atas dia, seperti dia masuk Islam waktu dluha dan kemudian meninggal dunia sebelum masuk waktu dluhur, maka sesungguhnya dia mati dalam keadaan muslim mu’min yang telah menegakkan al iman yang wajib atasnya.
Dan ini seperti laki-laki yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam suatu peperangan , dia berkata: “Wahai Rasulullah saya berperang atau masuk Islam?” Maka beliau berkata: “Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka diapun masuk Islam terus berperang hingga terbunuh.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia beramal sedikit dan diberi pahala banyak” dia setelah masuk Islam tidak beramal kecuali apa yang wajib atasnya di waktu itu hanya membela Rasulullah saw dan dia mati tanpa pernah ruku’ kepada Allah satu kali ruku’ sekalipun. Dan dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 11/519: “Orang bila beriman kepada Rasul dengan keimananan yang pasti, dan dia mati sebelum masuk waktu shalat atau (sebelum) wajibnya sesuatupun dari amalan, maka dia mati dengan sempurna iman yang wajib atasnya, kemudian bila telah masuk waktu shalat, maka wajib atasnya shalat dan jadilah wajib atasnya suatu yang belum wajib atas dia sebelum itu.” Selesai.
Dan berkata 7/518: “Sesungguhnya Allah tatkala mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk, maka yang menjadi kewajiban atas makhluk adalah membenarkannya dalam apa yang beliau beritakan, dan mentaatinya dalam apa yang beliau perintahkan, dan saat itu beliau tidak memerintahkan mereka untuk shalat lima waktu, shaum Ramadhan dan haji ke Baitullah, dan tidak mengharamkan atas mereka khamr, riba, dan yang lainnya, serta mayoritas Al Qur an belum turun. Kemudian siapa yang membenarkannya saat itu dalam apa yang diturunkan dari Al Qur an dan mengakui apa yang diperintahkan berupa dua kalimah syahadat serta hal-hal yang mengikutinya, maka orang itu seandainya dia didatangkan setelah hijrah tentulah tidak diterima darinya, dan seandainya dia mencukupkan dengannya tentulah dia kafir. Allah Ta’ala berfirman di tahun haji wada’:
“Pada hari telah Aku sempurnakan bagi kamu dien kamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian..” (Al Maidah: 3).
Masalahnya setelah sempurnanya syariat ini adalah seperti apa yang diriwayatkan Al Bukhari dari Wahb Ibnu Munabbih, bahwa dikatakan kepadanya: Bukankah kunci surga adalah laa ilaaha illallaah?” Maka beliau berkata: Ya, tapi tidak ada satu kuncipun melainkan memiliki gigi, bila kamu datang dengan kunci yang memiliki gigi maka pintu dibukakan bagimu, dan bila tidak maka tidak (dibukakan).”
Jadi “laa ilaaha illallaah” itu memiliki lawazim (keharusan-keharusan) dan muqtadlayat (tuntutan-tuntutan), juga nawaqidl (pembatal-pembatal) serta hal-hal yang membatalkan. Kemudian bila mendatangkan lawazimnya dan menjauhi pembatal-pembatalnya maka berlaku teruslah ‘ishmah yang dia masuki dengan sekedar pengakuan, dan bila ia mendatangkan satu pembatal, maka ‘ishmah itu terputus dan ucapan saja tidak berguna baginya setelah itu.
Dan dengan ini dan yang semisalnya engkau memahami makna pengingkaran Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap Usamah tatkala membunuh seorang laki-laki setelah dia mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Jadi pelafalan dia akannya merupakan penampakan akan sikap masuk dalam Islam, sehingga dia diperintahkan dengannya dan dengan apa yang menjadi kemestiannya berupa ‘ishmah, sampai muncul darinya suatu pembatal yang memutus ‘ishmah itu. Dan yang Nabi sawa ingkari terhadap Usamah adalah sikap pemastiannya bahwa dia itu mengucapkannya karena taqiyyah lagi khawatir (tebasan) pedang, dan siapa tahu dia itu jujur lagi akan meninggalkan nawaqidlnya dan iltizam dengan tuntutan-tuntutannya serta hak-haknya setelah itu. Laa ilaaha illallaah adalah kunci masuk Islam, dengannya orang yang masuk Islam di awal mulanya terlindung (darah dan hartanya) kemudian keislamannya tidak langgeng dan ‘ishmahnya tidak berlangsung terus setelah itu kecuali dengan iltizam syarat-syarat kunci itu serta menjauhi nawaqidlnya, karena masuk Islam adalah suatu hal, sedangkan keberlangsungan keabsahannya dan kesinambungan serta ketidakbatalannya adalah hal lain.
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 12/279 saat menjelaskan hadits “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illallaah” bab (Membunuh orang yang tidak mau menerima faraidl) dari Kitab Istitabatul Murtaddin: “Dan ada faidahnya di dalamnya (yaitu) larangan membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah walaupun tidak melebihi itu sedang dia dalam keadaan seperti itu, namun apakah dengan sekedar itu ia menjadi muslim? Pendapat yang kuat adalah tidak, namun wajib menahan diri dari membunuhnya sehingga diuji, bila ia bersaksi terhadap kerasulan dan komitmen dengan aturan-aturab Islam maka ia dihukumi muslim. Dan terhadap hal itu diisyaratkan dengan pengecualian dengan sabdanya: “Kecuali dengan hak Islam”.
Kemudian menukil dari Al Baghawi ucapannya: “Orang kafir bila penyembah berhala atau tsanawiy yang tidak mengakui keesaan (Allah), kemudian bila dia mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka dia dihukumi muslim, terus dipaksa untuk menerima seluruh ajaran Islam dan berlepas diri dari setiap dien (ajaran) yang menyelisihi dienul Islam….hingga akhir ucapannya.” Selesai.
An-Nawawi dalam syarah hadits ini menuturkan dari Al Qadli ‘Iyadl ucapannya: Kekhususan keterjagaan harta dan jiwa bagi orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah ungkapan tentang pemenuhan panggilan untuk beriman, dan bahwa yang dimaksudkan dengan ini adalah orang-orang yang pertama kali di ajak masuk Islam dan diperangi atas dasarnya.
Adapun selain mereka dari kalangan yang mengakui tauhid, maka dalam keterjagaan (darah dan hartanya) tidak cukup dengan ucapannya: “Laa ilaaha illallaah” bila dia mengucapkannya dalam kekafirannya dan ia termasuk keyakinannya, maka oleh sebab itu (dikatakan) dalam hadits lain: “dan bahwa aku adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”
Kemudian An Nawawi berkata: “Dan dengan ini mesti ada keimanan terhadap seluruh apa yang dibawa Rasulullah, sebagaimana dalam riwayat lain jalur Abu Hurairah “sehingga mereka bersaksi akan laa ilaaha illallaah, mereka beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa. “Wallahu A’lam.” Selesai Syarah Muslim.
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 1/367 menghikayatkan: “Ijma kaum muslimin terhadap keberadaan bahwa hadits-hadits ini dibatasi dengan ketidakadaan penghalang, oleh sebab itu salaf mentakwilnya, terus beliau menghikayatkan dari jama’ah diantaranya Ibnul Musayyib bahwa ini sebelum turun faaraidl, perintah dan larangan. An Nawawi menghikayatkan dari sebagian mereka bahwa ia berkata: ia (hadits-hadits itu) adalah global yang butuh penjelasan, sedang maknanya adalah: orang yang mengucapkan kalimat ini dan dia tunaikan hak dan kefardluannya” dia berkata: Dan ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri, sedangkan pendapat Al Bukhari bahwa itu bagi orang yang mengucapkannya di saat penjelasan dan taubat serta dia mati di atas hal itu. Beliau teruskan dalam Kitabullibas.” Selesai.
Dan berkata dalam Risalah “Irsyadus Sail Ilaa Dilalatil Masaail” : soal kedua: isinya: Apa status hukum penduduk badui yang tidak melakukan sedikitpun dari ajaran ini kecuali sekedar mengucapkan syahadat, apakah mereka itu kafir atau tidak, dan apakah wajib atas kaum muslimin untuk memerangi mereka atau tidak? Maka beliau rh berkata: “orang yang meninggalkan rukun-rukun Islam dan seluruh faraaidlnya lagi menolak apa yang wajib atas dirinya dari hal itu berupa ucapan dan perbuatan, dan tidak ada padanya kecuali pengucapan dua kalimah syahadat, maka tidak ragu dan tidak bimbang bahwa orang ini adalah kafir dengan kekafiran yang sangat lagi halal darahnya, sedangkan keterjagaan harta itu hanya dengan penegakan akan rukun-rukun Islam.” Selesai.
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Ibnu Utsman Alu Ma’mar berkata dalam risalahnya “Al Fawakihul ‘Udzab Fir raddi ‘Ala Man lam Yuhakkimis Sunnah Wal Kitab” hal 67: “Ulama kita rh berkata bila orang kafir mengucapkan laa ilaaha illallaah maka ia telah mulai masuk dalam suatu yang melindungi darahnya, maka wajib menahan diri darinya, kemudian bila dia menyempurnakan hal itu maka ‘ishmah telah terealisasi dan bila tidak maka ia batal, sehingga Nabi saw telah mengatakan setiap hadits di suatu waktu, beliau berkata: (“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan: “laa ilaaha illallaah”) supaya kaum muslimin mengetahui bahwa orang kafir yang memerangi bila mengucapkannya maka (pedang) ditahan darinya serta darah dan hartanya menjadi terjaga, kemudian beliau jelaskan saw dalam hadits lain bahwa perang itu berlangsung hingga dua kalimah syahadat dan dua ibadah (shalat dan zakat), beliau berkata: “saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa laa ilaaha illallaah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” Beliau jelaskan bahwa kesempurnaan ‘ishmah hanya terhasil dengan hal itu, dan supaya tidak ada syubhat bahwa sekedar pengakuan bisa melindungi untuk seterusnya.” Selesai.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam “Kasyfusysyubuhat”: “Dan mereka memiliki syubhat lain, mereka berkata: bahwa Nabi telah mengingkari terhadap Usamah karena membunuh orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah, beliau berkata: “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illallaah? Dan begitu juga sabdanya: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah.” Dan hadits-hadits lain tentang menahan diri dari orang yang mengucapkannya. Sedang maksud orang-orang jahil itu adalah bahwa orang yang mengucapkannya tidak boleh dikafirkan dan dibunuh walaupun dia melakukan apa saja yang dia lakukan.
Adapun hadits Usamah, maka sesungguhnya dia telah membunuh orang yang mengklaim Islam dengan sebab bahwa dia mengira bahwa dia tidak mengaku Islam kecuali karena ia mengkhawatirkan darah dan hartanya, sedangkan orang bila dia telah menampakkan keislaman maka wajib menahan diri darinya sehingga nampak jelas apa yang menyelisihi hal itu, dan Allah pun berfirman “dalam hal itu” :
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu bepergian (di muka bumi seraya berjihad) di jalan Allah, maka telitilah” (An Nisa: 94), yaitu carilah kejelasan, kemudian bila nampak darinya sesudah itu suatu yang menyelisihi Islam maka dia dibunuh, berdasarkan firman-Nya “maka telitilah”, seandainya dia tidak dibunuh bila telah mengatakannya, tentulah (perintah) meneliti ini tidak memiliki makna. Dan begitu juga hadits lain dan yang semisal dengannya, maknanya adalah apa yang telah kami utarakan yaitu bahwa orang yang menampakkan keislaman dan tauhid adalah wajib menahan diri dari (membunuhnya) kecuali bila nampak darinya suatu yang menggugurkan hal itu.” Secara mukhtashar hal: 24.
Dan berkata hal: 20: Dan dikatakannya juga, mereka sahabat Nabi saw memerangi Bani Hanifah, padahal mereka telah masuk Islam bersama Nabi saw seraya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mereka adzan dan mereka shalat. Kemudian bila dia berkata: Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa Musailamah Nabi.” Maka kami katakan: Inilah yang dituntut, bila saja orang yang mengangkat seseorang pada tingkatan Nabi saw adalah kafir dan halal darah dan hartanya, tidak manfa’at dua kalimat syahadat dan juga shalat, maka bagaimana gerangan dengan orang yang mengangkat syamsan dan yusuf atau seorang sahabat Nabi di tingkatan penguasa langit dan bumi, Maha Suci Allah sungguh agung kekuasaan-Nya
”Begitulah Allah mengunci mati terhadap hati orang-orang yang tidak mengetahui.” (Ar Rum: 59) Selesai.
