Kamis, 07 Juli 2011

Syarah Hadits Ka’ab bin Malik


                                               Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji milik Allah, kita memuji, meminta pertolongan,  dan meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya, dan  barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu baginya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran 3:102)
Amma ba’du:
Pembahasan kita pada pertemuan kali ini tentang kondisi umat yang agung, yang telah ditimpa musibah sebagaimana yang telah kalian ketahui sendiri, berupa berkuasanya orang-orang kafir terhadap umat ini. Mereka menjalankan hukum pada umat ini dengan selain hukum Allah dan menodai berbagai kesuciannya. Lihatlah sekarang telah berlalu lebih dari 8 dekade atas pendudukan Palestina di tangan orang-orang nasrani, dan setelah mereka berkuasalah orang-orang yahudi. Telah berlalu 10 tahun pendudukan pasukan salibis yang dipimpin oleh Amerika. Mereka menduduki Masjidil Haram, negeri dua tanah suci (biladul haromain). Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Meskipun musibah besar dan bencana dahsyat ini telah menimpa umat ini, namun masih saja ada orang-orang yang berada dalam keruwetan yang dahsyat. Mereka belum mau bergerak sedikit pun untuk membela laa ilaaha illallaah. Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Banyak para pentakwil yang membolehkan duduk-duduk berpangku tangan dengan banyak argumen. Hanya saja intinya kaum muslimin sedang dihinakan dan syariat Allah Yang Maha Penyayang telah dijauhkan agar jangan sampai para hamba menjalankannya sebagai undang-undang dari Robb kita, Allah subhanahu wa ta’ala.
Syariat Allah telah dijauhkan dari masyarakat, sementara, sebagaimana yang telah aku katakan, mereka tersesat jauh dari manhaj Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi untuk mengangkat kehinaan dan kerendahan. Dan diantara cara yang agung agar kebenaran tampak jelas adalah dengan kita mengingat bagaimanakah kondisi pada masa salafush sholeh rodhiyallahu ‘anhum. Bagaimanakah kondisi kehidupan para sahabat yang mulia rodhiyallahu ‘anhum. Sehingga yang haq akan tampak sangat jelas bagi kita dari yang batil. Al-haq akan tergambar dengan begitu jelas dengan izin Allah ta’ala.
Aku telah merenungkan perjalanan hidup mereka rodhiyallahu ‘anhum. Dan diantara gambaran paling jelas yang Aku lihat dalam masalah ini adalah hadits Ka’b bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Dalam hadits yang panjang dan agung ini, sahabat yang mulia ini mengaku dengan terus terang tentang tabiat jiwa manusia dan kelemahannya. Dan dia tidak mendebat atau berdusta sebagaimana orang-orang yang bersumpah dusta sehingga Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka dan mengomentari mereka dengan komentar yang sangat buruk.
Mari kita mentadabburi bersama-sama kejujuran dan keterus terangan ini agar kita tahu bagaimana tabiat orang-orang yang duduk-duduk tidak berangkat berjihad. Dan kita berusaha mengobati jiwa kita dan menasehati diri kita, ikhwan-ikhwan kita dan ulama’-ulama’ kita. Kita berharap kepada Allah agar mengembalikan kita dan mereka dengan pengembalian yang baik.
Ka’b bin Malik rodhiyallahu ‘anhu bercerita tentang perang Tabuk yang tidak diikutinya. Padahal dia adalah salah seorang yang hadir, menyaksikan, dan melakukan baiat pada hari dilaksanakannya baiat ‘Aqobah, baiat yang agung yang menjadi tonggak tegaknya daulah islam dengan karunia Allah. Daulah islam tegak di Madinah Al-Munawwaroh, dan kita tidak lain hanyalah salah satu buah dari buah-buahnya yang agung.
Ia menceritakan, Aku tidak pernah absen dari setiap perang yang dilalui rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali kecuali perang Badar. Dan rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mencela seorang pun yang absen pada perang tersebut. Ia termasuk seorang sahabat yang aktif ikut di semua perang rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kecuali perang Badar. Ia termasuk yang menikmati berbagai pertempuran dan mempersembahkan lehernya untuk membela laa ilaah illallaah. Namun, manusia tetaplah manusia, yang kadang kala digelincirkan oleh setan, sekali waktu lemah dan tertipu oleh dirinya sendiri. Inilah yang dinyatakan dengan jelas olehnya rodhiyallahu ‘anhu.
Dia melanjutkan, rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengajak untuk berangkat perang ketika hari semakin panas menyengat di saat orang-orang sedang qoilulah di bawah pohon-pohon kurma mereka. Kala itu buah kurma yang ada di pohon sudah mulai tampak matang. Dia berkata, “Waktu itu aku senang dengannya atau condong kepadanya”. Artinya dia condong untuk bernaung dan senang pada buah-buah kurma tersebut. Inilah tabiat jiwa manusia yang dapat kita baca pada orang-orang besar semacam mereka rodhiyallahu ‘anhum. Jika mereka saja ada yang absen dari jihad, maka tidak mengherankan apabila ada orang pilihan pada hari ini yang absen dari jihad, karena orang-orang yang lebih baik dari kita dan mereka saja pernah ada yang absen, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, dalam Shohih Bukhari dan Muslim.
Aku lebih senang dan cenderung kepada pohon-pohon kurma itu. Dia berkata, orang-orang mulai bersiap-siap. Dan aku pun bersiap-siap. Hari pertama berlalu dan Aku belum menyiapkan apapun. Aku berkata, Aku akan mempersiapkan diri besok, namun Aku belum juga melakukan apapun. Aku berkata pada diriku sendiri –perhatikanlah pernyataannya di sini–, Aku berkata pada diriku sendiri, Aku sanggup untuk berangkat bersama mereka. Si jiwa menipu pemiliknya yang biasa berjihad. Dia berkata, ini adalah masalah sepele, Aku bisa berangkat. Aku berkata pada diriku, Aku bisa berangkat dan mampu melakukannya. Dia berkata, Aku masih saja dalam keadaan itu sampai waktu perang berlalu dan rombongan yang menakutkan itu pun berangkat. Suatu rombongan agung yang dipimpin oleh Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam diiringi Abu Bakar, Umar dan para sahabat yang mulia.
Kebanyakan para ahli siroh memperkirakan mereka berjumlah 30 ribu sahabat rodhiyallahu ‘anhum. Di sini, seorang muslim harus ingat akan tipu daya jiwa. Berapa banyak orang yang duduk, berapa banyak orang yang berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah tertipu oleh jiwanya. Seandainya dia mau pergi, pasti dia telah pergi. Seandainya bapaknya atau pemimpinnya atau penunjuk jalannya ingin berangkat, pasti mereka sudah berangkat. Namun, maslahat islam atas ketidakberangkatannya termasuk ketertipuan yang nyata dan jelas. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Dia tertipu oleh jiwanya, padahal dia sudah berpengalaman dalam berbagai peperangan dan pertempuran. Kaum Anshar adalah kaum yang terbiasa dengan peperangan dan pertempuran. Mereka mewarisi kebiasaan itu dari nenek moyang mereka, namun masih saja dia tertipu oleh jiwanya. Lalu bagaimana dengan orang yang belum pernah berangkat perang sama sekali? Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Bukankah akan sangat mudah bagi jiwa untuk menipu pemiliknya? Mereka, para sahabat, yang hidup dalam kehidupan yang sulit, tidak ada listrik, AC dan tidak ada apa-apa, diperlihatkan padanya buah kurma dan ia pun berat untuk berangkat berjihad. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang longgar dalam hal-hal yang mubah sampai melampauinya, tenggelam dalam kemewahan? Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Bagaimana mungkin mereka tidak tertipu oleh jiwanya, kecuali Allah menghendakinya selamat.
Orang-orang telah berangkat dan Ka’b jatuh dalam dosa besar yang memalukan. Dia duduk tidak ikut membela laa ilaah illallaah. Dia duduk tidak ikut membela tauhid dan akidah. Dia merasa berat karena kenikmatan kehidupan dunia yang masih sangat sedikit di kala itu.
Udara waktu itu panas, di beberapa atsar lain mengisahkan, saat di Tabuk Umar rodhiyahhalu ‘anhu berkata: “Jika salah seorang dari kita keluar menuju tunggangannya, dia akan lehernya terasa mau putus karena saking panasnya”. Lalu apa yang dikatakan oleh para pecinta dunia. Apa kata mereka?
“Dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah: Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)’ jika mereka mengetahui.” (At-Taubah 9: 81)
Mereka menghadiri hadits-hadits rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, khutbah-khutbah jum’at dan mengetahui apa yang beliau sampaikan. Mereka mengatakan hal itu dengan lisan mereka. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah masalah pemahaman hati, pemahaman rasa takut. Sejatinya mereka tidak paham, meskipun mereka tahu dan mengerti. Seandainya mereka paham, pasti mereka mengerti bahwa  api neraka jahannam lebih dahsyat panasnya. Lebih dahsyat panasnya!
Sekarang apa yang dikatakan kepada ikhwan-ikhwan kita? Dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya cambuk sudah menanti kalian jika kalian kembali, dan sesungguhnya cambuk di penjara-penjara itu panas. Dan dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya aparat keamanan dan intelejen selalu mengikuti kalian. Maka kita katakan kepada mereka:
“Katakanlah: ‘Api neraka jahannam itu lebih dahsyat panas(nya)’, jika mereka mengetahui.” (At-Taubah 9:81)
Kita berharap kepada Allah agar menganugerahi kita kefakihan (kepahaman) dan ilmu.
Hari-hari kita suda ditentukan, apakah kita akan meninggalkan surga Robb kita hanya karena ancaman manusia? Tidak demi Allah. Barangsiapa yang meyakini bahwa ajal manusia telah ditentukan, tidak bisa dimajukan dan dimundurkan, dan barangsiapa yang meyakini bahwa rezeki sudah diketahui, tidak akan bertambah dan berkurang, maka dia tidak akan peduli. Sebagaimana dalam hadits nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajari seorang anak muda, Abdullah bin Abbas rodhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Wahai anak muda, Aku ajari engkau beberapa kalimat: jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di depanmu. Jika engkau meminta sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Jika engkau minta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah, seandainya suatu umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk membahayakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.” Hadits ini memberikan pelajaran kepada kaum muslimin dan memberikan ilmu kepada para penuntut ilmu. Ini merupakan suatu nikmat yang Allah berikan kepada kita. Namun para pemuda Islam perlu diajari ilmu dan sekaligus mengamalkan ilmu tersebut untuk menyuarakan kebenaran dengan terang-terangan demi laa ilaaha illallaah, sehingga masalahnya menjadi sempurna. Adapun mempelajari ilmu tanpa mengamalkannya, maka justru akan menjadi argumen yang akan mencelakakan. Oleh sebab itu dua unsur tersebut harus ada; ilmu dan mengamalkannya. Karena buah dari amal adalah rasa takut kepada Allah, dan buah dari ilmu adalah beramal sesuai dengan keterangan yang disampaikan Muhammad shollallahu ‘alaihi wa wallam agar kita mendapatkan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala.
Setelah itu, setelah dia tertinggal dari rombongan perang, Ka’b berkata: Aku ingin menyusul mereka, namun Aku tidak ditakdirkan untuk itu. Ia melanjutkan: Duhai seandainya Aku melakukannya (tidak tertinggal rombongan). Perang agung yang penuh berkah itu adalah perang terakhir yang diikuti oleh rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dia kehilangan kesempatan yang besar, ditambah lagi dengan dosa besar yang memalukan. Duhai seandainya Aku melakukannya.
Wahai hamba Allah manfaatkanlah kesehatanmu, manfaatkanlah waktu luang dan masa mudamu. Medan-medan surga telah terbuka. Terdapat keterangan shohih dari nabi kita shollallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah naungan pedang.” Ketika Abu Musa Al-Asy’ari menyampaikan hadits ini, ada seseorang bertanya: Wahai Abu Musa apakah engkau mendengar hadits ini dari rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam? Lihatlah kepada pemahaman mereka; mereka ingin mengetahui hingga bisa mengamalkannya. Bukan untuk memperbanyak ilmu yang justru akan menjadi argumen yang mencelakakannya. Jadi harus dengan ilmu dan amal. Apakah engkau mendengar hadits ini dari rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam? Dia ingin meyakinkan bahwa hadits ini shohih. Abu Musa menjawab: Ya. Lalu dia pergi menuju kaumnya, mengucapkan salam kepada mereka dan mengambil sarung pedangnya kemudian dia patahkan. Kemudian dia berangkat berperang hingga terbunuh.
Inilah manhaj para sahabat yang mulia. Manhaj para pendahulu kita, semoga Allah meridhoi mereka semua. Ka’b berkata: Duhai seandainya Aku melakukannya. Engkau masih memiliki kesempatan, sebelum datang hari dimana engkau akan mengatakan: Duhai seandainya Aku melakukannya.
Diriwayatkan, ada seorang ulama yang sholih sedang menghadapi sakaratul maut. Dia berada di atas tempat tidur kematiannya. Kedua matanya meneteskan air mata. Dia termasuk orang yang bertakwa dan berilmu. Dia ditanya: Apa yang membuatmu menangis? Sambil melihat kedua telapak kakinya dia menjawab: Aku menangis karena kedua telapak kakiku belum pernah terkena debu di jalan Allah.
Kalian tahu hadits shahih dari nabi kita: Kedua telapak kaki seorang hamba yang terkena debu di jalan Allah tidak akan disentuh api neraka. Allahu Akbar! Suatu ibadah, hanya dengan menyentuh debunya saja bisa melindungimu dari api neraka, lalu bagaimana dengan orang yang keluar dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali lagi dengan apa-apa? Maka itu adalah sebaik-baik amalan. Sebagaimana dalam Shohih Bukhari, ketika ditanya tentang tingkatan amalan dan amalan yang paling utama, rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Seorang laki-laki yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya di jalan Allah.” Banyak ikhwan-ikhwan kita menakut-nakuti kita dengan bahaya. Padahal bahaya yang sebenarnya adalah bahaya ketika dalam kubur. Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menjadikan kubur kita sebagai salah satu taman surga.
Bahaya sebenarnya adalah kelak pada hari perhitungan (yaumul hisab), hari kiamat, hari dinampakkan kesalahan-kesalahan (yaumut taghoobun). Engkau datang padahal engkau telah tertipu. Umurmu habis hanya untuk perkara ambil dan beri, habis hanya untuk urusan desas desus. Umurmu habis hanya untuk perkara yang membuatmu duduk-duduk tidak ikut membela laa ilaaha illallaah. Allah ta’ala berfirman memperingatkan kaum mukminin agar jangan pernah sesekali dekat-dekat dengan sifat-sifat orang munafik, karena sifat orang munafik yang paling menonjol adalah duduk berpangku tangan tidak membela Allah,
“Dan datang (kepada nabi) orang-orang yang mengemukakan ‘udzur, yaitu orang-orang Arab Baduwi agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan rosul-Nya, duduk berdiam diri saja.” (At-Taubah 9:90)
Semoga Allah menjaga kita dari sikap duduk-duduk berpangku tangan tidak membela Allah dan rosul-Nya.
Lihatlah para pendahulu kita. Ka’b menjelaskan dalam haditsnya, dia mengatakan: Ketika rombongan perang sudah bertolak, Aku keluar di Madinah. Dan yang membuat Aku bersedih adalah Aku tidak melihat di jalan-jalan Madinah kecuali orang-orang yang sudah tenggelam dalam kemunafikan atau orang yang memiliki udzur. Itulah mereka para pendahulu kita.
Ketika tiba berita bahwa Romawi sedang merencanakan akan menyerang umat Islam.. Mereka belum masuk negeri Islam, hanya sekedar tiba berita bahwa mereka sedang berpikir untuk berkumpul mau menyerang, pemimpin kita dan tauladan kita Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan mengajak orang-orang: “Wahai kuda Allah berpaculah. Yang tinggal tidak berangkat hanyalah orang munafik atau yang memiliki udzur.”
Lihatlah wahai hamba Allah, jika engkau ingin selamat, ikutilah jejak mereka para sahabat, orang-orang yang mulia –semoga Allah meridhoi mereka semua–. Ikutilah jejak nabi kita Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath 48:29)
Mengikuti itu harus sempurna dalam berbagai hal, baik yang engkau sukai maupun yang engkau benci. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ubadah rodhiyallahu ‘anhu: “Kami bersumpah setia (bai’at) kepada rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat baik dalam hal yang sulit maupun mudah, suka maupun benci.”