Dan giliran kami mengatakan kepada Murjiah zaman kita: Bila saja orang yang mengangkat seseorang pada tingkatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah telah kafir, halal harta dan darahnya lagi tidak manfaat dua kalimat syahadat dan shalatnya, maka bagaimana dengan orang yang mengangkat (Jabir, Hasan, Husen, atau Hasaniy) atau yang lainnya dari kalangan para amir, presiden dan raja, atau anggota (wakil rakyat) di parlemen, pada tingkatan penguasa langit dan bumi, di mana dia jadikan baginya wewenang pembuatan hukum/UU yang muthlaq yang padahal tidak layak kecuali bagi Allah Ta’ala. Dan bagaimana dengan orang yang mengangkat undang-undang dasar dan undang-undang pada tingkatan Kitabullah dalam putusan dan vonis serta di antara manusia, bahkan dia jadikan UUD itu dan disahkan oleh amir (presiden, raja, dll, pent) , Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sifatkan:
“begitulah Allah mengunci mati terhadap hati orang-orang yang tidak mengetahui.” (Ar Rum: 59).
Kemudian beliau rh berkata: “Dan dikatakan juga: Bani Ubaid Al Qadah yang menguasai kawasan barat (Maghrib) dan Mesir di zaman Banul Abbas, semuanya bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mereka mengaku Islam, serta mereka shalat jum’at dan jama’ah. Kemudian tatkala mereka menampakkan penyelisihan (terhadap) syari’at dalam hal-hal yang lebih rendah dari masalah yang sedang kita bicarakan, maka para ulama ijma atas kekafiran mereka dan untuk memerangi mereka, serta bahwa negeri mereka adalah negeri harbiy, dan kaum muslimin memerangi mereka sehingga bisa mengembalikan negeri-negeri kaum muslimin yang berada di tangan mereka.” Selesai.
Dan dikatakan juga dalam Mukhtashar Sirah tentang status Tartar: “Dan itu sesungguhnya setelah mereka melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin, mereka tinggal di negeri kaum muslimin dan mereka mengetahui dienul muslimin, maka mereka menganggap baik dienul Islam dan akhirnya mereka masuk Islam, namun mereka tidak mengamalkan apa yang wajib atas mereka berupa ajaran-ajarannya, mereka menampakkan banyak hal dari sikap keluar dari ajarannya, namun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, serta mereka shalat lima waktu, jumat dan jama’ah, namun demikian para ulama telah mengkafirkan mereka, memeranginya dan menginvasinya sampai akhirnya Allah lenyapkan mereka dari negeri-negeri kaum muslimin. Dan dalam apa yang kami tuturkan terdapat kadar cukup bagi orang yang Allah berikan petunjuk kepadanya, dan adapun orang yang Allah inginkan kesesatannya maka seandainya gunung-gunung saling berbenturan di hadapannya maka hal itu tidak bermanfaat baginya.
Cucu beliau Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan berkata dalam Mishbahudhdhalam: “Dan seluruh – sanggahan-sanggahan ini – berdiri di atas keyakinan yang batil, yaitu bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah dosa tidak mengganggunya, serta keimanannya tidak lenyap dan keislamannya tidak batal dengan syirik dan tajahhum serta tidak pula oleh hal-hal mukaffirah lainnya, termasuk al mabaniy tidak dianggap menurut orang-orang sesat itu. Mengetahui pendapat ini dan menggambarkannya adalah cukup dalam menilainya sebagai kebatilan menurut orang yang mengetahui Islam.” Hal 114 secara ikhtishar.
Dan berkata pula dalam Ad Durar As Saniyyah: Ahlul ilmi wal iman tidak berselisih bahwa orang yang muncul darinya ucapan atau perbuatan yang menuntut kekafiran atau kemusyrikan atau kefasikannya, adalah bahwa ia divonis dengan suatu yang menuntut hal itu, meskipun ia tergolong orang yang mengakui dua kalimat syahadat dan mendatangkan sebagian rukun Islam, dan hanyasanya menahan diri dari kafir asli bila ia datangkan keduanya dan tidak nampak darinya suatu yang menyelisihinya dan membatalkannya, dan hal ini tidak samar terhadap penuntut ilmu yang yunior.” Selesai.
Saya berkata: Namun demikian para syaikh Murjiah zaman kita, para tokohnya apa lagi para muqallid dan para pengekornya, mereka mendebat-debat di dalamnya, dan ini yang menjadikan dari mayoritas mereka tentara yang setia bagi para thaghut, anshar yang sukarela membela-bela dan membentengi mereka, serta mencampakkan nash-nash al Kitab dan as Sunnah dengan syubhat-syubhat mereka yang rendah dan dengan ucapan-ucapan mereka yang sesat lagi rapuh yang tidak akan laku terhadap orang yang mengetahui tauhid dan hakikatnya.
Dan begitulah sesungguhnya nash-nash yang disebutkan di dalamnya keterkaitan ‘ishmah dan masuk surga dengan pengucapan laa ilaaha illallaah telah datang sesekali secara muthlaq, dan dalam tempat lain secara muqayyad dengan al yaqin, ikhlash atau ilmu, dan terkadang dikaitkan bersamanya hak-haknya berupa shalat, zakat, dan begitulah… .
Semuanya adalah nash-nash yang berbicara tentang hukum dan sebab yang satu, sehingga yang muthlaq di dalamnya dibawa kepada yang muqayyad sebagaimana ia adalah thariqah ahli ilmu, sedangkan kaum Murjiah itu sebagaimana firqah-firqah sesat lainnya adalah kacau lagi serabutan yang tidak mengambil dari ilmu ini kecuali suatu yang selaras dengan hawa nafsu mereka, di mana mereka mengambil nushush muthlaqah terus di atasnya mereka membangun madzhab-madzhab mereka yang rusak dan syubhat-syubaht mereka yang rapuh yang telah engkau ketahui dan mereka menyembunyikan nushush muqayyadahnya. Ini pada hakikatnya bukan hanya menyelisihi thariqah ahli ilmi saja, bahkan ia tanpa ragu adalah tergolong bermain-main dengan dienullah dan mengada-adakan dusta atas (nama) Allah Ta’ala, karena ia adalah pemalingan ungkapan dari tempat-tempat yang semestinya, pelampauan batasan Allah yang telah Dia tetapkan dan Dia gariskan firman-Nya di atasnya, serta tadlis dan talbis…..
“Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan dusta atas Allah adalah tidak beruntung.” (An Nahl: 116).
Dan begitu juga mereka melakukan terhadap teks-teks yang diriwayatkan dari para imam, mereka memotong ucapan para ulama itu atau mengambil darinya apa yang sejalan dengan selera mereka. Dan kami meskipun meyakini bahwa dalam dien ini tidak ada hujjah dengan selain firman Allah dan Rasul-Nya saw, akan tetapi termasuk sikap objektif adalah ucapan seseorang tidak boleh diartikan dengan apa yang tidak dimaksud, dan ucapan-ucapan mereka yang muthlaq di bawa kepada ungkapan yang muqayyad dalam masalah yang sama, tidak seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat itu berupa penuturan apa yang selaras dengan madzhab mereka yang rusak dan membuang apa yang tidak sejalan atau menyembunyikannya sedang ini bertentangan dengan sikap amanah, dan ia bukan termasuk thariqah salaf dan Ahlul hadits, akan tetapi ini manhaj ahlul ahwa yang mana Murjiah adalah di antara yang paling buruk. Ahlul Ahwa itu hanya menuturkan apa yang menguntungkan mereka saja, sedangkan Ahlul Hadits, mereka itu menuturkan apa yang menguntungkan mereka dan apa yang mengkritik mereka.
Di antara contoh-contoh ini yang sering digunakan gantungan mereka dalam meteri kita ini adalah diantara apa yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad, bahwa beliau mengikuti Az Zuhriy dalam ucapannya “Mereka memandang Islam itu adalah ucapan sedangkan Iman adalah amalan” supaya dengannya mereka menghukumi keislaman orang yang merasa cukup dengan dua kalimat syahadat, meskipun tidak iltizam dengan amalan dan faraaidl seumur hidupnya, kemudian dari itu mereka menyimpulkan keislaman orang yang melafalkannya meskipun ia mendatangkan sepenuh dunia pembatal, supaya pada akhirnya mereka bisa sampai kepada sikap menutupi (kekafiran) para thaghut dan menghukumi keislaman mereka, serta keharusan dari hal itu berupa loyalitas, ‘ishmah darah dan hartanya, sehingga mereka memiliki perang dalam menghancurkan dien ini, menghapus ikatan terkuatnya, serta melenyapkan peninggalan-peninggalan dan ajaran-ajarannya yang sangat mendasar, baik mereka menyadari ataupun tidak.
Maka dikatakan kepada mereka: Tenang dulu kalian…. Tidak seperti ini dalil digunakan…. dan dalam apa yang telah kami ketengahkan terdapat kadar cukup dalam menggugurkan hal ini, namun pembicaraan di sini terhadap ucapan Al Imam Ahmad, padahal sesungguhnya hujjah itu sebagaimana yang telah kami katakan bukan pada perkataan Ahmad dan yang lainnya, namun hujjah itu adalah firman Allah dan sabda Rasulullah saw. Sungguh Syaikhul Islam telah berkata dalam Majmu Al Fatawa 7/258 mengomentari perkataan ini, beliau berkata: Dan ini diartikan pada dua makna, sesungguhnya bisa dimaksud dengannya ucapan berikut hal-hal yang mengikutinya berupa amal-amal yang dhahir, dan inilah Islam yang telah dijelaskan Nabi saw di mana beliau berkata: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah dan bahwa Muhammad Rasulullah, engkau mendirikan shalat, engkau menunaikan zakat, engkau shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah,” dan bisa dimaksud dengannya ucapan tanpa melakukan kewajiban-kewajiban yang dhahir, sedang ini bukanlah suatu yang dijadikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai al Islam, namun bisa dikatakan: Keislaman orang-orang Arab badui adalah tergolong hal ini, sehingga dikatakan: orang-orang arab badui dan yang lainnya adalah mereka bila masuk Islam pada masa Nabi saw, maka mereka diharuskan melakukan amal-amal yang dhahir: shalat, zakat, shaum dan haji, serta tidak seorangpun dibiarkan dengan sekedar pengucapan, akan tetapi siapa yang menampakkan maksiat maka dia dikenakan sanksi.
Ahmad bila memaksudkan dalam riwayat ini bahwa Islam adalah dua kalimat syahadat saja, maka setiap orang yang mengucapkannya adalah muslim. Ini adalah salah satu riwayat darinya, sedang riwayat yang lain: Ia tidak menjadi muslim sehingga ia datangkan hal itu dan shalat, kemudian bila ia tidak shalat maka ia kafir. Riwayat ke tiga: Ia kafir juga dengan sebab tinggalkan zakat. Dan riwayat keempat: Ia kafir bila meninggalkan zakat bila memerangi imam atas dasarnya, berbeda bila ia tidak memeranginya. Dan darinya juga bahwa seandainya ia berkata: Saya menunaikannya dan saya tidak menyerahkannya kepada imam, maka imam tidak punya hak membunuhnya. Serta juga riwayat darinya: Bahwa ia kafir dengan sebab meninggalkan shaum dan haji, bila ia ber’azam untuk tidak haji selamanya.
Sudah ma’lum bahwa atas dasar ucapan kafirnya orang yang meninggalkan al mabaniy maka sangatlah tercegah keberadaan Islam itu sekedar ucapan, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa bila ia mendatangkan kalimat itu maka ia masuk ke dalam Islam.” Selesai.
Engkau telah mengetahui dalam uraian yang lalu perbedaan antara masuk Islam dan permulaan ‘ishmah serta mati langsung setelah itu, dengan suatu yang mesti untuk kelanggengan sahnya Islam dan keberlangsungan ‘ishmah.
Dan dari apa yang telah lalu nampak juga dihadapanmu kebatilan ihtijaj mereka untuk (membela) para thaghut mereka dan budak-budaknya dengan hadits bithaqah dan dengan hadits “Keluarkan – dari api neraka – orang yang di dalam hatinya ada (sebesar) biji Khardal dari keimanan,” dan begitu juga hadits “al jahannamiyyin yang dikeluarkan Allah ‘Azza wa Jalla dari neraka tanpa mereka melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dan hadits-hadits serupa. Engkau telah mengetahui bahwa thariqah ahlil ilmi dalam hal itu adalah menggabungkan hadits-hadits satu sama lain, menjama’ antara khabar-khabar yang ada sebisa mungkin, serta melenyapkan apa yang diduga berupa saling pertentangannya dengan cara membawa yang muthlaq kepada yang muqayyad, al ‘aam kepada al khaash, yang mutasyabih kepada yang muhkam, dst.
Sesungguhnya senang dengan sesuatu dari hal itu saja dan terbang membawanya serta membangun pondasi-pondasi dan gunug-gunung di atasnya saja, tanpa memahaminya dengan mengaitkannya dengan yang lainnya adalah thariqah ahlil ahwa – yang diantaranya orang-orang yang kami bahas yaitu Murjiah – di mana mereka itu terbang ke mana-mana dengan hadits-hadits ini.