Manusia membenci perang, dan engkau harus menunaikan amanah yang dititipkan kepadamu.
Inilah kondisinya saat itu, dia tidak melihat seorang pun kecuali ia termasuk dari kaum munafik atau termasuk orang yang memiliki udzur. Ketika rosulullah sampai ke Tabuk, beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’b bin Malik?”, beliau teringat dengannya. Seorang dari Bani Salamah menjawab: “Ia disibukkan oleh kedua pakaiannya dan menuruti perasaanya.” Beliau membicarakannya karena dia berpangku tangan dari membela dien dan menjadikan dirinya di tempat yang tidak selayaknya bagi orang beriman, yakni berpangku tangan tidak membela dien. Mu’adz bin Jabal rodhiyallahu ‘anhu menanggapi: “Buruk sekali omonganmu. Demi Allah, wahai rosulullah kami tidak tahu tentangnya kecuali kebaikan.” Ibnu Hajar mengomentari perkataan seseorang dari Bani Salamah tersebut: “Apa yang telah Aku utarakan kepada kalian bahwa orang yang berpangku tangan dari jihad telah menjadikan pembenaran (justifikasi) bagi orang-orang untuk mencela dirinya, karena membela dien adalah termasuk kewajiban yang paling agung.” Kita berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar mematikan kita dalam keadaan sedang menunaikan amanah, dalam membela dien Robb kita sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan ridho kepada kita.
Ketika dalam keadaan seperti itu, beliau melihat seorang lelaki dari kejauhan berwarna putih menyibak fatamorgana. Seorang lelaki datang dari jauh. Rosulullah SAW bersabda: “Pasti itu Abu Khoitsamah”. Dan ternyata benar, dia adalah Abu Khoitsamah Al-Anshory rodhiyallahu ‘anhu. Dia tiba setelah mereka semua, setelah mereka berjalan, dia berangkat sendirian tanpa menunggu ditemani oleh para qo’idun (orang-orang yang berpangku tangan duduk-duduk saja). Hampir saja setan menyelewengkannya padahal eia adalah seorang sahabat yang mulia rodhiyallahu ‘anhu. Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari beberapa perkataan ulama ahli Maghozi (pengarang kitab masalah peperangan rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam) mengenai kisah Abu Khoitsamah. Abu Khoitsamah berkata: Aku masuk rumahku, dan Aku melihat pondokan yang telah disirami air. Padahal betapa bagusnya pondokan itu jika disirami air di musim panas. Aku melihat pondokan yang telah disirami air dan Aku memandangi istriku –lihatlah orang yang beriman, lihatlah orang yang berakidah lurus dan memiliki keyakinan yang menancap kuat di hatinya–, Aku pun berkata: Demi Allah ini tidak adil, rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam di bawah terik dan panas matahari, sedangkan Aku di sini berteduh dan bersenang-senang. Dia pun mengambil tunggangannya dan sedikit kurma, lalu berjalan hingga menyusul rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk apa rosulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam keluar? Bukankah beliau keluar demi membela laa ilaaha illallaah? Bagaimana dengan kita yang duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah? Sedangkan kita mengira telah membelanya, padahal ia telah disingkirkan agar manusia tidak memakainya sebagai hukum. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Kita berhenti sejenak pada beberapa ibroh (pelajaran) dalam hadits Ka’b bin Malik untuk kita renungkan dan kita tidak akan membahas semua ibroh yang terkandung di dalamnya karena itu sudah dibahas panjang lebar oleh para ulama pensyarah (yang menjelaskan maksud) hadits, seperti Imam Nawawi rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah. Ka’b berkata: Ketika rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kembali, Aku dilanda kesedihan dan kegalauan. Aku berkata: Dengan apa Aku akan berkelit dari beliau. Aku mendatangi beliau, dan beliau tersenyum dengan senyum kemarahan. Beliau murka kepada Ka’b. Ibnu Hajar juga menyebutkan perkataan beberapa ahli Maghozi, Ka’b berkata: Beliau berpaling dariku –yakni Ka’b berkata bahwa rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dariku–. Aku berkata: Wahai rosulullah, kenapa engkau berpaling dariku. Demi Allah Aku tidak berbuat nifak, Aku tidak ragu-ragu dan Aku tidak murtad. Perkara yang sungguh sangat besar, dia meninggalkan pembelaan terhadap dien. Ka’b berkata: Kenapa engkau berpaling dariku. Demi Allah Aku tidak berbuat nifak, Aku tidak ragu-ragu dan Aku tidak murtad. Lalu datanglah jawaban yang sangat kuat dan keras. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apa yang membuatmu absen? –Sebuah pertanyaan yang akan ditanyakan kepada setiap orang–. Apa yang membuatmu absen dari membela laa ilaaha illallaah?”  Apa yang membuatmu absen?
Kita mengharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar melapangkan dada ulama kita sehingga mereka memperhatikan siroh para pendahulu kita, lalu mengeluarkan fatwa kepada umat tentang hukum jihad saat ini adalah fardhu ‘ain dimana para salaf bersepakat bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan, mereka menyebutkan di antaranya adalah jika musuh masuk menyerang negeri Islam. Lihatlah sekarang musuh telah masuk ke negeri Islam sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap laa ilaaha illallaah jika masing-masing kita mencari-cari udzur dengan berbagai udzur untuk lepas dari tanggung jawab tersebut? Apakah dien Allah subhanahu wa ta’ala dibiarkan begitu saja dinodai, sementara kita lepas tanggung jawab atasnya? Harus ada introspeksi hingga kita bisa menegakkan kebenaran dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Di sini pengakuan Ka’b terlihat dengan jelas dan gamblang, yang bisa menjadi ibroh bagi orang-orang yang memiliki akal.
Ka’b melanjutkan, Aku berkata: Wahai Rosulullah, demi Allah, seandainya Aku duduk di samping selain engkau dari para pecinta dunia, pasti Aku akan bisa terbebas dari kemurkaannya dengan sebuah alasan –perhatikanlah wahai para hamba Allah–. Ka’b melengkapi: Sungguh Aku diberikan kemampuan berdebat. Hari ini, banyak orang yang diberi kemampuan berdebat. Dalil-dalil yang jelas dan gamblang dari kitab Allah dan sunnah rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mereka selewengkan dengan alasan-alasan yang tidak bisa mengenyangkan dan menghilangkan rasa lapar. Dengan berbagai perkataan, “Belum saatnya”. Lalu kapan waktunya? Lihatlah negara islam Andalusia (Spanyol) telah jatuh sejak lebih dari 500 tahun, 5 abad yang lalu. Kapan waktunya? Setiap kali ada seorang datang mengalihkan kita untuk meniadakannya, dia mengatakan: “Belum tiba waktunya.” Apakah ayat-ayat dan hukum-hukum al-quran turun untuk dipalingkan kepada sesuatu yang tidak diketahui dan kepada sesuatu yang tidak berguna?
Ini adalah ibadah agung yang dengannya manusia diperhambakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Robb manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Shohih Bukhari-Muslim, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan sholat dan menunaikan zakat.” Beliau diperintahkan berperang karena ibadah. Bagaimana mungkin kita ingin menjadikan manusia menjadi hamba Allah dengan menggunakan selain manhaj Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, padahal orang-orang zindiq telah muncul di seluruh negeri Islam, Allah dan rosul-Nya diingkari di lembaran-lembaran Koran. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Di sini berhati-hatilah dari debat dan  biarkan saja orang lain. Ikutilah mereka para salaf rodhiyallahu ‘anhum, imam dan pemimpin mereka Muhamad shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Ka’b melanjutkan: Sungguh Aku diberi kemampuan berdebat. Namun, demi Allah, Aku tahu jika Aku memberi tahu engkau dengan kebohongan yang membuat engkau ridho dengan alasanku, sungguh Allah akan membuat engkau murka kepadaku.
Sekarang, wahai hamba Allah, engkau akan ditanya kenapa engkau tidak berangkat berjihad? Jiwamu menipumu dan menipu saudaramu. Namun, hampir-hampir Allah akan membuat manusia marah kepadamu karena kemarahan-Nya kepada orang yang menelantarkan dien-Nya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Ka’b rodhiyallahu ‘anhu melanjutkan: Jika Aku menceritakan sejujurnya kepadamu, engkau akan mendapati aku dalam kejujuran itu. Dengan kejujuran itu Aku mengharapkan hukuman dari Allah.
Kira-kira 20 tahun yang lalu, Aku berkeliling menemui para ulama dan masyayikh kita, meminta mereka keluar untuk berjihad ketika jihad periode pertama melawan Rusia baru mulai. Banyak dari mereka yang beralasan dengan berbagai udzur. Sedikit dari mereka yang mendekati manhaj Ka’b rodhiyallahu ‘anhu. Aku masih ingat perkataan sebagian mereka yang mengatakan: “Wahai Usamah, pergilah dan berjalanlah di atas barokah Allah. Engkau berada di atas kebenaran. Dan itu adalah jalannya. Akan tetapi kami tidak terbiasa dan akrab dengan itu, dan sesungguhnya kami takut darinya. Manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya.” Mereka tidak terbiasa dengan jihad ini karena –sebagaimana yang Aku sebutkan– ibadah ini telah berlalu puluhan tahun sementara para pelakunya tidak berjalan di tengah manusia.
Setelah itu Ka’b melanjutkan: Demi Allah Aku tidak punya udzur. Ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak punya udzur. Sekarang ini banyak orang yang tidak punya udzur jika mereka mengikuti manhaj Ka’b rodhiyallahu ‘anhu. Demi Allah Aku tidak punya udzur. Demi Allah, engkau sama sekali tidak lebih kuat dan mudah dari keadaanku ketika Aku tertinggal dari engkau. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Adapun ini, engkau telah berlaku jujur.” Sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kepadanya tekad untuk berlaku jujur ketika berita kembalinya rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepadanya, dia berkata: “Aku mulai teringat untuk berdusta.” Ini adalah pengakuan yang sangat penting agar kita mengatahui bagaimana tabiat jiwa manusia. Sekarang ini, banyak orang bergaul dengan manusia seolah kondisi mereka maksum (terjaga dari dosa). Dia berkata padamu: “Bukan, kalau dia..”, seandainya jihad itu lebih penting pasti dia akan pergi. Sahabat yang agung ini –yang termasuk yang pertama-tama masuk islam– mengakui dalam Shohih Bukhari-Muslim dan yang lainnya, dia berkata: “Aku teringat untuk berdusta.” Jiwa itu memiliki celah-celah kelemahan yang banyak sekali, dan setan mengalir melalui celah-celah tersebut di pembuluh darah manusia. Kita berlindung kepada Allah darinya. Namun berkat bimbingan dari Allah kepadanya, dia bertekad untuk berlaku jujur. Karena kejujurannya Allah subhanahu wa ta’ala menyelematkannya, sebagaimana akan dijelaskan pada kelanjutan kisahnya.
Ka’b melanjutkan: Ketika Aku keluar, beberapa orang dari Bani Salamah marah, yakni dari kaumnya. Mereka terus mencercaku, mencelaku: Kenapa engkau mengucapkan perkataan itu. Seandainya saja engkau beralasan dengan alasan apa pun, maka itu sudah cukup bagimu untuk membuat rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memaafkanmu. Perhatikan kelemahan jiwa manusia, hingga pada diri orang-orang mulia sekelas sahabat rodhiyallahu ‘anhum. Ka’b berkata: Mereka terus mencercaku sampai hampir saja Aku kembali (kepada rosulullah) untuk berbohong.
Tekanan masyarakat, tekanan keluarga dan tekanan lingkungan sangat keras sampai pada mereka, para sahabat yang mulia rodhiyallahu ‘anhum. Lalu bagaimana kondisi hari ini, mayoritas manusia standar timbangannya sudah terbalik. Mayoritas manusia duduk berpangku tangan dari jihad. Sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran dan ingat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan bimbingan kepada mereka. Dialah yang memiliki segala puji dan anugerah. Kita berharap kepada-Nya semoga Dia memantapkan kita dan memantapkan berbagai nikmat ini kepada kita sampai kita menemui-Nya dan Dia pun ridho dengan kita.
Ka’b berkata: Kemudian Aku berkata kepada mereka, apakah ada orang lain yang mengalami sepertiku? Mereka menjawab: Ya, ada dua orang yang mengalami sepertimu. Mereka berdua berkata seperti apa yang kamu katakan. Mereka berdua juga ditanya seperti yang ditanyakan kepadamu. Mereka menyebutkan dua orang itu, Muroroh bin Ar-Robi’ dan Hilal bin Umayyah. Keduanya pernah ikut perang Badar sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.
Kemudian datang perintah untuk memboikot dan mengucilkan. Mengucilkan orang-orang yang duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah. Ka’b mengatakan: Bumi menjadi terasa asing bagiku. Seolah-olah ia bukan bumi yang Aku kenali, dan jiwaku sendiri terasa asing. Siapa yang mengucilkanmu wahai hamba Allah? Yang mengucilkanmu adalah pemimpin anak Adam yang apabila murka kepadamu maka Robb pemilik langit dan bumi juga murka kepadamu. Suatu perkara yang besar sekali. Absennya tiga orang dari jumlah 30 ribu pasukan tidak berarti sedikit pun, tidak berpengaruh terhadap pasukan. Namun, ini adalah masalah yang ada di dalam hati. Mengapa hati ini duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah? Permasalahannya di sini bukanlah berpengaruh atau tidak berpengaruh. Permasalahannya adalah engkau memiliki sebuah amanah, dan engkau memiliki suatu kewajiban yang harus engkau tunaikan.
Ia dikucilkan dan diasingkan, sampai jiwanya juga terasa asing baginya. Ka’b mengatakan: Setelah pengasinganku berlangsung cukup lama, seorang utusan Raja Ghossan datang kepadaku. Kalian tahu bahwa kaum Ghossan adalah berasal dari Bani Qoilah. Antara mereka dan antara suku Aus dan Khozroj ada pertalian nasab, mereka memiliki nenek moyang yang sama. Kabar itu (pengasingan Ka’b) sampai ke kaum Ghossan, maka raja mereka mengirimkan utusan kepadanya. Utusan itu mengatakan: bergabunglah dengan kami, kami akan membantumu dengan harta kami. Kamu tidak akan tinggal di negeri kehinaan dan kesia-siaan. Ka’b berkata: Sampai orang-orang kafir antusias kepadaku. Orang-orang musyrik antusias untuk merekrutku. Demikian juga keadaan orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dari jihad, para penguasa pengkhianat dan antek-antek mereka antusias kepada mereka. Orang-orang kafir itu antusias kepadanya dan berusaha menyesatkan mereka lebih dalam lagi dari membela laa ilaaha illallaah.
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (Huud 11:113)
Semoga Allah melindungi kita darinya.
Ka’b mengatakan: Aku mengambil surat tersebut atau lembaran surat tersebut, lalu Aku membarkarnya. Ia menaruhnya di tungku perapian. Ketika permasalahannya membuatnya merasa sesak, ia berkata: Aku memanjat tembok sepupuku Abu Qotadah, dia adalah orang yang paling aku sukai. Aku bertanya padanya: Wahai Abu Qotadah: “Aku bertanya kepadamu demi Allah.” Perhatikan wahai para hamba Allah, keterikatan iman dengan jihad dan keterikatan jihad dengan iman. Bumi terasa sempit baginya, dan jiwanya terasa sesak. Manusia terbaik, rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, telah memboikotnya. Bagaimana bumi akan terasa luas dan bagaimana jiwanya akan terasa lapang. Ka’b mengisahkan, Aku berkata: Wahai Abu Qotadah, kehilangan apa saja ketenangan itu? Karena begitu sempitnya perasaannya, ketenangan pergi dari sesuatu yang paling agung dalam hati, yaitu iman. Ka’b ingin merasa tenang dari cinta Allah dan cinta rosul-Nya.