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Ibnu Ma’mar dalam Ad Durar As Saniyyah: Sesungguhnya Al Qur an di dalamnya ada ayat-ayat muhkamat yang mana ia adalah Ummul Kitab, sedangkan yang lainnya adalah mutasyabihat, maka yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, dan tidak boleh Kitabullah dibenturkan sebagiannya kepada sebagian yang lain , dan begitu juga As Sunnah: di dalamnya ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, sebagiannya tidak boleh dibenturkan kepada sebagian yang lain, karena sabda Nabi saw itu tidak kontradiktif akan tetapi sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Juga As Sunnah itu sejalan dengan Al Qur an dan tidak menggugurkannya dan ini adalah inti yang agung yang wajib diperhatikan, siapa yang menelantarkannya maka ia terjatuh dalam hal besar sedang dia tidak mengetahui.” Selesai dari juz Mukhtashar Ar Rudud.
Asy Syathibiy rh sebelumnya telah melakukan perincian sangat baik sekali, beliau berkata: Sesungguhnya para ahli ijtihad tidak merasa cukup berpegang pada dalil umum sehingga mencari dalil yang mengkhususkannya, dan pada dalil yang muthlaq apa ada dalil muqayyad atau tidak?
Dalil umum bersama dalil khususnya adalah dalil, bila dalil khususnya tidak ada maka dalil umumnya – dengan disertai pemaksudan yang khusus di dalamnya – adalah tergolong mutasyabih, dan lenyapnya ia – yaitu dalil khusus – menjadi pemalsuan dan penyimpangan dari kebenaran.
Dan atas hal itu maka Mu’tazilah digolongkan pada deretan Ahluz Zaigh di mana mereka mengikuti seperti firman-Nya Ta’ala:
“lakukanlah apa yang kalian inginkan” (Fushshilat: 40) dari mereka meninggalkan mubayyinnya.
Begitu juga Khawarij, di mana mereka mengikuti firman-Nya Ta’ala:
“Keputusan itu tidak lain adalah milik Allah” (Yusuf: 40) dan mereka meninggalkan mubayyinnya “memutuskan dengannya dua orang adil di antara kalian.” Dan firman-Nya: “maka utuslah seorang hakam dari keluarga suami dan seorang juru damai dari keluarga isteri.”
Al Jabariyyah mengikuti firman-Nya:
“Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (Ash-Shaffat: 96) dan mereka meninggalkan penjelasannya yaitu firman-Nya:
“Sebagai balasan dengan sebab apa yang mereka kerjakan.” (At-Taubah: 82).
Dan begitulah seluruh yang mengikuti sisi-sisi ini tanpa melihat apa yang ada di belakangnya, andai kata saja mereka menggabungkan antara itu dan menyambungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan, tentulah mereka sampai kepada apa yang dimaksud. Kemudian bila telah tsabit hal ini maka bayan itu disertakan dengan mubayyin, dan bila mubayyin diambil tanpa bayan maka mubayyin itu menjadi mutasyabih, padahal ia bukan mutasyabih pada hakikat sebenarnya ia, namun orang-orang sesat memasukkan tasyaabuh (kesamaran) di dalamnya atas diri mereka, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus.” Secara ikhtishar.
Saya berkata: Dan begitu juga Afrakhul Murjiah, mereka mengikuti khabar-khabar macam itu, mereka berpegang erat terhadapnya supaya dengannya mereka menambali dien kaum musyrikin dan orang-orang sesat dari kalangan para thaghut penguasa, budak-budaknya, ansharnya dan kroni-kroninya, serta mereka meninggalkan mubayyinnya dari apa yang telah lalu bahwa yang dimaksud adalah perselisihan tauhid, bara’ah dari syirik dan tandid, serta mati di atasnya, bahkan mendatangkan amalan-amalan yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya.
Sehingga yang dimaksud dengan sijillat (lembaran-lembaran) yang diletakkan dalam sisi timbangan yang berseberangan dengan bithaqah itu adalah dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar dari hal-hal yang tidak menggugurkan tauhid, sedangkan yang dimaksud dengan bithaqah adalah perealisasian tauhid, kufur dan bara’ah dari apa yang diibadati selain Allah secara pasti.
Dan begitu halnya dengan orang-orang yang dikatakan bahwa mereka itu tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun, yaitu (kebaikan) yang di atas tuntutan tauhid yang menyelamatkan dari kekekalan di neraka.
Dan begitu juga hadits: “Keluarkanlah – yaitu dari neraka – orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji khardal dari keimanan”. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 1/73: Dan yang dimaksud dengan sebesar biji khardal di sini adalah suatu yang lebih dari sekedar tauhid berupa amalan, berdasarkan sabdanya dalam riwayat yang lain: “Keluarkanlah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mengamalkan amalan seberat dzarrah.” Selesai.
Kemudian kami mengarahkan kepada Murjiatul ‘Ashri itu pertanyaan yang jelas yang kami tidak rela berpaling darinya dan mencari jalan lain …..”Mereka yang kalian berhujjah dengan mereka dalam hadits-hadits ini untuk menyelamatkan thaghut-thaghut kalian dari kekafiran, apakah mereka itu mengatakan laa ilaaha illallaah dan mengingkari kerasulan Muhammad saw??
Atau mereka mengatakan laa ilaaha illallaah dan bahwa Musailamah Rasulullah?
Atau mereka mengatakan laa ilaaha illallaah dan Ahmad Ghulam Mirza Rasulullah?
Atau mengatakan laa ilaaha illallaah dan bahwa Allah adalah Ali Ibnu Abi Thalib atau Al Masih atau makhluk lainnya?? Namun demikian mereka keluar dari neraka dan tempat kembalinya adalah tempat kembali kaum muwahhidin??
Kemudian bila mereka mengatakan hal itu maka berarti mereka telah menjadikan manusia dan jin sebagai saksi atas kerusakan akal mereka, kelancangan mereka terhadap dienullah, bahkan atas kekafiran, kezindiqan serta ilhad mereka dalam dienullah.
Dan apabila mereka menafikannya….. maka kami bertanya kepada mereka apakah dalil dari hadits-hadits itu sendiri kalian menafikan itu atau dengan dalil lain??
Bila mereka berkata: Dari dzat hadits-hadits itu”, maka mereka telah dusta dan kami menuntut mereka dengannya dan mereka tidak akan mampu.
Dan bila mereka berkata: Dari luar hadits….. maka lazim bagi mereka dan bagi setiap orang (memahami) bahwa hadits-hadits macam ini tidak boleh dipahami secara menyendiri, namun dengan gabungan nash-nash yang menjelaskannya.
Dan dengan hal seperti ini pula mereka diblokir bila berhujjah dengan hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan Ibnu Majah: “Islam akan lenyap seperti lenyapnya warna motif kain dan dalam satu malam Kitabullah ‘Azza wa Jalla dihapus sehingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun darinya, dan tersisa kelompok dari manusia, kakek-kakek tua, dan nenek-nenek renta mengatakan: “laa ilaaha illallaah” kami mendapatkan bapak-bapak kami di atas kalimat ini, maka kami mengatakannya” sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, apa itu shadaqah dan apa itu haji, maka Shilah Ibnu Zufar berkata kepada Hudzaifah: Apa guna bagi mereka laa ilaaha illallaah sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, apa itu shaum, apa itu shadaqah dan apa itu haji? Maka Hudzaifah berpaling tiga kali darinya kemudian berkata: Hai Shilah itu bisa selamatkan mereka dari neraka.
Dan hadits ini telah dishahihkan oleh Al Albaniy padahal dalam isnadnya ada Abu Muawiyah Muhammad Ibnu Khazim At Tamimiy As Sa’diy Al Kufiy Adl Dlarir sedangkan dia itu mudallis mudltharibul hadits, yang mana dengan haditsnya tidak tegak hujjah pada selain Al A’masiy sebagaimana yang dituturkan para imam. Dan di sini dia telah meriwayatkan dari selain jalan Al A’masy dan telah melakukan ‘an’anah juga, dan di samping ini ia itu telah berpaham irja.
Bagaimanapun keadaannya, dengan pengandaian hadits itu shahih, maka sesungguhnya orang-orang itu sebagaimana yang telah kami katakan diharuskan memahaminya dengan memperhatikan hadits-hadits lain yang menjelaskannya, sehingga sabdanya “mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah” dibawa kepada makna bahwa mereka itu merealisasikan tauhid serta menjauhi syirik dan tandid, dan bukan sekedar mengucapkan kalimat itu saja.
Kemudian mereka itu tidak sampai kepada Al Qur an dan suatupun dari ajaran dien ini. Dan seandainya hal seperti itu terjadi setelah ditutupnya risalah dan mereka itu telah merealisasikan tauhid, maka mereka itu telah mendatangkan al iman yang wajib atas mereka dan orang-orang semacam mereka, karena peringatan itu hanyalah dengan Kitabullah Ta’ala:
“Dan diwahyukan kepadaku Al Qur an ini supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan (kepada) orang yang sampai (Al Qur an) itu kepadanya.” (Al An’am: 19). Sedangkan mereka itu belum sampai Al Qur an kepada mereka, sehingga terbuktilah bahwa kejahilan mereka terhadap ajaran-ajaran dien ini dan mabaniy-nya yang wajib ini tidak terjadi karena sikap taqshir (kelalaian) dari thalabul haq atau keberpalingan, namun karena diangkatnya Al Kitab sedang ia adalah hal yang qahriy (tidak bisa diupayakan) lagi di luar iradah mereka, maka mereka diudzur dengan rincian-rincian ajaran-ajaran yang tidak diketahui kecuali lewat jalan wahyu selama mereka telah merealisasikan al hanifiyyah yang Allah fithrahkan manusia di atasnya.
Dan keadaan mereka itu serupa dengan keadaan orang yang merealisasikan tauhid sebelum bi’tsah (kerasulan), seperti Zaid Ibnu ‘Amr Ibnu Nufail, sesungguhnya ia tergolong kaum yang Allah Ta’ala firmankan:
“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (Yaasin: 6).
Dan firman-Nya:
“Supaya kamu memberikan peringatan kepada suatu kaum yang tidak pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan pun sebelummu.” (Al Qashash: 46). Tidak sampai kepadanya suatupun dari rincian-rincian shalat, shiyam, dan zakat yang difardlukan atas kita, serta tidak melakukan suatupun darinya.
Namun demikian dia diudzur di dalamnya, karena ia telah merealisasikan ashlul iman al wajib atas dirinya dan atas setiap orang secara sempurna, yaitu al hanifiyyah, menjauhi syirik dan perealisasian ashlut tauhid, dan berada di atas millah Ibrahim, maka Nabi saw mengabarkan bahwa dia dibangkitkan sebagai satu umat sendirian di hari kiamat.
Bahkan keadaannya seperti orang yang beriman setelah diutusnya Nabi saw dan meninggal di Mekkah sebelum turunnya syari’at, sungguh mereka itu telah mendatangkan al iman al wajib atas mereka saat itu selama mereka telah merealisasikan tauhid dan menjauhi syirik dan tandid serta bersaksi akan kerasulan Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Jawaban ini semua hanyalah diungkapkan setelah menetapkan keshahihan hadits itu dan keshahihan status tambahan “Hai Shilah itu menyelamatkan mereka dari neraka” adalah marfu’ bukan mudraj (sisipan) dari ucapan Hudzaifah ra.
Wal hasil dari apa yang lalu semuanya, sang muwahhid meyakini bahwa tahqiq tauhid dan bara’ah dari apa yang menggugurkannya berupa syirik yang mengeluarkan dari millah dan tandid adalah ashluddin dan qaidahnya, tiang dakwah para rasul dan pusat roda perputarannya, dan bahwa seluruh ajaran Islam datang untuk menjaganya, merealisasikannya dan melindunginya. Sesungguhnya ini adalah hal yang muhkam yang tidak ada tasyabuh sedikitpun padanya.
Maka hal yang wajib bersama setiap khabar yang samar atas seseorang dari manusia atau yang diduga bertentangan oleh orang-orang yang menduga dengan inti yang muhkam ini, adalah dimasukkan di bawahnya dan ditafsirkan di atas dasarnya, karena ia adalah Ummul Kitab dan intinya, bukan ia dibenturkan dengannya dan tentangkan, apalagi bila berupaya menghancurkannya dengan khabar-khabar itu sebagaimana yang dilakukan oleh Murjiatul ‘Ashri untuk kesenangan para thaghutnya.
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat mutasyabihat … “hingga, “Dan adapun orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat……..” hingga akhir ayat Ali Imran: 7.
Kami memohon kepada Allah Ta’ala untuk menjadikan kami dan engkau dari golongan Ar Rasikhin Fil ‘Ilmi.
Asy Syathibiy berkata dalam Al I’tisham: “Al furu’ al juz’iyyah tidak mungkin menentang al ushul al kulliyah karena al furu’ al juz’iyyah bila tidak menuntut pengalaman, maka ia berada dalam posisi tawaqquf, dan bila menuntut amalan, maka perujukan adalah kepada ushul, ia adalah ash shirathul mustaqim. Siapa yang membalikannya maka dia telah ngawur dan masuk dalam hukum celaan.” Selesai.
Dalam kadar ini ada kecukupan bagi penuntut Al Haq dalam bab ini. Dan adapun orang yang Allah inginkan kesesatan maka kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Allah.

Syubhat
:
“Sesungguhnya Para Thaghut Dan Budak-Budaknya itu Shalat”

Dari uraian yang lalu nampaklah di hadapanmu kebatilan syubhat lain dari syubhat-syubhat mereka, yaitu ihtijaj mereka bahwa sebagian para thaghut dan budak-budaknya itu rajin melakukan shalat. Dan mereka menuturkan nushush yang di dalamnya shalat disebutkan sebagai penjaga darah, kemudian mereka mengira bahwa ia saja yang bisa menjaga darah, dan bahwa setiap orang yang shalat adalah muslim yang ma’shum darah dan hartanya meskipun melakukan berbagai nawaqidlul (pembatal ) Islam, bukankah dia shalat?
Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa nushush semacam ini harus digabungkan dengan mubayyinatnya dari nushush yang lain. Sehingga salaf membawanya kepada orang-orang yang shalat yang komitmen dengan tauhid lagi menjauhi syirik dan tandid serta nawaqidlul Islam lainnya walaupun itu secara dhahir.
Seorang pun dari salaf tidak memahami bahwa macam orang-orang yang mana hadits-hadits itu dikatakan tentang mereka adalah orang-orang muslim yang ma’shum dengan shalat saja, dengan disertai sikap mereka bertahakum kepada thaghut, membelanya dan mengikutinya umpamanya, atau disertai celaan terhadap dienullah atau istihza terhadap ajaran-ajarannya serta nawaqidlul Islam lainnya, dan telah lalu firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kalian cari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (At Taubah: 66), sesungguhnya ia turun berkenaan dengan orang-orang yang menampakkan keislaman, shalat bahkan jihad, di mana mereka itu ikut keluar bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, namun demikian Allah kafirkan mereka tatkala mereka melakukan suatu pembatal keislaman. Dan telah banyak kami ketengahkan macam-macam seperti ini yang menunjukkan kebatilan pemahaman yang sakit ini. Mayoritas mereka yang buruk dalam memahami nash-nash ini atau yang memalingkannya, engkau dapati mereka mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dan memvonisnya murtad, terus menganggap batal nikahnya, menjauhkan darinya istrinya dan menghalangi warisannya dari keluarganya yang muslim serta lawazim riddah lainnya, namun dalam waktu yang sama mereka ragu dalam takfier para thaghut pembuat hukum dan para budaknya, padahal menafikan keislaman dan keimanan dari orang yang meninggalkan al kufru biththaghut adalah lebih utama dari menafikannya dari orang yang meninggalkan shalat, karena al kufru biththaghut ada hal fardlu di awal saat difardlukan sedang saat itu belum ada shalat, zakat, dan yang lainnya. Sehingga di suatu waktu tertentu ia saja bersama al iman billah dan pengakuan bahwa Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah penjaga akan darah dan tanda akan keislaman dan keimanan sampai waktu tertentu…. sebagaimana yang telah lalu. Dan karena sesungguhnya shalat setelah difardlukan juga tidak sah dan tidak akan sah kecuali dengan merealisasikan rukun yang agung ini, sedang ini adalah ma’lum dengan ijma’ kaum muslimin. Orang yang meninggalkan kufur terhadap thaghut tidak dinamakan muslim dan mu’min meskipun dia memiliki satu cabang atau banyak cabang dari al Islam dan al iman, shalat dan yang lainnya, sampai dia realisasikan tauhid dan kufur kepada thaghut, bahkan seandainya dia mendatangkan seluruh cabang-cabang keimanan tentulah tidak bermanfaat selama dia telah meninggalkan cabang tertinggi dan syarat sah semuanya.
Dari ini engkau mengetahui kebatilan ihtijaj mereka untuk para thaghut yang rajin shalat dengan hadits-hadits ini, seperti hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: Akan ada para umara, di mana kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Siapa yang mengenal maka ia telah berlepas diri dan siapa yang mengingkari maka ia selamat, namun orang yang ridla dan mengikuti.” Mereka berkata: Apa boleh kami memerangi mereka? Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat.”
Asal pertanyaan ini adalah seputar khuruj terhadap para penguasa yang dzalim. Sedangkan Murjiatul ‘Ashri terbelalak matanya karena takut saat penuturan hal itu dan mereka menganggapnya tergolong fitnah dan fikrul Khawarij !! meskipun terhadap Aimmatul Kufri.
Penyebutan shalat di sini sebagaimana yang dituturkan ahlul ilmi adalah isyarat pada penegakan dien dan tauhid, dengan dalil apa yang telah lalu bahwa shalat itu tidak berarti bila tauhidnya telah hancur. Bisa saja seseorang itu shalat, zakat dan berjihad, namun demikian dia itu kafir lagi halal harta dan darahnya dengan sekedar keterjatuhan dia pada pembatal “laa ilaaha illallaah”. Oleh sebab itu An Nawawi berkata di dalamnya: “Adapun sabdanya: “Apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat,” di dalamnya terkandung makna yang lalu yaitu bahwa tidak boleh khuruj terhadap para khalifah dengan sekedar dhalim dan fasiq selama tidak merubah sedikitpun dari qawaaid dien ini.” Selesai.
Dan engkau telah mengetahui bahwa masuk ke dalam Islam itu bukan dengan shalat saja, akan tetapi mesti ada sebelum itu (perealisasian tauhid dan bara’ah dari syirik dan tandid), sedang ini adalah qawaaidul Islam yang paling penting dan paling agung, dan engkau telah tahu bahwa mereka itu telah menghancurkannya. Apa artinya shalat, zakat, shaum, haji, membangun masjid, penyerahan wakaf dan lainnya dan bukan seputarnya perseteruan itu terjadi bila mereka itu telah menghancurkan ashluddin dan merobek kalimatul ikhlash yang mana semua hal itu tidak akan diterima tanpanya dan tidak difardlukan kecuali sesudahnya. Dan ia adalah qawaaid dien terbesar yang mana dien ini roboh dan amal-amal pun menjadi debu yang berterbangan dengan kehancurannya dan saya maksudkan di sini adalah mencari selain Allah sebagai pemutus dan menjadikannya sebagai ilah, rabb yang membuat hukum, dan mengharuskan manusia untuk masuk dalam dien (hukum)nya dan mengikuti aturannya yang menyelisihi syari’at Allah, serta menamakannya sebagai keadilan, sedangkan Allah Mengetahui dan juga setiap orang yang Allah beri hatinya petunjuk bahwa itu adalah kekafiran, syirik dan kesesatan, di samping menghalangi (orang lain) dari dienullah dan memerangi auliya Allah …… kemudian dikatakan: Dia itu kan masih suka shalat atau mereka itu masih shalat…!!
Syaikh Abdullathif Alu Asy Syaikh berkata dalam Mishbahudhdhalam hal: 328: Siapa orangnya yang menjadikan Islam itu adalah mendatangkan salah satu dari mabaniy saja disertai meninggalkan kekomitmenan akan tauhidullah dan bara’ah dari syirik maka dia itu manusia yang paling jahil dan paling sesat.” Selesai.
Orang-orang jahil itu mengakui bahwa orang yang mengingkari hari kebangkitan itu kafir lagi halal dan darahnya meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan mengucapkan laa ilaaha illallaah serta dia mengaku bahwa ia meyakininya. Dan (mereka) mengakui bahwa orang yang berpendapat akan kenabian seseorang setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti Bahaiyyah dan Babiyyah serta yang lainnya bahwa mereka itu kafir dengan hal itu serta halal harta dan darahnya meskipun mereka itu shalat, shaum, zakat, haji, dan mengucapkan laa ilaaha illallaah sejuta kali.
Dan (meyakini) bahwa orang yang mengatakan bahwa Al Quran itu ditambah dan dikurangi, menganggap para sahabat berkhianat, mengkafirkan mereka dan mencela kehormatan wanita yang suci Ash Shiddiqah bintu Ash Shiddiq, bahwa dia itu kafir walaupun shalat, shaum, haji, zakat, memberikan yang seperlima, membangun banyak masjid dan mengucapkan laa ilaaha illallaah, serta dia sumpah bahwa dia meyakininya.
Kemudian bila kami tuturkan kepada mereka kekafiran para thaghut mereka yang nyata dan pembatal-pembatal keislaman mereka yang buruk, mereka lari darinya dan mengkiyaskan mereka dengan kiyas yang rusak lagi banyak perbedaan, yaitu dengan para penguasa aniaya yang menerapkan syari’at Allah… dan mereka berkata: “Mereka shalat”. Enyahlah bagi orang-orang yang zhalim.