Ka’b berkata: Demi Allah, Aku bertanya kepadamu wahai Abu Qotadah, apakah kamu tahu bahwa Aku mencintai Allah dan rosul-Nya? Allahu Akbar! Kejahatan besar sekali apabila engkau menelantarkan laa ilaaha illallaah. Bukankah yang menerangi hati kita hanyalah laa ilaaha illallaah? Bagaimana bisa engkau meninggalkan kalimat agung ini, engkau duduk-duduk bersama dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sementara engkau menganggap bahwa engkau mencintai Allah dan rosul-Nya. Ka’b  berkata: Abu Qotadah tidak menanggapiku, sebagai bentuk pemboikotan! Sampai Ka’b mengatakan di awal hadits: Aku memberi salam kepadanya, tapi orang yang paling Aku cintai tidak menjawab salamku, demi komitmen dengan perintah Allah untuk melaksanakan sangsi kepada mereka, orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dari membela Allah. Hanya saja setelah itu Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka dan menerima taubat mereka. Ka’b mengatakan: Aku bertanya kepadanya untuk kedua kalinya: Apakah engkau tahu bahwa Aku mencintai Allah dan rosul-Nya? Ka’b berkata: Abu Qotadah tidak menjawab. Aku bertanya kepadanya untuk ketiga kalinya: Apakah engkau tahu bahwa Aku mencintai Allah dan rosul-Nya? Abu Qotadah menjawab: Allah dan rosul-Nya yang lebih tahu. Ka’b berkata: Aku pun pergi dengan air mata yang membanjiri kedua mataku. Ka’b menangis! Karena sesuatu yang paling agung yang ada pada dirinya adalah keimanannya kepada Allah. Orang yang paling ia cintai tidak mampu menetapkannya untuknya perkara yang agung ini. Lalu apa nilainya hidup ini (tanpa iman kepada Allah)? Abu Qotadah tidak menetapkan keimanannya kepada Allah dan juga tidak  menafikan darinya. Ia berkata: Allah dan rosul-Nya yang lebih tahu.
Setelah itu Ka’b rodhiyallahu ‘anhu mengatakan –ini termasuk pelajaran yang patut kita jadikan pelajaran–: Setelah berlalu 40 hari, seorang utusan rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam datang. Ia berkata: Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadamu. Perhatikan wahai para hamba Allah, diantara sesuatu yang paling istimewa bagi seseorang adalah rumah dan istrinya. Datang perintah untuk meninggalkan istrinya, meninggalkan ibu rumah tangganya. Utusan itu mengatakan: Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadamu untuk meninggalkan istrimu. Hati yang hidup, apabila lalai, ia akan teringat dan kembali kepada kebenaran. Mereka (tiga orang itu) menyadari besarnya kejahatan yang mereka lakukan dengan meninggalkan laa ilaaha illallaah. Utusan itu mengatakan: Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu untuk meninggalkan istrimu. Ka’b bertanya: Aku disuruh untuk menceraikannya atau untuk apa? Ka’b rodhiyallahu ‘anhu sudah siap untuk menceraikan ibu dari anak-anaknya demi meraih keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala. Utusan itu menjawab: Tidak, tapi jangan sekali-kali engkau mendekatinya. Ka’b berkata kepada istrinya: Pulanglah ke keluargamu sampai Allah memberi keputusan untuk urusan kita.
Dengan kalimat Allah, dengan dien ini kita menghalalkan kemaluan wanita atas dasar kitab Allah dan atas dasar sunnah rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Robb kita Dzat Yang menciptakan mereka untuk kita.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Ruum 30: 21)
Termasuk karunia yang Allah berikan kepadamu adalah wanita ini dalam penciptaannya, dan dalam menikahinya. Ketentraman, rasa kasih dan sayang. Bagaimana bisa engkau menelantarkan dien ini yang menjadi sebab Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahimu segalanya. Bagaimana bisa engkau menelantarkan dien Robbmu yang telah menciptakanmu dari sebelumnya yang tidak berwujud, tanpa daya, kekuatan dan upaya darimu.
Ka’b berkata: Aku adalah yang paling muda diantara dua orang temanku. Sebagaimana disebutkan di awal hadits. Ka’b berkata: Adapun dua temanku, mereka berdua pasrah dan duduk menangis. Hati yang hidup apabila diingatkan akan segera sadar. Dua temannya menangis selama 40 hari. Kepada mereka berdua juga diutus utusan untuk menyampaikan agar mereka berdua meniggalkan istri-istri mereka. Istri Hilal bin Umayyah rodhiyallahu ‘anhu mendatangi rosulullah. Ia berkata: “Wahai rosulullah..” –perhatikan wahai para hamba Allah–, ia berkata: “Wahai rosulullah, sesungguhnya Hilal adalah orang yang sudah tua renta, apakah engkau tidak berkenan Aku melayaninya?” Lelaki yang sudah lanjut usia dan tua renta, namun ketika absen dari membela jihad, sangsi pun menimpanya. Ia mampu untuk keluar berangkat sehingga bisa memperbanyak pasukan dan menjaga barang-barang bawaan. “Sesungguhnya Hilal adalah orang yang sudah tua renta, apakah engkau tidak berkenan Aku melayaninya?” Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, tapi jangan sekali-kali ia mendekatimu.” Istri Hilal berkata: “Demi Allah, ia sudah tidak memiliki gerakan sama sekali.”
Apa udzurmu wahai hamba Allah untuk duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberimu kesehatan, penglihatan, hati dan harta benda. Engkau juga bisa pergi ke bumi bagian timur dan barat. Bagaimana bisa engkau duduk berpangku tangan dari membela Allah Dzat Yang menjadi Pencipta dan Penolongmu. Gunakanlah masa mudamu, kesehatanmu, kekayaanmu dan hidupmu sebelum kematian datang menjemputmu dengan tiba-tiba. Ketika itu, penyesalan sudah tidak bermanfaat lagi untukmu. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Ka’b rodhiyallahu ‘anhu berkata melengkapi kisah yang agung ini, kisah yang menjelaskan tabiat jiwa manusia dalam menyikapi ibadah ini, ibadah jihad. Ia mengatakan bahwa istri Hilal rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah wahai rosulullah, ia masih menangis dirumahnya semenjak kejadian itu.” Jiwa yang merdeka lagi bersih dan beriman akan terbunuh dengan melakukan berbagai maksiat dan air matanya yang akan membersihkan dosa-dosa tersebut. Para sahabat rodhiyallahu ‘anhum pada perang Tabuk mendatangi rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam agar sudi membawa mereka berjihad. Namun beliau tidak mempunyai sesuatu yang bisa membawa serta mereka. Ketika beliau meminta maaf kepada mereka, apa firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menggambarkan kondisi mereka dalam kitab-Nya?
“Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (At-Taubah 9:92)
Lalu bagaimana dengan orang yang ajal hampir menjemputnya sedangkan ia belum pernah berperang sekalipun di jalan Allah subhanahu wa ta’ala? Ia tidak meneteskan air mata, ia tidak sadar, wajahnya tidak memerah marah dengan berbagai musibah bencana besar yang menimpa umat Islam dan kaum Muslimin pada dien mereka. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Ka’b berkata: Ketika Aku sedang duduk –dalam keadaan yang sudah kami sebutkan sebelumnya–, tiba-tiba ada suara yang sampai kepadaku dengan nada memberi kabar gembira. Setelah turun ayat taubat kepada rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang lelaki yang naik ke bukit Salwa berteriak dengan suaranya yang paling keras memberi kabar gembira kepada Ka’b. Ka’b berkata: Aku tersungkur sujud sambil menangis –karena saking gembiranya dengan diterima taubatnya oleh Allah–. Karena menelantarkan laa ilaaha illallaah termasuk dosa yang paling besar. Kita ringkas kisah ini. Sebagian sahabat ada yang mengirim kuda kepadanya. Sebagian yang lain pergi bersemangat untuk meyampaikan kabar gembira kepadanya sebagai bukti perhatian atas ampunan Allah kepada saudara mereka yang telah melakukan kejahatan besar ini. Ka’b berkata: Ketika orang yang Aku dengar suaranya datang, Aku memberinya dua helai baju. Kemudian ia pergi menghadap rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan wahai para hamba Allah keadaan para salaf rodhiyallahu ‘anhum.