Syubhat:
Bahwa Firman-Nya Ta’ala
“Dan Siapa Yang Tidak Memutuskan Dengan Apa Yang Telah Allah Turunkan Maka Mereka Itu Adalah Orang-Orang Yang Kafir”
Turun Tentang Kaum Yahudi Dan Itu Khusus Bagi Mereka

Mereka memiliki syubhat lain dalam menambal (tarqi’) untuk (kekafiran) para thaghut yang membuat hukum lagi diibadati selain Allah, yaitu ucapan mereka bahwa firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (Al maaidah 44) turun tentang kaum Yahudi dan ia khusus bagi mereka.
Sedangkan bantahan atas hal ini adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Engkau mengetahui bahwa hukum asal pada mantuq ayat ini adalah dimaksudkan dengannya al kufrul akbar yang nyata , karena datangnya bentuk ma’rifat di dalamnya menunjukkan terhadap al kufrul haqiqiy, di mana “ulaaika” ma’rifat, “hum” juga ma’rifat dan alif lam adalah tanda ma’rifat, sehingga tidak ada penunjukan ma’rifah yang lebih kuat dari ini, maka maknanya “mereka itulah yang lebih berhak terhadap cap kafir dari yang lainnya”.
Dan ini seperti apa yang diriwayatkan dalam hadits “Merekalah para syuhada itu” yaitu bahwa mereka itu dikhususkan dengan kesyahidan tidak para syuhada lainnya, sebagaimana yang dipahami dari jumlah ismiyyah yang kedua-duanya ma’rifat, serta dari dlamir (kata ganti) pemisah yang disisipkan antara mubtada’ dan khabar.
Syaikh Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam “Haddul Islam” pada ayat ini hal: 412: lafazh ini sesuai pemuthlaqannya, dan ia bukan nakirah dalam konteks itsbat seperti sabdanya saw: “Dua hal yang pada manusia, keduanya pada mereka adalah kekafiran (kufrun), yaitu celaan terhadap keturunan…..”namun ia tergolong yang diberi tanda ma’rifat dengan alif lam, bukan tergolong nakirah dan bukan pula tergolong yang diberi taqyid seperti dalam firman-Nya Ta’ala: “dari air yang memancar” Mani dinamakan air dengan penamaan yang muqayyad, dan ia tidak masuk dalam nama yang muthlaq, di mana Dia berfirman:
“terus kalian tidak menemukan air, maka tayamumlah.” (An Nisa: 43)
Pada dasarnya al kufru pada ayat ini dibawa kepada kemuthlaqannya dan terhadap hakikat syar’iyyahnya yang asal, dan tidak boleh dipindahkan darinya terus dialihkan kepada Majaz atau diberi taqyid kecuali dengan dalil.
Sisi kedua: Engkau mengetahui bahwa hal ini – yaitu keberadaan ayat ini berbicara tentang kufur akbar yang mengeluarkan dari millah – adalah yang menjadikan banyak salaf mengatakan dalam penafsirannya bahwa ia tentang orang-orang kafir atau tentang Yahudi atau ahlul kitab, sebagaimana yang tsabit dari Al Bara’ Ibnu ‘Azib dalam Shahih Muslim ucapannya, ”tentang orang-orang kafir seluruhnya,” yaitu bukan tentang ahli maksiat dari kalangan muslimin, jadi ia berbicara tentang kufur yang mengeluarkan dari millah bukan tentang maksiat dan dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Mereka hanyalah memaksudkan dengannya bantahan terhadap Khawarij, bahwa ia tidak dibawa kepada dhahirnya bila dikatakan pada hak kaum muslimin yang keliru atau kaum ahli maksiat atau orang-orang dhalim, karena membawanya kepada hal itu adalah menempatkannya bukan pada tempatnya, karena ia sebenarnya tentang kuffar yang mengubah qawaaid dien ini dan aturan-aturannya lagi membuat hukum di samping (hukum) Allah apa yang tidak Dia izinkan, yaitu orang-orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan kaum Yahudi dan sebangsanya.
Bila seseorang melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan, maka ayat itu mencakup dia sesuai dhahir ayat tersebut, namun bila yang dibicarakan itu dari kalangan ahli maksiat atau orang-orang zhalim atau orang-orang yang keliru, maka tidak sah menempatkan ayat itu pada mereka sesuai dhahirnya, kecuali dengan takwil bahwa yang dimaksud adalah juhud atau istihlal atau yang semacamnya. Begitulah yang dilakukan oleh ulama kita ahli tahqiq, maka pahamilah ini baik-baik, karena ia memutus syubuhat Murjiatul ‘Ashri dalam bab ini.
Saya telah menemukan ucapan Asy Syadziliy dalam kitabnya “Haddul Islam wa Haqiqatul Iman” yang persis seperti hal ini, yang ringkasnya: Bahwa Khawarij ingin memasukkan dalam kata (siapa) sikap aniaya dalam hukum, kezhaliman putusan dan segala bentuk penyimpangan syar’iy, dan mereka ingin tidak merasa cukup dengan takfier pemimpin dengan maksiat sampai mereka mengkafirkan seluruh rakyat bersamanya. Dan ini adalah hal yang ma’lum kebatilannya dalam dien ini secara pasti, oleh sebab itu hal tersebut diingkari oleh para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, at tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dari kalangan tiga generasi pertama, dan mereka mengatakan apa yang mereka katakan dalam tafsir ayat-ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, serta ucapan mereka dalam hal ini sesuai dengan kebutuhan yang hadir.” Selesai.
Kemudian beliau menuturkan perlakuan Murjiatul ‘Ashri – yang lalu – dalam bersandar kepada ucapan Ibnu Abbas, Abu Mijlaz dan yang lainnya – dalam bantahan mereka terhadap sikap Khawarij – supaya mereka berdalil dengan hal itu bahwa orang yang mengembalikan urusan saat terjadi perselisihan kepada ajaran lain selain ajaran Allah adalah tidak keluar dengan hal itu dari millah. Kemudian beliau berkata : Khawarij membiarkan hukum di atas dhahirnya dan memalingkannya kepada selain tempatnya, sedangkan mereka (Murjiah) mentakwilnya dalam tempatnya dan dalam selain tempatnya….” Selesai.
Sisi Ketiga: Dilkatakan, dan dikarenakan apa yang telah lalu, maka sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa itu turun tentang Yahudi tidaklah melarang bahwa ia umum mencakup setiap orang yang terjatuh pada perbuatan yang pernah mereka lakukan, karena yang menjadi acuan dalam nushush syar’iyyah yang umum adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab. Dan “man” (siapa) baik itu maushulah atau syarthiyyah atau istifhamiyyah, maka sesungguhnya ia tergolong shighat umum – sebagaimana hal itu ma’lum menurut Ahlul Ushul – dan ia pada ayat ini datang dalam bentuk konteks syarat, sehingga ia mencakup dan meliputi setiap orang yang dicakup oleh lafadh ini secara muthlaq meskipun awal turunnya tentang kaum tertentu.
Hukum asal pada lafazh yang umum adalah kecakupannya terhadap seluruh individu-individunya dan tidak boleh dianggap khusus kecuali dengan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam pembicaraannya tentang Tartar: “Sesungguhnya nushush Al Kitab dan As Sunnah yang mana keduanya adalah dakwah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mencakup seluruh makhluk dengan al umum al lafdhiy atau dengan umum maknawiy, dan perintah/larangan Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan dalam Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam meliputi akhir umat ini sebagaimana ia meliputi awalnya.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rh berkata dalam Ad Durar As Saniyyah: “Pendapat (bahwa khithab Allah dalam Kitab-Nya dan khithab Rasul-Nya dalam sunnahnya hanyalah berkaitan dengan orang-orang yang mana ia turun dengan sebab mereka tidak selain mereka) adalah tidak dikatakan sekalipun oleh orang yang paling buta dan paling bodoh akan syariat ini dan hukum-hukumnya, bahkan tidak berani mengatakannya seorangpun dari kalangan yang mendebat dengan kebatilan karena ia menjaga dirinya dari tuduhan bodoh dan tuduhan sesat, sebab sesungguhnya (pernyataan) ini tergolong bukti yang paling jelas menjelaskan akan kebodohan dan kesesatannya, serta ini mengharuskan orang yang memiliki pendapat itu untuk ta’thil (menggugurkan) syari’at dan celaan terhadap para sahabat Rasulullah dalam sikap mereka memerangi orang murtad dari Islam setelah wafat Nabi saw….” Dan terus beliau menuturkan wajibnya tahkimul Qur an dan mengedepankannya secara muthlaq, maka silakan rujuk itu dalam juz Al Jihad: 89.
Putera beliau (Syaikh) Abdullathif berkata dalam Misbahudhdhalam: “Sesungguhnya orang yang mencegah penempatan Al Qur an dan hukum-hukum yang ditunjukkannya terhadap individu-individu dan kejadian-kejadian yang masuk di bawah al umum al lafdhiy, maka dia itu adalah orang yang paling sesat dan paling bodoh terhadap apa yang diyakini Ahlul Islam dan ulama mereka sejak berabad-abad dan generasi demi generasi, dan ia tergolong orang yang paling dahsyat pengguguran dan peng-hajr-annya terhadap Al Quran serta peng’azlannya dari sikap berdalil dengannya dalam tempat-tempat perselisihan, Allah Ta’ala berfirman:
“Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An Nisaa: 59).
Sedangkan pengembalian kepada Allah adalah pengembalian kepada Kitab-Nya dan pengembalian kepada Rasul adalah pengembalian kepada Sunnahnya. Dan Dia Ta’ala: berfirman:
“Supaya aku memberikan peringatan kepada kalian dengannya dan kepada orang yang sampai Al Quran kepadanya.” (Al An’am: 19), jadi nushushnya dan ahkamnya umum, tidak khusus dengan kekhususan sebab.
Dan apa larangannya dari takfir orang yang melakukan seperti apa yang dilakukan Yahudi dalam hal menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah dan kafir terhadapnya padahal dia mengetahuinya?” Selesai hal: 140.
Syaikh Abdullathif juga berkata dalam juz Mukhtasharat Ar Rudud pada Ad Durar: Di antara sebab-sebab yang menghalangi dari memahami Kitabullah adalah bahwa mereka mengira bahwa apa yang Allah hikayatkan tentang kaum musyrikin, apa yang Dia voniskan dan labelkan terhadap mereka adalah khusus bagi orang yang telah lalu dan manusia yang telah lewat dan habis serta tidak meninggalkan pewaris. Dan bisa saja sebagian mereka mendengarkan ucapan orang yang mengatakan dari kalangan ahli tafsir: Ayat ini turun tentang ibadah mereka kepada berhala, ini turun tentang Nashara, ini turun tentang Ash Shabiah, terus orang bodoh itu mengira bahwa itu khusus bagi mereka dan bahwa hukum itu tidak melampaui mereka. Ini adalah tergolong sebab terbesar yang menghalangi seseorang dari fahmul Qur’an dan As Sunnah.” Selesai.
Cucu beliau Syaikh Ibrahim Ibnu Abdillathif Ibnu Abdirrahman berkata dalam syairnya:
Siapa yang membatasi ayat-ayat Al Kitab terhadap
Sebab-sebab turunnya maka ia telah mendapatkan kerugian
Penganggapan itu adalah umumnya lafadh, telah mengatakan dengan hal ini
Orang yang telah membangun pilar-pilar bagi millah yang lapang ini.
Merekalah para penunjuk jalan yang Rasul telah menegaskan akan
Keutamaan mereka dari sisi zaman, ilmu dan pengetahuan
Oleh sebab itu semuanya sungguh telah tsabit dari Hudzaifah dengan sanad yang shahih bahwa beliau mengingkari klaim kekhususan dalam ayat-ayat ini, di mana ayat-ayat ini telah dituturkan kepadanya, maka seorang laki-laki berkata: “Sesungguhnya ini pada Bani Israil” maka Hudzaifah berkata: “Sebaik-baiknya saudara bagi kalian adalah Bani Israil, bila bagi kalian setiap yang manis, dan bagi mereka setiap yang pahit, tidak demikian demi Allah, sungguh kalian akan menempuh jalan mereka sedikit demi sedikit.”
Dan Ibnu Katsir menuturkan dari Al Hasan Al Bashri, bahwa ia berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan Ahlul Kitab dan ia wajib atas kita.” Selesai.
Ismail Al Qadli berkata dalam Ahkamul Quran: “Dhahir ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan dan menciptakan hukum yang dengannya ia menyelisihi hukum Allah serta menjadikannya sebagai dien (sistem/hukum/undang-undang) yang diberlakukan, maka dia telah pasti mendapatkan apa yang telah mereka dapatkan, berupa ancaman yang disebutkan, baik itu hukum atau yang lainnya.” Selesai dari Fathul Bari 13/120.
Al Qasimiy berkata dalam tafsirnya Mahasinatuttakwil hal 1999: “Apa yang dikeluarkan Muslim dari Al Bara’: Bahwa firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allag turunkan…….” (Al Maidah: 44) tiga ayat ini semuanya tentang orang-orang kafir, dan begitu juga apa yang dikeluarkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat itu tentang orang-orang Yahudi, terutama Bani Quraidhah dan Bani Nadlir, tidaklah menafikan kebercakupannya terhadap selain mereka, karena yang menjadi patokan adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab, dan kata ‘man’ (siapa) berada pada konteks syarat, sehingga ia berfaidah umum.” Selesai.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam penjelasannya terhadap Tauhidul Khallaq hal 141: “Sababun nuzul meskipun khusus, maka keumuman lafadh bila tidak dinasakh adalah mu’tabar (dianggap), dan karena firman-Nya Ta’ala:
“Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan….” (Al Maidah: 44) adalah ungkapan yang masuk di dalamnya kata ‘man’ (siapa) dalam konteks syarat, maka memberikan faedah umum.” Selesai.
Dan ucapan ahlul ilmi dalam hal ini sangat banyak…………
Bagaimanapun keadaannya, maka sungguh telah nampak di hadapanmu bahwa ayat-ayat itu mencakup setiap orang yang mengganti aturan-aturan Allah dan membuat hukum lain di samping (hukum) Allah, baik dia membuat undang-undang atau undang-undang dasar atau piagam atau keputusan (seperti SK, Kepres, dll, Pent), semua itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah, selama pelakunya atau orang yang mengikutinya telah memberikan bagi dirinya atau menjadikan bagi selain dirinya wewenang pembuatan hukum (UU/UUD) sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Undang-undang mereka, hukum-hukum mereka dan para thaghut mereka yang bersifat lokal dan internasional.
Dan dari ini engkau mengetahui kesesatan Murjiatul ‘Ashri dan kesesatan syaikh-syaikh mereka dalam menempatkan ucapan-ucapan salaf seputar ayat-ayat ini dalam bantahan mereka terhadap Khawarij – yang menerapkan ayat-ayat ini bukan pada tempatnya – kepada para thaghut masa kini yang merujuk kepada thaghut-thaghut (UU/UUD) bahkan mereka telah menjadi thaghut dan telah menjadikan aturan selain aturan Allah sebagai hukum dan dien yang mereka pegang (anut).
Mereka (Murjiatul ‘Ashri) dengan thariqah yang pincang dan manhaj mereka yang sesat ini menghukumi keislaman dan keimanan orang-orang yang padahal kaum muslimin telah ijma akan kekafirannya.
Ibnu Katsir rh berkata dalam Al Bidayah Wan Nihayah 13/119: Siapa yang meninggalkan aturan yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah Khatamul Anbiya, dan dia merujuk hukum kepada selainnya berupa ajaran-ajaran yang telah dihapus (mansukh), maka ia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk kepada Alyasa – yaitu Yasiq (undang-undang) Tartar – dan ia mendahulukan (Alyasa) itu terhadapnya, tidak ragu bahwa ini kafir dengan ijma kaum muslimin.” Selesai.
Sedangkan mereka telah menjadikan Yasiq lokal yang mereka namakan (UUD) dan Yasiq dunia internasional yang mereka namakan (piagam) yang mereka kedepankan keduanya serta hukumnyalah yang menjadi acuan lagi yang berlaku di tengah mereka, sedangkan hukum Al Kitab ditelantarkan, diganti dan dicampakkan begitu saja.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al Fatawa 28/524: Dan suatu yang maklum secara pasti dari dienul muslimin dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang melegalkan mengikuti selain ajaran Islam, atau mengikuti aturan selain aturan Muhammad saw, maka ia kafir.” Selesai.
Bagaimana ijma tidak terjalin atas hal seperti ini sedangkan engkau telah mengetahui bahwa ia tergolong ashluddin dan qaidahnya, karena kufur kepada thaghut adalah separuh kalimat ikhlash dan tauhid serta pusat roda dakwah para Nabi dan Rasul, dan karenanya terjadi dan senantiasa terjadi perseteruan, dan di dalamnya terjadi pertentangan, keselamatan dan kebinasaan.
Mereka – yaitu Murjiatul ‘Ahsri – dengan pentakwilan-pentakwilan, syubhat-syubhat dan sikap ngawurnya itu mendobrak ayat-ayat Al Kitab, hadits-hadits Rasul, Ashluddin, dakwah para rasul dan ijma ahlut tauhid……. Enyahlah mereka.
Siapa yang Allah tidak jadikan cahaya baginya maka dia tidak punya cahaya.

Syubhat:
Bahwa Firman-Nya Ta’ala: “Demi Tuhanmu, mereka itu tidaklah
beriman sampai menjadikan kami sebagai hakim…….”
Adalah Penafian Akan Kesempurnaan Iman
Bukan Intinya

Inilah sesungguhnya kami telah berdalil atas kekafiran ath thawaghit al musyarri’in (para thaghut yang membuat hukum) dengan firman-Nya Ta’ala:
“Demi Tuhanmu, mereka itu tidaklah beriman sampai mereka menjadikan kami sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapatkan sedikitpun keberatan dalam diri mereka dari apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65)
Allah swt telah bersumpah dengan muqsam bih terbesar dan menguatkan sumpah-Nya dengan pengulangan alat penafian dua kali atas penafian iman dan islam dari orang yang tidak menjadikan syariat Allah sebagai hukum apalagi kalau mendapatkan dalam dirinya keberatan meskipun sedikit dari hukum Allah Ta’ala.
Kemudian sesungguhnya sebagian Murjiatul ‘Ashri menjawab atas kami dengan tipu daya syaithan dan bisikannya, dan mereka mengklaim bahwa iman yang dinafikan dalam ayat ini adalah kamalul iman bukan ashlul iman. Sedangkan jawaban kami atas hal ini dengan taufiq Allah adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Sebelumnya kami ingatkan bahwa ayat ini bihamdillah bukanlah satu-satunya dalil yang menunjukkan kekafiran thawaghit musyari’in, anshar mereka, kroni-kroni mereka dan budak-budak mereka, akan tetapi ia adalah salah satu dalil dari mata air sungai dalil yang tak habis, sebagian darinya telah lalu, dan yang lainnya dijabarkan di tempat lain. Yang paling pertama dan yang paling tinggi adalah penohokan mereka terhadap ashluttauhid dan penggugurannya terhadap qaidahnya dengan pembuatan hukum di samping Allah (baik dalam negeri) atau dengan dengan menjadikan selain-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala hakam (pemutus hukum) dan musyarri’ (internasional), sedangkan ini menggugurkan kalimat ikhlash dan ashlul ushul yang mana dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah dari awal hingga akhir berputar sekitar hal itu. Jadi masalahnya bukanlah seperti apa yang diduga oleh Murjiatul ‘Ahsri yaitu masalah ayat yang mereka takwil seperti yang mereka inginkan dan masalahnya selesai, akan tetapi dominannya kejahilan, banyaknya syirik, berbaur dengan ahlisy syirki dan ansharnya, duduk-duduk dengan mereka, makan bersama mereka dan rukun (cenderung) terhadap mereka telah menutup bashirah mereka, menghalangi hati mereka dari pentunjuk dan kebenaran yang nyata, dan menghalangi antara mereka dengan sikap membedakan al kufru dari al iman dan tauhid dari asy syirki dalam masalah-masalah yang mana ia tergolong urusan-urusan yang paling jelas dalam dienul Islam.
Kemudian kami katakan: Sesungguhnya penafian al iman atau ancaman dalam bab-babnya tidaklah datang karena taqshir dalam kamalul iman , akan tetapi tidak terjadi kecuali atas pengguguran ashlul iman atau pengurangan al iman al wajib, kemudian sesudahnya ditarjih mana salah satu dari dua hal itu yang dimaksud oleh syar’i dengan dalil-dalil syar’i atau qarinah-qarinah nash itu sendiri atau dari nushush lainnya yang menjelaskan.
Bila hal ini telah diketahui maka sesunggunya hal ma’ruf lagi diketahui secara umum di kalangan ahlul ilmi adalah bahwa hukum asal pada lafadh-lafadh itu adalah haqiqat sebenarnya dan dhahirnya, serta lafadh itu tidak dipalingkan dari makna haqiqinya yang dhahir kepada majaz kecuali dengan dalil….bahkan al muhaqqiqun di antara mereka menetapkan bahwa sama sekali tidak ada majaz dalam Al Qur an.
Dan kami mengatakan sesungguhnya penafian di sini adalah penafian akan haqiqat al iman yaitu ushul iman, dan yang menyatakan hal ini kembali kepada hukum asal, sedangkan orang yang mengklaim bahwa penafian itu terhadap selain itu adalah keluar dari hukum asal lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Ibnu Hazm rh berkata dalam Al Fashl 3/293 tentang ayat ini: Ini adalah nash yang tidak mengandung takwil, dan sama sekali tidak ada nash yang mengeluarkannya dari dhahirnya, serta tidak ada burhan yang mengkhususkan pada sebagian sisi-sisi keimananan.” Selesai.
Di samping ini sesungguhnya lafadh di sini bukan (makna) lughawi murni, namun ia makan syar’iy yang khusus. Dan banyak dari ahli ilmu di antaranya pensyarah Ath Thahawiyyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa lafadh al iman bersama al Islam bila keduanya berkumpul maka keduanya memisah dengan makna (masing-masing), dan bila keduanya terpisah maka keduanya menyatu (dalam makna). Dan makna ini adalah bila salah satunya menyendiri maka ia mencakup makna yang satu lagi dan hukumnya. Sedangkan di sini lafadh iman datang menyendiri maka ia mencakup islam bersamanya, sehingga penafian iman dalam ayat itu adalah penafian terhadap Islam dan iman.
Dan ini dibuktikan juga dengan konteks ayat-ayat dalam surat itu sendiri dan sebelum ayat ini beberapa ayat, maka sesungguhnya ia menafikan ashlul iman, seperti firman-Nya Ta’ala:
“Kemudian bila kalian berselisih pada sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An Nisa: 59)
Ibnu Katsir rh berkata: “Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengacu dalam tempat perselisihan kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” Selesai.
Penyebutan iman kepada Allah dan hari akhir dalam ayat ini memutus syubhat ucapan akan kamalul iman, karena (iman kepada hari akhir) adalah satu cabang dari cabang-cabang iman yang inti yang bila ia lenyap maka lenyaplah ashlul iman, dan di antara firman Allah Ta’ala sebelumnya juga :
“Apa engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada engkau dan apa yang telah diturunkan sebelum engkau, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka itu sudah diperintahkan untuk kafir terhadap (thaghut) itu dan syaithan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Marilah kalian (mengikuti) apa yang yang telah diturunkan Allah dan (mengikuti apa yang telah diturunkan kepada) Rasul” maka melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 60-61)
Bila saja keinginan tahakum kepada thaghut adalah menggugurkan kufur terhadapnya yang telah Allah fardlukan atas hamba-hamba-Nya dan Dia perintahkan mereka dengannya, maka bagaimana dengan tahakum itu sendiri, bahkan bagaimana dengan apa yang terjadi hari ini, yaitu menjadikan kewenangan pembuatan hukum secara sempurna dan dalam setiap bab di tangan thaghut dan sebagai salah satu hak (kewenangan) dari hak-haknya, baik si thaghut ini bersifat internasional atau lokal, atau berwujud amir (raja, presiden, sultan, dll, Pent) atau anggota dewan (wakil rakyat) atau ia berwujud Piagam ataupun UUD.
Dan sudah ma’lum dari Ashli Dienil Islam bahwa al kufru bith thaghut adalah rukun tauhid dan syarat sah al iman billah bukan syarat kesempurnaan. Iman kepada thaghut adalah kufur terhadap Allah lagi menggugurkan ashlul iman wat tauhid wal Islam, jadi yang didustakan lagi dinafikan dalam ayat ini adalah ashlul iman dan haqiqatnya bukan kesempurnaannya yang wajib, apalagi kalau itu kesempurnaannya yang mustahab.
Begitulah, konteks ayat-ayat itu seluruhnya sebelum ayat bab ini adalah seputar lenyapnya ashlul iman bukan kesempurnaannya, kemudian datang ayat ini sebagai nash dalam bahasan ini.
Dan ini seperti yang sebelumnya, orang yang menyatakan ini mengambil hukum sebelumnya untuk ashlul khithab yang terkandung dalam konteks, sedangkan orang yang mengeluarkan hal itu darinya adalah keluar dari hukum asal ini lagi dituntut untuk mendatangkan dalil.
Adapun haraj (keberatan) yang disebutkan dalam ayat itu, maka ia bukanlah qayyid (batasan) untuk penafian haqiqat al iman di sini, atau qayyid pada kekafiran orang yang menolak tunduk kepada hukum Allah, namun keberadaannya – sebagaimana yang telah lalu – hanyalah tambahan dalam kekafiran. Maka orang yang merasa keberatan dari syariat Allah adalah kafir baik ia menerapkannya atau tidak menerapkannya.
Orang yang menolak untuk tunduk kepada hukum Allah adalah kafir meskipun tidak menampakkan sikap keberatan darinya dan bisa jadi dua kekafiran berkumpul pada seseorang, sehingga kekafirannya kufur murakkab (berlipat), maka ia sebenarnya adalah tambahan hukum bukan qayyid bagi hukum.
Al Jashash berkata dalam Ahkamul Quran tentang ayat ini setelah menuturkan sebagian makna-makna haraj, dan di antaranya merasa sempit atau ragu: “Dan dalam ayat ini ada dilalah yang menunjukkan bahwa orang yang menolak suatu dari perintah-perintah Allah ta’ala atau perintah-perintah Rasul-Nya saw, maka ia keluar dari Islam.
Sama saja baik ia menolaknya dari sisi keraguan
Atau meninggalkan penerimaan dan menolak dari pemasrahan
Dan itu mengharuskan sahnya apa yang diyakini para sahabat dalam vonis mereka akan riddahnya orang yang menolak dari membayar zakat, vonis mati mereka dan menawan anak-anak dan para wanita mereka, karena Allah Ta’ala menghukum bahwa orang yang tidak tunduk kepada Nabi saw, maka ia bukan tergolong Ahlul Iman.” Selesai.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl tentang ayat ini 3/235: “Maka Dia ta’ala telah menegaskan dan bersumpah dengan diri-Nya bahwa orang itu tidak mu’min kecuali dengan tahkim Nabi saw dalam setiap masalah yang diperselisihkan, kemudian menerima dengan hatinya dan tidak mendapatkan dalam dirinya rasa keberatan dari apa yang beliau putuskan.
Maka sahlah bahwa tahkim adalah suatu hal di luar taslim dengan hati, dan bahwa ia adalah al iman yang tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mendatangkannya.” Selesai.
Dan khulashahnya wahai saudara tauhid, bahwa masalah kita sebagaimana yang telah kami katakan berulang-ulang adalah bersama orang yang telah menghancurkan tauhid terus mereka beriman kepada thaghut, dan mereka tidak kafir terhadapnya, sedangkan ini adalah salah satu pembatal keislaman dan keimanan, dan perbuatan kekafiran yang nyata yang tidak usah dicari tentang keyakinannya atau istihlal qalbiy atau taharruj (keberatan) hati, serta tidak boleh itu dijadikan sebagai qayyid (batasan) bagi kekafiran di sini, karena ini adalah hal-hal ghaib dan sebab-sebab kekafiran yang tidak nyata dan tidak mudlabith dalam hukum-hukum dunia dan tidak jalan untuk mengetahuinya kecuali dari dua sisi:
Bisa lewat jalan wahyu atau di pelakunya menyatakan dan mengucapkan dengan lisannya dan mengabarkan tentang istihlal dan keberatan hatinya.
Dan ketahuilah sesungguhnya para thaghut dan antek-anteknya itu di sini telah terbukti pada diri mereka kedua sisi ini, di mana mereka itu adalah makhluk paling kafir.
Nash wahyu telah menegaskan sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat itu terhadap pendustaan iman orang yang tidak kafir terhadap thaghut dan ingin berhukum kepadanya, maka kami menghukumi batilnya keimanan orang-orang macam mereka secara lahir batin sebagai bentuk pembenaran terhadap Allah dan keimanan terhadap kalimat-kalimatNya (dan ini adalah hukum dan bukan qayyid buat hukum). Dan kami mendustakan orang yang berhakim kepada thaghut walaupun dia mengklaim jujur, iman, taufiq dan ihsan dan walaupun dia menyatakan bahwa syari’at adalah lebih afdhal dari dien (hukum) thaghut dan undang-undangnya dan walau ia mengatahui wajibnya tahkim syari’at atau berkata: Doakanlah kami atau bantulah kami………serta ucapan lainnya yang dengannya mereka mentertawakan orang-orang dungu, dan dengannya orang-orang seset menutupi kekafiran mereka………selama ia terus dalam tahakum kepada thawaghit lagi masuk dalam diennya juga tidak kafir terhadapnya. Ini dari satu sisi.
Dan dari sisi lain, sesungguhnya para thaghut itu telah menegaskan dalam catatan penafsiran mereka terhadap UUD – sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam Kasyfun Niqab – dan mereka menegaskan atas sikap keberatannya dari tauhidullah dan ifrad-Nya dalam tasyri, dalam penafsiran mereka akan ayat dua dari yasiq mereka (maksudnya UUD)
Dan dari ini engkau mengetahui bahwa kekafiran mereka itu adalah kekafiran yang berlapis dengan kesaksian Allah dan wahyu-Nya serta dengan penegasan mereka sendiri juga.
Namun dengan ini Afrakhul Murjiah sangat bersikap wara’ dalam takfir mereka, terus mereka mengharamkan darah dan hartanya, bahkan mereka shalat bermakmum di belakangnya dan meminta pertolongannya untuk menyerang orang yang menyelisihi mereka dan menyelisihi madzhab mereka yang rusak walaupun orang yang menyelisihi itu dari kalangan ahli tauhid, dan mereka mencapnya sebagai Khawarij – yang kafir menurut pendapat sekelompok dari salaf – karena para muwahhidin itu kafir terhadap thaghut dan mereka mengkafirkannya bersama auliya dan ansharnya, padahal Afrakhul Murjiah itu enggan mengkafirkan orang-orang yang telah engkau lihat keadaannya, di waktu yang mana mereka tidak bersikap wara’ dan tidak komitmen dengan hududullah dalam menyikapi kami, di mana mereka mengkafirkan kami dengan sebab pemurnian tauhid, persis seperti keadaan khashum du’at tauhid di setiap zaman….. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Dan Khushum kami telah mengkafirkan kami dengan suatu
Yang mana ia adalah puncak tauhid dan iman
Kami menyerahkan mereka kepada Rabbul ‘Aalamiin pada hari di mana orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti, dan Yang Maha Perkasa memanggil mereka:
“Mana sekutu-sekutu Aku yang dahulu kalian klaim” (Al Qashash: 74).
Dan pada harinya kami akan angkat pengaduan kami kepada Rabbul ‘Aalamiin dan kami akan mengatakan: Ya Rabb, mereka telah menuduh kami sebagai ahlil bid’ah, mereka telah memfitnah kami dan dusta atas nama kami dengan apa yang telah Engkau ketahui, karena kami mengkafirkan orang yang telah menghancurkan tauhid serta membela syirik dan tandid.
Ya Rabb, kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah Engkau kafirkan dalam kitab-Mu dan yang telah Rasul-Rasul-Mu kafirkan…..Ya Rabb, kami telah kafirkan musuh-musuh dienMu sebagai bentuk pembenaran terhadap firman-Mu pengikutan terhadap rasul-rasul-Mu, pengimanan terhadap Kitab-Mu dan pembelaan terhadap syariat-Mu.
Adapun kalian wahai Afrakhul Murjiah, apa yang kalian katakan? Dengan apa akan kalian jawab dan kalian bentengi? Apa akan mengatakan: Ya Rabb, kami bersikap wara’ dari takfier musuh-musuh dien-Mu yang telah engkau cap kafir mereka dalam kitab-Mu, dan kami hukumi mereka sebagai orang-orang Islam karena sikap wara’, hati-hati dan tanazzuh (bersih diri)..dan kami bid’ahkan – dan bahkan bisa kami kafirkan – orang yang kafirkan mereka dan kami terapkan vonisMu terhadap mereka, kami bodoh-bodohkan mereka, kami perangi mereka dan kami halangi manusia dari mengikuti dakwahnya?
Maka singsingkanlah lenganmu wahai ahluttauhid untuk nushrah dienillah, janganlah kamu peduli atau merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang menggembosi, dan persiapkanlah untuk hari perhelatan di hadapan para penguasa langit dan bumi untuk menghujat musuh-musuh dien ini, auliya mereka dan ansharnya di sisi wali kita dan penolong kita.