Ka’b mengisahkan: Orang-orang bangkit memberi selamat kepadaku, “Berbahagialah atas diterimanya taubatmu oleh Allah”. Mereka berbondong-bondong menyampaikan kabar gembira kepadaku berkat turunnya ampunan atas kejahatan besar yang telah Aku lakukan. Kejahatan yang mereka lakukan dengan menelantarkan laa ilaaha illallaah. Ka’b berkata: Aku mengucapkan salam kepada rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang wajahnya bersinar bahagia dengan turunnya ampunan dari Allah. Aku berkata: Wahai rosulullah, apakah taubat ini dari engkau ataukah dari Allah? Beliau menjawab: “Tidak, tetapi dari Allah subhanahu wa ta’ala.” Ka’b berkata: Wahai Rasulullah.. –lihatlah bagaimana para sahabat rodhiyallahu ‘anhum menyikapi ibadah jihad, padahal hanya absen sekali dan sudah berperang berkali-kali–. Ka’b berkata: Wahai rosulullah sesungguhnya termasuk bagian dari taubatku, Aku akan melepas semua hartaku. Lalu rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepadanya, ia cukup melepaskan sepertiga hartanya saja.
Sekarang, seluruh hartamu tidak diminta, padahal hartamu adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Maka berangkatlah dan gunakanlah kesempatan sebelum datang hari Taghobun (hari dinampakkan kesalahan-kesalahan) dan engkau telah tertipu dalam semua waktumu dan tahun-tahun yang telah berlalu. Dalam hadits shohih dari nabi kita, beliau bersabda: “Berdiri sesaat di barisan untuk berperang di jalan Allah lebih baik daripada shalat malam selama 60 tahun.” Ketertipuan mana lagi yang lebih parah dari ini. Sesaat di barisan mujahidin, engkau bisa melakukannya untuk membela laa ilaaha illallaah melawan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta para pembantu mereka. Kesempatan –dengan karunia dari Allah– masih terbuka dan mudah untuk beri’dad, tadrib dan berangkat untuk membela laa ilaaha illallaah tapi kamu tetap duduk-duduk saja? Padahal ini ketika kondisi jihad merupakan fardhu kifayah. “Berdiri sesaat di barisan perang di jalan Allah lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.” Dalam hadits lain, “Ribath (berjaga-jaga di daerah perbatasan) selama sebulan lebih baik daripada puasa sepanjang masa.”
Kebaikan agung dan kemuliaan yang banyak dari Dzat Yang Maha Mulia. Sampai perawi berkata, Ka’b mengisahkan: Aku berkata: Aku menahan bagianku di Khoibar. Ka’b berkata: Wahai rosulullah sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Maka termasuk bagian dari taubatku, Aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur. Ka’b berkata: Demi Allah Aku tidak tahu. Dia menyebutkan keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya dalam hal ia diberi hidayah menjadi orang jujur. Dan kejujuran ini merupakan satu nikmat paling agung diantara nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dan kejujuranlah yang menyelamatkannya sampai ia tidak binasa sebagaimana mereka (yang berdusta) binasa. Perawi berkata: Sesungguhnya orang-orang yang berdusta, Allah subhanahu wa ta’ala mengomentari mereka dengan sejelek-jelek komentar yang belum pernah disampaikan kepada seorangpun.
Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan kondisi dan sifat orang-orang yang duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah, dan mempermalukan mereka dalam surat Al-Faadhihah, dalam surat Baro-ah, dalam surat At-Taubah. Surat itu mempermalukan orang-orang munafik. Bacalah surat itu dengan penuh penghayatan. Hendaknya setiap orang dari kalian menyendiri dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dengan ayat-ayat perang, dengan ayat-ayat jihad dan surat-surat perang. Agar ia bisa melihat dimana ia berada. Apakah ia berada di atas manhaj Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam atau justru telah menjauh dari manhaj ini dan mendekati sifat-sifat qo’idun (orang-orang yang duduk berpangku tangan). Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Allah Ta’ala berfirman memperingatkan,
“Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad).” (At-Taubah 9:86)
Orang-orang yang memiliki kesanggupan dalam harta, kesehatan, kekuatan, akal, penglihatan dan segala sesuatu yang Allah berikan nimat-nikmat-Nya kepada mereka. Siapa yang minta izin? Mereka adalah orang-orang yang tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah subhanahu wa ta’ala telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka (maksudnya yaitu orang-orang munafik).
“Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya’.” (At-Taubah 9:86)
Ibadah yang agung ini disebut di antara lafzhul jalalah (lafal Allah) dan rosulul kita, Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: ‘Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk’. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang.” (At-Taubah 9:86-87)
Mereka rela duduk tertinggal bersama-sama kaum wanita. Kaum wanita yang telah  Aku sebutkan tentang keadaan mereka, bahwa mereka tidak diwajibkan untuk berjihad. Mereka hanya diwajibkan berjihad tanpa senjata, yakni haji, sebagaimana sabda rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Wanita-wanita merdeka itu dihalalkan untuk kita atas dasar kitab Allah dan sunnah rosul-Nya. Rosul kita tidak membaiat mereka kecuali untuk berislam. Beliau membaiat kaum wanita dan para budak untuk berislam. Sedangkan kaum lelaki dibaiat untuk berislam dan berjihad. Bagaimana kondisimu jika engkau berubah menjadi seperti mereka, kaum wanita. Apakah kita harus mendatangkan orang-orang Nasrani, bahkan anak-anak perempuan Yahudi dan Nasrani untuk membela negeri Haromain? Untuk membela anak cucu Sa’ad dan Al-Mutsanna. Tidakkah ada kaum lelaki? Demi Allah, nenek moyang kita sebelum Islam tidak mungkin rela dengan hal ini. Bagaimana bisa demikian, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaruniai kita dien yang agung ini dan jalan yang lurus ini. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Dan hanya kepada Allah-lah tempat mengadu.
Setelah itu, kami sebutkan keadaan orang-orang munafik agar kita waspada dari mereka. Orang-orang munafik, dalam tingkatan celaan yang paling buruk, mereka disifati dengan kerelaan, hanya sekedar rela.
“Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi rosul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taubah 9:87-88)
Ini adalah persaksian dari Robb Pemilik alam semesta atas keberuntungan dan kebenaran jalan mereka, rosul dan orang-orang yang beriman. Jika engkau termasuk pengikut Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikut salaful ummah rodhiyallahu ‘anhum, maka inilah jalannya. Orang-orang munafik rela bersama dengan orang-orang yang tidak berperang. Hal ini sebagai peringatan bagi kaum mukminin agar jangan sampai mengambil jalan orang-orang munafik. Setelah itu ada koreksi,
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia..”
Jika engkau termasuk pengikut Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah jalannya:
“mereka berjihad dengan harta dan diri mereka.”
Orang-orang munafik itu adalah mereka yang duduk berpangku tangan dan diperdaya oleh jiwa mereka dan berdusta atas Allah dan rosul-Nya.
Ka’b memuji Allah karena ia tidak terkena apa yang mengenai orang-orang munafik seandainya ia berdusta dan duduk berpangku tangan. Diantara yang diucapkannya sebelum itu ketika ia ditanya: Kalau engkau minta udzur, tidakkah ampunan rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup bagimu? Ka’b menjawab: Aku tidak mau menggabungkan antara duduk berpangku tangan dengan berdusta kepada rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Renungkanlah wahai para hamba Allah. Barangsiapa yang diuji dengan sikap duduk berpangku tangan, hendaknya jangan sampai dia mengabungkannya dengan menghalangi kaum mukminin dari jihad di jalan Allah. Kenapa engkau kikir dan memerintahkan orang lain agar kikir. Kikir ini termasuk sifat memalukan yang dicela Allah subhanahu wa ta’ala,
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir.” (An-Nisa 4:37)
Kikir harta adalah bencana, apalagi kalau Allah mengujimu dengan kebakhilan dan pengecut. Mintalah ampun bagi dosamu. Kenapa engkau memerintahkan orang lain? Apa kepentinganmu apabila orang-orang tidak mau menginfakkan harta bendanya di jalan Allah? Apa kepentinganmu apabila orang-orang tidak mau membela dien mereka? Itulah syubhat-syubhat yang dilontarkan setan kepada manusia.
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya.” (An-Nisa 4:175)
Seandainya ada belasan ribu orang berangkat tentu akan cukup dengan izin Allah Yang Maha Esa. Aku mengatakan perkataan ini berdasarkan pengetahuanku tentang jalan ini dan (pengalamanku) di kancah jihad ini –dengan karunia Allah dan hanya milik Allah-lah segala keutamaan dan anugerah– lebih dari 20 tahun. Bagaimana orang-orang akan berangkat (berjihad)? Mereka banyak beralasan dengan udzur-udzur yang lemah yang dibesar-besarkan dan dihiasi oleh setan di otak-otak mereka. Ada yang mengatakan kepadamu: Lalu siapa yang akan menggeluti bidang-bidang lain?  Akan ada orang lain yang akan menggelutinya, dosa telah gugur dari mereka dan panji laa ilaaha illallaah mendapat pertolongan.