Syubhat:
Bahwa Nabi Saw tidak mengkafirkan dan tidak membunuh
seorang Anshar yang memprotes putusan beliau dalam
Pengairan kebun di Harrah
dan tidak pula (membunuh) orang orang munafik yang merintangi hukum Allah serta tidak pula (membunuh) orang yang berkata kepada beliau : “Berlaku Adillah”

Ini adalah syubhat mereka yang mencabang dari syubhat sebelumnya, sesungguhnya kami tatkala menuturkan kepada mereka bahwa ayat yang lalu itu menafikan hakikat keimanan orang yang memprotes keputusan Rasul saw, maka mereka berkata: Tapi kenapa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang memprotes terhadap keputusannya dalam Pengairan di kebun Harrah
Dan begitu pula kaum munafiqin yang Allah firmankan tentang mereka:
“Dan bila dikatakan kepada mereka “Marilah kalian mengikuti apa yang telah Allah turunkan dan apa yang diputuskan Rasul” maka engkau melihat orang-orang munafiq menghalang-halangi (manusia) dari (mengikuti) mu.” (An Nisa: 61)
Dan sama seperti itu adalah seorang laki-laki yang berkata pada pembagian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Ini bagian yang tidak diharapkan Wajah Allah dengannya.”
Sedang jawaban atas hal ini adalah kami katakan: Telah berulang-ulang bahwa masalah yang sedang kita bicarakan adalah tergolong Ashluddin dan qaidahnya, dan masalah seperti ini tidak mungkin terkena nasakh (penghapusan) sama sekali, sehingga tidak sah sama sekali dibenturkan atau dirobek dengan kejadian-kejadian pribadi yang bisa saja ada mulasabat (faktor-faktor yang mempengaruhi) dan pentakwilan-pentakwilan tertentu, akan tetapi hal-hal seperti itu – bila musykil takwilnya – seyogyanya dikembalikan kepada induk dan intinya sebagaimana halnya pada al mutasyabih karena ia dikembalikan kepada yang muhkam dari Al Quran, dan tidak boleh nushush dibenturkan dan satu sama lain diadukan.
Adapun hadits orang yang memprotes terhadap hukum Rasul saw dalam Syiraajul Harrah dan status kaum munafiqin yang menghalang-halangi (manusia) dari hukum Allah, keduanya sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada anda adalah dalam satu bahasan dan konteks. Ihtijaj mereka untuk membela para thaghut dengan keberadaan bahwa Nabi saw tidak mengkafirkan mereka adalah tidak ada hujjah bagi mereka di dalamnya, karena Al Quran telah turun setelah kejadian ini sebagai pemberi vonis akan kekafiran setiap orang yang memprotes terhadap hukum Allah dan hukum Rasul atau yang ingin tahakum kepada thaghut. Dan sangat tidak mungkin Nabi saw tidak mengkafirkan mereka setelah itu bila mereka bersikukuh di atasnya dan tidak menampakkan taubat, penyesalan dan rujuk, serta tidak mungkin Nabi saw mengakui mereka atas sikap terus menerus mencela hukum Allah dan tahakum kepada thaghut tanpa beliau kafirkan dan bunuh mereka sedangkan beliau adalah orang yang mengatakan: “Siapa yang merubah dien-Nya maka bunuhlah dia.”
Sehingga mesti dikatakan bahwa mereka setelah turun ayat-ayat itu tidak bersikukuh di atas kekafiran itu, namun mereka taubat, menyesal, dan tunduk serta patuh kepada hukum Allah walau secara dhahir.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla Jilid 11 pada masalah ke 2199: “Sehingga bila Allah telah menjelaskan bahwa mereka itu tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim dalam apa yang menjadi perselisihan di antara keduanya, maka wajiblah bahwa orang yang telah mengetahui hal ini baik dulu maupun sekarang dan hingga hari kiamat terus ia menolak dan membangkang maka ia kafir, sedangkan dalam ayat tidak ada penjelasan bahwa mereka itu membangkang setelah turunnya ayat.” Selesai.
Dan ini persis seperti orang-orang yang memperolok-olok al qurra dalam perang Tabuk, sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak membunuh mereka, maka tidaklah sah berdalil dengan hal ini bahwa mereka tidak dikafirkan dengan sebab istihza’ mereka , namun yang benar adalah dikatakan bahwa mereka itu telah menampakkan taubat setelah Allah vonis dengan kekafiran mereka, maka Nabi saw memperlakukan mereka dengan dhahirnya.
Ibnu Hazm berkata dalam Al Muhalla juga 11/207 setelah menuturkan firman-Nya Ta’ala: “Dan bila kamu bertanya kepada mereka, tentulah mereka mengatakan:
“Kami hanya bercanda dan bermain…..” hingga firman-Nya “mereka itu para pelaku dosa” (At Taubah: 65-66), beliau berkata: Ini tanpa diragukan tentang orang-orang tertentu yang telah kafir setelah mereka beriman, akan tetapi taubat terbuka bagi mereka dengan firman-Nya:
“Bila Kami memaafkan sekelompok dari kalian maka kami (juga) mengadzab sekelompok (yang lain), itu disebabkan mereka itu para pelaku dosa.” (At Taubah: 66) maka sahlah bahwa mereka itu telah menampakkan taubat dan penyerahan serta mengakui akan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Allah Ta’ala terima taubatnya secara bathin karena Dia Ta’ala mengetahui kebenaran taubatnya, dan di antara mereka ada yang tidak sah taubatnya secara bathin, maka merekalah orang-orang yang diadzab di akhirat dan adapun secara dhahir (lahir) maka seluruh mereka telah bertaubat dengan nash ayat, wa billahit ta’ala taufiq.” Selesai.
Dan ini tegas dalam ayat-ayat itu, dan tidak ada di dalamnya dan di dalam khabar-khabarnya bahwa mereka bersikukuh dalam istihza’nya dan terus menerus di dalamnya serta Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakui mereka atas hal itu tanpa membunuh mereka, justru dalam atsar-atsar yang diriwayatkan Ath Thabariy dan Ibnu Abi Hatim ada penegasan bahwa sebagian mereka mengajukan udzur seraya bergelantungan di pelana unta Rasulullah saw sedang bebatuan menyemburi dia, sebagai bentuk penampakan taubat, penyesalan dan rujuk.
Adapun orang yang menuduh Rasulullah zhalim dan orang itu berkata bahwa beliau tidak adil serta tidak mengharapkan dengan pembagiannya Wajah Allah, maka tidak ragu bahwa dia itu murtad – karena ini adalah celaan pada risalah yang mengharuskan amanah – dan inilah yang dipahami Khalid dan Umar ra secara langsung, sehingga keduanya minta izin Nabi saw untuk membunuhnya sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits.
Dan ini ditunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengaitkan alasan pelarangan beliau dari membunuh orang ini dan yang serupa dengannya – dalam sebagian riwayat – dengan kekhawatiran (orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya) dan beliau tidak mengkaitkannya dengan ‘ishmah darahnya sebagaimana halnya pada kaum muslimin, maka ini menunjukkan bahwa ia kafir dengan ucapan itu dan seandainya ia itu muslim tentulah cap itu tidak memberikan pengaruh dan tidak selaras dalam ‘ishmah darah orang yang ma’shum, dan tidak boleh memberikan alasan hukum dengan sifat yang tidak memiliki pengaruh, namun pemberian alasannya haruslah dengan sifat yang mana ia adalah manathul hukmi (ruang lingkup yang mana hukum berkisar pada sebab itu) dan ini sudah ma’lum pada ungkapan ahlil ilmi dalam bab Tanqihul Manath (penyeleksian sebab hukum), dan makna ini telah dituturkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Ash Sharimul Maslul hal 335.
Adapun Nabi saw tidak membunuhnya dan justru melarang Umar dan Khalid darinya, maka jawabannya adalah seperti apa yang disebutkan Ibnu Hazm rh dalam Al Muhalla 11/225: “Bahwa Allah Ta’ala saat itu belum memerintahkan membunuh orang yang murtad, oleh sebab itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak membunuhnya, serta karena itu pula beliau melarang membunuhnya, kemudian setelah itu Allah Ta’ala memerintahkan membunuh orang yang murtad dari dien-Nya, sehingga pengaharaman membunuh mereka di nasakh.”
Dan berkata pula di dalamnya 11/411: Adapun orang yang berkata pada pembagian Nabi saw (ini adalah pembagian yang tidak ada keadilan di dalamnya dan tidak diharapkan wajah Allah dengannya).
Maka sungguh telah kami katakan bahwa ini terjadi para perang Khaibar, dan ini sebelum Allah Ta’ala memerintahkan untuk membunuh orang-orang murtad, dan dalam khabar ini tidak ada pernyataan bahwa orang yang mengucapkan ucapan ini tidak kafir dengan sebab ucapannya itu.” Selesai.
Maka nampaklah di hadapanmu bahwa tidak ada hujjah bagi mereka dalam itu semua, dan mereka tatkala tidak mampu mendatangkan hujjah-hujjah dan dalil-dalil, maka mereka bersengaja mengambil kejadian-kejadian pribadi ini seraya bermaksud menerjang dengannya hal inti yang paling dasar dan pilar yang paling kokoh itu yang dengannya kami berhujjah atas kekafiran para thaghut mereka bila mereka merobohkannya, mereka mengajak manusia dan menyuruh mereka untuk merobohkannya, akan tetapi jurang yang mana di sini mereka tergelincir di dalamnya adalah mereka dengan mempermainkan khabar-khabar ini dan dengan ihtijaj mereka yang rusak itu adalah mereka telah menuduh Nabi saw mendiamkan kaum murtaddin dan kuffar, mengakui mereka atas kekafirannya, tidak membunuhnya dan tidak memeranginya. Orang-orang miskin itu tidak mengetahui bahwa mereka dengan metode mereka ini, berarti mereka menjerumuskan diri mereka pada jalan membela-bela para thaghut.
Manjaniq Maghrib berkata: Siapa yang menduga bahwa Rasulullah saw tidak membunuh orang yang wajib dibunuh dari kalangan sahabatnya, maka dia telah kafir lagi halal darah dan hartanya, karena dia telah menisbatkan kebatilan dan mukhalafatullah (penyelisihan kepada Allah) Ta’ala terhadap Rasul saw.
Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah membunuh sahabat-sahabatnya yang baik dipastikan beriamn dan masuk surga, karena hukum bunuh wajib atas mereka seperti Maiz, Al Ghamidiyyah, dan Al Juhainiyyah radliyallaahu ‘anha.
Maka termasuk kebatilan yang pasti dan kesesatan murni serta kefasikan yang asli, bahkan tergolong kekafiran yang nyata adalah seorang muslim meyakini atau menduga bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membunuh orang-orang muslim yang baik lagi calon ahli surga dari kalangan sahabatnya dengan pembunuhan yang sangat mengerikan dengan batu, terus beliau menelantarkan penegakan al haq al wajib dalam membunuh orang murtad atas orang kafir yang beliau ketahui bahwa dia telah murtad.
Hingga ucapannya: Dan kami bersaksi dengan kesaksian Allah Ta’ala bahwa orang yang meyakini ini dan menganutnya maka sesungguhnya dia kafir musyrik murtad lagi halal darah dan hartanya, yang mana kami berlepas diri di hadapan Allah darinya dan dari perwaliannya.

Penutup
Wa Ba’du:
Maksud kami di sini bukanlah membatasi semua syubhat Murjiatul ‘Ashri, karena ia tidak pernah habis, karena mereka itu telah memenuhi pemahaman mereka dengan syubhat, dan syaithan senantiasa membisikkan kepada mereka ucapan-ucapan yang indah untuk menipu…..
Syubhat-syubhat yang berguguran bagaikan kaca, engkau kira benar, sedang semuanya bisa memecahkan dan dipecahkan.
Dalam lembaran-lembaran ini kami hanya menyinggung hal-hal yang paling masyhur saja yang dilontarkan orang-orang dungu mereka di negeri ini yang berkaitan atau dekat dengan inti bahasan, sebagai penjelasan dan tanbih bagi para pencari al haq yang sedang berjalan di atas jalan.
Dan saya akhiri ini dengan mengingatkan diri saya dan mengingatkan mereka dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang dengannya si penempuh jalan menjadikannya petunjuk dalam kegelapannya di tengah fitnah-fitnah, hawa nafsu dan kegelapan-kegelapan yang bercampur aduk……sebagai peringatan “karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mu’minin”

Pertama: Jauhilah hawa nafsu
Ibnu Daqiq Al I’ed berkata tentang hal-hal yang membinasakan yang memasukkan penyakit “pertama: hawa nafsu, sedang ia adalah yang paling buruk, dan ia dalam tarikh kaum mutaakhirin adalah banyak.” Selesai.
Maka wajib atas pencari kebenaran untuk memurnikan (niat) untuk mencari al haq dan untuk tidak mengikuti hawa nafsu.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga itu menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah bagi mereka adzab yang besar dengan sebab mereka lupa dari perhitungan.” (Shaad: 26).
Hawa nafsu adalah satu thaghut dari sekian thaghut yang diikuti mayoritas manusia. Dan engkau tidak akan berpegang penuh erat dengan al ‘urwah al wutsqa dan bergabung dengan para pejalan sampai kamu berserah diri kepada Allah dan hukum-Nya saja dengan penyerahan yang muthlaq serta kafir terhadap tiap thaghut dan di antaranya thaghut hawa nafsu ini, Allah Ta’ala berfirman:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya.” (Al Furqan: 43-44)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Al Jatsiyah: 23).
Maka hati-hatilah dari thaghut ini dan jauhilah ia sebagaimana engkau menjauhi thaghut-thaghut yang lain untuk merealisasikan tauhid yang merupakan haq Allah atas semua hamba dengan perealisasian yang sempurna.
Dan perhatikanlah sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang binasa lagi berjatuhan di pintunya dalam ayat-ayat tersebut, dan sanksi yang Allah berikan kepada mereka dengan sebabnya, berupa penguncian terhadap hati dan pendengarannya serta penutupan terhadap pandangan, sehingga mereka telah menjadi lebih sesat dari binatang ternak mereka tidak mau melihat dalil-dalil dan bayyinat, terus mereka tidak mengambil ‘ibrah dengannya dan tidak menjadikannya sebagai penunjuk jalan atau mengambil pelajaran, sehingga thaghut ini telah mempermainkan mereka sekehendaknya, …. hawa nafsu itu menyertai mereka sebagaimana anjing menyertai tuannya….pujilah tuhanmu atas nikmat petunjuk kepada al haq dan at tauhid dan menangislah serta mohonlah kepada-Nya agar meneguhkanmu di atasnya dan menutup hayatmu dengannya.
Dan jadikanlah bagi hatimu dua kelopak mata yang keduanya
Menangis karena takut kepada Ar Rahman
Andai Tuhanmu berkehendak tentulah kamu juga seperti mereka
Karena hati itu ada di antara jemari Ar Rahman
Dan ingatlah firman Allah Ta’ala:
“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 120) dan firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukan dengan Allah.” (An Nahl: 99-100)

Ke dua: Hati-hatilah dari fanatik golongan dan guru
Atau mendahulukan hal itu di atas Allah dan Rasul-Nya atau meninggalkan firman Allah yang muhkam karena ucapan dan pendapat mereka. Selama al haq itu telah nampak di hadapan engkau dengan dalilnya, maka gigitlah kuat-kuat dengan geraham dan janganlah kamu meninggalkannya karena ucapan atau pendapat seseorang. Bila engkau mendapatkan petunjuk pada kebenaran dalam suatu masalah terus kebenaran itu datang seraya menyelisihi apa yang engkau dapatkan dari guru-gurumu, maka janganlah kebenaran itu dibantah dengan ucapan atau perbuatan mereka, karena firman Al Khaliq tidak boleh ditentang dengan ucapan makhluk. Berapa banyak hal seperti ini telah menghalangi banyak orang yang sebelumnya kami mengira mereka itu para pencari kebenaran dari sikap bergabung dengan para penempuh jalan, serta syaitan menggembosi mereka dengan berbagai syubhat: “Apakah hal seperti ini samar atas syaikh?” “Seandainya itu adalah haq tentulah tidak samar atasnya” atau “Bagaimana syaikh mengatakan hal yang menyelisihinya?” Jadi taufiq dan tarjih dan upaya pencarian nasikh dan mansukh, al ‘aam dan al khash atau muthlaq dan muqayyad hanyalah dilakukan dalam apa yang diduga ada pertentangan dari firman Allah atau sabda Rasul. Adapun ucapan makhluk, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan seandainya itu berasal dari selain Allah tentu mereka mendapatkan di dalamnya perselisihan yang banyak.” (An Nisa: 82).
Janganlah menghalangimu dari mengikuti al haq dan membelanya keberadaan sebagian guru-gurumu menyelisihinya. Sungguh kami dulu di awal pencarian ilmu terjadi pertentangan dan isykal di hadapan kami sebagian ucapan para syaikh yang kami saat itu percaya benar kepada mereka, padahal al haq dalam masalah itu telah nyata di hadapan kami, sehingga kami sering bimbang dan tawaqquf. Dan ini adalah tergolong rintangan yang menghambat pejalan dan merintangi perjalanan. Padahal hal seperti itu tidak layak menjadi penghalang bagi pencari al haq dan tidak layak lama tawaqquf dan bimbang di dalamnya dengan sebab hal itu. Selama al haq itu telah nampak dan jelas dengan dalilnya dari Al Kitab atau As Sunnah, maka pendapat yang selaras dengannya adalah diterima dan pendapat yang menyelisihinya adalah tertolak lagi terlempar, karena semua orang diambil dan ditolak dari pendapatnya kecuali al ma’shum saw.
Jauhilah pendapat orang-orang bodoh: bahwa firman Allah itu tidak boleh diambil dengan zhahir-zhahirnya, karena bisa saja yang dimaksud itu adalah ini atau itu dan kita tidak mampu memahami Al Quran dan ucapan-ucapan lainnya yang dengannya mereka mempersulit apa yang telah Allah Ta’ala mudahkan
“Dan Kami telah memudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran.” (Al Qamar: 22)
Itulah ucapan-ucapan kaum sesat di setiap tempat, mereka saling mewariskannya, sebagian dari sebagian yang lain untuk menta’thil (menggugurkan) nushush al kitab, dan sebagai gantinya mereka memberlakukan teks-teks ucapan dan pendapat guru-guru mereka yang tidak pernah dibantah, sebagaimana mereka menimpali Kitabullah dengan sikap-sikap mempersulit.
Dan haqiqatnya adalah ajakan yang jelas untuk taqlid serta penta’thilan teks-teks wahyu.
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim di mana beliau berkata:
Mereka jadikan ucapan guru-gurunya sebagai nash yang memiliki
Kepatenan lagi dua nash ditimbang darinya
Sedang firman Rabbul ‘Alamin dan hamba-Nya
Mereka jadikan samar yang mengandung banyak makna

Ke tiga: Hendaklah engkau hiasi diri dengan inshaf (objektif)
Hiasilah dirimu dengannya dan jangan engkau mencabutnya selama-lamanya karena ia adalah pakaian yang paling langka di tengah makhluk pada zaman ini, oleh karena itu para ulama berkata: “Inshaf adalah pakaian para bangsawan, sedang bangsawan adalah yang paling jarang inshaf.”
Di antara bentuknya adalah engkau menjaga diri (wara’) dari menisbatkan kepada lawan atau menyandarkan kepada mereka apa yang tidak pernah mereka ucapkan, walaupun itu adalah tergolong lazim dari ucapan mereka, taqwalah engkau kepada Allah dan janganlah dusta atas nama mereka atau menghukumi mereka dengan praduga dan perkiraan, meskipun mereka itu dusta atas namamu, karena orang mu’min itu tidaklah berdusta.
Seringkali kami mengalami hal seperti dari Murjiah zaman kita ini, namun kami tidak membalas perlakuan buruk dengan hal serupa. Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl 5/33: “Dan hendaklah orang yang membaca kitab kami ini mengetahui bahwa kami tidak menganggap halal apa yang dianggap halal oleh orang yang tidak memiliki sedikitpun kebaikan, berupa menyandarkan kepada seseorang apa yang tidak pernah dia katakan, meskipun ucapannya menghantarkan kepadanya. Maka ketahuilah bahwa menyandarkan ucapan kepada orang yang tidak mengucapkannya baik itu orang kafir atau ahlu bid’ah atau orang yang keliru, secara teks, adalah dusta atas namanya, padahal tidaklah halal berdusta atas nama seseorangpun.” Selesai.
Maka janganlah melampaui hududullah terhadap orang-orang yang menyelisihi meskipun mereka melampaui huduudullah terhadapmu, akan tetapi ikatlah apa yang engkau ucapkan dan timbanglah dengan timbangan keadilan yang dengannya langit dan bumi tegak. Dan ketahuilah, bahwa mata kebencian menampakkan keburukan yang padahal secara sebenarnya ia memiliki jalan keluar yang shahih, ia buta darinya dengan hijab kebencian

Ke empat: Hati-hatilah dari sikap bimbang dan kecut dari mengikuti al haq dan membelanya karena sedikitnya anshar yang menempuh jalan atau karena banyaknya orang-orang yang menyelisihi dan yang menggembosi. 
Karena jama’ah itu adalah yang menyelarasi al haq walau engkau sendirian, dan bukanlah dengan jumlah banyak orang kebenaran itu diketahui dan bukan pula dengan sosok terkenal, namun sosok itu dikenal dengan sebab al haq. Ingatlah selalu bahwa ada Nabi yang datang di hari kiamat sedang ia tidak memiliki pengikut dan anshar kecuali satu dan dua orang, dan ada Nabi yang datang tanpa seorang pengikutpun…..padahal ia itu nabi!!
Dan Rasulullah saw telah mensifati Ath Thaifah yang menegakkan perintah Allah hingga hari kiamat, bahwa mereka itu: “Tidak terganggu dengan orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula dengan orang yang menggembosi mereka.”
Maka dari itu janganlah kamu merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi atau dengan penggembosan mereka terhadap al haq walaupun mereka itu mayoritas. Dan harus engkau ingat pula bahwa orang-orang yang paling pertama api neraka dinyalakan dengannya adalah tiga orang, di antaranya ulama yang tidak mengambil manfaat dengan ilmunya karena kehilangan syarat ikhlas, jadi janganlah engkau terpukau dengan banyakya sorban-sorban yang menyimpang dari jalan ini, yaitu ulama pemerintah yang telah menjual dien mereka kepada penguasa dengan beberapa keping uang, di mana mereka membaiatnya, mendukungnya dan mengokohkannya, mereka kaburkan al haq dengan al bathil dan mereka merusak di hadapan manusia dien mereka. Jadi yang dianggap itu bukanlah orang-orang semacam mereka itu namun yang dianggap itu hanyalah ulama yang mengamalkan (ilmunya) lagi berlepas diri dari ahlil kufri waththugyan, mereka itulah para pewaris al anbiya. Komitmenlah dengan jalan mereka walau mereka sedikit, dan jangan terperdaya dengan banyaknya buih, yang aneh itu bukanlah dari orang binasa bagaimana dia binasa, namun yang aneh itu adalah orang yang selamat bagaimana ia selamat.
Ke lima: Yakinlah bahwa al haq itu akan menang di kemudian hari dan sesungguhnya kemenangan, keberpihakan, kejayaan dan kemenangan akhir tidak ragu adalah buat para pengikut dan ansharnya.
Dan ingatlah ucapan Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy saat berkata: (Ahlussunnah itu mati namun hidup penyebutan mereka, sedang ahlul bid’ah itu mati dan mati pula penyebutan mereka, karena ahlus sunnah itu telah menghidupkan apa yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka memiliki bagian dari firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami angkat bagimu penyebutanmu” (Alam Nasyrah: 4), sedang ahlul bid’ah mencela apa yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka memiliki bagian dari firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya orang yang mencelamulah yang terputus.” (Al Kautsar: 3)
Maka segeralah dan cepatlah bergabung dan janganlah sesuatupun menghalangimu dari bergabung dengan kafilah untuk nushrah al haq dan penganutnya…..Tidak lain hanya beberapa hari lagi……dan di pagi hari orang-orang memuji perjalanan malam.
Ya Allah Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan….Berilah aku petunjuk terhadap apa yang diperselisihkan berupa al haq dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus……..
Abu Muhammad Al Maqdisiy
1412 H

Aku telah persembahkan karena Allah apa yang aku persembahkan
berupa amalan
Dan tidak ada masalah atasku dengan mereka, apa mereka mencelaku atau berterima kasih
Dalam pembahasan ini wajib atasku menampakkan hal-hal yang tidak jelas
Dan tidak ada masalah denganku bila sapi-sapi itu tidak paham

Tidak ada komentar:

Posting Komentar