Wahai hamba Allah jangan sampai kalian menggabungkan antara sikap duduk berpangku tangan dengan sikap menelantarkan dan menghalang-halangi (dari jihad).
“Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu.” (Al-Ahzab 33:18)
Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Periksalah jiwamu yang ada padamu, barangkali ia telah memperdayamu sebagaimana jiwa Ka’b  dan saudara-saudaranya rodhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Ka’b melanjutkan: Segala puji bagi Allah yang menunjukiku kepada sifat jujur dan yang telah menganugerahiku dengan nikmat ini. Nikmat teragung yang Allah anugerahkan kepadaku setelah Islam, karena Aku tidak pernah berdusta yang membuatku tidak binasa sebagaimana orang-orang munafik binasa. Sungguh Allah mengatakan kepada mereka dengan seburuk-buruk ucapan yang diucapkan kepada seseorang.
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha …” (At-Taubah 9:95-96)
Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Apa nilai hidupmu jika engkau hanya duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak ridho kepadamu.
“Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah 9:96)
Allah mensifati mereka dengan sifat-sifat yang tercela; dengan sifat zhalim dalam beberapa ayat dan sifat fasik dalam ayat ini dan ayat yang lainnya.
Hadits yang agung ini, yang dijelaskan dan diakui oleh Ka’b rodhiyallahu ‘anhu, merupakan contoh bagi orang-orang agar mereka memeriksa jiwanya dan mengatasinya serta mengembalikannya kepada kebenaran. Para pendahulu umat ini, mereka adalah:
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad.” (At-Taubah 9:88)
Pada waktu itu yang absen hanyalah orang-orang Arab Badui yang tidak paham dien. Meskipun demikian, mereka mengira bahwa mereka telah beriman ketika mereka merasa memberi nikmat kepada rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangi beliau seraya mengatakan bahwa kami telah beriman.
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu’.” (Al-Hujurat 49:14)
Ayat berikutnya menjelaskan kepada mereka tentang sifat orang-orang yang beriman; menjelaskan kepada mereka tentang keadaan orang-orang yang beriman. Perhatikan wahai para hamba Allah!
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.” (Al-Hujurat 49:15)
Allahu Akbar! Ini sudah cukup bagi orang-orang yang berakal. Ayat ini menjelaskan kepada mereka sifat iman. Jika engkau ingin menjadi bagian dari golongan orang-orang beriman, sifat yang paling menonjol adalah iman kepada Allah dan rosul-Nya tanpa keragu-raguan dan jihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa.
Kemudian setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala menyertakan sifat yang agung lagi mulia,  yaitu sifat jujur. Sifat inilah yang menyelamatkan Ka’b rodhiyallahu ‘anhu. Sesungguhnya jujur menunjukkan kepada kebajikan dan sesungguhnya kebajikan mengantarkan kepada surga. Seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur, sebagaimana sabda rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kalian berlaku jujur dan waspadalah dari sifat dusta.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (jujur).” (Al-Hujurat 49:15)
Ya Allah langgengkan untuk kami nikmat kejujuran dan jadikan kami ke dalam golongan orang-orang yang jujur dengan ramat-Mu wahai Dzat Yang Maha Pengasih.
Aku katakan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin di mana saja; janganlah kalian menjadi seperti orang disabdakan rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah salah seorang dari kalian menjadi bunglon. Apabila manusia berbuat baik ia ikut berbuat baik dan apabila mereka berbuat buruk ia ikut berbuat buruk.”
Kelak pada hari kiamat engkau akan dibangkitkan sendirian, diletakkan di kuburmu dan ditanya dalam kondisi sendirian. Apa yang akan engkau katakan saat engkau ditanya tentang menelantarkan laa ilaaha illallaah? Apa yang akan engkau katakan jika pertanyaan itu datang; Apa yang membuatmu absen? Apa yang membuatmu absen, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah membuatmu kaya.
“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (At-Taubah 9: 93)
Mengenai bencana yang menimpa umat Islam pada hari ini, maka kisahkanlah dan tiada dosa untuk mengisahkannya. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya mereka duduk berpangku tangan tidak berjihad. Berangkatlah wahai hamba Allah, bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah, fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita. Gunakanlah kesempatanmu, manfaatkanlah waktumu untuk membuka pintu-pintu surga. Telah shohih diriwayatkan bahwa rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya pedang itu penghapus berbagai kesalahan.” Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya kecuali hutang. Sesungguhnya pedang itu penghapus berbagai kesalahan.
Ikutilah rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus dan dikirim kepada kita untuk mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya. Ilmu kita, ilmu semua manusia pemeluk dienul Islam berasal dari ilmu rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril yang diberi amanah menyampaikan wahyu turun kepada beliau, apa yang beliau katakan?  Beliau mengatakan dengan menggunakan bahasa Arab yang nyata dan jelas. Apa argumen kalian, padahal Allah telah menjadikan kalian paham dan mengerti bahasa Arab?
Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shohih sebagaimana tercantum dalam Shohih Bukhari-Muslim dan yang lainnya, beliau Ash-Shodiq Al-Mashduq bersumpah:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya Aku tidak memberatkan kaum muslimin, maka Aku tidak akan duduk tertinggal di belakang pasukan yang berperang di jalan Allah selama-lamanya.”
Bukankah kalian mengerti bahasa Arab? Manusia terbaik ini bersumpah dengan nama Allah bahwa ia sekali-kali tidak akan duduk di belakang pasukan yang berperang di jalan Allah. Perbuatanmu memahami bahwa seolah-olah ada amalan-amalan lain yang lebih utama dari ini.
Front belum ada sampai ketika para ulama berfatwa di kesempatan yang lalu. Saat itu banyak ulama kaum muslimin yang berkumpul dan berfatwa bahwa jihad hukumnya fardhu ‘ain ketika Rusia masuk menyerang (Afghanistan). Apa argumenmu sampai engkau tidak berangkat. Apa argumenmu? Argumennya tidak lain adalah jiwa yang terpedaya, merasa berat kepada dunia.
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya Aku tidak memberatkan kaum muslimin, makau Aku tidak akan duduk tertinggal di belakang (dalam riwayat lain: meninggalkan) pasukan yang berperang di jalan Allah selama-lamanya.”
Bagaimana dengan orang yang mengklaim bahwa ia mencintai Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan mengklaim bahwa ia berada di atas manhaj Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia tidak pernah sekalipun berangkat (berjihad) di jalan Allah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Di zaman jihad fardhu ‘ain, bagaimana kita bisa mempelajari fikih jihad dari orang yang duduk tertinggal seperti ini. Fikih jihad itu, sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sang Alim Rabbani Mujahid, yang berangkat dengan jiwanya untuk memerangi pasukan Tartar, ia berkata:
“Dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan jihad –maksudnya fatwa dalam masalah jihad– seharusnya diambil dari ulama yang mengerti urusan dien dengan benar, yaitu yang mengerti realita dunia –yang diantaranya adalah masalah jihad–, bukan berdasarkan pandangan orang yang memandang dengan dien secara lahir dan juga bukan berdasarkan ulama yang tidak punya ilmu tentang realita keadaan dunia.”
Aku berikan contoh sederhana untuk kalian. Di antara argumen orang yang beralasan dan berudzur, ia mengatakan: Sekarang ini kami tidak punya kemampuan untuk menghadapi Amerika dan para tentaranya. Hal itu karena ia berfatwa sedangkan ia jauh dari syarat-syarat yang seharusnya ada bagi seorang mufti. Seorang mufti harus paham.. sebagaimana ditetapkan para ulama, diantaranya Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, ia berkata: “Seorang mufti dan hakim –sebelum berfatwa– harus paham fiqhul waqi’ (fikih realita), yaitu paham akan peristiwa yang terjadi dan menelitinya. Menyimpulkan dari perkara-perkaranya, meneliti indikasi-indikasinya dan tanda-tandanya. Kemudian syarat yang kedua (bagi mufti dan hakim sebelum berfatwa) adalah memahami kewajiban dalam keadaan dan realita itu, yaitu hukum Allah subhanahu wa ta’ala yang sesuai dengan peristiwa itu, baru kemudian berfatwa.”
Anda belum pernah terjun dalam pertempuran masa kini. Belum tahu bagaimana kekuatan kafir dihentikan. Dan bagaimana orang-orang beriman –yang yakin dengan janji Allah dan yakin bahwa apa yang di sisi Allah itu lebih baik, yang yakin bahwa mereka pasti akan menemui Allah ta’ala– dalam jumlahnya yang sangat sedikit dan dengan persenjataan yang sederhana mampu mengalahkan Uni Sovyet.
Mereka menganalogikan tanpa punya data-data yang lengkap (tentang mujahidin). Ia mengatakan kepadamu: “Jumlah para pemuda hanya sedikit, kita tidak mengenal senjata dengan baik, persenjataan kami sedikit.” Wahai hamba Allah, itu bukan urusan kalian. Sesungguhnya urusan fatwa adalah urusan yang sangat besar.
Ada hadits shohih dari nabi kita mengenai seorang lelaki yang pergi ke suatu kaum di zaman beliau. Pada waktu itu kepalanya terluka dan ia sedang junub. Lalu ia bertanya kepada kaum tersebut tentang hukum keadaanya itu, apa yang harus ia lakukan. Mereka menjawab: Kamu harus mandi. Mereka berfatwa padahal ilmu syar’i mereka belum memadai tentang masalah ini. Mereka tidak memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit. Ketika mandi, ia pun meninggal. Maka rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah juga membunuh mereka.”
Lalu bagaimana dengan orang yang pada hari ini mengeluarkan fatwa, padahal puluhan ribu kehormatan kita dinodai di Bosnia Herzegovina. Beribu-ribu darah kita, darah saudara-saudara kita ditumpahkan dengan tank-tank anti peluru di Chechnya. Saudara-saudara kita dibakar di masjid-masjid di Indonesia. Anak-anak dan keluarga kita di Palestina disiksa dengan siksaan yang amat keji oleh tangan-tangan Yahudi.
Di mana saja kamu lihat Islam di suatu Negara
Pasti kamu akan mendapatinya seumpama burung yang patah sayapnya

Di mana-mana ada bencana. Apakah  kita diam saja dan sampai sekarang kita mengatakan bahwa jihad hukumnya masih fardhu kifayah. Dan siapa saja yang mengatakan bahwa jihad hukumnya fardhu ‘ain pasti ditelantarkan dengan berbagai cara! Maka siapa saja yang dalam hatinya ada keimanan yang kuat, ia akan mengikuti Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia.
Aku tutup penjelasan mengenai hadits yang agung ini dengan sifat yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada para sahabat yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala mensifati sebagian mereka ketika mereka taroju’ (menarik diri) dari jihad, padahal dulunya ketika disiksa di Mekkah mereka meminta perang. Mereka tahu bahwa mereka harus menghadang orang-orang kafir, karena kalau tidak maka mereka akan dibinasakan. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan permintaan mereka. Beliau memerintahkan agar menahan diri. Beliau berkata: “Aku belum diperintahkan untuk berperang.” Ketika Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan perang kepada mereka, mereka menarik sikap. Allah ta’ala berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka[317]: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya.” (An-Nisa 4:77)
Wahai para hamba Allah, hal ini terjadi pada diri sebagian para sahabat yang mulia rodhiyallahu ‘anhum. Bertakwalah kalian kepada Allah, introspeksi dirimu. Ayat ini ditujukan kepada para sahabat yang mulia, maka bagaimana engkau merasa tenang dengan dirimu ketika engkau duduk berpangku tangan dari membela laa ilaaha illallaah?
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?’.” (An-Nisa 4:77)
Inilah tipu daya jiwa dan merasa berat dengan dunia. Untuk apa engkau mengundur-undur dan menangguhkan hingga beberapa saat lagi? Apa yang akan terjadi? Alasan-alasan duniawi yang tidak pernah habis. Dan angan-anganmu lebih panjang daripada umurmu.
“Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (An-Nisa 4:77)
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menjawabnya, menjelaskan kepada mereka bahwa sebabnya adalah tipu daya jiwa yang tergantung dengan kesenangan dunia yang hanya sedikit. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa itu hanyalah kesenangan dunia yang sebentar. Maka Allah subhanahu wa ta’ala mengarahkan mereka kepada akhirat dan kebaikan yang kekal abadi.
“Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun’.” (An-Nisa 4:77)
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberitahu mereka dengan ayat yang sangat tegas,
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa 4:78)
Setan selalu memperdayamu, menakut-nakuti para wali-Nya. Ia berkata padamu: “Kalau kamu pergi kamu akan terbunuh.” Maka datanglah ayat ini,
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa 4:78)
Aku berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar melapangkan dada kaum mukminin untuk berjihad di jalan-Nya dan memantapkan kita di atas manhaj Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perintah dan urusannya dan dalam semua sunnahnya.
Aku ingin menyemangati diriku dengan beberapa perkataan, dan Aku ingin menyemangati kaum muslimin agar kita bisa terus-menerus berada di atas jalan ini untuk mengingatkan kita kepada manhaj salaf rodhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka memiliki syair-syair tentang pertempuran dan peperangan. Di antaranya adalah perkataan Ja’far rodhiyallahu ‘anhu ketika perang telah menghancurkan para sahabat, dentingan pedang betautan keras, debu-debu beterbangan dan teriakan-teriakan menyelimuti mereka. Hatinya melihat sebagaimana Anas bin Nazhr. Ja’far berkata kepada Sa’ad sebagaimana dalam Shohih Bukhari: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, Aku mencium bau surga di balik bukit Uhud.” Padahal ia sedang berada di Madinah, namun ia mencium bau surga karena kuatnya keyakinan mereka.
Ja’far berkata,
Alangkah indah dan dekatnya surga
Enak dan sejuk minumannya
Sungguh, Romawi telah mendekati siksaannya
Jika Aku menemuinya, Aku harus menghantamnya

Ketika para sahabat pergi ke bani Lihyan, mereka terjebak dalam pengepungan yang ketat dari Bani Lihyan dari kabilah Hudzail. 100 orang menghadapi 10 orang. Mereka berkata: Bergabunglah dengan kami. ‘Ashim bin Tsabit Al-Aqdah rodhiyallahu ‘anhu menjawab: Aku tidak mau bergabung dengan agama kafir. Namun mereka terus berusaha merayunya, tapi ia tetap menolak dan mengatakan:
Apa alasanku, sedang aku adalah orang yang perkasa dan mulia
Pun busur terpasang pada senarnya yang kokoh
Kematian adalah pasti, sementara hidup adalah semu
Jika aku tidak memerangi kalian, berarti ibuku mandul


Semoga Allah meridhai mereka semua. Musibah kita menimpa tempat-tempat suci kita. Tidak seharusnya bagi seorang muslim merasa tenang. Aku tutup dengan bait-bait syair yang menggambarkan kondisi Baitul Maqdis dan Ka’bah yang mulia di Hijaz milik rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:

Keluargaku di Palestina menenggak gelas kesengsaraan
Luka Hijaz tidak samar lagi bagimu
Bangsa islam adalah bangsa yang mulia
Karna lukamu, musibahnya menjadi kecil
Namun meski terluka, keyakinan mereka
Akan kembalinya kejayaan khilafah makin besar
Dan mereka telah bersumpah atas nama Allah bahwa jihad mereka
Akan terus berlanjut meski Kisro (Persi) dan Kaisar (Romawi) menghadang

Kita mengharap semoga Allah subhanahu wa ta’ala menerima saudara-saudara kita yang telah meninggal sebagai syahid di jalan-Nya. Semoga Allah menganugerahi kita terbunuh di jalan-Nya, agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi. Semoga Allah memperbaiki umat ini sehingga orang-orang yang taat kepada-Nya dimuliakan dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya dihinakan. Hal yang makruf diperintahkan dan hal yang mungkar dilarang. Sesungguhnya hanya Dialah yang mampu melakukannya.
Ya Allah Aku  memohon kepada-Mu hidayah, ketaqwaan, kesucian diri dan kecukupan. Ya Robb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Semoga sholawat dan keberkahan dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya. Dan akhir doa kami, Alhamdulillahi robbil ‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar